Anda di halaman 1dari 24

REFERAT BEDAH

APENDISITIS KRONIK

Disusun Oleh:
Ferdinando Kendek
42200445

Dosen Pembimbing Klinik:


dr. Hariatmoko, Sp.B, FINACS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RUMAH SAKIT BETHESDA


LEMPUYANGWANGI
PERIODE 26 JULI 2021 – 7 AGUSTUS 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks vermiformis dan
menjadikannya penyebab nyeri akut abdomen yang paling sering dijumpai. Istilah usus
buntu yang dikenal di masyarakat awam kurang tepat karena usus yang buntu
sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalm system imun sektorik
di saluran pencernaan, namun pengangkatan apendiks tidak menimbulkan efek fungsi
system imun yang jelas (Syamsyuhidayat, 2016). Apendisitis merupakan salah satu
kasus bedah abdomen yang paling sering terjadi di dunia. Sebanyak 40% bedah
emergensi di negara barat dilakukan atas indikasi apendisitis baik apendisitis akut
maupun apendisitis kronik eksserbasi akut (Shah et al., 2013)
Insiden terjadinya apendisitis menurut data dari World Health Organization
(WHO) di Asia dan Afrika pada tahun 2004 yaitu 4,8% dan 2,6% dari total populasi
penduduk. Di Amerika Serikat, insiden apendisitis sebanyak 1,1 kasus per 100 orang
per tahun dan menjadi penyebab paling umum dilakukannya bedah abdomen darurat.
Di negara lain seperti Inggris juga memiliki angka apendisitis yang cukup tinggi yaitu
sekitar 40.000 orang orang masuk rumah sakit per tahunnya. Prevalensi apendisitis
menurut kelompok usia tertinggi pada usia 10-19 tahun. Risiko seseorang terkena
apendisitis sepanjang hidupnya adalah antara 6-9%. Apendisitis lebih banyak
didapatkan pada laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan 1,4:1 (Kothadia,
et al., 2015).
Apendisitis kronik merupakan entitas klinis yang sering menimbulkan dilema
bagi dokter dalam mendiagnosis dan melakukan terapi karena mayoritas pasien datang
dengan gejala yang atipikal. Insiden apendisitis kronik adalah 1,5% dari semua kasus
dengan riwayat apendisitis akut, dan dianggap keadaan sekunder akibat obstruksi
parsial dan sementara pada lumen apendiks vermiformis. Meskipun tidak dianggap
sebagai kedaruratan bedah, seringkali diagnosis apendisitis kronik terlewatkan sehingga
sring pasien datang ke dokter dalam kondisi komplikasi seperti perforasi atau telah
terbentuk abses apendisitis (Vanwinter & Beyer, 2004; Syah et al., 2013). Perforasi
apendisitis berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Pasien yang mengalami
apendisitis angka mortalitasnya hanya 1,5%, tetapi ketika telah terjadi perforasi angka
ini akan meningkat mencapai 20-35%. Pemeriksaan terbaik untuk mendiagnosis
apendisitis kronik sebelum dilakukan operasi yaitu dilakukannya pemeriksaan
computed tomography (CT) scan. Meskipun umumnya tidak dianggap sebagai darurat
bedah, sebagian besar pasien dengan apendisitis kronik memiliki perbaikan keluhan
terutama nyeri abdomen bila dilakukan apendektomi (Kothadia, et al., 2015).
1.2 Rumusan masalah
1. Apa definisi dari apendisitis kronik ?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi apendiks vermiformis?
3. Bagaimana faktor resiko untuk pasien apendisitis kronik ?
4. Bagaimana etiopatogenesis dari penyakit apendisitis kronik ?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit apendisitis kronik ?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
apendisitis kronik ?
7. Bagaimana penatalaksanaan untuk apendisitis kronik ?
8. Bagaimana prognosis penyakit apendisitis kronik ?
1.3 Tujuan
1. Mampu mengetahui definisi dari penyakit apendisitis kronik.
2. Mampu memahami anatomi dan fisiologi apendiks vermiformik.
3. Mampu memberikan faktor resiko untuk pasien apendisitis kronik.
4. Mampu memahami etiopatogenesis dari penyakit apendisitis kronik.
5. Mampu mengetahui manifestasi klinis dari penyakit apendisitis kronik.
6. Mampu mengetahui pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis apendisitis kronik.
7. Mampu mengetahui penatalaksanaan penyakit apendisitis kronik.
8. Mampu mengetahui prognosis penyakit apendisitis kronik.
1.4 Manfaat
1. Memahami dan melakukan clinical reasoning kasus apendisitis kronik.
2. Memberikan informasi mengenai penatalaksanaan kasus apendisitis kronik.
3. Memberikan informasi mengenai tatalaksana operatif pada kasus apendisitis kronik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Apendisitis kronik merupakan penyakit peradangan pada apendiks vermiformis
yang ditandai dengan riwayat nyeri perut kanan bawah kontinu atau intermiten yang
lebih dari dua minggu, terbukti terjadi radang kronik baik secara makroskopik maupun
mikroskopik, dan keluhan hilang pascaapendektomi. Kriteria makroskopik berupa
jaringan parut dan ulkus lama, sedangkan kriteria mikroskopik meliputi adanya fibrosis
menyeluruh pada dinding apendiks, sumbatan parsial atau total pada lumen apendiks,
dan infiltrasi sel inflamasi kronik (Syamsyuhidayat, 2016).

2.2 Anatomi
Apendiks adalah organ berbentuk tabung dengan panjang sekitar 10 cm (kisaran
3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Apendiks memiliki lumen yang sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi apendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan
ini mungkin menjadi penyebab rendahnya insiden apendisitis pada usia bayi. Ujung
apendiks dapat ditemukan di berbagai lokasi dengan yang paling umum adalah
retrocecal (tetapi intraperitoneal) pada sekitar 60% individu, pelvis 30%, dan
retroperitoneal 7% sampai 10%. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak
apendiks. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari nervus torakalis X. Oleh sebab itu nyeri viseral pada apendisitis bermula di
sekitar umbilikus. Vaskularisasi apendiks berasal dari arteri apendikularis arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks
akan mengalami gangren (Syamsyuhidayat, 2016).

2.3 Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari. Normalnya lendir ini
bermuara ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke dalam sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk apendiks yaitu imunoglobulin A
(IgA). Imunoglobulin A sangat efektif sebagai pertahanan terhadap infeksi di saluran
cerna termasuk apendiks. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe sedikit sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan seluruh tubuh (Syamsyuhidayat,
2016).

2.4 Faktor Risiko


2.4.1 Peranan Intake

Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa timbulnya appendicitis dapat


diperankan oleh kebiasaan makan makanan rendah serat dan menyebabkan
frekuensi konstipasi. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang
berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora
normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya appendicitis. Diet
memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana penting pada
pembentukan fekalit. Kejadian appendicitis jarang di negara yang sedang
berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses lebih lembek.
Selain apendisitis, penyakit usus lain seperti kolitis, divertikulitis dan karsinoma
kolon adalah penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan
menghasilkan feses dengan konsistensi keras (George & Sarosi, 2016).

2.4.2 Peranan Flora Bakteri


Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya
beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam
appendicitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan
peritoneal biasanya negatif pada tahap appendicitis sederhana. Pada tahap
appendicitis supurativa, bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai adalah
Escherichia coli diikuti oleh Streptococcus viridans. Namun ketika gejala
memberat, dapat ditemukan lebih banyak bakteri seperti Proteus, Klebsiella, dan
Pseudomonas. Sebagian besar penderita apendicitis gangrenosa atau
appendicitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides
fragilis (Richmond, 2017).
Gambar 1. Tipe bakteri yang dapat ditemukan pada apendisitis (Richmond, 2017)

2.4.3 Peranan Obstruksi


Pada appendisitis kronik, obstruksi lumen apendiks merupakan faktor
penyebab utama. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen
apendiks dan terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat. Frekuensi
obstruksi meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Jaringan limfoid
yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan hipertrofi
sebagai respon terhadap infeksi di sistem gastrointestinal yang akan
menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Infeksi non bakterial yang diduga dapat
menimbulkan appendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti
Entamoeba hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut di apendiks untuk
jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk
menimbulkan risiko terjadinya perforasi. Penyakit hirschsprung terjadi obstruksi
pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini
merupakan salah satu alasan terjadinya appendicitis pada neonatus (George &
Sarosi, 2016).

2.5 Etiopatogenesis
Apendisitis kronik diperkirakan terjadi akibat obstruksi parsial pada lumen
apendiks yang menetap. Penyebab obstruksi termasuk fekalit, lipatan apendiks,
hiperplasia limfoid dan tumor seperti karsinoid. Pada apendisitis kronik dapat
ditemukan infiltrat limfosit dan sel plasma, endarteritis, fibrosis, histiositik, sel raksasa
dan reaksi xanthogranulomatous. Fibrosis dapat terjadi sebagai bagian dari involusi
normal atau setelah episode inflamasi akut yang subklinis atau sembuh secara spontan.
pada apendisitis kronik eksaserbasi akut pada dasarnya adalah apendisitis akut dengan
infiltrasi polimorfonuklear neutrofil, eosinofilik atau histiositik pada dinding apendiks
dan eksudat fibrinopurulen pada serosa, seringkali dengan nekrosis atau infark apendiks
parsial (Richmond, 2017).
Obstruksi parsial lumen apendiks yang menetap dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intraluminal, iskemia, infeksi bakteri. Lumen apendiks yang
tersumbat parsial tidak memungkinkan drainase apendiks yang lancar, dan saat sekresi
mukosa berlanjut, terjadi peningkatan tekanan intraluminal. Pada keadaan kronik, akan
terjadi fibrosis karena tekanan intraluminal masih relatif dikompensasi karena sumbatan
hanya parsial. Namun, bila obstruksi lumen berlanjut akibat beberapa kondisi seperti
sumbatan oleh fekalit dan infeksi sekunder akan menyebabkan tekanan yang intralumen
yang meningkat. Kondisi ini menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis kronik
eksaserbasi akut yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus
berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena,
edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Apabila aliran arteri
terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium
ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah,
akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum
dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa
lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan
apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah
dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya
perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah (George & Sarosi, 2016)

2.6 Manifestasi Klinis


2.6.1 Gejala atipikal
Gejala klinis pada apendisitis kronik seringkali diawali oleh gejala yang
tidak khas seperti pada apendisitis akut. Pasien dengan apendisitis kronik
memiliki riwayat nyeri abdomen terutama regio kanan bawah derajat ringan
sampai sedang yang terjadi hampir terus menerus atau intermiten lebih dari dua
minggu dan sering bertahan hingga berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau
bahkan bertahun-tahun. Gejala nyeri abdomen dapat diikuti oleh gejala lain
walaupun tidak selalu muncul pada pasien apendisitis kronik seperti mual,
muntah, demam subfebris, konstipasi, diare, dan malaise (Richmond, 2017).
Gejala atipikal dan pola nyeri sering terjadi, terutama pada anak-anak dan
lansia. Mendiagnosis apendisitis kronik pada anak-anak dapat sangat menantang
karena cenderung merespon secara dramatis terhadap rangsangan. Selain itu,
untuk mendapatkan riwayat yang akurat mungkin sulit. Penting untuk diingat
bahwa omentum yang lebih kecil pada anak-anak menyebabkan kemungkinan
kecil untuk menutup perforasi apendiks. Tanda dan gejala apendisitis kronik pada
lansia bisa tidak begitu kentara karena reaksi terhadap nyeri tidak sekuat orang
yang lebih muda. Nyeri minimal yang berasal dari kuadran kanan bawah mungkin
saja diabaikan atau mungkin lansia hanya merasakan ketidaknyamanan yang
signifikan apabila dilakukan palpasi dalam. Keluhan utama yang dirasakan justru
bisa berupa gejala mual, anoreksia, dan emesis sebagai gejala obstruksi akibat
peradangan apendiks dan pembentukan phlegmon atau abses (Richmond, 2017).
Lokasi anatomi apendiks yang bervariasi, secara langsung mempengaruhi
bagaimana pasien datang untuk mendapatkan perawatan. Lokasi apendiks
umumnya berada di regio inguinalis dextra, namun dapat juga dijumpai pada
regio hipogastrium (pelvis), hipokondrium dextra (seperti yang dapat diamati
selama kehamilan), atau bahkan sisi kiri abdomen pada pasien dengan malrotasi
usus atau colon redundant. Pasien apendisitis yang letaknya di regio hipogastrium
lebih mungkin untuk mengalami gejala disuria, lebih sering kencing (frequency),
diare, atau tenesmus. Pada pemeriksaan fisik, pasien mungkin hanya mengalami
nyeri di daerah suprapubik saat dipalpasi atau nyeri pada pemeriksaan colok
dubur. Pemeriksaan panggul pada wanita wajib dilakukan untuk menyingkirkan
kondisi yang mempengaruhi organ uroginekologi yang dapat menyebabkan nyeri
perut seperti penyakit radang panggul, kehamilan ektopik, dan torsi ovarium
(Richmond, 2017).
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan
muntah. Hal ini perlu dicermati karena kehamilan trisemester pertama sering juga
terjadi mual muntah. Nyeri kuadran bawah pada trimester kedua yang dihasilkan
oleh traksi pada ligamen suspensori uterus, sebuah fenomena yang dikenal
sebagai nyeri ligamen bundar, adalah kejadian umum dan semakin memperumit
gambaran klinis lebih lanjut karena 50% kasus apendisitis terjadi pada trimester
kedua. Pada trisemester kedua, sekum dan apendiks akan terdorong ke
kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih
di regio lumbal kanan, atau hipogastrium kanan (George & Sarosi, 2016).
Gejala atipikal dapat dijumpai pada pasien dengan keadaan
immunocompromised khususnya pasien dengan AIDS. Meskipun pasien dengan
AIDS biasanya datang dengan gejala dan tanda klasik apendisitis, namun
seringkali memiliki riwayat nyeri perut kronis. Namun demikian, nyeri abdomen
dilaporkan hanya pada 12% sampai 45% pasien AIDS dengan apendisitis. Diare
juga merupakan gejala apendisitis yang lebih umum pada pasien HIV-positif, dan
leukositosis relatif jarang sehingga pasien jarang mengalami demam. Penurunan
jumlah CD4 dikaitkan dengan keterlambatan dalam presentasi untuk perhatian
medis dan peningkatan kejadian perforasi. Penelitian menunjukkan bahwa
apendisitis lebih sering terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV dibandingkan
dengan pasien tanpa HIV dengan peningkatan insiden sebanyak 4 kali lipat
(Richmond, 2017).

2.6.2 Gejala tipikal


Ada situasi di mana mungkin ada presentasi klinis akut, berulang dan kronis
yang saling tumpang tindih. Apendisitis kronik dengan persentasi klinis akut
berupa gejala tipikal pada apendisitis akut umumnya disebut apendisitis kronik
eksaserbasi akut. Keluhan umumnya memberat yang ditandai nyeri di daerah
umbilikus atau periumbilikus dan kadang berhubungan dengan muntah. Dalam 2
– 12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah yang akan menetap dan
diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise dan
demam yang tidak terlalu tinggi. Sedangkan apendisitis rekuren dikenali sebagai
satu atau lebih episode serangan hampir identik atau sangat mirip dengan gejala
sebelumnya, serangan mereda secara spontan dalam beberapa jam, biasanya
dalam 24-48 jam, dan memiliki periode bebas gejala atau sembuh.
Pada apendiks yang mengalami peradangan, nyeri tekan dapat dirasakan
pada kuadran kanan bawah pada titik McBurney yang berada antara umbilikus
dan spina iliaka anterior superior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah
terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi
apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri tekan terasa di
daerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui
hanya pada pemeriksaan colok dubur. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung
apendiks berada dekat rektum. Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa
ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada
bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan
melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan
nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri
menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi
pasien memburuk. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami
ruptur apendiks. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi
diare, mual dan muntah (George & Sarosi, 2016).

2.7 Pemeriksaan Penunjang


2.7.1 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada apendisitis kronik harus ditafsirkan dengan
hati-hati dan harus digunakan untuk mendukung gambaran klinis daripada
digunakan secara definitif untuk membuktikan atau menyingkirkan diagnosis.
Leukositosis, seringkali dengan “pergeseran ke kiri” (dominasi neutrofil dan dan
neutrofil batang) yang terdapat pada 90% kasus apendisitis secara keseluruhan.
Namun, jumlah leukosit normal dapat ditemukan pada 10% kasus sehingga tidak
boleh digunakan sebagai pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya apendisitis
kronik. Pada wanita hamil, justru dapat dijumpai leukositosis ringan sebagai
temuan normal dan kadar Protein C-reaktif (CRP) dapat meningkat secara
fisiologis pada kehamilan. Pemeriksaan CRP telah terbukti tidak sensitif atau
spesifik dalam mendiagnosis (atau mengecualikan) apendisitis, walaupun dapat
meningkat pada 50% sampai 90% kasus apendisitis. Hal ini terutama pada
apendisitis kronik dimana peradangan aktif mungkin tidak dijumpai. Pemeriksaan
urinalisis juga umumnya didapatkan hasil normal, meskipun dapat ditemukan
adanya leukosit esterase atau piuria karena lokasi apendiks yang meradang
berdekatan dengan kandung kemih atau ureter. Jika manifestasi klinis sangat
sugestif apendisitis kronik, urinalisis "positif" tidak dapat digunakan sebagai tes
terisolasi untuk membantah diagnosis (Richmond, 2017).
2.7.2 Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen paling baik untuk melihat adanya apendikolit.
Apendikolit biasanya berdiameter 0,5 sampai 2 cm dan memiliki konfigurasi
bulat atau lonjong dan tepi berlaminasi. Tepi yang terkalsifikasi membantu
membedakan apendikolit dengan batu ureter dan phlebolith. Keberadaan
apendikolit mungkin dikaburkan oleh struktur tulang panggul atau mungkin
terletak ektopik di regio perut kanan atas seperti kasus apendisitis retrokolik.
Apendikolit umumnya soliter, tetapi dapat juga ditemukan dua atau tiga
kalsifikasi kecil yang berdekatan. Apendikolit dapat didapatkan pada individu
tanpa gejala atau tanpa temuan klinis terkait apendisitis. Udara di apendiks,
terutama di lokasi retrocecal, adalah temuan normal. Gelembung gas
ekstraluminal yang berhubungan dengan massa jaringan lunak yang tidak jelas
menunjukkan abses. Terkadang proses inflamasi di kuadran kanan bawah
menginduksi ileus lokal yang parah, dengan adanya dilatasi dan air-fluid level
di lengkung ileum dan sekum. Bila ileus terus berlanjut, proses ini dapat
menyerupai gambaran ileus obstruktif usus halus distal. Dilatasi kolon
transversum dengan tidak ditemukaanya udara pada sekum dan kolon asendens
dapat terjadi akibat ileus kolon transversum dan spasme kolon asendens. Udara
bebas di rongga peritoneum jarang terjadi karena dasar apendiks biasanya
tersumbat ketika terjadi perforasi. Temuan lain seperti hilangnya sebagian
bayangan psoas kanan dan skoliosis lumbal dengan deviasi cekung ke kanan
merupakan gambaran umum pada apendisitis meskipun tidak spesifik
(Wenzke et al., 2015).
Gambar 1. terdapat dua apendikolit (panah) di regio kuadran kanan atas. Pasien
memiliki apendiks subhepatik retrokolik yang panjang (Wenzke et al., 2015).

Gambar 2. Abses apendiks bermanifestasi sebagai kumpulan gelembung gas


ekstraluminal di kuadran kanan bawah (Wenzke et al., 2015).

Gambat 3. Obstruksi usus halus parsial akibat apendisitis. Radiografi tegak


menunjukkan dilatasi dan air-fluid level di beberapa loop usus kecil abdomen bagian
bawah (b) (Wenzke et al., 2015).

b. Barium Enema
Sebelum tahun 1980-an, barium enema adalah tes radiologi utama yang
digunakan dalam diagnosis apendisitis. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan cepat dan aman dengan teknik single contrast. Studi telah melaporkan
akurasi diagnostik setinggi 91,5%. Oleh karena apendisitis terjadi akibat
obstruksi luminal, pengisian lengkap apendiks normal secara efektif
menyingkirkan diagnosis apendisitis. Kontras yang tidak mengisi apendiks
atau tidak lengkap diakibatkan adanya efek massa seperti fibrosis, abses, atau
phlegmon pada apendiks yang menyebabkan deformitas pada ileosekal.
Pemeriksaan imaging dengan barium enema juga dapat mendeteksi patologi
lain pada usus kecil dan usus besar seperti penyakit crohn, divertikulitis ileum,
dan divertikulitis sekal yang secara manifestasi klinis mirip dengan apendisitis.
Namun demikian, kelemahan pemeriksaan imagng dengan barium enema yaitu
apendiks yang tidak terisi dapat dijumpai pada 15% sampai 20% pasien
normal dan mungkin sulit untuk membedakan apendiks yang terisi sebagian
dari apendiks yang terisi penuh seperti pada apendisitis kronik. Selain itu
pemeriksaan imaging dengan barium enema tidak dapat mengevaluasi sifat
phlegmon dan abses pada apendiks (Wenzke et al., 2015).

Gambar 4. A: Ekstravasasi barium pada pasien dengan apendisitis perforatif tertutup


(panah padat). Sekum dan ileum terminal (panah terbuka) tak tampak kelainan. B:
Abses apendiks menunjukkan kompresi caput cecal, obstruksi dasar apendiks (panah
solid), dan kontur lateral spikula (panah terbuka) dari ileum terminal. C: sekum; I:
ileum (Wenzke et al., 2015).
c. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) dapat dilakukan secara luas, non-invasif, relatif murah,
dan tidak menimbulkan risiko radiasi pengion bagi pasien. Fitur terakhir ini
merupakan pertimbangan utama pada individu yang paling sensitif terhadap
radiasi, anak-anak, dan wanita hamil. Namun terdapat beberapa keterbatasan
USG yaitu sensitivitasnya berkurang pada pasien obesitas, tidak mampu
mendapatkan gambar yang dilewati gas usus, kesulitan teknis pada pasien
dengan nyeri parah, dan sangat tergantung pada keterampilan operator.
Kepatuhan terhadap teknik pemindaian yang optimal sangat penting.
Pencitraan sagital, transversal, dan oblik harus dilakukan di perut dan panggul,
dengan tambahan pemeriksaan transvaginal pada wanita yang diagnosisnya
tidak jelas setelah pendekatan transabdominal. Transduser linier atau lengkung
dengan frekuensi tinggi dapat digunakan pada keadaan tertentu. Transduser
frekuensi tinggi biasanya menawarkan resolusi gambar terbaik, tetapi probe
lengkung mungkin lebih cocok untuk pencitraan pasien dengan apendisitis
kuadran kanan bawah yang tidak dapat dikompresi (seperti keluhan nyeri yang
berat), tubuh pasien besar dengan sekum dan apendiks yang terletak jauh di
dalam panggul, pasien dengan anatomi kuadran kanan bawah yang tidak jelas,
dan pasien dengan apendiks retrosekal atau perforasi (Wenzke et al., 2015).
Teknik kompresi bertingkat harus digunakan untuk menekan loop usus berisi
gas pada pencitraan USG. Manuver ini membantu identifikasi titik nyeri
maksimal sambil membantu membedakan lengkung usus abnormal seperti
deformitas ileosekal yang tidak dapat dikompresi dan apendiks yang meradang
dari struktur yang biasanya dapat dikompresi. Selain itu, teknik kompresi yang
lambat dan lembut dapat mempercepat pemeriksaan pada pasien yang tidak
nyaman dan khawatir. Evaluasi dengan USG doppler dapat menunjukkan
hiperemia pada apendiks atau dinding usus yang meradang. Secara sonografis,
apendiks abnormal tampak sebagai struktur tubular yang tidak dapat
dimampatkan, dengan diameter lebih besar dari 6 mm dengan dinding berlapis
(target sign). Apendikolit tampak sebagai fokus echogenic bulat dengan
bayangan akustik yang jelas. Selain temuan apaendisitis pada apendiks, USG
juga dapat mengenali temuan periappendiks yang khas dapat menunjukkan
progresifitas apendisitis itu sendiri. Peradangan pada lemak periappendiceal
terlihat sebagai daerah ekogenik menyerupai massa yang memisahkan segmen
usus yang meradang dari struktur sekitarnya. Phlegmon periappendiceal
terlihat sebagai daerah hipoekoik, batas tidak jelas pada lemak yang
berdekatan dengan apendiks. Abses yang terbentuk dapat dikenali sebagai
kumpulan cairan fokal yang dapat mengandung gas. Meskipun kinerja selama
pemeriksaan telah dioptimalkan, sensitivitas USG untuk mendiagnosis
apendisitis perforasi lebih rendah daripada apendisitis nonperforasi. Secara
keseluruhan, apendiks yang tidak dapat dikompresi hanya terlihat pada 38%
hingga 55% pasien dengan apendisitis perforasi (Wenzke et al., 2015).
Gambar 5. Sonogram transvaginal longitudinal menunjukkan apendiks distensi dan
berdinding tebal (panah) (Wenzke et al., 2015).

Gambar 6. Sonogram transvaginal transversal menunjukkan apendiks berdinding tebal


dan distensi abnormal (panah) dengan diameter apendiks 13 mm (Wenzke et al.,
2015).

Gambar 7. Pencitraan longitudinal dengan kompresi bertingkat pada seorang gadis


berusia 7 tahun menunjukkan apendiks yang melebar dengan diameter 9 mm (kursor).
Saat stratifikasi dinding abdomen dipertahankan, cairan periappendiceal (F)
tervisualisasi hypoechoic (Wenzke et al., 2015).

d. Computer Tomography (CT) Scan


Pencitraan CT scan telah terbukti menjadi cara yang sangat efektif dan akurat
untuk mendiagnosis. Secara kritikal, CT scan dapat membantu mendiagnosis
banyak kondisi alternatif yang mungkin menyerupai presentasi klinis
apendisitis apendisitis. Temuan CT Scan pada apendisitis rekuren dan kronik
pada dasarnya sama dengan apendisitis akut dengan gambaran diagnostik yaitu
apendikolit, dengan atau tanpa masaa periapendicular (pericaecal fat
stranding), dan/atau appendiks yang melebar dan menebal dengan diameter
total lebih dari 6 mm (Kothadia et al., 2016; Checkoff et al., 2002; See et al.,
2008). Pada kasus awal atau ringan, apendiks biasanya muncul sebagai
struktur tubular berisi cairan dengan distensi minimal berukuran 5 sampai 6
mm. Seiring waktu, apendiks terus membesar, seringkali berdiameter 7 hingga
15 mm. Namun, diameter apendiks lebih dari 6 mm tidak cukup untuk
diagnosis apendisitis karena diameter apendiks normal dapat berkisar antara 3
hingga 10 mm (Jan et al., 2005; Benjarminov et al., 2002). Dalam satu
penelitian, apendiks normal memiliki diameter lebih dari 6 mm pada 42%
kasus (Tamburrini et al., 2005). Dinding apendiks menebal secara
sirkumferensial dan peningkatan opasitas setelah pemberian kontras intravena
(IV). Peningkatan opasitas dinding apendiks ini mungkin tampak homogen
atau menunjukkan apa yang disebut target sign. Peradangan periappendiceal,
tervisualisasi seperti untaian lemak yang saling berdekatan yang tervisualisasi
dengan kontras IV pada CT scan. Peradangan apendiks juga dapat
menyebabkan penebalan reaktif sekunder pada struktur yang berdekatan,
termasuk dinding ileum terminalis atau caput sekum. Cecal arrowhead sign
mengacu pada konfigurasi berbentuk segitiga atau panah dari bahan kontras
oral yang disalurkan ke sekum yang menebal secara fokal dan menunjuk ke
arah lumen apendiks karena obstruksi struktur bagian distalnya (Wenzke et al.,
2015).

Gambar7. Apendiks tampak distensi (kepala panah) diikuti penebalan dinding


apendiks dan jaringan lunak periappendiks. Cecal arrowhead sign (panah) sebagai
aliran kontras enterik di sekum yang menebal menuju lubang apendiks (Wenzke et
al., 2015).

Gambar 2. A: Apendiks proksimal (panah) tampak normal pada enhanced CT scan.


B: Aspek distal menunjukkan penebalan dinding apendiks yang abnormal (panah);
untaian jaringan lunak periappendiceal juga ditemukan (kepala panah) (Wenzke et al.,
2015).

Apendisitis perforata dengan abses. Gambar koronal dari enhanced CT scan ini
menunjukkan peradangan kuadran kanan bawah yang luas dan abses berisi cairan
(panah) serta sekum yang menebal dan meradang (kepala panah) (Wenzke et al.,
2015).

e. Magnetic resonance imaging (MRI)


Magnetic resonance imaging (MRI) sangat baik untuk melihat adanya
apendisitis. Hal ini karena MRI memiliki resolusi pencitraan jaringan lunak
yang superior, kemampuan pencitraan multiplanar, dan kemampuan untuk
memindai tanpa pemberian kontras, dan tidak melibatkan penggunaan radiasi
pengion. Kelemahan penggunaan MRI termasuk waktu pencitraan yang relatif
lama, biaya yang lebih tinggi, ketergantungan yang lebih tinggi pada teknik
untuk hasil yang baik, dan ketersediaan yang berkurang relatif terhadap CT.
Protokol MRI menekankan pada pembatasan gerakan karena memunculkan
artefak dan penekanan pencitraan jaringan lunak disekitar apendiks. Dengan
MRI, dinding apendiks normal tampak isointens dengan otot pada T1 dan T2-
weighted. Isi lumen apendiks seperti udara biasanya tampak hipointens pada
T1 dan T2. Temuan MRI pada apendisitis akut termasuk dilatasi apendiks (>7
mm) berisi cairan ketebalan dinding lebih dari 2 mm, dan peradangan atau
cairan pada lemak periappendiks tampak sebagai hiperintens T2 (Wenzke et
al., 2015).

Gambar 8. CT Scan T2 pada wanita hamil dengan apedisitis. A: potongan aksial


menunjukkan apendiks yang melebar dan berisi cairan yang tampak hipointens (panah)
dan dikelilingi oleh untaian lemak yang terlihat hiperintens. Ada beberapa fekalit di
dalam lumen apendiks (kepala panah). B: potongan koronal menunjukkan apendiks
yang dilatasi dan fekalit (panah). C: potongan sagital, dinding apendiks tampak
hipointens menunjukkan edema dan penebalan apendiks (panah) (Wenzke et al., 2015).

2.8 Tatalaksana
Bila diagnosis klinis telah mengarah ke apendisitis kronik, tindakan paling tepat
dan satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi, Pada apendisitis tanpa
komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis
gangrenosan atau apendisits perforata. Penundaan tindakan bedah sambil memberikan
antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Apendektomi dapat dilakukan
secara terbuka atau laparaskopi (Syamsyuhidayat, 2016).

2.8.1 Apendektomi terbuka


Apendektomi dilakukan pada pasien apendisitis kronik untuk
menghilangkan gejala nyeri perut yang terus-menerus dan direncanakan sebagai
operasi elektif. Umumnya keadaan nyeri kronis akan membaik pasca
apendektomi. Sayatan apendektomi terbuka biasanya dibuat di titik McBurney,
yang merupakan titik sekitar sepertiga jarak sepanjang garis imajiner yang ditarik
dari spina iliaka anterior superior (SIAS) ke umbilikus. Titik ini berkorelasi
dengan perkiraan lokasi dasar apendiks. Sayatan dibuat melalui titik ini secara
tegak lurus terhadap garis imajiner (insisi gridiron) atau horizontal (insisi Lanz)
dan diperpanjang 3-5 cm di sepanjang lipatan kulit. Jika akses yang lebih baik
diperlukan, dimungkinkan untuk mengubah gridiron menjadi insisi Rutherford
Morison dengan memotong otot oblikus internal dan otot transversus pada garis
insisi (Russel et al., 2018).

A B

Gambar 8. A: Insisi gridiron untuk apendisitis, tegak lurus terhadap garis yang
menghubungkan spina iliaka anterior superior dan umbilikus, berpusat pada titik
McBurney B: insisi melintang (Lanz) untuk apendisitis pada titik McBurney atau 2 cm di
bawah umbilikus dan berpusat pada garis mid-klavikula-mid-inguinal .(Russel et al.,
2018)

Elektrokauter bovie dapat digunakan untuk insisi melalui fasia superfisial


dan profunda untuk memperlihatakan aponeurosis oblik eksterna. Insisi harus
diiris sepanjang arah serat otot, dan serat otot membelah untuk mengekspos fasia
transversalis dan peritoneum. Peritoneum dapat dijepit dengan klem lurus,
ditinggikan, dan selanjutnya diinsisi dengan hati-hati menggunakan gunting
Metzenbaum untuk masuk ke rongga perut. Sekum harus diidentifikasi terlebih
dahulu. Hal ini dapat dibedakan dari kolon transversum dengan tidak adanya
perlekatan omentum pada sekum. Meskipun tidak mungkin, jika sekum tidak
dapat ditemukan, malrotasi usus atau sekum yang tidak turun harus
dipertimbangkan (Russel et al., 2018). Ketika sekum telah diidentifikasi, salah
satu teniae coli ditelusuri ke bawah sampai menemukan dasar apendiks. Dalam
mengekspos apendiks retrocecal yang tersembunyi, mungkin perlu untuk
dilakukan insisi peritoneum posterior dibagian lateral sekum. Tidak dijumpainya
apendiks yang jelas mungkin disebabkan oleh intususepsi apendiks ke dalam
sekum. Dalam kasus seperti itu, harus ada lesung/lipatan yang jelas di lokasi
normal apendiks. Setelah apendiks diidentifikasi, dibuat sebuah lubang pada
mesenterium didekat dasar apendiks dan sekum. Kemudian mesoappendiks, yang
berisi arteri dan vena apendiks, harus diklem sebanyak dua yaitu klem pertama
dibagian proksimal dan klem kedua distal. Arteri dan vena apendiks diikat
menggunakan ikatan sutra 2-0 dibagian proksimal dari klem pertama kemudian
potong mesoapendiks diantara klem pertama dan klem kedua. Apendiks
kemudian dapat diangkat dan kemudian memasang dua klem ke dasarnya.
Lepaskan klem yang dekat dengan sekum kemudian ligasi dasar apendiks dua
kali dengan benang jahit yang dapat diserap. Bagilah apendiks antara klem dan
benang pengikat dengan menggunakan pisau atau elektrokauter. Pertahankan
klem di tetap diujung proksimal apendiks yang telah dipotong untuk mencegah
isian apendiks keluar dan mengkontaminasi lapangan operasi. Inversi tunggul
dilakukan hanya bila dasar apendiks nekrotik (Skandalakis, 2021).

2.8.2 Apendektomi Laparaskopi


Aspek yang paling penting dari laparoskopi dalam pengelolaan suspek
apendisitis kronik adalah sebagai alat diagnostik, terutama pada wanita usia
subur. Penempatan port operasi dapat bervariasi sesuai dengan preferensi operator
dan bekas luka perut sebelumnya. Operator berdiri di sebelah kiri pasien dan
menghadap layar yang ditempatkan di sebelah kanan pasien. Biasanya,
pneumoperitoneum dibuat menggunakan pendekatan infraumbilikal terbuka. Port
pertama dibuat sayatan periumbilikalis sebesar 12 mm (Gbr. 11.14) dan isap
rongga perut dengan jarum Veress (teknik tertutup) atau dengan teknik Hasson
(teknik terbuka). Teknik tertutup dilakukan dengan insersi jarum Veress (jarum
yang dilengkapi dengan obturator pegas) ke dalam rongga peritoneum, diikuti
oleh insuflasi gas dan insersi trokar (instrumen tajam, berujung runcing dengan
kanula) sehingga laparoskop dapat dilewatkan melalui trokar setelah obturator
dilepas. Teknik Hasson dilakukan dengan membuka peritoneum secara tajam,
diikuti oleh insersi trokar tumpul di bawah visualisasi secara langsung, insuflasi
gas, kemudian insersi laparoskop. Manfaat potensial dari teknik Hasson termasuk
pencegahan cedera usus dan vaskular, emboli gas, dan insuflasi
ekstraperitoneal.Langkah berikutnya membuat port kedua dibuat sebesar 5 mm
pada area suprapubik di bawah penglihatan langsung. Port ketiga dibuat sebesar 5
mm di kiri linea mediana, sekitar 2 cm di atas SIAS kiri (Skandalakis, 2021).

Menggunakan kamera laparaskopi yang dimasukkan melalui port pertama,


identifikasi caecal taeniae dan susuri ke bagian distal sampai apendiks
ditemukan. Apendiks dijepit menggunakan forsep penahan dan dilakukan traksi
sehingga mesoappendiks terlihat. Gunakan pisau bedah harmonik atau perangkat
LigaSure untuk membagi mesoappendix. Kamera dipindahkan ke port lateral kiri
dan melalui port umbilical 12 mm dimasukkan stapler GIA, kemudian lakukan
transect hingga apendiks terpisah dari sekum.Apendiks ditempatkan ke dalam
kantong endoskopi dan keluarkan melalui port pertama di umbilikal (Skandalakis,
2021).

Selama prosedur apendektomi laparaskopi, pasien harus terpasang tabung


orogastrik untuk dekompresi gaster dan kateter Foley untuk dekompresi kandung
kemih. Dekompresi gaster akan menghindari perforasi saat dimasukkan jarum
Veress. Kateter Foley akan mendekompresi kandung kemih dan menjaganya agar
tidak cedera selama penempatan trokar suprapubik. Namun, trocar harus diamati
dengan hati-hati saat ditempatkan pada posisi suprapubik. Hal ini karena cedera
trokar iatrogenik pada kandung kemih masih dapat terjadi meskipun kandung
kemih telah didekompresi (Skandalakis, 2021).

2.9 Prognosis

Prognosis apendisitis kronik baik apabila diagnosis ditegakkan lebih awal dan
dilakukan tatalaksana konservatif dan bedah. Namun, apendisitis akan menjadi fatal
apabila terjadi ruptur dan perforasi yang menyebabkan prognosis menjadi sangat buruk.
Pasien yang mengalami apendisitis angka mortalitasnya hanya 1,5%, tetapi ketika telah
terjadi perforasi angka ini akan meningkat mencapai 20-35% (Kothadia, et al., 2015).
KESIMPULAN

Apendisitis kronik merupakan penyakit peradangan pada apendiks vermiformis yang


ditandai dengan riwayat nyeri perut kanan bawah kontinu atau intermiten yang lebih dari dua
minggu, terbukti terjadi radang kronik baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Gejala
klinis yang ditemukan pada apendisitis kronik lebih ringan dari apendisitis akut. Seringkali
pasien datang dengan persentasi klinis apendisitis kronik eksaserbasi akut. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan pada apendisitis kronik yaitu pemeriksaan laboratorium dan
radiologi. Terapi efektif pada apendisitis kronik yaitu apendektomi baik dilakukan secara
terbuka maupun laparaskopi. Keluhan Apendisitis kronik umumnya hilang paska
dilakukannya apendektomi.
DAFTAR PUSTAKA

Balthazar EJ, Megibow AJ, Siegel SE, et al: Appendicitis: Prospective evaluation with
high-resolution CT. Radiology 180:21–24,
1991.

Benjaminov O, Atri M, Hamilton P, et al: Frequency of visualization and thickness of


normal appendix at nonenhanced helical CT. Radiology 225:400–406, 2002.

George A,Sarosi JR (2016). Appendicitis. Dalam: Feldman M, Friedman LS, Brandt LJ


(eds). Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease. 10th Ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders, pp: 2112-2120.

Jan YT, Yang FS, Huang JK: Visualization rate and pattern of normal appendix on
multidetector computed tomography by using multiplanar reformation display. J Comput
Assist Tomogr 29:446–451, 2005.

Kothadia, J. P., Katz, S., & Ginzburg, L. (2015). Chronic appendicitis: uncommon
cause of chronic abdominal pain. Therapeutic advances in gastroenterology, 8(3), 160–162.
https://doi.org/10.1177/1756283X15576438

Richmod, B. (2017). The Appendix. Dalam : Townsend, C.M., Beauchamp, R. D.,


Evers, M. D., Mattox, K.L (eds). Sabiston Textbook of Surgery The Biological Basis of
Modern Surgical Practice. 20th Ed. Philadephia: Elsevier Saunders, pp: 1296-1309

Russell RCG, Williams NS, Bulstrode CJK. (2018). Editors. Bailey and Love’s Short
Practice of Surgery. 27th Ed. London: Arnold.
Shah S., Gaffney R., Dykes T., Goldstein J. (2013) Chronic appendicitis: an often
forgotten cause of recurrent abdominal pain. Am J Med 126: e7–e8.

Skandalakis, J. L. (2021). Surgical Anatomy and Technique. A Pocket Manual 5th Ed.
Cham: Springer Nature Switzerland AG

Tamburrini S, Brunetti A, Brown M, et al: CT appearance of the normal appendix in


adults. Eur Radiol 15:2096–2103, 2005.

Wenzke, D. R., Jacobs, J. E., Balthazar, E. J., Wehrli, N. (2015). Disease of Appendix.
Dalam: Gore, R. M., Levine, M. S (eds). Textbook of Gastrointestinal Radiology 4th Ed.
Philadephia: Elsevier Saunders, pp: 955-969
Vanwinter J., Beyer D. (2004) Chronic appendicitis diagnosed preoperatively as an
ovarian dermoid. J Pediatr Adolesc Gynecol 17: 403–406.

Anda mungkin juga menyukai