APENDISITIS KRONIK
Disusun Oleh:
Ferdinando Kendek
42200445
2.1 Definisi
Apendisitis kronik merupakan penyakit peradangan pada apendiks vermiformis
yang ditandai dengan riwayat nyeri perut kanan bawah kontinu atau intermiten yang
lebih dari dua minggu, terbukti terjadi radang kronik baik secara makroskopik maupun
mikroskopik, dan keluhan hilang pascaapendektomi. Kriteria makroskopik berupa
jaringan parut dan ulkus lama, sedangkan kriteria mikroskopik meliputi adanya fibrosis
menyeluruh pada dinding apendiks, sumbatan parsial atau total pada lumen apendiks,
dan infiltrasi sel inflamasi kronik (Syamsyuhidayat, 2016).
2.2 Anatomi
Apendiks adalah organ berbentuk tabung dengan panjang sekitar 10 cm (kisaran
3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Apendiks memiliki lumen yang sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi apendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan
ini mungkin menjadi penyebab rendahnya insiden apendisitis pada usia bayi. Ujung
apendiks dapat ditemukan di berbagai lokasi dengan yang paling umum adalah
retrocecal (tetapi intraperitoneal) pada sekitar 60% individu, pelvis 30%, dan
retroperitoneal 7% sampai 10%. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak
apendiks. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari nervus torakalis X. Oleh sebab itu nyeri viseral pada apendisitis bermula di
sekitar umbilikus. Vaskularisasi apendiks berasal dari arteri apendikularis arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks
akan mengalami gangren (Syamsyuhidayat, 2016).
2.3 Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari. Normalnya lendir ini
bermuara ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke dalam sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk apendiks yaitu imunoglobulin A
(IgA). Imunoglobulin A sangat efektif sebagai pertahanan terhadap infeksi di saluran
cerna termasuk apendiks. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe sedikit sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan seluruh tubuh (Syamsyuhidayat,
2016).
2.5 Etiopatogenesis
Apendisitis kronik diperkirakan terjadi akibat obstruksi parsial pada lumen
apendiks yang menetap. Penyebab obstruksi termasuk fekalit, lipatan apendiks,
hiperplasia limfoid dan tumor seperti karsinoid. Pada apendisitis kronik dapat
ditemukan infiltrat limfosit dan sel plasma, endarteritis, fibrosis, histiositik, sel raksasa
dan reaksi xanthogranulomatous. Fibrosis dapat terjadi sebagai bagian dari involusi
normal atau setelah episode inflamasi akut yang subklinis atau sembuh secara spontan.
pada apendisitis kronik eksaserbasi akut pada dasarnya adalah apendisitis akut dengan
infiltrasi polimorfonuklear neutrofil, eosinofilik atau histiositik pada dinding apendiks
dan eksudat fibrinopurulen pada serosa, seringkali dengan nekrosis atau infark apendiks
parsial (Richmond, 2017).
Obstruksi parsial lumen apendiks yang menetap dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intraluminal, iskemia, infeksi bakteri. Lumen apendiks yang
tersumbat parsial tidak memungkinkan drainase apendiks yang lancar, dan saat sekresi
mukosa berlanjut, terjadi peningkatan tekanan intraluminal. Pada keadaan kronik, akan
terjadi fibrosis karena tekanan intraluminal masih relatif dikompensasi karena sumbatan
hanya parsial. Namun, bila obstruksi lumen berlanjut akibat beberapa kondisi seperti
sumbatan oleh fekalit dan infeksi sekunder akan menyebabkan tekanan yang intralumen
yang meningkat. Kondisi ini menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis kronik
eksaserbasi akut yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus
berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena,
edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Apabila aliran arteri
terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium
ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah,
akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum
dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa
lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan
apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah
dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya
perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah (George & Sarosi, 2016)
b. Barium Enema
Sebelum tahun 1980-an, barium enema adalah tes radiologi utama yang
digunakan dalam diagnosis apendisitis. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan cepat dan aman dengan teknik single contrast. Studi telah melaporkan
akurasi diagnostik setinggi 91,5%. Oleh karena apendisitis terjadi akibat
obstruksi luminal, pengisian lengkap apendiks normal secara efektif
menyingkirkan diagnosis apendisitis. Kontras yang tidak mengisi apendiks
atau tidak lengkap diakibatkan adanya efek massa seperti fibrosis, abses, atau
phlegmon pada apendiks yang menyebabkan deformitas pada ileosekal.
Pemeriksaan imaging dengan barium enema juga dapat mendeteksi patologi
lain pada usus kecil dan usus besar seperti penyakit crohn, divertikulitis ileum,
dan divertikulitis sekal yang secara manifestasi klinis mirip dengan apendisitis.
Namun demikian, kelemahan pemeriksaan imagng dengan barium enema yaitu
apendiks yang tidak terisi dapat dijumpai pada 15% sampai 20% pasien
normal dan mungkin sulit untuk membedakan apendiks yang terisi sebagian
dari apendiks yang terisi penuh seperti pada apendisitis kronik. Selain itu
pemeriksaan imaging dengan barium enema tidak dapat mengevaluasi sifat
phlegmon dan abses pada apendiks (Wenzke et al., 2015).
Apendisitis perforata dengan abses. Gambar koronal dari enhanced CT scan ini
menunjukkan peradangan kuadran kanan bawah yang luas dan abses berisi cairan
(panah) serta sekum yang menebal dan meradang (kepala panah) (Wenzke et al.,
2015).
2.8 Tatalaksana
Bila diagnosis klinis telah mengarah ke apendisitis kronik, tindakan paling tepat
dan satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi, Pada apendisitis tanpa
komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis
gangrenosan atau apendisits perforata. Penundaan tindakan bedah sambil memberikan
antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Apendektomi dapat dilakukan
secara terbuka atau laparaskopi (Syamsyuhidayat, 2016).
A B
Gambar 8. A: Insisi gridiron untuk apendisitis, tegak lurus terhadap garis yang
menghubungkan spina iliaka anterior superior dan umbilikus, berpusat pada titik
McBurney B: insisi melintang (Lanz) untuk apendisitis pada titik McBurney atau 2 cm di
bawah umbilikus dan berpusat pada garis mid-klavikula-mid-inguinal .(Russel et al.,
2018)
2.9 Prognosis
Prognosis apendisitis kronik baik apabila diagnosis ditegakkan lebih awal dan
dilakukan tatalaksana konservatif dan bedah. Namun, apendisitis akan menjadi fatal
apabila terjadi ruptur dan perforasi yang menyebabkan prognosis menjadi sangat buruk.
Pasien yang mengalami apendisitis angka mortalitasnya hanya 1,5%, tetapi ketika telah
terjadi perforasi angka ini akan meningkat mencapai 20-35% (Kothadia, et al., 2015).
KESIMPULAN
Balthazar EJ, Megibow AJ, Siegel SE, et al: Appendicitis: Prospective evaluation with
high-resolution CT. Radiology 180:21–24,
1991.
Jan YT, Yang FS, Huang JK: Visualization rate and pattern of normal appendix on
multidetector computed tomography by using multiplanar reformation display. J Comput
Assist Tomogr 29:446–451, 2005.
Kothadia, J. P., Katz, S., & Ginzburg, L. (2015). Chronic appendicitis: uncommon
cause of chronic abdominal pain. Therapeutic advances in gastroenterology, 8(3), 160–162.
https://doi.org/10.1177/1756283X15576438
Russell RCG, Williams NS, Bulstrode CJK. (2018). Editors. Bailey and Love’s Short
Practice of Surgery. 27th Ed. London: Arnold.
Shah S., Gaffney R., Dykes T., Goldstein J. (2013) Chronic appendicitis: an often
forgotten cause of recurrent abdominal pain. Am J Med 126: e7–e8.
Skandalakis, J. L. (2021). Surgical Anatomy and Technique. A Pocket Manual 5th Ed.
Cham: Springer Nature Switzerland AG
Wenzke, D. R., Jacobs, J. E., Balthazar, E. J., Wehrli, N. (2015). Disease of Appendix.
Dalam: Gore, R. M., Levine, M. S (eds). Textbook of Gastrointestinal Radiology 4th Ed.
Philadephia: Elsevier Saunders, pp: 955-969
Vanwinter J., Beyer D. (2004) Chronic appendicitis diagnosed preoperatively as an
ovarian dermoid. J Pediatr Adolesc Gynecol 17: 403–406.