Bagi seorang wanita Jawa, kebaya bukan hanya sebagai sebatas pakaian. Lebih dari itu kebaya juga
menyimpan sebuah filosofi individu. Sebuah filosofi pakaian adat Jawayang mengandung nilai-nilai
kehidupan. Keberadaan kebaya di Indonesia bukan hanya sebagai salah satu jenis pakaian. Kebaya
memiliki makna dan fungsi lebih dari itu. Bentuknya yang sederhana bisa dikatakan sebagai wujud
kesederhaan dari masyarakat Indonesia. Nilai filosofi dari kebaya adalah berdasarkan, kehalusan, dan
tindak wanita yang harus serba lembut. Kebaya selalu identik dipasangkan dengan jarik atau kain yang
membebat tubuh. Kain yang membebat tubuh tersebut secara langsung akan membuat laporan tentang
wanita yang mengalami kesulitan untuk bergerak dengan cepat. Itulah mengapa wanita Jawa selalu
identik dengan pribadi yang lemah gemulai.
Berbagai ragam busana adat dengan perlengkapan-perlengkapannya ternyata tidak hanya menunjukkan
status kebangsawanan, kemegahan dan kemewahan tetapi juga mengandung makna simbolis. Misalnya
sangsangan sungsun merupakan perlambang tiga tingkatan kehidupan manusia lahir, menikah dan mati
yang menerapkan konsepsi Jawa tentang alam baka, alam antara dan alam fana. Binggel kana (gelang)
berbentuk melingkar tanpa ujung pangkal sentuh lambang keabadiaan, Bentuk gunungan (meru) pada
pethat (sisir) melambangkan keagungan Tuhan dan harapan terciptanya kebahagiaan. Hiasan sanggul
berupa ceplok dengan jenehan terdiri dari tiga warna merah, hijau dan kuning (biasa dikenakan untuk
pengantin putri) merupakan lambang Trimurti, tiga dewa pemberi kehidupan.
Adanya interaksi dan komunikasi dengan orang luar (terutama Belanda) membawa pengaruh pula
terhadap perkembangan busana. Misalnya pemakaian topi, tempat keris, kaos kaki dalam busana
kaprajuritan. Akseroris yang lain misal rante karset, jam saku, timang (kretep), rimong pada busana
pesiar, bulu burung, kipas, bros, dan lain-lain.
Penggunaan busana adat tradisional Yogyakarta yang memiliki latar belakang budaya ketimuran, maka
seseorang yang dilihatnya tampak perilaku yang terikat oleh budaya yang melingkupi busana
itu.Setidaknya menunjukkan sikap yang teratur dan terkendali kebebasannya, meskipun tetap
menunjukkan keanggunannya. Menurut KRT Pujaningrat yang dimaksud dengan pakaian adat tradisional
Yogyakarta menunjukkan bentuk-bentuk pakaian yang digunakan secara turun temurun oleh
masyarakat Yogyakarta. Artinya pakaian itu sudah dipergunakan untuk kurun waktu tertentu di wilayah
Yogyakarta.
Pakaian tradisional yang dirancang untuk anak-anak terdiri dari busana kencongan untuk anak laki-laki,
dan sabukwala untuk anak perempuan. Pakaian tradisional untuk anak laki-laki model kencongan terdiri
dari kain batik yang dikenakan dengan baju surjan, lonthong tritik, ikat pinggang berupa kamus
songketan dengan katok yang terbuat dari suwasa (emas berkadar rendah). Sedangkan busana
seharihari bagi remaja pria dan dewasa terdiri dari baju surjan, kain batik dengan wiru di tengah,
lonthong tritik, kamus songketan, timang, serta dhestar sebagai tutup kepala. Pakaian tradisional yang
dikenakan untuk anak perempuan sabukwala padintenan. Rangkaian busana terdiri dari batik nyamping,
baju katun, ikat pinggang kamus songketan bermotif flora atau fauna, memakai lonthong tritik, serta
cathok dari perak berbentuk kupu-kupu, burung garuda, atau merak. Perhiasan yang dikenakan sebagai
pelengkap terdiri dari subang, kalung emas dengan liontin berbentuk mata uang (dinar), gelang
berbentuk ular (gligen) atau model sigar penjalin. Bagi yang Wawasan panjang disanggul dengan model
konde. Kainnya bermotif parang, ceplok, atau gringsing.
Sejalan dengan perkembangan zaman, pakaian resmi semacam itu lama kelamaan tidak lagi dikenakan
secara lengkap. Misalnya pada masa penjajahan Jepang (1942 – 1945), yang mana pada waktu itu
ekonomi negara kita dalam keadaan kacau, kemudian disusul dengan masa kemerdekaan, pakaian atau
busana menurut kepangkatan tidak begitu diperhatikan lagi, dan yang pada gilirannya jarang dijumpai
lagi. Namun demikian, pakaian adat tradisional kraton Yogyakarta yang sempat dikenal di kalangan
masyarakat luas banyak dikenakan oleh golongan masyarakat biasa. Pakaian tersebut dikenal sebagai
pakaian adat tradisional yang resmi dan khas Yogyakarta. Dalam perkembangan selanjutnya, pakaian ini
diterima di kalangan masyarakat Jawa yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai miliknya
sendiri dan pemberi identitas.
Pakaian adat tradisional Kraton Yogyakarta yang sudah jarang dijumpai lagi akhir-akhir ini, pada saat-
saat tertentu akan muncul kembali dalam suatu upacara adat yang meriah dan menarik perhatian
masyarakat umum. Pakaian khusus itu akan muncul secara menarik dan berwibawa. Demikianlah secara
keseluruhan pakaian adat itu tidak pernah musnah dilanda kemajuan zaman, tetapi tetap terpelihara
dengan baik dan selalu dimunculkan pada saat-saat penting.
Filosofi Kebaya
Bagi seorang wanita Jawa, kebaya bukan hanya sebagai sebatas pakaian. Lebihdari itu kebaya juga
menyimpan sebuah filosofi terpisah. Sebuah filosofi yang mengandung nilai-nilai kehidupan. Keberadaan
kebaya di Indonesia bukan hanya sebagai menjadi shalat satu jenis pakaian. Kebaya memiliki makna dan
fungsi lebih dariitu. Bentuknya yang sederhana bisa dikatakan sebagai wujud kesederhaan dari
masyarakat Indonesia. Nilai filosofi dari kebaya adalah dalam, kehalusan, dan tindak tanduk wanita yang
harus serba lembut. Kebaya selalu identik dipasang kandengan jarik atau kain yang membebat tubuh.
Kain yang membebat tubuh tersebut secara langsung akan membuat orang wanita yang pengerjaannya
kesulitan untuk bergerak dengan cepat. Itulah tahun mengapa wanita Jawa selalu identik dengan pribadi
yang lemah gemulai. Menggenakan kebaya akan membuat wanita yang pengerjaannya berubah
menjadiseorang wanita yang anggun dan mempunyai kepribadian. Potongan kebaya yang mengikuti
bentuk tubuh mau tidak mau akan membuat wanita tersebut harus bisa menyesuaikan dan keamanan
diri. Setagen yang berfungsi sebagai ikat pinggang, bentuknya tak ubah seperti kain panjang yang
berfungsi sebagai ikat pinggang. Namun justru dari bentuknya yang panjang hebat nilai-nilai filosofi
luhur ditanamkan, merupakan simbol agar bersabar / jadilah manusia yang sabar, erat perubahannya
dengan peribahasa jawa “Dowo ususe ” atau panjang ususnya yang berarti sabar.
Adalah sanggul yang berasal dari daerah Solo Jawa Tengah. Pada awalnya masyarakat remaja dan
dewasa putri yang memiliki rambut panjang di daerah Solo, kapan akan melakukan suatu kegiatan
menggelung rambutnya sangat rupa sehingga membentuk suatu konde. Sanggul ini termasuk sanggul
yang sering dipakai acara resmi di Indonesia. Ukel konde ini merupakan sanggul tradisional yang tetap
digemari sampai sekarang.
Adanya perubahan yang terjadi pada kebaya tidak terlepas dari perubahan jaman yang berkaitan
dengan mode, dan beberapa hal lain yang berdampak pada pemakaian baju tradisional ini, seperti
masalah sosial, budaya, politik, dan agama yang marak di tengah masyarakat. Jika dahulu pemakaian
kebaya dilengkapi dengan segala sesuatu mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki yang masing-masing
mempunyai makna dan filosofinya sendiri, maka sekarang kebaya tetap dipakai dengan cara yang
berbeda. Beberapa kelengkapan digantikan hal lain yang mungkin bermakna tetapi bukan dari sudut
budaya Jawa. Perubahan inilah yang menarik untuk diteliti mengingat kebaya merupakan salah satu
peninggalan nenek moyang yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia dan harus tetap dilestarikan.
Berbicara tentang baju Adat Jawa Barat itu tidak terlepas dari aspek sejarahnya. Zaman dahulu,
berdasarkan kasta atau sastra sosial masyarakat Sunda teradapat perberdaan busana atau pakain adat
daerah ini. Dibawah ini adalah baju adat Sunda yang dibedakan berdasarkan 3 kelompok yaitu untuk
kalangan biasa atau kelas bawah, menengah dan kelas atas (bangsawan). Namun untuk zaman sekarang
ini, pengelompokan pakaian adat Sunda berdasar pada strata sosial maupun status di masyarakat
tersebut sudah tidak relevan.
Perwujudan dan penjelasan tentang pakaian Sunda dalam 3 jenis kelompok strata sosial tersebut.
Rakyat biasa (jelata), menengah dan menak atau bangsawan. Lengkap dengan nama-nama pakaian adat
Sunda yang berkaitan dan keunikan pakaian adat jawa barat.
Pengelompokan baju adat Jawa Barat untuk orang kelas biasa dan bawah. Pakaian untuk kelas biasa
terlihat sederhana dan terkesan usang. Kaum kelas bawah biasa dikenal kaum petani di kalangan
masyarakat Sunda. Busana yang digunakan masyarakat bawah ini sangat usang dan begitu sederhana.
Untuk laki-laki biasanya menggunakan celana berukuran besar atau komprang yang biasa disebut
dengan pangsi, sedangkan untuk atasannya dinamakan baju salontréng.
Sementara itu penampilan tersebut disempurnakan dengan sarung yang digunakan sebagai selempang.
Penggunaan sarung ini menjadi ciri khas dari busana adat Sunda untuk kalangan bawah. Tak hanya itu,
masyarakat bawah juga menggunakan alas kaki terbuat dari kayu yang disebut dengan sandal tarumpah.
Aksesori lain yang biasa digunakan oleh kaum pria adalah sabuk, ikat kepala (logen) dengan model
Barambang Semplak atau Hanjuang Nangtung.
Sedangkan untuk para perempuan biasanya menggunkan kain batik yang dikenal dengan nama sarung
kebat atau sinjang bundel sebagai bawahan. Ikat pinggang yang digunakan disebut sebagai beubeur
dilengkapi dengan kamisol dan kebaya. Kedua motif ini dibalut dengan batik yang anggun dan
menggunakan alas kaki berupa sandal keteplek.
Berbeda dengan pakaian untuk rakyat jelata, pakaian adat untuk kelas menengah terlihat lebih rapi dan
berwibawa. Busana tersebut dikenakan oleh kaum menengah yang berprofesi sebagai pedagang,
pengusaha atau saudagar. Bagi untuk laki-laki menggunakan pakaian berwarna putih sejenis jas yang
disebut dengan baju bedahan. Sebagai bawahan menggunakan kain kebat yang disarungkan, tak lupa
sabuk dan ikat kepala yang disebut bengker. Mereka juga menggunakan arloji dengan rantai berwarna
keemasan sebagai aksesori yang digantung pada kantong pakaian.
Sementara bagi para perempuan yang menggunakan atasan pakaian kebaya dengan berbagai corak dan
warna yang dipadu-padankan dengan sanggul di bagian kepala dan kain kebat sebagai rok bawahan. Tak
ketinggalan mereka juga menggunakan ikat pinggang dan selendang berwarna. Sebagai alas kaki
menggunakan sandal kelom geulis dan beberapa perhiasan untuk tambahan aksesori.
Para bangsawan menggunakan busana yang terlihat lebih mewah dibandingkan dengan strata sosial
lainnya. Baju adat untuk kaum bangsawan ini disebut sebagai Menak. Para laki-laki menggunakan jas
beludru hitam yang terbuat dari benang emas tepat pada bagian ujung lengan. Sebagai bawahan
menggunakan celana panjang dengan motif serupa dan sabuk emas.
Tutup kepala disebut dengan bendo dan menggunakan sandal selop sebagai alas kaki. Sementara untuk
wanitanya menggunakan kebaya yang berbahan beludru hitam yang disulam dengan tambahan manik-
manik. Sebagai bawahan menggunakan kain kebat dengan motif rereng. Aksesori tambahan yang biasa
digunakan untuk perempuan adalah sanggul rambut, perhiasan, dan sandal selop beludru hitam.
Seiring dengan perkembangan zaman, kini ragam busana tersebut dirasa kurang relevan, sehingga
banyak kalangan yang kini mengenal nama beskap sebagai busana resmi adat Sunda. Pakaian ini bisa
digunakan oleh semua kalangan. Beskap sendiri merupakan pakaian yang biasa digunakan oleh para laki-
laki. Beskap memiliki tekstur tebal dengan kerah baju yang tidak memiliki lipatan. Warnanya sendiri juga
sangat beragam, namun biasanya berwarna gelap dan polos. Beskap sendiri hampir selalu dipadukan
dengan jarik sebagai bawahan yang diikatkan untuk menutupi kaki. Jika diamati lebih teliti, potongan
beskap pada bagian depan. Hal ini bertujuan untuk pemakaian aksesoris misalnya saja keris.
Sedangkan untuk para mojang atau perempuan juga memiliki pakaian yang khas saat acara resmi. Dalam
beberapa kesempatan selalu terlihat para perempuan yang menggunakan baju adat berupa kebaya
dengan paduan warna polos. Untuk atasannya menggunakan kain, tak lupa juga selop sebagai alas kaki
yang tak terkalahkan dengan warna kebaya. Tampilan ini dilengkapi dengan ikat pinggang (beubeur) dan
juga selendang atau kerembong. Busana yang berbeda juga digunakan oleh para jajaka (pemuda).
Dimana mereka menggunakan atasan berupa beskap warna hitam yang dipadukan dengan celana
panjang yang disesuaikan dengan warna baju. Sebagai penutup kepala menggunakan penutup sejenis
peci yang disebut dengan bendo. Aksesoris yang tidak boleh ketinggalan adalah arloji emas yang berada
pada saku.
Kini busana pada acara resmi inilah yang lebih sering digunakan untuk mewakili pakaian adat Jawa
Barat. Pasalnya, busana ini bisa termasuk dalam kelompok baju adat Sunda modern atau baju adat Jawa
Barat modern dan gaya lebih mudah digunakan untuk mewakili berbagai acara kedaerahan.
Sedangkan sanggul ciwidey adalah sanggul yang biasa dipakai oleh masyarakat Sunda. Nama ciwidey
adalah nama sebuah kota disebelah selatan kota Bandung. Pada masa kejayaan kerajaan Sumedang,
bentuk sanggul ini dinamakan sanggul Pasundan/ sanggul kesundaan/ sanggul kebesaran yang dipakai
oleh kaum bangsawan sampai rakyat biasa. Hingga sekarang sanggul ini tetap dipakai oleh berbagai
kalangan hanya saja lebih dikenal dengan sanggul ciwidey. Dilihat dari bentuknya, masyarakat sunda
mengidentikkan dengan huruf arab, yaitu huruf alif dan nun atau biasa dikatakan alif pakait sareng nun.
Penggunaan sanggul ini diletak tepat ditengah kepala bagian belakang, dan bagian depan sanggul
sampai batas tumbuh rambut/ hairline bagian bawah. Penataan bagian depan ada sunggaran bentuk
bulat atau biasa disebut jabing. Dan menggunakan perhiasan berupa cucuk gelang, dari emas atau perak
untuk kaum bangsawan dan terbuat dari tanduk biasa digunakan oleh masyarakat biasa.
Jawa Timur juga punya punya baju adat untuk pengantin yang diberi istilah pakaian mantenan. Pakaian
yang akan digunakan kedua mempelai saat proses pernikahan yang menggunakan tata cara dalam
budaya adat Jawa Timur yang dulunya model pakaian ini digunakan oleh para raja Jawa zaman kuno.
Menjadi suatu kebanggaan karena hingga saat ini pakaian mantenan masih sering digunakan ketika
melangsungkan pernikahan.
Pengantin wanita akan menggunakan kebaya dari kain bludru hitam yang didominasi motif kain kawat
emas, serta menggunakan kemben pada bagian dalam. Dan untuk pengantin pria mengenakan beskap
berwarna hitam yang potongannya berbeda pada bagian belakang dan depan. Untuk potongan bagian
depan akan lebih panjang dari bagian belakang. Uniknya sebagai tambahan dari pakaian mantenan di
bagian belakang terdapat kain batik sebagai ekor. Untuk pemanis pengantin pria akan mengenakan peci
hitam dengan aksen emas. Sebagai aksesoris tambahan lainnya yaitu kain selempang, arloji, tongkat dan
bunga melati. Sedangkan pada wanita, ditambahkan sanggul dan bunga melati. Aksesori ini siap
membuat penampilan mempelai semakin memesona.
Jenis busana tradisional kaum perempuan Betawi yang terdiri atas kebaya dan kain. Busana ini
digunakan untuk keperluan resmi atau bepergian. Dahulu hanya bisa dikenakan oleh para nyai, gundik
tuan Blande yang banyak duit, karena harga kebaya ini memang selangit pada jamannya. Kemudian
datang orang Tionghoa, yang juga banyak duit. Para perempuannya yang adaptif dengan adat setempat
langsung meniru dandanan para nyai itu. Sebegitu banyak perempuan Cina yang mengenakan jenis
kebaya bergengsi ini hingga penduduk Betawi jelata menyebut kebaya ini sebagai sebagai Kebaya Encim.
Oleh Persatuan Wanita Betawi, nama ini kemudian diganti dengan 'kebaya kerancang', kerancang
berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti 'berlubang.'
Budaya Cina sangat mewarnai kebudayaan Betawi, salah satunya terlihat pada desain kebaya yang
dikenakan perempuan Betawi. Namanya Kebaya Encim yang bermotifkan bunga di bagian depan dan di
sisi lengannya. Kebaya ini memanjang sampai pinggul dan umumnya berwarna cerah untuk
menggambarkan keceriaan pribadi perempuan Betawi. Kebaya Encim dipadukan dengan sarung batik
untuk bagian bawah. Motifnya beragam, namun kebanyakan adalah pucuk rebung. Warna sarungnya
cerah dipadankan dengan kebaya. Selain itu, ada juga kutang nenek untuk pakaian dalam, selendang
polos dan selop beludru untuk alas kaki. Untuk tata rias kepala, rambut disanggul dengan model buatan
atau konde cepol tanpa sasakan dengan anak rambut dibiarkan terurai.
Kebaya encim atau kerancang juga disertai dengan pemakain aksesoris di bagian kepala berupa
kerudung polos tanpa motif. Uniknya, warna kerudung polos yang dipilih tidaklah senada dengan
kebayanya. Namun, hal tersebut justru yang menjadikannya berciri khas dan unik.
Sanggul yang di pakai oleh busana adat kebaya encim/kerancang adalah konde cepol yang sangat
sederhana. Kata cepol sendiri berasal dari bahasa asli Betawi yang berarti tinju. Karenanya, konde atau
sanggul cepol ini ukurannya sebesar kepalan tinju orang dewasa dengan posisi, agak tinggi. Di sini,
sanggul yang diterapkan adalah sanggul modifikasi berbentuk kerucut yang juga berfungsi sebagai
tempat untuk menyematkan beragam aksesori atau perhiasan rambut unik tersebut.
Saat ini semakin berkembang trend model dan gaya rambut yang populer dengan melahirkan
bermacam-macam sanggul. Salah satunya adalah sanggul cepol, model dan gaya rambut ini yang
menjadi andalan untuk tetap tampil mempesona, saat ini sanggul cepol dirancang dengan modifikasi
trend modern lebih dinamis, praktis dan gaya.