Anda di halaman 1dari 8

JURNAL INSPIRASI

https://doi.org/10.35880/inspirasi.v11i1.140

Analisis Yuridis Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Kejaksaan

Judicial Analysis of Corruption Crime Investigation by the Attorney


General's Office

Isye Nuriyah Agindawati1


Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Jawa Barat

Eradication of corruption crimes is associated with the trend of corruption crimes in Diterima, 13 November 2020
Indonesia is still in a situation of concern based on the meaning of the sound of Direvisi, 22 November 2020
Article 6 paragraph (1) letter b Prosecutors are given special authority to conduct Disetujui, 14 Desember 2020
investigations. prosecutors as investigators in special crimes, but only prosecutors
are authorized to conduct investigations. So clearly the authority of the prosecutor
as stipulated in article 6 paragraph (1) letter b KUHAP and the transition of HIR to Korupsi, kejaksaan,
KUHAP in article 284 paragraph (2). The function of the Prosecutor has been penyidikan, birokrasi,
determined in Article 1 number 1 of Law No. 16 of 2004 on the Prosecutor's Office pelayanan publik
of the Republic of Indonesia and the duties and functions of prosecutors as
investigators of corruption crimes have been in accordance with the provisions of
Article 284 paragraph (2) of KUHAP and Article 17 pp No. 27 of 1983, the
Prosecutor is still authorized to investigate special crimes, and in corruption crimes.
The eradication of corruption that became his podasi is by the consistent treatment
of Law No. 20 of 2001 on changes to Law No. 31 of 1999 on the Eradication of
Corruption Crimes.

Pemberantasan tindak pidana korupsi dikaitkan dengan kondisi tren kejahatan


tindak pidana korupsi di Indonesia masih dalam situasi memprihatinkan
Berdasarkan makna bunyi Pasal 6 ayat (1) huruf b Jaksa diberi wewenang khusus
untuk melakukan penyidikan. Jaksa atau penuntut umum sebagai penyidik dalam
tindak pidana khusus, namun hanya jaksa yang berwenang melakukan penyidikan.
Sehingga jelas kewenangan jaksa sebagaimana ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf b
KUHAP serta peralihan HIR menjadi KUHAP didalam pasal 284 ayat (2). fungsi Jaksa
telah ditentukan didalam Pasal 1 angka 1 UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia serta tugas dan fungsi jaksa sebagai penyidik tindak pidana
korupsi telah sesuai dengan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan Pasal 17 PP
No. 27 Tahun 1983, Jaksa masih berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana khusus, dan dalam tindak pidana korupsi. Pemberantasan korupsi yang
menjadi podasinya adalah dengan diperlakukannya secara konsisten Undang-
undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

PENDAHULUAN
Masalah korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas masalah, antara lain, masalah
moral/sikap mental, masalah pola hidup, budaya, dan lingkungan sosial, masalah
kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesenjangan sosial-ekonomi, serta masalah struktur/sistem
ekonomi, masalah sistem/budaya politik dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi di
bidang keuangan dan pelayanan publik (hartanti, 2005).
Pemberantasan tindak pidana korupsi dikaitkan dengan kondisi tren kejahatan tindak
pidana korupsi di Indonesia yang tetap meningkat dan masih menduduki peringkat kedua asia
dan keenam dunia. Munculnya kembali pemberitaan mengenai berbagai kasus korupsi di
media massa pusat maupun daerah, nampaknya berawal dari lemahnya sanksi hukuman yang
dijatuhkan oleh badan yudikatif terhadap para koruptor. Jika diamati sejak tahun 1957 telah

isyenuriyah18@gmail.com
© 2020
JURNAL INSPIRASI Vol. 11 No. 2, Desember 2020:205–212 206

dilakukan usaha membasmi koruptor dengan membuat peraturan yang kemudian diperbaiki
agar lebih sempurna. Tetapi hasilnya belum mencapai sasaran, bahkan ternyata korupsi
berlangsung terus (Hasbullah, 2015; Luthfie, 2011).
Pengaturan pidana dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 413-437 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat menjadi KUHP, selain itu ada juga peraturan lain
yang mengatur tentang tindak pidana korupsi diluar KUHP yaitu yang terdapat pada Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (untuk
selanjutnya disebut UU Tipikor). Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah di
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi (Nurdjana, 2010; gunawan, 1993), mulai dari
pembentukan dan pembaharuan undang-undang sampai dengan pembentukan
Badan/Tim/Komisi untuk penanggulangan tindak pidana korupsi, namun kenyataannya suara
sumbang masyarakat tetap bergaung dan sorotan terhadap pemerintah berlangsung dari
waktu ke waktu. Upaya pemerintah tersebut sepertinya tidak membuahkan hasil, justru
sebaliknya malah tetap saja hujatan demi hujatan dilayangkan kepada pemerintah khususnya
kepada penegak hukum, karena dipandang tidak mampu merespons tuntutan masyarakat.
Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dengan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002, tidak serta merta dapat melakukan penindakan terhadap
tindak pidana korupsi karena kewenangan tersebut ada pada penyidik dan penuntut umum
yang masing-masing diambil dari Kepolisian RI dan Kejaksaan RI.
Dalam berlakunya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan diatur
dalam pasal 30 ayat (1) huruf d menyebutkan : Tugas dan Kewenangan jaksa adalah melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.” Akan tetapi yang
jelas sampai saat ini masalah korupsi di Indonesia belum dapat diselesaikan secara tuntas,
namun berbagai harapan agar supaya bangsa Indonesia terbebas dari kasus korupsi dan tekad
baru disertai nilai baik para pejabat penegak hukum khususnya Jaksa akan berusaha
melakukan tugas wewenangnya menindak korupsi secara lebih tegas dan adil (Surachman dan
Hamzah, 1996).

TINJAUAN TEORITIS
Korupsi
Pengertian korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara. Hampir setiap hari diberitakan oleh
berbagai media masa mengenai praktikpraktik tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.
Nyaris setiap lapisan masyarakat telah terkontaminasi dengan korupsi. Baik dari sisi horizontal
maupun dari sisi vertikal, bisa dikatakan tidak ada yang tidak terlibat, atau setidaknya,
terserempet oleh perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi (Efendi, 2013;
harahap, 2012).

Penyidikan tindak pidana korupsi


Berkaitan dengan penyidikan tindak pidana korupsi, maka Undang-undang tindak
pidana korupsi yang berlaku sekarang ini yaitu UU Tipikor didalam Pasal 26 yang berbunyi:”
Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang.” Melihat rumusan Pasal 26 ini, maka yang dimaksud dengan ’berdasarkan hukum
acara pidana yang berlaku’ adalah KUHAP. Dengan penunjukan tersebut, ketentuan KUHAP
khususnya ketentuan dalam Bab XIV, Bab XV dan Bab XVI KUHAP berlaku dalam pengananan
JURNAL INSPIRASI Vol. 11 No. 2, Desember 2020:205–212 207

perkara tindak pidana korupsi baik dalam tahapan penyidikan, penuntutan maupun dalam
pemeriksaan di persidangan (Harmaen, 2013; barda, 2013; burhanudin 2013; prayudi, 2010).
Selain itu, didalam Pasal 26 UU Tipikor diperoleh konstruksi hukum khusus mengenai
penyidikan tindak pidana korupsi. Didalam UU Tipikor tidak mengatur secara khusus mengenai
penyidikan, tetapi dinyatakan bahwa ”…..penyidikan dilakukan berdasarkan pada KUHAP……”,
sehingga dengan demikian, ketentuan dalam KUHAP khususnya Pasal 6 ayat (1) KUHAP
mengikat dan berlaku bagi penyidikan tindak pidana korupsi.

METODE PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian maka metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian deskriptif (descriptive research) dan penelitian penjelasan (explanatory research)
dengan pendekatan kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A Kewenangan Jaksa Selaku Penyidik Yang Berwenang Didalam Kasus Tindak Pidana
Korupsi
Sebagai ilustrasi, menurut konstitusi kita, Indonesia adalah negara hukum. Hal ini
mengandung makna bahwa bukan saja tindakan-tindakan pemegang kekuasaan harus
didasarkan pada hukum, namun penguasa juga diwajibkan untuk merealisasikan fungsi hukum
di negara hukum.
Dari apa yang tersurat dan yang tersirat dalam pembukaan UUD 1945, fungsi primer
negara hukum adalah: Pertama, Perlindungan hukum mempunyai fungsi untuk melindungi
masyarakat dari ancaman bahaya dan tindakan-tindakan yang merugikan yang datang dari
sesamanya dan kelompok masyarakat, termasuk yang dilakukan pemegang kekuasaan dan
yang datang dari luar, yang ditujukan terhadap fisik, jiwa, kesehatan, nilai-nilai dan hakhak
asasinya. Kedua, Keadilan. Fungsi lain dari hukum adalah menjaga, melindungi dan
memberikan keadilan bagi seluruh rakyat. Secara negatif dapat dikatakan bahwa hukum yang
tidak adil adalah apabila hukum yang bersangkutan dipandang melanggar nilai-nilai dan hak-
hak yang kita percayai harus dijaga dan dilindungi bagi semua orang. Ketiga, Pembangunan.
Fungsi hukum yang ketiga adalah pembangunan, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini mengandung makna bahwa pembangunan di Indonesia
sepenuhnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di segala aspek kehidupan seperti
aspek ekonomi, sosial, politik, kultur dan spiritual.
Menyingungg masalah tindak pidana korupsi itu sendiri, Tindak pidana korupsi di Indonesia
saat ini menjadi kejahatan luar biasa (extra odinary crime), sehingga diperlukan penanganan
khusus dalam perkara tindak pidana khusus. Hal itu dikarenakan proses mencari bukti-bukti
dalam kasus perkara tindak pidana korupsi yang sangat sulit, karena pelaku dari tindak pidana
korupsi adalah orang-orang yang memiliki jabatan atau pengetahuan yang lebih (pintar)
sehingga pelaku paham cara-cara untuk menghilangkan alat-alat bukti.
Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undangundang untuk mencari serta mengumpulkan bukti,
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Penyidikan merupakan suatu tahap terpenting dalam kerangka
hukum acara pidana di Indonesia, karena dalam tahap ini penyidik berupaya mengungkapkan
fakta-fakta dan bukti-bukti atas terjadinya suatu tindak pidana serta menemukan tersangka
pelaku tindak pidana tersebut.
Sebelum dimulainya suatu proses penyidikan, terlebih dahulu telah dilakukan proses
penyelidikan oleh penyidikan pada suatu perkara tindak pidana yang terjadi. Dalam Pasal 1
angka (2 dan 5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (untuk
JURNAL INSPIRASI Vol. 11 No. 2, Desember 2020:205–212 208

selanjutnya disebut KUHAP) disebutkan pengertian tentng penyidikan dan penyelidikan. Dari
kedua rumusan pengertian hampir tidak ada perbedaan makna antara keduanya, hanya
bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan saling berkaitan dan isi mengisi guna
dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Keberhasilan penyidikan suatu tindak
pidana sangat mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut Umum pada tahap
pemeriksaan sidang pengadilan nantinya.
Dari ketentuan Pasal 6 ayat (1) KUHAP jo Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo Pasal 7 PP No. 27
Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, terdapat benang merah yang dapat ditarik,
meskipun KUHAP menyatakan dalam Pasal 6 ayat (1) (secara a contrario) bahwa Jaksa
bukanlah penyidik, tetapi KUHAP dalam Pasal 284 ayat (2) jo Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983
tentang Pelaksanaan KUHAP memberikan peluang bagi Jaksa melakukan penyidikan dengan
syarat “Jika ditunjuk langsung oleh Undang-undang yang secara khusus mengaturnya”.
Berkaitan dengan penyidikan tindak pidana korupsi, maka Undang-undang tindak
pidana korupsi yang berlaku sekarang ini yaitu UU Tipikor didalam Pasal 26 yang berbunyi:”
Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang.” Melihat rumusan Pasal 26 ini, maka yang dimaksud dengan ’berdasarkan hukum
acara pidana yang berlaku’ adalah KUHAP. Dengan penunjukan tersebut, ketentuan KUHAP
khususnya ketentuan dalam Bab XIV, Bab XV dan Bab XVI KUHAP berlaku dalam pengananan
perkara tindak pidana korupsi baik dalam tahapan penyidikan, penuntutan maupun dalam
pemeriksaan di persidangan.
Selain itu, didalam Pasal 26 UU Tipikor diperoleh konstruksi hukum khusus mengenai
penyidikan tindak pidana korupsi. Didalam UU Tipikor tidak mengatur secara khusus mengenai
penyidikan, tetapi dinyatakan bahwa ”…..penyidikan dilakukan berdasarkan pada KUHAP……”,
sehingga dengan demikian, ketentuan dalam KUHAP khususnya Pasal 6 ayat (1) KUHAP
mengikat dan berlaku bagi penyidikan tindak pidana korupsi.
Penunjukan Jaksa sebagai penyidik dalam tindak pidana khusus, penegasannya dapat
dilihat pada Pasal 6 ayat (1) hurub b KUHAP yang berbunyi: “Penyidik adalah pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang”. Dari makna bunyi Pasal 6
ayat (1) huruf b ini maka, Jaksa diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan. Namun meskipun demikian, Pasal 284 ayat (2) sebagai pasal
“ketentuan peralihan” dari periode HIR ke KUHAP masih menyisakan kewenangan penyidikan
kepada penuntut umum sepanjang mengenai tindak pidana tertentu, seperti tindak pidana
ekonomi dan korupsi. Khusus mengenai peraturan peralihan yang disebut dalam Pasal 284
ayat(2), sebab peraturan peralihan ini mempunyai kaitan agak khusus terhadap fungsi dan
wewenang jaksa sebagai penuntut umum. Karena peraturan peralihan ayat (2) melibatkan
jaksa atau penuntut umum sebagai penyidik dalam “tindak pidana khusus”, malah hanya jaksa
yang berwenang melakukan penyidikan. Sehingga jelas lah mengenai kewenangan jaksa
sebagaimana ketentuan peralihan HIR menjadi KUHAP didalam pasal 284 ayat (2) serta pasal 6
ayat (1) huruf b.

B Fungsi Jaksa Selaku Penyidik Yang Berwenang Didalam Kasus Tindak Pidana Korupsi
Terkait dengan fungsi Jaksa sendiri, pelaksanaanya telah ditentukan didalam Pasal 1 angka
1 UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa “Jaksa adalah
pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai
penyidik, penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004”. Kejaksaan
Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.
JURNAL INSPIRASI Vol. 11 No. 2, Desember 2020:205–212 209

Keputusan presiden Republik Indonesia No. 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi
Dan Tata Kerja Kejaksaan RI. Dalam Bab 1 pasal 2 mengatakan: Tugas Pokok Kejaksaan adalah
melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan dan tugas-tugas lain, berdasarkan
peraturan perundangundangan serta turut menyelenggarakan sebagian tugas umum
pemerintahan dan pembangunan di bidang hukum. Dalam Bab 1 pasal 3 mengatakan: untuk
melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, kejaksaan
menyelenggarakan fungsi:
a. Merumuskan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis.
b. Menyelenggarakan dan melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana atas milik
Negara yang menjadi tanggungjawabnya.
c. Melakukan kegiatan pelaksanaan hukum preventif maupun represif yang berintikan
keadilan dibidang pidana
Jaksa sebagai penuntut umum dalam perkara pidana harus mengetahui secara jelas semua
pekerjaan yang harus dilakukan penyidik dari permulaan hingga terakhir yang seluruhnya
harus dilakukan berdasarkan hukum. Jaksa akan mempertanggungjawabkan semua perlakuan
terhadap terdakwa itu mulai tersangka disidik, kemudian diperiksa perkaranya, lalu ditahan,
dan akhirnya apakah tuntutannya yang dilakukan oleh jaksa itu sah dan benar atau tidak
menurut hukum, sehingga benar-benar rasa keadilan masyarakat dipenuhi. Adapun
mekanisme Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi oleh Kejaksaan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Pendahuluan
Proses pemeriksaan pendahuluan ini berupa kegiatan yang rincinya merupakan
pemeriksaan persiapan, yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan
merupakan tindakan awal pemeriksaan perkara dan pembatasan lainnya dari tugas
penyidikan. Pasal 1 butir 2 KUHAP menentukan bahwa penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang
untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat terang
tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangka. Salah satu kewenangan jaksa
didalam pemeriksaan pendahuluan ini adalah memerintahkan dilaksanakannya
penahanan.
2. Penuntutan
Dalam hal penuntutan ini Jaksa melakukan atau membuat surat dakwaan. Surat
Dakwaan adalah surat yang dibuat atau disiapkan oleh Penuntut Umum yang
dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan yang memuat
nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan dimana perbuatan dilakukan
serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang
didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal
tertentu dari undang-undang tang tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan
titik tolak pemeriksaan terdakwa di Sidang Pengadilan untuk dibuktikan apakah benar
perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan dan apakah betul terdakwa adalah
pelakunya yang dapat dipertanggungjawabkan untuk perbuatan tersebut. Macam-
macam bentuk Surat Dakwaan adalah sebagai berikut: Dakwaan Tunggal, Dakwaan
Komulatif, Dakwaan Alternatif, Dakwaan Primer Subsider dan Dakwaan Kombinasi
atau Gabungan (Soetomo, 1990).
3. Pemeriksaan Akhir
a. Pembacaan Surat Dakwaan
Hakim mempersilahkan jaksa membaca surat dakwaan (requisitoir) dan setelah selesai
pembacaan tersebut hakim menyimpulkan secara sederhana dan menerangkan apa
yang pada pokoknya dituduhkan kepada terdakwa.
JURNAL INSPIRASI Vol. 11 No. 2, Desember 2020:205–212 210

b. Eksepsi (pasal 156 KUHAP)


Adalah hak terdakwa untuk mengajukan keberatan setelah mendengar isi surat
dakwaan.
c. Pemeriksaan Saksi dan/atau saksi Ahli
Pemeriksaan saksi atau saksi ahli bertujuan untuk meneliti apakah para saksi yang
dipanggil sudah hadir dipersidangan. Saksi diperiksa secara bergantian. Dalam
pemeriksaan terdapat dua saksi, yaitu saksi de charge dan saksi a de charge. Saksi de
charge yaitu saksi yang memberatkan. Saksi ini diajukan sejak awal oleh penuntut
umum. Adapun saksi a de charge yaitu saksi yang meringankan terdakwa. Saksi ini
diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya.
d. Keterangan terdakwa (Pasal 177-178 KUHAP)
Keterangan ini dalam rangka memeriksa terdakwa namun terdakwa tidak dibawah
sumpah.
e. Pembuktian
Meliputi barang bukti, yaitu barang yang dipergunakan terdakwa untuk melakukan
suatu tindak pidana atau hasil dari suatu tindak pidana. Barang ini disita oleh
penyelidik sebagai bukti dalam sidang pengadilan. Barang ini kemudian diberi nomor
sesuai dengan nomor perkaranya, disegel, dan hanya dapat dibuka oleh hakim pada
waktu sidang pengadilan. Ada lima 5 alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP
yaitu, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
f. Requisitoir (Pasal 187 huruf a KUHAP)
Apabila menurut pertimbangan majelis hakim pemeriksaan atas terdakwa dan para
saksi telah cukup, penuntut umum dipersilahkan menyampaikan tuntutan
g. Pledoi (Pasal 196 ayat 3 KUHAP)
Apabila penuntut umum telah membacakan tuntutannya, hakim ketua sidang
memberi kesempatan kepada terdakwa dan penasihat hukumnya untuk
menyampaikan pembelaannya (pledoi). Isi pledoi: pendahuluan, isi dakwaan, fakta-
fakta yang terungkap dalam persidangan, teori hukum, kesimpulan, permohonan, dan
penutup.
h. Replik dan Duplik (Pasal 182 ayat 1 KUHAP)
Jawaban atas Pledoi dari terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum.
i. Putusan Pengadilan
Kesimpulan yang biasanya diisi dengan hasil akhir atas musyawarah yang dilakukan
oleh Hakim terkait dengan jalannya persidangan.
Tugas dan fungsi jaksa sebagai penyidik tindak pidana korupsi telah sesuai dengan
ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983, Jaksa masih
berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus dalam hal ini tindak pidana
korupsi. Pemberantasan korupsi adalah dengan mengandalkan diperlakukannya secara
konsisten Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah saya sebutkan sebelumnya, maka penulis
menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Berdasarkan makna bunyi Pasal 6 ayat (1) huruf b ini maka, Jaksa diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Khusus mengenai
JURNAL INSPIRASI Vol. 11 No. 2, Desember 2020:205–212 211

peraturan peralihan yang disebut dalam Pasal 284 ayat(2), sebab peraturan
peralihan ini mempunyai kaitan agak khusus terhadap fungsi dan wewenang jaksa
sebagai penuntut umum. Karena peraturan peralihan ayat (2) melibatkan jaksa atau
penuntut umum sebagai penyidik dalam tindak pidana khusus, malah hanya jaksa
yang berwenang melakukan penyidikan. Sehingga jelas lah mengenai kewenangan
jaksa sebagaimana ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP serta peralihan HIR
menjadi KUHAP didalam pasal 284 ayat (2).
2. Terkait dengan fungsi Jaksa sendiri, pelaksanaanya telah ditentukan didalam Pasal 1
angka 1 UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia serta tugas
dan fungsi jaksa sebagai penyidik tindak pidana korupsi telah sesuai dengan
ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983, Jaksa
masih berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus dalam hal
ini tindak pidana korupsi. Pemberantasan korupsi adalah dengan mengandalkan
diperlakukannya secara konsisten Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah saya sebutkan sebelumnya, maka penulis
menyampaikan beberapa saran sebagai berikut
1. Dalam hal ini, kewenangan jaksa sebagaimana telah disebutkan diatas wajib serta
harus dilaksanakan sesuai dengan amanah dari KUHAP itu sendiri, perlu adanya
pengawasan khusus secara independen dalam pengawasan kewenangan jaksa
didalam penyidikan tindak pidana korupsi agar kewenangan tersebut dapat berjalan
sebagaimana mestinya.
2. Dalam hal ini khususnya bagi Kejaksaan harus sesuai dengan peranan Jaksa sebagai
penyidik sekaligus sebagai penuntut umum dalam tindak pidana korupsi, maka perlu
ditingkatkan koordinasi antara sesama penegak hukum, dalam proses penyidikan
tindak pidana korupsi harus dilakukan secara sungguh-sungguh guna mendapatkan
bukti-bukti yang kuat sehingga dapat dilimpahkan ke pengadilan dan dalam proses
penuntutan Jaksa menuntut terdakwa harus sesuai berdasarkan aturan undang-
undang yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA
A.Soetomo, Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan Dan Suplemen. Cetakan kedua,
Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1990.
Ahmad Harmaen, Kewenangan Jaksa Sebagai Penyidik Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut
Hukum Pidana Indonesia, Mataram: Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2013.
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013.
Burhanudin, Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Korporasi, Jurnal Cita Hukum Vol. 1 No.
1, 2013, halaman 75-84 diakses dari
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/citahukum/article/view/2981/2330 pada tanggal
21 Juli 2020
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Guse Prayudi, Tindak Pidana Korupsi, Dipandang Dalam Berbagai Aspek, Yogyakarta: Pustaka
Pena, 2010.
Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta: Kencana, 2015.
JURNAL INSPIRASI Vol. 11 No. 2, Desember 2020:205–212 212

IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana Dan Bahaya Laten Korupsi. Cetakan 1, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
Ilham Gunawan, Postur Korupsi Di Indonesia Tinjauan Yuridis, Sosiologis Budaya dan Politis.
Cetakan Akhir, Bandung: Angkasa, 1993.
Marwan Effendi, Korupsi dan Strategi Nasional; Pencegahan serta Pemberantasannya, Jakarta:
Referensi, 2013.
RM.Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya
Cetakan 1, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Salahudin Luthfie, Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, Program
PascaSarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Jakarta, 2011.
Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan
Penuntutan, edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Peruabahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Aturan Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana

Anda mungkin juga menyukai