Anda di halaman 1dari 48

RESUME USHUL FIQH

Disusun Oleh:

Tiya Maghfiroh Nasrudin (o41911433178)

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2021
I. Materi TM 1
b. Definisi dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh
Ushul fiqh terdiri dari 2 kata yaitu ushul dan fiqh. Ushul merupakan bentuk
jama’ dari kata ashl yang mengandung arti landasan sesuatu. Sementara secara
terminologis, kata ashl mempunyai beberapa pengertian, yaitu:
a) Al-Dalil yaitu landasan hukum
b) Al-Qa’idah yaitu dasar atau fondasi
c) Al-Rajih yaitu pendapat terkuat
d) Al-Far’u yaitu cabang
e) Al-Mustashab yaitu memberlakukan hukum yang ada seperti semula, selama tidak
ada dalil yang merubahnya.

Adapun kata al-fiqh secara etimologis bermakna pemahaman mendalam yang


membutuhkan pengerahan potensi akal. Menurut terminologis fikih adalah ilmu tentang
hukum syara’ yang praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

Maka dapat disimpulkan bahwa ushul fiqh berarti suatu disiplin ilmu yang
membahas tentang metode atau cara menggali hukum-hukum praktis yang bersumber
dari dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadists yang bersifat terperinci.

Adapun ruang lingkup disiplin ilmu ushul fiqh menurut Muhammad Abu Zahrah
adalah mengenai metodologi penetapan hukum-hukum fiqih. Fiqih dan ushul sama-
sama membahas dalil-dalil syar’i akan tetapi tinjauannya berbeda. Fiqih lebih kepada
hukum-hukum yang bersifat cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia,
sedangkan ushul fiqh lebih kepada metode penetapan hukum, kalisifikasi argumentasi
serta analisis terhadap situasi dan kondisi yang melatarbelakangi dalil-dalil tersebut.

c. Urgensi Ushul Fiqh


Mayoritas ulama klasik dan kontemporer berpendapat bahwa ushul fiqh
menduduki posisi yang sangat penting dalam ilmu-ilmu Syariah. Bahkan ilmu ushul
fiqh sering disebut dari induk ilmu Syariah. Imu ushul fiqh memberikan pemahaman
tentang metodologi istinbat (penetapan hukum islam) para ulama dalam merumuskan
dan menetapkan suatu masalah hukum islam. Karena itu ushul fiqh adalah metodologi
yurisprudensi islam, yaitu metodologi ilmu hukum islam yang menghasilkan produk-
produk hukum islam, menghasilkan fikih muamalah, fatwa-fatwa, dan regulasi.
Para ulama ekonomi Syariah juga harus berijtihad dalam memecahkan berbagai
macam permasalahan ekonomi, menjawab berbagai pertanyaan boleh tidaknya
berbagai transaksi bisnis modern, halal haramnya bentuk bisnis tertentu, memberikan
solusi pemikiran ekonomi, memikirkan akad-akad yang relevan bagi Lembaga
keuangan Syariah, memberika fatwa ekonomi Syariah. Maka untuk mengatasi semua
itu diharuskan untuk menguasai ilmu ushul fiqh secara mendalam.
d. Kedudukan Ushul Fiqh Dalam Ekonomi Syariah
Ushul fiqh mencangkup kajian tentang sumber-sumber hukum dan metodologi
pengembangan ekonomi Syariah. Para ekonom muslim beranggapan bahwa nilai-nilai
islam sudah mulai mewarnai penerapan ilmu ekonomi di era modern. Akan tetapi hal
ini diperlukan adanya elaborasi metodologi ekonom yang tepat. Kemudian metoodlogi
ini dikembangkan dalam ilmu ushul fiqh dan mengaitkannya dengan ilmu ekonomi
konvensional seperti halnya pada beberapa disiplin ilmu yang lain.
Penerapan ushul fiqh dalam metodologi ekonomi Islam dapat menggunakan
beberapa metode, seperti qiyas (analogi), istishan, sadd al-zaria'h, dan maslahah
mursalah atau istishlah. Walaupun ushuliy-yun mempunyai beragam pandangan dalam
menyikapinya. Misalnya, Mazhab Syafi'iyah menjadikan qiyas dijadikan sebagai
sumber hukum Islam yang keempat. Mazhab Hambaliyah mempunyai pendapat lain.
Mereka mengatakan bahwa menetapkan hukum berdasarkan Hadis mursal itu lebih
baik daripada menggunakan qiyas. Adapun kelompok yang menjadikan qiyas sebagai
dasar penetapan hukum Islam adalah bahwa salah satu ciri ajaran Islam adalah
menghilangkan kesukaran (daf'u al-harj). Jika qiyas tidak dianggap sebagai salah satu
landasan penetapan hukum, maka berlakunya hukum Islam dalam wilayah sangat
terbatas dan menyebabkan kesulitan bagi pemeluknya.
Qiyas dalam literatur ushul fiqh dibagi menjadi dua macam, yaitu qiyas jali dan
qiyas khafi. Jika qiyas jali tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang ada, maka
penyelesaiannya dapat menggunakan qiyas khafi. Tujuannya adalah untuk memberi
kemudahan kepada umat Islam dan menegakkan kemaslahatan dan keadilan.
Dengan demikian, kedudukan ushul filth dalam ekonomi syariah telah
menawarkan seperangkat epistemologi dalam memberikan inovasi dalam berijtihad,
khususnya dalam menawarkan produk-produk akad yang berbasis syariah. Ushul filth
sebagai pijakan epistemologi ijtihad hukum ekonomi syariah menempati posisi yang
sangat signifikan dalam merespons tantangan globalisasi dan pengembangan keilmuan
yang berbasis syariah.
II. Materi TM 2

Sumber dan Dalil Hukum Ekonomi Islam 1-2

A. Pengertian Al Qur’an

Secara bahasa diambil dari kata: ‫ وقرانا‬-‫ قراة‬-‫ یقرا‬- ‫ قر ا‬yang berarti sesuatu yang
dibaca. Arti ini mempunyai makna anjuran kepada umat Islam untuk membaca Al
Qur’an. Al Qur’an juga bentuk mashdar dari ‫ القراة‬yang berarti menghimpun dan
mengumpulkan. Dikatakan demikian sebab seolah-olah Al Qur’an menghimpun
beberapa huruf, kata, dan kalimat secara tertib sehingga tersusun rapi dan benar.
Oleh karena itu Al Qur’an harus dibaca dengan benar sesuai sesuai dengan
makhraj dan sifat-sifat hurufnya, juga dipahami, diamalkan dalam kehidupan sehari-
hari dengan tujuan apa yang dialami masyarakat untuk menghidupkan Al Qur’an baik
secara teks, lisan ataupun budaya.
Al Qur’an menurut istilah adalah firman Allah SWT. Yang disampaikan oleh
Malaikat Jibril dengan redaksi langsung dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad
SAW, dan yang diterima oleh umat Islam dari generasi ke generasi tanpa ada
perubahan.

B. Fungsi Al Qur’an

Al Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang memiliki banyak manfaat
bagi umat manusia. Al Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh manusia
melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai Rosul yang dipercaya
menerima mukjizat Al Qur’an, Nabi Muhammad SAW menjadi penyampai,
pengamal, serta penafsir pertama dalam Alquran. Fungsi Alquran antara lain:
1. Al-Huda (petunjuk). Di dalam Al Qur’an ada tiga posisi Al Qur’an yang fungsinya
sebagai petunjuk. Al Qur’an menjadi petunjuk bagi manusia secara umum, petunjuk
bagi orang-orang yang bertakwa, dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Jadi
Al Qur’an tidak hanya menjadi petunjuk bagi umat Islam saja tapi bagi manusia
secara umum. Kandungan Al Qur’an memang ada yang bersifat universal seperti
yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan itu bisa menjadi petunjuk bagi semua
orang tidak hanya orang yang beriman Islam dan bertakwa saja.
2. Asy-Syifa. Di dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Al Qur’an merupakan obat bagi
penyakit yang ada di dalam dada manusia. Penyakit dalam tubuh manusia memang
tak hanya berupa penyakit fisik saja tapi bisa juga penyakit hati Perasaan manusia
tidak selalu tenang, kadang merasa marah, iri, dengki, cemas, dan lain
lain.Seseorang yang membaca Al Qur’an dan mengamalkannya dapat terhindar dari
berbagai penyakit hati tersebut.
3. Al-Furqon (pemisah) Nama lain Al Qur’an adalah Al-Furqon atau pemisah. Ini
berkaitan dengan fungsi Al Qur’an lainnya yang dapat menjadi pemisah antara yang
hak dan yang batil, atau antara yang benar dan yang salah. Di dalam Al Qur’an
dijelaskan berbagai macam hal yang termasuk kategori salah dan benar atau hak dan
yang batil.
4. Al-Mu’izah (nasihat) Al Qur’an juga berfungsi sebagai pembawa nasihat bagi
orang orang yang bertakwa. Di dalam Al Qur’an terdapat banyak
pengajaran, nasihat-nasihat, peringatan tentang kehidupan bagi orang-orang
yang bertakwa, yang berjalan di jalan Allah. Nasihat yang terdapat di dalam Al
Qur’an biasanya berkaitan dengan sebuah peristiwa atau kejadian, yang bisa
dijadikan pelajaran bagi orang-orang di masa sekarang atau masa setelahnya
2. Kehujjahan dan Petunjuk Al Qur'an

● Kehujjahan Al Qur'an

Dalil Al-Qur’an adalah hujjah bagi umat manusia dan hukum-hukumnya


merupakan undang-undang yang wajib mereka ikuti , adalah : bahwa Al-Qur’an dari
sisi Allah dan disampaikan kepada mereka dari Allah melalui cara yang pasti (qath’i),
tidak ada keraguan mengenai kebenarannya. Sedangkan bukti bahwa Al-Qur’an itu
dari sisi Allah adalah kemukjizatannya. Dalam melemahkan umat manusia untuk
mendatangkan semisal Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah syariat Islam yang bersifat menyeluruh. Ia merupakan sumber
dan rujukan yang pertama bagi syari’at. Setiap peristiwa pasti terdapat hukumnya
dalam Al-Qur’an. Seperti dikatakan oleh Ibnu Hazm bahwa setiap bab dalam fiqh pasti
mempunyai landasan dalam Al-Qur’an yang dijelaskan oleh as-sunnah.
Tidak ada perselisihan pendapat diantara kaum muslimin tentang Al-Qur’an
sebagai hujjah yang kuat dan sebagai sumber hukum pertama, karena Al-Qur’an
bersumber yang datang dari sisi Allah SWT. Sebagai bukti bahwa tidak ada makhluk
yang mampu membuat sesuatu yang serupa dengan Al-Qur’an.
Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber pertama berarti bila seseorang ingin
menemukan hukum suatu kejadian maka tindakan pertama ia harus mencari jawab
penyelesaiannya dari Al-Qur’an dan selama hukumnya dapat di selesaikan dengan Al-
Qur’an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar Al-Qur’an. Kedudukan
sebagai sumber utama atau pokok berarti bahwa ia menjadi sumber dari segala sumber
hukum hal ini berarti bahwa penggunaan sumber lain harus sesuai petunjuk Al-Qur’an
dan tidak berbuat hal-hal lain yang bertentangan dengan Al-Qur’an dengan arti
sumber-sumber lain tidak boleh menyalahi apa-apa yang ditetapkan oleh Allah.

● Petunjuk Al Qur'an

Al Qur'an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
secara mutawatir (bersambung) dengan perantaraan Malaikat Jibril, dan berpahala bagi
orang yang membacanya. Demikianlah makna Alquran sebagaimana dijelaskan oleh
Subhi As-Salih dalam kitabnya Mabahits fi 'Ulum Al-Qur'an dan Jalaluddin As-
Suyuthi dalam Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, serta Manna' al-Qattan dalam Mabahits fi
'Ulum Al-Qur'an.
Al Qur'an berisi tentang berbagai hal, mulai dari masalah ibadah, amaliyah
(perbuatan) manusia, hari akhir, kisah-kisah umat terdahulu, kitab-kitab Allah yang
diturunkan kepada rasul-rasul-Nya, sejarah, serta ilmu pengetahuan.
Al Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab untuk memudahkan Rasul SAW dalam
memahaminya dan mengajarkannya kepada seluruh umat manusia. Lihat surah Ar-
Ra'du ayat 37, An-Nahl : 103, Fushshilat : 3 dan 44, Al-An'am : 156, Thaaha [20]: 113,
Asy-Syu'ara : 7 dan 195, Az-Zumar : 28, Az-Zukhruf : 3, dan Al-Ahqaf : 12.
Alquran diturunkan secara berangsur-angsur. Tujuannya agar lebih mudah
dipahami, dihafal, serta diamalkan. Cara seperti ini, maka Nabi Muhammad SAW
akan memudah memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh
umatnya maupun orang-orang kafir.

3. Pengertian dan Pembagian As-sunnah

● Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah secara bahasa (etimologi) adalah jalan, peraturan, cara yang
dibiasakan atau cara yang terpuji. Sunnah lebih umum disebut dengan hadits yang
mempunyai beberapa arti secara etimologis, yaitu : Qorib artinya dekat, Jadid artinya
baru, dan Khobar yang artinya berita atau warta.
Sedangkan Sunnah menurut istilah syara’ adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik yang berupa perkataan, perbuatan,
sifat atau pengakuan.
Pengertian As-Sunnah secara terminologi juga bisa dilihat dari tiga bidang
ilmu yaitu :
i. Menurut ulama ahli hadits, sunnah identik dengan hadits yaitu semua yang
disandarkan kepada nabi Muhammad baik perkataan, perbuatan atau
ketetapannya sebagai manusia biasa termasuk akhlaknya baik sebelum atau
sesudah menjadi Rasul.
ii. Menurut ulama ushul fiqh, sunnah diartikan semua yang lahir dari Nabi SAW
baik berupa perkataan, perbuatan ataupun pengakuan.
iii. Sunnah menurut para ahli fiqh, disamping mempunyai arti seperti yang
dikemukakan para ulama ushul fiqh, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum
taklif yang mengandung pengertian, “ perbuatan yang apabila dikerjakan
mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa”.
● Pembagian As-Sunnah

Sunnah atau hadits berdasarkan definisi menurut para ahli di atas, dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu:

1. Sunnah Qauliyah, yaitu khabar berupa perkataan Nabi SAW yang didengar dan
disampaikan oleh seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain.

2. Sunnah Fi’liyah, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW yang diketahui
dan disampaikan oleh para sahabat kepada orang lain. Seperti tata cara menunaikan
shalat lima waktu yang dipraktekkan Nabi, cara wudlu’ dan cara haji.

3. Sunnah Taqririyah, yaitu sesuatu yang timbul dari sahabat Rasulullah SAW yang telah
diakui oleh beliau, baik berupa ucapan maupun perbuatan.

Sedangkan As-Sunnah ditinjau dari perawi-perawinya dari Rasulullah SAW


dibagi menjadi tiga macam :
1. Sunnah Mutawatirah, adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh
sekumpulan perawi yang menurut kebiasaannya, individu-individunya itu tidak
mungkin sepakat untuk berbohong.
2. Sunnah Masyhurah, adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh seorang,
atau dua orang, atau tiga orang sahabat yang tidak mencapai jumlah tawatur ( perawi
hadits mutawatir).
3. Sunnah Ahad, adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh perseorangan
yang tidak mencapai jumlah kemutawatiran.

4. Fungsi dan Kehujjahan as-Sunnah

● Fungsi Sunnah

Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah Allah berfungsi untuk menjelaskan


kepada umat Islam ajaran-ajaran yang diturunkan Allah melalui Al-Qur’an. Hal ini
sesuai dengan surat An-Nahl ayat 44 “Kami turunkan kepada engkau Al-Qur’an agar
engkau jelaskan kepada umat manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka”
Sunnah berbentuk pendukung hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an salah
satunya tentang hukum shalat, zakat, dan haji. Hukum-hukum tersebut sudah terdapat
dalam Al-Qur’an lalu Rasulullah memperkuatnya dengan Sunnah. Berikut adalah
fungsi-fungsi As-sunnah terhadap Al-Qur’an:
1. Merinci hukum global yang ada dalam Al-Qur’an, seperti kewajiban shalat yang
diperinci tentang jumlah rakaat, bagaimana tata caranya, waktu shalat dll.
2. Menjelaskan hukum mutlak yang ada dalam Al-Qur’an seperti haramnya riba.
3. Mengkhususkan hukum-hukum yang bersifat umum dalam Al-Qur’an seperti tentang
pembagian harta warisan.

● Kehujjahan as-Sunnah

Para ulama sepakat bahwa sunnah rasul yang berbentuk fi'liyah, qauliyah, dan
tagrifiyah merupakan sumber asli dari hukum syara dan menempati posisi kedua
setelah Al-Qur’an.
III. Materi TM 3

Dalil Hukum Ekonomi Islam 3-4

I. Pengertian Ijma
Kata ijma’ berarti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan atau kesepakatan
tentang suatu masalah. Menurut Abdul Karim Zaidah dalam kitabnya al-Wajiz fi Ushul
al-Fiqh, ijma’ adalah konsensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul
wafat atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus. Menurut Al-Ghazali dalam kitab
al-Mustasfa menyatakan bahwa ijma’ merupakan suatu kesepakatan umat Nabi
Muhammad SAW atas suatu perkara yang berhubungan dengan urusan agama.
Menurut Abu Zahrah, para ulama sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai
dalil hukum. Ijma’ dianggap sah menurut syara’ apabila memenuhi empat unsur sebagai
berikut:
a. Terdapat beberapa mujtahid yang memungkinkan untuk mencapai kesepakatan
ketika terjadinya peristiwa tersebut;
b. Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian terjadi oleh seluruh
mujtahid Islam tanpa memandang asal, kebangsaan maupun kelompoknya;
c. Kesepakatan diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid;
d. Kesepakatan harus benar-benar disepakati hingga tidak terjadi pertentangan.
Apabila keempat unsur dapat dipenuhi, maka hasil kesepakatan wajib hukumnya
ditaati oleh umat Islam. Kemudian para mujtahid yang lahir semasa setelah kesepakatan
itu terjadi, tidak boleh menjadikan kejadian tersebut menjadi objek ijtihad karena
hukumnya telah ditetapkan melalui proses ijma’.
Pandangan Ulama tentang Ijma'
Definisi yang diberikan oleh Abu Hanifah tentang ijma seperti yang
didefinisikan oleh jumhur ulama sunny lainnya yaitu kesepakatan para mujtahid ulama
islam di suatu masa sesudah masa Nabi saw terhadap suatu urusan.
Sedangkan definisi yang dipakai oleh Imam Malik yaitu bahwa ijma
merupakan persetujuan pendapat ahl-al halli wal aqdi dari umatin karena menurunnya
suatu urusan yang telah di ijma’i maka ia telah di ijma'i oleh para ahli fiqih dan ahli ilmu
dan mereka tidak berselisih di dalamnya.
Sedangkan Imam Ahmad sendiri berpendapat bahwa ijma tidak mungkin
terjadi dan sangat sulit untuk mengetahuinya karena ijma tidak mungkin terjadi selain
pada masa sahabat.
Menurut penegasan ulama Hanafiyyah bahwa Abu Hanifah ijma adalah
salah satu hujjah agama dan mereka tidak membedakan antar macam-macam ijma itu (
ijma qauli dan ijma sukuti), adapun Imam hanafiyyah menetapkan ijma hanya mealului
logika (dalil akal).
Sementara menurut Imam Malik ijma penduduk Madinah yang dapat di
jadikan hujjah yaitu ijma mereka terhadap masalah-masalah yang telah di tetapkan oleh
Rasulullah SAW.
Iman syaf’i menyimpulkan bahwa tidak dapat seorang mendakwahkan ijma
terkecuali pada sekumpulan fardu yang telah di tetapkan agama.
Kedudukan Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber
atau dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan Sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan
hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam apabila tidak ada ketetapan
hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Untuk menguatkan pendapatnya ini jumhur
mengemukakan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi. Beberapa ayat Al-Qur’an yaitu
QS. An-Nisa: 59 dan 115, QS. Al-Baqarah: 143, QS. Ali ‘Imron: 103 dan 110. Adapun
dari dalil sunnah, ada hadis Nabi yang terdapat dalam beberapa periwayatan yang
berbeda rumusannya namun sama maksudnya yaitu bahwa umat Nabi Muhammad SAW.
tidak akan sepakat dalam kesalahan. Di antara rumusan hadis tersebut adalah: “Umatku
tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Umatku tidak akan sepakat untuk
melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan
kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan”.
Dalam hadis ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama-
sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu terpelihara dari
kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat umat Islam.
Pembagian Ijma'
Pembagian ijma’ apabila dilihat dari cara terjadinya ada dua pembagian, yaitu :
a) Ijma’ Sharih
Ijma sharih berarti semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-
masing, kemudian menyepakati salah satunya. Hal itu bisa terjadi apabila semua
mujtahid berkumpul di suatu tempat, kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat
terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya. Setelah itu, mereka
menyepakati salah satu dari berbagai pendapat dari mereka. Selain itu, dapat pula pada
suatu masa timbul suatu kejadian kemudian seorang mujtahid memberikan fatwa tentang
kejadian tersebut.
b. Ijma’ Sukuti
Ijma’ sukuti berarti pendapat ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para
mujtahid lainnya, tetapi mereka diam serta tidak menyepakati ataupun menolak pendapat
tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan apabila memenuhi beberapa kriteria antara
lain :
• Diamnya para mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya kesepakatan
atau penolakan.
• Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama yang dapat dipakai untuk
memikirkan permasalahannya serta biasanya dipandang cukup untuk
mengemukakan pendapatnya. Namun perlu di ingat bahwa tidak mungkin
menentukan lamanya waktu bagi seorang mujtahid untuk mengeluarkan fatwanya
karena setiap mujtahid memerlukan waktu yang berbeda
II. Pengertian dan Rukun Qiyas
Qiyas menurut etimologi memiliki arti mengukur atau membandingkan sesuatu
dengan yang semisalnya dan menurut hukum (terminologi) ialah terdapat beberapa
definisi yang berbeda yang saling berdekatan artinya.
Definisi qiyas menurut Al Ghazali dalam al-Mustashfa adalah “Menanggungkan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum
pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.
Qiyas memiliki beberapa rukun yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Al Asl
Asl dalam bahasa dapat diartikan sebagai asas, dasar, sumber, dan pangkal.
Sedangkan dalam qiyas, asl adalah sesuatu yang telah terjadi yang akan dijadikan sebagai
obyek pengumpamaan atau kasus yang sudah ada ketetapannya secara hukum nas
maupun ijmak.
1. Al-Far
Far juga disebut dengan musyabbah atau yang diserupakan, maqis atau yang
diqiyaskan. Menurut terminologi far memiliki arti cabang. Sedangkan dalam konteks
qiyas, far diartikan sebagai kasus yang ingin diserupakan kepada aṣl karena tidak adanya
nas yang secara jelas menyebutkan hukumnya. Maka dari itu, far akan diproses untuk
disamakan dengan aṣl. Secara substansial, far yang belum jelas status hukumnya itu
disinyalir memiliki kesamaankesamaan dengan aṣl, oleh karena ada titik temu antara aṣl
dan far. Titik temu itulah yang disebut illat.
1. Hukum asl
Hukum asl memiliki pengertian yaitu hukum syara’ yang ada pada aṣl berdasar
pada legitimasi nas. Hukum aṣl inilah yang nantinya akan berdampak pada far yang
belum memiliki legalitas hukum dari syara’ karena tiadanya nas. Dampak tersebut adalah
kesamaan hukum, hukum yang samasama melekat pada keduanya dikarenakan kesamaan
illat.
1. Al-Illah atau illat
Secara bahasa ‘illat diartikan sebagai alasan. Secara terminologi, ‘illat adalah sifat
yang menjadi landasan hukum dari asl. ‘illat merupakan titik temu daripada asl dan far
yang mana nantinya akan menentukan kasus hukum far itu sendiri.
Pembagian Qiyas
Pembagian Qiyas dilihat dari berbagai segi seperti berikut,
1. Pembagian Qiyas dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada Far, dibandingkan
dengan ‘illat yang terdapat pada Asl. dibagi menjadi tiga,
1. Qiyas Awlawi. yaitu Qiyas yang berlakunya hukum pada Far-nya lebih kuat
dari pada berlakunya hukum pada Asl dikarenakan kekuatan ‘illat pada Far-
nya.
2. Qiyas Masawi. yaitu Qiyas yang berlakunya hukum pada Far sama dengan
berlakunya hukum pada Asl, dikarenakan kekuatan ‘illat pada keduanya adalah
sama.
3. Qiyas al-adwan. yaitu Qiyas yang berlakunya hukum pada Far-nya lebih lemah
daripada berlakunya hukum pada Asl, meskipun qiyas tersebut memenuhi
persyaratan.
2. Pembagian Qiyas dari segi kejelasan ‘illat-nya, terbagi menjadi dua,
1. Qiyas Jali. yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan
penetapan hukum Asl, atau tidak ditetapkan ‘illat-nya dalam nash, namun titik
perbedaan antara Asl dengan Far dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
2. Qiyas Khafi. yaitu qiyas yang ‘illat-nya tidak disebutkan dalam nash. maksudnya
diistinbath-kan (dipahami, digali, dirumuskan dari Al-Quran dan Hadist) dari
hukum Asl yang memungkinkan kedudukan ‘illat-nya bersifat Zhanni (dalil (ayat
atau hadis) yang menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.
atau perkiraan, sangkaan antara benar dan salah).
3. Pembagian Qiyas dari segi keserasian ‘illat-nya dengan hukum, ada dua,
1. Qiyas Muatstsir. yaitu qiyas yang ‘illat penghubung antara Asl dan Far ditetapkan
dengan nash yang sharih ( suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala
diucapkan dan tidak mengandung makna lain) atau ijma’, atau qiyas yang ‘ain sifat
(sifat itu sendiri) yang menghubungkan Asl dengan Far nya berpengaruh terhadap
‘ain hukum.
2. Qiyas Mulaim. yaitu qiyas yang ‘illat hukum Asl dalam hubungannya dengan
hukum haram adalah dalam bentuk munasih mulaim (sifat yang sesuai dan cocok).
4. Pembagian Qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu, dibagi menjadi
tiga,
1. Qiyas al-ma’na atau Qiyas makna Asl. yaitu qiyas yang walau ‘illat-nya tidak
dijelaskan dalam qiyas namun antara Asl dengan Far tidak dapat dibedakan,
sehingga Far-nya seolah-olah Asl itu sendiri.
2. Qiyas ‘illat. yaitu qiyas yang ‘illat-nya dijelaskan dan ‘illat tersebut merupakan
pendorong bagi berlakunya hukum Asl.
3. Qiyas al-dilalah. yaitu qiyas yang ‘illat-nya bukan pendorong bagi penetapan
hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan bagi ‘illat yang memberikan
petunjuk akan adanya’illat.
5. Pembagian qiyas dari segi metode yang digunakan dalam Asl dan dalam Far, dibagi
menjadi empat,
1. Qiyas al-ikhalah. yaitu qiyas yang ‘illat hukumnya ditetapkan melalui metode
munasabah dan ikhlah.
2. Qiyas al-syabah yaitu qiyas yang ‘illat hukum Asl-nya ditetapkan melalui metode
syabah (tidak terang, tidak dibedakan, hampir sama).
3. Qiyas al-sabr. yaitu qiyas yang ‘illat hukum Asl-nya ditetapkan melalui metode
sabru wa taqsim (pengujian, penelitian dan pemilahan. Dimana sifat-sifat yang ada
di teliti dan diuji kelayakannya menjadi ‘illah Asl).
4. Qiyas al-thard. yaitu qiyas yang ‘illat hukum Asl-nya ditetapkan melalui metode
thard (sifat yang tidak ada kesesuaian hukum dan kemaslahatan)
Penerapan Qiyas dalam Ekonomi Islam
1. Jual beli sistem tengkulak
Jual beli tengkulak biasanya dilakukan dengan cara memborong seluruh
barang dengan maksud mengosongkan pasar dan menjualnya ketika permintaan semakin
banyak sehingga harga barang semakin tinggi, jual beli tersebut hukumnya haram, karena
termasuk melakukan upaya menimbun barang. Keharamannya didasarkan kepada illat
hukum bahwa jual beli yang demikian sama dengan penipuan. Yang tertipu bukan hanya
pedagang, tetapi masyarakat pun ikut tertipu, karena adanya upaya penimbunan barang
yang berakibat harga naik.
2. Bunga bank
Memahami bunga bank dari aspek legal-formal dan secara induktif, berdasarkan
pelarangan terhadap larangan riba yang diambil dari teks (nas), dan tidak perlu dikaitkan
dengan aspek moral dalam pengharamannya. Paradigma ini berpegang pada konsep
bahwa setiap utang-piutang yang disyaratkan ada tambahan atau manfaat dari modal
adalah riba, walaupun tidak berlipat ganda. Oleh karena itu, betapapun kecilnya, suku
bunga bank tetap haram. Karena berdasarkan teori qiyâs, kasus yang akan di-qiyas-kan
(fara’) dan kasus yang di-qiyas-kan (asal) keduanya harus disandarkan pada illat jâlî (illat
yang jelas).
3. Berjual beli di waktu adzan pada hari jum’at diharamkan
Analisis rukun Qiyas pada ayat tersebut menunjukkan bahwa keempat rukun Qiyas
telah ada, yaitu :
• jual-beli (al bai’) pada saat adzan Jumat sebagai masalah pokok,
• ijarah sebagai masalah cabang,
• haramnya jual-beli saat adzan Jumat sebagai hukum masalah pokok, yang dapat
diterapkan juga pada masalah cabang (ijarah),
• illat, yaitu melalaikan shalat Jumat.
Dengan adanya keempat rukun Qiyas tersebut, dihasilkan hukum masalah cabang, yaitu
haramnya ijarah pada saat adzan Jumat.
4. Jual beli ‘arayah ialah menjual buah kurma yang masih di pohonnya dengan
kurma
yang sudah kering diperbolehkan sebagai pengecualian larangan menukar sesuatu
yang sama jenisnya kalau takarannya berbeda.
5. Dilarang menawar barang yang sedang ditawar oleh kawannya,
Mayoritas ulama memilih pendapat haramnya bentuk-bentuk jual beli semacam itu,
bahkan menganggapnya sebagai kemaksiatan. Karena transaksi tersebut terjadi sebelum
terlaksananya transaksi pertama. Kalau transaksi kedua terjadi setelah terlaksananya
transaksi pertama, sementara si pembeli tidak mungkin membatalkan transaksi tersebut,
tidak ada larangan dalam hal ini, karena masalah tersebut tidak menimbulkan bahaya.
Transaksi jual beli tersebut tanpa seizin penjual pertama. Kalau penjual pertama
mengizinkannya, tidak menjadi masalah, karena Nabi SAW bersabda, “kecuali bila
penjual pertama atau peminang pertama mengizinkannya.”

IV. Materi TM 4

Dalil Hukum Ekonomi Islam 5-6

b. Istihsan Dan Penerapannya Dalam Ekonomi


Istihsan dalam bahasa Arab memiliki arti "Menganggap sesuatu itu baik", "Mengikuti
sesuatu yang baik" atau "Menganggap baik/bagus". Pada masa sekarang, banyak contoh
kasus dalam kegiatan bermuamalah yang penyelesaian masalahnya disesuaikan dengan
kaidah fiqhiyyah Istihsan, diantaranya:
a. Akad Jual Beli Mu'atah di Swalayan
Jual beli mu’atah yaitu jual beli tanpa ada ucapan ijab qabul secara lisan.
Menurut ketentuan umum (qiyas), setiap tansaksi jual beli harus memakai ijab qabul,
namum karena ur’f yang berlaku di zaman sekarang di swalayan biasa terjadi transaksi
jual beli tanpa adanya ijab qabul, maka jual beli mu’atah dibenarkan.
Jual beli mu’atah ini sering terjadi di mall, swalayan, supermarket dll. jual beli
ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah Al-istihsanu bil ur’f yaitu penyimpangan hukum
yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, yang berdasarkan adat kebiasaan yang sudah
dipraktikan dan dikenal baik dalam kehidupan masyarakat yang berlaku umum.
b. Akad Salam (pesanan)
Pada jual beli salam saat transaksi jual beli berlangsung, barang yang
diperjualbelikan itu belum ada wujudnya. Sedangkan menurut ketentuan umum dan
menjadi sandaran qiyas maka transaksi model seperti ini tidah sah. Karena tidak
memenuhi salah satu persyaratan jual beli. Namun, model jual beli ini diperbolehkan.
Dari penyelesaian masalah diatas dapat dikategorikan ke dalam Istihsan bin
nash yaitu istihsan yang berdasarkan ayat atau hadits. Maksudnya ada ayat atau hadits
tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum. Mujtahid
dalam meletakan hukum tidak menggunakan qiyas tapi menggunakan nash karena ada
nash yang menuntunnya.
c. Menabung Bank Konvensional
Diperbolehkan Menabung di bank konvensional ketika di daerah tersebut benar-
benar tidak ada bank syariah. Selain itu, bekerja di bank konvensional sementara belum
mendapatkan kerjaan lainnya yang halal. Masalah ini masuk kategori Al-istihsan
biddhoruroti yaitu istihsan berdasarkan keadaan darurat yang menyebabkan seorang
mujtahid tak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Mujtahid juga tidak menuntut
dalil yang secara umum karena adanya dharurat yang menghendaki pengecualian.
Dalam kata lain menghindari dari kemafsadatan.
d. Akad Waqf
Dalam madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah
pertanian, maka dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalah hak
pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya.
Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena
tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah
pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual
beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut
diperoleh dengan cara mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa menyewa. Pada sewa-
menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang
kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf.
Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat
dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan
yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf
tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik.
Karena itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa.
Kedua peristiwa ini ada persamaan `illat-nya yaitu mengutamakan manfaat
barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan,
yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada
qiyas khafi, yang disebut istihsan.
c. Istislah Dan Penerapannya Dalam Ekonomi
Diambil dari akar kata salaha () ‫ صلح‬atau saluha yang berarti baik, memperbaiki atau
meningkatkan. Istishlah () ‫ استصل (ح‬adalah metode yang digunakan oleh ahli hukum
Muslim untuk memecahkan masalah yang tidak jelas jawaban dalam teks suci agama.
Maslahah berarti manfaat atau kepentingan. Jadi Istislah melibatkan perolehan manfaat dan
penolakan kerugian bagi masyarakat berdasarkan manfaat atau kepentingan yang akan
dinikmati oleh publik. - Dari banyak konteks - ekonomi, hukum, prosedur, medis dll.
Istislah menurut bahasa berarti “Mencari kemaslahatan”. Sedangkan menurut ahli Ushul
fiqh adalah menetapkan hukum suatu maslahah yang tidak ada nasnya atau tidak ada ijma’
terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’ tidak
dijelaskan ataupun dilarang). Pengertian yang lain menyatakan Istislah adalah logika yang
baik tentu baik untuk dipergunakan. Jadi apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu
kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa
perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.
Sejalan dengan perkembangan kemajuan dan peradaban, maka permasalahan
kehidupan manusia akan semakin kompleks dan beragam dan memerlukan kepastian
hukum. Beberapa perkembangan di bidang ekonomi Islam yang sebelumnya belum pernah
ada, juga memerlukan kepastian hukum apakah model-model, produk-produk tersebut
boleh diterapkan mengingat tidak ada nash yang dapat dirujuk atas aktivitas tersebut.
Persoalan-persoalan ekonomi kontemporer tersebut misalnya tidak akan mampu
diselesaikan jika hanya mengandalkan pada pendekatan metode lama yang dipergunakan
oleh ulama terdahulu. Kesulitan untuk mendapatkan nash - nash dalam persoalan-persoalan
tertentu sangat mungkin terjadi sehingga tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan
qiyas karena tidak ditemukan padanannya di dalam nash, atau ijma ulama karena masanya
yang sudah terlalu jauh. Dalam kondisi demikian, maka proses penetapan hukum maslahah
mursalah dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif metode penetapan hukum. Untuk
menghindari tergelincirnya penetapan hukum tersebut dari hawa nafsu, maka berijtihad
dengan menggunakan maslahah mursalah sebaiknya dilakukan bersama-sama. Adapun
beberapa contoh penggunaan maslahah mursalah dalam perekonomian Islam sebagai
berikut:
a. Pendirian Lembaga Keuangan Syariah/ bank
Bank sudah merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan masyarakat. Bank dengan
segala fungsinya telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern yang tidak
mungkin dipisahkan lagi. Secara konseptual, Islam tidak memerintahkan pendirian
lembaga perbankan. Akan tetapi tidak satu ayat pun dari al- Qur'an maupun al -Hadits
yang melarang pendirian lembaga perbankan. Akad mudharabah (bagi hasil) yang
dikenal selama ini, dalam konsep islam adalah hubungan personal (bukan lembaga
seperti bank) antara dua orang atau lebih berupa akad kerja, dimana pemilik modal
menyerahkan uangnya kepada orang yang dipercaya untuk digunakan sebagai modal
kerja dan hasilnya dibagi sesuai kesepakatan. Akan tetapi dengan pendirian bank
tersebut manfaatnya semakin besar dan dapat dirasakan banyak orang.
b. Kolateral pada Pembiayaan Mudharabah
Perbankan Syariah di Indonesia dalam melayani kebutuhan masyarakat yang
menghendaki layanan jasa perbankan dengan prinsip syariah berlandaskan hukum pada
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, sehingga bank
syariah dalam memberikan fasilitas pembiayaan mengikuti aturan pemerintah yaitu
sesuai Pasal 23 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, bahwa ketentuan tersebut
menghendaki adanya agunan tambahan di setiap pembiayaan yang berisiko tinggi
seperti pembiayaan mudharabah. Pembiayaan mudharabah sebagai pembiayaan yang
beresiko tinggi, karena bank akan selalu menghadapi permasalahan dari mudharib.
Dalam kondisi sebaik apapun atau dengan analisis sebaik mungkin risiko pembiayaan
yang macet tidak dapat dihindari, maka bank syariah mengambil inisiatif untuk
meminta agunan tambahan sebagai jaminan atas pembiayaan tersebut. Walaupun pada
prinsipnya agunan tidak diperbolehkan dalam pembiayaan mudharabah mengingat
lembaga bank syariah merupakan lembaga intermediary peredaran uang dalam
masyarakat, sehingga bank harus menjaga amanah dana pihak ketiga yang ditabungkan,
maka wajar kalau bank meminta agunan tambahan pada dengan berpijak pada kaidah
ushul fiqh maslahah mursalah. Dengan dasar maslahah mursalah ini, bank syari‟ah
dalam memberikan pembiayaan wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank
dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dana kepadanya. Adanya tujuan berupa
upaya mengurangi moral hazard dan untuk meyakinkan bahwa mudarib benar-benar
melaksanakan segala ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak juga merupakan
bagian dari alasan diperbolehkannya penyediaan agunan tambahan oleh pengelola atas
pembiayaan berisiko tinggi yang diberikan bank syariah.
c. Intervensi Harga
Pada dasarnya Islam memandang mekanisme pasar sebagai suatu alamiah sehingga
intervensi pasar tidak diperlukan. Dalam ekonomi Islam penentuan harga dilakukan
oleh kekuatan pasar yaitu permintaan dan penawaran harus terjadi secara sukarela, dan
tidak ada pihak yang teraniaya atau merasa terpaksa untuk bertransaksi. Harga yang
terbentuk melalui mekanisme pasar ini oleh ahli fiqh disebut dengan saman misl (price
equivalent). Jumhur ulama sepakat bahwa harga yang adil adalah harga yang terbentuk
karena interaksi kekuatan penawaran dan permintaan, bahkan mayoritas ulama sepakat
tentang haramnya campur tangan pemerintah dalam menentukan harga pasar, karena
melindungi kepentingan pembeli sama pentingnya dengan melindungi penjual. Di
samping itu, adanya anggapan bahwa kenaikan harga adalah sebagai akibat
ketidakadilan penjual tidak selamanya benar karena harga ditentukan oleh kekuatan
permintaan dan penawaran. Berbeda dengan jumhur ulama, Ibn Taimiyah
membenarkan intervensi harga oleh pemerintah, sekalipun Nabi Saw tidak
melakukannya. Hal ini dikarenakan dengan pertimbangan maslahah, regulasi
perekonomian bisa berubah dari teks nash kepada konteks nash yang mengandung
maslahah.
d. Larangan Dumping
Dumping merupakan sistem penjualan barang di pasar luar negeri dalam jumlah banyak
dengan harga yang rendah dibandingkan dengan harga di dalam negeri dengan tujuan agar
dapat menguasai pasar luar negeri dan menguasai harga komoditas tertentu. Praktek
dumping dalam menimbulkan kalah bersaingnya produk sejenis dalam negeri akibat harga
produk impor tersebut jauh lebih murah dibandingkan harga produk sejenis yang ada dalam
negara domestik, sehingga bukan saja potensial untuk menutup industri sejenis di dalam
negeri tetapi juga pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran karena perusahaan
dalam negeri harus menghemat biaya operasionalnya agar dapat bersaing dengan barang-
barang impor yang harganya sangat murah. Dalam hukum Islam, praktek dumping tidak
ditemukan ayat maupun hadis yang melarangnya. Namun, tetap ada batasan-batasan yang
tetap harus diperhatikan, yakni jangan sampai ada yang dirugikan dalam perdagangan
tersebut. karena itulah, dengan pertimbangan untuk menciptakan kemaslahatan dan
menghindarkan kemudharatan bagi masyarakat luas praktek dumping secara tegas dilarang
dalam islam.
e. Kartel dan Monopoli
Dalam ekonomi Islam, kartel merupakan tindakan yang akan merugikan konsumen dan
sangat potensial untuk menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Padahal persaingan
usaha yang sehat akan memberikan manfaat positif bagi perekonomian. Sering kali dalam
suatu industri hanya terdapat beberapa pemain yang mendominasi pasar, sehingga dapat
mendorong mereka untuk mengambil tindakan bersama dengan tujuan memperbesar
kekuatan ekonomi dan memaksimumkan keuntungan. Untuk itu pembatasan produksi
maupun tingkat harga melalui beberapa kesepakatan bersama. Jika merujuk pada teori
monopoli, suatu kelompok industri yang mempunyai kekuatan oligopolis akan
mendapatkan keuntungan maksimal jika mereka secara bersamaan melakukan praktek
monopoli. Dengan dilarangnya kartel, maka produsen akan terdorong untuk menciptakan
persaingan usaha yang sehat dan terciptanya efisiensi produksi dan alokasi input,
mendorong untuk memperbanyak inovasi, termasuk infrastruktur produksi. Dari sisi
konsumen mendapatkan manfaat harga yang relatif lebih murah, karena harga output
terbentuk oleh proses produksi ataupun pengelolaan organisasi produksi yang efisien.
f. Spekulasi Valas
Spekulasi adalah bentuk usaha gejala untuk membeli sesuatu komoditi dengan harga
yang murah pada suatu waktu dan menjualnya dengan harga yang mahal pada waktu yang
lain. Seorang spekulator dalam perdagangan biasanya berharap terjadinya fluktuasi harga
yang tinggi di masa depan dibandingkan dengan harga sekarang. Salah satu contohnya
perdagangan valuta asing. Apabila uang yang ditukar itu emas, maka harus sama berat atau
timbangan, penyerahan barangnya dilakukan pada waktu yang sama, supaya terhindar dari
riba. Apabila mata uang yang ditukar itu emas dengan perak, atau kedua mata uang berbeda
jenisnya, maka dapat ditukarkan sesuai dengan market rate dan penyerahan barangnya
harus dilakukan pada waktu yang sama. Di samping itu, kontribusi margin trading sangat
potensial untuk melemahkan mata uang dan biasanya tidak mengindahkan persaingan
bisnis yang sehat karena tidak ada proses transaksi riel. Selisih yang diperoleh tanpa ada
iwadh atau transaksi sektor riil adalah riba, sedangkan ketidakpastian nilai tukar mata uang
yang berakibat bagi kerugian dan keuntungan spekulan tergolong judi. Di samping itu,
dalam ekonomi Islam uang bukan komoditas, sementara dalam perdagangan valas uang
menjadi komoditas sehingga yang terjadi adalah transaksi maya, karena dalam kegiatan
bisnis ini terjadi perputaran arus uang dalam jumlah besar, tetapi tidak ada kegiatan sektor
riilnya. Pertumbuhan yang tidak seimbang ini akan menjadi sumber krisis ekonomi.
g. Penerapan Revenue Sharing pada Bagi Hasil
Perbankan Syari'ah memperkenalkan sistem bagi hasil pada masyarakat dengan istilah
revenue sharing yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan
dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana. Sistem revenue sharing berlaku pada
pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor yang
digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank. Hal ini terdapat
dari Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 15/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Prinsip Distribusi
Hasil Usaha Dalam Lembaga Keuangan Syariah. Penerapan maslahah pada fatwa ini juga
dapat dilihat dari ketentuan umum yang ada pada fatwa DSN tersebut yang menyatakan
bahwa dilihat dari segi kemaslahatan saat ini, maka pembagian hasil usaha pada lembaga
keuangan syariah sebaiknya menggunakan prinsip bagi hasil revenue sharing.
h. Kartu Kredit Syariah
Syariah card dalam istilah fiqih muamalah dikenal dengan sebutan bithaqatul i‟timan.
Bithaqah berarti kartu, sedangkan i‟timan berarti kondisi aman dan saling percaya. Secara
terminologis syariah card sebagai suatu jenis kartu khusus yang dikeluarkan oleh pihak
bank, lalu jumlahnya akan dibayar kemudian. Syariah card merupakan salah satu produk
bank syariah yang dikeluarkan dengan prinsip kemudahan dan maslahah.
V. Materi TM 5

Dalil Hukum Ekonomi Islam 7-8

A. Istishab dan penerapannya dalam ekonomi


Istishab ialah segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap
berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. Istishab sebagai
salah satu pertimbangan dalam menetapkan suatu hukum dalam Islam, khususnya yang
berhubungan dengan aktivitas ekonomi dan keuangan. Hal tersebut sangat signifikan
sebagai pengembangan serta inovasi produk akad dalam sebuah perbankan syariah. Oleh
sebab itu, di bawah ini contoh aplikatif kaidah istishab dalam transasksi ekonomi dan
keuangan kontemporer.
Contoh: Wildan bekerja sebagai seorang dept-collector yang harus menagih pelunasan
kartu kredit sejumlah Rp357.000.000 yang dilakukan pada 6 Agutus 2015 pukul 09.30
WITA kepada Aminah selaku pengguna credit card premium (dimana bahwa pihak
penyedia jasa credit card akan menyiapkan sejumlah dana yang besar terhadap
penggunanya yang kemudian nanti akan ditagih kepada kepada pengguna sesuai dengan
nominal transaksi yang tertera). Tetapi ternyata pengguna kartu kredit atas nama Aminah
ini membantah jika dia menggunakan kartu tersebut sehingga pada akhirnya ia menolak
untuk melakukan pembayaran terkait transaksi kartu kredit tersebut. Dalam kondisi ini,
Aminah dapat membuktikan jika pada hari, tanggal, serta di jam tersebut ia berada di
Makkah dalam rangka melaksanakan umrah, yang diakui olehnya hanyalah belanja dengan
kartu tersebut di mall yang dilisensikan oleh penyedia jasa kartu kredit dengan berbelanja
sejumlah Rp3.000.000. Setelah dilakukan cross-check data yang cermat, ditemukan adanya
transaksi yang tida sesuai dengan penggunaan atas pemilik kartu kredit tersebut. Dan
dinyatakan oleh pihak yang berwenang bahwa kartu kredit atas nama Aminah itu telah di-
crack oleh hacker untuk pembelanjaan mobil Toyota Rush seharga Rp360.000.000. Dari
ilustrasi di atas, menurut hukum Istishab ialah Aminah tidak wajib membayarkan tagihan
yang ditarik kepada penyedia jasa kartu kredit, terkecuali adalah apa yang diakui dan
dibenarkan oleh pihak berwenang atas transaksi yang dilakukan sebesar Rp3.000.000. Hal
tersebut didsarakan pada kaidah ushulfiqh yang menyatakan bahwa asal hukum bagi
sesuatu adala terlepas dari tanggungan.
B. Sadd al-Dzariah dan penerapannya dalam ekonomi
Sadd adz-dzari’ah merupakan perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya
mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan. Dengan kata lain, bisa
dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu
perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah
terjadinya perbuatan lain yang dilarang. Sadd adz-Dzari’ah adalah menetapkan hukum
larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang
untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang. Salah satu contoh sadd adz-
dzari’ah dalam perekonomian ialah:
Baiy Al-Ajal (Jual beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak
secara kontan). Adanya jual-beli yang dilakukan untuk mengelak dari riba, terdapat si fulan
menjual handphone kepada si fulana dengan harga Rp 5.000.000 dengan hutang, dan ketika
itu handphone tersebut dibeli lagi oleh si fulan dengan harga Rp 1.000.000 tunai, si fulana
mengantongi uang Rp 1.000.000 tetapi nanti pada waktu yang sudah ditentukan si fulana
harus membayar Rp 5.000.000 pada si fulan.

VI. Materi TM 6

Dalil Hukum Ekonomi Islam 9-11

A. Al-‘Uruf dan penerapannya dalam ekonomi


‘Urf berasal dari kata ‘arafa yang mempunyai derivasi kata alma‘ruf yang berarti
sesuatu yang dikenal atau diketahui. Sedangkan ‘urf menurut bahasa adalah kebiasaan yang
baik. Adapun pengertian ‘urf adalah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa
merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika
dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya. Menurut fuqaha, ‘urf adalah segala sesuatu
yang telah menjadi kebiasaan masyarakat dan dilakukan terus-menerus, baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Maka dapat dipahami, ‘urf adalah perkataan atau perbuatan
baik yang telah populer dan dikerjakan oleh orang banyak dalam masyarakat.Artinya ‘urf
merupakan kebiasaan baik yang dilakukan secara berulang ulang oleh masyarakat.
’Urf telah terbukti dapat dijadikan sebagai dasar untuk mencari titik temu antara
aktivitas ekonomi yang berkembang di masyarakat dengan praktek ekonomi yang
bersendikan Islam. ’Urf shahih terbukti mempunyai titik temu yang sangat jelas, karena
‘urf merupakan segala sesuatu yang sudah saling dikenal di antara manusia yang telah
menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya
dengan meninggalkan perbuatan tertentu. Dengan demikian ‘urf untuk selanjutnya dapat
dijadikan sebagai metode dan sumber hukum Islam (justifikasi) dalam perkembangan
perekonomian karena sesuai dengan hukum dan prinsip-prinsip ekonomi Islam.
Contoh ‘urf dalam ekonomi Islam adalah jual beli yang dilakukan masyarakat tanpa
mengucapkan sighat ijab (misal; saya jual-saya beli). Di supermarket atau pusat
perbelanjaan lainya pembeli tinggal mengambil barang yang diinginkan sendiri kemudian
langsung membayar di kasir. Apalagi uang sebagai alat pembayaran transaksi juga sudah
nontunai, cukup menggunakan uang elektronik, kartu ATM atau lainnya. Kemudian di
berbagai sektor pola konsumsi masyarakat hari ini lebih ke non tunai dan online di segala
aspek ekonomi, dari jalan tol, gaji bulanan, bayar listrik, jasa ojek, pesan makan, pesan
tiket dan hotel, beli perabotan rumah tangga, buku dan lain sebagainya. Hari ini masyarakat
dimudahkan dengan hanya membuka aplikasi kemudian memencet tombol-tombol dan
akhirnya transaksi berhasil. Dalam fiqh muamalah semestinya sighat merupakan hal yang
menjadi rukun jual beli yang harus dipenuhi. Namun secara substantif, shighat itu adalah
untuk menunjukkan adanya ridha (kerelaan) dari kedua belah pihak.
B. Syar’u man qablana
Syar’u Man Qablana adalah hukum Syari’at sebelum kita (umat Islam). Para ulama
Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat yang diberikan kepada para nabi sebelum Nabi
Muhammad, yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tidak berlaku lagi bagi
umat Islam. Dan syariat sebelum Islam yang disebutkan dalam Quran dan Sunnah dan
secara tegas ditetapkan bahwa syariat itu berlaku bagi umat umat Islam, maka itu menjadi
bagian dari Syariat Islam. Meski Syar’u Man Qablana secara konsekuensi hukum berlaku,
namun keberlakuannya tersebut bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum
Islam, tetapi karena ditetapkan dalam Quran dan Sunah.
Perbedaan pendapat di antara para ulama Ushul Fiqih terjadi dalam persoalan Syar’u
Man Qablana yang tercantum dalam Quran, tetapi tidak ada ketegasan apakah bahwa
hukum tersebut masih berlaku bagi umat Islam atau tidak, karena tidak adanya nasakh atau
penjelasanan yang membatalkanya.
Contoh syar’u man qoblana yang juga berlaku untuk umat islam
• Berpuasa
• Beribadah haji
• Khitan
• Meninggalkan riba, dll

Contoh syar’u man qoblana yang tidak berlaku untuk umat islam

• Memotong bagian yang terkena najis, dalam syariat kita cukup disucikan
• Diharamkan segala binatang berkuku bagi umat nabi musa
• Menebus dosa / taubat dengan nyawa sebagaimana disyariatkan kepada umat nabi Musa

Contoh Syar’u Man Qablana di dalam Al Qur’an.


1. Dalam syari’at Nabi Sulaiman AS, kalau binatang seperti burung berbuat kerusakan, maka
binatang tersebut dijatuhi sanksi. (QS An Naml: 20-21).
2. Dalam syariat Nabi Zakaria AS, disyariatkan puasa bicara selama 3 hari. (QS Maryam: 10).
3. Dalam syariat Nabi Musa AS, haram hukumnya binatang yang berkuku, juga lemak dari
sapi dan domba (QS Al An’am: 146)
4. Dalam syariat Nabi Yusuf, hukuman untuk pencuri adalah dijadikan budak (QS Yusuf: 75).
5. Dalam syariat Nabi Ya’kub AS, makanan yang diharamkan oleh Nabi Ya’kub adalah
haram bagi kaumnya (Bani Israil) (QS Ali ‘Imran: 93).
C. Mazhab Sahabat
Mazhab sahabat merupakan pendapat dari para sahabat Rasulullah SAW tentang
sesuatu permasalahan dimana hukum - hukumnya itu tidak dipaparkan secara tegas dalam
al- Quran serta Sunnah Rasulullah. Kemudian mazhab sahabat sendiri menunjuk pengertian
pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan tentang suatu hukum syara’ yang tidak
terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dimana pendapat para sahabat tersebut merupakan
hasil kesepakatan di antara mereka.
Dan Sahabat merupakan orang- orang yang berjumpa Rasulullah SAW yang langsung
menerima risalahnya serta mendengar langsung uraian syariat dari Rasulullah SAW. Oleh
sebab itu, jumhur Fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka bisa dijadikan hujjah
setelah dalil- dalil Nash. Iktikad kehujjahan di sini merupakan kekuatan yang mengikat
buat dijalankan oleh umat Islam, sehingga akan berdosa bila meninggalkannya
sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi SAW.
VII. Materi TM 7

Ijtihad, Ittiba’ dan Taqlid


A. Pengertian ijtihad, ittiba dan taqlid
Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah
yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Menurut bahasa, ijtihad
artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan, menurut istilah,
ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk
menetapkan suatu hukum. Oleh Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan
segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu. Ijtihad dipandang
sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan hadis, serta turut
memegang fungsi penting dalam penetapan hukum Islam. Telah banyak contoh hukum
yang dirumuskan dari hasil ijtihad ini. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang memenuhi syarat
yang boleh berijtihad.
Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah mengikut atau
menurut. Dari beberapa sumber diambil kesimpulan, ittiba’ adalah mengambil atau
menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak
terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang
diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima
semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain,
ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat
yang diikuti.
Kata taklid berasal dari bahasa Arab yakni artinya meniru menurut seseorang dan
sejenisnya. Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah “Menerima
perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan perkataannya itu.”
Ada juga ulama lain memberi definisi, seperti Al-Ghazali, yakni “Menerima perkataan
orang lain yang tidak ada alasannya.” Jadi dapat di simpulkan bahwa, taqlid adalah
menerima atau mengambil perkataan orang lain yang tidak beralasan dari Al-Qur’an Hadis,
Ijma’ dan Qiyas.
B. Persamaan ijtihad, ittiba dan taqlid
Adapun hukum-hukum yang memerlukan ijtihad adalah yang dilahirkan dari dalil-dalil
yang zanni, yakni berstatus anniyah al-Thubut (tidak pasti ketetapannya) dan zanniyah al-
dalalah (tidak pasti petunjuknya), serta hukum-hukum yang tidak ada penjelasanya dalam
nas (teks al-Qur’an dan al-Sunnah), dan tidak ada ijma’. Dari penjelasan diatas, jelaslah
bahwa ijtihad berlaku dalam masalah-masalah yang belum ada nas-nya, juga berlaku pada
masalah-masalah yang ada nas-nya tetapi tidak qat’i dan bersifat zanni.
Ittiba' kepada Rasulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam,
bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan
disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah
ittiba' kepada Rasulullah saw adalah salah satu syarat diterima amal. Sebagaimana para
ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua yakni mengikhlaskan niat
ibadah hanya untuk Allah swt semata serta harus mengikuti dan serupa dengan apa yang
diajarkan oleh Rasulullah saw.
Bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad maka wajib bagi mereka
berijtihad dan mengamalkan hasil ijtihadnya. Tidak dibenarkan/haram baginya bertaqlid
atau mengikuti pendapat mujtahid yang lain.
Dengan demikian tidak benar jika kita mengatakan bahwa ijtihad itu wajib dan taqlid
itu haram secara mutlaq/tanpa ada batasan. Sebab tidak realistis. Kenyataan menunjukkan
bahwa sejak dahulu sampai saat sekarang dan akan berlanjut terus sampai akhir zaman
nanti, mayoritas umat Islam dari kalangan awam. Yang awam ini jelas tidak mungkin untuk
dipaksakan harus mengupayakan dirinya menjadi mujtahid. Diantara ulama yang
mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad tanpa ada batasan-batasan tertentu ialah Ibnu
Hazmdan al-Syaukany.
C. Perbedaan ijtihad, ittiba dan taqlid
Ketika pengetahuan terhadap hukum-hukum Allah dalam setiap problematika
kehidupan merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan, sementara mewujudkan hal ini
dengan penalaran logika bukan merupakan kewajiban individual, maka keberadaan
aktivitas ijtihad bagi para mujahid adalah suatu kewajiban kolektif (fardhu kifayah).
Asumsi semacam ini diutarakan oleh banyak ulama’. Namun secara terperinci, hukum
melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid terbagi dalam empat kategori yakni fardhu ‘ain
(kewajiban individual), fardhu kifayah (kewajiban kolektif), sunnah dan haram.
Menurut Wahbah al-Zuhayli, taqlid berbeda dengan ittiba’. Taqlid lebih banyak
digunakan dalam arti ‚mengikuti perbuatan-perbuatan, sedangkan ittiba’ sering digunakan
dalam masalah mengikuti faham-faham, yakni mengambil hukum berdasarkan metode-
metode yang digunakan oleh orang (mujtahid) yang diikutinya. Dapat disimpulkan bahwa
taqlid adalah suatu ungkapan yang mencerminkan sikap seseorang yang mengikuti orang
lain, baik dalam pendapatnya maupun perbuatannya dengan meyakini realitasnya tanpa
melakukan penyelidikan dan pemikiran terhadap dalilnya.
VIII. Materi TM 8

Konsep Dasar Qawaid Fiqhiyah


1. Pengertian Qawaid Fiqhiyah secara bahasa dan istilah
Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata
qawaid dan fiqhiyyah. Secara etimologi, kata qaidah berarti asas, landasan, dasar atau
fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi
bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti
ushuluddin (dasar agama). Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu
rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil. Qaidah dengan
arti dasar atau fondasi sesuatu yang bersifat materi.
Qawa’id disusun berdasarkan materi-materi fiqh, untuk selanjutnya diverifikasi untuk
mendapatkan hasil qawa’id yang lebih sempurna, untuk kemudian tersusun kembali fiqh
sebagai kelengkapan dari khazanah fiqh yang telah ada, kemudian ketentuan-ketentuan
hukumnya menjadi hasil akhir dari proses tersebut.
Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh ditambah dengan ya nisbah yang berfungsi
sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi fiqh berarti pengetahuan,
pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan dan perkataannya.
Al-Qawaid al-fiqhiyyah adalah rumusan hukum secara global dari bab-bab dalam fikih
yang dapat berlaku pada hukum-hukum yang spesifik. Meskipun kasus-kasus bisa berbeda,
namun setiap kasus yang berkembang dari zaman ke zaman mempunyai kesamaan ‘illat
sehingga kaidah fikih dapat menjadi bagian instrumen penggalian hukum dalam Islam.
Kehadiran (al-qawaid al-fiqhiyyah) bukanlah tanpa sebab, ia muncul atas daya pikir
(ijtihad) ulama yang menelusuri hukum-hukum serta melihat problematika kehidupan di
masyarakat yang terus berkembang.
2. Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan Qawaid Ushuliyah
Perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyyah, adalah
Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil syar’iyyah yang bersifat umum. Sedangkan
qawaid fiqhiyah adalah qaidah- qaidah pembahasannya tentang hukum yang bersifat
umum. Jadi, qawaid ushuliyyah membicarakan tentang dalil-dalil syar’iyyah yang bersifat
umum, sedangkan qawaid fiqhiyyah membicarakan tentang hukum-hukum bersifat umum.
Secara lebih rinci, perbedaan antara qawaid ushuliyyah dan qawaid fiqhiyyah dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1) Secara umum, kaidah ushul hanya berhubungan dengan lafaz dan dalalahnya
terhadap hukum, dan kaidah fiqh berhubungan dengan entitas hukum tersebut.
2) Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’yang praktis. Sedangkan kaidah
fiqh adalah kumpulan hukum serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama.
3) Kaidah ushul dibangun atas hukum-hukum ijmaliyah. Sedangkan kaidah fiqh
dibangun atas dasar kesamaan 'illat dalam berbagai peristiwa yang terjadi.
4) Kaidah - kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh
muncul setelah furu’.
5) Kaidah ushul terbatas pada bab - bab ushul, objek, dan masalah - masalahnya.
Adapun kaidah fiqh tidak terbatas jumlahnya, bahkan tersebar secara meluas dalam
kitab-kitab fiqh umum maupun fatwa di seluruh kalangan madzhab. Selain itu,
kaidah fiqh tidak hanya terhimpun dalam satu wadah, sehingga ada yang
menganggap perlu adanya penyusunan ensiklopedi kaidah fiqhiyyah.
6) Kaidah ushul bersifat menyeluruh tanpa ada pengecualian. Sedangkan kaidah
fiqhiyyah bersifat mayoritas, sehingga memungkinkan adanya pengecualian.
Pengecualian adalah adanya masalah yang hukumnya berbeda dengan satu kaidah
tertentu dikarenakan ada suatu sebab, seperti darurat, dan lain sebagainya.
Dari beragam perbedaan di atas, nampak jelas bahwa sudut tinjuan Qawaid Fiqhiyah
dengan Qawaid Ushuliyah berbeda satu sama lainnya. Kaidah ushul melihatnya sebagai
dalil ijmali yang dapat menghasilkan hukum kully, sedangkan kaidah fiqh melihatnya
sebagai hukum juz'i yang diaplikasikan pada perbuatan orang mukallaf.
3. Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan Dhawabith Fiqhiyah
Kata dhawabith adalah jamak dari kata dhabith. Al Dhawabith diambil dari kata dasar
al-Dhabith artinya menurut etimilogi definisi dari Dhawabith Fiqhiyah, yaitu Memelihara,
mengikat, kekuatan, dan penguatan. Secara terminologi dhawabith fiqhiyyah yaitu
Qadhiyyah kullyyah (proposisi universal) atau ashl kullyyah (dasar universal) atau mabda
kully (prinsip universal) yang menghimpun furu’ dari satu bab (satu tema).
Qawaidh Fiqihiyah dan Dhawabith Fiqhiyah merupakan istilah yang hampir mirip.
Perbedaan di antara keduanya terdapat pada ruang lingkup. Qawaid Fiqhiyah ruang
lingkupnya tidak terbatas pada satu masalah fikih, sedangkan Dhawabith Fiqhiyah ruang
lingkupnya terbatas pada satu masalah fikih. Ibnu Nujaim membedakan antara qawaid
fiqhiyyah dengan dhawabith fiqhiyyah. Menurutnya qawaid fiqhiyyah menghimpun
beberapa furu’ (cabang/bagian) dari beberapa bab fikih, sedangkan dhawabith fiqhiyyah
hanya mengumpulkan dari satu bab fikih. Sedangkan menurut al-Suyuthi dalam Asybah
wa Nadhair fi An Nahwi, bahwa qawaid fiqhiyyah mengumpulkan beberapa cabang dari
beberapa bab fikih yang berbeda, sedangkan dhawabith fiqhiyyah mengumpulkan bagian
dari satu bab fikih saja.
Contohnya Kaidah pada “Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan” dinamakan
Qawaidh Fiqhiyah dikarenakan kaidah ini termasuk pada semua bab fikih, seperti dalam
masalah ibadah, muamalah, dll. Sementara itu, pada kaidah “Apa yang boleh
menyewakannya, maka boleh pula meminjamkannya” termasuk Dhawabith Fiqhiyah
dikarenakan kaidah ini hanya terbatas pada transaksi yaitu tentang bab pinjam meminjam
atau ariyah.
4. Hubungan Ushul Fiqh, Fiqh, dan Qawaid Fiqhiyah
Ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, dan Qawaidul Fiqhiyah memiliki korelasi yang sangat erat dan
tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dikarenakan ketiganya sama-sama mendukung
perkembangan fiqh dan menjadi dasar pokok pembicaraannya karena qawaid fiqhiyah dan
ushul fiqh mengkaji ilmu fiqh itu sendiri. Qawaid fiqhiyah merupakan kajian dan kunci
berpikir ilmu fiqh yang menjadi pengikat untuk memperjelas hukum dan ilmu fiqh juga
membantu menyelesaikan permasalahan hukum baru yang hadir di tengah masyarakat
Islam. Maka dengan keselarasan tiga ilmu tersebut, mereka akan sama-sama mendukung
untuk memudahkan pemecahan masalah. Hubungan qawaid fiqhiyyah, fiqh dan ushul fiqh
beserta qawaid ushuliyyah-nya tidak dapat dipisahkan. Ilmu ini saling berkaitan antara satu
dengan yang lainnya. Karena dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalah hukum
syara’(fiqh), yaitu ilmu-ilmu tersebut berbicara tentang hukum syara’.
Ushul fiqh adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode
penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian hukum dari
sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang yang berkompeten. Hukum yang digali dari
dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqh. Jadi fiqh adalah
produk operasional ushul fiqh. Sebuah hukum fiqh tidak dapat dikeluarkan dari
dalil/sumbernya (al-Qur’an dan Sunah) tanpa melalui ushul fiqh. Ini sejalan dengan
pengertian harfiah ushul fiqh, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqh.
Adapun Qawaid Fiqhiyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam mengetahui
hukum perbuatan seorang mukalaf karena dalam menjalankan hukum fiqh terkadang
mengalami kendala. Misalnya kewajiban shalat 5 waktu yang harus dikerjakan tepat waktu.
Kemudian seorang mukalaf mendapat halangan, ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat
tepat waktu. Dalam kasus seperti ini, mukallaf tersebut boleh menunda shalat dari
waktunya karena jiwanya terancam. Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan
qawaid fiqhiyyah, yaitu dengan menggunakan qaidah bahaya wajib dihilangkan.
5. Tujuan dan manfaat mempelajari Qawaid Fiqhiyah
Adapun tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah itu adalah agar dapat mengetahui
prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan
kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh. Dari tujuan mempelajari qawaid
fiqhiyyah tersebut, mendapatkan manfaat dari ilmu qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat
qawaid fiqhiyah:
1) Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqIh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum
fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi
titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2) Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi.
3) Dengan mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi
dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4) Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama,
pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-
Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
5) Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak
diperdebatkan.
6) Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk
memahami permasalahan-permasalahan baru.
7) Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian
hukum dengan mengeluarkannya dari tempatnya.
8) Memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum
yang baru dan tidak jelas nashnya dan memungkinkan
9) menghubungkannya dengan materi-materi fiqh yang lain yang tersebar di berbagai
kitab fiqh serta memudahkan di dalam memberikan kepastian hukum.
Al-Qrafy dalam al-Furuq menulis bahwa seorang fukaha tidak akan besar pengaruhnya
tanpa berpegang pada qawaid fiqhiyyah, karena jika tidak berpegang pada qaidah itu maka
hasil ijtihadnya banyak pertentangan dan berbeda antara cabang-cabang itu. Dengan
berpegang pada qaidah fiqhiyyah tentunya mudah menguasai cabangnya dan mudah
dipahami oleh pengikutnya.
IX. Materi TM 9

Kaidah Fiqhiyah Asasiyah 1-3

A. Al-Umur bi Maqashidiha, Cabang Kaidah dan Penerapannya dalam Ekonomi Islam


Kaidah al-umur bi maqashidiha terdiri dari dua lafadz al-umur dan al- maqashid
terbentuk dari lafadz al-amru dan al-maqshid. Lafadz al-umur merupakan jama’ dari lafadz
al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. Jadi, lafadz al umur bi
maqashidiha diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota.
Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan
atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang
dilakukan. Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad
mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada yaqshidu-qashdan-wamaksadan,
al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah ali’timad
berpegang teguh, al amma, condong, mendatangi sesuatu dan menuju.
B. Al-Yaqin La Yuzalu bisy-Syak, Cabang Kaidah dan Penerapannya dalam Ekonomi
Islam
Al Yaqin La Yuzalu Bi Syak dapat diartikan sebagai keyakinan tidak dapat dihilangkan
dengan keraguan. Secara etimologis, Al Yaqin merupakan segala sesuatu yang menetap (al
istiqrar), kepercayaan yang pasti (al jazim), teguh (al tsabit), dan sesuai dengan kenyataan
(al muthabiq li al waqi’). Dapat juga dimaknai sebagai ilmu, sesuatu yang dapat
menjauhkan dari keraguan, dan sesuatu yang nyata. Adapun al yaqin sendiri merupakan
antonim dari kata syakk yang berarti keraguan.
Secara terminologis, al yaqin merupakan sesuatu yang menjadi tetap berdasarkan
analisa suatu dalil. Dapat pula berarti tercapainya kemantapan hati pada suatu objek hukum
yang telah dilaksanakan baik kemantapan tersebut telah mencapai pengetahuan maupun
hanya mencapai sebuah persepsi yang kuat. Sedangkan al syakk merupakan sesuatu yang
tidak menentu apakah ada atau tidaknya dan dalam ketidaktentuan tersebut antara batas
kebenaran dan kesalahannya sama, dan kemungkinannya dapat dimenangkan oleh salah
satunya yaitu kebenaran dan kesalahannya.
Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal yang mengubah.
Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap perkara yang telah memiliki status hukum yang pasti
sebelumnya, harus tetap dipertahankan sebagaimana kondisi hukum semula, hukum
tersebut tidak bisa diubah, selama belum ada bukti kuat dan meyakinkan yang bisa
mengubahnya. Contoh dari kaidah ini adalah seseorang makan sahur di akhir malam
dengan dicekam rasa ragu-ragu, jangan-jangan waktu fajar telah terbit, maka puasa orang
tersebut pada pagi harinya dihukumkan sah, karena waktu yang ditetapkan berlaku
sebelumnya adalah waktu malam, bukan waktu fajar.
Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab. Kaidah ini sesuai dengan
kodrat manusia, bahwa ia lahir dalam keadaan bebas, belum mempunyai tanggungan
apapun, yang menandakan bahwa manusia adalah makhluk yang suci tidak terbebani oleh
dosa waris atau dosa akibat perbuatan orang tuanya. Adanya beban tanggung jawab adalah
sebagai konsekuensi logis dari hak-hak yang telah dimiliki atau perbuatan-perbuatan yang
dilakukan. Contoh dari kaidah ini adalah anak kecil bebas dari tanggung jawab melakukan
kewajiban sampai ia baligh dan tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang
bersifat pernikahan sampai ada bukti adanya akad nikah yang sah.
Hukum asal adalah tiadanya beban. Maksud kaidah adalah bahwa pada dasarnya setiap
orang mukallaf dinilai belum melakukan sebuah pekerjaan, sebelum pekerjaan tersebut
sudah benar-benar wujud secara nyata dan diyakini keberadaannya. Contoh dari kaidah ini
adalah ketika terjadi perselisihan antara pembeli dengan penjual tentang barang yang cacat
yang sudah dibeli, maka kasus ini dimenangkan oleh penjual, karena waktu pembeliannya
barang itu masih baik belum ada cacatnya.
Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang terdekat. Maksud dari kaidah ini adalah
apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang
ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena
waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu. Kecuali ada bukti lain yang
meyakinkan bahawa peristiwa tersebut telah terjadi pada waktu yang lebih jauh. Contoh
dari kaidah ini adalah seorang wanita sedang mengandung dan ada yang memukul
perutnya, kemudian keluarlah bayi dalm keadaan hidup dan sehat. Selang bebarapa bulan,
bayi itu meninggal. Maka, meninggalnya bayi itu tidak disandarkan keapada pemukulan
yang terjadi pada waktu yang lama, tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waktu
paling dekat dengan kematiannya.
C. Al-Masyaqqatu tajlibut taysira, cabang kaidah dan Penerapannya dalam Ekonomi
Islam
Al-Masyaqqatu Tajlibut Taysira dapat diartikan bahwa suatu kesusahan atau kesulitan
mendatangkan kemudahan. Secara bahasa Al-Masyaqqah adalah al ta’ab yaitu kelelahan,
kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Sedangkan al-taisir berarti kemudahan. Kemudahan
atau rukhsah adalah sesuatu hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam rangka
keringanan bagi mukallaf ketika pada kondisi-kondisi tertentu.
Dari pengertian kedua tersebut, dapat disimpulkan bahwa kaidah ini mempunyai
pengertian sebuah kesulitan akan menjadi sebab datangnya kemudahan dan keringanan.
Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan
kesulitan dan kesukaran, maka syariah meringankannya sehingga mampu dilaksanakannya
tanpa kesulitan dan kesukaran.
Apabila suatu perkara menjadi sempit, maka hukumnya meluas. Sebaliknya jika suatu
perkara itu meluas maka hukumnya menjadi sempit. Kaidah ini merupakan cabang kaidah
yang tepat, sebab Al-Masyaqqah itu adalah kesempitan atau kesulitan, contohnya seperti
boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau sedang berpergian jauh. Sakit
dan berpergian jauh ini merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu
kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukumnya
wajib melakukan puasa.
Apabila yang asli sukar dikerjakan, maka berpindah kepada penggantinya. Contohnya
seperti orang yang sulit mendapatkan air untuk wudhu, maka hal tersebut diperbolehkan
bertayamum. Contoh lainnya, ketika seseorang meminjam barang kepunyaan orang lain,
dan wajib untuk mengembalikannya. Apabila barang tersebut telah rusak atau hilang
sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka dia wajib menggantinya
dengan harga yang demikian.
Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan.
Contohnya seperti kita sedang puasa, lalu kita berkumur-kumur maka hal tersebut tidak
mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa sisa.
Kemudahan (rukhsah) itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan. Kaidah ini digunakan
untuk menjaga kemudahan di dalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan
maksiat (kejahatan atau dosa). Seperti orang yang sedang bepergian dengan tujuan
melakukan maksiat, misalnya untuk membunuh orang atau untuk berjudi, maka orang
semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam.
Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan.
Misalnya seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang
yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari
orang yang telah meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya. Maka perkataan orang
tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
X. Materi TM 10

Kaidah Fiqhiyah Asasiyah 4-5

A. Adh-Dhararu Yuzalu cabang kaidah dan Penerapannya dalam Ekonomi Islam


Kaidah Ad-Dhararu Yuzal didasarkan pada sabda Nabi SAW Yang mengandung
makna “tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh memudharatkan dalam Islam”.
Mudharat secara etimologi adalah berasal dari kalimat “al-Dharar” yang berarti sesuatu
yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Kaidah ini menunjukkan bahwa
kemadharatan itu telah terjadi atau akan terjadi, dengan demikian setiap kemadharatan
memang harus dihilangkan.
Kaidah yang pertama ialah Kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan
kemadhratan yang lain. Kaidah ini semakna dengan kaidah Kemudharatan tidak boleh
dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding. Maksud qaidah ini adalah
kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan lain yang
sebanding keadaannya. Contohnya seorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal
waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini tidak boleh kreditor mencuri barang
debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya.
Kaidah yang kedua adalah Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula
dilarang. Maksudnya adalah tidak semua keterpaksaan itu memperbolehkan yang haram,
namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain
kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat diperbolehkan
memakainya. Contohnya seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali
kecuali babi hutan dan bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat
dimakan sebatas keperluannya.
Batasan kemadharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang
terkait dengan panca tujuan yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda.
Kaidah yang ketiga adalah Apa yang diperbolehkan karena adanya kemudlaratan
diukur menurut kadar kemudlaratan. Contohnya Kebolehan memakan bangkai bagi
seseorang hanya sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh lebih.
Kaidah yang keempat adalah Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada
mengambil kemaslahatan. Contohnya Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika
berwudhu merupakan sesuatu yang disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang
berpuasa karena untuk menjaga masuknya air yang dapat membatalkan puasanya.
Kaidah yang kelima adalah Jika ada dua kemadaratan yang bertentangan, maka diambil
kemadaratan yang paling kecil. Maksudnya, apabila ada dua mafsadah bertentangan, maka
perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan
madharatnya. Contohnya diperbolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang mati
jika dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan.
Contoh penerapan dalam ekonomi islam dari kaidah adh-Dhararu Yuzalu diantaranya
yakni larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok (ihtikar) masyarakat karena
perbuatan tersebut mengakibatkan kemudharatan bagi rakyat. Penimbunan barang yang
dalam perspektif hukum ekonomi islam yang dilarang adalah penimbunan bahan pokok
makanan. Tidak hanya makanan, sesuatu yang bersifat pokok, yang membuat banyak
masyarakat tergantung terhadap barang pokok tersebut, jika ditimbun juga akan
menimbulkan kemudharatan pula.
B. Al-’Adah Al-Muhakkamah, cabang kaidah dan Penerapannya dalam Ekonomi Islam
Secara terminologi, ‘Adah adalah sebuah kecenderungan (berupa ungkapan atau
pekerjaan) pada satu obyek tertentu, sekaligus pengulangan akumulatif pada obyek
pekerjaan dimaksud, baik dilaku kan oleh pribadi atau kelompok. Akibat pengulangan itu,
ia kemudian dinilai sebagai hal yang lumrah dan mudah diker jakan. Aktifitas itu telah
mendarah daging dan hampir menjadi watak pelakunya.
Tak semua ‘Adah kebiasaan bisa dijadikan pijakan penetapan atau penerapan suatu
ketentuan hukum (al-‘Adah Muhakkamah), tapi terdapat ketentuan-ketentuan yang harus
penuhi, yaitu:
1) ‘Adah tidak bertentangan dengan nasshar’i dalam al-Qur’an atau al-Hadith atau dengan
prinsip legislasi yang telah pasti dengan pertentangan yang mengakibatkan penafian
pemberlakuan semua aspek hukum secara keseluruhan.
2) ‘Adah berlangsung konstan (muttarid)
3) ‘Adah terbentuk lebih dahulu dari masa penggunaannya sebagai pijakan hukum, syarat
ini bisa dinyatakan dalam istilah-istilah yang biasa digunakan pada waktu mengadakan
transaksi seperti wakaf, jual beli, wasiat dan ikatan perkawinan.
4) Tidak terdapat perkataan atau perbuatan yang berlawanan dengan substansi atau yang
memalingkan dari ‘Adah.

Kaidah yang pertama adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat,
menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya. Contohnya dalam
masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat kebiasaan,
apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering
berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan
sebagai dasar hukum.

Kaidah yang kedua adalah adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat
seperti suatu syarat yang dibuat.

Kaidah yang ketiga Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan
telah memenuhi syarat syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan
penetapan suatu hukum yang didasarkan pada nash.

Kaidah yang keempat adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan
secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya.

Penerapan al-‘âdah al-muhakkamah dalam ekonomi syari’ah dilingkungan masyarakat


misalnya jual beli dengan model mu‘âthah (Jw; Ulung-ulungan). Jual beli ini dilakukan
oleh masyarakat tanpa menggunakan shîghat îjâb, seperti ucapan penjual: ”Saya jual sarung
ini kepadamu dengan harga Rp. 50.000,-”; dan juga tanpa shîghat qabûl seperti ucapan
pembeli: ”Saya beli sarung itu dengan harga itu”; Tapi jual beli itu murni dilakukan hanya
dengan penjual memperlihatkan barang dagangannya dan pembeli mengulurkan uang,
tanpa ada komunikasi verbal seperti terjadi di super market dan toko-toko besar lainnya.
Padahal dalam fiqh mu‘âmalah semestinya shîghat merupakan hal yang menjadi rukun jual
beli yang harus dipenuhi. Namun secara substantif, shîghat itu adalah untuk menunjukkan
adanya ridha (rela) dari kedua belah pihak.

XI. Materi TM 11

Kaidah fiqhiyah ghairu asasiyah dalam muamalah dan ekonomi

A. Kaidah asal dalam ibadah dan muamalah


Hukum asal dalam ibadah adalah terlarang, maka suatu ibadah tidak disyariatkan
kecuali ibadah yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dijelaskan oleh Syaikh
Muhammad Husain Al Jizani mengenai makna kaidah ini, beliau mengatakan: “Hukum
mustashab (hukum asal) yang ada pada aktifitas taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
adalah terlarang dan haram, tertolak dan batil, kecuali ibadah yang datang dalilnya dari
syariat dan diizinkan oleh syariat maka ia tidak terlarang.” Beliau juga mengatakan:
“Mendekatkan diri kepada Allah tidak mungkin kecuali dengan apa yang Allah syariatkan.
Ini adalah konsekuensi tauhid dan iman kepada Allah. Yaitu tauhid ittiba’, yang merupakan
salah syarat dari amalan agar bisa disebut amalan shalih. Karena amalan itu tidak diterima
kecuali memenuhi dua syarat: ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan syariat). Maka
kaidah ini terkait dengan syarat ke dua yaitu mutaba’ah. Barang siapa yang mengklaim
suatu aktifitas itu adalah ibadah, maka ia dituntut untuk mendatangkan dalil yang bisa
mengesahkan ibadah tersebut, yang berupa nash dari Al Qur‟an dan As Sunnah."
Kaidah yang mulia ini berlaku dalam banyak permasalahan ibadah. Diantaranya dalam
permasalah berikut ini:
i. Nama dan sifat Allah tauqifiyah. Artinya tidak boleh menyematkan nama dan sifat
kepada Allah kecuali nama dan sifat yang terdapat dalilnya. Al Qarafi mengatakan:
“Hukum asal menyematkan suatu nama bagi Allah adalah terlarang kecuali yang
terdapat dalil tentang nama tersebut. Karena untuk berbicara dengan para raja di dunia
saja butuh untuk mengetahui sebutan apa yang diizinkan oleh mereka untuk memanggil
diri mereka, akan dipakai panggilan tersebut ketika sudah diketahui bahwa panggilan
tersebut diizinkan. Maka sikap tersebut lebih layak diterapkan kepada Allah ta‟ala.
Karena ini adalah kaidah adab, dan adab kepada Allah itu lebih istimewa.”
ii. Lafadz-lafadz dzikir itu tauqifiyah. Artinya tidak boleh mengamalkan lafadz-lafadz
dzikir yang mu‟ayan (bukan dzikir mutlaq) kecuali lafadz-lafadz dzikir yang terdapat
dalilnya. Semisal bacaan dzikir-dzikir dalam shalat, lafadz adzan, lafadz iqamah, doa
hendak makan, doa hendak masuk masjid, doa berbuka puasa, doa bersin, dll.
iii. Larangan ghuluw (melebihi batas) dalam beragama. Diantara konsekuensi dari kaidah
ini adalah dilarangnya ghuluw (berlebihan) dalam beragama dan perintah untuk
tawasuth (pertengahan). Sikap pertengahan adalah yang sesuai dengan dalil, dan
ghuluw adalah yang melebihi apa yang ditunjukkan oleh dalil.
iv. Tidak membuat-buat tata cara dan metode pelaksanaan suatu ibadah Di antara
penerapan dari kaidah ini adalah dilarangnya membuat-buat tata cara dan metode baru
dalam ibadah dan wajib mutaba‟ah (mengikuti tuntunan Nabi SAW). Syaikh Sami Asy
Shuqair hafizhahullah menjelaskan bahwa mengikuti tuntunan Nabi SAW dalam
ibadah adalah dengan menyesuaikan sifat-sifat ibadah tersebut sebagaimana yang
diizinkan oleh syariat. Suatu ibadah tidak teranggap kecuali jika diizinkan oleh syariat
dalam enam sifat: (1) sebab pelaksanaannya (2) jenisnya (3) kadar bilangannya (4) tata
caranya (5) waktunya (6) tempatnya.
B. Kaidah kemaslahatan Syariah
Fiqh Islam adalah tidak lebih merupakan formulasi dari pemahaman terhadap syari„at
yang kemudian dimaksudkan agar setiap individu Muslim dapat membangun perilaku dan
pribadinya berdasarkan akidah, syariah, akhlaq Islam secara integral dan terpadu dalam
bingkai substansial hukum Islam yang holistik dan komperehensif. Kalaupun dilakukan
pendekatan formalistik terhadap fiqh maka sudah semestinya harus dibarengi dengan upaya
mengedepankan akhlak (etika moral). Sehingga dalam aplikasi cenderung tidak
disalahgunakan atau tercerabut dari tujuan semula ditetapkannya syariat Islam.
Pandemi Covid-19 adalah salah satu masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan dan
pemeliharaan jiwa. Oleh karena itu ketika kita dihadapkan pada masalah ini, maka akan
muncul beberapa persoalan, seperti: mana yang lebih didahulukan (maslahat) antara
beribadah di rumah dan di masjid, bekerja di rumah atau di luar rumah, dan lain-lain. Dari
sini, maka yang harus menjadi skala prioritas menurut teori kemaslahatan dalam fiqh adalah
yang kemaslahatannya lebih luas dan urgen (penting/utama) yaitu menjaga dan memelihara
jiwa, baik kemaslahatan/kesehatan jasmani maupun rohani.
C. Kaidah lafaz dan niat dalam akad
Niat secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang berarti al qasdu, al-hajah yang
berarti, maksud, tujuan, hajat. Dalam terminologi syara‟, niat bermakna “al-„azmu ala fi‟li
syai‟ taqarruban ila Allah.” Artinya adalah keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu
sebagai bentuk pendekatan kepada Allah. Kamus Besar Bahasa Indonesia, mendefinisikan
niat sebagai : 1) maksud atau tujuan suatu perbuatan; 2) kehendak (keinginan dalam hati)
akan melakukan sesuatu; 3) janji untuk melakukan sesuatu jika cita-cita atau harapan
terkabul; kaul; nazar.7 Sementara jika kata niat dikonversi ke dalam bahasa Inggris maka
ia berarti intention, plan, aim.
Dari beberapa arti niat di atas, dapat disimpulkan bahwa niat adalah maksud, tujuan,
harapan, yang ingin dicapai seseorang dalam melakukan suatu perbuatan, yang tertanam
dalam hatinya, dan terimplementasi dalam tindakannya.
Kaidah ini merupakan derivasi atau turunan dari kaidah sebelumnya, yaitu al umuru bi
maqashidiha. Ini karena ucapan merupakan salah satu makna dari al-umuur. Kaidah al-
umuru bi maqashidiha bersifat lebih umum yang mencakup seluruh bab pembahasan dalam
ilmu fikih, namun kaidah ini lebih bersifat khusus mencakup beberapa bab mu’amalah.
Bab tersebut di antaranya adalah bab buyu (jual beli), nikah, dan da’awa (tuntutan).
XII. Materi TM 12

Kaidah fiqhiyah ghairu asasiyah dalam muamalah dan ekonomi

A. Kaidah hasil dan resiko


Dasar kaidah “hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung
kerugian” (al kharāj bi al dhomān) ialah Hadits Nabi yang artinya: “Bahwa seorang laki-
laki menjual seorang budak, maka budak itu bermukim di tempat pembeli dalam beberapa
hari kemudian si pembeli mendapatkan cacat pada budak tersebut dan melaporkan kepada
Nabi SAW, maka Nabi mengembalikan budak itu kepada laki-laki yang menjual. Maka
laki-laki itu berkata: “Wahai Rasulullah, ia (pembeli) telah mempekerjakan (mengambil
manfaat) terhadap budakku.” Rasulullah bersabda: “Hak mendapatkan hasil itu disebabkan
oleh keharusan menanggung kerugian.”
Jadi Al-Kharāj ialah segala apa yang keluar dari sesuatu, baik berupa pekerjaan,
manfaat maupun benda-benda seperti buah dari pohon, susu dari kambing dan sebagainya,
dan kesemuanya adalah menjadi milik dari yang menanggungnya, sebab kalau ada
kerugian, maka ia pula yang menanggungnya.
Kaidah al kharāj bi al dhomān dalam banyak literatur selalu bersandingan dengan
kaedah al ghunmu bi al ghurmi yang bermakna: profit muncul bersama risiko atau risiko
itu menyertai manfaat. Maksud dari kaidah al ghunmu bi al ghurmi ialah bahwa seseorang
yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung risiko. Sedangkan menurut Umar Abdullah
al-Kamil, makna yang tersirat dari kaidah ini adalah bahwa barang siapa yang memperoleh
manfaat dari sesuatu yang dimanfaatkannya maka ia harus bertanggung jawab atas dhoror
atau ghurmu sertadhomān yang akan terjadi. Misal, biaya notaris adalah tanggung jawab
pembeli kecuali ada keridhoan dari penjual untuk ditanggung bersama. Demikian pula
halnya, seseorang yang meminjam barang, maka ia wajib mengembalikannya dan risiko
biaya-biaya pengembaliannya.
B. Kaidah qardh
Dalam kaidah fiqh muamalah, dasar hukum qardh adalah: ”Hukum asal dalam semua
bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
“Setiap pinjaman yang menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan riba”. Al-
qardh adalah suatu akad antara dua pihak, dimana pihak pertama memberikan uang atau
barang kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang
tersebut harus dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak pertama.
Al-Qardh merupakan salah satu bentuk kegiatan sosial, maka pemberi pinjaman berhak
meminta ganti hartanya jika telah jatuh tempo. Hal itu karena akad qardh adalah akad yang
menuntut pengembalian harta sejenis pada barang mitsliyat, sehingga mengharuskan
pengembalian gantinya jika telah jatuh tempo, seperti keharusan mengganti barang yang
rusak. Maka demikian pula utang yang sudah jatuh tempo tidak dapat ditangguhkan meski
ada penangguhan. Hal ini berbeda dengan masalah barang pengganti dalam akad jual beli
atau akad ijarah, dimana jika terjadi penangguhan dalam akad itu hingga waktu tertentu
maka tidak dibolehkan menuntut penyerahan barang pengganti sebelum datang tempo yang
demikian itu.
C. Kaidah gharar
Kata gharar mengandung arti penipuan, atau penyesatan, tetapi juga dapat berarti
sesuatu yang membahayakan, risiko atau hazard. Dalam interpretasi dunia keuangan,
gharar bisa diartikan sebagai ketidakpastian, risiko atau spekulasi. Gharar secara Bahasa
memiliki beberapa arti, yaitu gharar berarti risiko (khatar), yang mana maksudnya berkaitan
objek akad yang tidak jelas, apakah objek akadnya cacat atau tidak cacat, karena samar atau
tidak jelas kualitas dan kuantitas objeknya.
Terdapatnya risiko yang berupa keutuhan objek akad (cacat atau samar) sehingga
berpotensi melahirkan adanya perselisihan. Oleh karena itu, gharar dapat diartikan sebagai
risiko (khatar). Gharar berarti penipuan (khid’ah). Arti gharar yang secara harfiah dianggap
sama dengan khid’ah memiliki beberapa derivasi, diantaranya berkurang hartanya ,
berselisih atau bertengkar tentang sesuatu, terbenam, tidak ingat, buruk/rusak, meragukan
apa yang terlihat, dan tertipu. Gharar berarti samar/ketidakjelasan/ketidakpastian (jahalah),
ini adalah arti gharar yang paling umum.
Definisi lain dikemukakan Ahli fiqh dengan mengartikan gharar adalah sifat dalam
muamalah yang menyebabkan sebagian rukunnya tidak pasti (mastûr al’âqibah). Isitlah lain
dalam ilmu fiqh yang saling berhubungan yakni gharar dan taghrîr. At-taghrir seakar
dengan kata al-gharar menunjukkan kegiatan atau aktivitas yaitu upaya mempengaruhi
pihak lain, baik dengan ucapan maupun tindakan yang mengandung kebohongan, agar
tertarik untuk melakukan transaksi. Definisi lain tentang taghrîr dikemukakan oleh Afzalur
Rahman, Taghrir berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang
mencukupi, atau mengambil risiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung risiko
tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya, atau memasuki kancah resiko tanpa
memikirkan konsekuensinya.
XIII. Materi TM 13

Sebab-sebab perbedaan pendapat para fuqaha

A. Perbedaan dalam penerimaan nash


Untuk memahami pengertian nash perlu dijelaskan pengertian Islam menjadi tiga level
yakni:
Pertama, Islam pada level teks asli berupa al Quran dan sunnah nabi Muhammad SAW.
Pada level ini teks Islam didefinisikan sebagai wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi
Muhammad SAW. untuk kebahagiaan umat manusia di dunia dan akhirat.
Kedua, Islam pada level pemahaman dan penafsiran terhadap teks asli. Pada level ini
Islam dapat disebutkan sebagai produk pemikiran dan banyak penafsiran serta pemahaman
terhadap teks asli.
Ketiga, Islam pada level praktek muslim dalam kehidupan nyata sesuai dengan latar
belakang historis, budaya dan tradisi masing-masing.
Dari ketiga level pengertian Islam tersebut dapat dipahami bahwa, pengertian nash
adalah wahyu Allah atau teks yang ada dalam al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Dalam penerimaan Nash, terdapat perbedaan diantara kalangan ulama. Hal ini
disebabkan oleh berbedanya sumber hukum yang diakibatkan oleh 4 perkara, yakni:
1) Keberadaan Hadis.
2) Fatwa Sahabat dan Kedudukannya
3) Subyek dan Kekuatan Ijma
4) Ikhtilaf di Sekitar Qiyas
B. Perbedaan dalam pemahaman nash
Maksud memahami nash disini tidaklah seperti yang dirumuskan para ulama fikih dan
ulama tafsir, tetapi sifatnya lebih praktis dan operasional dalam kaitannya dengan
pembagian nash. Bagaimana memahami nash yang diwahyukan dimasa nabi Muhammad
SAW masih hidup, dalam kaitannya dengan praktik dan operasional masa dan kondisi
sekarang dalam banyak hal berbeda dengan masa dan kondisi di masa nabi.
Untuk memahami nash perlu memahami tentang nash normatif-universal (tekstual) dan
nash praktis temporal (kontekstual).
C. Perbedaan dalam penggunaan dalil
Perbedaan antar setiap manusia adalah alami dan niscaya. Demikian itu mengacu pada
manifestasi perbedaan bahasa, budaya, warna kulit, krakteristik, pemikiran, pemahaman,
pengetahuan, dan sebagainya. Terjadinya perbedaan dalam berbagai aspek merupakan
kehendak Allah SWT. Ia tidak bisa dihindari dan dinegasikan.
Pemikiran hukum yang dihasilkan para Juris Muslim itu juga menyisakan perdebatan
dan perbedaan pendapat yang luar biasa sulit untuk didamaikan dalam satu platform yang
sama, atau dalam satu kalimatun sawa yang mampu mengakomodir seluruh bentuk
perbedaan pendapat yang terjadi. Beberapa perbedaan pendapat itu memang berhasil
dikompromikan atau dibuatkan solusi penyelesaian akhirnya, namun tidak sedikit juga
perbedaan pendapat para fuqaha itu mengalami jalan buntu (Tawaquf) sehingga
pengimplementasian hasil ijtihad imam madzhab itu tergantung tingkat kepercayaan
ummat terhadap imam madzhab itu sendiri. Dan tentunya tergantung pada kemauan atau
selera madzhab yang dipilih oleh pemerintahan sebuah negara Muslim yang hendak
mengkompilasi dan mengkanonisasi pemikiran hukum imam madzhab tersebut.
D. Perbedaan dalam jama’ dan tarjih
Ijtihad jama‘i dapat ditakrifkan sebagai kesungguhan dan pengerahan segala keupayaan
majoriti fuqaha yang berkelayakan untuk berijtihad bagi meghasilkan zann (sangkaan
kuat) dengan hukum syarak melalui cara istinbat, serta mereka bersetuju (sebulat suara
atau majoriti) terhadap sesuatu hukum selepas sesi perbincangan yang mendalam.
Ijtihad jama‘i juga ditakrifkan sebagai kesungguhan dan pengerahan segala
keupayaan yang dilakukan oleh sekumpulan ulama yang berkelayakan untuk berijtihad
beserta pakar-pakar keilmuan yang mahir dalam sesuatu isu yang sedang dikaji dan
dibahaskan untuk menghasilkan zann (sangkaan kuat) dengan hukum syarak terhadap
sesuatu masalah lama atau baharu yang bersangkut paut dengan kehidupan umum umat
Islam atau sebahagian daripada mereka di sesebuah negeri atau negara.
Secara bahasa, tarjih artinya menguatkan atau memberatkan. Menurut Ibnu Hajib dan
al Amidi, tarjih didefinisikan sebagai membandingkan dua dalil yang bertentangan dan
mengambil yang terkuat di antara keduanya.
Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan tarjih sebagai kelebihan suatu dalil dari dalil
lainnya, sedangkan dalil itu sendiri tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, dua dalil yang
bertentangan itu memiliki kekuatan yang sama. Untuk memilih mana yang dimenangkan,
diperlukan dalil lain sebagai pendukung. Menurut Ensiklopedi Islam, hakikat dan tujuan
kedua definisi itu sama, yakni menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang sama untuk
diamalkan. Kedua dalil yang bertentangan ini harus memiliki kedudukan yang sama, yakni
zanni (tidak tegas).
Munculnya pertentangan dua dalil ini dimungkinkan oleh para mujtahid ketika mereka
membahas dalil-dalil yang ada. Namun mereka sepakat, pertentangan yang dimaksud
bersifat lahir zahiri saja karena pembuat hukum, yakni Allah SWT tidak mungkin
menurunkan dua perintah atau larangan yang saling bertentangan. Ada beberapa cara yang
ditempuh dalam mentarjih atau menguatkan salah satu di antara dua dalil yang
bertentangan. Tarjih adakalanya berhubungan dengan nash dan ada kalanya menyangkut
pertentangan dalam qiyas.
Terhadap penyelesaian dua nash yang bertentangan, para ulama mengemukakan
beberapa langkah. Pentarjihan terhadap salah satu nash dilakukan dalam empat sisi.
Pertama, tarjih dari sisi sanad. Kedua dari sisi matan, ketiga dari sisi hukum yang
dikandung hadis, dan keempat dari indikator pendukung dalil lain. Tarjih dari segi sanad
oleh Imam ays-Syaukani dikatakan dapat dilakukan dengan beberapa cara.
Pertama, tarjih dilihat dari segi rawi. Misalnya sanad yang memiliki banyak rawi lebih
dikuatkan daripada sanad yang rawinya sedikit. Tarjih dipilih terhadap sanad yang salah
satu rawinya lebih adil, lebih takwa, dan lebih kuat ingatannya daripada rawi yang tidak
demikian.
Kedua, tarjih dari segi yang diriwayatkan itu sendiri. Misalnya lebih menguatkan hadis
mutawatir (yang diriwayatkan banyak orang) daripada hadis masyhur (diriwayatkan
beberapa orang saja). Hadis masyhur lebih dikuatkan daripada hadis ahad (yang
diriwayatkan satu orang saja).
Ketiga, mentarjih dari sisi cara menerima hadis. Misalnya lebih menguatkan hadis yang
diterima melalui pendengaran langsung dari Nabi SAW daripada hadis yang didapati dalam
tulisan saja.
Tarjih dari segi matan, menurut al-Amidi, dikatakan dapat dilakukan dengan beberapa
cara, misalnya matan yang sifatnya melarang lebih didahulukan daripada matan yang
sifatnya menyuruh. Matan yang menguatkan perintah didahulukan daripada matan yang
hanya sifatnya membolehkan.
Adapun tarjih melalui faktor luar, misalnya lebih mendahulukan amalan ahli Madinah
(penduduk Madinah) atau amalan Khulafaur Rasyidin daripada amalan orang lainnya. Serta
lebih menguatkan dalil yang didukung ijmak atau qiyas daripada dalil yang sama sekali
tidak didukung dalil lain. Jika yang bertentangan itu antara qiyas dan qiyas maka dapat
ditarjih dari tiga sisi, yakni dari segi asl (pokok) dari segi furu (peristiwa hukum yang akan
ditentukan hukumnya) dari segi illat (sebab).
XIV. Materi TM 14

Penerapan Ushul Fiqh dalam Ekonomi di Indonesia

A. Penerapan oleh Bahtsul Masail


Sebagaimana yang telah kita ketahui salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia
adalah Nahdhatul Ulama, dan dalam meyikapi suatu masalah Nahdhatul Ulama
mempunyai lembaga fatwa sendiri yakni LBM (Lembaga Bahtsul Masail). Sesuatu
namanya Bahtsul Masail, yang berarti pengkajian terhadap masalah-masalah agama. Kita
maklum, bahwa dari berbagai ilmu pengetahuan agama, fiqih merupakan pengetahuan yang
dipandang penting, termasuk bagi ormas NU. Fiqih diposisikan sebagai ratu ilmu
pengetahuan. Sebab fiqih merupakan petunjuk bagi seluruh perilaku dan penjelas apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh. Maka untuk melakukan transformasi di lingkungan NU
mesti dibarengi dengan transformasi tradisi pemikiran fiqih baik kerangka teoritis (ushul
fiqh) maupun kaidah-kaidah fiqih (qawaidul fiqhiyah). Pada mulanya Bahtsul Masa'il
dilaksanakan setiap tahun, yaitu pada Muhkmatamar I sampai dengan Muhkmatamar XV
(1926 - 1940). Namun karena keadaan yang kurang stabil berkaitan dengan meletusnya
perang dunia II, maka pelaksanaanbahtsul masa‘il juga tersendat- sendat mengiringi
tersendatnya Muktamar.
HM. Cholil Nafis, salah satu pengurus besar NU pernah menerangkan, bahwa dalam
perkembangannya sebagai wadah ilmiah NU dalam mencari solusi setiap problem hukum
Islam yang dihadapi oleh masyarakat dibagi dalam tiga periode. Pertama, periode ta‟sis
(pembentukan). Peride ini dimulai sejak berdirinya NU dan dipraktekkan setelah beberapa
bulan berikutnya sampai tahun 1990-an. Pembentukan bahtsul masa‘il merupakan
pelembagaan dan formalisasi kegiatan yang merupakan bagian dari proses pelaksanaan
fungsi tradisional para kyai pesantren sebagai simbol otoritas keagamaan atas
permasalahan keagamaan aktual (masa‟il diniyyah waqii‟iyyah) yang diajukan masyarakat
ataupribadi yang menjadi unsurnya. Kedua, periode tajdid (pembaharuan). Periode ini
dimulai dengan keputusan Musyawarah Nasional tahun 1992 di Lampung yang
memutuskan tentang metode pengambilan (istimbath) hukum untuk mengatasi kebuntuan
hukum (mauquf) karena tidak ada ibarat kitabnya, sampai tahun 2000-an. Dalam keputusan
Munas tersebut, metode istimbath dibagi menjadi tiga tingkatan; metode istimbath qauli
(termaktub ibarat kitab), metode ilhaqi (analogi masalah kepada masalah yang sudah ada
ketentuan hukumnya dalam ibarah kitab) dan metode manhaji (menetapkan hukum dengan
cara mengikuti metode imam mazhab tentang masalah yang tidak bisa dijawab oleh metode
qauli dan ilhaqi)
B. Penerapan oleh Majlis Tarjih
Sebelum mengerucut kepada pembahasan tentang bagaimana penerapan ushul
fiqihdalam ekonomi menurut Majelis Tarjih, perlu diketahui dahulu apa itu Majlis Tarjih
secara spesifik. Menurut bahasa, kata “Tarjih” berasal dari “Rajjaha” yang berarti
memberikan pertimbangan lebih daripada yang lain. Sebagian besar ulama Hanafiyah,
Syafiiyah dan Hanabilah memberikan rumusan bahwa tarjih itu perbuatan mujtahid
sehingga dalam kitab Kasyf-u I-Asrar disebutkan bahwa Tarjih itu yang berarti “Usaha
yang dilakukan olehMujtahid untuk mengemukakan satu di antara dua jalan yang
bertentangan, karena adanya kelebihan nyata untuk dilakukan tarjih itu.” Dalam penjelasan
kitab tersebut dikatakan bahwa Mujtahid yang mengemukakan satu dari dua dalil itu lebih
kuat dari yang lainnya karena adanya keterangan, baik tulisan, ucapan maupun perbuatan
yang mendorong Mujtahid untuk mengambil yang mempunyai kelebihan dari yang lain.
Sehingga dapat disimpulkan bahwaMajlis Tarjih adalah sebuah majelis dibawah
naungan organisasi masyarakat yaitu Muhammadiyah. Majelis ini memiliki tanggung
jawab yang besar dan strategis dalam memberikan bimbingan keagamaan (religious
guidance) di kalangan umat islam, khususnya bagi warga persyarikatan Muhammadiyah.
Maka wujud pertanggungjawaban itu berupa upaya perumusan keputusan-keputusan
hukum yang didasarkan kepada metodologi pengambilan hukum (manhaj Istinbath al
ahkam) yang cukup kuat.
Sejak tahun 1935 upayaperumusan metodologi pengambilan hukum di Muhammadiyah
mulai dilakukan. Sorotan persoalan yang pertama dikaji oleh ulama Muhammadiyah adalah
masalah lima (mabadi khamsah) yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam
persoalan keagamaan secara umum. Upaya perumusan dan penyempurnaan metodologi
yang kemudian diberi nama Manhaj Tarjih terus dikembangkan hingga saat ini. Namun
perlu dipertimbangkan kembali sebelum menyepakati Manhaj Tarjih, yaitu harus
terpenuhinya unsur-unsur tarjih. Pertama adalah adanya dua dalil, kedua, adanya sesuatu
yang menjadikan salah satu dalil itulebihutama dari yang lain. Sedangkan untuk dua dalil
itu disyaratkan:
a. Bersamaan Martabatnya
b. Bersamaan Kekuatannya
c. Keduanya menetapkan hukum yang sama dalam satu waktu
C. Penerapan oleh DSN MUI
Dasar umum dan sifat fatwa MUI sebagai berikut:
a) Penetapan fatwa didasarkan pada al-Qur’an, Sunnah (hadits), Ijma’, dan Qiyas serta
dalil-dalil yang mu’tabar.
b) Aktivitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh komisi fatwa.
c) Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif.

Sedangkan syarat keputusan fatwa yang harus dipenuhi oleh MUI ketika memproduk
fatwanya sebagai berikut:

a) Setiap keputusan fatwa harus ditanfizkan setelah ditandatangani oleh Dewan pimpinan
dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF).
b) Surat keputusan fatwa harus dirumuskan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh
masyarakat.
c) Dalam surat keputusan fatwa harus dicantumkan alas an-alasannya disertai uarian dan
analisis secara ringkas, serta sumber pengembilannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupan Sehari-hari. Jakarta:
Pustak Al-Kautsar

Andiko, Toha. 2011. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah. Yogyakarta: Penerbit Teras.

Azhari, F. (2015). Qawaid Fiqhiyah Muamalah. Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan


Kualitas Ummat Banjarmasin.

Darmawan. 2020. Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah. Surabaya: Revka Prima Media

Ibrahim, Duski. 2019. Al-Qawaid, Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). Noerfikri:


Palembang

Karim, Adiwarman A., Oni Sahroni. 2016. Riba, Gharar dan Kaidah- Kaidah Ekonomi
Syariah: Analisis Fikih dan Ekonomi. Jakarta: Rajawali Pers.

Mohammad Mufid. Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer: dari Teori ke
Aplikasi. Jakarta: Kencana, 2016

Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia

Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana

Tahir Mansoori. 2010. Kaidah-kaidah Fiqih keuangan dan transaksi bisnis. Bogor: Ulil
Albab Institute

Anda mungkin juga menyukai