Resume Ushfiq
Resume Ushfiq
Disusun Oleh:
Maka dapat disimpulkan bahwa ushul fiqh berarti suatu disiplin ilmu yang
membahas tentang metode atau cara menggali hukum-hukum praktis yang bersumber
dari dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadists yang bersifat terperinci.
Adapun ruang lingkup disiplin ilmu ushul fiqh menurut Muhammad Abu Zahrah
adalah mengenai metodologi penetapan hukum-hukum fiqih. Fiqih dan ushul sama-
sama membahas dalil-dalil syar’i akan tetapi tinjauannya berbeda. Fiqih lebih kepada
hukum-hukum yang bersifat cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia,
sedangkan ushul fiqh lebih kepada metode penetapan hukum, kalisifikasi argumentasi
serta analisis terhadap situasi dan kondisi yang melatarbelakangi dalil-dalil tersebut.
A. Pengertian Al Qur’an
Secara bahasa diambil dari kata: وقرانا- قراة- یقرا- قر اyang berarti sesuatu yang
dibaca. Arti ini mempunyai makna anjuran kepada umat Islam untuk membaca Al
Qur’an. Al Qur’an juga bentuk mashdar dari القراةyang berarti menghimpun dan
mengumpulkan. Dikatakan demikian sebab seolah-olah Al Qur’an menghimpun
beberapa huruf, kata, dan kalimat secara tertib sehingga tersusun rapi dan benar.
Oleh karena itu Al Qur’an harus dibaca dengan benar sesuai sesuai dengan
makhraj dan sifat-sifat hurufnya, juga dipahami, diamalkan dalam kehidupan sehari-
hari dengan tujuan apa yang dialami masyarakat untuk menghidupkan Al Qur’an baik
secara teks, lisan ataupun budaya.
Al Qur’an menurut istilah adalah firman Allah SWT. Yang disampaikan oleh
Malaikat Jibril dengan redaksi langsung dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad
SAW, dan yang diterima oleh umat Islam dari generasi ke generasi tanpa ada
perubahan.
B. Fungsi Al Qur’an
Al Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang memiliki banyak manfaat
bagi umat manusia. Al Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh manusia
melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai Rosul yang dipercaya
menerima mukjizat Al Qur’an, Nabi Muhammad SAW menjadi penyampai,
pengamal, serta penafsir pertama dalam Alquran. Fungsi Alquran antara lain:
1. Al-Huda (petunjuk). Di dalam Al Qur’an ada tiga posisi Al Qur’an yang fungsinya
sebagai petunjuk. Al Qur’an menjadi petunjuk bagi manusia secara umum, petunjuk
bagi orang-orang yang bertakwa, dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Jadi
Al Qur’an tidak hanya menjadi petunjuk bagi umat Islam saja tapi bagi manusia
secara umum. Kandungan Al Qur’an memang ada yang bersifat universal seperti
yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan itu bisa menjadi petunjuk bagi semua
orang tidak hanya orang yang beriman Islam dan bertakwa saja.
2. Asy-Syifa. Di dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Al Qur’an merupakan obat bagi
penyakit yang ada di dalam dada manusia. Penyakit dalam tubuh manusia memang
tak hanya berupa penyakit fisik saja tapi bisa juga penyakit hati Perasaan manusia
tidak selalu tenang, kadang merasa marah, iri, dengki, cemas, dan lain
lain.Seseorang yang membaca Al Qur’an dan mengamalkannya dapat terhindar dari
berbagai penyakit hati tersebut.
3. Al-Furqon (pemisah) Nama lain Al Qur’an adalah Al-Furqon atau pemisah. Ini
berkaitan dengan fungsi Al Qur’an lainnya yang dapat menjadi pemisah antara yang
hak dan yang batil, atau antara yang benar dan yang salah. Di dalam Al Qur’an
dijelaskan berbagai macam hal yang termasuk kategori salah dan benar atau hak dan
yang batil.
4. Al-Mu’izah (nasihat) Al Qur’an juga berfungsi sebagai pembawa nasihat bagi
orang orang yang bertakwa. Di dalam Al Qur’an terdapat banyak
pengajaran, nasihat-nasihat, peringatan tentang kehidupan bagi orang-orang
yang bertakwa, yang berjalan di jalan Allah. Nasihat yang terdapat di dalam Al
Qur’an biasanya berkaitan dengan sebuah peristiwa atau kejadian, yang bisa
dijadikan pelajaran bagi orang-orang di masa sekarang atau masa setelahnya
2. Kehujjahan dan Petunjuk Al Qur'an
● Kehujjahan Al Qur'an
● Petunjuk Al Qur'an
Al Qur'an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
secara mutawatir (bersambung) dengan perantaraan Malaikat Jibril, dan berpahala bagi
orang yang membacanya. Demikianlah makna Alquran sebagaimana dijelaskan oleh
Subhi As-Salih dalam kitabnya Mabahits fi 'Ulum Al-Qur'an dan Jalaluddin As-
Suyuthi dalam Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, serta Manna' al-Qattan dalam Mabahits fi
'Ulum Al-Qur'an.
Al Qur'an berisi tentang berbagai hal, mulai dari masalah ibadah, amaliyah
(perbuatan) manusia, hari akhir, kisah-kisah umat terdahulu, kitab-kitab Allah yang
diturunkan kepada rasul-rasul-Nya, sejarah, serta ilmu pengetahuan.
Al Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab untuk memudahkan Rasul SAW dalam
memahaminya dan mengajarkannya kepada seluruh umat manusia. Lihat surah Ar-
Ra'du ayat 37, An-Nahl : 103, Fushshilat : 3 dan 44, Al-An'am : 156, Thaaha [20]: 113,
Asy-Syu'ara : 7 dan 195, Az-Zumar : 28, Az-Zukhruf : 3, dan Al-Ahqaf : 12.
Alquran diturunkan secara berangsur-angsur. Tujuannya agar lebih mudah
dipahami, dihafal, serta diamalkan. Cara seperti ini, maka Nabi Muhammad SAW
akan memudah memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh
umatnya maupun orang-orang kafir.
● Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah secara bahasa (etimologi) adalah jalan, peraturan, cara yang
dibiasakan atau cara yang terpuji. Sunnah lebih umum disebut dengan hadits yang
mempunyai beberapa arti secara etimologis, yaitu : Qorib artinya dekat, Jadid artinya
baru, dan Khobar yang artinya berita atau warta.
Sedangkan Sunnah menurut istilah syara’ adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik yang berupa perkataan, perbuatan,
sifat atau pengakuan.
Pengertian As-Sunnah secara terminologi juga bisa dilihat dari tiga bidang
ilmu yaitu :
i. Menurut ulama ahli hadits, sunnah identik dengan hadits yaitu semua yang
disandarkan kepada nabi Muhammad baik perkataan, perbuatan atau
ketetapannya sebagai manusia biasa termasuk akhlaknya baik sebelum atau
sesudah menjadi Rasul.
ii. Menurut ulama ushul fiqh, sunnah diartikan semua yang lahir dari Nabi SAW
baik berupa perkataan, perbuatan ataupun pengakuan.
iii. Sunnah menurut para ahli fiqh, disamping mempunyai arti seperti yang
dikemukakan para ulama ushul fiqh, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum
taklif yang mengandung pengertian, “ perbuatan yang apabila dikerjakan
mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa”.
● Pembagian As-Sunnah
Sunnah atau hadits berdasarkan definisi menurut para ahli di atas, dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Sunnah Qauliyah, yaitu khabar berupa perkataan Nabi SAW yang didengar dan
disampaikan oleh seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain.
2. Sunnah Fi’liyah, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW yang diketahui
dan disampaikan oleh para sahabat kepada orang lain. Seperti tata cara menunaikan
shalat lima waktu yang dipraktekkan Nabi, cara wudlu’ dan cara haji.
3. Sunnah Taqririyah, yaitu sesuatu yang timbul dari sahabat Rasulullah SAW yang telah
diakui oleh beliau, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
● Fungsi Sunnah
● Kehujjahan as-Sunnah
Para ulama sepakat bahwa sunnah rasul yang berbentuk fi'liyah, qauliyah, dan
tagrifiyah merupakan sumber asli dari hukum syara dan menempati posisi kedua
setelah Al-Qur’an.
III. Materi TM 3
I. Pengertian Ijma
Kata ijma’ berarti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan atau kesepakatan
tentang suatu masalah. Menurut Abdul Karim Zaidah dalam kitabnya al-Wajiz fi Ushul
al-Fiqh, ijma’ adalah konsensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul
wafat atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus. Menurut Al-Ghazali dalam kitab
al-Mustasfa menyatakan bahwa ijma’ merupakan suatu kesepakatan umat Nabi
Muhammad SAW atas suatu perkara yang berhubungan dengan urusan agama.
Menurut Abu Zahrah, para ulama sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai
dalil hukum. Ijma’ dianggap sah menurut syara’ apabila memenuhi empat unsur sebagai
berikut:
a. Terdapat beberapa mujtahid yang memungkinkan untuk mencapai kesepakatan
ketika terjadinya peristiwa tersebut;
b. Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian terjadi oleh seluruh
mujtahid Islam tanpa memandang asal, kebangsaan maupun kelompoknya;
c. Kesepakatan diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid;
d. Kesepakatan harus benar-benar disepakati hingga tidak terjadi pertentangan.
Apabila keempat unsur dapat dipenuhi, maka hasil kesepakatan wajib hukumnya
ditaati oleh umat Islam. Kemudian para mujtahid yang lahir semasa setelah kesepakatan
itu terjadi, tidak boleh menjadikan kejadian tersebut menjadi objek ijtihad karena
hukumnya telah ditetapkan melalui proses ijma’.
Pandangan Ulama tentang Ijma'
Definisi yang diberikan oleh Abu Hanifah tentang ijma seperti yang
didefinisikan oleh jumhur ulama sunny lainnya yaitu kesepakatan para mujtahid ulama
islam di suatu masa sesudah masa Nabi saw terhadap suatu urusan.
Sedangkan definisi yang dipakai oleh Imam Malik yaitu bahwa ijma
merupakan persetujuan pendapat ahl-al halli wal aqdi dari umatin karena menurunnya
suatu urusan yang telah di ijma’i maka ia telah di ijma'i oleh para ahli fiqih dan ahli ilmu
dan mereka tidak berselisih di dalamnya.
Sedangkan Imam Ahmad sendiri berpendapat bahwa ijma tidak mungkin
terjadi dan sangat sulit untuk mengetahuinya karena ijma tidak mungkin terjadi selain
pada masa sahabat.
Menurut penegasan ulama Hanafiyyah bahwa Abu Hanifah ijma adalah
salah satu hujjah agama dan mereka tidak membedakan antar macam-macam ijma itu (
ijma qauli dan ijma sukuti), adapun Imam hanafiyyah menetapkan ijma hanya mealului
logika (dalil akal).
Sementara menurut Imam Malik ijma penduduk Madinah yang dapat di
jadikan hujjah yaitu ijma mereka terhadap masalah-masalah yang telah di tetapkan oleh
Rasulullah SAW.
Iman syaf’i menyimpulkan bahwa tidak dapat seorang mendakwahkan ijma
terkecuali pada sekumpulan fardu yang telah di tetapkan agama.
Kedudukan Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber
atau dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan Sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan
hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam apabila tidak ada ketetapan
hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Untuk menguatkan pendapatnya ini jumhur
mengemukakan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi. Beberapa ayat Al-Qur’an yaitu
QS. An-Nisa: 59 dan 115, QS. Al-Baqarah: 143, QS. Ali ‘Imron: 103 dan 110. Adapun
dari dalil sunnah, ada hadis Nabi yang terdapat dalam beberapa periwayatan yang
berbeda rumusannya namun sama maksudnya yaitu bahwa umat Nabi Muhammad SAW.
tidak akan sepakat dalam kesalahan. Di antara rumusan hadis tersebut adalah: “Umatku
tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Umatku tidak akan sepakat untuk
melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan
kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan”.
Dalam hadis ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama-
sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu terpelihara dari
kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat umat Islam.
Pembagian Ijma'
Pembagian ijma’ apabila dilihat dari cara terjadinya ada dua pembagian, yaitu :
a) Ijma’ Sharih
Ijma sharih berarti semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-
masing, kemudian menyepakati salah satunya. Hal itu bisa terjadi apabila semua
mujtahid berkumpul di suatu tempat, kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat
terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya. Setelah itu, mereka
menyepakati salah satu dari berbagai pendapat dari mereka. Selain itu, dapat pula pada
suatu masa timbul suatu kejadian kemudian seorang mujtahid memberikan fatwa tentang
kejadian tersebut.
b. Ijma’ Sukuti
Ijma’ sukuti berarti pendapat ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para
mujtahid lainnya, tetapi mereka diam serta tidak menyepakati ataupun menolak pendapat
tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan apabila memenuhi beberapa kriteria antara
lain :
• Diamnya para mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya kesepakatan
atau penolakan.
• Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama yang dapat dipakai untuk
memikirkan permasalahannya serta biasanya dipandang cukup untuk
mengemukakan pendapatnya. Namun perlu di ingat bahwa tidak mungkin
menentukan lamanya waktu bagi seorang mujtahid untuk mengeluarkan fatwanya
karena setiap mujtahid memerlukan waktu yang berbeda
II. Pengertian dan Rukun Qiyas
Qiyas menurut etimologi memiliki arti mengukur atau membandingkan sesuatu
dengan yang semisalnya dan menurut hukum (terminologi) ialah terdapat beberapa
definisi yang berbeda yang saling berdekatan artinya.
Definisi qiyas menurut Al Ghazali dalam al-Mustashfa adalah “Menanggungkan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum
pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.
Qiyas memiliki beberapa rukun yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Al Asl
Asl dalam bahasa dapat diartikan sebagai asas, dasar, sumber, dan pangkal.
Sedangkan dalam qiyas, asl adalah sesuatu yang telah terjadi yang akan dijadikan sebagai
obyek pengumpamaan atau kasus yang sudah ada ketetapannya secara hukum nas
maupun ijmak.
1. Al-Far
Far juga disebut dengan musyabbah atau yang diserupakan, maqis atau yang
diqiyaskan. Menurut terminologi far memiliki arti cabang. Sedangkan dalam konteks
qiyas, far diartikan sebagai kasus yang ingin diserupakan kepada aṣl karena tidak adanya
nas yang secara jelas menyebutkan hukumnya. Maka dari itu, far akan diproses untuk
disamakan dengan aṣl. Secara substansial, far yang belum jelas status hukumnya itu
disinyalir memiliki kesamaankesamaan dengan aṣl, oleh karena ada titik temu antara aṣl
dan far. Titik temu itulah yang disebut illat.
1. Hukum asl
Hukum asl memiliki pengertian yaitu hukum syara’ yang ada pada aṣl berdasar
pada legitimasi nas. Hukum aṣl inilah yang nantinya akan berdampak pada far yang
belum memiliki legalitas hukum dari syara’ karena tiadanya nas. Dampak tersebut adalah
kesamaan hukum, hukum yang samasama melekat pada keduanya dikarenakan kesamaan
illat.
1. Al-Illah atau illat
Secara bahasa ‘illat diartikan sebagai alasan. Secara terminologi, ‘illat adalah sifat
yang menjadi landasan hukum dari asl. ‘illat merupakan titik temu daripada asl dan far
yang mana nantinya akan menentukan kasus hukum far itu sendiri.
Pembagian Qiyas
Pembagian Qiyas dilihat dari berbagai segi seperti berikut,
1. Pembagian Qiyas dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada Far, dibandingkan
dengan ‘illat yang terdapat pada Asl. dibagi menjadi tiga,
1. Qiyas Awlawi. yaitu Qiyas yang berlakunya hukum pada Far-nya lebih kuat
dari pada berlakunya hukum pada Asl dikarenakan kekuatan ‘illat pada Far-
nya.
2. Qiyas Masawi. yaitu Qiyas yang berlakunya hukum pada Far sama dengan
berlakunya hukum pada Asl, dikarenakan kekuatan ‘illat pada keduanya adalah
sama.
3. Qiyas al-adwan. yaitu Qiyas yang berlakunya hukum pada Far-nya lebih lemah
daripada berlakunya hukum pada Asl, meskipun qiyas tersebut memenuhi
persyaratan.
2. Pembagian Qiyas dari segi kejelasan ‘illat-nya, terbagi menjadi dua,
1. Qiyas Jali. yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan
penetapan hukum Asl, atau tidak ditetapkan ‘illat-nya dalam nash, namun titik
perbedaan antara Asl dengan Far dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
2. Qiyas Khafi. yaitu qiyas yang ‘illat-nya tidak disebutkan dalam nash. maksudnya
diistinbath-kan (dipahami, digali, dirumuskan dari Al-Quran dan Hadist) dari
hukum Asl yang memungkinkan kedudukan ‘illat-nya bersifat Zhanni (dalil (ayat
atau hadis) yang menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.
atau perkiraan, sangkaan antara benar dan salah).
3. Pembagian Qiyas dari segi keserasian ‘illat-nya dengan hukum, ada dua,
1. Qiyas Muatstsir. yaitu qiyas yang ‘illat penghubung antara Asl dan Far ditetapkan
dengan nash yang sharih ( suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala
diucapkan dan tidak mengandung makna lain) atau ijma’, atau qiyas yang ‘ain sifat
(sifat itu sendiri) yang menghubungkan Asl dengan Far nya berpengaruh terhadap
‘ain hukum.
2. Qiyas Mulaim. yaitu qiyas yang ‘illat hukum Asl dalam hubungannya dengan
hukum haram adalah dalam bentuk munasih mulaim (sifat yang sesuai dan cocok).
4. Pembagian Qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu, dibagi menjadi
tiga,
1. Qiyas al-ma’na atau Qiyas makna Asl. yaitu qiyas yang walau ‘illat-nya tidak
dijelaskan dalam qiyas namun antara Asl dengan Far tidak dapat dibedakan,
sehingga Far-nya seolah-olah Asl itu sendiri.
2. Qiyas ‘illat. yaitu qiyas yang ‘illat-nya dijelaskan dan ‘illat tersebut merupakan
pendorong bagi berlakunya hukum Asl.
3. Qiyas al-dilalah. yaitu qiyas yang ‘illat-nya bukan pendorong bagi penetapan
hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan bagi ‘illat yang memberikan
petunjuk akan adanya’illat.
5. Pembagian qiyas dari segi metode yang digunakan dalam Asl dan dalam Far, dibagi
menjadi empat,
1. Qiyas al-ikhalah. yaitu qiyas yang ‘illat hukumnya ditetapkan melalui metode
munasabah dan ikhlah.
2. Qiyas al-syabah yaitu qiyas yang ‘illat hukum Asl-nya ditetapkan melalui metode
syabah (tidak terang, tidak dibedakan, hampir sama).
3. Qiyas al-sabr. yaitu qiyas yang ‘illat hukum Asl-nya ditetapkan melalui metode
sabru wa taqsim (pengujian, penelitian dan pemilahan. Dimana sifat-sifat yang ada
di teliti dan diuji kelayakannya menjadi ‘illah Asl).
4. Qiyas al-thard. yaitu qiyas yang ‘illat hukum Asl-nya ditetapkan melalui metode
thard (sifat yang tidak ada kesesuaian hukum dan kemaslahatan)
Penerapan Qiyas dalam Ekonomi Islam
1. Jual beli sistem tengkulak
Jual beli tengkulak biasanya dilakukan dengan cara memborong seluruh
barang dengan maksud mengosongkan pasar dan menjualnya ketika permintaan semakin
banyak sehingga harga barang semakin tinggi, jual beli tersebut hukumnya haram, karena
termasuk melakukan upaya menimbun barang. Keharamannya didasarkan kepada illat
hukum bahwa jual beli yang demikian sama dengan penipuan. Yang tertipu bukan hanya
pedagang, tetapi masyarakat pun ikut tertipu, karena adanya upaya penimbunan barang
yang berakibat harga naik.
2. Bunga bank
Memahami bunga bank dari aspek legal-formal dan secara induktif, berdasarkan
pelarangan terhadap larangan riba yang diambil dari teks (nas), dan tidak perlu dikaitkan
dengan aspek moral dalam pengharamannya. Paradigma ini berpegang pada konsep
bahwa setiap utang-piutang yang disyaratkan ada tambahan atau manfaat dari modal
adalah riba, walaupun tidak berlipat ganda. Oleh karena itu, betapapun kecilnya, suku
bunga bank tetap haram. Karena berdasarkan teori qiyâs, kasus yang akan di-qiyas-kan
(fara’) dan kasus yang di-qiyas-kan (asal) keduanya harus disandarkan pada illat jâlî (illat
yang jelas).
3. Berjual beli di waktu adzan pada hari jum’at diharamkan
Analisis rukun Qiyas pada ayat tersebut menunjukkan bahwa keempat rukun Qiyas
telah ada, yaitu :
• jual-beli (al bai’) pada saat adzan Jumat sebagai masalah pokok,
• ijarah sebagai masalah cabang,
• haramnya jual-beli saat adzan Jumat sebagai hukum masalah pokok, yang dapat
diterapkan juga pada masalah cabang (ijarah),
• illat, yaitu melalaikan shalat Jumat.
Dengan adanya keempat rukun Qiyas tersebut, dihasilkan hukum masalah cabang, yaitu
haramnya ijarah pada saat adzan Jumat.
4. Jual beli ‘arayah ialah menjual buah kurma yang masih di pohonnya dengan
kurma
yang sudah kering diperbolehkan sebagai pengecualian larangan menukar sesuatu
yang sama jenisnya kalau takarannya berbeda.
5. Dilarang menawar barang yang sedang ditawar oleh kawannya,
Mayoritas ulama memilih pendapat haramnya bentuk-bentuk jual beli semacam itu,
bahkan menganggapnya sebagai kemaksiatan. Karena transaksi tersebut terjadi sebelum
terlaksananya transaksi pertama. Kalau transaksi kedua terjadi setelah terlaksananya
transaksi pertama, sementara si pembeli tidak mungkin membatalkan transaksi tersebut,
tidak ada larangan dalam hal ini, karena masalah tersebut tidak menimbulkan bahaya.
Transaksi jual beli tersebut tanpa seizin penjual pertama. Kalau penjual pertama
mengizinkannya, tidak menjadi masalah, karena Nabi SAW bersabda, “kecuali bila
penjual pertama atau peminang pertama mengizinkannya.”
IV. Materi TM 4
VI. Materi TM 6
Contoh syar’u man qoblana yang tidak berlaku untuk umat islam
• Memotong bagian yang terkena najis, dalam syariat kita cukup disucikan
• Diharamkan segala binatang berkuku bagi umat nabi musa
• Menebus dosa / taubat dengan nyawa sebagaimana disyariatkan kepada umat nabi Musa
Kaidah yang pertama adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat,
menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya. Contohnya dalam
masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat kebiasaan,
apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering
berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan
sebagai dasar hukum.
Kaidah yang kedua adalah adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat
seperti suatu syarat yang dibuat.
Kaidah yang ketiga Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan
telah memenuhi syarat syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan
penetapan suatu hukum yang didasarkan pada nash.
Kaidah yang keempat adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan
secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya.
XI. Materi TM 11
Sedangkan syarat keputusan fatwa yang harus dipenuhi oleh MUI ketika memproduk
fatwanya sebagai berikut:
a) Setiap keputusan fatwa harus ditanfizkan setelah ditandatangani oleh Dewan pimpinan
dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF).
b) Surat keputusan fatwa harus dirumuskan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh
masyarakat.
c) Dalam surat keputusan fatwa harus dicantumkan alas an-alasannya disertai uarian dan
analisis secara ringkas, serta sumber pengembilannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupan Sehari-hari. Jakarta:
Pustak Al-Kautsar
Karim, Adiwarman A., Oni Sahroni. 2016. Riba, Gharar dan Kaidah- Kaidah Ekonomi
Syariah: Analisis Fikih dan Ekonomi. Jakarta: Rajawali Pers.
Mohammad Mufid. Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer: dari Teori ke
Aplikasi. Jakarta: Kencana, 2016
Tahir Mansoori. 2010. Kaidah-kaidah Fiqih keuangan dan transaksi bisnis. Bogor: Ulil
Albab Institute