Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keragaman budaya, tradisi dan agama adalah suatu keniscayaan hidup sebab
setiap orang atau komunitas pasti mempunyai perbedaan sekaligus persamaan. Di
sisi lain kemajemukan budaya, tradisi dan agama merupakan kekayaan tersendiri
bagi bangsa Indonesia. Namun jika kondisi seperti itu tidak dipahami dengan
sikap toleran dan saling menghormati, maka pluralitas budaya, agama atau tradisi
cenderung akan memunculkan konflik bahkan kekerasan (violence). Kenyataan di
lapangan menyebutkan bahwa perbedaan budaya atau tradisi dalam suatu
komunitas masyarakat tidak selamanya dapat berjalan damai. Penulis mempunyai
pendapat bahwa konflik yang muncul akibat perbedaan budaya salah satunya
disebabkan oleh sikap fanatisme yang bersifat negatif serta kurangnya sikap
tasamuh (toleran) di kalangan umat. Fanatisme dan intoleransi hanya akan
memyebabkan terjadinya desintegrasi bangsa dan konflik di masyarakat.

Perlu diketahui bahwa mahasiswa yang bertempat tinggal di lingkungan


Ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly (MSAA) berasal dari berbagai wilayah di
Indonesia, maupun dari Mancanegara. Mereka memang berasal dari satu agama
yang sama, yaitu Islam. Namun mereka tentu memiliki berbagai macam
kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan dan kebiasaan di Ma’had Sunan
Ampel Al-‘Aly (MSAA). Mereka yang berasal dari Mancanegara terutama
memiliki budaya yang sangat berbeda. Tak jarang beberapa dari mereka pun
merasa ‘risih’ dengan budaya yang biasa dilakukan di Ma’had Sunan Ampel
Al-‘Aly (MSAA). Namun banyak dari mereka juga mampu bertahan hidup di sini
dengan melakukan berbagai upaya guna meningkatkan toleransinya kepada para
penduduk lokal beserta kebudayaannya.

1
1.2 Rumusan Masalah

Berangkat dari persoalan di atas, peneliti mengidentifikasi permasalahan


melalui beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan etika, budaya, dan toleransi?

2. Bagaimana pola keterkaitan antara budaya dan wilayah?

3. Apa saja upaya yang bisa dilakukan oleh mahasiswa asing dalam menciptakan
rasa toleransi terhadap budaya lokal di Ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly (MSAA)
dan keterkaitannya dalam pancasila?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Agar dapat mengetahui pengertian etika, budaya, dan toleransi.

2. Agar dapat mengetahui mengenai pola hubungan antara budaya dan wilayah.

3. Agar dapat mengetahui cara yang bisa diterapkan mahasiswa asing dalam
membentuk rasa toleransi dalam menghadapi perbedaan budaya di Ma’had
Sunan Ampel Al-‘Aly (MSAA) dan keterkaitannya dalam pancasila.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna baik yang dalam hal teori maupun
praktis bagi pembaca, antara lain:

1. Sebagai dasar empiris, baik untuk kepentingan ilmiah maupun untuk


kepentingan praktis.
2. Sebagai bahan informasi tertulis mengenai budaya dan toleransi.
3. Sebagai bahan penelitian mengenai kondisi toleransi dalam berbudaya di
Ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly (MSAA).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etika

2.1.1 Pengertian Etika

Etika berasal dari bahasa Yunani ethos (kata tunggal) yang berarti: tempat
tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, sikap, cara berpikir.
Bentuk jamaknya adalah etha, yang berarti adat istiadat. Dalam hal ini, kata etika
sama pengertianya dengan moral. Moral berasal dari kata latin: Mos (bentuk
tunggal), atau mores (bentuk jamak) yang berarti adat istiadat, kebiasaan,
kelakuan, watak, tabiat, akhlak, cara hidup.1

Menurut Bertens ada dua pengertian etika: sebagai praktis dan sebagai
refleksi. Sebagai praktis, etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang
baik yang dipraktikkan atau justru tidak dipraktikkan, walaupun seharusnya
dipraktikkan. Etika sebagai praktis sama artinya dengan moral atau moralitas yaitu
apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dan sebgainya.
Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral.2

Adapun menurut Burhanuddin Salam, istilah etika berasal dari kata latin,
yakni “ethic”, sedangkan dalam bahasa Greek, ethikos yaitu a body of moral
principle or value. Ethic, arti sebenarnya ialah kebiasaan. Jadi, dalam pengertian
aslinya, apa yang disebutkan baik itu adalah yang sesuai dengan kebiasaan
masyarakat (pada saat itu). Lambat laun pengertian etika itu berubah dan
berkembang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan manusia. Perkembangan
pengertian etika tidak lepas dari substansinya bahwa etika adalah suatu ilmu yang
membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dinilai
baik dan mana yang jahat. Istilah lain dari etika, yaitu moral, asusila, budi pekerti,
akhlak. Etika merupakan ilmu bukan sebuah ajaran. Etika dalam bahasa arab

1
Abuddin Nata, 2012. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: Raja Grafindo.
2
K. Bertenz, Etika, 2007. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, h. 22

3
disebut akhlak, merupakan jamak dari kata khuluq yang berarti adat kebiasaan,
perangai, tabiat, watak, adab, dan agama.3

Etika adalah cabang filosofi yang berkaitan dengan pemikiran dengan


pemikiran tentang benar dan salah.

Satyanugraha mendefenisikan etika sebagai nilai-nilai dan norma moral


dalam suatu masyarakat. Sebagai ilmu, etika juga bisa diartikan pemikiran moral
yang mempelajari tentang apa yang harus dilakukan atau yang tidak boleh
dilakukan.4

Etika bagi seseorang terwujud dalam kesadaran moral yang memuat


keyakinan ‘benar dan tidak sesuatu’. Perasaan yang muncul bahwa ia akan salah
melakukan sesuatu yang diayakininya tidak benar berangkat dari norma-norma
moral dan self-respect (menghargai diri) bila ia meninggalkannya. Tindakan yang
diambil olehnya harus ia pertangungjawabkan pada diri sendiri. Begitu juga
dengan sikapnya terhadap orang lain bila pekerjaan tersebut mengganggu atau
sebaliknya mendapatkan pujian.5

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa etika diartikan


sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak).6

Kemudian Frans Magnis menambahkan bahwa etika pada hakikatnya


mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan
memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan-
pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban dan mau
menyingkapkan kerancuan.7

Etika atau moral adalah aturan mengenai sikap perilaku dan tindakan manusia
yang hidup bermasyarakat. Etika ini juga bisa sebagai seperangkat prinsip moral
yang membedakan antara yang baik dari yang buruk. Dalam masyarakat kita tidak
3
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 17
4
Ibid, h. 17
5
Faisal Badroen, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2006), cet. Ke-1, h. 5.
6
Dadang Sunendar, dkk. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima Offline. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
7
Franz Magnis Suseno, Op Cit, h. 18.

4
hidup sendiri sehingga harus ada aturan yang dilaksanakan setiap orang agar
kehidupan bermasyarakat berjalan dengan aman, nikmat, dan harmonis. Tanpa
aturan ini, kehidupan bisa seperti neraka, atau seperti di Rimba yang kuat akan
menang dan yang lemah akan tertindas. Maka harus meningkatkan aspek
etikanya dan penegakan kode etik profesi dalam kurikulum dan dalam
menjalankan profesinya.8

2.1.2 Menata Etika Sebagai Sistem yang Sesuai dengan Pancasila

Mengedepankan etika sebagai sistem Pancasila bagi masyarakat Indonesia,


berarti memaknai akan arti sila-sila Pancasila yang saling berhubungan, saling
bekerjasama untuk suatu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu
sistem yang utuh (holistic). Pancasila sebagai sistem etika, bertujuan untuk
mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara selayaknya sebagai sistem yang terpatri dalam ruang gerak maupun
nafas sanubari setiap warga negara. Etika yang merupakan buah representasi nilai-
nilai dalam sila-sila Pancasila merupakan kaidah etika Pancasila yang meliputi:9

1. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai "Ketuhanan Yang Maha Esa”


merupakan etika yang berlandaskan pada kepercayaan dan ketaqwaan
serta ikhtiar kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai "Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab” merupakan etika yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.
3. Etika yang dijiwai olch nilai-nilai "Persatuan Indonesia" merupakan
etika yang menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan
keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi maupun
golongan.
4. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai "Kerakyatan yang Dipimpin Oleh
Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan atau Perwakilan"
merupakan etika yang menghargai kedudukan, hak dan kewajiban

8
Sofyan S Harahap, OpCit, h. 27
9
Muhammad jafar Hafsah dan Wuryadi, Strategi Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila dalam Menguatkan
Semangat ke-Indonesia-an, Yogyakarta : PSP press Universitas Gadjah Mada, 2013, hlm. 4-5.

5
warga masyarakat atau warga negara, sehingga tidak memaksakan
pendapat dan kehendak kepada orang lain.
5. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai "Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia” merupakan etika yang menuntun manusia untuk
mengembangkan sikap adil terhadap sesama manusia, mengembangkan
perbuatan-perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Melalui sentuhan elemen-elemen tersebut kiranya dapat dikatakan juga


bahwa Pancasila merupakan sebuah rumusan yang diambil dari nilai-nilai
kebaikan yang universal. Pancasila tidak memihak (memilih satu kondisi ruang),
juga tidak memihak pada satu agama atau satu suku tertentu. Di dalamnya
terdapat nilai-nilai yang mampu diterima olch semua lapisan masyarakat yang
lahir dari perjalanan panjang proses pengasingan Bung Karno di Ende Flores
Nusa Tenggara Timur.10

2.1.3. Ruang Lingkup Etika Pancasila

Etika Pancasila adalah refleksi kritis untuk merumuskan prinsip-prinsip


kelayakan (kebaikan) dalam mengambil keputusan tindakan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia berdasarkan kualifikasi isi
arti sila-sila Pancasila. Prinsip-prinsip kelayakan hidup tersebut didasarkan pada
pertimbangan nilainilai hidup berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan,
berkerakyatan, dan berkeadilan sosial yang secara normatif telah dirumuskan di
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara tahun 1945.11

Refleksi kritis Etika Pancasila meliputi 3 bidang, yaitu:

Pertama, Etika Pancasila melakukan refleksi kritis tentang norma dan nilai
moralitas yang telah dijalani atau dianut oleh warga bangsa Indonesia selama ini
agar dapat dirumuskan menjadi prinsip-prinsip kelayakan hidup sehari-hari,
misalnya nilai-nilai yang terkandung di dalam benda-benda peninggalan
bersejarah, karya sastra, cerita rakyat.

10
Ibid
11
Sri Suprapto. 2013. WISDOM. Jurnal Filsafat. Vol. 23, nomor 2,. Hlm. 102.

6
Kedua, Etika Pancasila melakukan refleksi kritis tentang situasi khusus
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan segala keunikan dan kompleksitasnya
seperti telah dirumuskan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
tahun 1945.

Ketiga, refleksi kritis tentang berbagai paham yang dianut oleh manusia atau
kelompok masyarakat tentang bidangbidang khusus kehidupan, misalnya paham
tentang manusia, Tuhan, alam, masyarakat, sistem sosial politik, sistem ekonomi,
sistem kerja, dan lain sebagainya.12

Tiga teori etika yang berhubungan dengan refleksi kritis terhadap


bagaimana menilai perilaku yang baik secara moral adalah Etika Deontologis,
Etika Teleologis, dan Etika Keutamaan. Etika deontologis dalam perspektifnya
terhadap perilaku seseorang menekankan pada motivasi, kemauan yang baik, dan
watak yang kuat untuk melakukannya sebagai kewajiban. Etika deontologis
menganggap bahwa perilaku/tindakan itu dikatakan baik jika memang baik
menurut pertimbangan dari dalam dirinya sendiri dan wajib dilakukan. Apabila
perilaku itu buruk, maka buruk pula secara moral dan bukanlah kewajiban yang
harus dilakukan. Contohnya adalah tindakan menghargai sesama dan alam
merupakan tindakan yang baik secara moral, maka manusia wajib
melakukannya.13

Etika teleologis menilai suatu perilaku baik jika bertujuan baik dan
menghasilkan sesuatu yang baik atau akibat yang baik, dan buruk jika sebaliknya.
Etika teleologis bersifat situasional (sesuai dengan situasi tertentu) dan subjektif.
Teori ini menganggap perilaku yang baik bisa berubah sesuai dengan kondisi
yang menghasilkan baik pada saat itu. Suatu tindakan dapat dibenarkan oleh teori
ini walau melanggar norma dan nilai moral sekalipun.14 Etika teleologis
berdasarkan kepentingannya menggolongkan penilaian suatu tindakan secara
moral menjadi dua, yakni: pertama adalah egoisme etis. Egoisme etis menilai baik
atau buruknya suatu perilaku berdasarkan akibat bagi pelakunya, dan dibenarkan
mengejar kebahagiaan bagi dirinya sendiri. Kedua adalah utilitarianisme, yang
12
Keraf, S., 2002, Etika Lingkungan, Kompas, Jakarta.
13
Ibid.
14
Ibid.

7
menganggap baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan akibatnya bagi
banyak orang. Hal yang paling menonjol dari utilitarianisme adalah manfaat bagi
sebanyak mungkin orang yang terlibat dalam tindakan tersebut.15

Etika keutamaan (virtue ethics) adalah teori etika yang mengutamakan


pengembangan karakter moral pada setiap individu. Karakter-karakter moral yang
dimaksud adalah nilai dan keutamaan moral, seperti kesetiaan, kejujuran,
ketulusan, dan kasih sayang. Etika keutamaan menganggap orang bermoral atau
berperilaku baik berdasarkan pribadi moralnya, yang terbentuk oleh pembelajaran
dari kenyataan sepanjang hidupnya. Orang yang bermoral bukanlah orang yang
bertindak secara moral baik pada situasi saat itu saja, melainkan orang
berkepribadian moral yang utama atau menonjol, berprinsip, dan berintegritas
yang tinggi. Etika keutamaan menekankan pada cerita-cerita masyarakat tertentu
yang patut untuk dicontoh perilaku baiknya secara moral. Perilaku baik secara
moral tersebut merupakan teladan yang baik, dan itulah perilaku yang benar
menurut etika keutamaan.16

Etika Pancasila adalah Etika Keutamaan yang tersusun dari nilai-nilai dan
keutamaan moral bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan terbentuk oleh pembelajaran dari kenyataan
sepanjang sejarah kebangsaan Indonesia yang panjang. Nilai-nilai Pancasila
merupakan buah hasil pikiran-pikiran dan gagasan dasar bangsa Indonesia tentang
kehidupan yang dianggap baik dalam menghadapi diri sendiri, sesama dan
lingkungan hidup, serta ketaatan pada Tuhan. Nilai-nilai Pancasila adalah tata
nilai yang mendukung tata kehidupan sosial dan tata kehidupan kerohanian
bangsa yang memberi corak, watak, ciri khas masyarakat dan bangsa Indonesia
yang membedakannya dengan masyarakat dan bangsa lain.17

Etika Pancasila adalah Etika Teleologis yang berisi pedoman bagi warga
bangsa Indonesia dalam usaha untuk mencapai tujuan hidup berbangsa dan
bernegara di masa depan. Permasalahan bangsa Indonesia dalam menyesuaikan
diri dengan masa modernisasi di masa depan yang penting mendapat perhatian
15
Jurnal Filsafat Vol. 23, nomor 2, Agustus 2013. Hlm. 102.
16
Ibid, h. 102
17
Ibid, h. 102

8
adalah pengembangan sistem nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang
substansial adalah nilai-nilai utama yang tetap akan menjadi kepribadian bangsa
sepanjang masa. Implementasi nilai-nilai Pancasila di dalam Pembukaan
UndangUndang Dasar Negara tahun 1945 akan menjadi pedoman pokok secara
umum kolektif untuk semua warga bangsa dan negara Indonesia. Implementasi
nilai-nilai Pancasila di dalam peraturan-peraturan resmi kenegaraan harus selalu
menampung perubahan sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman modern.18

Etika Pancasila adalah Etika Deontologis yang menjadi penuntun untuk


menumbuhkan kesadaran berpancasila bagi generasi muda Indonesia masa
sekarang dan masa depan. Pembinaan kehidupan berbangsa yang kokoh dalam
menuju ke masyarakat modern adalah mempersiapkan generasi muda agar adaptif
terhadap nilai-nilai kebudayaan modern dan keadaan sosio kultural yang sesuai.
Generasi muda juga dibawa oleh jalannya waktu menuju jaman modern tersebut
dengan persyaratan-persyaratan individual dan kelompok yang lebih kompleks.
Jaman akan membentuk pribadi-pribadi dan juga akan membebani dengan
berbagai persoalan yang kompleks yang pada gilirannya akan menguji
kemampuan generasi muda menerapkan peranannya sesuai dengan perkembangan
masyarakat beserta persyaratan-persyaratan sosial, kelompok, dan individual yang
dituntutnya.19

18
Jurnal Filsafat Vol. 23, nomor 2, Agustus 2013, h. 103.
19
Notonagoro ,1972, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, cet.ke- 4, Pantjuran Tudjuh, Jakarta.

9
2.2 Mahasiswa

2.2.1 Pengertian Mahasiswa

Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu


ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk
perguruan tinggi yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut
dan universitas.20

Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBI), mahasiswa didefinisikan sebagai


orang yang belajar di Perguruan Tinggi.21

Menurut Siswoyo, mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu yang


sedang menuntut ilmu ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau
lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi.22

Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan


dalam berpikir dan kerencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak
dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap
mahasiswa, yang merupakan prinsip yang saling melengkapi. Seorang mahasiswa
dikategorikan pada tahap perkembangan yang usianya 18 sampai 25 tahun. Tahap
ini dapat digolongkan pada 19 masa remaja akhir sampai masa dewasa awal dan
dilihat dari segi perkembangan, tugas perkembangan pada usia mahasiswa ini
ialah pemantapan pendirian hidup.23

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa ialah


seorang peserta didik berusia 18 sampai 25 tahun yang terdaftar dan menjalani
pendidikannnya di perguruan tinggi baik dari akademik, politeknik, sekolah
tinggi, institut dan universitas. Sedangkan dalam penelitian ini, subyek yang
digunakan ialah dua mahasiswa yang berusia 23 tahun dan masih tercatat sebagai
mahasiswa aktif.

20
Damar A, Hartaji. 2012. Motivasi Berprestasi Pada Mahasiswa yang Berkuliah Dengan Jurusan Pilihan
Orangtua. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, h. 5
21
Dadang Sunendar, dkk. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima Offline. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
22
Dwi Siswoyo. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press, h. 121.
23
Yusuf, Syamsu dkk. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Grafindo Persada. Jurusan Pilihan
Orangtua. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, h. 27.

10
2.2.1 Karakteristik Perkembangan Mahasiswa

Seperti halnya transisi dari sekolah dasar menuju sekolah menengah


pertama yang melibatkan perubahan dan kemungkinan stres, begitu pula masa
transisi dari sekolah menengah atas menuju universitas. Dalam banyak hal,
terdapat perubahan yang sama dalam dua transisi itu. Transisi ini melibatkan
gerakan menuju satu struktur sekolah yang lebih besar dan tidak bersifat pribadi,
seperti interaksi dengan kelompok sebaya dari daerah yang lebih beragam dan
peningkatan perhatian pada prestasi dan penilaiannya.24

Perguruan tinggi dapat menjadi masa penemuan intelektual dan


pertumbuhan kepribadian. Mahasiswa berubah saat merespon terhadap kurikulum
yang menawarkan wawasan dan cara berpikir baru seperti; terhadap mahasiswa
lain yang berbeda dalam soal pandangan dan nilai, terhadap kultur mahasiswa
yang berbeda dengan kultur pada umumnya, 20 dan terhadap anggota fakultas
yang memberikan model baru. Pilihan perguruan tinggi dapat mewakili
pengejaran terhadap hasrat yang menggebu atau awal dari karir masa depan.25

Ciri-ciri perkembangan remaja lanjut atau remaja akhir (usia 18 sampai 21


tahun) dapat dilihat dalam tugas-tugas perkembangan yaitu:26

a) Menerima keadaan fisiknya; perubahan fisiologis dan organis yang


sedemikian hebat pada tahun-tahun sebelumnya, pada masa remaja akhir
sudah lebih tenang. Struktur dan penampilan fisik sudah menetap dan harus
diterima sebagaimana adanya. Kekecewaan karena kondisi fisik tertentu tidak
lagi mengganggu dan sedikit demi sedikit mulai menerima keadaannya.

b) Memperoleh kebebasan emosional; masa remaja akhir sedang pada masa


proses melepaskan diri dari ketergantungan secara emosional dari orang yang
dekat dalam hidupnya (orangtua). Kehidupan emosi yang sebelumnya banyak
mendominasi sikap dan tindakannya mulai terintegrasi dengan fungsi-fungsi

24
J. W Santrock. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup (Edisi Kelima). Terj. Achmad
Chusairi. Jakarta: Erlangga, h. 74.
25
D. E Papalia, Old, S.W. dan Feldman, R.D. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta:
Kencana Pratiwi, h. 672
26
S.D Gunarsa dan Gunarsa , Y.S.D. 2001. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, h. 129-131

11
lain sehingga lebih stabil dan lebih terkendali. Dia mampu mengungkapkan
pendapat dan perasaannya dengan sikap yang sesuai dengan lingkungan dan
kebebasan emosionalnya.

c) Mampu bergaul; dia mulai mengembangkan kemampuan mengadakan


hubungan sosial baik dengan teman sebaya maupun orang lain yang berbeda
tingkat kematangan sosialnya. Dia mampu menyesuaikan dan
memperlihatkan kemampuan bersosialisasi dalam tingkat kematangan sesuai
dengan norma sosial yang ada.

d) Menemukan model untuk identifikasi; dalam proses ke arah kematangan


pribadi, tokoh identifikasi sering kali menjadi faktor penting, tanpa tokoh
identifikasi timbul kekaburan akan model yang ingin ditiru dan memberikan
pengarahan bagaimana bertingkah laku dan bersikap sebaik-baiknya.

e) Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri; pengertian dan penilaian


yang objektif mengenai keadaan diri sendiri mulai terpupuk. Kekurangan dan
kegagalan yang bersumber pada keadaan kemampuan tidak lagi mengganggu
berfungsinya kepribadian dan menghambat prestasi yang ingin dicapai.

f) Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma; nilai pribadi
yang tadinya menjadi norma dalam melakukan sesuatu tindakan bergeser ke
arah penyesuaian terhadap norma di luar dirinya. Baik yang berhubungan
dengan nilai sosial ataupun nilai moral. Nilai pribadi adakalanya harus
disesuaikan dengan nilai-nilai umum (positif) yang berlaku dilingkungannya.

g) Meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian kekanak-kanakan; dunia remaja


mulai ditinggalkan dan dihadapannya terbentang dunia dewasa yang akan
dimasuki. Ketergantungan secara psikis mulai ditinggalkan dan ia mampu
mengurus dan menentukan sendiri. Dapat dikatakan masa ini ialah masa
persiapan ke arah tahapan perkembangan berikutnya yakni masa dewasa
muda. Apabila telah selesai masa remaja ini, masa selanjutnya ialah jenjang
kedewasaan. Sebagai fase perkembangan, seseorang yang telah memiliki
corak dan bentuk kepribadian tersendiri.

12
Menurut Langeveld (dalam Ahmadi & Sholeh, 1991: 90) ciri-ciri
kedewasaan seseorang antara lain:27

a) Dapat berdiri sendiri dalam kehidupannya. Ia tidak selalu minta


pertolongan orang lain dan jika ada bantuan orang lain tetap ada pada
tanggung jawabnya dalam menyelesaikan tugas-tugas hidup.

b) Dapat bertanggung jawab dalam arti sebenarnya terutama moral.

c) Memiliki sifat-sifat yang konstruktif terhadap masyarakat dimana ia


berada.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karakteristik mahasiswa ialah


pada penampilan fisik tidak lagi mengganggu aktifitas dikampus, mulai memiliki
intelektualitas yang tinggi dan kecerdasan berpikir yang matang untuk masa
depannya, memiliki kebebasan emosional untuk memiliki pergaulan dan
menentukan kepribadiannya. Mahasiswa juga ingin meningkatkan prestasi
dikampus, memiliki tanggung jawab dan kemandirian dalam menyelesaikan
tugas-tugas kuliah, serta mulai memikirkan nilai dan norma-norma di lingkungan
kampus maupun di lingkungan masyarakat dimana dia berada.

Motivasi berprestasi merupakan suatu proses psikologis yang mempunyai


arah dan tujuan untuk sukses sebagai ukuran terbaik dan motivasi berprestasi
disebabkan oleh faktor interen namun ada juga faktor ekstern. Faktor intern
meliputi; kemampuan, kebutuhan (dalam hal ini menjadi faktor penting yakni
kekurangan pada fisik), minat, harapan dan keyakinan. Sedangkan faktor eksteren
meliputi; situasi dan lingkungan.28

27
A. Ahmadi dan Sholeh M. 1991. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta, h. 90
28
Sugiyanto. 2009. Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: FKIP UNS, h. 5-6

13
2.3 Toleransi

2.3.1 Pengertian Toleransi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti batas ukur untuk


penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. 29 Secara bahasa atau
etimologi toleransi berasal dari bahasa Arab, tasamuh yang artinya ampun, maaf
dan lapang dada.30

Secara terminologi menurut Umar Hasyim, toleransi yaitu pemberian


kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk
menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya
masing-masing, selama dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak
melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban
dan perdamaian dalam masyarakat.31

Istilah Tolerance (toleransi) adalah istilah modern, baik dari segi nama
maupun kandungannya.32 Istilah ini pertama kali lahir di Barat, di bawah situasi
dan kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas. Toleransi berasal dari bahasa
Latin, yaitu tolerantia, yang artinya kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan
kesabaran. Dari sini dapat dipahami bahwa toleransi merupakan sikap untuk
memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya,
sekalipun pendapatnya salah dan berbeda.33

Secara etimologis, istilah tersebut juga dikenal dengan sangat baik di


dataran Eropa, terutama pada saat revolusi Perancis. Hal itu sangat terkait dengan
slogan kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang menjadi inti revolusi di
Perancis.34

29
Dadang Sunendar, dkk. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima Offline. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
30
Ahmad Warson Munawir. Kamus Arab Indonesia al-Munawir. Yogyakarta: Balai Pustaka Progresif, h.
1098.
31
Umar Hasyim. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar menuju Dialoq
dan Kerukunan Antar Umat Beragama. Surabaya: Bina Ilmu, h. 22.
32
Anis Malik Thoha. 2005. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Perspektif, h. 212.
33
Zuhairi Misrawi, 2007. Alquran Kitab Toleransi. Jakarta: Pustaka Oasis, h. 161.
34
Ibid, h. 161

14
Ketiga istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dengan istilah
toleransi. Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap terbuka, lapang dada,
sukarela dan kelembutan. Kevin Osborn mengatakan bahwa toleransi adalah salah
satu pondasi terpenting dalam demokrasi.35 Sebab, demokrasi hanya bisa berjalan
ketika seseorang mampu menahan pendapatnya dan kemudian menerima pendapat
orang lain. atas perbedaan tersebut sebagai pengakuan hak-hak asasi manusia.

2.3.1 Macam-macam Toleransi

Adapun beberapa macam toleransi, berikut inilah penjabarannya:

1. Toleransi Terhadap Sesama Agama

Adapun kaitannya dengan agama, toleransi beragama adalah toleransi yang


mencakup masalah-masalah keyakinan pada diri manusia yang berhubungan
dengan akidah atau yang berhubungan dengan ketuhanan yang diyakininya.
Seseorang harus diberikan kebebasan untuk menyakini dan memeluk agama
(mempunyai akidah) masing-masing yang dipilih serta memberikan
penghormatan atas pelaksanaan ajaran-ajaran yang dianut atau yang diyakininya.
Toleransi mengandung maksud supaya membolehkan terbentuknya sistem yang
menjamin terjaminnya pribadi, harta benda dan unsur-unsur minoritas yang
terdapat pada masyarakat dengan menghormati agama, moralitas dan lembaga-
lembaga mereka serta menghargai pendapat orang lain serta perbedaan-perbedaan
yang ada di lingkungannya tanpa harus berselisih dengan sesamanya karena hanya
berbeda keyakinan atau agama. Toleransi beragama mempunyai arti sikap lapang
dada seseorang untuk menghormati dan membiarkan pemeluk agama untuk
melaksanakan ibadah mereka menurut ajaran dan ketentuan agama masing-
masing yang diyakini tanpa ada yang mengganggu atau memaksakan baik dari
orang lain maupun dari keluarganya sekalipun.36

Dalam agama telah menggariskan dua pola dasar hubungan yang harus
dilaksanakan oleh pemeluknya, yaitu: hubungan secara vertikal dan hubungan
secara horizontal. Yang pertama adalah hubungan antara pribadi dengan

35
Kevin Osborn. 1993. Tolerance. New York. 1993, h. 11
36
Masykuri Abdullah. 2001. Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta: Kompas, h. 13.

15
Khaliknya yang direalisasikan dalam bentuk ibadah sebagaimana yang telah
digariskan oleh setiap agama. Hubungan dilaksanakan secara individual, tetapi
lebih diutamakan secara kolektif atau berjamaah (shalat dalam Islam). Pada
hubungan ini berlaku toleransi agama yang hanya terbatas dalam lingkungan atau
intern suatu agama saja. Hubungan yang kedua adalah hubungan antara manusia
dengan sesamanya. Pada hubungan ini tidak terbatas panda lingkungan suatu
agama saja, tetapi juga berlaku kepada semua orang yang tidak seagama, dalam
bentuk kerjasama dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan
umum. Dalam hal seperti inilah berlaku toleransi dalam pergaulan hidup antar
umat beragama.37

2. Toleransi Terhadap Non Muslim

Toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama berpangkal dari


penghayatan ajaran masing-masing. Menurut said Agil Al Munawar ada dua
macam toleransi yaitu toleransi statis dan toleransi dinamis. Toleransi statis adalah
toleransi dingin tidak melahirkan kerjasama hanya bersifat teoritis. Toleransi
dinamis adalah toleransi aktif melahirkan kerja sama untuk tujuan bersama,
sehingga kerukunan antar umat beragama bukan dalam bentuk teoritis, tetapi
sebagai refleksi dari kebersamaan umat beragama sebagai satu bangsa.38

Menurut Harun Nasution, toleransi meliputi lima hal sebagai berikut:39

Pertama, mencoba melihat kebenaran yang ada di luar agama lain. Ini
berarti, kebenaran dalam hal keyakinan ada juga dalam agama-agama. Hal ini
justru akan membawa umat beragama ke dalam jurang relativisme kebenaran dan
pluralisme agama. Sebab, kepercayaan bahwa kebenaran tidak hanya ada dalam
satu agama berarti merelatifkan kebenaran Tuhan yang absolut. Argumen seperti
ini sebenarnya tidak baru. Kedua, memperkecil perbedaan yang ada di antara
agama-agama. Ketiga, menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam
agama-agama. Antara poin kedua dan ketiga terdapat korelasi dalam hal
persamaan agama-agama. Namun, pada dasarnya, yang terpenting justru bukanlah

37
Said Agil Al Munawar. 2003. Fiqih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press, h. 16
38
Ibid, h. 16
39
Dyayadi, M.T., 2009. Kamus Lengkap Islamologi. Yogyakarta: Qiyas, h. 614.

16
persamaannya, tapi perbedaan yang ada dalam agama-agama tersebut. Keempat,
memupuk rasa persaudaraan se-tuhan. Dan Kelima, menjauhi praktik serang-
menyerang antar agama.

Selain itu, Zuhairi memiliki kesimpulan bahwa toleransi adalah mutlak


dilakukan oleh siapa saja yang mengaku beriman, berakal dan mempunyai hati
nurani. Selanjutnya, paradigma toleransi harus dibumikan dengan melibatkan
kalangan agamawan, terutama dalam membangun toleransi antar agama. Dari
paparan di atas dapat kita pahami bahwa istilah toleransi dalam perspektif Barat
adalah sikap menahan perasaan tanpa aksi protes apapun, baik dalam hal yang
benar maupun salah. Bahkan, ruang lingkup toleransi di Barat.40

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa toleransi antar umat beragama
berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai
keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain.
Dalam masyarakat berdasarkan pancasila terutama sila pertama, bertakwa kepada
tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah mutlak. Semua
agama menghargai manusia maka dari itu semua umat beragama juga wajib untuk
saling menghargai. Dengan demikian antar umat beragama yang berlainan akan
terbina kerukunan hidup.

2.3.2 Makna Toleransi di dalam Agama Islam

Dalam kaitannya Kemajemukan di tengah masyarakat, Al-Qur’an


menggelari Umat Islam sebagai umat Ummatan Wasathan (moderat). Hal ini telah
menjadi bukti bahwa kedatangan Islam adalah untuk menghadirkan rahmat dan
kedamaian bagi alam semesta, sementara itu kedamaian tidak akan terwujud tanpa
adanya suasana toleransi di tengah realitas. Kemajemukan toleransi merupakan
sikap terbuka dalam menghadapi perbedaan, didalamnya terkandung sikap saling
menghargai dan menghormati eksistensi masing-masing pihak. Dalam kehidupan
yang toleran, keseimbangan dalam hidup mendapatkan prioritasnya.
Keanekaragaman tidak diposisikan sebagai ancaman, namun justru peluang untuk
saling bersinergi secara positif. Piagam Madinah adalah contoh lain yang

40
Zuhairi Misrawi. 2007. Alquran Kitab Toleransi. Jakarta: Pustaka Oasis, h. 159.

17
fenomenal dari praktek toleransi Islam yang menolak mentah-mentah tuduhan
intoleransi yang dilontarkan para musuh Islam. Piagam Madinah berisi penegasan
tentang kesetaraan fungsi dan kedudukan serta persamaan hak dan kewajiban
antara umat muslim dan umat-umat lain yang tinggal di Madinah.41

41
Muhammad Yasir. 2014. Makna Toleransi dalam Al-Qur’an. Jurnal Ushuluddin. Vol. XXII No. 2, h. 170.

18
2.4 Budaya

2.4.1 Pengertian Budaya dan Kebudayaan

Menurut antropologi, “kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan


rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”. Dengan demikian,
hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena jumlah tindakan yang
dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakan dengan
belajar (yaitu tindakan naluri, refleks, atau tindakan-tindakan yang dilakukan
akibat suatu proses yang panjang). Kata “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta
buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi”
atau “akal”.42

Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai “hal-hal yang berkaitan dengan


budi atau akal”. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama
artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah
“mengolah atau mengerjakan”, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan
mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi
culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan
mengubah alam”. Seorang Antropolog bernama E.B. Taylor, memberikan definisi
mengenai kebudayaan yaitu “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-
kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat”. Antropolog ini menyatakan bahwa kebudayaan mencakup
semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya
mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak. Selanjutnya
Soekanto menambahkan bahwa penelitian-penelitian yang berkaitan dengan
kebudayaan tertentu, akan sangat tertarik dengan objek dan subjek kebudayaan
seperti rumah-rumah, sandang, jembatan, alat-alat komunikasi maupun proses
komunikasi itu sendiri.43 Taylor selanjutnya menjelaskan juga bahwa kebudayaan
yang merupakan kompleks menyeluruh yang mencakup pengetahuan,

42
Koentjaraningrat 2003. Pengantar Antropologi Jilid I, Jakarta: PT Rineka Cipta Jakarta.
43
Soerjono Soekanto, 1984. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: CV Rajawali.

19
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan serta
kebiasaan yang dipunyai manusia sebagai warga negara dari suatu masyarakat,
selalu mempengaruhi pola hidup dalam bermasyarakat.44 Pola hidup yang
ditafsirkan oleh penulis adalah pola bagaimana masyarakat berkomunikasi dan
berinteraksi antara satu dan yang lainnya, terlebih masyarakat yang berbeda
kebudayaannya. Definisi lain yang mendukung penjelasan sebelumnya adalah
Kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk
perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-sombol yang mereka terima tanpa sadar/
tanpa dipikirkan, yang semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dan
peniruan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.45

Berikut definisi Kebudayaan dari Larry A. Samovar dan Richard E.


Porter:46

Culture as the deposit of knowledge, experience, beliefs, values,


attitudes, meanings, social hierarchies, religion, notions of time, roles, spatial
relationships, concepts of the universe, and material objects and possessions
acquired by a group of people in the course of generations through individual and
group striving. (Kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan,
pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu,
peranan, relasi ruang, pandangan terhadap alam semesta, dan objek material atau
kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau suatu
generasi).

Dari pengertian-pengertian di atas, maka nampaklah bahwa kebudayaan


yang dibangun oleh para ahli selalu mementingkan saling pengertian dalam
kehidupan berbudaya. Pemahaman yang dimaknai dalam tulisan ini adalah bahwa
agama yang merupakan produk budaya (bagian dari budaya) juga bisa menjadi
pemicu terjadinya konflik intoleran. Disamping itu jika kita sadar dalam melihat
persoalanpersoalan bangsa yang berkaitan dengan konflik intoleransi khususnya

44
Ibid,
45
Alo Liliweri, 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, PT. LkiS Pelangi Aksara
Yogyakarta
46
Samovar, Larry A. & Porter Richard E. 2003. Intercultural Communication A Reader 10th Edition, USA:
California Suire University, Long Beach, Emeritus.

20
dalam kehidupan toleransi beragama, menjadi penting untuk mengamati penyebab
secara umum seperti yang di sampaikan oleh Marzuki.47

2.4.2 Sifat-sifat Budaya

Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal dan budaya
yang khas. Budaya universal mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang
dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Nilai-nilai ini dijunjung tinggi oleh
segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang ada di
dunia ini memiliki kesamaan nilai-nilai tersebut. Contoh dari nilai universal ini
antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendiri, manusia anti dengan
peperangan, manusia mementingkan perdamaian, manusia mempunyai kebebasan,
dan lain-lain.48

Nilai budaya yang khas adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa
tertentu. Lebih dari itu, nilai-nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau
suku/etnis tertentu di mana keunikan ini berbeda dengan kelompok atau bangsa
lain. Keunikan nilai ini dapat menjadi barometer untuk mengenal bangsa atau
kelompok tertentu. Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada
umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang
diterapkan oleh anggota masyarakat itu.49

Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianngap benar itu dapat
dijadikan panutan dalam menjalani hidup. Selain itu, nilai budaya yang diyakini
kebenarannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan
masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada
dalam suatu masyarakat mempunyai sutu cara tersendiri untuk memecahkan
permasalahan yang timbul dalam anggota masyarakat tersebut.50

2.4.3 Masyarakat Multikultur dan Budaya Nasional di Indonesia

47
Marzuki. 2006. Konflik antar Umat Beragama di Indonesia dan Alternatif Pemecahannya Makalah
disampaikan pada Seminar tentang Revolusi Konflik, Senin 20 November 2006 di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.
48
Drs. Abu Bakar M. Luddin, M.Pd.,Ph.D. 2010. Dasar-dasar Konseling: Tinjauan Teori dan Praktik.
Bandung: Citapustaka Media Perintis, h. 108 .
49
Ibid, h. 108.
50
Ibid, h. 108.

21
Indonesia adalah masyarakat majemuk yang multikultural, yaitu suatu
masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda berakulturasi,
dengan menghargai pluralisme sebagai keragaman budaya untuk tetap
dilestarikan. Kemajemukan tersebut ditandai oleh adanya suku-suku bangsa yang
masing-masing mempunyai cara-cara hidup atau kebudayaan yang berlaku dalam
masyarakat suku bangsanya sehingga mencerminkan adanya perbedaan dan
pemisahan antara etnik yang satu dengan etnik lainnya, tetapi secara bersama-
sama hidup dalam satu wadah masyarakat Indonesia. Kebudayaan tersebut juga
berupa ritual-ritual sistem kepercayaan yang bahkan masih dipegang teguh hingga
saat ini. Menurut Suparlan perbedaan tersebut pada hakekatnya adalah perbedaan-
perbedaan yang disebabkan oleh sejarah perkembangan kebudayaan masing-
masing. Puncak-puncak kebudayaan tersebut adalah konfigurasi yang
masingmasing kebudayaan memperlihatkan adanya pinsip-prinsip kesamaan dan
saling penyesuaian satu dengan lainnya sehingga menjadi landasan bagi
terciptanya kebudayaan nasional. Selanjutnya, terdapat kebudayaan umum yang
bersifat lokal yang dapat dilihat sebagai sebuah wadah untuk mengakomodasi
proses pembauran atau asimilasi dan proses akulturasi, yang di antara
kebudayaan-kebudayaan itu saling berbeda wilayah atau dikelilingi wilayah
kebudayaan umum yang bersifat lokal. Kebudayaan didefinisikan sebagai
keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya
untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamanya, serta
menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan
merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan
strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model kognitif yang dipunyai oleh
manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya
sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya. Istilah
‘budaya’ tentunya merupakan sebuah istilah yang masih diperdebatkan dengan
berbagai makna dalam bermacam konteks dan wacana.51

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, yang multietnis.


Dengan demikian sangat banyak nilai-nilai untik yang ada di dalam etnis bangsa

51
Richard G. Mayopu. 2015. Jurnalisme Antar Budaya Sebagai Jalan Menuju Toleransi Berbangsa dan
Bernegara. Jurnal Humaniora Yayasan Bina Darma. Vol.II, No.3, h. 223

22
Indonesia. Tiap daerah mempunyai nilai-nilai khas yang sangat dijunjung tinggi
oleh kelompok masyarakatnya. Kalimat tersebut mengundang suatu pertanyaan,
yaitu apakah bangsa Indonesia tidak mempunyai budaya Nasional? Ternyata
punya. Setelah kita merdeka dan menyatakan sebagai negara yang bersatu, saat itu
pulalah mulai digali nilai-nilai yang ada di dalam kelompok etnis bangsa
Indonesia. Dalam hal ini, disusun suatu pola yang dapat mewakili budaya
Indonesia secara utuh. Nilai-nilai yang disatukan itu dijadikan pandangan hidup
bangsa Indonesia yaitu kesatuan lima sila dalam Pancasila; (1) Ketuhanan Yang
Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4)
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.52

52
Op, Cit, h. 109. Drs. Abu Bakar M. Luddin, M.Pd.,Ph.D. 2010. Dasar-dasar Konseling: Tinjauan Teori
dan Praktik. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

23
2.4.4 Perbedaan Budaya Indonesia dengan Budaya Asing

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat, kebudayaan akan


mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide dan gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan ini bersifat abstrak. Sebagai contoh adalah perbedaan antara budaya
barat dan budaya timur yaitu:53

1. Kebudayaan Barat, adalah kebudayaan yang cara pembinaan kesadarannya


dengan cara memahami ilmu pengetahuan dan filsafat. Mereka banyak belajar dari
hasil diskusi dan perdebatan. Mereka lakukan dari proses belajar dan mengajar,
para ahli kebudayaan barat dituntut untuk pandai dalam berceramah dan
berdiskusi. Hal ini dilakukannya karena pada akhirnya akan banyak yang
mengikuti ajarannya.

2. Kebudayaan Timur, adalah kebudayaan yang cara pembinaan kesadarannya


dengan cara melakukan berbagai macam pelatihan fisik dan mental. Pelatihan
fisik dapat dicontohkan dengan cara menjaga pola makan dan minuman apa yang
saja yang boleh,karena hal tersebut dapat berpengaruh pada pertumbuhan maupun
terhadap fisik. Sedangkan untuk pelatihan mental yaitu dapat berupa kegiatan
yang umumnya/mayoritas dilakukan sendiri.

Kebudayaan barat dan kebudayaan timur sangatlah berbeda, kebudayaan timur


kebanyakan mengandung moral persatuan, toleransi, kebersamaan dan lain-lain.
Sedangkan kebudayaan barat kebanyakan bersifat liberal, individualisme,
kurangnya kebersamaan dan persatuan, dan lain-lain.

53
wawisasongko.staff.ub.ac.id / (Diakses pada tanggal 9 Desember 2018).

24
Berikut ini beberapa perbedaan tentang budaya barat dan budaya timur
menurut seniman Cinayaitu Yang Liu yang diambil dari contoh perbedaan budaya
Amerika dan budaya Indonesia:54

1. Waktu
- Indonesia memang terkenal dengan waktu dengan jam karet nya yang
kurang menghargai waktu
- Amerika mereka cenderung on time dalam hal waktu

2. Gaya Hidup

- Orang Indonesia akan lebih nyaman apabila dekat dengan keluarga atau
kerabat.

- Orang Amerika cenderung individualis.

3. Hubungan

- Di Indonesia bersosialisasi atau menjalin hubungan yang kompleks,


hingga sosial media pun menjadi aplikasi yang sering digunakan sebagai
alat untuk bersosialisasi.

- Orang Barat cenderung lebih individualisme/sangat jarang menjalin


hubungan dengan lain.

4. Perayaan Pesta
- Jika ada perayaan atau pesta, banyak orang Indonesia lebih suka
mengundang seluruh kerabat/keluarga dan teman. Contohnya dalam acara
pernikahan membuat undangan dengan jumlah yang begitu banyak.
- Amerika jika ingin membuat suatu acara, hanya kerabat, keluarga, serta
beberapa teman dekat yang diundang.

54
wawisasongko.staff.ub.ac.id/ (Diakses pada tanggal 9 Desember 2018).

25
5. Terhadap sesuatu yang baru

- Di Indonesia apabila terdapat barang baru misalnya gadget, orang


Indonesia cenderung bersifat konsumtif, maka mereka akan membeli
barang tersebut untuk memenuhi rasa ingin.

6 Transportasi

- Dahulu kebanyakan masyarakat Amerika menggunakan mobil, tetapi


sekarang lebih banyak yang menggunakan sepeda karena untuk
kesehatan.
- Berbeda dengan orang timur, kalau dulu dominan dengan menggunakan
sepeda, tetapi sekarang sudah banyak yang menggunakan mobil, dan
menggunakan jasa supir pribadi.
7. Tempat Makanan
- Saat di tempat makan orang Amerika cenderung tertib jika sedang makan.
- Orang Indonesia kadang cenderung makan dengan mengobrol hingga cukup
gaduh serta membuang banyak waktu.

Kelangsungan dan berkembangnya budaya lokal perlu untuk selalu dijaga


dan hindarkan dari segala hambatan. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat
bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi
bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional.
Meskipun demikian sebagai rakyat Indonesia, misi utama bangsa Indonesia adalah
mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai alat, aset, dan sumber
kekuatan bangsa, dan menjadikan bangsa menjadi bangsa yang sinergi dan
memperkuat kesatuan dan persatuan.55

55
Swasono, Meutia Farida Hatta. 2003. Artikel Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir, h. 4

26
BAB III

PEMBAHASAN

3. 1 Narasumber Pertama

Nama : Muhammad Al Fadil

Asal Negara : Sudan

Jurusan : Farmasi

Asrama : Ibnu Rusyd

Menurut penuturan narasumber kami, alasan dia berkuliah di Universitas


Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang karena ia ingin melanjutkan studi
farmasi yang berbasis islami. Menurut dia adalah suatu keberhasilan untuk dapat
berkuliah di sini, karena di sisi lain ia juga dapat belajar hidup mandiri dan
bekerja sama dengan teman-teman baru. Menurut kebijakan yang ada, para
mahasiswa diwajibkan untuk tinggal di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly selama
setahun, begitupun juga yang dialami oleh narasumber kami, selama di sini ia
mengalami banyak pengalaman unik dikarenakan perbedaan budaya yang ada di
sini dengan di negara asalnya−Sudan.

Saat pertama kali berada di sini ia agak bingung dengan budaya maupun
tradisi yang ada. Namun ia tetap mencoba untuk berbaur di dalamnya. Dia
menemukan banyak teman dari berbagai suku, bangsa, dengan berbagai macam
sifat. Sebelum mampu berbaur dengan baik, narasumber kami juga menerapkan
perbaikan etika dalam dirinya. Etika menurut narasumber kami adalah suatu
perilaku, sikap, behaviour, manusia kepada sesamanya. Sedangkan budaya adalah
suatu adat kebiasaan. Menurutnya etika sangat berpengaruh terhadap adaptasi
budaya. Maka dari itu, ia juga sedikit demi sedikit mulai meniru atau mencontoh
perilaku baik dari teman sekitar agar ia mudah beradaptasi dengan tradisi dan
budaya yang ada di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly. Seperti budaya yang pertama
dia lihat di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly adalah perbedaan dalam hal pakaian.
Pakaian yang dipakai mahasantri di sini sangat berbeda dengan pakaian di Sudan,

27
kebanyakan di Sudan menggunkan baju gamis dan wanita berkerudung besar dan
panjang, warna baju pun juga kebanyakan gelap dan tidak banyak aksesori.
Menurut dia budaya dengan wilayah memang sangat berhubungan satu sama lain,
dikarenakan budaya berkaitan dengan adat kebiasaan dari masyarakat di suatu
wilayah.

Di sisi lain narasumber kami juga menyukai beberapa kegiatan di sini,


seperti adanya sholawatan yang biasanya diadakan 1 bulan sekali, shobahul
lughoh, ta’lim afkar, ta’lim Al Qur’an, dan khotmil qur’an. Namun narasumber
kami berpendapat bahwa di sini (Ma’had Sunan Ampel Al-aly) terkenal dengan
yel-yel yang dilakukan di setiap pagi yang menggema di tiap-tiap asrama atau di
tiap-tiap acara selalu saja ada yel-yel. Ia mengaku bahwa sangat tidak suka dengan
itu, karena sangat berisik dan mengganggu dirinya.

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa perbedaan tradisi dan budaya


antara Ma’had Sunan Ampel Al-aly dengan Sudan. Selama di sisni, ia juga baru
saja merasakan suasana kekeluargaan yang baik, dia merasakan suasana toleransi
antar mahasantri yang tinggi. Oleh karenanya, narasumber kami juga memiliki
upaya agar dapat menciptakan kerukunan dan menumbuhkan toleransi terhadap
sesama, yaitu dengan selalu peduli terhadap lingkungan sekitar dan mencoba
membantu teman-teman selagi bisa.

3.2 Narasumber Kedua

Nama : Mahmud

Asal Negara : Somalia

Jurusan : Teknik Informatika

Asrama : Al Ghazali

Menurut penuturan narasumber kami, alasan dia berkuliah di Universitas


Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang karena ia ingin melanjutkan studi
Teknik Informatika di universitas yang berbasis keislaman. Menurut kebijakan
yang ada, para mahasiswa diwajibkan untuk tinggal di Ma’had Sunan Ampel Al-

28
Aly selama setahun, begitupun juga yang dialami oleh narasumber kami, selama
di sini ia mengalami banyak pengalaman unik dikarenakan perbedaan budaya
yang ada di sini dengan di negara asalnya−Somalia.

Menurut narasumber kami, etika sangat penting dalam melakukan segala


aspek kehidupan. Sebelum kita mampu bertoleransi, pastilah kita harus bisa
beretika dahulu. Etika menurut Mahmud berarti kemampuan dalam berakhlak
baik. Sedangkan budaya dia artikan sebagai kegiatan sehari-hari yang dilakukan
turun temurun.

Menurut dia budaya di sana−Somalia−sangatlah berbeda budaya yang ada di


Indonesia. Di somalia sangat banyak sekali tarian bercorak keislaman, sedangkan
di Indonesia tariannya sangat bermacam-macam. Dia juga menyukai sifat
keramah-tamahan orang Indonesia. Selama di Ma’had dia menemukan banyak
teman yang baik, ramah, murah senyum, penyabar, dan penuh kasih
sayang−meski pada awalnya dia juga agak sulit beradaptasi, namun lama
kelamaan dia mampu berbaur dengan baik. Dia juga menyukai aturan dan
kegiatan yang diadakan di Ma’had, seperti sholat berjama’ah di Masjid al-
Tarbiyah, Shobahul Lughoh, Ta’lim qur’an, Ta’lim Afkar, dan lain-lain. Dari
kegiatan-kegiatan itulah yang membuatnya memiliki banyak teman, sehingga
mampu menumbuhkan sikap toleransinya. Namun ada kebiasaan yang tidak ia
sukai, yaitu kebiasaan mengantre mandi yang sangat lama−karena ia baru saja
merasakan suasana seperti ini, padahal sebenarnya kebiasaan ini sudah ada di
Indonesia, khususnya berada di pondok pesantren. Jadi, menurutnya antara
budaya dan wilayah juga memiliki korelasi satu sama lain.

Cara untuk dapat menumbuhkan toleransi dalam berbudaya di Ma’had


Sunan Ampel Al-Aly adalah dengan meningkatkan kasih sayang kepada sesama,
menghindari egoisme, dan berpegang teguh pada ajaran al-qur’an.

29
3.3 Keterkaitan dalam Pancasila

Pada inti nya kita harus selalu menjaga negara kesatuan republik Indonesia
dari segala hambatan dan ancaman yang akan menganggu kemajuan Indonesia.
Membentuk karakter bangsa Indonesia menjadi kritis, dan kuat mental. Perjalanan
Indonesia sangatlah panjang dan akan memberikan banyak pengalaman tentang
kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai wujud cita-cita yang membentuk
kebudayaan yang dilandasi dengan strategi budaya yang nyata. Menjadikan
negara ini menjadi negara yang mampu membawa perubahan sehingga negara ini
menjadi negara yang maju yang berlandaskan pada pancasila, dan UUD 1945
sebagai dasar negara Indonesia.

Dari ilustrasi kehidupan dan toleransi di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly ini,
dapat kita ambil maknanya bahwa kita sebagai makhluk sosial harus memiliki
tenggang rasa kepada sesama. Saling menjaga persatuan dan kesatuan. Mampu
menerapkan beberapa nilai yang ada di Pancasila. Seperti yang tercantum pada
sila ke-1, ke-2, dan ke-3, yaitu:

1. “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yakni kita sebagai ummatan wahidan


harus mampu menerapkan nilai-nilai religius di dalam agama, seperti
menolong, bertoleransi, menghormati sesama, dan lain-lain.
2. “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” yakni sebagai manusia kita
harus berakhlak, beretika kepada sesama, dan menghormati HAM
oranglain.
3. “Persatuan Indonesia”, kita harus menciptakan persatuan dan kesatuan
di dalam lingkungan, menjaga suasana agar senantiasa kondusif, dan
menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan individu.

30
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai


berikut:

1. Agar kita dapat mengetahui pengertian etika, toleransi, dan budaya.


Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti tempat tinggal,
kebiasaan, adat, watak, sikap, cara berpikir. Toleransi menurut KBBI
berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih
diperbolehkan. Kemudian budaya berasal dari bahasa Sansekerta
buddhayah yang berarti “budi” atau “akal”.
2. Agar dapat mengetahui mengenai pola hubungan antara budaya dan
wilayah.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat,
kebudayaan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi
sistem gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia. Oleh
karenanya, perbedaan tempat atau wilayah dapat mempengaruhi
perbedaan budaya yang ada.
3. Agar dapat mengetahui cara yang bisa diterapkan mahasiswa asing
dalam membentuk rasa toleransi dalam menghadapi perbedaan
budaya di Ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly (MSAA) dan keterkaitannya
dalam pancasila.
Upaya toleransi dapat dilakukan dengan selalu peduli terhadap
lingkungan sekitar dan mencoba membantu teman-teman selagi bisa,
meningkatkan kasih sayang kepada sesama, menghindari egoisme,
dan berpegang teguh pada ajaran al-qur’an. Dari ilustrasi kehidupan
dan toleransi di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly ini, dapat kita ambil
maknanya bahwa kita sebagai makhluk sosial harus menerapkan
beberapa nilai yang ada di Pancasila. Seperti yang tercantum pada
sila ke-1, ke-2, dan ke-3.

31
4.2 Saran

Menyadari bahwa penulisan laporan penelitian ini masih jauh dari


kata sempurna, ke depannya penulis akan memperbaiki penulisan laporan
penelitian pada mata kuliah Pancasila mengenai “Etika Mahasiswa Asing
dalam Upaya Bertoleransi Terhadap Perbedaan Budaya di Ma’had Sunan
Ampel Al-‘Aly (MSAA) UIN Malang”. Penulis juga menerima kritik
maupun saran dari dosen dan para pembaca demi peningkatan kualitas
daripada laporan penelitian ini.

32
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Masykuri. 2001. Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman.


Jakarta: Kompas.

Abuddin, Nata, 2012. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: Raja
Grafindo.

Ahmadi, A. dan Sholeh M. 1991. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta.

Al Munawar, Said Agil. 2003. Fiqih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat
Press.

Alfan, Muhammad. 2011. Filsafat Etika Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.

Badroen, Faisal. 2006. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Kencana Perdana Media
Group.

Bertenz, K, Etika, 2007. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

Damar A, Hartaji. 2012. Motivasi Berprestasi Pada Mahasiswa yang Berkuliah


Dengan Jurusan Pilihan Orangtua. Fakultas Psikologi Universitas
Gunadarma.

D. E Papalia, Old, S.W. dan Feldman, R.D. 2008. Human Development (Psikologi
Perkembangan). Jakarta: Kencana Pratiwi.

Franz Magnis dan Suseno. Etika Sosial. Jakarta: Gramedia.

Gunarsa, S.D dan Gunarsa , Y.S.D. 2001. Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hafsah, Muhammad Jafar dan Wuryadi. 2013. Strategi Pembudayaan Nilai-nilai


Pancasila dalam Menguatkan Semangat ke-Indonesia-an, Yogyakarta : PSP
press Universitas Gadjah Mada.

Harahap, Sofyan, S. 2011. Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Salemba
Empat.

Hasyim, Umar. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam


Sebagai Dasar menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama.
Surabaya: Bina Ilmu.

Koentjaraningrat 2003. Pengantar Antropologi Jilid I, Jakarta: PT Rineka Cipta


Jakarta.

33
Larry A, Samovar & Porter Richard E. 2003. Intercultural Communication A
Reader 10th Edition, USA: California Suire University, Long Beach,
Emeritus.

Liliweri, Alo. 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, PT. LkiS
Pelangi Aksara Yogyakarta.

Marzuki. 2006. Konflik antar Umat Beragama di Indonesia dan Alternatif


Pemecahannya Makalah disampaikan pada Seminar tentang Revolusi
Konflik, Senin 20 November 2006 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi
Universitas Negeri Yogyakarta.

Misrawi, Zuhairi, 2007. Alquran Kitab Toleransi. Jakarta: Pustaka Oasis.

M.T. Dyayadi. 2009. Kamus Lengkap Islamologi. Yogyakarta: Qiyas.

Munawir, Ahmad Warson. Kamus Arab Indonesia al-Munawir. Yogyakarta: Balai


Pustaka Progresif.

Notonagoro. 1972. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila cet.ke- 4. Jakarta:


Pantjuran Tudjuh.

Osborn, Kevin. 1993. Tolerance. New York. 1993.

Richard G. Mayopu. 2015. Jurnalisme Antar Budaya Sebagai Jalan Menuju


Toleransi Berbangsa dan Bernegara. Jurnal Humaniora Yayasan Bina
Darma. Vol.II, No.3.

S, Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas.

Santrock, J. W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup (Edisi


Kelima). Terj. Achmad Chusairi. Jakarta: Erlangga

Siswoyo, Dwi. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Soerjono Soekanto, 1984. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur


Masyarakat. Jakarta: CV Rajawali.

Sugiyanto. 2009. Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: FKIP UNS

Sunendar, Dadang. dkk. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima
Offline. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Suprapto, Sri. 2013. WISDOM. Jurnal Filsafat. Vol. 23, nomor 2.

34
Swasono, Meutia Farida Hatta. 2003. Artikel Kebudayaan Nasional Indonesia:
Penataan Pola Pikir.

Thoha, Anis Malik. 2005. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Perspektif.

wawisasongko.staff.ub.ac.id / (Diakses pada tanggal 9 Desember 2018).

wawisasongko.staff.ub.ac.id/ (Diakses pada tanggal 9 Desember 2018).

Yasir, Muhammad. 2014. Makna Toleransi dalam Al-Qur’an. Jurnal Ushuluddin.


Vol. XXII No. 2, h. 170.

Yusuf, Syamsu dkk. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Grafindo


Persada. Jurusan Pilihan Orangtua. Fakultas Psikologi Universitas
Gunadarma.

35

Anda mungkin juga menyukai