PENDAHULUAN
Keragaman budaya, tradisi dan agama adalah suatu keniscayaan hidup sebab
setiap orang atau komunitas pasti mempunyai perbedaan sekaligus persamaan. Di
sisi lain kemajemukan budaya, tradisi dan agama merupakan kekayaan tersendiri
bagi bangsa Indonesia. Namun jika kondisi seperti itu tidak dipahami dengan
sikap toleran dan saling menghormati, maka pluralitas budaya, agama atau tradisi
cenderung akan memunculkan konflik bahkan kekerasan (violence). Kenyataan di
lapangan menyebutkan bahwa perbedaan budaya atau tradisi dalam suatu
komunitas masyarakat tidak selamanya dapat berjalan damai. Penulis mempunyai
pendapat bahwa konflik yang muncul akibat perbedaan budaya salah satunya
disebabkan oleh sikap fanatisme yang bersifat negatif serta kurangnya sikap
tasamuh (toleran) di kalangan umat. Fanatisme dan intoleransi hanya akan
memyebabkan terjadinya desintegrasi bangsa dan konflik di masyarakat.
1
1.2 Rumusan Masalah
3. Apa saja upaya yang bisa dilakukan oleh mahasiswa asing dalam menciptakan
rasa toleransi terhadap budaya lokal di Ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly (MSAA)
dan keterkaitannya dalam pancasila?
2. Agar dapat mengetahui mengenai pola hubungan antara budaya dan wilayah.
3. Agar dapat mengetahui cara yang bisa diterapkan mahasiswa asing dalam
membentuk rasa toleransi dalam menghadapi perbedaan budaya di Ma’had
Sunan Ampel Al-‘Aly (MSAA) dan keterkaitannya dalam pancasila.
Penelitian ini diharapkan dapat berguna baik yang dalam hal teori maupun
praktis bagi pembaca, antara lain:
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos (kata tunggal) yang berarti: tempat
tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, sikap, cara berpikir.
Bentuk jamaknya adalah etha, yang berarti adat istiadat. Dalam hal ini, kata etika
sama pengertianya dengan moral. Moral berasal dari kata latin: Mos (bentuk
tunggal), atau mores (bentuk jamak) yang berarti adat istiadat, kebiasaan,
kelakuan, watak, tabiat, akhlak, cara hidup.1
Menurut Bertens ada dua pengertian etika: sebagai praktis dan sebagai
refleksi. Sebagai praktis, etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang
baik yang dipraktikkan atau justru tidak dipraktikkan, walaupun seharusnya
dipraktikkan. Etika sebagai praktis sama artinya dengan moral atau moralitas yaitu
apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dan sebgainya.
Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral.2
Adapun menurut Burhanuddin Salam, istilah etika berasal dari kata latin,
yakni “ethic”, sedangkan dalam bahasa Greek, ethikos yaitu a body of moral
principle or value. Ethic, arti sebenarnya ialah kebiasaan. Jadi, dalam pengertian
aslinya, apa yang disebutkan baik itu adalah yang sesuai dengan kebiasaan
masyarakat (pada saat itu). Lambat laun pengertian etika itu berubah dan
berkembang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan manusia. Perkembangan
pengertian etika tidak lepas dari substansinya bahwa etika adalah suatu ilmu yang
membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dinilai
baik dan mana yang jahat. Istilah lain dari etika, yaitu moral, asusila, budi pekerti,
akhlak. Etika merupakan ilmu bukan sebuah ajaran. Etika dalam bahasa arab
1
Abuddin Nata, 2012. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: Raja Grafindo.
2
K. Bertenz, Etika, 2007. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, h. 22
3
disebut akhlak, merupakan jamak dari kata khuluq yang berarti adat kebiasaan,
perangai, tabiat, watak, adab, dan agama.3
Etika atau moral adalah aturan mengenai sikap perilaku dan tindakan manusia
yang hidup bermasyarakat. Etika ini juga bisa sebagai seperangkat prinsip moral
yang membedakan antara yang baik dari yang buruk. Dalam masyarakat kita tidak
3
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 17
4
Ibid, h. 17
5
Faisal Badroen, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2006), cet. Ke-1, h. 5.
6
Dadang Sunendar, dkk. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima Offline. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
7
Franz Magnis Suseno, Op Cit, h. 18.
4
hidup sendiri sehingga harus ada aturan yang dilaksanakan setiap orang agar
kehidupan bermasyarakat berjalan dengan aman, nikmat, dan harmonis. Tanpa
aturan ini, kehidupan bisa seperti neraka, atau seperti di Rimba yang kuat akan
menang dan yang lemah akan tertindas. Maka harus meningkatkan aspek
etikanya dan penegakan kode etik profesi dalam kurikulum dan dalam
menjalankan profesinya.8
8
Sofyan S Harahap, OpCit, h. 27
9
Muhammad jafar Hafsah dan Wuryadi, Strategi Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila dalam Menguatkan
Semangat ke-Indonesia-an, Yogyakarta : PSP press Universitas Gadjah Mada, 2013, hlm. 4-5.
5
warga masyarakat atau warga negara, sehingga tidak memaksakan
pendapat dan kehendak kepada orang lain.
5. Etika yang dijiwai oleh nilai-nilai "Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia” merupakan etika yang menuntun manusia untuk
mengembangkan sikap adil terhadap sesama manusia, mengembangkan
perbuatan-perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Pertama, Etika Pancasila melakukan refleksi kritis tentang norma dan nilai
moralitas yang telah dijalani atau dianut oleh warga bangsa Indonesia selama ini
agar dapat dirumuskan menjadi prinsip-prinsip kelayakan hidup sehari-hari,
misalnya nilai-nilai yang terkandung di dalam benda-benda peninggalan
bersejarah, karya sastra, cerita rakyat.
10
Ibid
11
Sri Suprapto. 2013. WISDOM. Jurnal Filsafat. Vol. 23, nomor 2,. Hlm. 102.
6
Kedua, Etika Pancasila melakukan refleksi kritis tentang situasi khusus
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan segala keunikan dan kompleksitasnya
seperti telah dirumuskan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
tahun 1945.
Ketiga, refleksi kritis tentang berbagai paham yang dianut oleh manusia atau
kelompok masyarakat tentang bidangbidang khusus kehidupan, misalnya paham
tentang manusia, Tuhan, alam, masyarakat, sistem sosial politik, sistem ekonomi,
sistem kerja, dan lain sebagainya.12
Etika teleologis menilai suatu perilaku baik jika bertujuan baik dan
menghasilkan sesuatu yang baik atau akibat yang baik, dan buruk jika sebaliknya.
Etika teleologis bersifat situasional (sesuai dengan situasi tertentu) dan subjektif.
Teori ini menganggap perilaku yang baik bisa berubah sesuai dengan kondisi
yang menghasilkan baik pada saat itu. Suatu tindakan dapat dibenarkan oleh teori
ini walau melanggar norma dan nilai moral sekalipun.14 Etika teleologis
berdasarkan kepentingannya menggolongkan penilaian suatu tindakan secara
moral menjadi dua, yakni: pertama adalah egoisme etis. Egoisme etis menilai baik
atau buruknya suatu perilaku berdasarkan akibat bagi pelakunya, dan dibenarkan
mengejar kebahagiaan bagi dirinya sendiri. Kedua adalah utilitarianisme, yang
12
Keraf, S., 2002, Etika Lingkungan, Kompas, Jakarta.
13
Ibid.
14
Ibid.
7
menganggap baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan akibatnya bagi
banyak orang. Hal yang paling menonjol dari utilitarianisme adalah manfaat bagi
sebanyak mungkin orang yang terlibat dalam tindakan tersebut.15
Etika Pancasila adalah Etika Keutamaan yang tersusun dari nilai-nilai dan
keutamaan moral bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan terbentuk oleh pembelajaran dari kenyataan
sepanjang sejarah kebangsaan Indonesia yang panjang. Nilai-nilai Pancasila
merupakan buah hasil pikiran-pikiran dan gagasan dasar bangsa Indonesia tentang
kehidupan yang dianggap baik dalam menghadapi diri sendiri, sesama dan
lingkungan hidup, serta ketaatan pada Tuhan. Nilai-nilai Pancasila adalah tata
nilai yang mendukung tata kehidupan sosial dan tata kehidupan kerohanian
bangsa yang memberi corak, watak, ciri khas masyarakat dan bangsa Indonesia
yang membedakannya dengan masyarakat dan bangsa lain.17
Etika Pancasila adalah Etika Teleologis yang berisi pedoman bagi warga
bangsa Indonesia dalam usaha untuk mencapai tujuan hidup berbangsa dan
bernegara di masa depan. Permasalahan bangsa Indonesia dalam menyesuaikan
diri dengan masa modernisasi di masa depan yang penting mendapat perhatian
15
Jurnal Filsafat Vol. 23, nomor 2, Agustus 2013. Hlm. 102.
16
Ibid, h. 102
17
Ibid, h. 102
8
adalah pengembangan sistem nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang
substansial adalah nilai-nilai utama yang tetap akan menjadi kepribadian bangsa
sepanjang masa. Implementasi nilai-nilai Pancasila di dalam Pembukaan
UndangUndang Dasar Negara tahun 1945 akan menjadi pedoman pokok secara
umum kolektif untuk semua warga bangsa dan negara Indonesia. Implementasi
nilai-nilai Pancasila di dalam peraturan-peraturan resmi kenegaraan harus selalu
menampung perubahan sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman modern.18
18
Jurnal Filsafat Vol. 23, nomor 2, Agustus 2013, h. 103.
19
Notonagoro ,1972, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, cet.ke- 4, Pantjuran Tudjuh, Jakarta.
9
2.2 Mahasiswa
20
Damar A, Hartaji. 2012. Motivasi Berprestasi Pada Mahasiswa yang Berkuliah Dengan Jurusan Pilihan
Orangtua. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, h. 5
21
Dadang Sunendar, dkk. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima Offline. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
22
Dwi Siswoyo. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press, h. 121.
23
Yusuf, Syamsu dkk. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Grafindo Persada. Jurusan Pilihan
Orangtua. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, h. 27.
10
2.2.1 Karakteristik Perkembangan Mahasiswa
24
J. W Santrock. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup (Edisi Kelima). Terj. Achmad
Chusairi. Jakarta: Erlangga, h. 74.
25
D. E Papalia, Old, S.W. dan Feldman, R.D. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta:
Kencana Pratiwi, h. 672
26
S.D Gunarsa dan Gunarsa , Y.S.D. 2001. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, h. 129-131
11
lain sehingga lebih stabil dan lebih terkendali. Dia mampu mengungkapkan
pendapat dan perasaannya dengan sikap yang sesuai dengan lingkungan dan
kebebasan emosionalnya.
f) Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma; nilai pribadi
yang tadinya menjadi norma dalam melakukan sesuatu tindakan bergeser ke
arah penyesuaian terhadap norma di luar dirinya. Baik yang berhubungan
dengan nilai sosial ataupun nilai moral. Nilai pribadi adakalanya harus
disesuaikan dengan nilai-nilai umum (positif) yang berlaku dilingkungannya.
12
Menurut Langeveld (dalam Ahmadi & Sholeh, 1991: 90) ciri-ciri
kedewasaan seseorang antara lain:27
27
A. Ahmadi dan Sholeh M. 1991. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta, h. 90
28
Sugiyanto. 2009. Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: FKIP UNS, h. 5-6
13
2.3 Toleransi
Istilah Tolerance (toleransi) adalah istilah modern, baik dari segi nama
maupun kandungannya.32 Istilah ini pertama kali lahir di Barat, di bawah situasi
dan kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas. Toleransi berasal dari bahasa
Latin, yaitu tolerantia, yang artinya kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan
kesabaran. Dari sini dapat dipahami bahwa toleransi merupakan sikap untuk
memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya,
sekalipun pendapatnya salah dan berbeda.33
29
Dadang Sunendar, dkk. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima Offline. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
30
Ahmad Warson Munawir. Kamus Arab Indonesia al-Munawir. Yogyakarta: Balai Pustaka Progresif, h.
1098.
31
Umar Hasyim. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar menuju Dialoq
dan Kerukunan Antar Umat Beragama. Surabaya: Bina Ilmu, h. 22.
32
Anis Malik Thoha. 2005. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Perspektif, h. 212.
33
Zuhairi Misrawi, 2007. Alquran Kitab Toleransi. Jakarta: Pustaka Oasis, h. 161.
34
Ibid, h. 161
14
Ketiga istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dengan istilah
toleransi. Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap terbuka, lapang dada,
sukarela dan kelembutan. Kevin Osborn mengatakan bahwa toleransi adalah salah
satu pondasi terpenting dalam demokrasi.35 Sebab, demokrasi hanya bisa berjalan
ketika seseorang mampu menahan pendapatnya dan kemudian menerima pendapat
orang lain. atas perbedaan tersebut sebagai pengakuan hak-hak asasi manusia.
Dalam agama telah menggariskan dua pola dasar hubungan yang harus
dilaksanakan oleh pemeluknya, yaitu: hubungan secara vertikal dan hubungan
secara horizontal. Yang pertama adalah hubungan antara pribadi dengan
35
Kevin Osborn. 1993. Tolerance. New York. 1993, h. 11
36
Masykuri Abdullah. 2001. Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta: Kompas, h. 13.
15
Khaliknya yang direalisasikan dalam bentuk ibadah sebagaimana yang telah
digariskan oleh setiap agama. Hubungan dilaksanakan secara individual, tetapi
lebih diutamakan secara kolektif atau berjamaah (shalat dalam Islam). Pada
hubungan ini berlaku toleransi agama yang hanya terbatas dalam lingkungan atau
intern suatu agama saja. Hubungan yang kedua adalah hubungan antara manusia
dengan sesamanya. Pada hubungan ini tidak terbatas panda lingkungan suatu
agama saja, tetapi juga berlaku kepada semua orang yang tidak seagama, dalam
bentuk kerjasama dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan
umum. Dalam hal seperti inilah berlaku toleransi dalam pergaulan hidup antar
umat beragama.37
Pertama, mencoba melihat kebenaran yang ada di luar agama lain. Ini
berarti, kebenaran dalam hal keyakinan ada juga dalam agama-agama. Hal ini
justru akan membawa umat beragama ke dalam jurang relativisme kebenaran dan
pluralisme agama. Sebab, kepercayaan bahwa kebenaran tidak hanya ada dalam
satu agama berarti merelatifkan kebenaran Tuhan yang absolut. Argumen seperti
ini sebenarnya tidak baru. Kedua, memperkecil perbedaan yang ada di antara
agama-agama. Ketiga, menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam
agama-agama. Antara poin kedua dan ketiga terdapat korelasi dalam hal
persamaan agama-agama. Namun, pada dasarnya, yang terpenting justru bukanlah
37
Said Agil Al Munawar. 2003. Fiqih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press, h. 16
38
Ibid, h. 16
39
Dyayadi, M.T., 2009. Kamus Lengkap Islamologi. Yogyakarta: Qiyas, h. 614.
16
persamaannya, tapi perbedaan yang ada dalam agama-agama tersebut. Keempat,
memupuk rasa persaudaraan se-tuhan. Dan Kelima, menjauhi praktik serang-
menyerang antar agama.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa toleransi antar umat beragama
berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai
keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain.
Dalam masyarakat berdasarkan pancasila terutama sila pertama, bertakwa kepada
tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah mutlak. Semua
agama menghargai manusia maka dari itu semua umat beragama juga wajib untuk
saling menghargai. Dengan demikian antar umat beragama yang berlainan akan
terbina kerukunan hidup.
40
Zuhairi Misrawi. 2007. Alquran Kitab Toleransi. Jakarta: Pustaka Oasis, h. 159.
17
fenomenal dari praktek toleransi Islam yang menolak mentah-mentah tuduhan
intoleransi yang dilontarkan para musuh Islam. Piagam Madinah berisi penegasan
tentang kesetaraan fungsi dan kedudukan serta persamaan hak dan kewajiban
antara umat muslim dan umat-umat lain yang tinggal di Madinah.41
41
Muhammad Yasir. 2014. Makna Toleransi dalam Al-Qur’an. Jurnal Ushuluddin. Vol. XXII No. 2, h. 170.
18
2.4 Budaya
42
Koentjaraningrat 2003. Pengantar Antropologi Jilid I, Jakarta: PT Rineka Cipta Jakarta.
43
Soerjono Soekanto, 1984. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: CV Rajawali.
19
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan serta
kebiasaan yang dipunyai manusia sebagai warga negara dari suatu masyarakat,
selalu mempengaruhi pola hidup dalam bermasyarakat.44 Pola hidup yang
ditafsirkan oleh penulis adalah pola bagaimana masyarakat berkomunikasi dan
berinteraksi antara satu dan yang lainnya, terlebih masyarakat yang berbeda
kebudayaannya. Definisi lain yang mendukung penjelasan sebelumnya adalah
Kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk
perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-sombol yang mereka terima tanpa sadar/
tanpa dipikirkan, yang semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dan
peniruan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.45
44
Ibid,
45
Alo Liliweri, 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, PT. LkiS Pelangi Aksara
Yogyakarta
46
Samovar, Larry A. & Porter Richard E. 2003. Intercultural Communication A Reader 10th Edition, USA:
California Suire University, Long Beach, Emeritus.
20
dalam kehidupan toleransi beragama, menjadi penting untuk mengamati penyebab
secara umum seperti yang di sampaikan oleh Marzuki.47
Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal dan budaya
yang khas. Budaya universal mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang
dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Nilai-nilai ini dijunjung tinggi oleh
segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang ada di
dunia ini memiliki kesamaan nilai-nilai tersebut. Contoh dari nilai universal ini
antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendiri, manusia anti dengan
peperangan, manusia mementingkan perdamaian, manusia mempunyai kebebasan,
dan lain-lain.48
Nilai budaya yang khas adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa
tertentu. Lebih dari itu, nilai-nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau
suku/etnis tertentu di mana keunikan ini berbeda dengan kelompok atau bangsa
lain. Keunikan nilai ini dapat menjadi barometer untuk mengenal bangsa atau
kelompok tertentu. Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada
umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang
diterapkan oleh anggota masyarakat itu.49
Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianngap benar itu dapat
dijadikan panutan dalam menjalani hidup. Selain itu, nilai budaya yang diyakini
kebenarannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan
masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada
dalam suatu masyarakat mempunyai sutu cara tersendiri untuk memecahkan
permasalahan yang timbul dalam anggota masyarakat tersebut.50
47
Marzuki. 2006. Konflik antar Umat Beragama di Indonesia dan Alternatif Pemecahannya Makalah
disampaikan pada Seminar tentang Revolusi Konflik, Senin 20 November 2006 di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.
48
Drs. Abu Bakar M. Luddin, M.Pd.,Ph.D. 2010. Dasar-dasar Konseling: Tinjauan Teori dan Praktik.
Bandung: Citapustaka Media Perintis, h. 108 .
49
Ibid, h. 108.
50
Ibid, h. 108.
21
Indonesia adalah masyarakat majemuk yang multikultural, yaitu suatu
masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda berakulturasi,
dengan menghargai pluralisme sebagai keragaman budaya untuk tetap
dilestarikan. Kemajemukan tersebut ditandai oleh adanya suku-suku bangsa yang
masing-masing mempunyai cara-cara hidup atau kebudayaan yang berlaku dalam
masyarakat suku bangsanya sehingga mencerminkan adanya perbedaan dan
pemisahan antara etnik yang satu dengan etnik lainnya, tetapi secara bersama-
sama hidup dalam satu wadah masyarakat Indonesia. Kebudayaan tersebut juga
berupa ritual-ritual sistem kepercayaan yang bahkan masih dipegang teguh hingga
saat ini. Menurut Suparlan perbedaan tersebut pada hakekatnya adalah perbedaan-
perbedaan yang disebabkan oleh sejarah perkembangan kebudayaan masing-
masing. Puncak-puncak kebudayaan tersebut adalah konfigurasi yang
masingmasing kebudayaan memperlihatkan adanya pinsip-prinsip kesamaan dan
saling penyesuaian satu dengan lainnya sehingga menjadi landasan bagi
terciptanya kebudayaan nasional. Selanjutnya, terdapat kebudayaan umum yang
bersifat lokal yang dapat dilihat sebagai sebuah wadah untuk mengakomodasi
proses pembauran atau asimilasi dan proses akulturasi, yang di antara
kebudayaan-kebudayaan itu saling berbeda wilayah atau dikelilingi wilayah
kebudayaan umum yang bersifat lokal. Kebudayaan didefinisikan sebagai
keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya
untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamanya, serta
menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan
merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan
strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model kognitif yang dipunyai oleh
manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya
sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya. Istilah
‘budaya’ tentunya merupakan sebuah istilah yang masih diperdebatkan dengan
berbagai makna dalam bermacam konteks dan wacana.51
51
Richard G. Mayopu. 2015. Jurnalisme Antar Budaya Sebagai Jalan Menuju Toleransi Berbangsa dan
Bernegara. Jurnal Humaniora Yayasan Bina Darma. Vol.II, No.3, h. 223
22
Indonesia. Tiap daerah mempunyai nilai-nilai khas yang sangat dijunjung tinggi
oleh kelompok masyarakatnya. Kalimat tersebut mengundang suatu pertanyaan,
yaitu apakah bangsa Indonesia tidak mempunyai budaya Nasional? Ternyata
punya. Setelah kita merdeka dan menyatakan sebagai negara yang bersatu, saat itu
pulalah mulai digali nilai-nilai yang ada di dalam kelompok etnis bangsa
Indonesia. Dalam hal ini, disusun suatu pola yang dapat mewakili budaya
Indonesia secara utuh. Nilai-nilai yang disatukan itu dijadikan pandangan hidup
bangsa Indonesia yaitu kesatuan lima sila dalam Pancasila; (1) Ketuhanan Yang
Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4)
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.52
52
Op, Cit, h. 109. Drs. Abu Bakar M. Luddin, M.Pd.,Ph.D. 2010. Dasar-dasar Konseling: Tinjauan Teori
dan Praktik. Bandung: Citapustaka Media Perintis.
23
2.4.4 Perbedaan Budaya Indonesia dengan Budaya Asing
53
wawisasongko.staff.ub.ac.id / (Diakses pada tanggal 9 Desember 2018).
24
Berikut ini beberapa perbedaan tentang budaya barat dan budaya timur
menurut seniman Cinayaitu Yang Liu yang diambil dari contoh perbedaan budaya
Amerika dan budaya Indonesia:54
1. Waktu
- Indonesia memang terkenal dengan waktu dengan jam karet nya yang
kurang menghargai waktu
- Amerika mereka cenderung on time dalam hal waktu
2. Gaya Hidup
- Orang Indonesia akan lebih nyaman apabila dekat dengan keluarga atau
kerabat.
3. Hubungan
4. Perayaan Pesta
- Jika ada perayaan atau pesta, banyak orang Indonesia lebih suka
mengundang seluruh kerabat/keluarga dan teman. Contohnya dalam acara
pernikahan membuat undangan dengan jumlah yang begitu banyak.
- Amerika jika ingin membuat suatu acara, hanya kerabat, keluarga, serta
beberapa teman dekat yang diundang.
54
wawisasongko.staff.ub.ac.id/ (Diakses pada tanggal 9 Desember 2018).
25
5. Terhadap sesuatu yang baru
6 Transportasi
55
Swasono, Meutia Farida Hatta. 2003. Artikel Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir, h. 4
26
BAB III
PEMBAHASAN
3. 1 Narasumber Pertama
Jurusan : Farmasi
Saat pertama kali berada di sini ia agak bingung dengan budaya maupun
tradisi yang ada. Namun ia tetap mencoba untuk berbaur di dalamnya. Dia
menemukan banyak teman dari berbagai suku, bangsa, dengan berbagai macam
sifat. Sebelum mampu berbaur dengan baik, narasumber kami juga menerapkan
perbaikan etika dalam dirinya. Etika menurut narasumber kami adalah suatu
perilaku, sikap, behaviour, manusia kepada sesamanya. Sedangkan budaya adalah
suatu adat kebiasaan. Menurutnya etika sangat berpengaruh terhadap adaptasi
budaya. Maka dari itu, ia juga sedikit demi sedikit mulai meniru atau mencontoh
perilaku baik dari teman sekitar agar ia mudah beradaptasi dengan tradisi dan
budaya yang ada di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly. Seperti budaya yang pertama
dia lihat di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly adalah perbedaan dalam hal pakaian.
Pakaian yang dipakai mahasantri di sini sangat berbeda dengan pakaian di Sudan,
27
kebanyakan di Sudan menggunkan baju gamis dan wanita berkerudung besar dan
panjang, warna baju pun juga kebanyakan gelap dan tidak banyak aksesori.
Menurut dia budaya dengan wilayah memang sangat berhubungan satu sama lain,
dikarenakan budaya berkaitan dengan adat kebiasaan dari masyarakat di suatu
wilayah.
Nama : Mahmud
Asrama : Al Ghazali
28
Aly selama setahun, begitupun juga yang dialami oleh narasumber kami, selama
di sini ia mengalami banyak pengalaman unik dikarenakan perbedaan budaya
yang ada di sini dengan di negara asalnya−Somalia.
29
3.3 Keterkaitan dalam Pancasila
Pada inti nya kita harus selalu menjaga negara kesatuan republik Indonesia
dari segala hambatan dan ancaman yang akan menganggu kemajuan Indonesia.
Membentuk karakter bangsa Indonesia menjadi kritis, dan kuat mental. Perjalanan
Indonesia sangatlah panjang dan akan memberikan banyak pengalaman tentang
kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai wujud cita-cita yang membentuk
kebudayaan yang dilandasi dengan strategi budaya yang nyata. Menjadikan
negara ini menjadi negara yang mampu membawa perubahan sehingga negara ini
menjadi negara yang maju yang berlandaskan pada pancasila, dan UUD 1945
sebagai dasar negara Indonesia.
Dari ilustrasi kehidupan dan toleransi di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly ini,
dapat kita ambil maknanya bahwa kita sebagai makhluk sosial harus memiliki
tenggang rasa kepada sesama. Saling menjaga persatuan dan kesatuan. Mampu
menerapkan beberapa nilai yang ada di Pancasila. Seperti yang tercantum pada
sila ke-1, ke-2, dan ke-3, yaitu:
30
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
31
4.2 Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin, Nata, 2012. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: Raja
Grafindo.
Al Munawar, Said Agil. 2003. Fiqih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat
Press.
Badroen, Faisal. 2006. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Kencana Perdana Media
Group.
D. E Papalia, Old, S.W. dan Feldman, R.D. 2008. Human Development (Psikologi
Perkembangan). Jakarta: Kencana Pratiwi.
Gunarsa, S.D dan Gunarsa , Y.S.D. 2001. Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Harahap, Sofyan, S. 2011. Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Salemba
Empat.
33
Larry A, Samovar & Porter Richard E. 2003. Intercultural Communication A
Reader 10th Edition, USA: California Suire University, Long Beach,
Emeritus.
Liliweri, Alo. 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, PT. LkiS
Pelangi Aksara Yogyakarta.
Sunendar, Dadang. dkk. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima
Offline. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
34
Swasono, Meutia Farida Hatta. 2003. Artikel Kebudayaan Nasional Indonesia:
Penataan Pola Pikir.
35