1. Wawancara
Biasa juga disebut dengan anamnesa adalah menanyakan atau tanya jawab yang
berhubungan dengan masalah yang dihadapi klien dan merupakan suatu komunikasi yang
direncanakan.
2. Observasi
Tahap kedua dalam pengumpulan data adalah pengamatan, dan pada praktiknya
kita lebih sering menyebutnya dengan observasi.
3. Pemeriksaan Fisik
Tahap ketiga dalam pengumpulan data adalah pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
fisik dalam keperawatan digunakan untuk mendapatkan data objektif dari riwayat
keperawatan klien.
Ada 4 teknik dalam pemeriksaan fisik yaitu :
a. Inspeksi
Inspeksi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat bagian tubuh
yang diperiksa melalui pengamatan. Fokus inspeksi pada setiap bagian tubuh
meliputi : ukuran tubuh, warna, bentuk, posisi, simetris.
b. Palpasi
Palpasi adalah suatu teknik yang menggunakan indera peraba. Tangan dan jari-
jari adalah instrumen yang sensitif digunakan untuk mengumpulkan data, misalnya
tentang : temperatur, turgor, bentuk, kelembaban, vibrasi, ukuran.
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan selama palpasi :
1) Ciptakan lingkungan yang nyaman dan santai.
2) Tangan perawat harus dalam keadaan hangat dan kering
3) Kuku jari perawat harus dipotong pendek.
4) Semua bagian yang nyeri dipalpasi paling akhir. Misalnya : adanya tumor, oedema,
krepitasi (patah tulang), dan lain-lain.
c. Perkusi
Adapun suara-suara yang dijumpai pada perkusi adalah :
1) Sonor : suara perkusi jaringan yang normal.
2) Redup : suara perkusi jaringan yang lebih padat, misalnya di daerah paru-paru
pada pneumonia.
3) Pekak : suara perkusi jaringan yang padat seperti pada perkusi daerah jantung,
perkusi daerah hepar.
4) Hipersonor/timpani : suara perkusi pada daerah yang lebih berongga kosong,
misalnya daerah caverna paru, pada klien asthma kronik.dan timpani pada usus
d. Auskultasi
Hal-hal yang didengarkan adalah : bunyi jantung, suara nafas, dan bising usus.
Suara tidak normal yang dapat diauskultasi pada nafas adalah :
1) Rales : suara yang dihasilkan dari eksudat lengket saat saluran-saluran halus
pernafasan mengembang pada inspirasi (rales halus, sedang, kasar). Misalnya pada
klien pneumonia, TBC.
2) Ronchi : nada rendah dan sangat kasar terdengar baik saat inspirasi maupun saat
ekspirasi. Ciri khas ronchi adalah akan hilang bila klien batuk. Misalnya pada
edema paru.
3) Wheezing : bunyi yang terdengar “ngiii….k”. bisa dijumpai pada fase inspirasi
maupun ekspirasi. Misalnya pada bronchitis akut, asma.
4) Pleura Friction Rub ; bunyi yang terdengar “kering” seperti suara gosokan
amplas pada kayu. Misalnya pada klien dengan peradangan pleura.
4. Pengkajian Fisik
1. Pasien anak-anak/pediatrik
Untuk anak-anak yang lebih dewasa dan remaja, urutan pemeriksaan seperti
pada pasien dewasa mungkin dapat dilakukan, tetapi makin muda pasiennya maka
makin besar kemungkinannya untuk menggunakan pendekatan “oportunisik” untuk
dapat memperoleh data pengkajian vital.
2. Pasien usia lanjut/geriatrik
5. Pendekatan Pengkajian Fisik
Pendekatan pengkajian fisik dapat menggunakan :
1. Head to toe (kepala ke kaki)
Mulai dari : keadaan umum, tanda-tanda vital, kepala, wajah, mata, telinga,
hidung, mulut dan tenggorokan, leher, dada, paru, jantung, abdomen, ginjal, punggung,
genetalia, rectum, ektremitas.
2. ROS (Review of System / sistem tubuh)
Pengkajian yang dilakukan mencakup seluruh sistem tubuh, yaitu : keadaan
umum, tanda vital, sistem pernafasan, sistem kardiovaskuler, sistem persyarafan, sistem
perkemihan, sistem pencernaan, sistem muskuloskeletal dan integumen, sistem
reproduksi.
3. Pola fungsi kesehatan Gordon, 1982
Perawat mengumpulkan data secara sistematis dengan mengevaluasi pola
fungsi kesehatan dan memfokuskan pengkajian fisik pada masalah khusus meliputi :
persepsi kesehatan-penatalaksanaan kesehatan, nutrisi-pola metabolisme, pola
eliminasi, pola tidur-istirahat, kognitif-pola perseptual, peran-pola berhubungan,
aktifitas-pola latihan, seksualitas-pola reproduksi, koping-pola toleransi stress, nilai-
pola keyakinan.
4. Doengoes (1993)
Mencakup : aktivitas/istirahat, sirkulasi, integritas ego, eliminasi, makanan dan
cairan, hygiene, neurosensori, nyeri/ketidaknyamanan, pernafasan, keamanan,
seksualitas, interaksi sosial, penyuluhan/pembelajaran.
PENUNTUN BELAJAR PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK FISIK
HEMATOLOGI
Beri nilai untuk setiap langkah klinik dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
SKOR/NILAI
No LANGKAH/KEGIATAN 0 1 2
Persiapan Dokter
Mencuci Tangan (Cukup diucapkan lisan)
Persiapan Pasien
Menjelaskan mengenai pemeriksaan fisis yang akan dilakukan, tujuan dan
1 manfaatnya secara ringkas dan sederhana.
Memberikan jaminan pada pasien dan keluarganya tentang kerahasiaan
2 semua informasi yang didapatkan pada pemeriksaan fisis tersebut.
Menjelaskan mengenai hak-hak pasien dan keluarganya, misalnya tentang
3 hak menolak untuk diperiksa.
Meminta persetujuan pasien atau keluarga untuk pemeriksaan fisis (informed
4 consent).
Mempersilahkan pasien berbaring dalam posisi mendatar, kepala disanggah 1
5 bantal.
Pemeriksaan nyeri tekan tulang pada dada belakang; pasien tetap dalam
posisi tegak
Membuat lingkaran imajiner sekitar 2 inchi (5cm) pada daerah lengan yang
32 paling banyak terdapat bintik-bintik peteki.
Interpretasi: bintik peteki lebih dari 20 maka dilaporkan tes Rumple Leede
33 positif.
8
Lampiran
Cara pemeriksaan Kelenjar getah bening leher
Bila menemukan kelenjar getah bening di leher, perhatikan ukuran, konsistensi, nyeri,
perlekatan. Kelenjar getah bening pada leher dibagi atas 5 daerah penyebaran yaitu:
9
abdomen sampai sedalam 4-5 cm dari arah kaudal ke kranial di bawah
arcus costa kiri
c. Lakukan penekanan saat pasien melakukan inspirasi
d. Metode Hacket diintepretasikan sebagai berikut:
Kelas 0 tak teraba walau dengan inspirasi normal Kelas 1
teraba di tepi costa dengan inspirasi dalam
Kelas 2 teraba di bawah costa sampai pertengahan puting susu dan
umbilicus
Kelas 3 teraba sampai garis horizontal umbilicus
Kelas 4 teraba antara umbilicus dan symphisis pubis Kelas 5
teraba di luar dan di bawah daerah kelas 4
10
Cara pemeriksaan Hepatomegali
1. Posisikan pasien dalam keadaan berbaring dan kedua tekuk kedua lutut.
2. Mulai dengan meraba dan melakukan penekanan dengan menggunakan
bagian pinggir dalam palmar dan jari tangan pada abdomen sampai
sedalam 4-5 cm dari arah kaudal ke kranial di bawah arcus costa kanan
3. Lakukan penekanan saat pasien melakukan inspirasi, dan berikan
penilaian mengenai ukuran, pinggir, konsistensi, nyeri
4. Hepatomegali diintepretasikan dengan mengukur pembesaran hepar
sampai sekian sentimeter dibawah arcus costa kanan
PEMERIKSAAN FISIK SENSORI PERSEPSI
5. Pengenalan Warna
Pemeriksaan menggunakan kartu tes ishihara/ benang wol berwarna. Pasien
membaca angka berwarna dalam kartu ishihara. Atau mengambil benang wol sesuai
perintah. Interpretasi dari pemeriksaan pengenalan warna adalah normal dan buta
warna.
Cara pemeriksaan buta warna :
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan Ishihara Color Test
merupakan test untuk mendeteksi defisiensi warna. Buku ini diciptakan oleh, Dr.
Shinobu Ishihara, professor dari Universitas Tokyo, dan telah dipublikasikan sejak
1917.
Syarat Pelaksanaan :
1. Pemeriksa tidak mengalami buta warna.
2. pasien yang hendak diperiksa.
3. Pencahayaan yang cukup (hal ini karena sel batang lebih sensitive terhadap cahaya
juga dibandingkan dengan sel kerucut sehingga warna tidak dapat dibedakan dengan
baik pada keadaan gelap).
4. Alat test berupa bukku ishihara.
Kelainan yang paling sering mucul adalah cacat warna merah dan hijau namun
terkadang cacat biru dan kuning juga kerap terjadi.
B. Palpasi
Palpasi pada mata dikerjakan dengan tujuan untuk mengetahui tekanan bola
mata dan mengetahui adanya nyeri tekan. Untuk mengukur tekanan bola mata secara
lebih teliti diperlukan alat Tonometri yang memerlukan keahlian khusus.
Cara palpasi untuk mengetahui tekanan bola mata
Beri tahu pasien untuk duduk.
Anjurkan pasien untuk memejamkan mata.
Lakukan palpasi pada kedua bola mata. Bila tekanan bola mata meninggi, mata
terasa keras
C. Pengkajian Tingkat Mahir (Pengkajian Funduskopi)
Pengkajian mata tingkat mahir (funduskopi) dilakukan paling akhir.
Pengkajian ini dikerjakan untuk mengetahui susunan retina dengan menggunakan
alat oftalmoskop. Untuk dapat melakukan hal ini, diperlukan pengetahuan anatomi
dan fisiologi mata yang memadai serta keterampilan khusus dalam menggunakan
alat oftalmoskop.
Cara kerja pengkajian funduskopi
1. Atur posisi pasien duduk di kursi.
2. Beri tahu pasien tentang tindakan yang dikerjakan.
3. Teteskan 1-2 tetes obat yang dapat melebarkan pupil dalam jangka pendek,
misalnya tropikamid (bila tidak ada kontraindikasi)
4. Atur cahaya ruangan agak redup.
5. Duduk di kursi di hadapan pasien.
6. Beri tahu pasien untuk melihat secara tetap pada titik tertentu dan anjurkan untuk
tetap mempertahankan sudut pandangnya tanpa berkedip.
7. Bila pasien atau pemeriksa memakai kacamata hendaknya dilepas dulu.
8. Pegang oftalmoskop, atau lensa pada angka nol, nylakan dan arahkan pada pupil
mata pada jarak sekitar 30 cm sampai pemeriksa menemukan red reflex yang
merupakan pancaran dari cahaya retina. Bila letak oftalmoskop tidak tepat, red
reflex tidak akan muncul. Red reflex juga tidak muncul pada berbagai gangguan
misalnya katarak
9. Bila red reflex sudah ditemukan, dekatkan oftalmoskop secara perlahan ke mata
pasien. Bila pasien myopia, atur control kea rah negative (merah). Bila pasien
hiperopia atur control kea rah positif (hitam).
10. Amati fundus secara sistematis yang diawali dengan mengamati pembuluh
darah besar. Catat bila ditemukan kelainan. Lanjutkan pengamatan dengan
membandingkan ukuran arteri dan vena 4:5. Kemudian amati warna macula
yang normalnya tampak lebih terang daripada retina. Berikutnya amati warna,
batas, dan pigmentasi diskus optikus. Normalnya diskus optikus berbentuk
melingkar berwarna merah muda agak kuning, batasan terang dan tetap dengan
jumlah pigmen yang bervariasi. Lalu amati warna retina, kemungkinan ada
darah, dan setiap ada kelainan.
11. Bandingkan mata kanan dan kiri.
12. Catat hasil pengkajian dengan jelas.
13. Setelah pengkajian selesai, teteskan pilokarpin 2% untuk menetralisasi dilatasi
pada mata yang diamati (pada pasien yang ditetesi tropikamid).
14. Tunggu/pastikan pasien dapat melihat seperti semula.
II. Pemeriksaan Fisik Pada Telinga
Adapun pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui kelainan pada
telinga/fungsi pada telinga yaitu terdiri dari 4 tes:
1. Tes Bisik
Cara pemeriksaan pendengaran dengan bisikan
1. Atur posisi pasien berdiri membelakangi Anda pada jarak sekitar 4,5-6 meter.
2. Anjurkan pasien untuk menutup salah satu telinga yang tidak diperiksa.
3. Bisikkan suatu bilangan (misalnya., tujuh enam).
4. Beri tahu pasien untuk mengulangi bilangan yang didengar.
5. Periksa telinga sebelahnya dengan cara yang sama.
6. Bandingkan kemampuan mendengar pada telingan kanan dan kiri pasien.
Pemeriksaan pendengaran dengan bisikan dapat juga dikerjakan dengan
menggunakan arloji.
Cara pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan arloji
1. Pegang sebuah arloji disamping telinga pasien
2. Minta pasien menyatakan apakah mendengar detak arloji.
3. Pindah posisi arloji perlahan-lahan menjauhi telinga dan minta pasien menyatakan
bila tidak dapat mendengar lagi detak arloji tersebut. Normalnya detak arloji masih
dapat didengar sampai jarak sekitar 30 cm dari telinga.
4. Bandingkan telinga kanan dan kiri.
2. Tes Bisik Modifikasi
Cara melakukan tes bisik modifikasi, yaitu :
1. Lakukan dalam ruangan kedap suara.
2. Bisikkan 10 kata dengan intensitas suara lebih kecil dari tes bisik konvensional
karena jaraknya juga lebih dekat dari jarak pada tes bisik konvensional.
3. Perlebar jarak dengan penderita yaitu dengan menolehkan kepala kita atau
pemeriksa berada di belakang penderita sambil melakukan masking (menutup
telinga penderita yang tidak diperiksa dengan menekan tragus penderita ke arah
meatus akustikus eksternus).
4. Pendengaran penderita normal bilamana penderita masih bisa mendengar 80% dari
semua kata yang kita bisikkan.
3. Tes Garputala
A. Tes Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan antara hantaran
tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien.
Ada 2 macam tes rinne , yaitu :
a. Garputala 512 Hz dibunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak
lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah
pasien tidak mendengar bunyinya, segera garputala dipindahkan ke depan meatus
akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat
mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya
b. Garputala 512 Hz di bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya secara
tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garputala didepan
meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah bunyi
garputala didepan meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada dibelakang
meatus skustikus eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika pasien
mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes rinne
negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus eksternus lebih lemah
atau lebih keras dibelakang.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne :
1. Normal : tes rinne positif
2. Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat didengar melalui tulang lebih lama)
3. Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :
a. Bila pada posisi II penderita masih mendengar bunyi getaran garpu tala.
b. Jika posisi II penderita ragu-ragu mendengar atau tidak (tes rinne: +/-)
c. Pseudo negatif : terjadi pada penderita telinga kanan tuli persepsi pada posisi I
yang mendengar justru telinga kiri yang normal sehingga mula-mula timbul.
B. Tes Weber
Cara melakukan tes weber yaitu membunyikan garputala 512 Hz lalu
tangkainya di letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut pasien, telinga
mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien mendengar
atau mendengar lebih keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut.
Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau sam-sama mendengaar maka
berarti tidak ada lateralisasi.
Pada keadaan patologis pada MAE atau cavum timpani misal otitis media
purulenta pada telinga kanan serta adanya cairan atau pus di dalam cavum timpani,
bila ada bunyi segala getaran akan didengarkan di sebelah kanan.
Interpretasi :
a. Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut
lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri sama kerasnya.
b. Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya :
1. Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media disebelah kanan.
2. Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga kanan lebih
hebat.
3. Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu, maka di
dengar sebelah kanan.
4. Tuli persepsi pada kedua telinga, tetapi sebelah kiri lebih hebat dari pada
sebelah kanan.
5. Tuli persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah kanan jarang terdapat.
C. Tes Swabach
Cara Kerja :
Penguji meletakkan pangkal garputala yang sudah digetarkan pada puncak
kepala probandus. Probandus akan mendengar suara garputala itu makin lama makin
melemah dan akhirnya tidak mendengar suara garputala lagi. Pada saat tidak
mendengar suara garputala, maka penguji akan segera memindahkan garputala itu,
ke puncak kepala orang yang diketahui normal ketajaman pendengarannya
(pembanding). Bagi pembanding dua kemungkinan dapat terjadi: akan mendengar
suara, atau tidak mendengar suara.
4. Tes Audiometri
Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang kedap suara,
audiologis dan pasien yang kooperatif.
Pemeriksaan standar yang dilakukan adalah :
a. Audiometri nada murni
Suatu sisitem uji pendengaran dengan menggunakan alat listrik yang dapat
menghasilkan bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi yaitu antara 250-500,
1000-2000, 4000-8000 dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi yang
dihasilkan disalurkan melalui telepon kepala dan vibrator tulang ketelinga orang
yang diperiksa pendengarannya. Masing-masing untuk mengukur ketajaman
pendengaran melalui hantaran udara dan hantaran tulang pada tingkat intensitas nilai
ambang, sehingga akan didapatkan kurva hantaran tulang dan hantaran udara.
Dengan membaca audiogram kita dapat mengetahui jenis dan derajat kurang
pendengaran seseorang.
b. Audiometri tutur
Audiometri tutur adalah system uji pendengaran yang menggunakan kata-
kata terpilih yang telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah
dikaliberasi, untuk mengukur beberapa aspek kemampuan pendengaran.
Dari audiogram tutur dapat diketahui dua dimensi kemampuan pendengaran yaitu :
a. Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50% dari sejumlah kata-kata yang
dituturkan pada suatu intensitas minimal dengan benar, yang lazimnya disebut
persepsi tutur atau NPT, dan dinyatakan dengan satuan de-sibel (dB).
b. Kemampuan maksimal pendengaran untuk mendiskriminasikan setiap satuan
bunyi (fonem) dalam kata-kata yang dituturkan yang dinyatakan dengan nilai
diskriminasi tutur atau NDT. Satuan pengukuran NDT itu adalah persentasi
maksimal kata-kata yang ditirukan dengan benar, sedangkan intensitas suara
dapat berapa saja. Dengan demikian, berbeda dengan audiometri nada murni pada
audiometri tutur intensitas pengukuran pendengaran tidak saja pada tingkat nilai
ambang (NPT), tetapi juga jauh diatasnya.
Kriteria orang tuli pada tes ini adalah :
Ringan masih bisa mendengar pada intensitas 20-40 dB
Sedang masih bisa mendengar pada intensitas 40-60 dB
Berat sudah tidak dapat mendengar pada intensitas 60-80 dB
Berat sekali tidak dapat mendengar pada intensitas >80 dB
Tujuan tes audiometric adalah
1. Mediagnostik penyakit telinga
2. Mengukur kemampuan pendengaran dalam menagkap percakapan sehari-hari,
atau dengan kata lain validitas sosial pendengaran : untuk tugas dan pekerjaan,
apakah butuh alat pembantu mendengar atau pendidikan khusus, ganti rugi
(misalnya dalam bidang kedokteran kehakiman dan asuransi).
3. Skrining anak balita dan SD
4. Memonitor untuk pekerja-pekerja ditempat bising
III. Pemeriksaan Fisik Pada Kulit
a. Inspeksi dan Palpasi
Tampilan umum kulit dikaji dengan mengamati warna, suhu, kelembaban,
kekeringan tekstur kulit (kasar atau halus), lesi, vaskularisasi, mobilitas dan kondisi
rambut serta kuku. Turgor kulit, edema yang mungkin terjadi dan elastisitas kulit
harus dinilai dengan palpasi.
Warna kulit bervariasi antara orang yang satu dengan lainnya, berkisar dari
warna gading hingga coklat gelap. Pucat merupakan keadaan tidak adanya atau
berkurangnya tonus serta vaskularitas kulit yang normal dan paling jelas terlihat pada
konjungtiva. Warna kebiruan pada sianosis menunjukkan hipoksia seluler dan mudah
terlihat pada ekstremitas , dasar kuku, bibir serta membrane mukosa. Ikterus , yaitu
kulit yang menguning, berhubungan langsung dengan kenaikan kadar bilirubin serum
dan acapkali terlihat pada sclera serta membrane mukosa.
Selanjutnya yang di inspeksi pada kulit adalah Hygiene kulit, penilaian atas
kebersihan yang merupakan petunjuk umum atas kesehatan seseorang. Dan kelainan-
kelainan yang bisa nampak pada inspeksi.
Pada palpasi, pertama-tama dirasakan kehangatan kulit, (dinginhangat-
demam), kemudian kelembabannya, pasien dehidrasi terasa kering dan pasien
hipertyroidisme berkeringat terlalu banyak. Texture kulit dirasakan halus, lunak,
lentur, pada kulit normal. Turgor dinilai pada kulit perut dengan cubitan ringan. Bila
lambat kembali ke keadaan semula, menunjukkan turgor turun pada pasien dehidrasi.
Krepitasi teraba ada gelembung-gelembung udara dibawah kulit akibat fraktura
tulang-tulang iga atau trauma leher yang menusuk kulit sehingga udara paru-paru bisa
berada dibawah kulit dada. Edema adalah terkumpulnya cairan tubuh dijaringan tubuh
lebih daripada jumlah semestinya. Misal, Pitting edema, bila menjadi cekung setelah
penekanan pada tempat-tempat pretibial, saklrum, jari-jari, kelopak mata. Dan untuk
non pitting edema tidak menjadi cekung setelah penekanan, pada mixedema
(hipotyroid).
b. Pemeriksaan Sensitibilitas
Pemeriksaan fisik pada kulit juga bisa dilakukan dengan pemeriksaan
sensitibilitas, pemeriksaan sensibilitas ini merupakan pemeriksaan yang tidak mudah.
Kita bergantung kepada perasaan penderita, jadi bersifat subjektif. Selain itu, reaksi
seseorang terhadap rangsangan dapat berbeda-beda, malah pada satu orangpun reaksi
tersebut dapat berbeda, tergantung pada keadaannya, apakah ia sedang lelah, atau
pikirannya terpusat pada hal yang lain.
Pemeriksaan :
Pada pemeriksaan sensabilitas eksteroseptif, perlu diperiksa rasa raba, rasa
nyeri, dan rasa suhu.
Rasa raba : sebagai perangsang dapat digunakan sepotong kapas, kertas atau kain
dan ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya tekanan atau
pembangkitan rasa nyeri. Periksa seluruh tubuh dan bandingkan bagian-bagian
yang simetris. Thigmentesia berarti rasa raba halus. Bila rasa raba hilang disebut
thigmanesthrsia.
Rasa nyeri : dapat dibagi menjadi :
a. rasa-nyeri-tusuk (rasa nyeri cepat): rasa nyeri yang mempunyai sifat yang tajam,
seperti bila tertusuk jarum.
b. Rasa-nyeri-tumpul (rasa nyeri lamban): rasa nyeri yang timbul bila testis dipijat.
Reseptor rasa-nyeri tidak mempunyai bentuk tertentu dan terdiri dari serabut-
serabut saraf yang tidak berselubung, ia terdapat pada epidermis kulit dan pada
selaput lender. Pada beberapa tempat jumlah serabut-serabut ini berdekatan
misalnya pada lidah, bibir, kemaluan dan ujung jari.
Dalam praktek sehari-hari pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan jarum
atau peniti. Tusukan hendaknya cukup keras sehingga betul-betul dirasakan
rasa-nyeri dan bukan rasa-disemtuh atau rasa-raba. Kita periksa seluruh tubuh,
dan bagian-bagian yang simetris dibandingkan. Bila bagian yang simetris
dibandingkan, tusukan harus sama kuat.
Rasa suhu : ada dua macam rasa-suhu, yaitu rasa panas dan rasa dingin.
Rangsangan rasa-suhu yang berlebihan akan mengakibatkan rasa nyeri. Rasa suhu
diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk rasa
dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas. Untuk memeriksa rasa dingin dapat
digunakan air yang bersuhu sekitar 10-200C dan untuk panasyang bersuhu 40-
500C.
Pada pemeriksaan rasa-suhu diperiksa seluruh tubuh dan dibandingkan bagian-
bagian yang simetris. Bagian yang simetris ini harus diusahakan agar berada dalam
kondisi yang sama.
IV. Pemeriksaan Fisik Pada Hidung
Hidung dikaji dengan tujuan untuk mengetahui keadaan bentuk dan fungsi
hidung. Pengkajian hidung dimulai dari bagian luar , bagian dalam, kemudian sinus-
sinus. Pasien dipersiapkan dalam posisi duduk bila memungkinkan. Peralatan yang
dipersiapkan antara lain otoskop, speculum hidung, cermin kecil, dan sumber
penerangan/ lampu.
a. Inspeksi dan Palpasi
Cara inspeksi dan palpasi hidung bagian luar serta palpasi sinus-sinus :
1. Duduk menghadap pasien.
2. Atur penerangan dan amati hidung bagian luar dari sisi depan, samping, dan sisi
atas. Perhatikan bentuk atau tulang hidung dari ketiga sisi ini.
3. Amati warna dan pembengkakan pada kulit hidung.
4. Amati kesimetrisan lubang hidung.
5. Lanjutkan dengan melakukan palpasi hidung luar dan catat bila ditemukan
ketidaknormalan kulit atau tulang hidung.
6. Kaji mobilitas septum nasi.
7. Palpasi sinus maksilaris , frontalis, dan etmoidalis. Perhatikan adanya nyeri tekan.
Untuk dapat melakukan inspeksi hidung bagian dalam, ada beberapa peralatan
yang diperlukan antara lain otoskop, speculum hidung, cermin kecil dan lampu. Tidak
disarankan bagi peserta didik keperawatan untuk melakukan praktik ini kecuali di bawah
pengawasan instruktur yang berpengalaman.
Cara inspeksi hidung bagian dalam :
1. Duduk menghadap pasien.
2. Pasang lampu kepala.
3. Atur lampu sehingga tepat menerangi lubang hidung.
4. Elevasikan ujung hidung pasien dengan cara menekan hidung secara lembut dengan
ibu jari anda, kemudian amati bagian anterior lubang hidung.
5. Amati posisi septum nasi dan kemungkinan adanya perfusi.
6. Amati bagian konka nasalis inferior.
7. Pasang ujung speculum hidung pada lubang hidung sehingga rongga hidung dapat
diamati.
8. Untuk memudahkan pengamatan pada dasar hidung, atur posisi kepala sedikit
menengadah.
9. Dorong kepala menengadah sehingga bagian atas rongga hidung mudah diamati.
10. Amati bentuk dan posisi septum, kartilago, dan dinding-dinding rongga hidung serta
selaput lendir pada rongga hidung (warna , sekresi, dan bengkak).
11. Bila sudah selesai, lepas speculum secara perlahan-lahan.
Pengkajian hidung bagian dalam yang dilakukan di bawah bimbingan instruktur
ahli, dapat pula menggunakan otoskop. Dianjurkan menggunakan otoskop yang
dilengkapi dengan speculum hidung dan kaca pembesar. Pengkajian kepatenan jalan
napas dilakukan terutama bila dicurigai adanya sumbatan atau deformitas pada rongga
hidung bagian bawah.
Cara pengkajian kepatenan jalan napas :
1. Duduk di hadapan pasien
2. Gunakan satu tangan untuk menutup satu lubang hidung pasien, minta pasien
menghembuskan udara dari lubang hidung yang tidak ditutup dan rasakan hembusan
udara tersebut. Normalnya udara dapat dihembuskan dengan mudah dan dapat
dirasakan dengan jelas.
3. Kaji lubang hidung sebelahnya.
Kepatenan jalan napas juga dapat dikaji dengan menggunakan sebuah cermin
yang diletakkan di bawah hidung, pasien dianjurkan untuk menghembuskan udara
dengan mulut tertutup, kemudian kondensasi udara pada cermin diamati. Normalnya sisi
kanan dan kiri seimbang.
V. Pemeriksaan Fisik Pada Lidah
Warna Lidah
1. Pucat jika warna lidah pucat, itu menunjukkan adanya sirkulasi atau produksi darah
yang tidak baik. Karena terkait dengan sirkulasi udara, kemungkinan terjadi masalah
dengan hati, pasalnya salah satu fungsi hati adalah sebagai filter darah.
2. Kekuningan jika warna lidah anda kekuningan, berarti ada infeksi bekteri, baik dari
dalam tubuh maupun luar tubuh, jika warna kekuningan menuju kehijauan berarti
infeksi bakterinya semakin parah.
3. Merah jika lidah anda berwarna merah, itu menandakan adanya panas dalam, jika
warna merah hanya ada pada ujung lidah, itu menandakan adanya panas pada
jantung. Jika warna merah hanya ada pada sisi lidah, baik sisi kanan maupun kiri, itu
menunjukkan adanya panas dalam hati atau kandung empedu. Jika warna merahnya
lebih tua maka penyakitnya sudah parah.
4. Ungu jika warna lidah anda ungu, itu menunjukkan adanya statis darah atau darah
tidak lancer, warna ungu disini ada 2 yaitu merah ungu dan biru ungu. Merah ungu
adalah kelanjutan lidah merah dan berati adanya panas dan statis darah. Biru ungu
adalah kelanjutan lidah pucat, berati adanya dingin dan statis darah pada penderita.
5. Biru jika lidah berwarna biru, berati terjadi keadaan yang sama dengan jika lidah
berwarna biru keunguan, yakni adanya dingin dan statis darah namun kondisinya
lebih parah.
Bentuk Lidah
Dibawah ini beberapa bentuk lidah yang tidak normal:
1. Tipis : Jika lidah berbentuk tipis, apalagi disertai warna pucat, itu menunjukkan
adanya defiensi (kekurangan) darah. Hal itu berhubungan dengan hati, semakin tipis
bentuk lidah, berarti semakin menahun penyakit yang diderita.
2. Tebal : Jika bentuk lidah tebal, itu menunjukkan sirkulasi dalam tubuh tidak normal,
sirkulasi ini meliputi, sirkulasi air, nutrisi dan darah. Jadi, jika ketika lidah berbentuk
tebal, kemungkinan ada masalah pada ginjal, limpa dan hati.
3. Kaku : Jika lidah kaku, itu menunjukkan adanya angin dalam tubuh. Karena bagian
dalam tubuh kemasukan angin, maka itu menyebabkan lidah menjdi kaku.
4. Panjang : Jika lidah panjang, berarti ada kecenderungan panas dalam tubuh,
terutama didalam jantung, sebaliknya jika lidah berbentuk pendek dan disertai warna
pucat itu menandakan adanya dingin dalam tubuh.
5. Retak : Jika retak-retak transversal menunjukkan defiensi lambung, bila retak-retak
terdapat pada sisi lidah didekat pertengahan, berarti adanya defiensi menahun pada
limpa.
Retak memanjang pada garis tengah yang mendekati ujung lidah, berati adanya
gangguan pada jantung.