Anda di halaman 1dari 4

DAKWAH DI TENGAH WABAH

Pandemi Covid-19 makin mencemaskan. Jumlah warga terpapar rata-rata di atas 20 ribu
kasus perhari. Rumah sakit dilaporkan kolaps. Pasien bertumpuk. Bahkan tak lagi mampu
ditampung. Tenaga kesehatan makin kewalahan. Sebagian ikut jatuh sakit. Sebagian lagi
wafat.
Nasib warga yang menjalani isolasi mandiri di rumah juga memprihatinkan. Sejumlah warga
meninggal. Pasalnya, tak ada perawatan yang memadai untuk mereka. Tak kalah
mencemaskan. Terjadi juga antrian di pemakaman dengan protokol Covid-19. Banyak
kekurangan peti jenazah. Beberapa Pemda menambah lahan pemakaman baru untuk
memakamkan warga korban Covid-19 yang terus bertambah.
Bagi kaum Mukmin, setiap musibah harus dihadapi dengan keimanan. Tentu agar tidak
muncul persepsi dan sikap yang keliru.
Pertama: Seorang Muslim wajib mengimani bahwa tak ada satu pun musibah yang dia
alami melainkan atas kehendak Allah SWT (Lihat: QS at-Taubah [9]: 51).
Tidak ada satu pun musibah seperti bencana alam atau wabah terjadi begitu saja. Semua
makhluk yang ada di alam semesta tunduk pada perintah Allah SWT. Termasuk berbagai
makhluk seperti virus atau bakteri penyebab wabah penyakit. Semua tunduk pada
kekuasaan-Nya.

ِ ْ‫ت َو َمنْ فِي اَأْلر‬


‫ض َوال َّشمْ سُ َو ْال َق َم ُر َوال ُّنجُو ُم َو ْال ِج َبا ُل َوال َّش َج ُر‬ ِ ‫َألَ ْم َت َر َأنَّ هَّللا َ َيسْ ُج ُد لَ ُه َمنْ فِي ال َّس َم َاوا‬
ِ ‫…وال َّد َوابُّ َو َكثِي ٌر م َِن ال َّن‬
‫اس‬ َ
Tidakkah kamu tahu bahwa kepada Allah bersujud apa saja yang ada di langit dan di bumi;
juga matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan
sebagian besar manusia? (TQS al-Hajj [22]: 18).
Imam al-Alusi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “sujud” adalah masuknya segala
sesuatu di bawah kendali Allah SWT dan iradah-Nya, serta kecenderungannya pada apa
saja yang Allah ‘Azza wa Jalla adakan (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, 13/27).
Dengan memahami kenyataan ini, seorang hamba akan mengakui kebesaran dan
kekuasaan Allah SWT. Dia pun akan menyadari kelemahannya sebagai mahluk. Ketika
manusia membanggakan kecanggihan teknologi kedokteran, farmasi dan sebagainya,
ternyata akan sampai pada satu realita bahwa manusia tak sanggup mengalahkan
kekuasaan Allah SWT. Bahkan menghadapi makhluk kecil seperti virus saja, dunia nyaris
lumpuh. Benarlah firman Allah SWT:

‫ُون َأ َّن ُه ْال َح ُّق‬ َ ‫ض ًة َف َما َف ْو َق َها َفَأمَّا الَّذ‬


َ ‫ِين آ َم ُنوا َف َيعْ َلم‬ َ ‫ِإنَّ هَّللا َ اَل َيسْ َتحْ ِيي َأنْ َيضْ ِر‬
َ ‫ب َمثَاًل َما َبعُو‬
‫… ِمنْ َرب ِِّه ْم‬
Sungguh Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil
dari itu. Adapun orang-orang yang beriman tahu bahwa itu kebenaran dari Tuhan mereka
(TQS al-Baqarah [2]: 26).
Kedua: Seorang Mukmin wajib memahami bahwa sepanjang kehidupan di dunia dia akan
selalu mendapatkan berbagai ujian. Allah SWT berfirman:

َّ ‫س َو‬ ‫مْو ِ َأْل‬


َ ‫ص م َِن اَأْل‬ ْ ْ ُ
‫ين‬ ِ ‫ت َو َب ِّش ِر الص‬
َ ‫َّاب ِر‬ ِ ‫الث َم َرا‬ ِ ُ‫ال َوا ْنف‬ ٍ ‫ُوع َو َن ْق‬
ِ ‫َل َن ْبل َو َّن ُك ْم ِب َشيْ ٍء م َِن ال َخ ْوفِ َوالج‬
Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan serta kekurangan harta,
jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (TQS
al-Baqarah [2]: 155).
Imam ath-Thabari, mengutip pernyataan Ibnu Abbas ra., mengomentari ayat ini, “Allah SWT
mengabarkan kepada orang-orang beriman bahwa dunia adalah negeri ujian (dar bala’).
Mereka akan diuji di dalamnya. Allah memerintahkan mereka untuk bersabar. Lalu Allah
memberikan kabar gembira dengan berfirman, ‘Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-
orang yang bersabar.’” (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, 2/219).
Selain ridha dan bersabar, kaum Muslim juga diperintahkan untuk melakukan muhasabah.
Umat wajib muhasabah atas kemungkinan dosa-dosa yang dilakukan yang menyebabkan
datangnya bencana. Allah SWT mengingatkan bahwa beragam bencana datang justru
karena ulah manusia sendiri:

ٍ ‫ت َأ ْيدِي ُك ْم َو َيعْ فُو َعنْ َكث‬


‫ِير‬ َ ‫َو َما َأ‬
ْ ‫صا َب ُك ْم ِمنْ مُصِ ي َب ٍة َف ِب َما َك َس َب‬
Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan kalian sendiri. Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian) (TQS asy-Syura [42]: 30).
Siapapun yang jujur akan melihat di negeri yang mayoritas Muslim justru banyak terjadi
pelanggaran terhadap syariah Islam, penistaan agama, serta permusuhan terhadap para
ulama. Sebutan “intoleran”, “radikalisme”, sikap memusuhi penerapan Islam dan kewajiban
khilafah terus dilakukan terhadap kaum Muslim, khususnya yang memperjuangkan Islam.
Beragam tindak kezaliman juga seperti tak pernah berakhir. Bagaimana ulama divonis berat
dengan tuduhan melanggar aturan prokes, sementara pejabat negara yang melanggar
prokes lolos begitu saja. Ada juga aparat penegak hukum yang kongkalikong dengan
koruptor justru diberi potongan hukum amat besar.
Eratnya hubungan kemungkaran dan kezaliman sebagai sebab datangnya bencana adalah
perkara yang jelas. Allah SWT berfirman:

‫اب ُك ِّل َشيْ ٍء َح َّتى ِإ َذا َف ِرحُوا ِب َما ُأو ُتوا َأ َخ ْذ َنا ُه ْم َب ْغ َت ًة‬
َ ‫َف َلمَّا َنسُوا َما ُذ ِّكرُوا ِب ِه َف َتحْ َنا َع َلي ِْه ْم َأب َْو‬
َ ‫َفِإ َذا ُه ْم ُم ْبلِس‬
‫ُون‬
Ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun
membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Lalu ketika mereka bergembira
dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami menyiksa mereka secara tiba-tiba.
Ketika itu mereka terdiam putus asa (TQS al-An’am [6]: 44).
Rasulullah saw. juga menjelaskan bahwa saat kejahatan merajalela, Allah SWT akan
meratakan bencana. Zainab binti Jahsyi ra. pernah bertanya kepada Rasulullah saw.,
“Apakah kita akan binasa wahai Rasulullah, padahal di sekitar kita ada orang-orang shalih?”
Beliau menjawab:

ُ ‫َن َع ْم ِإ َذا َك ُث َر ْال َخ َب‬


‫ث‬
Ya, jika kemungkaran itu sudah merajalela (HR al-Bukhari).
Benar apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw. Saat ini kemungkaran telah merajalela. Lalu
datanglah bencana yang juga menimpa orang-orang shalih. Selama pandemi ini dilaporkan
ada sekitar 584 ulama yang meninggal karena wabah. Belum termasuk para imam dan
pengurus masjid serta para ustadz pembimbing umat lainnya yang juga wafat karena
wabah.
Karena itu, selain berikhtiar mengerahkan kemampuan teknologi kedokteran dan obat-
obatan, kaum Muslim harus melakukan tawbat[an] nasuha. Kembali kepada Allah dengan
menaati semua aturan-Nya. Mereka harus menjadikan agama Allah sebagai petunjuk. Tidak
memusuhi Islam. Tidak menuduh al-Quran dan syariah Islam sebagai ancaman.
Berikutnya umat harus menyadari bahwa mereka tidak memiliki kepemimpinan yang serius
me-ri’ayah (mengurus) urusan mereka. Meledaknya pandemi kali ini adalah rangkaian
ketidakseriusan Pemerintah menangani wabah. Pemerintah tidak mau menerapkan prokes
dengan ketat di tengah masyarakat. Pemerintah pun tidak mau menjamin kehidupan warga
agar tidak beraktivitas di luar rumah.
Umat membutuhkan pemimpin yang benar-benar mau mengurus mereka dan melindungi
mereka dari bencana. Pemimpin ini tentu yang mengurusi umat dengan syariah Islam; yang
menanamkan iman dan takwa kepada warga sehingga mereka menjaga diri dari berbagai
tindakan madarat, taat pada protokol kesehatan; serta yang memberikan pelayanan
kesehatan sebaik-baiknya, termasuk menghindarkan negeri dari sumber penyakit.
Dakwah merupakan aktivitas besar untuk membangun peradaban agung. Pada sisi lain,
kewajiban menafkahi, mendidik anak, dll pun harus dilakukan. Untuk memadukan hal
tersebut diperlukan manajemen aktivitas kehidupan. Bahkan dakwah kadang harus
mengerem yang lain untuk kepentingan yang lebih besar.
Tantangan dalam diri pengemban dakwah yang umumnya dirasakan dalam era Kapitalisme,
khususnya dalam ujian wabah covid-19 saat ini adalah masalah rezeki. Apalagi ketika
melihat orang lain yang sebaya sudah banyak yang sukses dan mapan dari segi ekonomi.
Anak-anak pun mulai besar sehingga membutuhkan biaya yang semakin besar. Hati kadang
ciut. Namun, bagi seorang beriman, hal itu tidak menjadi penghambat dakwah. Mengapa?
Sebab, dia meyakini bahwa rezeki itu dari Allah SWT.

ٍ ‫َوهّٰللا ُ َي ۡر ُز ُق َم ۡن َّي َشٓا ُء ِب َغ ۡي ِر ِح َسا‬


‫ب‬
Dialah Yang memberikan rezeki kepada orang yang Dia kehendaki tanpa ada hitung-
hitungan (TQS al-Baqarah [2]: 212; an-Nur [24]: 38). Kita semua tentu pernah mengalami
saat rezeki datang tanpa disangka-sangka dan dari arah yang tidak terduga-duga. Tidak
jarang, ada pengemban dakwah yang hidupnya biasa-biasa saja, tetapi dia mendapatkan
rezeki sehingga bisa haji dan umrah. Ada juga pengemban dakwah kesulitan rumah, tiba-
tiba ada yang meminjamkan rumahnya dengan gratis. Memang, ada juga kesulitan. Namun,
bukankah Allah SWT telah menggariskan bahwa kesulitan selalu bergandengan dengan
kemudahan?
Para Sahabat adalah contoh terbaik dalam hal ini. Salah satu contoh yang jelas adalah saat
mereka berhijrah dari Makkah ke Madinah. Mereka tidak tahu kelak akan tinggal dimana,
bisa bekerja atau tidak, makan apa, dsb. Namun, dengan dorongan iman dan ketaatan,
mereka berangkat meninggalkan kampung halaman, handai taulan dan harta kekayaan.
Demi ketaatan kaum Muhajirin rela hidup dalam kefakiran
‫صر ُۡون هّٰللا‬ ۡ ‫ضاًل م َِّن هّٰللا ِ َو ِر‬ ۡ ۡ
َ َ ُ ‫ض َوا ًنا وَّ َي ۡن‬ ۡ
ِ ‫لفُ َق َرٓا ِء الم ُٰه ِج ِر ۡي َن الَّذ ِۡي َن اُخ ِرج ُۡوا م ِۡن ِد َي‬
ۡ ‫ارهِمۡ َواَ ۡم َوال ِِهۡ’م َي ۡب َت ُغ ۡو َن َف‬
ّ ٰ ‫ك ُه ُم ال‬
‌َۚ ‫ص ِدقُ ۡو‬
‫ن‬ ٓ ٰ ُ ‫ورس ُۡولَؕهٗ‌ ا‬
َ ‫ول ِٕٮ‬ َ َ
(TQS al-Hasyr [59]: 8). Lalu apa yang terjadi? Perjuangan mereka berbuah manis. Mereka
tetap bisa makan, minum dan punya tempat tinggal, bahkan menjadi orang-orang pertama
pendukung peradaban Islam di Madinah.
Sudah merupakan sunnatullâh, jalan dakwah itu terjal. Dulu para Sahabat ditimpa kesulitan
yang luar biasa, kesempitan, bahaya dan berbagai peristiwa yang mengguncangkan. Begitu
beratnya cobaan yang menimpa kaum beriman di jalan dakwah tersebut mereka bertanya
kepada Nabi saw., “Kapan pertolongan Allah itu tiba, matâ nashrullah?” Allah pun cukup
menjawab dengan menyatakan, “Ingatlah, pertolongan Allah itu dekat.” (Lihat: QS al-
Baqarah [2]: 214. Para Sahabat pun bersabar dalam kondisi demikian. Mereka menyadari
betul bahwa tidak ada sesuatu pun yang menimpa mereka kecuali hal tersebut terbaik dari
Allah SWT bagi mereka sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam surat at-Taubah [9]: 51.
Oleh sebab itu, tidak ada rasa kekhawatiran dalam diri seorang pengemban dakwah
mendapatkan perlakuan semena-mena oleh penguasanya, namun tidak berarti juga berlaga
sombong menantang datangnya cobaan baginya. Dia berprinsip, ‘musuh jangan dicari;
kalau ada, hadapi’, dan ‘kalau ingin selamat, ketika ada kemungkaran, hadapi dan jangan
lari’.
Ubahlah pola pikir! Perkokoh keimanan bahwa rezeki dan kematian berasal dari Allah SWT.
Sadarlah bahwa dakwah adalah poros kehidupan dan sangat urgen bagi diri, keluarga dan
masyarakat. Lalu aktivitas dimenej sedemikian rupa hingga tantangan dakwah apapun akan
disikapi secara proporsional. Pikiran pada waktu menghadapi tantangan itu pun tetap jernih.
Insya Allah.

Anda mungkin juga menyukai