Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH TEORI DAN HUKUM KONSTITUSI

Disusun Oleh :

SALLY CARMELIA AZIS, S.E. (2007020075)

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SYEKH-YUSUF

TANGERANG

2021

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur atas nikmat yang telah ALLAH SWT anugerahkan
kepada kami. Salah satu nikmat yang terbesar dari-Mu adalah hidup penulis. Untuk
itu sebagai wujud rasa syukur kami kepada-Mu, penulis harus mengelolanya dengan
baik dan amanah. Semoga dengan terselesainya penulisan makalah ini, penulis
semakin sadar bahwa setiap tarikan nafas adalah anugerah, takdir dan nikmat dari-
Mu yang tak boleh penulis sia-siakan. Shalawat serta salam penulis haturkan
kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya terima kasih
atas doa, teladan, perjuangan dan kesabaran yang telah diajarkan kepada umatnya.

Makalah ini berjudul “Pernyataan Keadaan Darurat Sipil oleh Presiden”


merupakan tugas yang harus dipenuhi untuk mata kuliah TEORI DAN HUKUM
KONSTITUSI. Atas selesainya makalah ini, tidak terlepas dari upaya berbagai pihak
yang telah memberikan kontribusinya dalam rangka penyusunan dan penulisan
makalah ini, untuk itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu, terutama kepada dosen pembimbing.

Akhirnya tiada gading yang tak retak dan tiada mawar yang tak berduri, penulis
menyatakan sebagai manusia tidak sempurna, maka dengan senang hati penulis
akan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga karya
sederhana ini bermanfaat.

Jakarta, 15 November 2021

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan negara sebagai 2
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan secara tidak terpisahkan dan tidak
terdapat perbedaan satu dengan lainnya. Dalam sistem pemerintahan presidensil
seperti yang dianut oleh negara Kesatuan Republik Indonesia Presiden
memegang kekuasaan sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala
pemerintahan, terdapat beberapa prinsip pokok dalam sistem pemerintahan
presidensil yang bersifat universal yaitu:
1. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan
eksekutif dan legislatif.
2. Presiden merupakan eksekutif tunggal, kekuasaan eksekutif Presiden tidak
terbagi dan yang ada hanya Presiden dan Wakil Presiden.
3. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya, kepala
negara adalah sekaligus merupakan kepala pemerintahan.
4. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan
yang bertanggung jawab kepadanya.
5. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula
sebaliknya
6. Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa parlemen
7. Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka
dalam sistem presidensil berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu,
pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada Konstitusi
8. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KEKUASAAN PRESIDEN MENURUT UUD TAHUN 1945 (Pasal 12)

Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menempatkan kedudukan Presiden pada


posisi teramat penting dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Terlihat Presiden
mempunyai dua fungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. kekuasaan
Presiden menembus pada area kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial.

Dalam hal ini kami akan membahas kekuasaan Presiden dalam kekuasaan darurat
yakni;

Kekuasaan darurat yang berdasarkan UUD Tahun 1945 pasal 12 yaitu Presiden
mempunyai kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang tentang syarat dan
akibat negara dalam keadaan bahaya tanpa memerlukan persetujuan terlebih
dahulu dari DPR

2.2 KEKUASAAN PRESIDEN MENURUT UUD TAHUN 1945 (Pasal 22)

Dalam hal ini, Presiden Republik Indonesia berdasarkan UUD Tahun 1945 juncto
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, memiliki kewenangan untuk mengesahkan Rancangan
Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU), menetapkan Peraturan
Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah,
dan Peraturan Presiden12 . Kewenangan Presiden untuk menetapkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) didasarkan atas ketentuan Pasal 22
ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang menentukan bahwa “Dalam hal ikhwal
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang”.

Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro13, jika pada waktu DPR tidak dalam masa
sidang, sementara Presiden perlu diadakan suatu peraturan yang seharusnya
adalah Undang-Undang. Misalnya peraturan tersebut perubahan dari suatu
undangundang atau materinya memuat ancaman hukuman pidana sehingga harus

4
dibuat dalam bentuk Undang-Undang. Maka Presiden mempunyai kewenangan
untuk mengeluarkan Perppu.

Pemaparan pendapat ahli dan pasal diatas memberikan penjelasan bahwa,


Presiden perlu mengeluarkan suatu peraturan pemerintah sebagai pengganti
undangundang agar keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah. Dalam hal
ini pemerintah dalam keadaan genting dan memaksa mengharuskan pemerintah
untuk bertindak secara lekas dan tepat. Dikhawatirkan akan menimbulkan dampak
yang besar bagi kelangsungan pemerintahan.

Di dalam konstitusi sebelum amandemen antara 17 Agustus 1945 sampai 1950


terdapat beberapa jenis peraturan perundangan meliputi Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (pasal 22 UUD 1945).

Ini memperlihatkan jika Presiden selaku pemerintah dapat membuat Peraturan


Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam keadaan kegentingan yang memaksa
dan Perppu sudah diakaui sejak konstitusi masa Republik Indonesia pertama. Lain
halnya dalam konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950 dikenal bentuk peraturan
perundangan semacam Perppu ialah Undang-undang Darurat. Ketentuan mengenai
Undang-undang Darurat terdapat dalam pasal 139 Konstitusi RIS dan pasal 96
UUDS 1950.

2.3 TERKAIT COVID 19 DENGAN KEDUDUKAN PASAL 12 ATAU 22 UUD 1945

Keadaan darurat sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-


Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 74
Tahun 1957 (Lembaran Negara Nomor 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan
Bahaya (“Perpu 23/1959”) dan perubahannya.
Perpu 23/1959 dan perubahannya didasari pada ketentuan Pasal 12 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi:
 
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan
bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
 
Lebih lanjut, Pasal 1 ayat (1) Perpu 23/1959 mengatur bahwa:
 
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian
dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan
tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang,
apabila:

5
a. keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah
Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-
kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat
diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;

b. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah


Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
c. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan
khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat
membahayakan hidup Negara.
 
Yang penting dan yang menjadi ukuran bagi Presiden untuk menyatakan sesuatu
keadaan bahaya, yaitu tingkatan keadaan bahaya yang setimpal adalah intensitas
peristiwa/keadaan yang mengkhawatirkan bagi berlangsungnya kehidupan
negara dan masyarakat.
 
Penguasaan tertinggi dalam keadaan darurat sipil dilakukan oleh Presiden/Panglima
Tertinggi Angkatan Perang, dengan dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari:
1. Menteri Pertama;
2. Menteri Keamanan/Pertahanan;
3. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;
4. Menteri Luar Negeri;
5. Kepala Staf Angkatan Darat;
6. Kepala Staf Angkatan Laut;
7. Kepala Staf Angkatan Udara;
8. Kepala Kepolisian Negara.
 
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang juga dapat mengangkat
menteri/pejabat lain jika dipandang perlu.
 
Di daerah-daerah, penguasaan keadaan darurat sipil dilakukan oleh kepala daerah
serendah-rendahnya dari kabupaten/kota selaku penguasa darurat sipil daerah yang
daerah hukumnya ditetapkan oleh  Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.
Kepala daerah tersebut dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari:

1. seorang komandan militer tertinggi dari daerah yang bersangkutan;


2. seorang kepala polisi dari daerah yang bersangkutan;
3. seorang kepala kejaksaan dari daerah yang bersangkutan.
 
Penunjukan anggota-anggota badan tersebut dilakukan  Presiden/Panglima
Tertinggi Angkatan Perang. Namun untuk suatu daerah, penguasa darurat sipil
pusat dapat menentukan susunan penguasaan dalam keadaan darurat sipil di luar
komandan militer, kepala polisi, dan kepala kejaksaan apabila ia memandang perlu
berdasarkan keadaan.
 

6
Hak Penguasa Darurat Sipil
Sebagai konsekuensi penetapan darurat sipil, penguasa darurat sipil akan memiliki
hak:

1. khusus bagi penguasa darurat sipil daerah, mengadakan peraturan-


peraturan yang dianggap perlu untuk kepentingan ketertiban umum
atau untuk kepentingan keamanan daerahnya, yang menurut
perundang-undangan pusat boleh diatur dengan peraturan yang bukan
perundang-undangan pusat;
2. khusus bagi penguasa darurat sipil pusat, mengadakan segala
peraturan-peraturan yang dianggap perlu untuk kepentingan ketertiban
umum dan untuk kepentingan keamanan;
3. mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-
pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian,
penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-
tulisan apapun, lukisan-lukisan, klise-klise, dan gambar-gambar;
4. menyuruh pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya
untuk menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan
kehendak pemiliknya, dengan menunjukkan surat perintah umum atau
surat perintah istimewa;
5. menyuruh memeriksa dan menyita semua barang yang diduga atau
akan dipakai untuk mengganggu keamanan, serta membatasi atau
melarang pemakaian barang itu;
6. mengambil atau memakai barang-barang dinas umum;
7. mengetahui semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang
dipercakapkan kepada kantor telepon atau kantor radio, pun melarang
atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-
percakapan dengan perantara telepon atau radio;
8. membatasi atau melarang pemakaian kode-kode, tulisan rahasia,
percetakan rahasia, tulisan steno, gambar-gambar,tanda-tanda, juga
pemakaian bahasa-bahasa selain bahasa indonesia;
9. menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang
pemakaian alat-alat telekomunikasi seperti telepon, telegraf, pemancar
radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran
radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga
menyita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut;
10. mengharuskan adanya permintaan izin terlebih dahulu jika hendak
mengadakan rapat-rapat umum, pertemuan-pertemuan umum, dan
arak-arakan. lzin ini oleh penguasa darurat sipil diberikan penuh atau
bersyarat;
11. membatasi atau melarang memasuki atau memakai gedung-gedung,
tempat-tempat kediaman atau lapangan-lapangan untuk beberapa
waktu tertentu;
12. membatasi orang berada di luar rumah dan
13. memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai serta
menyuruh memeriksanya oleh pejabat-pejabat polisi atau pejabat-
pejabat pengusut lain.

7
Wakil Ketua Fraksi PAN DPR, Saleh Partaonan Daulay, menilai penerapan darurat
sipil kurang tepat untuk menanggulangi wabah COVID-19, karena Perpu 23/1959
dan perubahannya lahir pada masa revolusi sebagai respon pada situasi saat itu
yang sifatnya sementara.

Selain itu, Ia menilai bahwa Perpu 23/1959 dan perubahannya lahir sebelum
berlakunya otonomi daerah. Jika diterapkan, belum tentu sesuai dengan situasi dan
sistem politik yang ada saat ini. Perpu 23/1959 dan perubahannya itu pun hanya
ditetapkan bilamana keamanan atau tertib hukum terancam dan bisa pula
diakibatkan bencana alam. Ia menilai bencana wabah COVID-19 ini adalah bencana
nonalam.

UU 6/2018, menurutnya, lebih tepat diterapkan karena khusus membahas tentang


kesehatan dan lebih sesuai dengan bencana wabah COVID-19 yang terjadi saat ini

8
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Darurat sipil merupakan status penanganan masalah yang diatur dalam


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959
tentang Keadaan Bahaya. Perppu yang ditandatangani Presiden Sukarno pada 16
Desember 1959 itu Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957.

Dalam perppu itu dijelaskan 'keadaan darurat sipil' adalah keadaan bahaya
yang ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang untuk seluruh
atau sebagian wilayah negara.

Anda mungkin juga menyukai