Anda di halaman 1dari 3

Masyarakat Adat Bayan adalah suatu komunitas yang merupakan bagian khusus dari

masyarakat suku-bangsa Sasak yang lebih luas, dan dikenal sebagai pusat budaya
Lombok tertua. Komunitas ini terpusat di sebuah desa yang bernama Desa Bayan,
sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB). Selain itu, MA Bayan sebagai pengamal adat-istiadat atau sistem
religi seperti yang ada di Desa Bayan juga tersebar di berbagai desa yang ada wilayah
Kecamatan Bayan, yakni Desa Bayan, Desa Karang Bajo dan Desa Senaru.

Masyarakat Adat Bayan dideskripsikan secara khusus di luar masyarakat suku Sasak.
Hal ini dikarenakan adanya hal-hal khas yang menjadi ciri tersendiri di samping secara
umum mereka merupakan bagian dari masyarakat suku Sasak. Kekhasan MA Bayan
terkait dengan adat-istiadat dan sistem keyakinan mereka yang disebut dengan Islam
Wetu Telu (Islam Waktu Tiga). Sistem keyakinan tersebut berbeda dengan ajaran Islam
murni yang disebut dengan "Islam Waktu Lima".

Beberapa pengamat sosial seperti Adonis mengkategorikan masyarakat suku Bayan


sebagai "masyarakat terasing". Ciri khas adat atau religi dari MA Bayan telah menjadi
bahan berita populer dari berbagai media massa di Indonesia. Untuk berkomunikasi di
antara warga Bayan, mereka menggunakan bahasa Sasak yang termasuk rumpun
bahasa Austronesia dengan dialek Sasak-Bayan.

Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan berdasarkan hubungan dari leluhur yang sama di dalam
masyarakat Bayan disebut dengan Kadang Waris, yaitu: hubungan keturunan dari pihak
kerabat tunggal leluhur asal laki-laki ( patrilineal). Ikatan kekerabatan ini diperoleh
berdasarkan genealogis dari suatu perkawinan. Mereka yang telah berkeluarga biasanya
tinggal bersama di tempat kediaman keluarga laki-laki dalam suatu pekarangan
(keluarga segubuk atau keluarga luas), namun masing-masing terpecah dalam
keluarga-keluarga intinya yang berdekatan satu sama lain.

Pada sistem perkawinan masyarakat Bayan dikenal dengan nama kawin perodongan
(perjodohan), yaitu perkawinan antara laki-laki dengan perempuan yang masih
merupakan kerabat dekat atas kemauan kedua orang tua tanpa sepengetahuan kedua
mempelai; kawin lamar, yaitu perkawinan antara laki-laki dengan perempuan yang
masih merupakan kerabat dekat atas dasar suka sama suka, baik karena kemauan
kedua orang tua maupun dari orang tua pihak laki-laki saja; kawin marariq, yaitu
perkawinan antara laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka, tetapi tidak
mendapatkan persetujuan dari orang tua; serta bero, yaitu perkawinan incest
(sumbang) yang ditabukan secara adat, yaitu perkawinan anak dengan sepupu derajat
pertama dan perkawinan antara seorang laki-laki dengan kemenakannya sendiri.
Bentuk perkawinan yang ideal dalam suku Bayan adalah paternal pararel cousin
(perkawinan dengan saudara misan) karena dianggap dapat memelihara kemurnian
darah keturunan, menambah ikatan kekerabatan, serta dapat mempertahankan
keutuhan warisan.

Sistem Kepercayaan
Masyarakat Adat Bayan mengkonsep alam ke dalam tiga golongan yang saling
bertentangan. Golongan pertama disebut dengan gumi beliq (makrokosmos/alam
semesta), yang bersifat sakral, suci, keramat, dan memiliki kekuatan ataupun sifat baik.
Golongan kedua disebut dengan gumi beriq (mikrokosmos/manusia), yang bersifat
tidak keramat, profan (tidak suci), dan memiliki kekuatan ataupun sifat buruk. Golongan
ketiga disebut dengan gumi baqiq (alam roh-roh halus), yang merupakan kombinasi
dari sifat golongan pertama dan kedua.

Konsep tentang gumi beliq, gumi beriq, dan gumi baqiq tersebut merupakan suatu
orientasi nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat Bayan yang berhubungan dengan
alam sekitar mereka. Hal tersebut diyakini dapat mengantisipasi sikap masyarakat
dalam mengelola alam secara semena-mena. Untuk menyelaraskan kehidupan yang
harmoni dengan alam sekitar dan menghormati para leluhur, maka suku Bayan
melaksanakan upacara ritual yang disebut dengan Upacara Bagawe Aliq. Upacara
tersebut dilaksanakan setiap tahun pertama dalam rangkaian delapan tahun yang
seluruhnya menjadi satu windu dan diselenggarakan di atas sebuah bukit yang terletak
di tengah-tengah wilayah desa.

MA Bayan pernah menganut agama Islam yang disebut dengan Islam Wetu Telu. Pada
saat ini, kepercayaan tersebut semakin berkurang jumlahnya. Hal tersebut
kemungkinan dikarenakan mereka menjadi sasaran kegiatan-kegiatan dakwah yang
terus meningkat dari kalangan Islam Waktu Lima yang telah berhasil mengkonversi
banyak penganut Islam Wetu Telu. Islam Wetu Telu adalah suatu sistem kepercayaan
yang dianut oleh sekelompok suku Sasak di beberapa desa yang berada di Pulau
Lombok. Islam Wetu Telu dikembangkan oleh Nursada, putra bungsu dari Pangeran
Sanga Pati yang menyebarkan ajaran agam Islam di Pulau Lombok. Sistem kepercayaan
ini terkait dengan ajaran Islam murni, yang mereka sebut "Islam Waktu Lima". Pengikut
Islam Wetu Telu percaya kepada Allah SWT, Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah
SWT, dan Alquran sebagai kitab sucinya. Istilah Islam Wetu Telu itu sendiri tidak
pernah dikenal pada masa awal perkembangan agama Islam di Pulau Lombok. Istilah
tersebut dikenal sejak Belanda masuk ke pulau ini dan menajamkan istilah itu dengan
"Waktu Lima" untuk memecah-belah sesuai dengan naluri para penjajah.

Dalam pelaksanaannya, mereka melakukan berbagai upacara yang banyak menyimpang


dari ajaran Islam yang murni. Mereka hanya melaksanakan empat dari lima rukun
Islam, yaitu: syahadat, shalat, zakat, dan puasa, sedangkan ibadah haji tidak mereka
kenal. Orang yang wajib melaksanakan ajaran itu terbatas pada orang-orang yang
disebut dengan lebe (kiai atau guru), sedangkan orang yang bukan lebe tidak perlu
mengerjakan ibadah haji karena sudah diwakili oleh mereka.

Organisasi Sosial
Masyarakat Bayan memiliki struktur pemerintahan desa yang tidak jauh berbeda
dengan pemerintah desa lainnya. Organisasi pemerintahan desa meliputi: pemerintahan
umum, bidang agama, adat-istiadat, dan bidang sosial-ekonomi. Sistem kepemimpinan
masyarakat Bayan terbagi menjadi dua bagian, yaitu: sistem kepemimpinan desa dinas
dan sistem kepemimpinan desa adat. Desa dinas secara vertikal terjalin secara
struktural ke kecamatan, sedangkan desa adat yang secara otonom memiliki
kepengurusan dan kepemimpinan yang bertanggung jawab ke dalam masyarakat harus
disesuaikan sesuai dengan adat yang berlaku. Selain dipimpin oleh seorang kepala
desa, masyarakat Bayan juga dipimpin oleh penghulu yang bertugas mengurus dan
melaksanakan adat-istiadat yang berhubungan dengan upacara-upacara keagamaan.

Pada masa lalu, kepala desa disebut dengan pemusungan dan warga masyarakat desa
dipanggil dengan sebutan kanoman. Dalam masyarakat adat Bayan ada juga yang
disebut dengan klian atau keliang (kepala dusun) yang bertugas membantu kepala desa
untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan warga masyarakatnya. Klian atau
keliang itu juga berfungsi sebagai pemangku. Pemangku adat ini bertugas sebagai
perantara yang berhubugan dengan dunia gaib dan makhluk-makhluk halus yang
menjaga tempat-tempat tertentu. Selain itu, pemangku juga bertugas membantu
mengobati warga masyarakat yang mendapatkan gangguan dari anta bog atau selaq
(makhluk halus yang jahat) yang menyebabkan munculnya berbagai macam penyakit.
Dalam melaksanakan tugasnya, keliang dibantu oleh jerowarah (juru arah) yang
mewakilinya apabila dirinya sedang berhalangan.

Dahulu, lembaga masyarakat pedesaan di Bayan dikenal dengan sebutan Krama Desa,
yang merupakan lembaga pembuat keputusan bersangkutan dengan semua aspek
pembangunan serta tata hukum yang berlaku dan tata kesusilaan di tingkat desa,
sedangkan di tingkat kampung lembaga ini disebut Krama Gubuk, namun berdasarkan
Keputusan Mendagri No. 27 tahun 1984 namanya kemudian diubah menjadi Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa.

Anda mungkin juga menyukai