Anda di halaman 1dari 17

KAIDAH AL-DHARARU YUZALU

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Ilmu Qawa’id Al-Ahkam dalam Program


Magister (S-2) pada Program Studi Hukum Keluarga (AS)
Dosen : Dr. Hj. Aah Tsamrotul Fuadah, M.Ag.

Disusun oleh :
Rafida Ramelan 2180050007

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


PASCASARJANA UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2018 M / 1440 H
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Swt atas rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyusun dan menyelesaikan tugas makalah “Kaidah Al-Dhararu
Yuzalu”. Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas Ilmu Qawa’id Al-Ahkam.

Penyusun makalah ini tidak terlepas dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, kami mengucapkan terima kasih
kepada:

1. Dosen mata kuliah Ilmu Qawa’id Al-Ahkam, Dr. Hj. Aah Tsamrotul Fuadah,
M.Ag.
2. Seluruh teman-teman Hukum Keluarga (AS), yang senantiasa mendukung
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari sepenuhnya akan segala
kekurangan, maka kritik dan saran sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
kemampuan penulis di masa mendatang.

Bandung, Oktober 2018

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 3
1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 3
1.2. Perumusan Masalah .................................................................................. 3
1.3. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 4
BAB II KAIDAH AL-DHARARU YUZALU ...................................................... 5
2.1. Makna Kaidah dan Kepentingannya ........................................................ 5
.2.2 Rukun, Syarat, dan Sumber Dalil ............................................................. 7
2.3. Latar Belakang Disyariatkan .................................................................... 9
2.4. Kaidah-kaidah Cabang ........................................................................... 10
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 14
3.1 Simpulan ................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Islam adalah agama samawi dengan sistem hidup yang selaras dengan
perintah Allah Swt. dalam wahyu-Nya yaitu Al-Qur’an dan sejalan pula dengan
tuntunan Rasulullah Saw. dalam Al-Sunnah.
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin memiliki prinsip maqashid al-syari’ah
yakni tujuan dalam tata aturan hukumnya. Maqashid al-syariah bertujuan untuk
mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat pada kehidupan umat manusia.
Maslahat akan membawa manfaat sedangkan mafsadat dapat membawa madharat.
Sebagai alat bantu untuk mewujudkan maqashid al-syari’ah tersebut, maka
dibentuklah kaidah-kaidah fiqih yang menjadi titik temu dari berbagai
permasalahan manusia, baik dalam hal ibadah maupun muamalah.
Kaidah-kaidah fiqih dibentuk berdasarkan rumusan pemikiran secara induktif
dari berbagai materi fiqih sehingga muncul suatu kesimpulan umum yang
disepakati. Diantara kaidah-kaidah fiqih yang masyhur, terdapat satu kaidah yang
sangat dekat dengan tujuan maqashid al-syariah yakni kaidah al-dhararu yuzalu
yang berarti “kemudharatan harus dihilangkan”. Penerapan kaidah ini sangat luas
dalam berbagai masalah fiqih.
Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk
mengangkat pembahasan dalam makalah ini dengan judul “Kaidah Al-Dhararu
Yuzalu ”.

1.2. Perumusan Masalah


Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan
sebelumnya, maka penulis merumuskannya dalam beberapa pertanyaan sebagai
berikut:
1. Apa makna kaidah dan kepentingan kaidah al-dhararu yuzalu?
2. Apa rukun, syarat dan sumber dalil dari kaidah al-dhararu yuzalu?
3. Apa latar belakang disyariatkannya kaidah al-dhararu yuzalu?

3
4. Apa saja kaidah-kaidah cabang dari al-dhararu yuzalu?

1.3. Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan makalah ini
yaitu:
1. Untuk mengetahui dan memahami makna kaidah dan kepentingan kaidah
al-dhararu yuzalu.
2. Untuk mengetahui dan memahami rukun, syarat, dan sumber dalil dari al-
dhararu yuzalu.
3. Untuk mengetahui dan memahami latar belakang disyariatkannya kaidah
al-dhararu yuzalu.
4. Untuk mengetahui dan memahami kaidah-kaidah cabang dari al-dhararu
yuzalu.

4
BAB II
KAIDAH AL-DHARARU YUZALU

2.1. Makna Kaidah dan Kepentingannya


Kata )َّ‫ (الضَّرَّر‬secara etimologi berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat
menahannya. Sedangkan menurut terminologi )َّ‫ َّ(الضَّرَّر‬ialah posisi seseorang pada
suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa
mati atau nyaris mati. Hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu
yang diharamkan dengan batas-batas tertentu.1
Menurut ulama ada beberapa pengertian, diantaranya sebagai berikut.2
1. Abu Bakar Al-Jashas, mengatakan makna al-dharar disini adalah ketakutan
seeorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota
badannya karena ia tidak makan.
2. Ad-Dardiri, mengatakan bahwa al-dharar adalah menjaga diri dari kematian
atau dari kesusahan yang teramat sangat.
3. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, al-dharar ialah
mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya
sekedar dugaan.
4. Menurut Al-Suyuthi, al-dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas
dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan
binasa atau nyaris binasa
Kaidah ini sering diungkapkan dengan apa yang tersebut di dalam hadits
Rasulullah Saw berikut.

َ‫ضَرهََللاََ اَوَ اَمنََ اَشقََشَقََللاََ اَعَلايَه‬


َ‫ضرََ ا‬
َ‫ضاَراَرََاواَلَضََار اَارَ اَمنََ ا‬
َ‫َلاَ ا‬
“Tidak boleh memadharatkan dan tidak boleh dimadharatkan. Barangsiapa
memadharatkan maka Allah akan memadharatkannya, dan barangsiapa yang
menyusahkan maka Allah akan menyusahkannya” (HR. Imam Malik).

1
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2010, Hlm. 288
2
Ibid

5
Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi
orang lain ada mudharat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan “bagimu tidak
ada manfaatnya dan bagi orang lain memudharatkan”.3 Ulama lain mengartikan al-
dharar dengan “membuat kemudharatan” dan al-dhirar “membawa kemudharatan
diluar ketentuan syari’ah”.4

Dalam kitab Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Al-Kubra disebutkan bahwa


pengertian )َ‫(الضَاَرر‬ yaitu َّ ‫طالَقَا‬
َ َ‫َم‬َ‫س اَدةَ َبَلَ َغاي‬
َ‫ إَ َلااقَ َ اَمفَ ا‬yang artinya menghilangkan
mafsadat secara tidak mutlak. Sedangkan )‫ار‬ َ‫ (الضََار ا‬yaitu َ‫ مَ اَقابَاَلاةَ َالضَاَراَر َبَلضَاَرر‬yang
artinya pertemuan antara satu kemadharatan dengan kemadharatan yang lain.5

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa al-dhararu


yuzalu berarti kemudharatan harus dihilangkan, dengan kata lain keadaan yang
sangat menyulitkan dan memadharatkan sehingga membolehkan sesuatu yang
dilarang. Kaidah ini memiliki makna bahwa manusia harus dijauhkan dari madharat
baik oleh dirinya maupun orang lain, atau dengan kata lain tidak boleh saling
memberi madharat, tapi sebaliknya harus saling memberi manfaat.
Kaidah ini merupakan pembinaan dasar dalam fiqih. Hal ini dapat diketahui
dari bidang muamalat, jinayat dan munakahat yang merupakan jiwa dari kaidah ini
sehingga kaidah inilah yang memegang peranan penting.6 Sebagai contoh dalam
munakahat, Islam membolehkan adanya perceraian dalam keadaan yang sangat
diperlukan demi ketentraman rumah tangga yang sudah begitu kacau dan
memberikan kuasa kepada hakim untuk memfasakhkan nikah seseorang lantaran
suami sudah tidak dapat menunaikan tugas berumah tangga dengan baik, demi
untuk menghilangkan kemadharatan bagi mereka (istri) yang tersiksa. Kaidah ini
dangat erat hubungannya dengan kaidah-kaidah sebelumnya.7

3
Ali Ahmad Al-Nadwi, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Cet.V, Dar Al-Qalam, Beirut, 1998, Hlm. 88
4
Jaih Mubarok, Sejarah dan Kaidah Asasi, Cet. I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hlm.
153
5
Shalih bin Ghanim Al-Sadlan, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, Dar Bilnisyah, Riyadh,
1997, Hlm. 497
6
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqih Islam, Al-Ma’arif,
Bandung, 1986, Hlm. 510
7
Ibid, Hlm. 511

6
Berdasarkan hal tersebut maka kaidah ini penting untuk menunjukan
keseimbangan dan keadilan dalam perilaku serta secara moral menunjukkan akhlak
mulia karena tidak memberi madharat kepada orang lain.
2.2. Rukun, Syarat, dan Sumber Dalil
Rukun kaidah ini hanya ada satu, yaitu al-dharar (kemudharatan). Syarat
adanya kemadharatan dalam kaidah ini pada prinsipnya adalah8:
a. Tidak boleh menghilangkan kemadharatan yang sama tingkatannya.
b. Tidak boleh menimbulkan kemudharatan lain yang lebih besar atau lebih tinggi
tingkatannya.
c. Kondisi darurat atau mengancam. Hal ini bertujuan untuk 'mempertahankan
maqashid al-syari’ah yakni untuk menjaga jiwa (hifzu al-nafs), menjaga harta
(hifzu al-mal), menjaga keturunan (hifzu al-nasl), menjaga akal (hifzu al-‘aql)
dan menjaga agama (hifzu al-din).
d. Keadaan darurat hanya dilakukan sekadarnya dalam arti tidak melampaui
batas.
e. Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.

Adapun sumber dalil yang mendukung kaidah al-dhararu yuzalu adalah


sebagai berikut.
1. Nash Al-Qur’an

• QS. Al-Baqarah [2]: 231

...‫ اوالَُتسكوهنَضاراراَلتا عتادوا‬...


“...janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudharatan karena
dengan demikian kamu menganiaya mereka...”

• QS. Ath-Thalaq [65]: 6

...َ‫اَعلايهن‬
‫ضيقو ا‬
‫ض ُّاروهنَلت ا‬
‫ اوالَت ا‬...
“...dan janganlah kamu memudharatkan mereka (istri) untuk menyempitkan
hati mereka...”

8
A. Dzajuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Cet.VII, Kencana, Jakarta, 2017, Hlm. 70-72

7
• QS. Al-Baqarah [2]: 233

...َ‫اَوال اَمولودَلاهَب اولاده‬


‫ضار اَوال ادةَب اولاد اه ا‬
‫الَت ا‬...
“...janganlah dimudharatkan seorangibu karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya...”

• QS. Al-Baqarah [2]: 173

...َ‫َعلايه‬ ٍ ‫فامنَاضطرَ اغيَب ٍغَوال‬...


‫َعادَفا اَلَإْثا ا‬
‫اا ا ا‬ ‫ا‬
“...barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak melampaui batas maka tidak ada dosa baginya...”

• QS. Al-Maidah [5]: 105

...َ‫َضلَإ اذاَاهتا ادي تم‬


‫الَياضُّركم اَمن ا‬...
“...tidaklah orang-orang yang sesat itu mampu memudharatkan kamu apabila
kamu telah mendapat petunjuk...”

• QS. Al-An’am [6]: 119

...َ‫َعلايكمَإل اَماَاضطررُتَإلايه‬
َ‫اَحرام ا‬
‫ اوقادَفاص الَلاكم اَم ا‬...
“...(Allah) telah menjelaskan kepadamu sekalian apa yang Allah haramkan
kepadamu, kecuali apa yang kamu terpaksa memakannya...”

• QS. Al-A’raaf [7]: 56

...َ‫اوالَت فسدواَِفَاْلارض‬
“janganlah kamu sekalian membuat kerusakan di bumi...”

• QS. Al-Qashash [28]: 77

َ‫ين‬
‫بَالمفسد ا‬
ُّ ‫ اوالَتابغَال اف اس اادَِفَاْلارضَإنَاَّللا اَلَُي‬...
“...janganlah kamu membuat kerusakan di bumi, sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

8
2. Hadits Nabi Saw.

َ‫ضَرهََللاََبهََ اَوَ اَمنََ اَشقََشَقََللاََ اَعَلايَه‬


َ‫ضرََ ا‬
َ‫اَمنََ ا‬ •
“Barangsiapa memadharatkan maka Allah akan memadharatkannya, dan
barangsiapa yang menyusahkan maka Allah akan menyusahkannya” (HR.
Bukhari dan Muslim).

َ‫َشهركم‬
‫َِف ا‬،‫َه اذا‬
‫َِفَبالادكم ا‬،‫َه اذا‬ ‫أالاَإنَاَّللاَ احرام ا‬
‫َ اكحرامةَياومكم ا‬،‫َعلايكمَد اماءاكم اَوأام اوالاكم‬ •
‫اه اذا‬
“Ketahuilah sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kalian, darah dan
harta sesama kalian, seperti haramnya hari kalian ini, di negeri kalian, dan
pada bulan kalian ini .”(HR. Bukhari)

َ‫منَحسنَإسَلامَال امرءَتاركه اَماَلاَياعنيه‬ •


“Diantara kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan apa yang tidak
bermanfaa.” (HR. At-Tirmidzi)
2.3. Latar Belakang Disyariatkan
Kaidah ini dilatarbelakangi oleh berbagai masalah fiqih yang dapat
menghilangkan kemudharatan, diantaranya sebagai berikut.9
- Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.
- Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqih jinayah.
- Adanya aturan al-hajr (kepailitan) dan aturan hak syuf’ah.
- Aturan-aturan tentang pembelaan diri, memerangi pemberontakan, dan aturan
tentang mempertahankan hak milik.
- Adanya lembaga-lembaga eksekutif dan lembaga legislatif.
- Adanya aturan talak
- Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua,
wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta agama
lain.
- Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri.

9
A. Djazuli, Op. Cit, Hlm. 67-68

9
- Larangan murtad dari agama Islam dan larangan mabuk-mabukan.
Kaidah ini terbentuk atas dasar materil yang bersifat nushush al-syaari’
(bersumber dari nash syara’) dan dirumuskan karena memiliki kaitan dari beberapa
nash syara’.

2.4. Kaidah-kaidah Cabang


Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari kaidah al-dhararu yuzalu antara
lain sebagai berikut.

1. Al-dharuuraat tubiihu al-makhzhuuraatَّ(َ‫مخَظََوَارات‬


َ‫(الضََرَوَاراتََتَبَيَحََالَ ا‬
Artinya kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang. Maksudnya,
perkara yang semula diharamkan oleh syari’at karena sangat dibutuhkan untuk
meringankan maka hilanglah keharamannya untuk sementara waktu selama
keadaan darurat dan kebutuhan itu masih berlaku.10 Contoh: Orang yang
dilanda kelaparan di hutan dan tidak ada makanan halal, maka dihalalkan
makan binatang yang diharamkan.

2. Al-dharuuraat tuqaddiru biqadarihaَ)‫دَراَها‬


َ‫تَ اَقدَرََبَ اَق ا‬ َ‫(الضََرَوَارات‬
Artinya keadaan darurat yang ukurannya ditentukan menurut kadar
kedharuratannya. Kaidah ini membatasi manusia dalam melakukan yang
dilarang karena kondisi darurat. Contoh: Orang yang kelaparan hampir mati
boleh makan yang diharamkan sekedar menyelamatkan diri dari kematian,
tidak boleh sampai kenyang.11

Al-dhararu yuzaalu biqadri al-imkaaniَ)َ‫كان‬


َ‫ََّّ(الضََررََيََازالََبَ اَقدَرََالَمَ ا‬
3.
‫ا‬
Artinya kemudharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan.
Contoh: usaha damai agar tidak terjadi perang, usaha kebijakan ekonomi agar
rakyat tidak kelaparan.

10
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Op.Cit, Hlm. 511
11
Ibid, Hlm. 73

10
Al-dhararu laa yuzaalu bi al-dharariَّ)َ‫لَيََازالََبَلضََرر‬
َ‫َّ(الضََررََا‬semakna dengan Al-
4.
‫ا‬ ‫ا‬
dharaaru laa yuzaalu bimitslihi)َ‫لَيََازالََبَثَلَه‬
َ‫َّ(الضَاَررََا‬
Artinya kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lagi.
Maksudnya adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan
kemudharatan yang sebanding keadaannya. 12 Contoh: orang yang kelaparan
tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga sedang kelaparan, tidak
boleh membunuh anak dengan alasan kesulitan ekonomi.

5. Yuhtamilu al-dhararu al-khash liajli al-dharari al-‘am


)َ‫الااصَ َ َْلاجَلَ َالضَاَررَ َالَ اَعام‬
َ َ َ‫(ُيََتامَلَ َالضَاَرر‬ semakna dengan Idzaa ta’aaradha
mafsadataani ruu’ii a’zhamuhumaa dhararaan biirtikaabi akhaffihimaa
)‫اَضاَرَراَبََرتَ اَكابَََأا اَخفَهَ اَما‬
َ‫س اَد اَتنَََرَوعَىََأاعَ َظامَهَ اَم ا‬
َ‫ضَ اَمفَ ا‬
َ‫(إَذاَاَتاَ اَع اَار ا‬
Artinya kemudharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak
kemudharatan yang bersifat umum. Contoh: boleh mengorbankan bayi dalam
perut ibu demi menyelamatkan ibunya. Dalam hal ini membiarkan ibu
meninggal akan lebih madharat daripada bayi yang ada di dalam perutnya. 13

6. Al-dhararu al-asyaddu yuzaalu bi al-dharari al-akhaff / al-akhdzu bi akhaffi


al-dhararainَ)َ‫خفََالضََرَاريَن‬
َ‫َاْلاخَذََ َبا ا‬/ َ ََ‫اْلا اَش َُّدَيََازالََبَلضََرر‬
َ ََ‫اْلا اَخف‬ َ ََ‫(َالضََرر‬
‫ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬
Artinya kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudharatan
yang lebih ringan. Contoh: sanksi-sanksi yang diterapkan yang berhubungan
dengan jinayah, misalnya qishash, diyat, dan ta’zir.14

Al-dhararu laa yakuunu qadiimanَّ)‫َياكَ َونَََقادََيَا‬


َ ‫ََّّ(الضََررََاَل‬
7.
‫ا‬
Artinya kemudharatan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama
terjadi. Maksudnya adalah kemudharatan itu harus dihilangkan dan tidak boleh
dibiarkan terus berlangsung dengan alasan kemudharatan tersebut telah ada

12
Ibid, Hlm. 74
13
Ibid, Hlm. 75
14
Ibid

11
sejak dahulu.15 Contoh: sampah yang menggunung sudah lama terjadi sehingga
mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar, maka sampah itu harus
dialokasikan ke tempat pembuangan lain.

8. Al-haajatu tanzila manzilata al-dharurati ‘amamatan kaana au khaashahَّ


)َ‫اَصة‬
َ‫اَمةَََ اَكا اَنََاوََ اَخ ا‬
َ‫اجةََتاَنََزلََ اَمنََزَلاَةاَالضََرَوَارةََ اَع ا‬
َ‫(الا ا‬
َ
Artinya kebutuhan itu sampai kepada darurat baik umum maupun khusus. Al-
hajah adalah suatu keadaan yang menghendaki agar seseorang melakukan
suatu perbuatan yang tidak menurut hukum yang seharusnya berlaku, karena
adanya kesukaran. Dalam hal ini al-hajah berbeda dengan al-dharurat. Kondisi
al-dharurat ada bahaya yang muncul, sedangkan al-hajah hanya kondisi
kesulitan dalam pelaksanaan hukum. 16

Kedudukan al-hajah sama dengan al-masyaqqat, yakni bila tidak terpenuhi


tidak akan membahayakan eksistensi manusia. Sedangkan al-dharurat
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika tidak
diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta, serta
kehormatan manusia.17 Contoh: dalam jual beli objek yang dijual telah wujud,
tetapi demi kelancaran transaksi dibolehkan jual beli dengan pesanan (bai’ al-
salam). Jika hal ini tidak terpenuhi maka tidak akan mengancam eksistensi
manusia, hanya saja mendatangkan kemudahan atau keringanan.

9. Kullu rukhshatin ubiihat lidhdharurati wa al-haajati lam tustabah qabla


wujuudihaaَّ)َ‫لََوجَ َودَ اَها‬
َ َ‫اجةََ اَلَتَسَتاََباحََقاَب‬
‫ا‬ َ‫الا ا‬ َ‫ص ٍَةَأَبَيَ ا‬
َ ‫حتََلَلضََرَوَارةََاَو‬ َ‫َ(كَ َُّلََرخَ ا‬
Artinya setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah
tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah.18

15
Ibid, Hlm. 76
16
Ibid
17
Muhlish Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
1999, Hlm. 132-133
18
A. Dzajuli, Op.Cit, Hlm. 77

12
Contoh: boleh memakan makanan haram baru bisa dilakukan jika tidak ada
makanan lain yang halal.

10. Kullu tasharrufin jarra fasadan au daf’a shalaahan manhii ‘anhuَّ


َّ)َ‫ىَعنَه‬
َ‫اَمنَهَ ا‬
َ‫َلحَ ا‬
َ‫ص ا‬
َ‫ساَدَاََاوََ اَدَفَ اَعَ ا‬ ٍَ ‫صَُّر‬
َ ‫فَ اَجرَََفا‬
‫ا‬ َ‫(َكَ َُّلََتا ا‬
Artinya setiap tindakan hukum yang membawa kemafsadatan atau menolak
kemashlahatan adalah dilarang.19 Contoh: menghamburkan-hamburkan harta
untuk hal yang tidak bermanfaat, melakukan riba yang merugikan orang lain,
dan lain sebagainya.

11. Dar-ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih


)ََ‫صالَح‬
َ‫ىَجلَبََالَ اَم ا‬
َ‫(دَرءََالَ اَم اَفاسَدََمَ اَقدَمََ اَعَلا ا‬
َ‫ا‬
Artinya menolak kemafsadatan didahulukan daripada mengambil
kemashlahatan. Kandungan kaidah ini menjelaskan bahwa jika terjadi
perlawanan antara kerusakan dan kemashlahatan pada suatu perbuatan, maka
menolak kerusakan (meninggalkan larangan) harus didahulukan. Hal ini
disebabkan karena perintah meninggalkan larangan lebih kuat daripada
perintah menjalankan kebaikan.20 Contoh: meminum khamr, disamping ada
madharatnya merusak akal dan menghambur-hamburkan uang, ada
manfaatnya untuk menguatkan dan menghangatkan badan. Walaupun
demikian, maka yang dimenangkan adalah meninggalkan madharatnya.21

19
Ibid, Hlm. 78
20
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Op.Cit, Hlm. 513
21
Muhlish Usman, Op. Cit, Hlm. 138

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Setelah penulis memaparkan dan membahas uraian mengenai kaidah al-
dhararu yuzalu dalam penulisan makalah ini, maka penulis dapat menarik beberapa
simpulan sebagai berikut.
Kaidah al-dhararu yuzalu memiliki makna bahwa manusia harus dijauhkan
dari madharat baik oleh dirinya maupun orang lain, atau dengan kata lain tidak
boleh saling memberi madharat, tapi sebaliknya harus saling memberi manfaat.
Kaidah ini penting untuk menunjukan keseimbangan dan keadilan dalam perilaku
serta secara moral menunjukkan akhlak mulia karena tidak memberi madharat
kepada orang lain.
Rukun kaidah ini adalah al-dhararu yang berarti kemadharatan. Syarat dari
kemadharatan ini yaitu tidak boleh menghilangkan kemadharatan yang sama
tingkatannya, tidak boleh menimbulkan kemudharatan lain yang lebih besar atau
lebih tinggi tingkatannya, berlaku saat kondisi darurat atau mengancam, tidak
melampaui batas, dan tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan
yang dilarang. Adapun sumber dalil yang mendukung kaidah ini terdapat dalam
beberapa nash Al-Qur’an dan Al-Sunnah, diantaranya QS. Al-Baqarah [2]: 231 dan
hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa barangsiapa
memadharatkan maka Allah akan memadharatkannya, dan barangsiapa yang
menyusahkan maka Allah akan menyusahkannya.
Kaidah ini dilatarbelakangi oleh berbagai masalah fiqih yang dapat
menghilangkan kemudharatan, diantaranya larangan menimbun barang-barang
kebutuhan pokok masyarakat, adanya berbagai macam sanksi dalam fiqih jinayah,
larangan murtad dari agama Islam dan lain sebagainya.
Kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-dhararu yuzalu ini adalah al-
dharuuraat tubiihu al-makhzhuuraat, al-dharuuraat tuqaddiru biqadarihaa, al-
dhararu yuzaalu biqadri al-imkaani, al-dhararu laa yuzaalu bi al-dharari,
yuhtamilu al-dhararu al-khash liajali al-dharari al-‘am, al-dhararu laa yakuunu

14
qadiiman, al-haajatu tanzila manzilata al-dharurati ‘amamatan kaana au
khaashahَّ, kullu rukhshatin ubiihat lidhdharurati wa al-haajati lam tustabah qabla
wujuudiha, kullu tasharrufin jarra fasadan au daf’a shalaahan manhii ‘anhuَّ, dan
dar-ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih.

15
DAFTAR PUSTAKA

A. Dzajuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Cet.VII, Kencana, Jakarta, 2017.

Ali Ahmad Al-Nadwi, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Cet.V, Dar Al-Qalam, Beirut,


1998.

Jaih Mubarok, Sejarah dan Kaidah Asasi, Cet. I, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002.

Muhlish Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, PT. RajaGrafindo


Persada, Jakarta, 1999.

Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqih Islam, Al-
Ma’arif, Bandung, 1986.

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2010.

Shalih bin Ghanim Al-Sadlan, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, Dar Bilnisyah,


Riyadh, 1997.

16

Anda mungkin juga menyukai