Anda di halaman 1dari 9

Penyebab Pembatalan Pelepasan Hak

Dengan Ganti Rugi Yang Dibuat Dihadapan Notaris

Bahmid, S.H., M.Kn

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Asahan, Kisaran, Sumetara Utara
email: bahmidpanjaitan@yahoo.com

ABSTRAK

Kata Kunci: Pembatalan Akta.

Pembuatan akta otentik merupakansalah satu tugas Notaris sebagai pejabat yang berwenang,
dalam kenerjannya seorang Notaris harus bertindak cermat dan teliti sehingga akta yang dibuat
dihadapannya tidak akan menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Penelitian ini berjudul
“Penyebab Pembatalan Pelepasan Hak Ganti Rugi Yang Dibuat Dihadapan Notaris”. Menurut
Ketentuan Perundang-undangan setiap akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
dengan pengertian bahwa pihak yang mengajukan suatu akta otentik, jika ada perkara yang masuk
kepengadilan hakim harus menerimanya dan beranggapan yapa yang tertuang didalam akta tersebut
adalah sungguh-sungguh terjadi, sebelum adanya putusan hakim yang berkata lain. Pembuktian suatu
perbuatan hukum atau peristiwahukum, karena Undang-Undang memberikan kewenanganitu kepada
Notaris untuk membuat suatu akta otentik yang berfungsi sebagaialat bukti di pengadilan.

Keywords: Cancellation Deed.


The making of an authentic deed is one of the duties of a Notary as an authorized official, in
the event that a Notary must act carefully and thoroughly so that the deed made before him will not
cause any problems in the future. The study is entitled "Cause of Cancellation of Remedies of
Indemnity Made Notary". According to the provisions of the legislation every authentic deed has
perfect proof power with the understanding that the party who submits an authentic deed, if there is a
case in court the judge must accept it and assume that what is stated in the deed is actually happening
before the judge's decision who said otherwise. Proof of a legal act or a matter of law, because the
law gives that authority to a Notary to create an authentic deed which functions as evidence in court.

PENDAHULUAN
Landasan filosofis dibentuknya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, kewajiban pejabat umum dalam hal ini Notaris
dalam pembuatan akta untuk menghindari peluang terjadinya konflik bagi mereka yang
berkepentingan terhadap perjanjian tersebut, serta keharusan bagi Notaris untuk tidak memihak dan
bekerja secara seksama dalam melaksanakan tugasnya, secara implisit filosofi Undang-Undang
Jabatan Notaris merupakan upaya untuk ketertiban dan perlindungan hukum bagi masyarakat yang
berintikan kebenaran dan keadilan.
Pasal 1 Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
menyebutkan, “Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya.1 Unsur dari ketentuan Pasal 1 yang terdapat dalam ketentuan Undang-Undang
ini, seorang Notaris adalah seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang membuat suatu akta
otentik, dan kewenangan-kewenangan lainya yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
lainnya.
Karakteristik Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan
pengecualian, dengan mengkategorikan Notaris sebagai pejabat publik, dalam hal ini publik yang
bermakna hukum. Notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama dengan pejabat publik dalam
bidang pemerintahan yang dikategorikan sebagai badan atau pejabat tata usaha negara, hal ini dapat

1
Undang‐Undang RI No. 30 Tahun 2004  tentang Jabatan Notaris

1
dibedakan dari produk masing-masing pejabat publik tersebut. Notaris sebagai pejabat publik, produk
akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum
pembuktian.2
Selanjutnya pengertian berwenang meliputi, berwenang terhadap orangnya, yaitu untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh orang yang berkepentingan. Berwenang
terhadap aktanya, yaitu yang berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian
dan ketetapan yang diharuskan Undang-Undang atau yang dikehendaki yang bersangkutan. Serta
berwenang terhadap waktunya dan berwenang terhadap tempatnya, yaitu sesuai tempat kedudukan dan
wilayah jabatan Notaris dan Notaris menjamin kepastian waktu para penghadap yang tercantum dalam
akta.3
Mengenai akta otentik secara khusus Undang-Undang Jabatan Notaris tidak mendefinisikan
secara tegas apa yang dimaksud dengan akta otentik, penjelasan tentang pengertian akta otentik,
didalam buku IV Kitab Undang–Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang pembuktian, yang
mengatur mengenai syarat-syarat agar suatu akta dapat berlaku sebagai akta otentik, terdapat dalam
Pasal 1868  KUHPerdata “akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu, di tempat di
mana akta dibuatnya, sehingga sangat jelas orang yang berhak membuat suatu akta itu adalah
seseorang yang mempunyai kedudukan sebagai Pejabat Umum”.
Apabila penyebab persoalan timbul akibat kelalaian notaris memenuhi ketentuan Undang-
Undang, maka akibat hukumnya akta Notaris tersebut dipersamakan sebagai akta dibawah tangan atau
batal demi hukum, yang merupakan pembenaran bagi orang yang merasa dirugikan menuntut
penggantian ganti rugi kepada Notaris, namun dalam hal penyebab persoalan itu timbul akibat para
penghadap yang menyatakan keterangan palsu atau ketidak jujuran yang dapat diuji dikemudian hari
oleh pengadilan, maka berakibat hukum akta tersebut batal demi hukum.
Salah satu contoh kasus disengketakan di pengadilan Negeri Kisaran, terhadap sengketa
pembatalan akta pelepasan hak dengan ganti rugi, yaitu:4
Almahrum (Alm) Markali Hasibuan, ada memiliki sebidang tanah seluas 48.905m 2 yang di
peroleh berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Repbulik Indonesia No. 760.K/Pdt/1995 tanggal 28
Agustus 1997 jo putusan Pengadilan Tinggi Medan No.44/PDT/1994/PT-MDN Tanggal 31 Mei 1994
jo putusan Pengadilan Negeri No. 4/PDT/G/1993/PN-Tba tanggal 28 Agustus 1993, hak atas tanah
yang langsung dikuasai oleh negara terletak di Km. 0 Dusun III Desa Aek Songsongan Kecamatan
Bandar Pulau Kabupaten Asahan, yang merupakan wilayah hukum pengadilan negeri Tanjungbalai,
walaupun wilayah administrasi pemerintahannya berada di kabupaten Asahan. Awalnya dalam proses
penanganan perkara tanah tersebut di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, kasasi di
Mahkamah Agung Republik Indonesia, (Alm) Markali Hasibuan menunjuk Mula Anggapan Lubis
sebagai Kuasanya.
Setelah dieksekusi oleh pengadilan negeri Tanjungbalai dan telah diserahkan kepada Markali
Hasibuan, oleh Markali Hasibuan bermaksud hendak mengurus Sertifikat Hak Milik Atas Tanah yang
terperkara seluas 48.907m2 yang telah dimenangkannya. Namun setelah dipertanyakan ke Kantor
Badan Pertanahan kabupaten Asahan tentang syarat-syarat pengurusan sertifikat, oleh petugas Kantor
Pertanahan Kabupaten Asahan memberi petunjuk bahwa syarat luas tanah diatas 2ha kewenangan
pembuatan sertifikatnya berada pada Kantor Pertanahan Provinsi di Medan, sedangkan untuk luas 2ha
kebawah adalah kewenangan Badan Pertanahan Kabupaten.
Mendapat penjelasan dari Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Asahan, untuk mempercepat
proses pengurusan Sertifikat (Alm) Markali Hasibuan meminta kepada Notaris Muhammad Ali
Ansyari untuk memecah bidang tanah menjadi 3 (tiga) bagian dengan ketentuan 1 (satu) bidangan ±
19.281m2 atas nama dr. Markali Hasibuan, 1 (satu) bidang tanah lagi atas nama Grace Hasibuan
seluas ± 17.541m2. dan 1 (satu) bidang atas nama Mula Anggapan Lubis ± 12.085 m2 yang dibuat
berdasarkan peralihan Penglepasan Hak dengan Ganti Rugi No. 4 tanggal 15 Juli 2000 di hadapan
Notaris Muhammad Ali Ansyari, Penglepasan hak dengan ganti rugi dibuat hanyalah sebuah tindakan
2
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,
(Bandung:Refika Aditama, 2008), halaman 31
3
Habieb Adjie, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia, (Bandung:PT. Citra Aditya
Bakti,2009, halaman 14
4
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1467/Pdt/2009

2
yang dibuat berpura-pura guna mempermudah pengurusan sertifikat. Tetapi oleh Mula Anggapan
Lubis menyatakan bahwa akta penglepasan hak dengan ganti rugi atas tanah tersebut merupakan jerih
payahnya sebagai penerima kuasa dari Markali Lubis saat menangani perkara di pengadilan.
Permasalahan tersebut diataslah yang menjadi tema sentral penelitian penulis. Dengan
penelitian ini diharapkan masyarakat mengetahui dan memahami tentang hukum perjanjian, serta
senantiasa berhati–hati untuk membuat suatu perjajian yang dibuat yang melanggar ketentuan hukum,
khususnya kalangan Notaris sebagai pejabat publik, sebab bagaimanapun juga penyimpangan-
penyimpangan yang dibuat dalam pembuatan suatu akta, suatu saat akan mencuat kepermukaan dan
akan menjadi masalah, tentunya akan menimbulkan kerugian bagi orang lain dan orang yang berbuat
penyimpangan tersebut.

Penyebab Pembatalan Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi Dihadapan Notaris
Tidak Terpenuhinya Syarat Formil.
Fungsi utama dari akta adalah sebagai alat bukti. Akta Notaris merupakan alat bukti yang
sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya
tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Syarat pertama, akta otentik adalah keharusan
pembuatannya di hadapan atau oleh pajabat umum openbaar ambtenaar. Kata “di hadapan”
menunjukkan bahwa akta tersebut dibuat atas permintaan seseorang, sedangkan akta yang dibuat
“oleh” pejabat umum karena adanya suatu kejadian, pemeriksaan, keputusan dan lain sebagainya
(berita acara rapat, protes wesel, dll).
Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum.
Akta yang dibuat oleh Notaris dalam praktek Notaris disebut akta relaas atau akta berita acara
yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para
pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta
Notaris. Akta yang dibuat di hadapan Notaris, dalam praktek Notaris disebut akta pihak, yang berisi
uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan
Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta
Notaris.5
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie Voor De Notarissen
Residerende In Nederlands Indie dengan Stbl No. 11, tanggal 7 Maret 1822, kemudian dengan
Reglement Op Het Notaris Ambt In Indonesie (Stb. 1860 : 3), dan Reglement ini berasal dari Wet Op
Het Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN. Meskipun Notaris
di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga
Notaris lahir di Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara kelembagaan
dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak mengatur mengenai bentuk akta. Setelah
lahirnya UUJN keberadaan akta Notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh
Undang-Undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. 6
c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk
membuat akta itu.
Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu:
1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu.
2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
3. Kewenangan Notaris yang lainnya yaitu:
4. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai
kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang
namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus
mengajukan permohonan ke Pengadilan Umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi
dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.

5
G.H.S.Lumban Tobing , Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1996., halaman 51
6
Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994,
halaman 362

3
Akta Notaris merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang
tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama
kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857
KUHPerdata, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu
hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang
yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.
Undang-Undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Materai menyatakan bahwa untuk surat
perjanjian dan surat-surat lainnya dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai
kenyataan, perbuatan atau keadaan di bidang keperdataan maka dikenakan untuk itu dokumen tersebut
dikenakan bea materai.
Tidak adanya materai tersebut tidak berarti perbuatan hukumnya menjadi tidak sah,
melainkan cuma kurang memenuhi syarat sebagai alat bukti. Sedangkan untuk perbuatan hukumnya
tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan
oleh Pasal 1320 KUHPerdata.
Apabila surat tersebut tidak diberi materai dan akan digunakan sebagai alat pembuktian di
pengadilan maka pemasangan materai dapat dilakukan belakangan di kantor pos terdekat. Pasal 38
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris lebih rinci memuat struktur ketentuan
akta Notaris :
(1) Setiap akta Notaris terdiri atas:
a. awal akta atau kepala akta.
b. badan akta, dan
c. akhir atau penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat:
a. judul akta
b. nomor akta.
c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun, dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan akta memuat:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan,
tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili.
b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap.
c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan
d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat
tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
(4) Akhir atau penutup akta memuat:
a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l atau
Pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila
ada;
c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal
dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang
adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.
(5) Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan

4
tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya. Lebih lanjut UUJN7
menyebutkan bentuk-bentuk akta yaitu terdapat dalam:
1. Pasal 42, menyebutkan sebagai berikut :
a. Akta Notaris dituliskan dengan jelas satu sama lain yang tidak terputus-putus dan tidak
menggunakan singkatan.
b. Ruang dan sela kosong digaris dengan jelas sebelum akta ditandatangani, kecuali untuk
akta yang dicetak dalam bentuk formulir berdasarkan peraturan perundang-undangan.
c. Semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam
akta, penyebutan tanggal, bulan, dan tahun dinyatakan dengan huruf dan harus didahului
dengan angka.
2. Pasal 43, menyebutkan sebagai berikut:
a. Akta dibuat dalam bahasa Indonesia.
b. Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta Notaris wajib
menterjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh
penghadap.
c. Apabila Notaris tidak dapat menterjemah atau menjelaskannya, akta tersebut
diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penterjemah resmi.
d. Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila pihak
yang berkepentingan menghendaki sepanjang Undang–Undang tidak menentukan lain.
e. Dalam hal akta dibuat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (4), Notaris wajib
menterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
3. Pasal 44 berbunyi sebagai berikut:
a. Segara setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi
dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat menumbuhkan tanda tangan
dalam akta dengan menyebutkan alasannya.
b. Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas dalam akta.
c. Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 a ayat (3) ditandatangani oleh penghadap,
saksi, Notaris dan penterjemah resmi.
d. Pembacaan, penterjemah atau penjelasan dan penandatanganan sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 43 ayat (2),dan ayat (3) dan (5) dinyatakan
secara tegas pada akhir akta.
Akta Notaris mempunyai bagian-bagian atau kerangka akta yang terdiri dari:
1. Judul Akta .
2. Keterangan-keterangan dari Notaris mengenai para penghadap atau atas permintaan siapapun
dibuat berita acara atau lajim dinamakan “Komparisi”.
3. Keterangan-keterangan pendahuluan dari penghadap ( jika ada) atau lazim dinamakan
“premisse”.

7
Dalam UUJN pada pula pasal-pasal yang terkait dalam penentuan bentuk dari akta notaris yakni: (a)
Pasal 26 UUJN, menyatakan bahwa akta notaris harus ditulis dengan dapat dibaca, dalam hubungan satu sama
lain yang tidak terputus-putus, tanpa kependekan, ruang-ruang kosong atau sela-sela kosong, terkecuali untuk
beberapa macam akta terdapat contoh-contoh yang dicetak berdasarkan ketentuan dari pihak yang berwajib,
ruang-ruang kosong dalam badan akta yang terpaksa tidak ditulis, harus digaris dengan jelas dengan tinta
sebelum akta itu ditutup, agar tidak dapat dipergunakan lagi, semua angka-angka yang menentukan jumlah atau
besarnya benda yang disebutkan dalam akta, demikian juga tanggal-tanggal harus dinyatakan dengan huruf-huruf
tulisan, akan tetapi dapat diulangi atau didahului dengan angka-angka; (b)Pasal 27, menyatakan bahwa akta
dapat dibuat dalam bahasa yang dikehendaki oleh para pihak, asal saja dimengerti oleh Notaris, (c) Pasal 37
menyatakan bahwa semua perubahan dan tambahan harus ditulis disisi akta, akan tetapi hal itu hanya sah,
apabila itu sendiri-sendiri ditanda tangani atau disahkan oleh para penghadap yang menandatangani akta itu, oleh
Notaris dan para saksi. Jika suatu perubahan atau tambahan terlalu panjang untuk ditulis disisi akta, hal tersebut
ditulis pada akhir akta, akan tetapi sebelum penutup akta, asal saja ditunjuk halaman dan baris dimana itu
temasuk, dengan ancaman batal setiap perubahan atau tambahan yang dilakukan dengan cara lain atau tanpa
penunjukan, (d) pasal 33, menyatakan bahwa tidak dibenarkan dalam suatu akta atau perubahan dan tambahan
yang tertulis disisi atau pada sebelum penutup akta menulis tindih, menyisip atau menambah kata-kata atau
huruf-huruf dengan cara lain mencoret atau menghapus dan menggantinya dengan yang lain, dengan ancaman
batal kata-kata atau huruf-huruf yang ditulis sebagai gantinya dan yang disisip atau ditambahkan.

5
4. Isi akta itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Penutup dari akta yang biasanya didahului oleh perkataan-perkataan: “maka akta ini” dan
seterusnya atau “akta ini dibuat “ dan seterusnya. 8
Ditinjau dari segi anatomi akta9, akta dibuat dihadapan Notaris dibagi dalam 3 bagian
yakni :kepala akta, badan akta, dan kaki akta. Kepala akta ialah bagian pembukaan atau bagian depan
dari suatu akta yang memuat hal-hal yang perlu memenuhi syarat tetapi belum menyentuh isi akta.
Kepala akta terdiri dari lima bagian yakni: Judul akta, nomor akta, tanggal akta, komparisi akta,
premisse akta.
Badan akta adalah bagian dari akta yang memuat hal-hal yang merupakan isi akta berupa
pernyataan atau perjanjian yang diperbuat oleh para pihak yang meminta itu diperbuat. Dengan
perkataan lain badan akta adalah identik dengan isi akta.
Kaki akta adalah bagian yang paling akhir akta dalam praktek notariat Memuat:
1. Tempat dimana akta tersebut dibuat.
2. Minimal 2 (dua) orang saksi.
3. Pekerjaan dan tempat tinggal para saksi
4. Disebutkan pula bahwa akta tersebut telah dibacakan kepada para penghadap dan saksi.
5. Seandainya diantara para penghadap tidak memahami dengan baik bahasa yang digunakan
dalam akta tersebutdan karena itu harus diterjemahkan oleh Notaris itu sendiri atau oleh orang
lain, maka orang yang bertugas menerjemahkan akta tersebut harus pula dicantumkan dalam
akta tersebut.
6. Harus pula disebutkan dalam kaki akta bahwa “segera setalah akta itu dibacakan maka
seketika itu juga akta ditandatangani oleh para penghadap, saksi-saksi dan Notaris 10.
Akta Notaris yang tidak memenuhi syarat formil sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka akta tersebut menjadi akta di bawah tangan.

Tidak Terpenuhinya Syarat Materil


1. Kesepakatan para pihak
Sepakat maksudnya adalah bahwa dua belah pihak yang mengadakan perjanjian setuju atau seia
sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian, dengan perkataan lain mereka saling menghendaki
sesuatu yang sama secara timbal balik.11
Adanya kemauan dan kehendak kedua belah pihak yang membuat perjanjian, jadi tidak boleh
hanya karena kemauan satu pihak saja, ataupun terjadinya kesepakatan oleh karena tekanan salah satu
pihak yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak.
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian
“Untuk sahnya suatu perjanjian memerlukan kecakapan dari subyek yang mengadakan
perjanjian.Dengan kata lain setiap orang yang sudah dewasa , waras akal budinya adalah cakap
menurut hukum”.12
Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa yang tidak cakap membuat suatu perjanjian
adalah:
a. Orang yang belum dewasa.
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-Undang dan pada
umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-
persetujuan tertentu.

8
G.H.S.Lumban Tobing , Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1996. halaman 215
9
M.U Sembiring, Teknik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum,
Universitas Sumatera Utara, 1997, halaman 3
10
Hasil Wawancara dengan Notaris Indra Pedana, Notaris di Kisaran, pada tanggal 30 Januari 2013
11
R.Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan ke IV,(Jakarta: PT Intermasa, 1976), halaman. 17
12
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2001),
halaman. 73

6
d. Orang yang belum dewasa yang dimaksud dalam hal ini adalah seperti yang ditunjuk oleh
Pasal 330 KUHPerdata yakni mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak
lebih dahulu kawin.
3. Suatu hal tertentu
”Didalam berbagai literature disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi.
Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur.” 13
Dalam hal ini Undang-Undang menentukan bahwa objek yang diperjanjikan haruslah dapat
ditentukan, paling tidak jenisnya. Lebih lanjut Pasal 1333 KUHPerdata menjelaskan bahwa tidaklah
menjadi halangan jumlah barang yang belum tentu, asal saja jumlah itu pada kemudian dapat
ditentukan atau dihitung.
4. Suatu sebab yang halal
Agar suatu perjanjian sah, Undang-Undang mensyaratkan adanya kausa yang halal. Undang-
undang tidak memberikan penjelasan tentang kausa, yang dimaksud dengan kausa bukan hubungan
sebab akibat, tetapi isi atau maksud dari perjanjian. ”Isi dari perjanjian pada hakikatnya mencerminkan
tujuan atau maksud yang akan dicapai oleh para pihak. Maksud atau tujuan ini merupakan tafsir dari
sebab (kausa).”14
Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat subjektif
dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi
akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak dan
memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang
dibuatnya. Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap
Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat
dibatalkan.

KESIMPULAN
Penyebab batalnya akta Perjanjian Pembatalan Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi Yang Dibuat
Dihadapan Notaris, diakibatkan tidak terpenuhinya syarat formil dan Materil dari Akta yang dibuat
oleh Notaris. Pembatalan akta yang dibuat oleh Notaris dapat dibatalkan oleh pihak-pihak yang
membuat perjanjian dihadapan Notaris. Perjanjian yang dibuat oleh Notaris dapat juga dibatalkan
melalui gugatan ke pengadilan Negeri oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian atau ahli warisnya

SARAN
Notaris dalam melaksanakan tugas dituntut untuk melakaksanakan prinsip kehati-hatian, sebab
penghadap yang hadir dihadapat notaris seringkali mempunyai kepentingan-kepentingan yang
tersembunyi sehingga notaris diharapkan mempu memnggali kpentingan-kepentingan tersembunyi
penghadap dan memberikan penghadap sosialisasi prinsip-prinsip hokum perjanjian serta peraturan
perundang undangan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
1. Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum di Indonesia, PT.Citra
Aditia Bakti, Bandung, 1994

2. Adjie, Habieb, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2009.

3. ______________, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai Pejabat


Publik, Bandung:Refika Aditama, 2008.

13
A.Qiram Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, (Yogyakarta:Liberty, 1985),
halaman.10
14
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., halaman. 27

7
4. Al Rasyid , Harun, Sekilas Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan – Peraturannya) Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1987.

5. Anshori, Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2009.

6. Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996.

7. Badrulzaman, Mariam Darus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung,
1983

8. Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan (Legal Protection


For The Victim of Land Cases), Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003.

9. Friedman, Lawrence M., Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Tata Nusa, Jakarta, 2001
10. Hamzah, Andi, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 1986

11. Harahap, M.Yahya, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai
Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, 2008.

12. _____________,Pembahasan,Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua,


(Jakarta: Sinar Grafika, 2006

13. ______________,Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,


Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

14. Hartono, B. F. G. Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni,
Bandung, 1994

15. ______________, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung,
1991

16. Ibrahim, Jhony, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing,
Malang, 2005

17. Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya


Tulis) Penerbit Alumni, Bandung, 2002.

18. Kie, Tan Thong, Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
1994

19. __________, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Penerbit Bina
Cipta, Bandung, tanpa tahun.
20. Lumban Tobing , G. H. S., Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan V, Gelora Aksara Pratama,
Jakarta, 1999.

21. Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta,
2008.

22. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta,


Yogyakarta, 1999.

B. Peraturan Perundang-undangan.
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

8
3. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
4. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
5. Undang-Undang No. 2 tahun 2012, Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
6. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
7. Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1974 Tentang Pendaftaran Tanah
8. Perpres Nomor 71 tahun 2012 tentang Pengadaan tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
9. Peraturan Jabatan Notaris, Staasblad 1860 No. 3

C. Putusan Pengadilan
1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1467/Pdt/2009 Majalah, Jurnal dan
Laporan
2. Mertokusumo, Sudikno, Arti Penemuan Hukum Bagi Notaris, Renvoi, Nomor 12, tanggal 3
Mei 2004.

D. Internet
1. http://www.hukumproperti.com/tag/rechtsverwerking/ di akses pada tanggal 17 Mei 2012.
2. www.hukumonline.com, di akses pada tangga 1 Februari 2013. Muhammad Fajri, Perspektif
Notaris Dalam Pemeriksaan Sidang Pengadilan,(http://www.ptpn5.com), di akses tanggal 1
Februari 2013

Anda mungkin juga menyukai