Anda di halaman 1dari 32

Syekh Siti jenar Versi Damar

Shashangka
Syekh Siti Jenar (Bagian: 1)
Oleh : Damar Shashangka

Konon, Seorang ulama Islam, bernama Syeh Abdul Jalil, datang


ke Jawa dan bermukim di Bukit Amparan Jati ( Daerah Cirebon
sekarang ). Disana, beliau bertemu dengan Syeh Dzatul Kahfi,
seorang ulama sepuh yang sudah lama menetap di Bukit Amparan
Jati. Ulama sepuh inilah guru dari Pangeran Walang Sungsang
dan Dewi Rara Santang, putra-putri dari Prabhu Silih Wangi,
Raja Pajajaran.
Setelah menetap berdekatan dengan Syeh Dzatul Kahfi, Syeh
Abdul Jalil kemudian berpindah ke Carbon Girang. Disana beliau
mendirikan sebuah Pesantren dengan nama KRENDHASAWA. Banyak
yang tertarik dengan ajaran beliau yang bernuansa spiritual
murni. Sama sekali berbeda dengan para ulama-ulama lain yang
juga mengurusi kenegaraan. Sibuk ingin mendirikan Kekhalifahan
Islam.
Di Pesantren Krendhasawa, para santri tidak menemui nuansa
politik seperti itu. Ajaran tassawuf begitu kental. Nuansa
kedamaian sangat terasa.
Kehadiran Syeh Abdul Jalil, menyita perhatian Dewan Wali
Sangha yang berpusat di Ampeldhenta ( Daerah Surabaya sekarang
). Sudah menjadi kesepakatan bersama, seyogyanya, para ulama
yang menetap di Jawa, masuk menjadi anggota Dewan Wali. Syeh
Abdul Jalil tidak menolak ajakan itu. Beliau bersedia masuk
menjadi anggota Dewan Wali Sangha.
Begitu menjadi anggota Dewan Wali, beliau mendapat julukan
Syeh Lemah Abang atau Syeh Ksiti Jenar ( Lemah = Tanah, Abang
= Merah. Ksiti = Tanah, Jenar = Kuning ). Beliau mendapat
gelar seperti itu karena beliau tinggal didaerah Jawa bagian
barat yang terkenal tanahnya berwarna merah kekuning-kuningan,
beda dengan tanah jawa bagian tengah dan bagian timur. Kata
KSITI yang artinya tanah, lama-lama berubah menjadi SITI. Maka
terkenallah beliau dengan sebutan Syeh Siti Jenar atau Syeh
Lemah Abang atau Sunan Kajenar.

Beliau bukan keturunan bangsawan. Kebanyakan, para ulama yang


waktu itu dikenal dengan sebutan Wali, berasal dari kalangan
bangsawan. Sebut saja Sunan Ampel, dia berdarah bangsawan
Champa. Sunan Benang ( lama-lama berubah menjadi Bonang ),
Sunan Darajat ( lama-lama berubah menjadi Drajat ), Sunan
Lamongan, ketiganya putra Sunan Ampel, berdarah bangsawan
Champa dan Tuban ( karena istri Sunan Ampel masih keturunan
Kadipaten Tuban ), begitu juga Sunan Kalijaga ( berdarah
Tuban), Sunan Giri ( berdarah Blambangan ), dll.
Syeh Siti Jenar, tidak berdarah biru. Namun beliau memiliki
‘kecemerlangan’ melebihi para menak berdarah keraton. Mungkin
ini juga yang menjadi salah satu faktor sehingga beliau sama
sekali tidak tertarik dengan tetek bengek urusan perpolitikan,
selain memang ‘kesadaran’ beliau yang benar-benar tinggi.
Konon, Syeh Siti Jenar adalah putra Syeh Datuk Sholeh yang
bermukim di Malaka. Syeh Datuk Sholeh putra dari Syeh Datuk
Isa. Syeh Datuk Isa putra Syeh Khadir Khaelani. Syeh Khadir
Khaelani adalah putra Abdullah Khannuddin. Dan Abdullah
Khannuddin putra Ashamat Khan atau Syeh Abdul Malik, yang
konon tinggal di India sebelah barat yang sekarang wilayah
Pakistan. ( Nah, bisa diketahui kan, kebijaksanaan beliau
berasal dari mana? : Damar Shashangka ).
Namun, status keanggotaan Syeh Siti Jenar didalam Dewan Wali
Sangha tidak-lah berlangsung lama. Sebab, begitu melihat para
ummat Islam yang semula benar-benar murni memperbaiki akhlaq,
lama-lama terpengaruh gerakan militansi Islam yang mulai
digalang oleh Sunan Giri, santri senior Sunan Ampel. Ditambah
lagi, hal serupa juga tengah dilakukan oleh Pangeran
Cakrabhuwana, penguasa Carbon Girang.
Kegiatan-kegiatan ruhani Islami, kini berubah diwarnai dengan
latihan-latihan tempur. Fokus utama memperbaiki diri, kini
berubah menjadi out action, menyalahkan fihak lain. Suasana
damai antara penganut Islam, Hindhu dan Buddha, lama-lama
mulai goncang.
Syeh Siti Jenar tidak menyukai hal ini. Dimana-mana, aksi
sepihak dari ummat Islam membuat suasana menjadi panas.
Penganut Hindhu dan Buddha yang selama ini merasa damai
bersanding dengan penganut agama baru ini, mulai terusik.
Syeh Siti Jenar, melayangkan surat protesnya ke Ampeldhenta.
Namun Sunan Ampel meyakinkan, semua masih wajar dan tidak
berlebihan. Namun, bagi Syeh Siti Jenar, apa yang dikatakan
Sunan Ampel tidaklah sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Ada seorang ulama yang menyuarakan hal serupa, dialah Sunan
Kalijaga. Bersama Syeh Siti Jenar, Sunan Kalijaga mencoba
membendung gerakan-gerakan ummat Islam yang kini berubah
radikal. Mau tidak mau, diam-diam, ummat Islam terpecah
menjadi dua kubu. Kubu yang militan dan merasa dirinya paling
benar karena katanya mengikuti anjuran Al-Qur’an dan Hadist
secara kaffah di dipimpin Sunan Giri, Sunan Giri menyatakan,
siapa saja yang menolak pergerakan ummat Islam yang tengah
gencar-gencarnya saat ini, sama saja menjalankan ajaran
bid’ah. Sunan Giri mengklaim, golongannya adalah golongan
PUTIHAN (Kaum Putih), dan ummat Islam yang tidak sepaham
dengan golongannya, di tuduh sebagai penganut bid’ah, golongan
ABANGAN (Kaum Merah).
Untuk mengukuhkan pengakuannya, pengikut Sunan Giri bahkan
menyebarkan desas-desus bahwa Syeh Siti Jenar adalah seorang
penganut ilmu sihir dari India. ( Jelas diceritakan dalam
Babad Tanah Jawa, Syeh Siti Jenar mencuri dengar wejangan
agama dari Sunan Bonang yang kala itu tengah mewejang Sunan
Kalijaga. Syeh Siti Jenar konon berubah menjadi cacing tanah.
Sunan Benang sendiri yang menambal bagian perahu yang sedikit
berlobang kala hendak berlayar ke tengah laut untuk sekedar
memberikan wejangan rahasia kepada Sunan Kalijaga. Sunan
Benang menambalnya dengan segenggam tanah. Padahal, didalam
tanah yang sudah tergenggam itu, ada Syeh Siti Jenar yang
berwujud cacing. Sunan Benang tahu, tapi dia diam saja. Begitu
selesai mewejang barulah Sunan Benang menyuruh cacing itu
berubah menjadi manusia. Simbolisasi ini sangat jelas sekali,
bahwasanya masuknya Syeh Siti Jenar ke Dewan Wali Sangha
adalah atas prakarsa Sunan Benang, disimbolkan dengan
mengambil tanah berisi cacing. Dan Syeh Siti Jenar dianggap
hanyalah rakyat jelata yang sama dengan cacing. Perahu
melambangkan Dewan Wali. Di bagian jawa sebelah barat, ada
kekosongan pimpinan ummat Islam. Syeh Dzatul Kahfi sudah
sepuh. Pangeran Cakrabhuwana bukanlah seorang ulama, dia
seorang politikus, ( Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati, belum datang ke Cirebon. Dia masih di Mesir. Dengan
datangnya ’sang rakyat jelata Syeh Siti Jenar’, kekosongan
pemimpin agama bisa ditutupi, tak mengapa walau yang mengisi
kekosongan adalah ’seekor cacing’. Cacing ini, rakyat jelata
ini, berubah menjadi manusia atas anugerah Sunan Benang.
Seorang rakyat jelata, kini disegani sederajat dengan para
bangsawan, itu karena andil Sunan Benang. Dan sang cacing ini,
sangat dekat dengan Sunan Kalijaga. : Damar Shashangka )

Simbolisasai ini jelas-jelas muncul dikemudian hari setelah


Syeh Siti Jenar difatwakan sesat oleh Dewan Wali. Ada ungkapan
diskriminatif di Jawa “ Wong ya pancene godhong Krokot,
diunggahna nganti dhuwur ya tetep wae cukule melorot.” (
Namanya juga daun Krokot, walaupun diangkat setinggi mungkin,
tumbuhnya tetep saja melorot kebawah. ) Ungkapan ini biasanya
mencerminkan kekesalan seseorang yang telah berjasa mengangkat
orang lain dari kesengsaraan namun kemudian lupa daratan. Dan
manakala Syeh Siti Jenar, yang dulu bukan apa-apa, dan
dimasukkan ke Dewan Wali oleh Sunan Benang, sehingga
kedudukannya terangkat, namun dikemudian hari berani menentang
Para Wali yang lain, maka kerluarlah ungkapan kekesalan secara
simbolik ini. Namanya saja rakyat jelata, bagaimanapun juga,
tetep saja kelakuannya seperti rakyat jelata, seperti cacing.
Kurang lebih seperti itu.
Padahal, tingkat ’spiritualitas’ seseorang tidak bisa diukur
oleh pangkat dan derajatnya di masyarakat. Para Wali lupa.
Karena mereka memang tengah terfokus pada duniawi. Pada
Kekhalifahan semata. Namun, tidak demikian dengan Sunan
Kalijaga. Sunan Kalijaga, sangat menghormati Syeh Siti Jenar
karena tingkat spiritualitasnya benar-benar tinggi.
Kubu Sunan Giri dan kubu Sunan Kalijaga, tidak pernah sepaham
dimana-mana. Dan manakala Sunan Giri memberontak ke Majapahit
dan ingin mendirikan Kekhalifahan Islam di Jawa, walaupun
lantas bisa dihancurkan oleh Majapahit, Syeh Siti Jenar,
menyampaikan protes keras. Bahkan beliau kemudian menyatakan,
keluar dari Dewan Wali Sangha.
Pada tahun 1475, Syarif Hidayatullah bersama ibunya Syarifah
Muda’im, datang dari Mesir ke Cirebon. Syarifah Muda’im adalah
nama muslim Dewi Rara Santang. Dia adalah adik kandung
Pangeran Cakrabhuwana, penguasa Carbon Girang.
Mendengar kedatangan Syarif Hidayatullah, Sunan Giri segera
mengirim utusan untuk memintanya bergabung bersama Dewan Wali
Sangha yang berpusat di Ampeldhenta. Syarif Hidayatullah
menyetujuinya. Lantas dia dikenal dengan nama Sunan Gunung
Jati. Dengan adanya Sunan Gunung Jati, kekosongan kepemimpinan
Islam di jawa bagian barat yang semula di jabat Syeh Siti
Jenar, tertutupi sudah.
Maka kini, ada dua kekuatan besar di Cirebon. Satu Syeh Siti
Jenar dan yang kedua Sunan Gunung Jati.
Pada awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Pimpinan Dewan Wali
Sangha berpindah ke tangan Sunan Giri. Hubungan Syeh Siti
Jenar dan Sunan Giri yang selama ini terkenal tidak bagus,
begitu kepemimpinan Dewan Wali berganti, maka hubungan ini
semakin meruncing.
Bahkan, manakala terdengar bahwa Syeh Siti Jenar, mengajarkan
Ilmu Tassawwuf tingkat tinggi kepada murid-muridnya, yang
sesungguhnya semua wali juga paham akan Ilmu tersebut, oleh
Sunan Giri, hal itu dijadikan alasan untuk mencari-cari
kesalahan Syeh Siti Jenar.
Syeh Siti Jenar, dipanggil menghadap ke Giri Kedhaton. Dan
kisahnya tercatat dalam Pupuh ( Bait-Bait ) Tembang Jawa
seperti dibawah ini :
Sinom
Pagurone Syeh Lemah Bang,
Wejangane tanpa rericik,
Lan wus atinggal sembahyang,
Rose kewala liniling,
Meleng tanpa aling-aling,
Wus dadya Paguron Agung,
Misuwur kadibyannya,
Denira talabul’ilmi,
Wus tan beda lan sagunging aulia.

Sangsaya kasusreng janma,


Akeh kang amanjing murid,
Ing praja praja myang desa,
Malah sakehing ulami,
Kayungyun ngayun sami,
Kasoran kang Wali Wolu,
Gunging Paguronira,
Pan anyuwungaken masjid,
Karya suda kang amrih agama mulya.
Santri kathah keh kebawah,
Mring Lemah Bang manjing murid,
Ya ta Sang Syeh Siti Jenar,
Sangsaya gung kang andasih,
Dadya imam pribadi,
Mangku sa-reh bawahipun,
Paguroning Ilmu Khaq,
Kawentar prapteng nagari,
Lajeng karan Sang Pangeran Siti Jenar.
Satedhaking Majalengka,
Kalawan dharahing Pengging,
Keh prapta apuruhita,
Mangalap kawruh sejati,
Nenggih Ki Ageng Tingkir,
Kalawan Pangeran Panggung,
Buyut Ngerang Ing Betah,
Lawan Ki Ageng Pengging,
Samya tunggil paguron mring Siti Jenar.
Ing lami-lami kawarta,
Mring Jeng Susuhunan Giri,
Gya utusan tinimbalan,
Duta wus anandhang weling,
Mangkat ulama’ kalih,
Datan kawarna ing ngenu,
Wus prapta ing Lemah Bang,
Duta umarek mangarsa,
Wus apanggih lan Pangeran Siti Jenar.
Nandukken ing praptaning,
Dinuteng Jeng Sunan Giri,
Lamun mangkya tinimbalan,
Sarenga salampah mami,
Wit Jeng Sunan miyarsi,
Yen paduka dados guru,
Ambawa Imam Mulya,
Marma tuwan den timbali,
Terang sagung ing pra Wali sadaya.
Prelu musyawaratan,
Cundhuking masalah ilmi,
Sageda nunggil seserepan,
Sampun wonten kang sak serik,
Nadyan mawi rericik,
Apralambang pasang semu,
Sageda salingsingan,
Pangeran Siti Jenar angling,
Ingsun tinimbalan Sunan Giri Gajah.
Apa tembunge maring wang,
Ature duta kekalih,
Inggih maksih Syeh Lemah Bang,
Pangeran Siti Jenar angling,
Matura Sunan Giri,
SYEH LEMAHBANG YEKTINIPUN,
ING KENE ORA ANA,
AMUNG PANGERAN SEJATI,
Langkung ngungun duta kalih duk miyarsa.
Andikane Syeh Lemah Bang,
Wasana matus aris,
Kados pundi karsandika,
Teka makaten kang galih,
Wangsulan kang sayekti,
Pangeran ngandika arum,
Sira iku mung saderma,
Aja nganggo mamadoni,
INGSUN IKI JATINING PANGERAN MULYA.
Duta kalih lajeng mesat,
Lungane datanpa pamit,
Sapraptaning Giri Gajah,
Marek ing Jeng Sunan Giri,
Duta matur wot sari,
Dhuh pukulun Jeng Sinuhun,
Amba sampun dinuta,
Animbali Syeh Siti Brit,
Aturipun sengak datan kanthi nalar.
Terjemahan :
Perguruan Syeh Lemah Bang,
Wejangannya tanpa menggunakan perlambang ( simbolisasi dan
langsung ke inti sarinya ilmu ),
Sholat syari’at tidak dipentingkan,
Inti sarinya saja yang dihayati,
Sangat gamblang, jelas dan tidak ditutup-tutupi lagi,
Sudah menjadi Perguruan Besar,
Terkenal kehebatannya,
Kedalaman Ilmu beliau,
Sudah tak ada beda dengan para Aulia.
Semakin terkenal ditengah masyarakat,
Banyak yang datang menjadi murid,
Berasal dari kota sampai ke pelosok pedesaan,
Bahkan banyak para ulama,
terpikat dan masuk menjadi pengikut,
Kalahlah Delapan Wali yang lain,
Karena kebesaran perguruannya,
Masjid para wali ditinggalkan,
Membuat surut pengikut para Wali yang katanya membawa agama
paling mulia.
Banyak para santri yang menjadi pengikut,
Menjadi murid Syeh Lemah Bang,
Adapun Sang Syeh Siti Jenar,
Semakin banyak yang mencintai,
Beliau menjadi Imam tunggal,
Jadi panutan para murid,
Perguruannya mengajarkan Ilmu Khaq ( Ilmu Sejati ),
Terkenal diseluruh wilayah negara,
Beliau mendapat sebutan,
Sang Pangeran Siti Jenar.
Seluruh keturunan Majalengka ( Majapahit ),
Termasuk keturunan dari Pengging,
Banyak yang terpikat oleh beliau,
Datang menimba ilmu pengetahuan sejati,
Seperti Ki Ageng Tingkir,
Juga Pangeran Panggung,
Buyut Ngerang dari daerah Butuh,
serta Ki Ageng Pengging,
Menjadi satu paham dengan beliau.
Lama-lama terdengar juga,
Oleh Kangjeng Susuhunan Giri,
Beliau segera memanggil utusan,
Sang duta sudah mendapatkan pesan yang harus disampaikan,
Berangkatlah dua orang ulama,
Tidak diceritakan di perjalanan,
Sudah sampai di Lemah Bang,
Sang duta mendekat dihadapan,
Setelah bertemu langsung dengan Pangeran Siti Jenar.
Menyampaikan maksud kedatangannya,
Diutus Jeng Sunan Giri,
Bahwasanya Pangeran Siti Jenar diharapkan menghadap,
Berangkat bersama kami,
Sebab Jeng Sunan Giri telah mendengar,
Bahwasanya paduka ( Pangeran Siti Jenar ) telah menjadi Guru
Agung,
Menjadi Imam Mulia,
Oleh karena itu tuan dipanggil,
Untuk bermusyawarah menyelesaikan kesalah pahaman dengan Para
Wali semua.
Berembug untuk menyatukan pemahaman,
Supaya tidak terjadi perpecahan,
Agar tercapai kesepahaman,
Jangan sampai timbul fitnah,
Walaupun Ilmu yang diajarkan memakai metode berbeda,
menggunakan kata-kata kiasan dan perlambang,
Intisari-nya jangan sampai berbeda makna,
Pangeran Siti Jenar berkata,
Aku dipanggil Sunan Giri Gajah,
( Sunan Giri Gajah, salah satu nama lain Sunan Giri Kedhaton.
Ada cerita simbolik mengenai hal ini.Konon, Sunan Giri tengah
menggendong anaknya yang terus-terusan menangis. Karena tak
juga berhenti, maka Sunan Giri menyabda sebuah batu menjadi
gajah. Melihat batu berubah menjadi gajah. Anak Sunan Giri
diam tangisannya. Namun, gajah tersebut kemudian berubah
menjadi batu lagi Simbolisasinya, Sunan Giri didesak oleh para
ulama-ulama yang lain untuk segera membentuk Kekhalifahan
Islam. Sunan Giri menurutinya. Dan, diamlah desakan-desakan
itu. Walaupun ternyata, kebesaran Giri Kedhaton yang seumpama
besarnya seekor gajah, ternyata hanya sekejap saja. : Damar
Shashangka )
Apa panggilan Sunan Giri kepadaku?,
Kedua duta menjawab,
Beliau memanggil Syeh Lemah Bang,
Pangeran Siti Jenar berkata,
Katakan kepada Sunan Giri,
SYEH LEMAH BANG SESUNGGUHNYA,
DISINI TIDAK ADA,
YANG ADA PANGERAN SEJATI ( TUHAN YANG SESUNGGUHNYA ),
Terkejut keheranan kedua duta.
Mendengar kata-kata Syeh Lemah Bang,
Lantas berkata,
Bagaimana maksud anda ?
Sampai bisa berkata demikian?
Tolong berikan penjelasan kepada kami,
Pangeran Siti Jenar berkata lembut,
Kalian hanyalah utusan,
Jangan membantah,
INGSUN (AKU) INI SESUNGGUHNYA PANGERAN MULYA ( TUHAN YANG MAHA
MULIA ).
Kedua utusan lantas keluar,
Pergi tanpa berpamitan,
Sesampainya di Giri Gajah,
Mendekat kepada Jeng Sunan Giri,
Utusan menghaturkan hasil tugasnya dari awal sampai akhir,
Dhuh Yang sangat kami hormati dan yang menjadi junjungan kami,
Kami sudah tuan utus,
Memanggil Syeh Siti Brit ( Brit ; Merah ),
Jawaban beliau memanaskan telinga dan tidak memakai nalar.
( Bersambung )

Sejarah Ma’arif Cilacap


Pimpinan Cabang Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Cilacap Dalam
Lintasan Sejarah Periode Rintisan Pertama

Pada tahun 1980 an di Kabupaten Cilacap, khususnya warga


nahdiyyin belum memiliki wadah lembaga pendidikan yang
berhaluan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja).

Sekolah/Madrasah masih berdiri sendiri-sendiri di bawah


pengelolaan masing-masing yayasan. Sementara masyarakat
nahdiyin memiliki ghirah yang tinggi terhadap peningkatan
taraf pendidikan umatnya. Maka sangat didambakan akan
berdirinya sebuah lembaga pendidikan yang berhaluan Aswaja
yang dapat menaungi sekolah-sekolah/madrasah dan medukung
peningkatan pendidikan.

Atas dasar pemikiran tersebut, seorang tokoh pendidikan dari


kalangan nahdiyin H. Bunyamin, B.A, mempunyai gagasan dan
inisiatif tentang pendirian lembaga pendidikan yang diperlukan
masyarakat. Oleh karena itu, tepatnya pada hari Rabu Pahing,
15 Januari 1986, bertepatan dengan 04 Jumadil Ula 1406, beliau
mendirikan lembaga pendidikan yang berhaluan Aswaja, untuk
menaungi sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah di lingkungan
NU, yaitu Pengurus Cabang Lembaga Pendidikan Ma’arif NU
Cilacap, di Maos Kidul Jalan Penatusan, Kecamatan Maos,
Kabupaten Cilacap di bawah pimpinan serta Ketua Pertama adalah
H. Bunyamin, B.A, sendiri.

Pendirian lembaga pendidikan ini mendapat respon yang luar


biasa dari masyarakat sekitar. Semakin meningkatnya pengakuan
dari masyarakat sekitar, dipandang perlu meningkatkan status
dengan mendapatkan legalitas dari organisasi induk agar
mendapatkan legalitas pula dari pihak pemerintah sebagai
sebuah lembaga pendidikan yang diakui secara hukum. Karena
lembaga pendidikan yang berhaluan Aswaja dan memiliki hubungan
yang erat dengan Nahdlatul Ulama, maka meminta pengakuan dari
PP Ma’arif sebagai salah satu Lembaga di NU yang mengurusi
bidang pendidikan di tingkat pusat, untuk menjadi Pengurus
Cabanag Lembaga Pendidikan Maarif NU Cilacap yang ada dibawah
naungan PP LP Ma’arif Nahdlatul Ulama.

Pengakuan ini diterima yang selanjutnya PC LP Ma’arif NU


Cilacap adalah salah satu Lembaga Pendidikan yang memiliki
akte dibawah PP LP Ma’arif Nahdlatul Ulama sejak tanggal 15
Januari 1986. Maka lengkaplah sudah PC LP Ma’arif NU Cilacap
dengan mendapatkan pengakuan dari masyarakat dan resmi menjadi
sebuah Pimpinan Cabang Lembaga Pendidikan dibawah Pengawasan
PP LP Ma’arif Nahdlatul Ulama serta dalam naungan Nahdlatul
Ulama.
Sebagai Pimpinan Cabang Lembaga Pendidikan Ma’arif NU di
Kabupaten Cilacap, berpindah lokasi di Jl. Masjid I No. 36
Cilacap hingga sekarang. Semakin majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi informatika dan Semakin majunya Lembaga Pendidikan
PC LP Ma’arif NU Cilacap terus mengembangkan menejemen yang
lebih efektif, efisien yang berbasis IT dan karena pentingnya
membuat lini organisasi yang aktif dan mampu merepresentasikan
cita-cita NU dan secara aktif melibatkan diri dalam gerakan-
gerakan social keagamaan untuk memberdayakan umat.
Pada kesempatan ini secara singkat juga kami kemukakan urutan
nama-nama ketua PC LP Maarif NU Cilacap dari periode 1-5
adalah, H. Bunyamin B. A, Drs. H. Mubasir Ismail, H. Jamaludin
Ashar B.A, Drs. KH. Wasrof Wahyudin dan Munirianto, M.M. MPd,
Pada periode 2012-2017, PC LP Ma’arif NU Cilacap menyadari
bahwa lembaga ini merupakan aparat departemen PC NU Cilacap
yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan-kebijakan
pendidikan secara institusional dan memberikan fasilitas serta
pelayanan dalam mendirikan satuan-satuan pendidikan mulai dari
tingkat dasar dan menengah baik yang bernaung di bawah
Departemen Pendidikan Nasional RI (dulu Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI) maupun Departemen Agama RI.

Hingga saat ini lembaga pendidikan PC LP Ma’arif NU Cilacap


yang tersebar di seluruh Kabupaten Cilacap, mulai dari TK,
SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK cukup banyak. Tentang jumlah
pastinya dan keberadaan masing-masing lembaga masih dalam
proses pendataan.

Memasak dan mengurus rumah


itu kewajiban suami
Siapa bilang memasak dan mengurus rumah tangga itu kewajiban
seorang istri? Itu adalah persepsi yang salah. Setidaknya,
kalaupun itu betul, itu hanyalah tradisi orang Indonesia, yang
menganggap bahwa kewajiban seorang Istri adalah “Dapur, Sumur,
Kasur.” Mengapa? Karena dalam Islam menafkahi adalah kewajiban
seorang suami, bukan istri! Tak ada satupun keterangan bahwa
menafkahi itu adalah kewajiban seorang istri. Jadi, dari sini
saja sudah ada yang harus diluruskan.
Nah, menafkahi itu apa?
Pertama, memberi tempat bernaung yang layak. Merangkap di
dalamnya merawat rumah hingga tetap nyaman untuk ditempati.
Jadi, kalau rumah berantakan, suamilah yang wajib membersihkan
dan merapikannya. Kalau ada piring kotor dan sampah menumpuk,
tugas suamilah untuk membersihkan dan menjaganya tetap bersih.
Kenapa? Karena itu bagian dari menafkahi!
Kemudian, tugas selanjutnya adalah memberikan pakaian yang
layak, termasuk di dalamnya merawat pakaian agar tetap layak
pakai. Jadi, kalau pakaian istri sudah kotor, suamilah yang
harus mencucinya. Kalau lusuh, ialah yang harus menyetrikanya.
Kenapa? Karena itu bagian dari menafkahi!
Kemudian, tugas selanjutnya adalah memberikan makanan yang
halal dan thayyib kepada istrinya. Itu artinya halal, enak,
sehat dan bergizi. Termasuk di dalamnya belanja kebutuhan
sehari-hari, lalu memasak dan menghidangkan makanan untuk
istrinya. Kenapa? Karena itu bagian dari menafkahi!
Lalu, mengurus anak juga adalah tugas dari suami. Seorang ibu
bahkan berhak untuk berhenti menyusui anaknya jika ia merasa
berat dan kepayahan. Dan ayahnya hendaknya mencarikan seorang
ibu susu untuk si bayi jika ingin menyempurnakan masa
persusuannya.
Anda tidak percaya? Saya kutipkan satu ayat di surat Al
Baqarah: 233
Wa ‘alal mauluudi lahu rizquhunna wakiswa tuhunna bilma’ruufi
Yang maknanya, “… dan kewajiban ayahlah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf…”
Ini hanyalah satu contoh ayat yang menegaskan bahwa kewajiban
suamilah semua tugas rumah tangga itu, meliputi di dalamnya
membersihkan dan merawat rumah, memasak, mencuci, mengurus
anak, dan yang semisalnya….
Lalu, apa dong tugas seorang istri?
Dalam rumah tangga, tugas istri sebetulnya hanya satu, dan itu
sangat mudah: nurut sama suami!

Jadi, jika istri disuruh memasak, ia harus nurut!


Disuruh mencuci pakaian, ia harus nurut!
Disuruh membereskan rumah, ia harus nurut!
Disuruh mengurus anak, ia harus nurut!
Nah, Lho…?!

Mohon maaf sebelumnya. Ini memang sebuah guyonan, tapi


esensinya adalah kebenaran. Di sinilah Islam mengajarkan
prinsip keadilan serta keseimbangan. Mengangkat wanita pada
derajat yang semestinya dan mendidik setiap suami untuk
bertanggung jawab. Menikah bukanlah sekedar saling menuntut
hak, tetapi juga berbagi kasih sayang.
Seorang suami yang sadar bahwa istrinya telah mengerjakan
semua tugas dan tanggung jawabnya, akan menjadikan sang suami
menghormati dan makin menyayangi istrinya itu. Siapa lagi yang
lebih dermawan dari seorang istri yang mengerjakan tugas-tugas
suaminya tanpa meminta bayaran sedikitpun? Padahal itu bukan
tugasnya sama sekali, dan secara aturan ia berhak meminta
bayaran atas pekerjaannya itu.
Pemahaman semacam itu akan menjadikan suami bersungguh-sungguh
dalam bekerja serta menafkahi keluarganya, karena ia tahu
bahwa di rumahnya seseorang yang berhati mulia telah
menantinya dengan penuh kerinduan. Sungguh Allah akan meliputi
mereka dengan barokah serta kasih sayang.
Dan seorang istri yang bersungguh-sungguh melaksanakan
pekerjaan rumah tangganya dengan penuh keikhlasan, telah
menjadi manusia paling mulia dengan mengerjakan tugas yang
seharusnya dikerjakan suaminya. Semuanya ia lakukan atas dasar
cinta dan ketaatan, dan pemahaman bahwa dalam pernikahan
semuanya adalah tentang berbagi dan tolong menolong. Setiap
pekerjaan yang ia lakukan dengan ikhlas akan dibalas oleh
Allah dengan balasan yang berlipat-lipat ganda.
Inilah yang seharusnya senantiasa kita terapkan dalam
kehidupan rumah tangga kita. Saling menghargai dan
mengingatkan dalam kebaikan. Allah mengingatkan kita dengan
firmannya di surat Al Baqarah:237,
Yang maknanya, “dan janganlah saling melupakan keutamaan di
antara kalian! Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang
kalian kerjakan.”

Wallahu A’lam

Sumber:
https://sisableng.wordpress.com/2009/11/28/memasak-dan-menguru
s-rumah-itu-kewajiban-suami/

AL-Qur’an Digital

Al-Qur’an Digital + (e-book)

Al Battani Penemu Jumlah Hari


Al-Battani – Penemu Jumlah Hari dalam Setahun. Jumlah hari
dalam setahun adalah 365 hari. Bagaimana jumlah ini bisa
diperoleh, dan siapakah orang yang pertama kali menemukannya?
Apakah penentuan jumlah itu asal-asalan saja atau dengan
memperhitungkan banyak hal? Kenapa harus 365 hari, tidak
dibuat 500 atau 1000 hari saja supaya mudah untuk diingat?
Tentu anda penasaran, bukan???

Al-Battani adalah nama seorang ilmuwan yang disebut-sebut


berjasa menemukan hitungan jumlah hari dalam setahun. Nama
lengkap Al-Battani adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Jabir ibn
Sinan Al-Battani. Orang Eropa menjuluki Al-Battani dengan
sebutan Albategnius. Ia lahir pada tahun 858 M di dekat kota
Battan, Harran. Ia dikenal sebagai ahli astroomi dan
matematika terbesar di dunia pada abad pertengahan.

Al-Battani

Al-Battani belajar astronomi dan matematika dari ayahnya,


Jabir Ibnu Sin’an. Kemudian melanjutkan studinya untuk
memperdalam kedua disiplin ilmu tersebut di kota Rakka, di
tepi sungai Efrat. Pada akhir abad sembilan, Al-Battani pindah
ke Samarra untuk bekerja hingga meninggal dunia tahun 929 M.

Al-Battani berhasil menghitung jumlah hari dalam setahun


(dalam tahun masehi) berdasarkan penghitungan waktu yang
digunakan bumi untuk mengelilingi matahari, yakni 365 hari, 5
jam, 46 menit, dan 24 detik. Jadi, penentuan jumlah hari dalam
setahun bukanlah asal-asalan saja, melainkan berdasarkan
perhitungan yang cermat dan matang. Kita tidak bisa
sembarangan menentukannya, karena sistem kalenderium itu juga
berguna untuk meramal atau menentukan musim.

Perubahan musim ditentukan oleh posisi matahari terhadap bumi.


Pada bulan mei misalnya, matahari berada di utara
khatulistiwa. Angin bergerak dari selatan (yang dingin) menuju
utara (yang lebih panas) melewati gurun Australia yang kering.
Akibatnya, setiap bulan Mei, di Indonesia terjadi musim
kemarau. Kalau perhitungannya tidak tepat, peramalan musim
juga keliru. Misalnya, pada bulan mei, tidak selalu juga
terjadi kemarau.

Hasil perhitungan Al-Battani di atas mendekati perhitungan


menggunakan peralatan canggih yang digunakan para ilmuwan di
abad ini. Sebagai ilmuwan astronomi, Al-Battani banyak menulis
buku tentang astronomi dan trigonometri, termasuk sistem
perhitungan almanak dan kalenderium seperti yang diulas di
atas. Almanak yang diciptakan oleh Al-Battani diakui merupakan
sistem perhitungan astronomi yang paling akurat, yang sampai
kepada kita sejak abad pertengahan. Pada abad pertengahan,
orang-orang Eropa menggunakan sistem ini sampai abad
pencerahan.

Dalam pembukuan Almanak, Al-Battani berkata “Ilmu astronomi


merupakan bagian dari ilmu dasar yang sangat bermanfaat.
Melalui ilmu astronomi, manusia mengetahui hal-hal penting.
Dilihat dari manfaat dan kegunaannya dalam kehidupan manusia,
astronomi menjadi ilmu yang sangat penting untuk diketahui”.

Pada tahun 1899, di kota Roma dicetak sebuah buku berjudul Az-
Zaujush Shabi li Batani (Almanak versi Al-Battani) yang
disunting oleh Carlo Nallino dari manuskrip yang disimpan di
perpustakaan Oskorial, Spanyol. Karya lain Al-Battani yang
terkenal adalah Syarh al-Makalat al-Arba’I li Batlamius. Karya
ini berisi uraian dan komentar tajam terhadap pemikiran
Ptolemy yang tertuang dalam “Tetrabilon” nya.

Al-Battani mengubah teori Ptolemy, serta meralat perhitungan


orbit bulan dan beberapa planet. Dia membuktikan bahwa orbit
benda langit berbentuk elips, dan membuktikan perubahan posisi
matahari menjadi penyebab perubahan musim. Ilmuwan Eropa,
Duntho (1749 M), memanfaatkan penemuan Al-Battani tentang
orbit elips dari benda langit untuk memetakan pergerakan
bulan.

Sementara penemuan Al-Battani dibidang trigonometri, termasuk


konsep sinus, kosinus, tangen, dan kotangen, masih digunakan
hingga saat ini. Al-Battani meninggal dunia pada tahun 929 M.

Referensi
: http://70penemu.blogspot.com/2012/02/al-battani-penemu-jumla
h-hari-dalam.html#axzz3J1YPsmod

Seratus Tokoh Berpengaruh


File ini hasil kompilasi dari situs Islam media.isnet.org
Kompilasi menjad file zip/chm : Pakdenono – www.pakdenono.com

oleh Michael H. Hart

100 tokoh

Siapakah yang paling berpengaruh dalam sejarah? Hart menyusun


daftar urut (peringkat) seratus tokoh dengan argumentasi yang
meyakinkan, tetapi juga mengundang perdebatan.

Apa alasan Hart menempatkan Nabi Muhammad pada peringkat


pertama? Mengapa pula Nabi Isa menempati peringkat ke-3,
sedangkan Isaac Newton peringkat ke-2, John F. Kennedy
termasuk ke dalam seratus tokoh, tetapi mengapa Mahatma Gandhi
tidak? Siapa yang lebih berpengaruh, Karl Marx atau Kong Hu-
Cu? `Umar bin Khattab atau Alexander yang Agung?
Seratus Tokoh penuh dengan argumentasi, penuh pula dengan
humor, diterjemahkan dengan gaya kocak Mahbub Djunaidi.
Download ebook – CHM format – 1,2 MB

Download Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah


[ebook]

DOWNLOAD (mediafire)

Orang yang Pandai


‫ان اﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ اﻟﺬى أرﺳﻞ رﺳﻮﻟﻪ ﺑﺎﻟﻬﺪى ودﻳﻦ اﻟﺤﻖ ﻟﻴﻈﻬﺮه ﻋﻠﻰ اﻟﺪﻳﻦ‬
.‫ أرﺳﻠﻪ ﺑﺸﻴﺮا وﻧﺬﻳﺮا وداﻋﻴﺎ اﻟﻰ اﻟﻠﻪ ﺑﺎذﻧﻪ وﺳﺮاﺟﺎ ﻣﻨﻴﺮا‬.‫ﻛﻠﻪ‬
.‫ ﺷﻬﺎدة اﻋﺪﻫﺎ ﻟﻠﻘﺎﺋﻪ ذﺧﺮأ‬.‫أﺷﻬﺪ ان ﻻ اﻟﻪ اﻻ اﻟﻠﻪ وﺣﺪه ﻻ ﺷﺮﻳﻚ ﻟﻪ‬
‫ اﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ وﺳﻠﻢ‬.‫ ارﻓﻊ اﻟﺒﺮﻳﺔ ﻗﺪرا‬.‫واﺷﻬﺪ ان ﻣﺤﻤﺪا ﻋﺒﺪه و رﺳﻮﻟﻪ‬
‫ أﻣﺎ‬.‫وﺑﺎرك ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ وﻋﻠﻰ أﻟﻪ وأﺻﺤﺎﺑﻪ وﺳﻠﻢ ﺗﺴﻠﻴﻤﺎ ﻛﺜﻴﺮا‬
‫ ﻓﻴﺎأﻳﻬﺎ اﻟﻨﺎس اﺗﻘﻮاﻟﻠﻪ ﺣﻖ ﺗﻘﺎﺗﻪ وﻻﺗﻤﻮﺗﻦ اﻻ وأﻧﺘﻢ ﻣﺴﻠﻤﻮن‬.‫ﺑﻌﺪ‬.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Pada kesempatan ini pertama-tama khatib ingin mengajak diri


khotib dan jama’ah semua untuk meningkatkan taqwa.
Sesungguhnya taqwa itu Bermula dari mengindar larang-
larangannya.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Teringat ketika kita masih kecil, maka orang tua kita sering
mendoakan kita menjadi orang yang pandai atau pintar. Memang
kepandaian merupakan satu hal yang menjadi tolok ukur
kesuksesan seseorang. Tapi apakah kepandaian itu? Mungkin dari
kita ada yang menghitung berdasarkan IQ. Tapi kasihan juga
orang yang ditakdirkan dilahirkan dengan IQ yang rendah,
mereka tidak akan pernah menjadi orang pintar. Bahkan
kepintaran dijadikan iklan obat anti masuk angin.
Yang menarik dalam Islam, kepandaian itu dapat diraih oleh
setiap orang, walaupun IQ nya tidak tinggi. Dalam sebuah
hadits, Rasulullah SAW bersabda:

“Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi)


dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah
kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya
mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah
SWT.” (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah
hadits hasan’)

Jadi ada dua parameter orang yang pandai yaitu orang yang
sering bermuhasabah dan melakukan amal untuk persiapan setelah
meninggal.

Muhasabah
Muhasabah dari kata hisab yang berarti perhitungan atau
melakukan evaluasi. Kesibukan aktifitas kita terkadang
melupakan kita untuk mengevaluasi sejauh mana progres
aktifitas dan menilik hal apa yang kurang dan perlu
diperbaiki. Padahal evaluasi itu perlu dilakukan, agar kita
bisa bernafas dan menata ulang kehidupan kita.
Al Quran menyuruh kita untuk muhasabah [QS. Al-Hasyr 18]:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan


hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”
Sahabat Umar r.a. berkata:
”Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab,
dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar
(yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan
pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya
di dunia.”

Pernyataan sahabat Umar r.a. diatas bermakna bahwa semakin


sering kita melakukan muhasabah maka semakin lebih sering
memperbaiki diri dan semakin ringan hisab di yaumil akhir.
Oleh karena itu, muhasabah bisa dilakukan tiap hari, pekanan,
bulanan atau tahunan.
Muhasabah tidak hanya bermanfaat untuk akhirat tapi juga untuk
kehidupan dunia. Bill Gates, seorang milyuner, selalu
menyempatkan untuk beristirahat seminggu atau “think week”
dalam enam bulan sekali dari kepenatan di perusahaannya,
Microsoft. Dia akan beristirahat disuatu tempat yang sunyi dan
membaca buku sekitar 18 jam sehari. Dari kesempatan untuk
berkontemplasi tersebut, muncul ide-ide segar dalam
pengembangan software.

Beramal untuk Bekal


Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci kesuksesan
yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya setelah
evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan
oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas
dengan ’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’
Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah saw.
langsung setelah penjelasan tentang muhasabah. Karena
muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak
lanjut atau perbaikan.
Orang yang pandai bukan hanya bisa bekerja atau mengumpulkan
harta, tetapi orang yang juga beramal sholeh untuk hari
kemudian. Orang tersebut akan sibuk beraktifitas dan juga
berinfaq atau membantu sesama agar mendapatkan pahala di hari
akhir. Dalam surat Al Qashash 77, Allah SWT berfirman:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu


(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.”

Bahkan dalam ayat ini disebutkan keutamaan terhadap bekal di


dunia, dengan tidak melupakan kebahagiaan di dunia. Beginilah
pola hidup yang patut ditiru sehingga terjadi keseimbangan
dalam kehidupan kita agar kebahagiaan di dunia dan akhirat
bisa diraih.
Secara ringkas, kepandaian yang hakiki dapat dicapai oleh
setiap orang. Kepandaian itu dapat digapai dengan melakukan
muhasabah secara berkala dan beramal untuk kehidupan di dunia
dan akhirat.

Semoga kita mendapatkan petunjuk dari Allah SWT untuk menjadi


seorang muslim yang pandai.

Demikianlah khotabah kali ini semoga bermanfaat bagi kita


semua. Amin ya rabbal ‘aalamiin

ِ‫ﺑ َﺎر َك َ اﻟﻠﻪُ ﻟِﻲ ْ وَﻟَﻜ ُﻢْ ﻓ ِﻲ ْ اْﻟﻘُﺮ ْآنِ اْﻟﻌَﻈ ِﻴ ْﻢ‬
ِ‫وَﻧَﻔَﻌَﻨِﻲ وَإﻳَّﺎﻛ ُﻢْ ِﺑﻤَﺎ ِﻓﻴ ْﻪِ ﻣِﻦ َ اْﻵﻳﺎَت‬
ُ‫وَاﻟﺬﻛ ْﺮ ِاﻟْﺤ َﻜ ِﻴ ْﻢِ وَﺗَﻘَﺒَّﻞ َ ﻣِﻨِّﻲ وَﻣِﻨْﻜ ُﻢْ ﺗِﻼ َوَﺗَﻪ‬
ُ‫إﻧَّﻪُ ﻫُﻮَ اﻟﺴ َّﻤِﻴ ْﻊُ اْﻟﻌَﻠِﻴ ْﻢ‬

Unduh,

Orang yang Pandai

Imam Syafi’i

Imam Syafi’i

1. Tempat Lahir, Silsilah Perjalanan Hidup Imam Syafi’i


Imam Syafi’i adalah imam ketiga dari empat mazhab menurut
urutan kelahirannya. Beliau adalah “Nashirul Hadits,” pembela
hadits dan “mujaddid”, pembaharu abad kedua hijriyah.1.

Menurut kebanyakan ahli sejarah bahwa Syafi’i dilahirkan di


Ghaza, Palstina, tahun 150 H (767 M). namun ada yang
mengatakan lahir di Asqalan, yaitu daerah yang kurang lebih 3
farsakh (8 km atau 3,5 mil) dari Ghaza, dan perjalanan dua
tiga hari dari Baitul Maqdis. Ada juga yang mengatakan lebih
jauh dari itu yaitu di Yaman.

Imam Nawawi berkata, “Menurut jumhur, Syafi’i lahir di Ghaza.”


Diriwayatkan bahwa Syafi’i lahir pada malam hari bertepatan
dengan wafatnya Abu Hanifah. Jika riwayat ini benar, maka itu
adalah kejadian
yang menakjubkan, yakni lahirnya seorang imam bertepatan pada
wafatnya imam yang lain.

Nama lengkap beliau adalah Abu Adbullah Muhammad bin Idris bin
Abas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’id bin Ubaidillah bin Abi
Yazid bin Hasyim bin Mutlalib bin Abdul Manaf. Ibunya bernama
Fathimah
binti Abdullah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Asy-Syafi’i lahir di tengah-tengah keluarga miskin. Ayahnya


meninggal ketika beliau masih kecil. Kemudian ibunya
membawanya ke Mekkah. Ia hidup sebagai anak yatim yang fakir
dari keturunan bangsawan
tinggi, keturunan yang paling tinggi di masanya, Asy-Syafi’i
hidup dalam keadaan sangat sederhana. Namun, kedudukannya
sebagai putra bernasab mulia menyebabkan ia terpelihara dari
perangai buruk, selalu berjiwa
besar, dan tidak menyukai kehinaan diri.

Pada usia 2 (dua) tahun imam Syafi’i dibawa ibunya ke Mekkah


dari Guzzah yang merupakan tanah tumpah darah asli bagi nenek
moyang imam Syafi’i. Pada usia yang relatif muda imam Syafi’i
telah mampu
menghafal al-Qur’an. Disamping kecerdasannya dalam menghafal
alQur’an ia juga rajin menghafal al-Hadits yang ia dengar.
Kemudian dicatat dan dibukukan dalam percetakan sehingga ia
dikenal sebagai orang yang
cinta ilmu dan ahli hadits.

Imam Syafi’i hidup di tengah-tengah masyarakat Mekkah kemudian


pindah ke kota Madinah. Kedua kota ini adalah bumi Hijaz yang
merupakan tempat perbendaharaan sunnah (Hadits). Kota ini
tidak begitu
ramai dengan berbagai kebudayaan sebagaimana kota-kota
lainnya.

Kesederhanaan tatanan masyarakat tidak banyak menimbulkan


problematika kehidupan masyarakat, dan untuk menyelesaikan
masalah pun langsung mendasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits,
maka wajar lah
apabila imam Syafi’i ini lebih cenderung pada aliran Hadits.

Pada awalnya Imam Syafi’i cenderung kepada syair, sastra dan


belajar bahasa Arab sehari-hari. Tapi dengan demikian Allah
justru menyiapkannya untuk menekuni fiqh dan ilmu pengetahuan.
Terdapat
beberapa riwayat yang menyebabkan Imam Syafi’i seperti itu
diantaranya adalah :

Suatu hari, di masa mudanya ketika ia berada di atas


kendaraan. Di belakangnya terdapat sekretaris Abdullah Al-
Zubairi. Lalu Syafi’i membuat perumpamaan dengan sebuah syair.
Maka sang sekretaris itu
memukulkan cambuknya layaknya seorang pemberi nasehat dan
berkata, “Orang seperti anda mencampakkan kepribadiannya
seperti ini? Bagaimana perhatian anda terhadap fiqh?” hal ini
mempengaruhi dirinya dan membangkitkan semangatnya untuk
bergegas belajar kepada Muslim
bin Khalid Az-Zanji, Mufti Mekkah.

Syafi’i menuntut ilmu di Mekkah dan mahir di sana. Ketika


Muslim bin Khalid Az-Zanji memberikan peluang untuk berfatwa,
Syafi’i merasa belum puas atas jerih payahnya selama ini. Ia
menuntut ilmu terus
dan akhirnya pindah ke Madinah dan bertemu Imam Malik di sana.

Sebelumnya ia telah mempersiapkan diri membaca kitab al-


Muaththa (karya Imam Malik) yang sebagian besar telah
dihafalkannya. Ketika Imam Malik bertemu dengan Syafi’i, Malik
berkata, “Sesungguhnya Allah
SWT. telah menaruh cahaya dalam hatimu, maka jangan padamkan
dengan perbuatan maksiat.

Mulailah Syafi’i belajar dari Imam Malik dan senantiasa


bersamanya hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. selama
itu pula ia mengunjungi ibunya di Mekkah. Kemudian pada tahun
195 H Imam Syafi’i mengembara ke Baghdad, yang merupakan kota
yang sudah maju peradaban masyarakatnya pada waktu itu. Di
kota ini Imam Syafi’i menetap beberapa tahun lamanya sebelum
ia melakukan perjalanan ke kota lainnya, yaitu Mesir pada
tahun 199 H dan ia memilih kota ini sebagai tempat tinggalnya.
Di Baghdad ia belajar Ilmu Fiqh Madzhab Hanafi, yang terkenal
dengan madzhab Ahlul Ro’yi, sebagaimana di Hijaz yang
tradisional. Kemudian ia cenderung kepada sifat itu, maka di
kota Irak pun ia cenderung pada kondisi Irak, yaitu kota yang
terkenal dengan AhluRa’yu.

Imam Syafi’i telah mendengar berita yang menyatakan kebesaran


ulama’ di Irak seperti Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan, maka
ia berkehendak untuk bertemu dengan mereka. Di kota ini ia
berguru kepada
Muhammad Ibn Hasan seorang tokoh ahli Fiqh. Maka terkumpullah
pada diri Syafi’i beberapa ilmu dari para ahli Hadits dan
Ra’yu.

Syafi’i banyak mengambil manfaat dari beberapa kitab Muhammad


Ibn Hasan dari pelajaran Fiqh Irak dan perdebatannya dengan
beberapa ulama’ fiqh di sana. Dari sini, ia bisa mempersiapkan
diri mengkompromikan fiqh madinah dan fiqh Irak, atau fiqh
tekstual dan fiqh kontekstual, sehingga membantunya meletakkan
dasar-dasar ushul fiqh, dan kaidah fiqh (qawaid al-fiqhiyah),
menjadikan ia terkenal, disebutsebut namanya dan terangkat
derajatnya.

Pengetahuan Syafi’i terbentuk dari beberapa sumber. Antara


lain, guru, bacaan dan belajarnya, serta perjalanannya ke
Yaman, Kufah, Bashrah, Makkah, Baghdad, dan Mesir. Ada juga
dari perdebatan yang
serius di masanya antara para pakar teologi dan filsafat,
pakar fiqh dan ulama’ hadits dan sebagainya, serta pemikiran
dan perenungannya terhadap ilmu dan lingkungan yang kesemuanya
itu sangat dominan dalam
membentuk wawasannya yang sangat luas.

Dengan bekal pengetahuannya, beliau melangkah untuk


menyampaikan berbagai kritik dan kemudian mengambil jalan
keluarnya sendiri. Mula-mula beliau berbeda pendapat dengan
gurunya (Imam
Malik). Perbedaan ini berkembang sedemikian rupa sehingga
beliau menulis buku yang berjudul “Khilaf al-Malik” yang
sebagian besar kritik terhadap pendapat (fiqh) madzhab gurunya
itu, beliau juga terjun dalam
perdebatan-perdebatan sengit dengan madzhab Hanafi dan banyak
mengeluarkan kritik sebagai koreksi terhadapnya.

Kritik-kritik imam Syafi’i terhadap dua madzhab tersebut


akhirnya ia muncul dengan madzhab baru yang merupakan sintesa
dari kedua madzhab (ahli hadits dan ahli ra’yu) yang benar-
benar orisinil. Namun demikian yang paling menentukan
orisinilitas madzhabnya ini adalah kehidupan empat tahunnya di
Mesir. Memang banyak kota di mana imam Syafi’i mengembangkan
atau menggali ilmu, seperti kota
Yaman, Persi, Baghdad dan lain-lain. Tetapi di Mesir inilah
Imam Syafi’i sampai meninggalnya dipergunakan untuk menulis
sebagian besar bukubukunya, bahkan juga untuk merevisi buku-
buku yang pernah ditulisnya.
Di kota ini pula ia meletakkan dasar-dasar madzhab barunya
yang dikenal dengan kaul jadid.

Sebagaimana yang telah dikatakan bahwa fiqh Syafi’i adalah


fiqh yang lahir karena kondisi masyarakatnya sehingga dengan
adanya dua kota yang merupakan tempat yang paling mempengaruhi
teori imam Syafi’i
dengan didukung keadaan yang berbeda itu pula, maka fiqh
Syafi’i juga dibedakan menjadi dua macam yakni madzhab kaul
kadim dan madzhab kaul jadid. Madzhab kaul kadim adalah
pendapat imam Syafi’i ketika di Irak dan kaul jadid adalah
pendapat imam Syafi’i di Mesir.

Dengan perpaduan pemikiran imam Syafi’i akibat pengaruh dari


corak pendidikan dan pengalaman dari beberapa negara tersebut,
Imam Syafi’i mengkombinasikan dan mengkomparasikan serta
mendiskusikan fiqh negara Hijaz dan Irak. Kemudian ia menjadi
terkenal dengan sebutan ahli hadits dan ahli ra’yu.

Dalam madzhab fiqhnya, Imam Syafi’i menempatkan al-Qur’an


sebagai imam (dasar utama) dalam mengambil hukum. Beliau
berkata, “sunnah sejajar kedudukannya dengan al-Qur’an karena
as-Sunnah
berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an.” Karena itu menurut
beliau asSunnah ditempatkan sebagai dasar kedua setelah al-
Qur’an.

Misalnya beliau sependapat dengan Imam Malik (ahlu al-Hadits)


dalam hal menempatkan al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam,
karena menurutya as-Sunnah sebagai dasar hukum yang kedua.
Dilain fihak Imam
Syafi’i sepakat dengan madzhab Hanafi (Ahlu al-Ra’yu) dalam
kecenderungannya memakai ijtihad atau rasio. Namun Imam
Syafi’i memberikan suatu batasan bahwa dasar ijtihad atau
ra’yu tersebut
hendaklah berbentuk qiyas (analogi).

Dalam pemakaian qiyas ini imam Syafi’i memberikan


ketentuanketentuannya. Beliau sependapat dengan Imam Malik
dalam mengambil
ijma’ sebagai sumber hukum sesudah al-Qur’an dan as-Sunnah,
tetapi
beliau memberikan persyaratan-persyaratan yang ketat, sehingga
ijma’
bukan semata-mata hasil pikiran tanpa ketentuan yang pasti.

2. Guru-guru Imam Syafi’i


Imam Syafi’i menerima fiqh dan Hadits dari banyak guru yang
masing-masing mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-
tempat yang berjauhan satu sama lainnya. Ada di antara gurunya
yang Mu’tazili yang memperkatakan ilmu kalam yang tidak
disukainya. Dia mengambil mana yang perlu diambil dan dia
tinggalkan mana yang perlu ditinggalkan.

Imam Syafi’i menerima ilmunya dari ulama-ulama Makkah,


Madinah, Iraq dan ulama-ulama Yaman.
Semula Imam Syafi’i berguru pada syekh Muslim bin Khalid
AzZanji dan beberapa imam Makkah. Kemudian setelah umur 13
tahun ia pergi ke Madinah dan berkumpul dengan Imam Malik
sampai beliau
wafat. Imam Syafi’i juga mempunyai banyak guru yang ia temui
di kotakota besar ketika ia berkelana.

Diantaranya ialah gurunya di Makkah, Muslim bin Khalid


AzZanji, Sufyan bin Uyainah, Sa’id bin Salim Al-Qaddah, Dawud
bin Abdurrahman Al-Athar dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin
Abi Dawud.
Gurunya di Madinah antara lain, Malik bin Anas, Ibrahim bin
Sa’ad Al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Darawardi,
Ibrahim bin Yahya Al-Asami, Muhammad bin Sa’id bin Abi Fudaik
dan Abdullah bin
Nafi’ Al-Shani.

Gurunya di Yaman, Muththarif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf,


Hakim Shan’a (ibukota Republik Yaman), Umar bin Abi Maslamah
AlAuza’i Dan Yahya Hasan.
Gurunya di Irak antara lain, Muhammad bin Al-Hasan, Waki’ bin
Jarra Al-Kufi, Abu Usammah Hamad bin Usamah Al-Kufi, Ismail
bin Athuyah Al-Basyri dan Abdul Wahab bin Abdul Majid Al-
Basyri.11
Imam Syafi’i menerima pelajaran dari tokoh berbagai mazhab. Ia
menerima fiqh Malik dari Malik sendiri, Maliklah gurunya yang
merupakan bintang, mempelajari fiqh Auza’I dari Umar ibn Abi
Salamah,
mempelajari Fiqh Al-Laits dari Yahya ibn Hassan dan
mempelajari fiqh Abu Hanifah dari Muhammad ibn al-Hassan.
Bahkan ia mempelajari fiqh pada tokoh-tokoh Mu’tazilah,
walaupun dalam masalah I’tiqad mereka
tidak menempuh ahlul hadits. Justru semua inilah yang
memperluas bidang fiqihnya, memperbanyak materi dan
mempertebal kamus pengetahuannya. Dengan demikian Imam Syafi’i
dapat mengumpulkan
fiqh Makkah, Fiqh Madinah, Fiqh Syam, Fiqh Mesir dan Fiqh
Irak.

3. Murid-murid Imam Syafi’i


Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa imam Syafi’i
mempunyai banyak guru. Begitu juga murid-muridnya, mereka
tersebar di Makkah, Mesir dan sebagian di Baghdad Irak,
merekalah yang
menyebarkan madzhab gurunya.

Diantara murid yang ada di Makkah, antara lain: Abu Bakar


alHumaidi, Ibrahim bin Muhammad Abbas, Abu Bakar Muhammad bin
Idris dan Musa bin Abi al-Jarud. Murid Syafi’i di Irak, antara
lain : alHasan bin Muhammad al-Za’farani (wafat : 260 H), Abu
Husain al-Karabisi (wafat : 295H), Imam Ahmad bin Hambal
(wafat : 241 H) dan Dawud ad-Dhahiri (wafat : 505 H).
Sedangkan muridnya yang di Mesir antara lain : al-Bughaisti
(wafat : 270 H), al-Mazani (wafat : 269 H) dan ar-Rabi’ah
(wafat : 270 H).

Generasi penerus dan penyebar madzhab Imam Syafi’i adalah :


Abu Ishaq as-Saerazi (wafat : 478 H) adalah pengarang kitab
“alMuhadzdzab”, Imam Ghazali (wafat : 505 H) pengarang kitab
“Ihya ‘Ulumuddin” dan “al-Mustahfa”, dan al-Wazid ‘Izzudin ibn
Abdi Salam (wafat :660 H0 adalah pengarang kitab “Qawa’id al-
Ahkam Fi Masail alAhkam”, Muhyiddin an-Nawawi (wafat : 676 H)
yang mengarang kitab Fiqh diantaranya “Majmu’ Syarah Muhadzab”
dan “Minhaj athThalibin”, Taqiyuddin as-Shabuni (wafat : 765
H), Jalaluddin as-Suyuti (wafat : 791 H), pengarang kitab
“Asybah wan Nadhair” dan kitab “Tanwirul Hawalaik” syarah
kitab al-Muwaththa’ Imam Malik dan masih banyak lagi yang
lainnya.

4. Karya-karya Imam Syafi’i


Menurut Qadli Imam Abu Muhammad bin Husain bin Muhammad al-
Maruzi murid Imam Syafi’i, mengatakan bahwa Imam Syafi’i telah
mengarang kitab sebanyak 113 kitab, baik dalam bidang hadits,
ilmu fiqh dan ushulnya, tafsir, sastra dan lain-lain. Yaqut
menyebutkan dalam kitab “Mu’jam al-Udaba’ juz 17”, puluhan
kitab Imam Syafi’i. Yang dimaksud kitab di sini bukanlah kitab
yang ada seperti sekarang ini, melainkan beberapa bab masalah
fiqh yang kebanyakan telah termuat dalam kitabnya al-Umm. Dan
kitab-kitab tersebut bisa dijadikan sebagai pegangan dan
pengetahuan yang dapat di nikmati sampai sekarang, diantaranya
adalah:

a. Ar-Risalah
Kitab ini disusun berkaitan dengan kaidah ushul fiqh, yang di
dalamnya diterangkan mengenai pokok-pokok pegangan Imam
Syafi’i dalam mengistinbath hukum. Ar-Risalah merupakan kitab
Ushul fiqh
yang pertama. Akan tetapi sebagai penulis ar-Risalah itu
sendiri adalah murid Syafi’i yaitu ar-Rabi’ ibn Sulaiman (270
H), dan Rabi’ inilah yang meriwayatkan dari Imam Syafi’i
tentang Ar-Risalah
(karena Syafi’i tidak menulisnya secara langsung). Di dalam
kitab Ar-Risalah Imam Syafi’i membahas tentang ketentuan-
ketentuan nash kitab dan masalah nasikh mansukh, kecacatan
dalam hadits, syarat-syarat penerima hadits ahad yang meliputi
hadits mursal sebagai hujjah hukum, ijma’ ijtihad istihsan
serta qiyas.

b. Al-Umm
Al-Umm adalah kitab yang ditulis sendiri oleh Imam Syafi’i.
Kemudian diriwayatkan oleh ar-Rabi’. Segala yang termuat dalam
kitab al-Umm adalah pendapat Imam Syafi’i, itulah hujjah dalam
mazhabnya.Kitab ini berisi hasil-hasil ijtihad Imam Syafi’i
yang telah dikodifikasikan dalam bentuk dan jilid-jilid yang
membahas masalah Thaharah, Ibadah, Amaliah sampai pada masalah
peradilan seperti
Jinayah, Muamalah, Munakahat dan lainnya.

c. Ikhtilaf al-Hadits
Disebut Ikhtilaf al-Hadits karena di dalamnya mengungkapkan
perbedaan para ulama’ dalam persepsinya tentang hadits mulai
dari sanad sampai perawi yang dapat dipegang termasuk
analisanya tentang hadits yang menurutnya dapat dipegang
sebagai hujjah.

d. Musnad
Di dalam kitab Musnad isinya hampir sama dengan yang ada dalam
kitab Ikhtilaf al-Hadits, kitab ini juga memaparkan persoalan
hadits, hanya saja terkesan bahwa yang ada dalam kitab ini
adalah
hadits yang dipergunakan Imam Syafi’i khususnya yang berkaitan
dengan fiqh kitab al-Umm, di mana dari segi sanadnya telah
dijelaskan secara jelas dan rinci.

Referensi
: http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptia
in-gdl-s1-2006-mohammadar-1591-bab3_219-2.pdf

Anda mungkin juga menyukai