Anda di halaman 1dari 42

-1- Draft

16 Nopember 2020

GUBERNUR JAWA TIMUR

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR


NOMOR … TAHUN 2020
TENTANG
PENGEMBANGAN PESANTREN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TIMUR,

Menimbang : a. bahwa Pesantren merupakan salah satu wadah untuk


melaksanakan kegiatan keagamaan, sarana dalam
melaksanakan peribadatan, dan sekaligus sebagai
lembaga yang turut serta mencerdaskan kehidupan
bangsa sebagaiamana diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa untuk menjamin kualitas, mutu, dan ketahanan
Pesantren dalam menyelenggarakan fungsi pendidikan
dan dakwah sesuai dengan tantangan zaman,
Pemerintah Provinsi Jawa Timur perlu terlibat dalam
menyelenggarakan pengembangan Pesantren dengan
tetap mempertahankan ciri khas, tradisi, dan nilai-nilai
keagamaan masing-masing Pesantren, guna menjaga
keberlangsungan hidup pesantren sebagai pionir dalam
pengembangan dan penyebarluasan ajaran Islam
rahmatan lil alamin;
c. bahwa tanggungjawab Pemerintah Provinsi dalam
melakukan Pengembangan Pesantren telah ditegaskan
dalam Pasal 11 ayat (3), Pasal 12 ayat (2), Pasal 32, Pasal
42, Pasal 43, dan Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
-2-

menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengembangan


Pesantren;

Mengingat : 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Propinsi Djawa Timur (Himpunan
Peraturan Peraturan Negara Tahun 1950) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1950 tentang Perubahan dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1950 (Himpunan Peraturan Peraturan Negara
Tahun 1950);
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003
Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 157
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4586);
5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor
112 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5038);
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019
Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6398);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014
Nomor 244 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
-3-

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun


2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5679);
8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Administrasi
Pemerintahan (Lembaran Negara Indonesia Tahun 2014
Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5601);
9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang
Pesantren (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2019 Nomor 191, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6406);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4769);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang
Wajib Belajar (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4904);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang
Pendanaan Pendidikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 91, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4905);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang
Guru (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4941);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 23,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
-4-

5105) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah


Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 112,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5157);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5887) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2019 tentang perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019
Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6402);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6041);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 tentang
Kerjasama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 97, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6219);
19. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun
2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 199);
20. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 2013
tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Pembinaan Pos
Kesehatan Pesantren (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 331);
21. Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014 tentang
Pendidikan Keagamaan Islam (Berita Negara Republik
-5-

Indonesia Tahun 2014 Nomor 822);


22. Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2014 tentang
Satuan Pendidikan Mu’adalah Pada Pondok Pesantren
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
972);
23. Peraturan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 2015 tentang
Ma’had Aly (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 1761);
24. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun
2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
157);
25. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun
2011 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Timur Tahun 2011 Nomor 2 Seri D,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor
37) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Timur Nomor 14 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik
(Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2016
Nomor 10 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Jawa Timur Nomor 65);
26. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun
2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat
Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun
2016 Nomor 1 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Timur Nomor 63) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Timur Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan
-6-

Susunan Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Provinsi


Jawa Timur Tahun 2020 Nomor 1 Seri C);
27. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 13 Tahun
2018 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
(Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2018
Nomor 9, Seri D);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
dan
GUBERNUR JAWA TIMUR

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGEMBANGAN


PESANTREN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Provinsi Jawa Timur.
2. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Daerah Provinsi
Jawa Timur.
3. Gubernur adalah Gubernur Jawa Timur.
4. Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan
keagamaan Islam berbasis masyarakat dan didirikan oleh
perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam,
dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT, menyemaikan akhlak
mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatan
lil’alamin yang tercermin dari sikap rendah ahti, toleran,
keseimbangan, moderat dan nilai luhur bangsa Indonesia
lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan
dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
-7-

5. Dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan Mualimin


adalah kumpulan kajian tentang ilmu agama Islam yang
tersrtuktur, sistematis dan terorganisasi.
6. Kitab kuning adalah kitab keislaman berbahasa arab
atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi
rujukan tradisi keilmuan islam di pesantren.
7. Pendidikan Keagamaan adalah pendidikan yang
mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan
peranan yang menuntuk penguasaan pengetahuan
tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama
dan mengamalkan ajaran agamanya.
8. Pendidikan Pesantren adalah pendidikan yang
diselenggarakan oleh pesantren dan berada di
lingkungan pesantren dengan mengembangkan
kurikulum sesuai dengan ke khasan pesantren dengan
berbasis kitab kuning atau dirasah islamiah dengan pola
pendidikan mualimin.
9. Pendidikan mu’adalah adalah pendidikan pesantren yang
diselenggarakan pada jalur pendidikan formal dengan
mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan
pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah
islamiah dengan pola pendidikan mualimin secara
berjenjang dan terstuktur.
10. Pesantren salaf adalah sebutan Pesantren yang
mengajarkan ilmu ilmu agama berbasis kitab kuning
dengan metode sorogan, wetonan dan metode klasikal
serta tidak berjenjang.
11. Ma’had Aly adalah pendidikan pesantren jenjang
pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pesantren
dan berada di lingkungan pesantren dengan
mengembangkan kajian keislaman sesuai dengan
kekhasan pesantren yang berbasis kitab kuning secara
berjenjang dan terstruktur.
12. Madrasah Diniyah adalah jenis pendidikan yang hanya
mengajarkan ilmu ilmu agama dengan sistem berjenjang.
-8-

13. Kiai adalah seorang pendidik yang memiliki kompetensi


ilmu agama Islam yang berperan sebagai figur, teladan,
dan/atau pengasuh pesantren.
14. Dewan Masayikh adalah lembaga yang dibentuk oleh
Pesantren yang bertugas melaksanakan sistem
penjaminan mutu internal pendidikan pesantren.
15. Pendidik adalah anggota masyarakat yang mempunyai
kompetensi tertentu sesuai dengan kekhususannya
untuk membimbing, mengajar dan/atau melatih peserta
didik yang diangkat oleh Kiai.
16. Santri adalah peserta didik yang mempelajari pendidikan
agama dan non agama dan bertempat tinggal di
pesantren.
17. Pendidikan Pesantren jalur non formal adalah
penyelenggaraan pendidikan dengan sistem klasikal
secara berjenjang dan tidak berjenjang.
18. Pengembangan Pesantren adalah suatu upaya
memfasilitasi Pesantren dalam meningkatkan kualitas
SDM, manajemen mutu, sarana prasarana, kesetaraan
kelulusan dan ijazah, kemaslahatan Kyai, Santri dan
Guru dalam menjalankan fungsi pendidikan, fungsi
dakwah Islmiyah dan sebagai agen pemberdayaan
masyarakat dalam merespon perubahan zaman.

BAB II
ASAS, MAKSUD, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2
Pengembangan Pesantren dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. kebangsaan;
c. kemandirian;
d. keberdayaan;
e. kemaslahatan;
f. multikultural;
g. profesionalitas;
h. akuntabilitas;
-9-

i. keberlanjutan; dan
j. kepastian hukum.

Pasal 3
Peraturan Daerah ini dimksudkan sebagai landasan norma
hukum dan sebagai pedoman dalam pengembangan
Pesantren sesuai dengan ciri khas dan kearifan lokal.

Pasal 4
Peraturan Daerah ini bertujuan untuk:
a. menjamin pengembangan Pesantren sebagai lembaga
pendidikan, sebagai sarana dakwah dan sebagai agen
pemberdayaan masyarakat;
b. memfasilitasi pengembangan pesantren untuk memenuhi
aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan,
kesehatan dan keamanan;
c. memfasilitasi pendidikan berbasis Pesantren bagi anak
petani, anak nelayan, anak buruh, anak yatim, anak
yatim piatu yang kurang mampu secara setara dan
berkualitas;
d. menjamin kemaslahatan guru, santri dan beasiswa bagi
peserta didik Madrasah Diniyah;
e. penyetaraan pendidikan pesantren dalam rangka
menghapus kategori putus sekolah bagi Santri;
f. menjamin keberlangsungan dakwah Islamiyah melalui
Pesantren; dan
g. memfasilitasi potensi ekonomi dan kemandirian
Pesantren.

Pasal 5
Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:
a. perencanaan Pengembangan Pesantren;
b. pelaksanaan Pengembangan Pesantren;
c. sistem penjaminan mutu dan struktur organisai
Pesantren;
d. kerjasama;
e. partisipasi Masyarakat dan Dunia Usaha;
- 10 -

f. larangan;
g. pengawasan;
h. sistem informasi Pesantren;
i. pembiayaan; dan
j. sanksi administratif.

BAB III
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PESANTREN

Pasal 6
(1) Dalam melaksanakan Pengembangan Pesantren,
Pemerintah Provinsi menyusun rencana program
Pengembangan Pesantren.
(2) Penyusunan rencana program Pengembangan
Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
berpedoman pada Rencana Jangka Menengah Daerah
dan Rencana Jangka Panjang Daerah.
(3) Rencana program Pengembangan Pesantren
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bagian
dari Rencana Strategis dan/atau Rencana Kerja
Pemerintah Provinsi.

BAB IV
PELAKSANAAN PENGEMBANGAN PESANTREN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 7
(1) Pengembangan Pesantren di Daerah dilaksanakan
melalui:
a. Pengembangan fungsi pesantren;
b. fasilitasi pesantren;
c. pemberdayaan pesantren; dan
d. pembinaan pesantren.
(2) Pengembangan Pesantren sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan tetap menghormati ciri
- 11 -

khas, tradisi, dan nilai-nilai keagamaan pada masing-


masing Pesantren.

Bagian Kedua
Pengembangan Fungsi Pesantren

Paragraf 1
Pengembangan Fungsi Pendidikan

Pasal 8
(1) Pesantren menyelenggarakan pendidikan untuk
membentuk Santri yang unggul dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu
menghadapi perkembangan zaman.
(2) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. pendidikan formal; dan/atau
b. pendidikan non formal.

Pasal 9
(1) Pendidikan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (2) huruf a terdiri atas jenjang:
a. pendidikan dasar;
b. pendidikan menengah; dan/atau
c. pendidikan tinggi.
(2) Pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilaksanakan dalam bentuk:
a. satuan pendidikan Mu’adalah ula atau pendidikan
Diniyah formal ula; dan/atau
b. satuan pendidikan Mu’adalah wustha atau
pendidikan Diniyah formal wustha.
(3) Pendidikan formal pada jenjang pendidikan menengah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilaksanakan dalam bentuk satuan pendidikan
Mu’adalah ulya atau pendidikan Diniyah formal ulya.
- 12 -

(4) Pendidikan formal pada jenjang pendidikan tinggi


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilaksanakan dalam bentuk Ma’had Aly.
(5) Jenjang Pendidikan Mu’adalah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) dapat diselenggarakan
selama 6 (enam) tahun atau lebih dengan
menggabungkan penyelenggaraan satuan pendidikan
Muadalah wustha dan satuan pendidikan Muadalah
ulya secara berkesinambungan.

Pasal 10
(1) Kurikulum Pendidikan Mu’adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) terdiri atas kurikulum
Pesantren dan kurikulum pendidikan umum.
(2) Kurikulum Pesantren sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikembangkan oleh Pesantren dengan berbasis
pada Kitab Kuning atau Dirasah Islamiyah dengan pola
pendidikan Mu’allimin.
(3) Penyusunan dan penetapan kurikulum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11
(1) Ma’had Aly sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(4) menyelenggarakan pendidikan akademik pada
program sarjana, magister, dan doktor.
(2) Ma’had Aly mengembangkan rumpun ilmu agama
Islam berbasis Kitab Kuning dengan pendalaman
bidang ilmu keislaman tertentu.
(3) Pendalaman bidang ilmu keislaman tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembangkan
berdasarkan tradisi akademik Pesantren dalam bentuk
konsentrasi kajian.
- 13 -

Pasal 12
(1) Ma’had Aly sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dapat menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) konsentrasi
kajian pada 1 (satu) rumpun ilmu agama Islam.
(2) Ma’had Aly sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memasukkan materi muatan Pancasila,
kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia ke dalam
kurikulum Ma’had Aly.
(3) Ma’had Aly memiliki otonomi untuk mengelola
lembaganya sesuai dengan ketentuan yang tertuang
dalam statuta Ma’had Aly.

Pasal 13
(1) Santri pada satuan pendidikan Mu’adalah yang telah
menyelesaikan pendidikan dinyatakan lulus melalui
penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan
Mu’adalah.
(2) Santri yang dinyatakan lulus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berhak:
a. melanjutkan ke jenjang dan tingkat pendidikan
yang lebih tinggi baik yang sejenis maupun tidak
sejenis; dan/atau
b. mendapatkan kesempatan kerja.
(3) Santri Ma’had Aly yang telah menyelesaikan proses
pembelajaran dan dinyatakan lulus berhak
menggunakan gelar dan mendapatkan ijazah serta
berhak melanjutkan pendidikan pada program yang
lebih tinggi dan kesempatan kerja.
(4) Pemerintah Provinsi dapat memberikan fasilitasi bagi
Santri pada satuan pendidikan Mua’dalah dan/atau
Santri Ma’had Aly untuk melanjutkan jenjang
pendidikan yang lebih tinggi dan/atau kesempatan
kerja.
(5) Selain fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Pemerintah Provinsi wajib mengupayakan Santri
tergolong angka partisipasi sekolah penyumbang
peningkatan indeks pembangunan manusia.
- 14 -

Pasal 14
(1) Pendidikan Pesantren jalur pendidikan non formal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b
dapat diselenggarakan secara berjenjang atau tidak
berjenjang.
(2) Pendidikan Pesantren jalur pendidikan non formal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengeluarkan syahadah sebagai tanda kelulusan.
(3) Lulusan pendidikan Pesantren jalur pendidikan non
formal yang telah dinyatakan lulus ujian dan
mempunyai syahadah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diakui sama dengan pendidikan formal pada
jenjang tertentu.
(4) Lulusan pendidikan Pesantren jalur pendidikan
nonformal yang dinyatakan lulus ujian dan
mempunyai syahadah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) dapat melanjutkan ke jenjang
pendidikan formal yang lebih tinggi, baik yang sejenis
maupun tidak sejenis dan/atau kesempatan kerja.

Paragraf 2
Pengembangan Fungsi Dakwah Islamiyah

Pasal 15
(1) Pesantren menyelenggarakan fungsi dakwah untuk
mewujudkan Islam rahmatan lil alamin.
(2) Penyelenggaraan fungsi dakwah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. upaya mengajak masyarakat menuju jalan Allah
SWT dengan cara yang baik dan menghindari
kemungkaran;
b. pengajaran pemahaman dan keteladanan
pengamalan nilai keislaman yang rendah hati,
toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia berlandaskan Pancasila dan
- 15 -

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945; dan
c. penyiapan pendakwah Islam yang menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945..
(3) Penyelenggaraan fungsi dakwah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh Kiai,
Santri, dan/atau lembaga dakwah yang dikelola oleh
Pesantren.

Pasal 16
(1) Penyelenggaraan fungsi dakwah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dilaksanakan dalam
bentuk:
a. pengajaran dan pembelajaran;
b. ceramah, kajian, dan diskusi;
c. dakwah melalui media dan teknologi informasi;
d. dakwah melalui seni dan budaya;
e. bimbingan dan konseling;
f. keteladanan;
g. pendampingan; dan/atau
h. bentuk dakwah lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan dakwah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus:
a. menanamkan nilai ajaran agama dan menjaga
moralitas umat;
b. memperhatikan tradisi dan kebudayaan
masyarakat;
c. mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat;
d. menjaga kerukunan hidup umat beragama;
e. selaras dengan nilai-nilai kebangsaan dan cinta
tanah air; dan
f. menjadikan umat Islam di Indonesia sebagai
rujukan dunia dalam praktek keberagamaan yang
moderat.
- 16 -

Pasal 17
Dalam rangka kelancaran pengembangan Pesantren sebagai
fungsi dakwah, Pemerintah Provinsi dapat memberikan
dukungan dalam bentuk:
a. kerjasama;
b. fasilitasi kebijakan;
c. pendanaan; dan/atau
d. bentuk dukungan lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Paragraf 3
Pengembangan Fungsi Pemberdayaan Masyarakat

Pasal 18
(1) Pesantren menyelenggarakan fungsi pemberdayaan
masyarakat yang berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan Pesantren dan masyarakat dalam
rangka penyiapan sumber daya manusia yang mandiri
dan memiliki keterampilan agar dapat berperan aktif
dalam pembangunan.
(2) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk:
a. pelatihan dan praktik kerja lapangan;
b. penguatan potensi dan kapasitas ekonomi
Pesantren dan masyarakat;
c. pendirian koperasi, lembaga keuangan, dan
lembaga usaha mikro, kecil, dan menengah;
d. pendampingan dan bantuan pemasaran terhadap
produk masyarakat;
e. pinjaman dan bantuan keuangan;
f. bimbingan manajemen keuangan, optimalisasi, dan
kendali mutu;
g. kegiatan sosial kemasyarakatan;
h. pemanfaatan dan pengembangan teknologi industri;
dan/atau
- 17 -

i. bentuk pemberdayaan lain sesuai dengan peraturan


perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pengembangan fungsi pemberdayaan masyarakat oleh
Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur.

Bagian Ketiga
Fasilitasi Pesantren

Paragraf 1
Fasilitasi Pendidikan Pesantren

Pasal 19
(1) Pemerintah Provinsi memberikan dukungan
pendanaan dalam rangka penyelenggaraan pendidikan
Pesantren.
(2) Dukungan pendanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan kemampuan
keuangan Daerah.

Pasal 20
Selain dukungan pendanaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19, Pemerintah Provinsi memberikan fasilitasi dengan
mengikutsertakan peserta didik pada jenjang pendidikan
menengah yang beragama Islam untuk mengikuti
pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh
Pesantren.

Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fasilitasi
pendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 dan Pasal 20 diatur dalam Peraturan Gubernur.
- 18 -

Paragraf 2
Fasilitasi Peningkatan Sumber Daya Manusia

Pasal 22
(1) Pemerintah Provinsi menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan terhadap sumber daya manusia Pesantren.
(2) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertujuan:
a. meningkatkan pengetahuan, keahlian,
keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan
tugas secara profesional;
b. menciptakan sumber daya manusia Pesantren yang
mampu berperan sebagai pembaharu sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman;
c. memantapkan sikap dan semangat pengabdian
yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman,
dan pemberdayaan santri dan masyarakat; dan
d. menanamkan nilai-nilai kebangsaan untuk
menumbuhkan sikap sukarelawan dan demokratis
serta berjiwa sosial yang tinggi.

Pasal 23
(1) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilaksanakan
dengan tatap muka atau media elektronik.
(2) Dalam menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Provinsi dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi
dan/atau lembaga pendidikan dan pelatihan.

Paragraf 3
Fasilitasi Pengembangan Sarana dan Prasarana Pesantren

Pasal 24
(1) Pemerintah Provinsi, Pesantren, dan masyarakat
secara bersama-sama melakukan pengembangan
sarana dan prasarana Pesantren di Daerah.
- 19 -

(2) Fasilitasi pengembangan sarana dan prasarana oleh


Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilaksanakan dalam bentuk:
a. bantuan pendanaan;
b. kerjasama dengan lembaga dalam negeri dan luar
negeri;
c. bantuan kemudahan akses terhadap sumber
pendanaan oleh pihak ketiga; dan/atau
d. bentuk fasilitasi lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Keempat
Pemberdayaan Pesantren

Pasal 25
(1) Pemerintah Provinsi menyelenggarakan pemberdayaan
Pesantren di Daerah.
(2) Pemberdayaan Pesantren sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan untuk:
a. peningkatan kemandirian ekonomi Pesantren dan
perekonomian masyarakat di lingkungan Pesantren;
dan
b. peningkatan peran Pesantren dalam pembangunan
Daerah.

Pasal 26
(1) Pemberdayaan Pesantren untuk meningkatkan
kemandirian ekonomi Pesantren dan perekonomian
masyarakat di lingkungan Pesantren sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a dilakukan
dalam bentuk:
a. fasilitasi peningkatan kapasitas Pesantren dalam
rangka menumbuhkembangkan kewirausahaan di
lingkungan Pesantren;
b. fasilitasi akses pemasaran produk hasil usaha
Pesantren;
c. fasilitasi kemitraan antar usaha Pesantren; dan
- 20 -

d. fasilitasi kemitraan antara usaha Pesantren dan


badan usaha lainnya.
(2) Fasilitasi peningkatan kapasitas Pesantren
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan pada:
a. peningkatan keahlian usaha Pesantren;
b. penguatan kelembagaan usaha Pesantren; dan
c. pengembangan kelembagaan usaha Pesantren.

Pasal 27
Pemberdayaan Pesantren untuk meningkatkan peran
Pesantren dalam pembangunan Daerah Provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b
dilakukan dalam bentuk:
a. pelibatan Pesantren dalam pelaksanaan kebijakan
pembangunan Daerah atau program nasional;
b. pelibatan Pesantren dalam pemberdayaan masyarakat
sekitar Pesantren; dan/atau
c. pemberdayaan bentuk lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan Pesantren
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 diatur
dalam Peraturan Gubernur.

Bagian Kelima
Pembinaan Pesantren

Pasal 29
(1) Pemerintah Provinsi menyelenggarakan pembinaan
terhadap Pesantren di Daerah.
(2) Pembinaan Pesantren sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan untuk:
a. pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kualitas
sarana dan prasarana Pesantren
b. peningkatan kualitas penyelenggaraan Pesantren;
- 21 -

c. peningkatan pengetahuan dan wawasan Kiai,


Santri, dan Dewan Masyaikh; dan
d. peningkatan keahlian manajerial Pesantren.

Pasal 30
(1) Pembinaan untuk pemenuhan ketersediaan sarana
dan prasarana Pesantren yang memadai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a,
dilaksanakan dalam bentuk:
a. fasilitasi sarana dan prasarana pendidikan
Pesantren;
b. fasilitasi sarana dan prasarana penunjang
Pesantren;
c. fasilitasi sarana bagi Kiai, Santri, dan Dewan
Masyaikh; dan
d. fasilitasi sarana dan prasarana peribadatan.
(2) Pembinaan untuk peningkatan kualitas
penyelenggaraan Pesantren sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b, dilaksanakan dalam
rangka menciptakan lingkungan Pesantren yang layak,
aman, nyaman, bersih, dan sehat serta pemenuhan
atas kebutuhan perkembangan fisik dan psikologis
Santri, yang dilaksanakan dalam bentuk:
a. penyuluhan;
b. pemeriksaan kesehatan;
c. konseling;
d. edukasi; dan
e. sosialisasi.
(3) Pembinaan untuk meningkatkan pengetahuan,
wawasan, dan keahlian bagi Kiai, Santri, dan Dewan
Masyaikh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat
(2) huruf c dilakukan dalam bentuk:
a. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;
b. penyelenggaraan workshop;
c. pemberian beasiswa bagi Kiai dan Santri; dan
d. fasilitasi dalam rangka meningkatkan pengetahuan,
wawasan, dan keahlian.
- 22 -

(4) Pembinaan dalam rangka peningkatan keahlian


manajerial Pesantren sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (2) huruf d dilakukan dalam bentuk:
a. pendampingan dalam rangka pengelolaan
Pesantren;
b. pendidikan dan pelatihan pengelolaan Pesantren;
c. fasilitasi kemitraan Pesantren dengan dunia usaha
atau lembaga pendidikan; dan
d. fasilitasi dalam rangka peningkatan kemampuan
sumber daya manusia Pesantren dalam mengelola
Pesantren.

Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Pesantren
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 diatur dalam
Peraturan Gubernur.

BAB V
SISTEM PENJAMINAN MUTU DAN STRUKTUR ORGANISASI
PESANTREN

Bagian Kesatu
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren

Pasal 32
(1) Pesantren wajib menyusun sistem penjaminan mutu
untuk menjamin kualitas dan mutu Pesantren dalam
menyelenggarakan pendidikan keagamaan dan
pendidikan umum.
(2) Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disusun oleh Majelis Masyayikh.
(3) Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berfungsi:
a. melindungi kemandiriandan kekhasan pendidikan
Pesantren;
b. mewujudkan pendidikan yang bermutu; dan
c. memajukan penyelenggaraan pendidikan Pesantren.
- 23 -

(4) Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) diarahkan pada aspek:
a. peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya
Pesantren;
b. penguatan pengelolaan Pesantren; dan
c. peningkatan dukungan sarana dan prasarana
Pesantren.

Bagian Kedua
Dewan Masyayikh

Pasal 33
(1) Dalam rangka penjaminan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32, Pesantren membentuk
Dewan Masyayikh.
(2) Dewan Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dipimpin oleh seorang Kiai.
(3) Dewan Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memiliki tugas sekurang-kurangnya:
a. menyusun kurikulum pesantren;
b. melaksanakan kegiatan pembelajaran;
c. meningkatkan kompetensi dan profesionalitas
pendidik dan tenaga kependidikan;
d. melaksanakan ujian untuk menentukan kelulusan
Santri berdasarkan kriteria mutu yang telah
ditetapkan; dan
e. menyampaikan data Santri yang lulus kepada
Majelis Masyayikh.

Bagian Ketiga
Majelis Masyayikh

Pasal 34
(1) Selain membentuk Dewan Masyayikh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), Pesantren
membentuk Majelis Masyayikh dalam rangka
koordinasi pelaksanaan tugas Dewan Masyayikh.
- 24 -

(2) Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) memiliki tugas:
a. menetapkan kerangka dasar dan struktur
kurikulum Pesantren;
b. memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam
menentukan kurikulum Pesantren;
c. merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan
Pesantren;
d. merumuskan kompetensi dan profesionalitas
pendidik dan tenaga kependidikan;
e. melakukan penilaian dan evaluasi serta pemenuhan
mutu; dan
f. memeriksa keabsahan setiap syahadah atau ijazah
Santri yang dikeluarkan oleh Pesantren.

Bagian Keempat
Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Pasal 35
(1) Dalam penyelenggaraan pendidikan Pesantren, Kiai
dalam fungsinya sebagai pendidik berperan menjaga
kultur dan kekhasan Pesantren.
(2) Kultur dan kekhasan Pesantren sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa pengembangan
karakter dan nilai-nilai Islam rahmatan lilalamin,
toleran, keseimbangan, dan moderat, yang
berkomitmen pada kebangsaan, berlandaskan kepada
Pancasila serta Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 36
(1) Pendidik pada pendidikan Pesantren jalur pendidikan
formal harus memenuhi kualifikasi dan kompetensi
sebagai pendidik profesional.
(2) Kualifikasi sebagai pendidik profesional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus berpendidikan Pesantren
dan/atau pendidikan tinggi.
- 25 -

(3) Kompetensi sebagai pendidik profesional sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kompetensi
ilmu agama Islam dan/atau kompetensi sesuai bidang
yang diampu dan bertanggung jawab.

BAB VI
KERJASAMA

Pasal 37
(1) Pemerintah Provinsi mengembangkan pola kerja sama
dalam rangka pengembangan Pesantren sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam bentuk:
a. sinergitas program dalam rangka pembinaan dan
pemberdayaan Pesantren;
b. pelaksanaan pembinaan dan pemberdayaan
Pesantren;
c. pendidikan dan pelatihan bagi Kiai, Santri, dan
Dewan Masyaikh;
d. pemberdayaan masyarakat sekitar Pesantren;
dan/atau
e. bentuk kerjasama lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Gubernur.

BAB VII
PARTISIPASI MASYARAKAT DAN DUNIA USAHA

Pasal 38
(1) Masyarakat dan dunia usaha dapat berpartisipasi
dalam Pengembangan Pesantren di Daerah.
(2) Partisipasi masyarakat dan dunia usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk:
- 26 -

a. memberikan bantuan program dan/atau pendanaan


kepada Pesantren;
b. memberikan masukan kepada Pemerintah Provinsi
dalam Pengembangan Pesantren;
c. mendukung setiap kegiatan yang dilaksanakan
Pesantren sepanjang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
d. mendorong pengembangan mutu dan standar
Pesantren;
e. mendorong terbentuknya wahana pendidikan
karakter dan pembinaan moral di dalam
masyarakat dan di sekitar lingkungan Pesantren;
f. memperkuat kemandirian dan kemampuan
ekonomi Pesantren; dan/atau
g. bentuk partisipasi lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan secara perorangan, kelompok, dan/atau
badan.

Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan partisipasi
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 diatur
dalam Peraturan Gubernur.

BAB VIII
LARANGAN

Pasal 40
(1) Setiap Pesantren di Daerah dilarang menganut,
mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau
paham yang bertentangan dengan konsep Islam
rahmatan lil alamin, Pancasila, dan/atau Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Selain larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pesantren di Daerah dilarang:
- 27 -

a. melakukan dakwah yang memuat unsur provokasi,


ujaran kebencian, dan/atau motif politik praktis;
b. menggalang atau mengumpulkan dana untuk
kepentingan kontestasi politik atau partai politik;
c. menggerakkan Santri dan/atau masyarakat untuk
kepentingan kontestasi politik atau partai politik;
d. melakukan kegiatan yang mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum; dan/atau
e. melakukan perbuatan yang menyimpang dari
tujuan dan fungsi Pesantren.

BAB IX
PENGAWASAN

Pasal 41
(1) Dalam rangka peningkatan kualitas dan mutu
Pesantren di Daerah, Pemerintah Provinsi melakukan
pengawasan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara terencana dan sistematis dibawah
koordinasi Gubernur.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Gubernur berwenang:
a. melakukan inspeksi di lapangan;
b. meminta laporan kepada masyarakat;
c. melakukan evaluasi atas penyelenggaraan
Pengembangan Pesantren di Daerah; dan
d. wewenang pengawasan lain sesuai peraturan
perundang-undangan.

Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 diatur dalam Peraturan
Gubernur.
- 28 -

BAB X
SISTEM INFORMASI PESANTREN

Pasal 43
(1) Pemerintah Provinsi membangun dan mengembangkan
sistem informasi Pesantren di Daerah.
(2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat:
a. data dan informasi Pesantren di Daerah;
b. data dan informasi Pesantren yang akan diberikan
fasilitasi oleh Pemerintah Provinsi;
c. data dan informasi Pesantren yang telah diberikan
fasilitasi oleh Pemerintah Provinsi;
d. data manuscript karya Kiai, Pendidik, dan/atau
Santri Pesantren di Daerahi; dan
e. data Kiai, Pendidik, dan Santri yang memiliki
potensi diberikan fasilitasi pendidikan dan
pelatihan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
sistem informasi Pesantren diatur dalam Peraturan
Gubernur.

BAB XI
PEMBIAYAAN

Pasal 44
(1) Pembiayaan Pengembangan Pesantren menjadi
tanggung jawab bersama antara Pemerintah Provinsi,
Pesantren, dan masyarakat.
(2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
b. anggaran Pesantren;
c. hibah; dan/atau
d. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai
peraturan perundang-undangan.
- 29 -

BAB XII
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 45
(1) Setiap Pesantren yang melanggar ketentuan Pasal 40
dikenai sanksi administrasi.
(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat didahului dengan upaya persuasif.
(3) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian bantuan dan/atau dukungan
pendanaan;
c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
d. pemberian rekomendasi pencabutan izin Pesantren
kepada pejabat yang berwenang.
(4) Pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat dikenakan secara berjenjang atau
tidak secara berjenjang.

Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diatur
dalam Peraturan Gubernur.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 47
(1) Peraturan Gubernur sebagai pelaksanaan dari
Peraturan Daerah ini wajib ditetapkan paling lambat 6
(enam) bulan sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
(2) Penyusunan Peraturan Gubernur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab
Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan di
bidang pendidikan.
- 30 -

Pasal 48
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur.

Ditetapkan di Surabaya
pada tanggal … 2020
GUBERNUR JAWA TIMUR,

KHOFIFAH INDAR PARAWANSA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2020 NOMOR … SERI



- 31 -

PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
NOMOR … TAHUN 2020
TENTANG
PENGEMBANGAN PESANTREN

I. UMUM
Pesantren merupakan wadah perjuangan dan dakwah Islamiyah yang
didirikan untuk mencetak manusia dan kader bangsa yang memiliki moral
dan karakter yang dapat menjadi tauladan bagi masyarakat. Dalam
tataran praksis, Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang
turut serta melakukan pembangunan manusia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat alinea ke IV Pembukaan
(preamble) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan fungsi tersebut, maka keberadaan Pesantren sangatlah penting
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mengingat sumber daya
manusia yang dibutuhkan untuk peradaban di masa mendatang tidak
cukup dibekali dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mumpuni,
namun juga harus memiliki moralitas yang baik serta pengamalan nilai-
nilai keislaman yang kuat dan moderat.
Dewasa ini, di tengah-tengah gempuran arus globalisasi barat yang
kian mengikis kultur kebangsaan yang berciri khas budaya timur,
sehingga berdampak pada tergerusnya moralitas generasi muda menjadi
tantangan besar bagi Pesantren dalam melaksanakan dakwah dan
pendidikan terhadap umat. Oleh karena itu, diperlukan upaya dan
langkah-langkah progresif untuk dapat menjamin eksistensi dan
keberlangsungan hidup Pesantren di Provinsi Jawa Timur.
Jawa Timur sebagai salah satu provinsi dengan jumlah Pesantren
terbanyak di Indonesia, bahkan diantara beberapa Pesantren tersebut
usianya lebih tua dari pada berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia, memikul tugas besar yakni tanggungjawab untuk menjaga
keberlangsungan hidup Pesantren dengan menyelenggarakan
Pengembangan Pesantren melalui penguatan terhadap kelembagaan
Pesantren di Daerah, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia
Pesantren agar dapat melaksanakan sistem manajemen yang terpadu dan
- 32 -

berkesinambungan sehingga Pesantren dapat dikelola secara profesional


seperti lembaga pendidikan umum non Pesantren. Selain itu, Pemerintah
Provinsi Jawa Timur juga harus memberikan fasilitasi dan dukungan
pendanaan untuk mengembangkan Pesantren di Jawa Timur dengan
mengedepankan prinsip proporsionalitas, keadilan, dan non diskriminasi
serta sesuai dengan kemampuan keuangan Daerah.

I. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas "Ketuhanan Yang Maha Esa" adalah
bahwa penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan sebagai bentuk
penghayatan dan pengamalan terhadap keyakinan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.

Huruf b
Yang dimaksud dengan asas "kebangsaan" adalah bahwa
penyelenggaraan Pesantren diiaksanakan untuk memupuk jiwa
cinta tanah air dan bela negara.

Huruf c
Yang dimaksud dengan asas "kemandirian" adalah bahwa
penyelenggaraan Pesantren dilakukan dengan mengoptimalkan
sumber daya Pesantren.

Huruf d
Yang dimaksud dengan asas "keberdayaan" adalah bahwa bahwa
penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan untuk mengoptimalkan
fungsi pendidikan, fungsi penyiaran agarna, dan memberdayakan
masyarakat agar lebih sejahtera.
- 33 -

Huruf e
Yang dimaksud dengan asas "kemaslahatan" adalah bahwa
penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan untuk sebesar-besar
pemanfaatan bagi pembentukan masyarakat yang adil, makmur,
dan sejahtera yang diridai oleh Allah Swt.

Huruf f
Yang dimaksud dengan asas "multikultural" adalah bahwa dalam
Pesantren terdapat keanekaragaman budaya yang harus dihormati.

Huruf g
Yang dimaksud dengan asas "profesionalitas" adalah bahwa
penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan dengan mengikuti prinsip
manajemen pendidikan dan pengelolaan organisasi.

Huruf h
Yang dimaksud dengan asas "akuntabilitas" adalah bahwa
pengelolaan Pesantren dilakukan secara bertanggung jawab.

Huruf i
Yang dimaksud dengan asas "keberlanjutan" adalah bahwa
pengelolaan Pesantren tidak hanya ditujukan untuk kepentingan
generasi sekarang, tetapi juga untuk kepentingan generasi yang
akan datang.

Huruf j
Yang dimaksud dengan asas "kepastian hukum" adalah bahwa
pengelolaan Pesantren berdasarkan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.
- 34 -

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup Jelas.

Pasal 11
Ayat (1)
Program sarjana pada Ma’had Aly disebut marhalah ula (M-1).
Program magister pada Ma’had Aly disebut marhalah tsaniyah (M-2).
Program doktor pada Ma'had Aly disebut marhalah tsalisah (M-3).

Ayat (2)
Rumpun ilmu agama Islam yang dikembangkan oleh Ma'had Aly
meliputi:
a. Alquran dan ilmu Alquran;
b. tafsir dan ilmu tafsir;
c. hadis dan ilmu hadis;
d. fikih dan ushul fikih;
e. akidah dan filsafat Islam;
f. tasawuf dan tarekat;
g. ilmu falak;
h. sejarah dan peradaban Islam; dan
i. bahasa dan sastra Arab.
- 35 -

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Materi muatan Pancasila dan kewarganegaraan dimaksudkan untuk
membentuk Santri yang memiliki pemahaman dan penghayatan
mengenai Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia serta menjadi
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Materi muatan Bahasa Indonesia diberikan dengan pertimbangan
bahwa Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi nasional yang
digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "melalui lembaga dakwah yang dibentuk dan
dikelola oleh Pesantren" adalah dakwah yang dilakukan melalui
pengorganisasian secara terstruktur dan terencana dalam bentuk
lembaga dakwah yang diselenggarakan oleh Pesantren.
- 36 -

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.
- 37 -

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Ayat (1)
Sistem penjaminan mutu Pendidikan Pesantren terdiri atas sistem
penjaminan mutu internal dan sistem penjaminan mutu eksternal.
Sistem tersebut mencakup penilaian Iembaga Pendidikan Pesantren
berdasarkan kriteria mutu yang ditetapkan, rekognisi lulusan,
rekognisi pendidik, dan tenaga kependidikan sebagai tenaga
profesional, rekognisi kesetaraan kualifikasi dan kompetensi
pendidik dan tenaga kependidikan dengan pendidikan formal melalui
mekanisme rekognisi pembelajaran lampau, afirmasi dalam
melindungi kekhasan Pendidikan Pesantren, serta fasilitasi dalam
mengembangkan Pendidikan Pesantren.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.
- 38 -

Huruf d
Yang dimaksud dengan "kriteria mutu" adalah acuan mutu yang
dikembangkan berdasarkan kekhasan Pendidikan Pesantren dan
dapat berbentuk standar nasional pendidikan danf atau bentuk
lain yang sejenis.

Huruf e
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Nilai Islam rahmatan lil'alamin dan berlandaskan Pancasila, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika
dikembangkan sebagai jiwa Pesantren yang meliputi jiwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan nasionalisme, jiwa keilmuan, jiwa
keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa ukuwah, jiwa kemandirian,
jiwa kebebasan, dan jiwa keseimbangan.
Yang dimaksud dengan 'Jiwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan nasionalisme" adalah jiwa yang merupakan prinsip utama dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan yang dikembangkan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan 'Jiwa keilmuan" adalah jiwa yang melandasi
seluruh pemangku kepentingan dan sivitas akademika Pesantren
- 39 -

untuk menimba, mencari, dan mengembangkan ilmu pengetahuan


yang tidak henti. Bagi kalangan Pesantren, mencari ilmu
pengetahuan merupakan keharusan yang dilakukan hingga
meninggal dunia. Demikian juga, semangat untuk mengembangkan
dan menyebarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat merupakan
bagian dari ibadah sosial sebagai pengejewantahan iktikad meraih
ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Yang dimaksud dengan 'Jiwa keikhlasan" adalah jiwa yang tidak
didorong oleh ambisi apa pun untuk memperoleh keuntungan
tertentu, tetapi semata-mata demi ibadah kepada Allah Swt. Jiwa
keikhlasan termanifestasi dalam segala rangkaian sikap dan
tindakan yang selalu dilakukan secara ritual oleh komunitas
Pesantren. Jiwa ini terbentuk oleh adanya suatu keyakinan bahwa
perbuatan baik akan dibalas oleh Allah Swt. dengan balasan yang
baik pula, bahkan mungkin sangat lebih baik.
Yang dimaksud dengan 'Jiwa kesederhanaan" adalah sederhana yang
bukan berarti pasif, melainkan mengandung unsur kekuatan dan
ketabahan hati serta penguasaan diri dalam menghadapi segala
kesulitan. Di balik kesederhanaan itu, terkandung jiwa yang besar,
berani, maju terus dalam menghadapi perkembangan dinamika
sosial. Kesederhanaan ini menjadi identitas Santri yang paling khas.
Yang dimaksud dengan 'Jiwa ukhuwah" adalah jiwa demokratis yang
tergambar dalam situasi dialogis dan akrab antarkomunitas
Pesantren yang dipraktikkan sehari-hari. Disadari atau tidak,
keadaan ini akan mewujudkan suasana damai, senasib
sepenanggungan, yang sangat membantu dalam membentuk dan
membangun idealisme Santri. Perbedaan yang dibawa oleh Santri
ketika masuk Pesantren tidak menjadi penghalang dalam jalinan
yang dilandasi oleh spiritualitas Islam yang tinggi.
Yang dimaksud dengan 'Jiwa kemandirian" bukanlah kemampuan
dalam mengurusi persoalan internal, melainkan kesanggupan
membentuk kondisi Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam
yang independen dan tidak menggantungkan diri pada bantuan dan
pamrih kepada pihak lain. Pesantren harus mampu berdiri di atas
kekuatannya sendiri.
Yang dimaksud dengan 'Jiwa kebebasan" adalah bebas dalam
memilih alternatif jalan hidup dan menentukan masa depan dengan
- 40 -

jiwa besar dan sikap optimistis menghadapi segala problematika


hidup berdasarkan nilai Islam. Kebebasan juga berarti tidak
terpengaruh atau tidak mau didikte oleh dunia luar.
Yang dimaksud dengan 'Jiwa keseimbangan" adalah jiwa yang dalam
Pesantren dimanifestasikan atas kesadaran yang mendasar atas
fungsi manusia baik sebagai hamba Allah Swt. maupun sebagai
khalifah di muka bumi. Sebagai hamba Allah Swt., manusia
diwajibkan untuk beribadah dan menjalin hubungan personal secara
vertikal dengan Allah SWT melalui serangkaian ibadah mahdlah dan
fasilitasi ibadah lainnya. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia
diwajibkan untuk menjalin komunikasi, kerja sama, dan hubungan
sosial horizontal di antara sesama serta memanfaatkan alam semesta
secara harmonis untuk kepentingan kemanusiaan secara luas.
Kedua fungsi itu senantiasa mendasari sikap dan perilaku
keberagamaan, pola pikir, dan kegiatan sehari-hari secara seimbang.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.
- 41 -

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “penghentian bantuan dan/atau
dukungan dana” adalah penghentian oleh Pemerintah Provinsi
atas bantuan dan/atau dukungan dana yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Huruf c
Penghentian sementara kegiatan dalam ketentuan ini tidak
termasuk kegiatan internal, seperti rapat internal Pesantren.

Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.
- 42 -

Pasal 48
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR …

Anda mungkin juga menyukai