1. Tantra
Kata tantra berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki makna
“memperluas”. Tantra merupakan salah satu dari sekian banyak konsep
pemujaan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, di
mana manusia kagum pada sifat-sifat ke-Maha- Kuasaan-Nya sehingga
memiliki keinginan untuk mendapatkan kesaktian.
Diantara kita tentu ada yang tidak ingin menjadi seorang agamis, yang hanya
terpaku pada simbol-simbol agama berupa penampilan fisik, jenis pakaian,
cara bicara, bahasa, gerak-gerik, bau minyak wanginya. Ada baiknya diantara
kita menjadi seorang praktisi (penghayat) akan teori-teori agama sehingga
tidak hanya pintar berbicara. Hal itu menjadi hak setiap orang untuk memilih,
masing-masing tentu akan membawa dampak yang berbeda-beda. Damarjati
Supadjar, mengemukakan bahwa ciri-ciri mistisisme adalah sebagai berikut:
Mistisisme adalah persoalan praktik; Secara keseluruhan, mistisisme adalah
aktivitas spiritual; Jalan dan metode mistisisme adalah cinta kasih sayang;
Mistisisme menghasilkan pengalaman psikologis yang nyata; dan Mistisisme
sejati tidak mementingkan diri sendiri (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:
171).
2. Yantra
Dalam kamus Sanskerta, kata yantra memiliki arti mengikat, menyimpulkan
sebuah peralatan, instrumen, mesin dan sebuah jimat (Surada, 2007: 257).
Yantra umumnya berarti alat untuk melakukan sesuatu guna mencapai
tujuan. Di dalam pemujaan yantra adalah sarana tempat memusatkan
pikiran. Yantra merupakan aspek dalam dari bentuk penciptaan. Sifat dasar
dari manusia dan binatang, seperti halnya para Devata yang diekspresikan
melalui yantra (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 175).
Hal senada dijelaskan pula dalam kamus jawa Kuno oleh L. Mardiwarsito
(dalam Wiana 2004:189), kata yantra dinyatakan berasal dari bahasa
Sanskerta yang artinya sarana untuk memuja Deva, sedangkan dalam kamus
Sanskerta-Indonesia, kata yantra diartikan harta kekayaan, bantuan, alat
perlengkapan dan lain-lain. Yantra merupakan kebutuhan dasar untuk
menggambarkan semua simbol- simbol, semua wujud suci, altar, pura dan
mudra. Yantra dipergunakan dalam upacara pemujaan, Devata dihadirkan
dengan menggambar melalui yantra dan memanggil nama yang gaib. Yantra
dapat diekspresikan ke dalam aspek internal dari setiap bentuk ciptaan. Sifat
alami manusia dan binatang-binatang, seperti halnya Deva-Deva dapat
diekspresikan melalui yantra (Titib, 2003:469).
3. Mantra
Ya indra sasty-avrato anuûvàpam-adevayuá,
svaiá sa evair mumurat poûyam rayiý sanutar dhei taý tataá.
Terjemahannya;
Tuhan Yang Maha Yang Maha Esa, orang yang tidak beriman kepada Tuhan
Yang Maha Esa adalah lamban dan mengantuk, mati oleh perbuatannya
sendiri. Berikanlah semua kekayaan yang dikumpulkan oleh orang semacam
itu, kepada orang lain’ (Ågveda VIII. 97.3).
Kata mantra berasal dari bahasa Sanskerta dari kata “Man” artinya pikiran
dan “Tra” artinya menyebrangkan. Mantra adalah media untuk
menyeberangkan pikiran dari yang tidak suci atau tidak benar menjadi
semakin suci dan semakin benar (Wiana, 2004:184). Mantra memiliki tujuan
untuk melindungi pikiran dari jalan sesat menuju jalan yang benar dan suci.
Menurut Danielou (dalam Titib 2003:437) bahasa yang benar yang merupakan
ucapan suci yang digunakan dalam pemujaan disebut dengan mantra. Kata
mantra berarti “bentuk pikiran”, sehingga seseorang yang mampu memahami
makna yang terkandung di dalam mantra dapat merealisasikan apa yang
digambarkan di dalam mantra tersebut (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:
178).
Mantra adalah kumpulan dari pada kata-kata yang mempunyai arti mistik,
serta umumnya berasal dari bahasa Sanskerta dan dinamai Bijaksara (Tim
Penyusun, 1987:6). Mantra disusun dengan menggunakan aksara-aksara
tertentu yang diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk
bunyi, sedangkan huruf-huruf itu sebagai perlambang dari bunyi tersebut.
Mantra mempunyai getaran atau suara tersendiri sehingga untuk
menghasilkan pengaruh yang dikehendaki mantra harus disuarakan dengan
cara yang tepat, sesuai dengan “suara” atau ritme, dan warna atau bunyi.
Apabila mantra tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa lain, mantra itu tidak
memiliki warna yang sama, sehingga terjemahannya hanya sekedar kalimat
(Avalon dalam Titib, 2003:439). Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan,
mantra adalah merupakan susunan kata yang berunsur puisi, seperti ritme
dan irama yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan
oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Mantra
sebagai sebuah pola gabungan kata-kata bahasa Veda yang diidentikkan
dengan Deva atau Devi tertentu.
Mantra digunakan dalam sadhana tantra atau berbagai ritual, diucapkan atau
diulang-ulang dalam berbagai kombinasi atau konteks yang kemudian
membuat pola vibrasi tertentu. Mantra-mantra yang ada sekarang adalah
warisan dari para maharsi, orang suci, orang sadhu dan yogi yang telah
mempraktekkan berbagai mantra selama ribuan tahun (Chawdhri, 2003:97).
Dalam pengucapan mantra, ada hal-hal yang perlu dicermati seperti: susunan
kata-kata, ritme/intonasi serta pengucapan yang tepat yang diikuti dengan
suasana lingkungan yang baik sehingga akan menciptakan suatu kesucian.
Mantra adalah sebuah kata-kata atau kalimat suci yang bersumber dari kitab
suci veda, khususnya dalam teks dharma pemujaan kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa beserta dengan berbagai macam
manifestasi- Nya pada saat pelaksanaan Panca Yajna dalam kehidupan dan
penerapan ajaran Hindu.
Mantra adalah catur Veda yaitu: Åg veda, Yayur veda, Sama veda, dan
Atharwa veda. Mantra merupakan bunyi, suku kata, kata, atau sekumpulan
kata-kata yang dipandang mampu “menciptakan perubahan” seperti misalnya
perubahan spiritual. Penggunaan mantra sekarang tersebar melalui berbagai
gerakan spiritual yang berdasarkan atau cabang dari berbagai praktik dalam
tradisi dan agama ketimuran. Mantra Aum atau Om dalam aksara Devanagari.
Mantra merupakan sebuah kata atau kombinasi beberapa buah kata yang
sangat kuat atau ampuh, yang didengar oleh orang bijak dan dapat membawa
seseorang yang mengucapkannya melintasi lautan kelahiran kembali, inilah
yang merupakan arti mantra yang tertingi (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:
179).