Disusun Oleh:
Miftahul Khoiri, S. Hum
NIM: 18201020010
1
A. Uraikan apa yang dimaksud dengan kedua pernyataan tersebut yang
dihubungkan dengan perbedaan corak sosial sejak khulafa al-rasyidun sampai
dengan era dinasti Abbasiah!.
Jawab
Hasil pertemuan di balai Tsaqifah dengan perdebatan yang sangat sengit
menghasilkan Abu Bakar sebagai Khalifah al-Rasul (selanjutnya disebut khalifah).
Setelah dua tahap pembai’atan (al-Bai’h al-Khassah dan al-Bai’h al-Ammah)
terhadap Abu Bakar, maka beliau pun berpidato di hadapan publik, yang berbunyi:
“sesungguhnya saya telah terpilih menjadi pemimpin kalian, akan tetapi saya
bukan yang terbaik. Ikutilah aku ketika aku ta’at kepada Allah dan Rasul-nya,
jika aku menyimpang maka tidak wajib bagi kalian untuk mendukungku”.
Secara otomatis bahwa pidato Abu Bakar tersebut mengandung arti dan
makna yang sangat penting dan mendalam. Maksudnya bahwa pidato tersebut
menunjukkan garis besar politik dan kebijaksanaan Abu Bakar dalam pemerintahan.
Di dalamnya terdapat prinsip kebebasan berpendapat, tuntutan ketaatan rakyat,
mewujudkan keadilan, dan mendorong masyarakat berjihad, serta shalat sebagai
intisari takwa. Secara umum, dapat dikatakan bahwa pemerintahan Abu Bakar
melanjutkan kepemimpinan sebelumnya, baik kebijaksanaan dalam kenegaraan
maupun pengurusan terhadap agama, di antara kebijaksanaannya ialah:
Dalam hal ini, pada awal pemerintahannya Abu Bakar diuji dengan adanya
ancaman yang datang dari umat Islam yaitu, timbulnya orang-orang yang murtad,
orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat, orang-orang yang mengaku
menjadi nabi.
2
Abu al-Abbas mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah pertama dinasti Abbasiah.
Setelah menjadi khalifah, Abu al-Abbas bergelar al-Saffah yang artinya penumpah
darah/peminum darah. Sebelum al-Saffah wafat 754 M, beliau mengangkat
saudaranya, yakni Abu Ja’far, dengan gelar al-Mansur sebagai penggantinya. Dalam
kekhalifahan Abbasiah, selain Saffah, semua khalifah Abbasiah menganggap
kekuasaannya berasal dari Allah. Dalam hal ini Mansur al-Abbas menyatakan:
“wahai manusia, sesungguhnya aku adalah khalifah Allah di bumi-nya.
Aku adalah bayangan Allah di muka Bumi-nya.
Aku adalah kekuasaan Allah di muka Bumi-nya”.
Maksud dalam pernyataan al-Mansur tersebut adalah, bahwa kekuasaannya
berasal dari Allah dan beliau dituntut untuk menjadi penuntun yang sebenarnya bagi
kaum muslim. Artinya para khalifah memegang amanat kekuasaan untuk menjadi
penyelamat umat. Gelar al-Mansur, al Mahdi, al-Hadi, al-Rasyid mengindikasikan,
bahwa beliau mengklaim diri mendapat tuntutan dari Allah di jalan yang lurus untuk
membawa pencerahan dan untuk mengembalikan umat Islam ke jalan yang benar.
Mereka juga diharapkan menjadi pelindung ulama dan ilmuwan. Tidak seperti masa
sebelum Mansur, para khalifah adalah sebagai pengganti dari khalifah terdahulu.
Mulailah sejak itu jabatan khalifah merupakan jabatan prestisius baik untuk bidang
politik maupun bidang keagamaan. Hal ini sangat berbeda dengan periode al-khulafa
al-rasyidun yang mana khalifah adalah pelayan rakyat dan dipilih rakyat.
3
dinasti umayyah yang pada kepemimpinan ini telah dipimpin oleh 37 khalifah. Dan
model kepemimpinannya, selain as-saffah semua khalifahnya bergelar khalifatullah.
B. Bagaiman peran sosial politik yang dibangun sejak berdirinya al-khulafa al-
rasyidun sampai kepada era tiga kekhalifahan Islam yang eksis pada waktu
yang sama (Abbasiyah, Umayyah II, dan Fatimiyah pada abad X M)
Masa Khulafa’ al-Rayidun
4
(orang-orang yang murtad, tidak mau membayar zakat dan mengaku diri sebagai
nabi).
Umar Ibn Khattab diangkat dan dipilih oleh para pemuka masyarakat dan
disetujui oleh jama’ah kaum muslimin. Pada saat menderita sakit menjelang ajal tiba,
Abu Bakar melihat situasi negara masih labil dan pasukan yang sedang bertempur di
medan perang tidak boleh terpecah belah akibat perbedaan keinginan tentang siapa
yang akan menjadi calon penggantinya, ia memilih Umar Ibn Khattab. Pilihannya ini
sudah dimintakan pendapat dan persetujuan para pemuka masyarakat pada saat
mereka menengok dirinya sewaktu sakit.
Pada masa kepemimpinan Umar Ibn Khattab, wilayah islam sudah meliputi
jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Karena
perluasan daerah terjadi dengan begitu cepat, Umar Ibn Khattab segera mengatur
administrasi negara dengan mencontoh administrasi pemerintahan, dengan diatur
menjadi delapan wialayah propinsi: Mekah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah,
Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan pada
5
masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah.
Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga Yudikatif dengan Eksekutif.
Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Jawatan kepolisian dibentuk. Demikian
juga jawatan pekerjaan umum, Umar Ibn Khattab juga mendirikan Bait al-Mall.
Dalam menyelesaikan permasalahan yang berkembang dimayarakat Umar selalu
berkomunikasi dengan orang-orang yang memang dianggap mampu dibidangnya.
Ustman Ibn Affan dipilih dan diangkat dari enam orang calon yang diangkat
oleh khalifah Umar saat menjelang wafatnya karena pembunuhan. Keenam orang
tersebut adalah: Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Saad bin Abu Waqqash, Abd
al-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, serta Abdullah bin
Umar, putranya, tetapi ”tanpa hak suara”. Umar menempuh cara sendiri yang berbeda
dengan cara Abu Abakar. Ia menunjukkan enam orang calon pengganti yang
menurutnya dan pengamatan mayoritas kaum muslimin memang pantas menduduki
jabatan Khalifah. Oleh sejarawan islam mereka disebut Ahl al-Hall a al’aqd pertama
dalam islam., merekalah yang bermusyawarah untuk menentukan siapa yang menjadi
khalifah. Dalam pemilihan lewat perwakilan tersebut Ustman Ibn Affan mendapatkan
suaran lebih banyak, yaitu 3 suara untuk Ali dan 4 suara untuk Ustman Ibn Affan.
6
Ali Ibn Abi Thalib
Ali Ibn Abi Thalib tampil memegang pucuk kepemimpinan negara di tengah-
tengah kericuhan dan huru-hara perpecahan akibat terbunuhnya Usman oleh kaum
pemberontak. Ali Ibn Abi Thalib dipilih dan diangkat oleh jamaah kaum muslimin di
madinah dalam suasana sangat kacau, dengan pertimbangan jika khalifah tidak segera
dipilih dan di angkat, maka ditakutkan keadaan semakin kacau. Ali Ibn Abi Thalib di
angkat dengan dibaiat oleh masyarakat.
7
berkuasa, kekuasaan yang ia peroleh bukan melalui musyawarah melainkan dengan
mengangkat pedang atau peperangan.
Pada awal kekuasaan Bani ini, penguasa pertama yaitu Muawiyah telah
banyak melakukan gagasan politik yang bersifat melakukan perombakan dalam
pemerintahan, yang diantaranya adalah ia pertama kali membentuk pasukan
bertombak pengawal raja, mengangkat penjaga istana. Di samping itu ia juga
membuat tempat sholat khusus bagi sultan di masjid, ia juga mengenakan pakaian
dari sutra, yang mana pada masa Rasulullah pakaian tersebut dilarang bagi kaum laki-
laki.
Pada masa Bani Umayyah ini pemerintahan berbeda dengan masa sebelumnya,
yang mana pada masa ini kepemimpinan turun-temurun telah diberlakukan, yakni
ketika Muawiyyah mengangkat puteranya, yakni Yazid menjadi putra mahkota yang
akan menggantikanya kelak. Bahkan Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya agar
tunduk setia pada puteranya tersebut. Sikap Muawiyyah seperti ini dipengaruhi oleh
keadaan Syiria selama ia menjadi gubernur di sana. Dia memang bermaksud
mencontoh monarchi heridetis di Persia dan Kekaisaran Bizantium.
8
Membentuk diwan al-khatim dan al-barid
Pada masa Dinasti Umayyah, Imperium Bizantium dan Sasani menjadi contoh
struktur pemerintahan, diantaranya perangkat administrasi yang termasuk di
dalamnya administrasi pendapatan negara dan juga dokumen-dokumen administrasi
berasal dari Bizantium. Mata uang juga meniru dari Bizantium. Dalam segi arsitektur,
para Khalifah Bani Umayyah membangun masjid dengan mendatangkan bahan
bangunan, ahli bangunan dan seniman Yunani. Sementara di dalam istana para
Khalifah Bani Umayyah menghiasi istana mereka dengan dekorasi Sasani. Dalam
9
bidang organisasi militer, tentara Bani Umayyah umumnya mengikuti struktur
organisasi tentara Bizantium, baik militer darat maupun angkatan laut.
Masyarakat pada masa Umayyah menjunjung tinggi Islam tapi didasarkan atas
penguasa aristrokrat Arab yang membentuk kasta sosial. Muslim Arab menikmati
keistimewaan dalam bidang perpajakan. Mereka dibebaskan dari pajak-pajak,
sebaliknya pajak-pajak itu dibebankan kepada muslim non-Arab dan non-Muslim.
Sistem ini menimbulkan keresahan dan ketidak-puasan di kalangan muslim non-
Arab, sehingga menimbulkan gerakan untuk menumbangkang kekuasaan Umayyah.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz menentukan suatu kebijakan politik tentang pajak.
Jika semula jizyah dan khazraj dipungut dari mawali, pada masanya kebijakan itu
diubahnya dengan mengeluarkan dekrit yang terkenal dengan "kebijakan ekonomi di
sawad", yaitu kebijakan penerapan jizyah dan khazraj bagi kaum dzimmi petani dan
tuan tanah untuk keselamatan jiwa dan tanah mereka. Selain itu antara muslim dan
non-muslim juga berbeda dalam pembayaran pajak. Bahwasanya pajak tersebut
hanya di bebankan pada kaum non-muslim saja. Sedangkan kaum muslim baik Arab
atau non-Arab dibebaskan dari pajak tersebut, akan tetapi sebagai gantinya mereka
dianjurkan mengeluarkan shodaqoh atau apa yang dikenal sebagi zakat.
10
Kebijakan politik Umayyah selain untuk usaha pengamanan dalam negeri juga ada
upaya-upaya perluasan wilayah, seperti halnya kebijakan Khalifah Abd Malik yang
banyak melakukan ekspansi sehingga banyak daerah kekuasaan yang ditaklukan dari
Timur sampai Barat. Kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu
menjadikan orang-orang Arab menduduki daerah kekuasaannya dan menjadi tuan
tanah. Mereka menetapkan pajak tanah kharraj dan pajak perorangan jizyah kepada
setiap orang yang mendiami daerah yang dikuasai itu, hal ini memberi pemasukan
bagi pemerintah untuk menggaji tentara. Awal mulanya gaji ini diprioritaskan kepada
orang Arab saja, sedangkan orang non Arab diberi gaji dari harta rampasan perang
setelah lama menjadi tentara. Pembedaan antara orang Arab dan non-Arab menjadi
alasan melemahnya orang-orang Arab karena kemewahan, sehingga mengakibatkan
peran kemiliteran diambil alih oleh orang-orang Barbar atau non-Arab.
Gagasan Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada masa pemerintahanya adalah tentang
kebijakannya dalam mengangkat gubernur. Kebijakan ini berbeda dengan penguasa
sebelumnya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengangkat gubernur dengan
melibatkan masyarakat untuk menentukan siapa gubernur yang mereka hendaki.
Khalifah menyuruh rakyat mengajukan beberapa calon. Kemudian setelah gubernur
ditetapkan oleh khalifah, ia meminta agar rakyat taat kepada gubernur tersebut selagi
ia baik dan menjalankan amanat rakyat.
11
Bani ini memproklamirkan bahwa kekuasaanya adalah mandat illahi, dan
khalifah adalah wakil atau bayangan Allah di bumi. kekuasaan mereka berasal dari
Allah sebagai mana ucapan khalifah al-Mansyur yang menyatakan, “saya adalah
khalifah Allah di bumi-Nya”, “saya adalah kekuasaan Allah di muka bunmi-Nya”,
dan “saya adalah bayangan Allah di muka bumi-Nya”, dan menjadi penuntun yang
sebenarnya bagi kaum muslim.
Jika pada masa Bani Umayyah jabatan khalifah hanya terbatas pada bidang
politik saja, dan tidak memiliki otoritas dalam bidang keagamaan, maka ini berbeda
dengan jabatan khalifah pada masa Abbasiyah. Yakni saat Khalifah al-Mansyur yang
mengatakan bahwa dalam diri khalifah terdapat dua jabatan yaitu khalifah sebagai
pemuka agama dan petinggi negara, maka sejak al-Mansur, khalifah tidak
membutuhkan pengakuan rakyat dengan kata lain, rakyat yang butuh khalifah.
Pada masa dinasti ini dominasi kalangan Arab mulai luntur, karena banyak
kalangan terutama dari Persia yang mulai mengambil peran dalam pemerintahan. Hal
ini menunjukkan bahwa pada masa Bani Abbasiyah imperium tidak lagi hanya
dimiliki oleh kalangan Arab, akan tetapi semua kalangan yang memiliki loyalitas atau
peran dalam hal politik, sosial, ekonomi,militer, dan sebagainya, baik itu dari Arab
atau non-Arab. Sehingga tidak ada lagi perbedaan antara Arab dan a'jam.
12
kelamaan khalifah menyerahkan pimpinan pemerintahan kepada Wazir. Sehingga
khalifah hanya seperti boneka yang dimainkan oleh wazir.
Selain jabatan wazir, juga terdapat jabatan penting yang muncul pada masa
Bani Abbas yang pada masa Bani Umayyah belum ada. Jabatan tersebut adalah hajib,
yaitu bertugas menjadi perantara antara rakyat dengan pemerintah. Kedua adalah
jallad, yaitu seorang yang bertugas sebagai algojo atau pelaksana hukuman. Adanya
jabatan jallad ini mengandung pengaruh dari Persia.
13
merasa kehilangan hak-haknya sebagai warga negara, sedangkan kepada orang-orang
muslim yang menjadi pegawai kerajaan diwajibkan mengikuti paham Syi’ah.
Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan politik pada masa
pemerintahan al-‘Aziz yang begitu moderat, kondusif terhadap perkembangan semua
paham dan agama yang ada di Mesir, meskipun al-‘Aziz sendiri pernah melarang
pelaksanaan salat tarawih di semua masjid di Mesir, hal itu disebabkan agar tidak
terjadi gejolak sosial antara pengikut beberapa mazhab dengan pendapat yang
berbeda-beda tentang pelaksanaan salat tersebut.
14
Selanjutnya dari segi politik juga daulat fatimiyah membentuk wazir-wazir
(wazir tanfiz dan wazir tafwid). Wazir ini dibentuk pada masa Aziz billah pada bulan
Ramadhan tahun 367H/979 M.
a. Amir-amir yang terdiri dari para perwira tertinggi dan para pengawal khalifah.
b. Para perwira istana yang terdiri atas para ahli (ustadh) dan para kasim.
15
c. Komando-komando resimen yang masing-masing menyandang nama berbeda
sepertii hafiziyyah, Juyushiyyah dan sudaniyyah atau yang dinamai dengan nama
khalifah, wazir dan suku.
Di luar jabatan-jabatan istana di atas, terdapat jabatan tingkat daerah yang meliputi
tiga daerah yaitu Mesir, Syiria dan daerah-daerah di Asia kecil. Khusus daerah Mesir
terdiri dari empat provinsi, yaitu provinsi Mesir bagian atas, provinsi Mesir wilayah
timur, provinsi Mesir wilayah barat dan wilayah Iksandariyyah, segala urusan yang
berkaitan dengan daerah tersebut diserahkan kepada penguasa setempat.
Corak politik Umayyah II
Sebelum menjelaskan mengenai dinasti umayyah II di Andalusia, terlebih
dahulu perlu dijelaskan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Andalusia. Para
sejarawan pada umumnya membagi sejarah Islam di Andalusia menjadi beberapa
periode: pertama, periode Dinasti Umayyah II yang dibagi dalam dua fase yakni
dependen 711-756 M, dan independen 756-1031 M, kedua, periode al-mulk al-
thawaif, ketiga, periode kekuasaan Islam dari Afrika Utara, dan keempat, periode
dinasti nasar. Dalam hal ini yang akan dijelaskan hanya masa Umayyah II.
Dinasti Umayyah masa dependen 711-756 M. masa periode ini yakni
semenjak masuknya Islam di Andalusia sampai masuknya Abdurahman al-Dakhil.
Pada periode ini terdapat 24 orang yang berkuasa di Andalusia yang bergelar amir
dan mereka tunduk atas kekuasaan kekhalifahan Umayah I di Damaskus.
Dinasti Umayyah masa independen 756-1031 M. sewaktu kekuatan
Abbasiyah berhasil menggulingkan kekuasaan Kekhalifahan Umayyah, mereka
berusaha membunuh semua darah biru yang berasal dari keturunan Umayyah, agar
nantinya para keturunan Umayyah tidak menjadi oposisi pemerintah. Ternyata dalam
proses pembantaian keturunan Umayyah, terdapat salah satu yang berhasil
meloloskan diri, yakni pangeran Abdurahman ibn Muawiyah ibn Hisyam (al-Dakhil).
Semasa dalam pelarian, al-Dakhil berhasil memasuki Andalusia bahkan ia
memproklamasikan diri menjadi penguasa di situ setelah berhasil memanfaatkan
16
polemik antara suku himyar dan mudhar. Mendengar pengangkatan al-Dakhil, al-
Fihri penguasa Andalusia yang dependen kedua puluh empat pada waktu itu
melancarkan serangan kepada al-Dakhil di Musarah, dekat Cordova, kemudia dalam
peperangan di Loxa al-Fihri meninggal dunia. Mendengar berita tersebut, khalifah al-
Mansur kemudian mengirimkan pasukan di bawah komandan Al-Ala ibn Mughis,
Gubernur jendral yang bermarkas di Qayrawan dengan tugas menangkap al-Dakhil
hidup-hidup, jika ia mati, maka cukup kepalanya saja yang dikirim ke Baghdad. Akan
tetatpi ternyata justru al-Ala sendiri yang terbunuh, dan kepalanya dikirim ke
Baghdad lewat seorang pedagang dengan diikut sertakan surat perintah dari khalifah
al-Mansur.
Setelah peristiwa tersebut Abdurahman mendapatkan julukan sang rajawali
Quraisy. Ketika Andalusia pada masa Abdurahman al-Dakhil, terdapat sejumlah
kalangan yang mempertanyakan mengapa al-dakhil tidak memakai gelar khalifah,
sementara ia merupakan keturunan dari kekhalifahan Umayyah di Damaskus. Al-
Dakhil menerangkan bahwa meskipun ia merupakan musuh dan berseteru dengan
kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, namun orang yang berhak menyandang gelar
khalifah yakni mereka yang berhasil menguasai kedua kota suci, yakni makkah dan
madinah. Oleh sebab itu, ketika masa al-Dakhil sampai amir VIII, para penguasa
Andalusia memakai gelar amir, bukan khalifah.
Pada masa amir ke VIII dari dinasti Umayyah, yakni Abdurahman III, terjadi
perubahan dalam sistem pemerintahan. Ia yang semula mengunakan gelar amir, pada
tahun 929 M ia mengangkat dirinya sendiri menjadi khalifah.
17
bergelar khalifah al-rasul tetapi berbeda dengan khulafa al-rasyidun. Pada umayyah di
memakai sistem monarki sementara khulafa al-rasyidun memakai demokrasi. Fase
selanjutnya diteruskan oleh Abbasiyah, yang mana seluruh khalifahnya memakai
gelar khalifatullah kecuali khalifah Abu al-Abbas as-Saffah.
18