Anda di halaman 1dari 18

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

Dibuat Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester (UTS) Mata Kuliah


Sejarah dunia Islam
Dosen Pengampu
Prof. Dr. M. Abdul Karim, M. A, M. A

Disusun Oleh:
Miftahul Khoiri, S. Hum
NIM: 18201020010

Fakultas Adab Dan Ilmu Budaya


Program Magister Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
2019

1
A. Uraikan apa yang dimaksud dengan kedua pernyataan tersebut yang
dihubungkan dengan perbedaan corak sosial sejak khulafa al-rasyidun sampai
dengan era dinasti Abbasiah!.
Jawab
Hasil pertemuan di balai Tsaqifah dengan perdebatan yang sangat sengit
menghasilkan Abu Bakar sebagai Khalifah al-Rasul (selanjutnya disebut khalifah).
Setelah dua tahap pembai’atan (al-Bai’h al-Khassah dan al-Bai’h al-Ammah)
terhadap Abu Bakar, maka beliau pun berpidato di hadapan publik, yang berbunyi:
“sesungguhnya saya telah terpilih menjadi pemimpin kalian, akan tetapi saya
bukan yang terbaik. Ikutilah aku ketika aku ta’at kepada Allah dan Rasul-nya,
jika aku menyimpang maka tidak wajib bagi kalian untuk mendukungku”.
Secara otomatis bahwa pidato Abu Bakar tersebut mengandung arti dan
makna yang sangat penting dan mendalam. Maksudnya bahwa pidato tersebut
menunjukkan garis besar politik dan kebijaksanaan Abu Bakar dalam pemerintahan.
Di dalamnya terdapat prinsip kebebasan berpendapat, tuntutan ketaatan rakyat,
mewujudkan keadilan, dan mendorong masyarakat berjihad, serta shalat sebagai
intisari takwa. Secara umum, dapat dikatakan bahwa pemerintahan Abu Bakar
melanjutkan kepemimpinan sebelumnya, baik kebijaksanaan dalam kenegaraan
maupun pengurusan terhadap agama, di antara kebijaksanaannya ialah:

 Kebijaksanaan pengurusan terhadap agama

Dalam hal ini, pada awal pemerintahannya Abu Bakar diuji dengan adanya
ancaman yang datang dari umat Islam yaitu, timbulnya orang-orang yang murtad,
orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat, orang-orang yang mengaku
menjadi nabi.

 Kebijaksanaan dalam kenegaraan

Di antara kebijaksanaan Abu Bakar dalam pemerintahan atau kenegaraan adalah:


bidang Eksekutif, pertahanan dan keamanan, Yudikatif, dan sosial ekonomi.

2
Abu al-Abbas mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah pertama dinasti Abbasiah.
Setelah menjadi khalifah, Abu al-Abbas bergelar al-Saffah yang artinya penumpah
darah/peminum darah. Sebelum al-Saffah wafat 754 M, beliau mengangkat
saudaranya, yakni Abu Ja’far, dengan gelar al-Mansur sebagai penggantinya. Dalam
kekhalifahan Abbasiah, selain Saffah, semua khalifah Abbasiah menganggap
kekuasaannya berasal dari Allah. Dalam hal ini Mansur al-Abbas menyatakan:
“wahai manusia, sesungguhnya aku adalah khalifah Allah di bumi-nya.
Aku adalah bayangan Allah di muka Bumi-nya.
Aku adalah kekuasaan Allah di muka Bumi-nya”.
Maksud dalam pernyataan al-Mansur tersebut adalah, bahwa kekuasaannya
berasal dari Allah dan beliau dituntut untuk menjadi penuntun yang sebenarnya bagi
kaum muslim. Artinya para khalifah memegang amanat kekuasaan untuk menjadi
penyelamat umat. Gelar al-Mansur, al Mahdi, al-Hadi, al-Rasyid mengindikasikan,
bahwa beliau mengklaim diri mendapat tuntutan dari Allah di jalan yang lurus untuk
membawa pencerahan dan untuk mengembalikan umat Islam ke jalan yang benar.
Mereka juga diharapkan menjadi pelindung ulama dan ilmuwan. Tidak seperti masa
sebelum Mansur, para khalifah adalah sebagai pengganti dari khalifah terdahulu.
Mulailah sejak itu jabatan khalifah merupakan jabatan prestisius baik untuk bidang
politik maupun bidang keagamaan. Hal ini sangat berbeda dengan periode al-khulafa
al-rasyidun yang mana khalifah adalah pelayan rakyat dan dipilih rakyat.

Telah dijelaskan bahwa setelah rasulullah wafat, kepemimpinan diteruskan oleh


para sahabat-sahabat dan kerabatnya, yang dibagi menjadi beberapa fase diantaranya
adalah: fase al-khulafa al-rasyidun yang mana kepemimpinan ini dipegang oleh
empat khalifah yaitu, abu bakar, umar, utsman, dan ali. Yang mana corak politik dari
khulafa al-rasyidun ini berbentuk demokrasi, yaitu dipilih oleh rakyat. Kemudian fase
Umayyah, yang mana masa kepemimpinan tersebut terdapat 14 khalifah yang
memimpin dinasti tersebut. dan corak politik dan pemerintahan yang sebelumnya
berbentuk demokrasi berubah menjadi monarki (kerajaan). Fase lanjutnya yakni

3
dinasti umayyah yang pada kepemimpinan ini telah dipimpin oleh 37 khalifah. Dan
model kepemimpinannya, selain as-saffah semua khalifahnya bergelar khalifatullah.

B. Bagaiman peran sosial politik yang dibangun sejak berdirinya al-khulafa al-
rasyidun sampai kepada era tiga kekhalifahan Islam yang eksis pada waktu
yang sama (Abbasiyah, Umayyah II, dan Fatimiyah pada abad X M)
Masa Khulafa’ al-Rayidun

Setelah wafatnya nabi Muhammad, kepemimpinan diganti oleh para


sahabatnya yang terdiri dari beberapa fase, diantaranya fase Masa khulafa al-rasyidun
terdiri dari.

Abu Bakar As-Shiddiq

Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung


sangat demokratis di musyawarah Tsaqifah Bani Sa’idah, memenuhi tata cara
perundingan yang dikenal dunia modern saat ini. Kaum Anshar menekankan pada
persyaratan jasa, mereka mengajukan calon Sa’ad Ibn Ubadah. Kaum muhajirin
menekankan pada persyaratan kesetiaan, mereka mengajukan Abu Ubaidah Ibn
Jarrah. Sementara itu Ahlul bait menginginkan agar Ali Ibn Abi Thalib menjadi
khalifah atas dasar kedudukannya dalam Islam, juga sebagai menantu dan karib Nabi.
Hampir saja perpecahan terjadi. Melalui perdebatan dengan beradu argumentasi,
akhirnya Abu Bakar disetujui oleh jama’ah kaum muslimin untuk menduduki jabatan
khalifah.

Sebagai kahlifah pertama, Abu Bakar dihadapkan pada keadaan masyarakat


sepeninggal Muhammad SAW. Meski terjadi perbedaan pendapat tentang tindakan
yang akan dilakukan dalam menghadapi kesulitan yang memuncak tersebut, kelihatan
kebesaran jiwa dan ketabahan batinnya. Seraya bersumpah dengan tegas ia
menyatakan akan memerangi semua golongan yang menyimpang dari kebenaran

4
(orang-orang yang murtad, tidak mau membayar zakat dan mengaku diri sebagai
nabi).

Kekuasaan yang dijalankan pada massa khalifah Abu Bakar, sebagaimana


pada masa Rasululllah, bersifat sentral, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
terpusat ditangan Khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga
melaksanakan hukum,. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW,
Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabatnya bermusyawarah.

Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar


mengririm kekuatan ke luar Arabia. Khalid Ibn Walid dikirim ke Irak dan dapat
menguasai Al-Hiyah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi dibawah pimpinan
empat jendral yaitu Abu Ubaidah, Amr Ibn Ash, Yazid Ibn Abi Sufyan, dan
Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun.

Umar Ibn Khattab

Umar Ibn Khattab diangkat dan dipilih oleh para pemuka masyarakat dan
disetujui oleh jama’ah kaum muslimin. Pada saat menderita sakit menjelang ajal tiba,
Abu Bakar melihat situasi negara masih labil dan pasukan yang sedang bertempur di
medan perang tidak boleh terpecah belah akibat perbedaan keinginan tentang siapa
yang akan menjadi calon penggantinya, ia memilih Umar Ibn Khattab. Pilihannya ini
sudah dimintakan pendapat dan persetujuan para pemuka masyarakat pada saat
mereka menengok dirinya sewaktu sakit.

Pada masa kepemimpinan Umar Ibn Khattab, wilayah islam sudah meliputi
jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Karena
perluasan daerah terjadi dengan begitu cepat, Umar Ibn Khattab segera mengatur
administrasi negara dengan mencontoh administrasi pemerintahan, dengan diatur
menjadi delapan wialayah propinsi: Mekah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah,
Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan pada

5
masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah.
Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga Yudikatif dengan Eksekutif.
Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Jawatan kepolisian dibentuk. Demikian
juga jawatan pekerjaan umum, Umar Ibn Khattab juga mendirikan Bait al-Mall.
Dalam menyelesaikan permasalahan yang berkembang dimayarakat Umar selalu
berkomunikasi dengan orang-orang yang memang dianggap mampu dibidangnya.

Ustman Ibn Affan

Ustman Ibn Affan dipilih dan diangkat dari enam orang calon yang diangkat
oleh khalifah Umar saat menjelang wafatnya karena pembunuhan. Keenam orang
tersebut adalah: Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Saad bin Abu Waqqash, Abd
al-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, serta Abdullah bin
Umar, putranya, tetapi ”tanpa hak suara”. Umar menempuh cara sendiri yang berbeda
dengan cara Abu Abakar. Ia menunjukkan enam orang calon pengganti yang
menurutnya dan pengamatan mayoritas kaum muslimin memang pantas menduduki
jabatan Khalifah. Oleh sejarawan islam mereka disebut Ahl al-Hall a al’aqd pertama
dalam islam., merekalah yang bermusyawarah untuk menentukan siapa yang menjadi
khalifah. Dalam pemilihan lewat perwakilan tersebut Ustman Ibn Affan mendapatkan
suaran lebih banyak, yaitu 3 suara untuk Ali dan 4 suara untuk Ustman Ibn Affan.

Pemerintah khalifah Ustman Ibn Affan mengalami masa kemakmuran dan


berhasil dalam beberapa tahun pertama pemerintahannya. Ia melanjutkan kebijakan-
kebijakan Khalifah Umar. Pada separuh terakhir masa pemerintahannya, muncul
kekecewaaan dan ketidakpuasaan dikalangan masyarakat karena ia mulai mengambil
kebijakan yang berbeda dari sebelumnya. Ustman Ibn Affan mengangkat keluarganya
(Bani Ummayyah) pada kedudukan yang tinggi. Ia mengadakan penyempurnaan
pembagian kekuasaan pemerintahan, Ustman Ibn Affan menekankan sistem
kekuasaan pusat yang mengusaai seluruh pendapatan propinsi dan menetapkan
seorang juru hitung dari keluarganya sendiri.

6
Ali Ibn Abi Thalib

Ali Ibn Abi Thalib tampil memegang pucuk kepemimpinan negara di tengah-
tengah kericuhan dan huru-hara perpecahan akibat terbunuhnya Usman oleh kaum
pemberontak. Ali Ibn Abi Thalib dipilih dan diangkat oleh jamaah kaum muslimin di
madinah dalam suasana sangat kacau, dengan pertimbangan jika khalifah tidak segera
dipilih dan di angkat, maka ditakutkan keadaan semakin kacau. Ali Ibn Abi Thalib di
angkat dengan dibaiat oleh masyarakat.

Dalam masa pemerintahannya, Ali Ibn Abi Thalib mengahadapi


pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, Ali Ibn Abi Thalib
tidak mau menghukum para pembunuh Usman dan mereka menuntut bela’ terhadap
daerah Usman yang telah ditumpahkan secara dhalim. Perang ini dikenal dengan
nama perang jamal.

Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Ibn Abi Thalib juga


mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah. Yang
didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan
kejayaannya. Pertempuran yang terjadi dikenal dengan perang shiffin, perang ini
diakhiri dengan tahkim, tapi tahkim ternyata tidak menyelsaikan maslah, bahkan
menyebabkan timbulnya golongan ketiga Al-Khawarij.

Corak Sosial-Politik Bani Umayyah

Berbeda dengan masa Khulafa ar-Rasyidin yang kepemimpinanya banyak


menggunakan musyawarah, pada masa kekuasaan atau kepemimpinan Bani Umayyah
kekuasaan didapat atau diperoleh dengan jalan perang. Hal ini terbukti ketika
Muawiyah bin Abu Sufyan yang berperang dengan Ali yang salah satu alasanya
adalah untuk memperoleh kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa telah terjadinya
perubahan sistem politik Islam. Yang mana pada masa Khulafa ar-Rasyidin
kekuasaan diperoleh dengan jalan musyawarah, akan tetapi pada saat Muawiyyah

7
berkuasa, kekuasaan yang ia peroleh bukan melalui musyawarah melainkan dengan
mengangkat pedang atau peperangan.

Pada awal kekuasaan Bani ini, penguasa pertama yaitu Muawiyah telah
banyak melakukan gagasan politik yang bersifat melakukan perombakan dalam
pemerintahan, yang diantaranya adalah ia pertama kali membentuk pasukan
bertombak pengawal raja, mengangkat penjaga istana. Di samping itu ia juga
membuat tempat sholat khusus bagi sultan di masjid, ia juga mengenakan pakaian
dari sutra, yang mana pada masa Rasulullah pakaian tersebut dilarang bagi kaum laki-
laki.

 Mengubah Sistem Politik dari Republik Menjadi Monarki

Pada masa Bani Umayyah ini pemerintahan berbeda dengan masa sebelumnya,
yang mana pada masa ini kepemimpinan turun-temurun telah diberlakukan, yakni
ketika Muawiyyah mengangkat puteranya, yakni Yazid menjadi putra mahkota yang
akan menggantikanya kelak. Bahkan Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya agar
tunduk setia pada puteranya tersebut. Sikap Muawiyyah seperti ini dipengaruhi oleh
keadaan Syiria selama ia menjadi gubernur di sana. Dia memang bermaksud
mencontoh monarchi heridetis di Persia dan Kekaisaran Bizantium.

 Pemindahan ibukota dari Kufah ke Damaskus

Pada awal pemerintahan Muawiyyah, ia memindahkan ibukota yang semula di


Kufah ke Damaskus. Hal ini merupakan salah satu pemikiran politik yang
Muawiyyah lakukan, karena sebelum ia naik menjadi khalifah ia menjabat sebagai
Gubernur di Damaskus. Sehingga di Damaskus inilah kekuatan atau pendukungnya
yang paling banyak. Selain itu Kufah merupakan Ibukota pada masa Ali, dan
mayoritas masyarakatnya adalah pendukung Ali yang menjadi musuh dari
Muawiyyah sendiri. Karena ingin mneghindari penberontaknan dari pendukung Ali
maka Muawiyyah memindahkan ibukota ke Damaskus.

8
 Membentuk diwan al-khatim dan al-barid

Pada masa Muawiyah banyak melakukan perubahan-perubahan administrasi


pemerintahan, agar menjadi suatu susunan teratur yang menghubungkan berbagai
negara. Ide atau gagasan Muawiyah dalam menjalankan pemerintahanya agar tetap
stabil dan lancar maka salah satu kebijakanya adalah dengan membentuk diwan al-
khatim dan diwan al-barid. Diwan-diwan itu kemudian berkembang maju pada masa
Abd al-Malik. Kebijakan tersebut tidak hanya karena keinginan semata dari khalifah,
akan tetapi ada peristiwa yang melatar belakangi, sehingga ia membuat kebijakan
tersebut. Salah satu hal yang melatar belakangi adalah pada masa sebelumnya pernah
terjadi pemalsuan surat pemerintah, sehingga untuk mencegah peristiwa itu terulang
lagi maka dibuatlah diwan tersebut.

 Pengangkatan Hakim atau Qadhi

Sebuah jabatan administratif yang diperkenalkan pada masa Umayyah, pada


mulanya Qadhi adalah wakil atau sekretaris gubernur provinsi, anggota administrasi
yang ditugaskan mengawasi kebijakan pemerintah dan menyelesaikan sengketa.
Kemudian dalam perkembangannya dibuat suatu lembaga kehakiman yang berdiri
sendiri, bahwa seorang Hakim bertanggungjawab bagi pelaksanaan Hukum Islam.

 Mengadopsi sistem pemerintahan Bizantium dan Sasani

Pada masa Dinasti Umayyah, Imperium Bizantium dan Sasani menjadi contoh
struktur pemerintahan, diantaranya perangkat administrasi yang termasuk di
dalamnya administrasi pendapatan negara dan juga dokumen-dokumen administrasi
berasal dari Bizantium. Mata uang juga meniru dari Bizantium. Dalam segi arsitektur,
para Khalifah Bani Umayyah membangun masjid dengan mendatangkan bahan
bangunan, ahli bangunan dan seniman Yunani. Sementara di dalam istana para
Khalifah Bani Umayyah menghiasi istana mereka dengan dekorasi Sasani. Dalam

9
bidang organisasi militer, tentara Bani Umayyah umumnya mengikuti struktur
organisasi tentara Bizantium, baik militer darat maupun angkatan laut.

 Struktur Sosial Pada Masa Bani Umayyah

Masyarakat pada masa Umayyah menjunjung tinggi Islam tapi didasarkan atas
penguasa aristrokrat Arab yang membentuk kasta sosial. Muslim Arab menikmati
keistimewaan dalam bidang perpajakan. Mereka dibebaskan dari pajak-pajak,
sebaliknya pajak-pajak itu dibebankan kepada muslim non-Arab dan non-Muslim.
Sistem ini menimbulkan keresahan dan ketidak-puasan di kalangan muslim non-
Arab, sehingga menimbulkan gerakan untuk menumbangkang kekuasaan Umayyah.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz menentukan suatu kebijakan politik tentang pajak.
Jika semula jizyah dan khazraj dipungut dari mawali, pada masanya kebijakan itu
diubahnya dengan mengeluarkan dekrit yang terkenal dengan "kebijakan ekonomi di
sawad", yaitu kebijakan penerapan jizyah dan khazraj bagi kaum dzimmi petani dan
tuan tanah untuk keselamatan jiwa dan tanah mereka. Selain itu antara muslim dan
non-muslim juga berbeda dalam pembayaran pajak. Bahwasanya pajak tersebut
hanya di bebankan pada kaum non-muslim saja. Sedangkan kaum muslim baik Arab
atau non-Arab dibebaskan dari pajak tersebut, akan tetapi sebagai gantinya mereka
dianjurkan mengeluarkan shodaqoh atau apa yang dikenal sebagi zakat.

Sebelumnya khalifah Abdul Malik yang mempunyai gagasan untuk menyatukan


masyarakat yang homogen, kemudian ia melakukan politik Arabisme, contohnya
adalah anak-anak Arab yang lahir di daerah taklukan wajib membuat akta kelahiran
di kantor catatan kelahiran Arab untuk menjaga keaslian mereka, semua penduduk
daerah Islam diwajibkan berbahasa Arab, bahkan adat istiadat dan sikap hidup
mereka diharuskan menjadi Arab.

 Pemerintahan Umayyah yang Sekuler

10
Kebijakan politik Umayyah selain untuk usaha pengamanan dalam negeri juga ada
upaya-upaya perluasan wilayah, seperti halnya kebijakan Khalifah Abd Malik yang
banyak melakukan ekspansi sehingga banyak daerah kekuasaan yang ditaklukan dari
Timur sampai Barat. Kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu
menjadikan orang-orang Arab menduduki daerah kekuasaannya dan menjadi tuan
tanah. Mereka menetapkan pajak tanah kharraj dan pajak perorangan jizyah kepada
setiap orang yang mendiami daerah yang dikuasai itu, hal ini memberi pemasukan
bagi pemerintah untuk menggaji tentara. Awal mulanya gaji ini diprioritaskan kepada
orang Arab saja, sedangkan orang non Arab diberi gaji dari harta rampasan perang
setelah lama menjadi tentara. Pembedaan antara orang Arab dan non-Arab menjadi
alasan melemahnya orang-orang Arab karena kemewahan, sehingga mengakibatkan
peran kemiliteran diambil alih oleh orang-orang Barbar atau non-Arab.

 Pengangkatan Gubernur Oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Gagasan Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada masa pemerintahanya adalah tentang
kebijakannya dalam mengangkat gubernur. Kebijakan ini berbeda dengan penguasa
sebelumnya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengangkat gubernur dengan
melibatkan masyarakat untuk menentukan siapa gubernur yang mereka hendaki.
Khalifah menyuruh rakyat mengajukan beberapa calon. Kemudian setelah gubernur
ditetapkan oleh khalifah, ia meminta agar rakyat taat kepada gubernur tersebut selagi
ia baik dan menjalankan amanat rakyat.

Corak Politik Bani Abbasiyah

Pada awal berdirinya Bani Abbasiyah bertujuan ingin melakukan revolusi


pemerintahan, yang mana Bani Umayyah di anggap sangat rendah komitmenya dalam
menegakkan syari'at Islam. Mereka menganggap Bani Umayyah korup, dekaden,
otoriter dan sekuler. Meskipun bersikap otokrat dan terkadang menggunakan
kekerasan dalam mematahkan oposisi, tetapi mereka masih tetap berpedoman pada
ajaran Islam.

11
Bani ini memproklamirkan bahwa kekuasaanya adalah mandat illahi, dan
khalifah adalah wakil atau bayangan Allah di bumi. kekuasaan mereka berasal dari
Allah sebagai mana ucapan khalifah al-Mansyur yang menyatakan, “saya adalah
khalifah Allah di bumi-Nya”, “saya adalah kekuasaan Allah di muka bunmi-Nya”,
dan “saya adalah bayangan Allah di muka bumi-Nya”, dan menjadi penuntun yang
sebenarnya bagi kaum muslim.

Jika pada masa Bani Umayyah jabatan khalifah hanya terbatas pada bidang
politik saja, dan tidak memiliki otoritas dalam bidang keagamaan, maka ini berbeda
dengan jabatan khalifah pada masa Abbasiyah. Yakni saat Khalifah al-Mansyur yang
mengatakan bahwa dalam diri khalifah terdapat dua jabatan yaitu khalifah sebagai
pemuka agama dan petinggi negara, maka sejak al-Mansur, khalifah tidak
membutuhkan pengakuan rakyat dengan kata lain, rakyat yang butuh khalifah.

Khalifah menikmati kekuasaan mutlak, bahwa setiap perkataannya merupakan


hukum. Ia menempati kedudukan sebagai Amirul-Mukminin, pada saat shalat Jum'at
khalifah menjabat sebagai imam, panglima tertinggi dalam peperangan, dan bertugas
menjamin ketertiban berdasarkan Hukum Islam.

Pada masa dinasti ini dominasi kalangan Arab mulai luntur, karena banyak
kalangan terutama dari Persia yang mulai mengambil peran dalam pemerintahan. Hal
ini menunjukkan bahwa pada masa Bani Abbasiyah imperium tidak lagi hanya
dimiliki oleh kalangan Arab, akan tetapi semua kalangan yang memiliki loyalitas atau
peran dalam hal politik, sosial, ekonomi,militer, dan sebagainya, baik itu dari Arab
atau non-Arab. Sehingga tidak ada lagi perbedaan antara Arab dan a'jam.

Khalifah al-Mansyur mempunyai gagasan untuk memberlakukan sistem


wazir, sistem ini merupakan pengaruh dari ketata negaraan dari persia. Orang pertama
yang menjabat sebagai Wazir adalah Khalid Ibn Barmak. Pada awalnya Wazir
berfungsi sebagai asisten pribadi khalifah, kemudian menjadi orang kepercayaan
khalifah dalam mengawasi pemerintahan, dan dalam perkembangannya lama

12
kelamaan khalifah menyerahkan pimpinan pemerintahan kepada Wazir. Sehingga
khalifah hanya seperti boneka yang dimainkan oleh wazir.

Selain jabatan wazir, juga terdapat jabatan penting yang muncul pada masa
Bani Abbas yang pada masa Bani Umayyah belum ada. Jabatan tersebut adalah hajib,
yaitu bertugas menjadi perantara antara rakyat dengan pemerintah. Kedua adalah
jallad, yaitu seorang yang bertugas sebagai algojo atau pelaksana hukuman. Adanya
jabatan jallad ini mengandung pengaruh dari Persia.

Demi menjaga ketertiban dan keamanan di masyarakat, Khalifah al-Mahdi


membentuk police department. Departemen ini diciptakan untuk inspeksi pasar,
memeriksa timbangan, tempat keluhan pedagang, dan menjaga dari kriminalitas.
Mungkin pada saat ini polisi seperti itu bisa disebut semacam kepala POM.

Khalifah al-Mansyur adalah seorang khalifah yang pertama kali membuat


gagasan membentuk tentara nasional. al-Mansyur dalam militer lebih mementingkan
orang Persia kemudian Turki, berbeda dengan Bani Umayyah yang lebih
mementingkan orang Arab. Periode ini tentara di bagi menjadi dua yaitu tentara yang
digaji, dan tentara yang hanya mendapatkan gaji berupa al-ghanimah.

Corak politik Kekhalifahan Fatimiyah

Keadaan politik pada masa awal pemerintahan Dinasti Fatimiyyah sampai


priode pemerintahan yang ketujuh, masa pemerintahan al-Zahir, relatif stabil dan
tidak ada kejadian besar, karena para khalifah tersebut masih berkuasa penuh
terhadap pemerintahan, meskipun keputusan politik yang diambil oleh mereka sering
kali merugikan pihak lain yang non Syi’ah bahkan non muslim, seperti keputusan
politik yang diambil oleh al-Hakim terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen dengan
memaksa mereka memakai jubah hitam dan hanya dibolehkan menunggangi keledai,
lalu al-Hakim mengeluarkan maklumat untuk menghancurkan seluruh gereja  di
Mesir dan menyita tanah serta seluruh harta kekayaan mereka sehingga mereka

13
merasa kehilangan hak-haknya sebagai warga negara, sedangkan kepada orang-orang
muslim yang menjadi pegawai kerajaan diwajibkan mengikuti paham Syi’ah.
Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan politik pada masa
pemerintahan al-‘Aziz yang begitu moderat, kondusif terhadap perkembangan semua
paham dan agama yang ada di Mesir, meskipun al-‘Aziz sendiri pernah melarang
pelaksanaan salat tarawih di semua masjid di Mesir, hal itu disebabkan agar tidak
terjadi gejolak sosial antara pengikut beberapa mazhab dengan pendapat yang
berbeda-beda tentang pelaksanaan salat tersebut.

Kekuasaan Pemerintahan Dinasti Fatimiyyah mencakup wilayah yang sangat


luas sekali meliputi Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina,
Suriah, Yaman, dan Hijaz. Bentuk pemerintahan Dinasti Fatimiyyah adalah bentuk
yang dianggap pola baru dalam sejarah Mesir, karena dalam pelaksanaannya, khalifah
adalah kepala negara yang bersifat temporal dan spritual, pemecatan pejabat tinggi
berada di bawah kontrol kekuasaan khalifah.

Pada masa pemerintahan Fatimiyah, kepala Negara dipimpin oleh seorang


imam atau khalifah, para imam bagi fatimi memang sesuatu yang diwajibkan, ini
merupakan penerapan kekuasaan yang turun temurun, mulai dari Nabi Muhammad,
Ali bin Abi Thalib, kemudian selanjutnya di teruskan oleh para imam. Imamah ini
diwariskan dari seorang bapak kepada anak laki-laki yang paling tua dari keturunan
mereka. Dan menjadi syarat penting yang harus dipenuhi dalam pengangkatan
seorang imam adalah adanya nash atau wasiat khusus dari imam sebelumnya. Baik
wasiat yang di kemukakan di hadapan umat Islam secara umum, atau hanya diketahui
oleh orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja.

Para imam di dinasti fatimiyah, mereka anggap sebagai penjelmaan Allah di


bumi, meraka menjadikan Imam-imam sebagai tempat rujukan utama dalam syariat,
dan orang paling dalam ilmunya.

14
Selanjutnya dari segi politik juga daulat fatimiyah membentuk wazir-wazir
(wazir tanfiz dan wazir tafwid). Wazir ini dibentuk pada masa Aziz billah pada bulan
Ramadhan tahun 367H/979 M.

Disamping itu daulat fatimiyah juga membentuk dewan-dewan dalam


pemerintahannya di antaranya, dewan majlis, dewan nazar, dewan tahkik dewan
barid, dewan tartib, dewan kharraj dan lain-lainnya.

Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu bentuk


pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam
pelaksanaannya Khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual.
Pengakatan dan pemecatan penjabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan
Khalifah.

Menteri-menteri Wazir kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok, yaitu


kelompok Militer dan Sipil. Yang dibidangi oleh kelompok Militer di antaranya:
urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan
yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok Sipil di antaranya:

a. Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang.


b. Ketua dakwah, yang memimpin Darul Hikmah.
c. Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan.
d. Bendaharawan Negara, yang membidangi Baitul Mal.
e. Wakil kepala urusan rumah tangga Khalifah.
f. Qori, yang membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja dibutuhkan.

Dalam bidang Kemiliteran dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu:

a. Amir-amir yang terdiri dari para perwira tertinggi dan para pengawal khalifah.
b. Para perwira istana yang terdiri atas para ahli (ustadh) dan para kasim.

15
c. Komando-komando resimen yang masing-masing menyandang nama berbeda
sepertii hafiziyyah, Juyushiyyah dan sudaniyyah atau yang dinamai dengan  nama
khalifah, wazir dan suku.

Di luar jabatan-jabatan istana di atas, terdapat jabatan tingkat daerah yang meliputi
tiga daerah yaitu Mesir, Syiria dan daerah-daerah di Asia kecil. Khusus daerah Mesir
terdiri dari empat provinsi, yaitu  provinsi Mesir bagian atas, provinsi Mesir wilayah
timur, provinsi Mesir wilayah barat dan wilayah Iksandariyyah, segala urusan yang
berkaitan dengan daerah tersebut diserahkan kepada penguasa setempat.
Corak politik Umayyah II
Sebelum menjelaskan mengenai dinasti umayyah II di Andalusia, terlebih
dahulu perlu dijelaskan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Andalusia. Para
sejarawan pada umumnya membagi sejarah Islam di Andalusia menjadi beberapa
periode: pertama, periode Dinasti Umayyah II yang dibagi dalam dua fase yakni
dependen 711-756 M, dan independen 756-1031 M, kedua, periode al-mulk al-
thawaif, ketiga, periode kekuasaan Islam dari Afrika Utara, dan keempat, periode
dinasti nasar. Dalam hal ini yang akan dijelaskan hanya masa Umayyah II.
Dinasti Umayyah masa dependen 711-756 M. masa periode ini yakni
semenjak masuknya Islam di Andalusia sampai masuknya Abdurahman al-Dakhil.
Pada periode ini terdapat 24 orang yang berkuasa di Andalusia yang bergelar amir
dan mereka tunduk atas kekuasaan kekhalifahan Umayah I di Damaskus.
Dinasti Umayyah masa independen 756-1031 M. sewaktu kekuatan
Abbasiyah berhasil menggulingkan kekuasaan Kekhalifahan Umayyah, mereka
berusaha membunuh semua darah biru yang berasal dari keturunan Umayyah, agar
nantinya para keturunan Umayyah tidak menjadi oposisi pemerintah. Ternyata dalam
proses pembantaian keturunan Umayyah, terdapat salah satu yang berhasil
meloloskan diri, yakni pangeran Abdurahman ibn Muawiyah ibn Hisyam (al-Dakhil).
Semasa dalam pelarian, al-Dakhil berhasil memasuki Andalusia bahkan ia
memproklamasikan diri menjadi penguasa di situ setelah berhasil memanfaatkan

16
polemik antara suku himyar dan mudhar. Mendengar pengangkatan al-Dakhil, al-
Fihri penguasa Andalusia yang dependen kedua puluh empat pada waktu itu
melancarkan serangan kepada al-Dakhil di Musarah, dekat Cordova, kemudia dalam
peperangan di Loxa al-Fihri meninggal dunia. Mendengar berita tersebut, khalifah al-
Mansur kemudian mengirimkan pasukan di bawah komandan Al-Ala ibn Mughis,
Gubernur jendral yang bermarkas di Qayrawan dengan tugas menangkap al-Dakhil
hidup-hidup, jika ia mati, maka cukup kepalanya saja yang dikirim ke Baghdad. Akan
tetatpi ternyata justru al-Ala sendiri yang terbunuh, dan kepalanya dikirim ke
Baghdad lewat seorang pedagang dengan diikut sertakan surat perintah dari khalifah
al-Mansur.
Setelah peristiwa tersebut Abdurahman mendapatkan julukan sang rajawali
Quraisy. Ketika Andalusia pada masa Abdurahman al-Dakhil, terdapat sejumlah
kalangan yang mempertanyakan mengapa al-dakhil tidak memakai gelar khalifah,
sementara ia merupakan keturunan dari kekhalifahan Umayyah di Damaskus. Al-
Dakhil menerangkan bahwa meskipun ia merupakan musuh dan berseteru dengan
kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, namun orang yang berhak menyandang gelar
khalifah yakni mereka yang berhasil menguasai kedua kota suci, yakni makkah dan
madinah. Oleh sebab itu, ketika masa al-Dakhil sampai amir VIII, para penguasa
Andalusia memakai gelar amir, bukan khalifah.

Pada masa amir ke VIII dari dinasti Umayyah, yakni Abdurahman III, terjadi
perubahan dalam sistem pemerintahan. Ia yang semula mengunakan gelar amir, pada
tahun 929 M ia mengangkat dirinya sendiri menjadi khalifah.

C. Jelaskan sejarah konversi corak politik dari khalifatullah


Ketika para sahabat sebagai penganti rasulullah dengan berbagai gelar yang
disematkan dalam setiap model kepemimpinannya. Seperti halnya khulafa al-rasyidun
yang kesemuannya memakai gelar khalifah al-rasul, karena mereka menganggap
bahwa mereka adalah penerus dari rasulullah. Kemudian fase ummayah yang juga

17
bergelar khalifah al-rasul tetapi berbeda dengan khulafa al-rasyidun. Pada umayyah di
memakai sistem monarki sementara khulafa al-rasyidun memakai demokrasi. Fase
selanjutnya diteruskan oleh Abbasiyah, yang mana seluruh khalifahnya memakai
gelar khalifatullah kecuali khalifah Abu al-Abbas as-Saffah.

Sejarah Islam menyatakan bahwasanya Turki Usmani pernah menjadi pusat


kekuasaan Dunia Islam selama kurang lebih delapan abad dan sangat disegani oleh
bangsa eropa dengan cara mengambil ali gelar khalifah dari tangan abbasiyah yang
berlindung di wilayah mamluk. Menjelang akhir abad ke 18, hubungan-hubungan
yang yang dijalin dengan barat, mengakibatkan meningkatnya pencarian jati diri
karena kaum intelektual dan negara usmani mulai memandang westernisasi sebagai
prasyarat pembaruan kerajaan Usmani.

Lahirnya golongan elite modern Turki yang berpendidikan barat, ingin


membangkitkan rasa nasionalisme dikerajaan usmani, karena daerah imperium Turki
pada akhir abad ke-19, satu persatu jatuh ke tangan kolonialis Inggris, Prancis, dan
Rusia. Dengan demikian perebutan kekuasaan kekuatan eropa terhadap daya
ketahanan imperium usmani merupakan ajang kekuatan eropa dalam melindungi
kepentingan politik komersial di laut tengah, timur tengah, dan kawasan asia-afrika.

18

Anda mungkin juga menyukai