Di susun oleh
EGAR SAMUDERA
210103015
1. Pengertian
Benign prostatic hyperplasia / hiperplasia prostat jinak adalah penyakit yang disebabkan
oleh penuaan yang biasanya muncul pada lebih dari 50% laki-laki yang berusia 50 tahun ke
atas (Wilson dan Price, 2005).
Benign prostatic hyperplasia adalah penyakit yang disebabkan karena penuaan (Price
dan Wilson, 2005). BPH dapat didefenisikan sebagai pembesaran kelenjar prostat yang
memanjang ke atas ke dalam kandung kemih yang menghambat aliran urin, serta menutupi
orifisium uretra (Smeltzer dan Bare, 2003).
Secara patologis BPH dikarakteristikkan dengan meningkatnya jumlah sel stoma dan
epitella pada bagian perluretra prostat disebabkan adanya proliferasi atau gangguan
pemrogaman kematian sel yang menyebabkan terjadinya akumulasi sel (Roehrborn, 2011)
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa BPH adalah suatu penyakit
yang disebabkan oleh faktor penuaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang ke
atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium
uretra.
2. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi
3. Etiologi
Dari berbagai penelitian dan survey disimpulkan bahwa etiologi dan faktor resiko kanker
prostat adalah sebagai berikut:
- Usia
Resiko menderita kanker prostat dimulai saat usia 50 tahun pada pria kulit putih dengan
tidak ada riwayat keluarga menderita kanker prostat. Data yang diperoleh melalui
autopsi diberbagai negara menunjukkan sekitar 15-30% pria berusia 50 tahun menderita
kanker prostat secara samar. Pada usia 80 tahun sebanyak 60-70% pria memiliki
gambaran histologi kanker prostat (K. OH. William, 2000).
- Ras dan tempat tinggal
Penderita prostat tertinggi ditemukan pada pria dengan ras Afrika-Amerika. Pria berkulit
hitam memiliki resiko 1,6 lebih besar untuk menderita kanker prostat dibandingkan
dengan pria berkulit putih (Moul, J. W, et al, 2005).
- Riwayat keluarga
Carter, dkk menunjukkan bahwa kanker prostat didiagnosa pada 15% pria yang memiliki
ayah atau saudara laki-laki yang menderita kanker prostat, bila dibandingkan dengan 8%
populasi kontrol yang tidak memiliki kerabat yang terkena kanker prostat (Haas. E. P
dan Weel A. S, 1997).
- Faktor hormonal
Testosteron adalah hormon pada pria yang dihasilkan oleh sel Leydig pada testis yang
akan ditukar menjadi bentuk metabolit berupa dihidritestosteron (DHT) di organ prostat
oleh enzim 5-a reduktase.Beberapa teori menyimpulkan bahwa kanker prostat terjadi
karena adanya peningkatan kadar kadar testosteron pada pria, tetapi hal ini belum dapat
dibuktikan secara ilmiah. Beberapa penelitian menemukan terjadinya kadar penurunan
testosteron pada penderita kanker prostat, selain itu juga ditemukan peningkatan kadar
DHT pada penderita prostat tanpa diikuti dengan meningkatnya kadar testosteron (Haas.
E. P dan Weel A. S, 1997).
- Pola makan
Pola makan diduga memiliki pengaruh dalam perkembangan berbagai jenis kanker atau
keganasan. Pengaruh makanan dalam terjadinya kanker prostat belum dapat dijelaskan
secara rinci karena adanya perbedaan konsumsi makanan pada ras atau suku yang
berbeda, bangsa, tempat tinggal, status ekonomi dan lain sebagainya (Roehrborn, 2011).
4. Patofisiologi
Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dari bukunya Purnomo (2000) membagi kelenjar
prostat dalam beberapa zona antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
fibrimuskular anterior dan priuretra. Sjamsuhidajat (2005) menyebutkan bahwa pada usia
lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron-estrogen karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer.
Purnomo (2000), menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada
hormon testosteron yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan diubah menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah
yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena itu pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat,
tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar,
detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum leher vesika dan prostat oleh
sistem simpatis. Pada tahap awal terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang
bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba
mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat detrusor menjadi lebih tebal.
Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sitoskopi akan terlihat seperti
balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok) (Purnomo, 2000).
Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan yang kecil dinamakan
sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan ini detrusor ini disebut fase
kompensasi otot kandung kemih. Apabila keadaan ini berlanjut maka detrusor menjadi lelah
dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin. Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu:obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat
sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetas
pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi
karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang
kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersensitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan /
urgency, disuria)).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesika urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingterdan
obstruksi, sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluk vesika ureter dan dilatasi ureter dan ginjal maka ginjal akan rusak dan
terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik,
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intrabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Statis urin dalam vesika
urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal keluhan iritasi dan hematuria.
Selain itu, statis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme
yang dapat menyebabkan sistisis dan bila terjadi refluks menyebabkan pylonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005).
Pathway
BPH
Nyeri akut
Carpenito, 2006
Tucker dan Canobbic, 2008
Sjamsuhidajat dan Dejong, 2005
5. Pemeriksaan diagnostik
a. Urinalisa
Analisis urin dan mikrokopi urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, sedimen,
bakteri dan infeksi. Bia terdapat hematuria harus diperhitungkan adanya etiologi lain
seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH
sendiri dapat menyebabkan hematuria.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal
dan status metabolik. Pemeriksaan prostat spesifik antigen (PSA) dilakukan sebagai
penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4 ng/ml
tidakperlu biopsy sedangkan bia nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung protate spesifik antigen
density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD >0,15,
sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian pula bila nilai PSA > 0ng/ml.
b. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan kompikasi utama pasca operatif maka semua defek
pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan bisanya menyertai
[enderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan penafasan
harus dikaji.pemeriksaan darah mencakup hb, leukosit, hitung jenis leukosit, ct, bt,
golongan darah, hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
c. Pemeriksaan radiologi
Biasanya dilakuannfoto polos abdomen, prelegrafi intravena, USG, dan sitoskopi.Tujuan
pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disungsi buli dan volume residu
urin.dari foto polos dapat dilihat adanya batu paa traktus urinarus, pembesaran ginjal
atau buli-buli.Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari keganasan
prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari pielografi intravena dapat dilihat
suprei komplit dari fungsi ranal, hidronefrosis dan hidroureter gambaran ureter berbelok-
belok di visika urinaria, dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa
ginjal, mendeteksi residu urine dan batu ginjal.
BNO/IVP untuk menilai apakah ada pembearan dari ginjal, apakah terlihat bayangan
radioopak daerah traktus urinarius.IVP untuk melihat atau mengetahui fungsi ginjal
apakah ada hidronefrosis.Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara, dan
sesudah isinya dikencingkan.Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor,
divertikel.Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya reflex
urine.Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.
6. Penatalaksaan
a. Medis
Menurut sjamsuhidayat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH, tergantung
pada stdium-stadium dari gambaran klinis
Stadium 1
Pada stadium ini biasanya belum memerluksn tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoreseptor alfa seperti alfasozin dan
terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi
tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat
ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseki endoskopi melalui uretra (trans uretra)
Stadium III
Pada stadium III reaksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar, sehingga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya
dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans
vesika, retropublik dan perineal.
Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi
urine total dengan memasang kateter atau sitostomi. Selain itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive
dengan TUR atau pembedahan terbuka
1) Pra operasi
- Pemeriksaan darah lengkap (hb minimal 10g/dl, golongan darah, CT, BT, AL)
2) Post operasi
Teraba Vesika
urinaria penuh Akumulasi urine di vesika,
sukar untuk berkemih,
berkemih tidak lancar
Retensi urine
2. Ds: Obstruksi saluran kemih Nyeri akut
Biasanya pasien yang bermuara ke vesika
mengeluh nyeri saat urinaria
berkemih
DO: Penebalan otot destrusor
Skala nyeri dari 0-
10 Dekompensasi otot destrusor
yang sakit
Spasme otot sfingter
Nyeri
Post operasi
anemis. Terbangun
Susah Tidur
saat tidur
3. Ds: Keruskan jaringan Resiko Perdarahan
Biasanya pasien perurhetral
mengatakan ada
luka post operasi Lerusakan integritas kulit
TURP
DO: Resiko perdarahan
Riwayat Post Op
TURP
Terdapat luka post
op TURP,
4. Ds: Insisi Purostatektomi Resiko Infeksi
Biasanya pasien
mengatakan ada Terputusnya kontinuitas
luka pada post OP jaringan
TURP dan merasa
panas didaerah luka Penurunan pertahanan tubuh
DO:
Terdapat luka post
OP TURP dibagian
Perurhetral,
TTV : SB
maningkat
Adanya tanda-tanda
infeksi
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa yang sering muncul pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia menurut
Carpenita,2007:
1. Pre Operasi
a. Retensi Urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik pembesaran
prostat, dekompensasi otot detrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung
kemih, infeksi urinaria, efek mengejan dan obstruksi uretra
c. Ansietas berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit
2. Post Operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih, insisi sekunder pada
pembedahan.
b. Ganggguan Pola Tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan
c. Resiko Perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah, reaksi bladder,
kelainan profil darah
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive : alat pembedahan, kateter,
irisai kandung kemih.
D. Intervensi Keperawatan
Pre operasi
Post operasi
No. Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Nyeri akut b/d Setelah dilakukan 1. Kaji nyeri secara 1. Nyeri tajam ,
peregangan vesika tindakan komprhensif. dengan dorongan
urinaria melebihi keperawatran selama 2. lakukan tehnik berkemih sekitar
kapasitas …x 24 jam, menegement nyeri dengan kateter menunjukan
diharapkan pasien cara tarik nafas dari hidung spasme kandung
nyeri berkurang dan keluar lewat mulut. kemih.
dengan kriteria 3. Anjurkan pasien untuk 2. Dapat
hasil : menggunakan aktivitas menghilangkan
- nyeri berkurang, pengalihan nyeri, seperti atau merileksasikan
ekspresi wajah mendengarkan music. pasien dalam
tenang, skala nyeri 4.Berikan Informasi mengenai menghadapi nyeri,
0-10, TTV dalam nyeri, penyebab nyeri dan menurunkan
batas normal. antisipasi ketidaknyamanan tekanan pada
akibat prosedur. bagian tubuh.
5. Kolaborasi Pemberian 3. Tindakan untuk
Analgetik. mengurangi nyeri
dan untuk
meningkatkan
kulitas hidupnya.
4. Mengurangi
nyeri dengan tehnik
tarik nafas dalam.
5. Analgetik obat
unutk mengurangi
nyeri.
2. Resiko Perdarahan Setelah dilakukan 1. Jelaskan pada pasien 1. Menurunkan
b/d insisi area
tindakan tentang sebab terjadi kecemasan pasien,
bedah
keperawatan selama perdarahan setelah dan mengetahui
…x24 jam, pembedahan dan tanda –tanda tanda-tanda
diharapakan tidak perdarahan. perdarahan.
terjadi perdarahan, 2.. Irigasi aliran kateter jika 2. Gumpalan dapat
dengan Kriteria terdeteksi gumpalan darah menyumbat kateter,
Hasil : dalam saluran kateter. menyebabkan
- Pasien tidak 3. pantau TTV tiap 4 jam. peregangan dari
menunjukan tanda- 4. Mencegah pemakaian kandung kemih.
tanda perdarahan, thermometer rektal, 3. melihat
TTV dalam batas pemeriksaan rektal untuk perubahan yang
normal, urin lancer sekurang-kurangnya satu terjadi.
lewat kateter. minggu. 4. dapat
menimbulkan
perdarahan prostat.
3. Resiko Infeksi b/d Setelah dilakukan 1. Peratahankan system 1. Mencegah
prosedur invasive
tindakan kateter steril, berikan pemasukan bakteri
keperawatan …x 24 perawatan kateter dengan dan infeksi
jam , diharapkan steril. 2. meningkatkan
pasien tidak 2. anjurkan intake cairan yang output urin,
menunjukan tanda- cukup 2500-3000 sehingga sehingga resiko
tanda infeksi. dapat meurunkan potensi terjadi ISK
Dengan kritaeria infeksi. dikurangi dan
hasil : 3, pantau gekala tanda-tanda mempertahankan
- pasien tidak infeksi (misalnya suhu, fungsi ginjal.
mengalami tanda- denyut jantung, penampilan 3. mengetahui
tanda infeski, dapat luka, urin, malise). terjadinya tanda
mencapai waktu 4. Ajarkan pasien tehnik infeksi.
sembuh, ttv dalam mencuci tangan dengan benar. 4. Mencegah
batas normal dan 5. Kolanorasi Pemberian terjadinya infeksi.
tidak ada tanda- Antibiotik 5. mencegah
tanda infeksi. infeksi dan
membantu proses
penyembuhan.
4. Gangguan Pola Setelah dilakukan 1. Jelaskan pada pasien dan 1. Meningkatkan
Tidur b/d nyeri tindakan keluarga penyebab gangguan pengetahuan pasien
sebagai efek keperawatan selama tidur dan kemungkinan cara sehingga koperatif
pembedahan … x24 jam, menghindarinya. dalam tindakan
diharapkan tidak 2. ciptalah suasana yang keperawatan.
terjadi gangguan mendukung dengan 2.suasana tenang
pola tidur, dengan mengurangi kebisingan. akan mendukung
kriteria hasil: 3. beri kesempatan pasien istirahat.
- pasien mampu untuk mengungkapkan 3.menentukan
beristirahat dengan penyebab gangguan tidur. rencana untuk
cukup, 4. kolaborasi untuk pemberian mnegatasi
Pasien obat yang dapat mengurangi gangguan.
mengungkapkan nyeri. 4. mengurangi
bias tidur, pasien nyeri sehingga
mampu menjelaskan pasien bias istirahat
faktor yang cukup.
Daftar Pustaka
Doengoes E. Marilynn, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC
IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia). 2003. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. Style
sheet: www. Iaui.or.id/ast/file/bph.pdf
Setiadi. 2007. Anatomi dan Fisiologi Manusia Edisi 1. Yogyakarta: Graha Ilmu
Taylor. M. C dan Ralph, S. S. 2010. Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan Edisi 10.
Jakarta: EGC
Wilkinson, M Judith dan Ahern R. Nancy. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis
Nanda, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC Edisi 9. Jakarta: EGC