Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

Space Occupying Lesion


(Tumor Cerebri)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas Kepanitraan Klinik


Departemen Ilmu Saraf
Rumah Sakit Bhayangkara Tk.I R. Said Sukanto

Pembimbing :
dr. Kandhisa, Sp. N

Penulis :
Bazlina Zahra Wahyusaputri
1102016043

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I R. SAID SUKANTO
PERIODE 30 AGUSTUS – 18 SEPTEMBER 2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus:
“Space Occupying Lesion”

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik Departemen


Ilmu Saraf Rumah Sakit Bhayangkara Tk I R. Said Sukanto

Disusun Oleh:
Bazlina Zahra Wahyusaputri
1102016043

Telah disetujui pada tanggal…………………………… oleh:

Pembimbing,

(dr. Kandhisa, Sp.N)

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah
dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Laporan kasus ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian Departemen Ilmu Penyakit
Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi di RS Bhayangkara Tk. 1 R. Said Sukanto. Penulis
ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Kandhisa, Sp. N selaku pembimbing laporan kasus
ini dan kepada seluruh dokter yang telah membimbing selama kepaniteraan. Tidak lupa ucapan
terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari
bahwa dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembacanya. Terima kasih atas perhatiannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi pihak yang terkait dan kepada seluruh pembaca.

Jakarta,.... September 2021

Penulis

3
BAB I
LAPORAN KASUS

1. Identitas
 Nama : Tn. M
 Jenis Kelamin : Laki Laki
 Usia : 54 Tahun
 Agama : Islam
 Status : Sudah Menikah
 Pekerjaan : Satpam
 Alamat : Kamp. Makassar, Kramat Jati, Jakarta Timur
 Tanggal Masuk RS : 27 Agustus 2021
 Tanggal Pemeriksaan : 03 September 2021

2. Anamnesa
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada keluarga pasien tanggal 03
September 2021.
 Keluhan Utama
Nyeri kepala hebat
 Keluhan Tambahan
Kelemahan anggota gerak tubuh bagian kanan
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS Bhayangkara Tk.I R. Said Sukanto pada hari Jumat
27 Agustus 2021 dengan keluhan nyeri kepala terus menerus yang sudah
dirasakan selama 2 tahun belakang. Nyeri kepala dirasakan seperti ditusuk-
tusuk pada seluruh bagian kepala, terkadang pasien juga merasa seperti
berputar. Awal mula nyeri kepala dan pusing tidak terlalu sering dirasakan,
dan pasien biasanya hanya meminum obat warung untuk menghilangkan
nyeri kepalanya, namun sekitar 3 bulan belakang nyeri kepala pasien
dirasakan semakin memberat dan dirasakan setiap hari serta sulit hilang
meski sudah meminum obat warung. Keluhan juga disertai muntah
menyembur, muntah dapat berupa makanan maupun cairan tanpa didahului

4
mual.
Pasien juga mengeluhkan mengalami kelemahan anggota gerak pada
sisi kanan sejak 1 bulan SMRS. Keluhan berawal setelah pasien lelah bekerja
dari malam hingga pagi, tangan pasien dirasakan lemas dan sulit untuk
bergerak namun masih dapat berjalan. Lambat laun tangan dan kaki kanan
pasien mulai semakin lemas hingga kini pasien tidak dapat berjalan sendiri.
Keluhan disertai sulit berbicara namun sebenarnya pasien masih mengerti
saat diajak bicara, terdapat kesulitan menelan hingga pasien harus memakan
makanan yang cair, dan terdapat penurunan berat badan sekitar 10kg.
Keluhan batuk lama sekitar 3 tahun yang lalu sebelum keluhan nyeri kepala
juga dialami pasien karena pasien merupakan perokok aktif, namun batuk
tidak begitu mengganggu keseharian pasien sehingga pasien tidak
menghiraukan batuk tersebut. Keluhan demam tidak ada, tidak terdapat
riwayat kepala terbentur, tidak terdapat riwayat pingsan, tidak terdapat
kejang.
 Riwayat Penyakit Dahulu
- Istri dan anak pasien mengatakan pasien pernah mengalami gagal ginjal
sekitar 2/3 tahun yang lalu namun tidak rutin berobat dan tidak cuci darah.
- Riwayat Jantung : Tidak Ada
- Riwayat Hipertensi : Tidak Ada
- Riwayat DM : Tidak Ada
 Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada yang memiliki keluhan serupa
- Riwayat Tumor/kanker : Tidak Ada
- Riwayat Jantung : Tidak Ada
- Riwayat Hipertensi : Tidak Ada
- Riwayat DM : Tidak Ada
 Riwayat Obat
- Pasien hanya mengkonsumsi obat-obatan warung untuk mengatasi nyeri
kepalanya, dan merasa berkurang setelah mengkonsumsi obat, namun
nyeri kepala selalu muncul kembali sehingga pasien sering
mengkonsumsi obat warung tersebut.

5
 Riwayat Sosial Ekonomi
- Pasien bekerja sebagai satpam kantor, dan selalu mendapat jaga malam
sehingga pasien sering sekali bergadang dan memiliki jam tidur yang tidak
baik. Pasien juga merupakan perokok aktif sebelum sakit seperti sekarang,
dan sering mengkonsumsi kopi.

3. Pemeriksaan Fisik
 Status Generalisata
o Keadaan umum : Tampak sakit sedang
o Kesadaran : Compos mentis
o Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : 120/80 mmHg
 Nadi : 85 x/menit
 Laju pernapasan : 21x/menit
 Suhu : 37,0 0C
o Kepala : Normocephal
o Rambut : Warna hitam sedikit abu-abu (uban), distribusi
merata, dan tidak mudah dicabut, alopesia (-)
o Mata : Normal, sklera ikterik -/-,konjungtiva anemis -/-,
pupil bulat isokor, RCL +/+, RCTL +/+
o Hidung : Bentuk normal, deviasi (-), sekret (-)
o Mulut : Sianosis (-), atrofi papil lidah (-), faring tidak
hiperemis, uvula berada ditengah, tonsil
T1/T1, lidah putih.
o Telinga : Deformitas (-), massa (-), nyeri tekan (-),
hiperemis (-), discharge darah (-).
o Leher : Letak trakea ditengah, pembesaran KGB &
tiroid (-), massa (-).
o Thorax (cor) : Bunyi jantung I dan II, regular, bunyi tambahan
(-)
o Thorax (pulmo) : Vesikuler kanan dan kiri, wheezing (-/-), Ronkhi
(-/-)

6
o Abdomen : Simetris, tidak tampak membesar, bising usus
(+), nyeri tekan (-), organomegali (-), sikatrik(-),
massa (-).
o Ekstremitas
Atas : Akral hangat, CRT <2 detik.
Bawah : Akral hangat, CRT <2 detik.
 Status Neurologis
o Kesadaran
 E: 4 M: 6 V: x (Afasia Motorik)
o Tanda rangsang meningeal
 Kaku kuduk :-
 Kernig sign : >135º / >135º, Tidak ada tahanan
 Laseque sign : >70º/ >70º, Tidak ada tahanan
 Brudzinski I : -/-
 Brudzinski II : -/-
 Brudzinski III : -/-
 Brudzinski IV : -/-

o Pemeriksaan Nervus Cranialis


 N. I (N. Olfaktorius)
 ND : Tidak dapat dievaluasi karena pasien sulit bicara
 NS : Tidak dapat dievaluasi karena pasien sulit bicara
 N. II (N. Opticus)
 ODS
o Visus : Tidak dapat dievaluasi
o Lapang pandang : Tidak dapat dievaluasi
o Refleks cahaya langsung : (+/+)
o Warna primer : Tidak dapat dievaluasi karena
pasien sulit bicara
 N. III (N. Oculomotorius), N. IV (N. Trochlearis), VI (N. Abducens)
o OD : pupil isokor 3mm/3mm, RCL +, RCTL +
o OS : pupil isokor 3mm/3mm, RCL +, RCTL +

7
o Reflek akomodasi konvergensi normal dengan benda didekatkan
pupil miosis dan konvergen
o Gerak bola mata normal tidak ada parase
o Tidak ada ptosis
 N. V (N. Trigeminus)
 Sensorik
o N. V1 : Sulit dievaluasi karena terdapat kesulitan berbicara
o N. V2 : Sulit dievaluasi karena terdapat kesulitan berbicara
o N. V3 : Sulit dievaluasi karena terdapat kesulitan berbicara
 Motorik
o Menggigit : tonus dan kontraksi kuat ka=ki
o Membuka rahang : tidak ada deviasi, dapat digerakkan ke
ka=ki

 Jaw Jerk Reflek : Normal

 Refleks Kornea : Positif


 N. VII (N. Fascialis)
 Sensorik (pengecap 2/3 anterior lidah) : Tidak dilakukan
 Motorik
o Mengangkat alis : Tidak dapat dilakukan kanan dan
kiri
o Menggembungkan pipi : Tidak dapat dilakukan pasien
o Mencucu : Tidak dapat dilakukan pasien
o Meringis : Tidak dapat dilakukan pasien
 Pemeriksaan refleks
• Refleks Glabelar : Normal
 N. VIII (N. Vestibulocochlearis)
 Gesekan jari
o AS : Tidak dilakukan pemeriksaan
o AD : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Detik jam
o AS : Tidak dilakukan pemeriksaan
o AD : Tidak dilakukan pemeriksaan

8
 Tes berbisik
o AS : Tidak dilakukan pemeriksaan
o AD : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Garpu tala
o Rinne : Tidak dilakukan pemeriksaan
o Weber : Tidak dilakukan pemeriksaan
o Swabach : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Post pointing
o Tangan kanan : Tidak dilakukan pemeriksaan
o Tangan kiri : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Stepping test : Tidak dilakukan pemeriksaan
 N. IX (N. Glossopharyngeus)
 Sensorik (pengecap 1/3 bagian posterior lidah) : Tidak dilakukan
 Motorik (refleks menelan) : Kesan Baik
 N. X (N. Vagus)
 Reflex muntah : Kesan baik
 Letak uvula : Ditengah tidak terdapat deviasi
 N. XI (N. Accesorius)
 Mengangkat bahu : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
 Memalingkan kepala : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
 N. XII (N. Hipoglossus)
 Deviasi lidah : Lidah tidak terdapat deviasi
 Atrofi lidah : Tidak ada
 Fasikulasi, tremor : Tidak ada

o Pemeriksaan Motorik
 Kekuatan

4444 5555

4444 5555

9
 Extremitas atas : Atrofi tidak ada, normotonus
 Extremitas Bawah : Atrofi tidak ada, normotonus

o Refleks fisiologis
 Ekstremitas atas
o Biceps : ++/++
o Triseps : ++/++
 Ekstremitas bawah
o Patella : ++/++
o Achilles : ++/++

o Refleks patologis
 Ekstremitas atas
o Hoffman : -/-
o Trommer : -/-
 Ekstremitas bawah
o Babinski : -/-
o Chaddock : -/-
o Gordon : -/-
o Oppenheim : -/-
o Schaeffer : -/-
o Pemeriksaan sensorik
 Rangsangan raba : Tidak dapat dievaluasi
 Rangsangan nyeri : Tidak dapat dievaluasi
 Rangsangan suhu : Tidak dapat dievaluasi
 Propioseptif : Tidak dapat dievaluasi
 Diskriminasi dua titik : Tidak dapat dievaluasi
o Pemeriksaan saraf otonom
 BAB : Sulit dievaluasi
 BAK : Baik
 Berkeringat : Baik
o Pemeriksaan fungsi luhur
 Kelancaran bicara pasien : Tidak baik (afasia motorik)
 Pemahaman bahasa lisan : Kesan Baik

10
 Kemampuan baca : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Kemampuan menulis : Tidak dilakukan pemeriksaan

4. Pemerikaan Penunjang
a. Laboratorium
Tanggal 27 Agustus 2021
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Hematologi Lengkap
Hb 14,5 13-16
Leukosit 14.280 5000-10.000
Ht 42 40 - 48
Trombosit 390.000 150.000-400.000
Basofil 0 0-1
Eosinofil 0 1-3
Batang 0 2-6
Segmen 78 50-70
Limfosit 18 20-40
Monosit 4 2-8
LED - <15
Eritrosit 5,14 4-5
NLR (neutrofil 4,31
limfosit rasio)
Neutrofil 11.100 2.500-7.000
Absolut
Limfosit 2.570 1.000-4.000
Absolut

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Kimia Klinik
Ureum 52 10-50 mg/dL

11
Kreatinin 1,1 0,5-1,5
Estimasi 57 >=90
GFR mL/min/1.75 m^2

GDS 107 <200


Elektrolit
Natrium 131 135-145
Kalium 4,2 3,5-5,0
Chlorida 95 98-108

Pemeriksaan Lab tanggal 28 Agustus 2021


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Kimia Klinik
Kolestrol total 287 <200 mg/dL
Trigliserid 79 <200 mg/dL
Kolestrol HDL - direk 35 35-55 mg/dL
Kolestrol LDL Indirek 236 <160 mg/dL
Asam Urat
Asam Urat 7.6 3,4 – 7,0 mg/dL

Pemeriksaan Lab tanggal 02 September 2021


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Kimia Klinik
Analisa Gas Darah
pH 7,48 7,35-7,45
p CO2 39 35-45 mmHg
P O2 109 85-95 mmHg
O2 Saturasi 98 85-95 %
CO3 29 21-25 mmol/L
Phase Excess 5 -2.5 - + 2.5
mmol/L
Total CO2 30 21-27 mmol/L

12
Rontgen Thorax
Tanggal 27 Agustus 2021

Cor tidak membesar, CTR <50%


Dilatasi aorta thoracalis
Sinuses dan diafragma normal
Pulmo : Hili normal
Nodul opak inhomogen dibasal dextra
Skeletal dan soft tissue dalam batas normal
Kesan : Round pneumonia DD/ massa paru dextra
Dilatasi aorta thoracalis.

13
CT-Scan kepala tanpa kontras

Tampak lesi dengan ring hiperdens ringan regio tempoparietal kiri


dengan perifocal edema yang sedikit menekan ventrikel lateralis kiri
tanpa disertai deviasi midline
Tak tampak deviasi midline
Sistem ventrikel normal
Sulci/gyri diluar lesi normal
Orbita/aircell mastoid kanan-kiri normal
Tulang-tulang normal
Kesan : Suspek massa tempoparietal kiri

14
5. Resume
• Pasien datang ke RS Bhayangkara Tk.I R. Said Sukanto dengan keluhan nyeri
kepala terus menerus yang sudah dirasakan selama 2 tahun belakang. Nyeri
kepala dirasakan seperti ditusuk-tusuk pada seluruh bagian kepala, terkadang
pasien juga merasa seperti berputar. Sebelum keluhan nyeri kepala pasien
mengalami batuk lama. 3 bulan belakang nyeri kepala semakin berat dan
dirasakan setiap hari, Keluhan muntah menyembur tanpa diawali mual (+),
kelemahan anggora gerak sisi kanan yang progresif (+), kesulitan bicara (+),
penurunan berat badan yang signifikan (+).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran composmentis,
pemeriksaan neurologis didapatkan parase pada nervus 7 tipe UMN dan afasia
motorik. Pada refleks motorik terdapat kelemahan anggota gerak dengan score
4 bagian kananya. Pemeriksaan lab ditemukan peningkatan leukosit sebesar
14.280, kolestrol total sebesar 287, kolestrol LDL indirek sebesar 236, dan
asam urat 7.6. Pada rontgen thorax tampak nodul opak inhomogen dibasal
dextra, pada CT scan ditemukan lesi dengan ring hiperdens ringan regio
tempoparietal kiri dengan perifocal edema yang sedikit menekan ventrikel
lateralis kiri tanpa disertai deviasi midline.

6. Diagnosis
a. Diagnosis klinis : Laki-laki (54 tahun), Sefalgia kronik progresif,
Nausea dan Vomitting, Hemiparase dextra tipe
UMN progresif sejak 1 bulan yang lalu, Parase
nervus 7 tipe UMN, Kekuatan motorik kanan 4,
Afasia motorik, Penurunan berat badan yang
signifikan disertai massa paru dextra.
b. Diagnosis topis : Intrakranial, tempoparietal sinistra
c. Diagnosis etiologis : Massa intrakranial
d. Diagnosis kerja : SOL e.c Tumor Cerebri Metastasis Ca Paru
e. Diagnosis sekunder : Dislipidemia
7. Diagnosis Banding
- SOL e.c abses serebri

15
8. Planning
 Rencana Pemeriksaan
- CT-Scan kepala dengan kontras
- CT-Scan Paru  konsul dokter spesialis paru
 Medikamentosa
 Inj. Dexamethasone 3x5 mg (tappering off/ 2 hari)
 Inj. Ketorolac 3x5 mg
 Inj. Ondansetron 2x8 mg
 Tab Simvastatin 10 mg P.O
 Tab Mecobalamin 2x5 mg
 Tab allopurinol 1x100 mg
 Operatif  Reseksi tumor (konsul dokter spesialis Bedah Saraf)

9. Prognosis
 Quo ad vitam : Dubia Ad malam
 Quo ad sanationam : Dubia Ad malam
 Quo ad functionam : Dubia Ad malam

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Space Occupying Lesion(SOL) merupakan desakan ruang yang diakibatkan
peningkatan volume di dalam ruang intrakranial yang ditempati oleh jaringan
otak, darah, dan cairan serebrospinal. Lesi desakan ruang (Space Occupying
Lesion) bisa meningkatkan tekanan intrakranial. Space Occupying Lesion bisa
berupa neoplasma ataupun tumor, perdarahan ataupun granuloma. Jaringan otak
akan mengalami nekrosis sehingga menyebabkan gangguan neurologik
progresif.1

3.2. Epidemiologi
Berdasarkan data statistik, angka insidens tahunan tumor intrakranial di
Amerika adalah 16,5 per 100.000 populasi per tahun, dimana separuhnya
(17.030) adalah kasus tumor primer yang baru dan separuh sisanya (17.380)
merupakan lesi-lesi metastasis. Di Indonesia masih belum ada data terperinci
yang berkaitan dengan hal ini, namun dari data RSPP dijumpai frekuensi tumor
otak sebanyak 200-220 kasus/tahun dimana 10% darinya adalah lesi metastasis.
Insidens tumor otak primer bervariasi sehubungan dengan kelompok umur
penderita. Angka insidens ini mulai cenderung meningkat sejak kelompok usia
dekade pertama yaitu dari 2/100.000 populasi /tahun pada kelompok umur 10
tahun menjadi 8/100.000 populasi/tahun pada kelompok usia 40 tahun dan
kemudian meningkat tajam menjadi 20/100.000 populasi/tahun pada kelompok
usia 70 tahun untuk selanjutnya menurun lagi.2
Penderita tumor otak lebih banyak pada laki-laki (60,74%) dibanding
perempuan (39,26%) dengan kelompok usia terbanyak 51 sampai 60 tahun
(31,85%), selebihnya terdiri dari berbagai kelompok usia yang bervariasi dari 3
bulan sampai usia 50 tahun. Dari 135 penderita tumor otak, hanya 100 penderita
(74,1%) yang dioperasi dan lainnya (26,9%) tidak dilakukan operasi karena
berbagai alasan, seperti inoperable atau tumor metastase (sekunder). Lokasi

17
tumor terbanyak berada di lobus parietalis (18,2%), sedangkan tumor-tumor
lainnya tersebar di beberapa lobus otak, suprasellar, medulla spinalis,
cerebellum, brainstem, cerebellopontine angle dan multiple. 2

3.3. Patofisiologi3
Pada prinsipnya tumor otak merupakan hasil akhir dari onkogenesis, yaitu
suatu proses transformasi sel normal menjadi kanker. Hal ini diakibatkan oleh
ketidakseimbangan antara pembuatan sel-sel baru pada siklus sel dengan
hilangnya sel-sel lama akibat kematian terprogram (apoptosis).
Ketidakseimbangan ini merupakan hasil dari mutasi genetik pada 3 kelompok
protein, yaitu

1) protoonkogen, yang berperan pada pencetus pertumbuhan dan


diferensiasi sel normal

2) tumor suppressor genes, penghambat pertumbuhan dan pengatur


apoptosis

3) kelompok gen perbaikan DNA. Mutasi pro toonkogen disebut


sebagai onkogen, menghasilkan protein yang jumlahnya dalam batas
normal tetapi molekulnya mengalami mutasi sehingga efek
biologiknya tidak sama dengan yang normal, atau dapat fungsinya
normal tetapi jumlahnya berlebihan.

Pertumbuhan sel yang abnormal secara terus menerus akan menyebabkan


vaskularisasi dari pembuluh darah host tidak mencukupi, sehingga terjadi
hipoksia. Hal ini memicu sel tumor mensekresi vascular endothelial growth
factor (VEGF) untuk merangsang pembentukan pembuluh darah baru atau
angiogenesis.

18
Selain itu sel tumor mensekresi sitokin proinflamasi yang menyebabkan
kerusakan pada okludin, suatu protein tight junction antar endotel. Hal ini
menyebabkan pembuluh darah yang terbentuk tidak sama morfologinya dengan
yang normal, antara lain hilangnya tight junction antar endotel dan tidak
utuhnya membran basalis, yang disebut sebagai keadaan rusaknya sawar darah
otak (SDO) atau blood brain barrier (BBB). Pada keadaan tersebut, terjadi
ekstravasasi cairan ke sekitar jaringan tumor (edema peritumoral), sebagai suatu
edema vasogenik. Hal inilah yang menyebabkan lesi desak ruang menjadi
peningkatan tekanan intrakranial, adanya edema seiring dengan penambahan
ukuran massa tumornya.
Tumor glía atau glioma merupakan tumor dari jaringan penunjang, seperti
astrositoma berasal dari sel astrosit, oligodendroglioma dari oligodendrosit, dan
ependimoma dari sel ependim. Adapun meningioma berasal dari sel meningotel
araknoid. Derajat keganasan masing-masing tumor dinilai menurut kriteria
WHO berdasarkan tingkat proliferasi dan keaktifan bermitosis, mulai dari
derajat I yang tingkat proliferasinya paling rendah hingga derajat IV yang paling
aktif bermitosis dan dianggap ganas.

19
3.5. Klasifikasi3
Berdasarkan klasifikasi WHO tahun 2007, tumor otak digolongkan menurut
temuan histopatologis. Namun saat ini klasifikasi WHO tahun 2016 dibedakan
secara biomolekular untuk kepentingan tatalaksana dan prognosis, seperti
adanya mutasi isocitrate dehydrogenase (IDH)-1 dan 2, serta p53. Pada
oligodendroglioma anaplastik dengan delesi kromosom 1p mempunyai
prognosis yang lebih baik terhadap terapi dibandingkan yang kromosom 1pnya
intak.

20
Berdasarkan epidemiologinya, tumor tersering adalah astrositoma dan
meningioma. Golongan astrositoma tersering adalah derajat tinggi (high grade),
terutama glioblastoma, sekitar 38% dari tumor otak keseluruhan. Tumor ini
termasuk ganas, sehingga gejala klinis biasanya dalam waktu hitungan bulan
dengan defisit neurologis yang berat, serta gambaran MRI yang khas bisa
berupa kistik, nekrosis, atau perdarahan, dan edema yang luas. Prognosis
biasanya buruk, kecuali jika dapat dideteksi dini dan ditata laksana segera
dikatakan dapat memperpanjang kesintasan.
Meningioma merupakan tumor kedua tersering, terutama pada perempuan,
dikatakan berkaitan dengan hormon estrogen dan progesteron. Mayoritas (90%)

21
tumor ini jinak (derajat 1) dan mempunyai prognosis yang baik jika dapat
direseksi total. Mengingat letaknya yang dapat jauh di dalam, seperti daerah
basis kranii atau klivus, maka kadang terjadi residu tumor yang dapat
menyebabkan rekurensi.

3.6. Gejala dan Tanda Klinis3


Gambaran klinis memang sangat bervariasi tergantung pada letak tumor.
Namun berdasarkan prinsip adanya efek desak ruang dari massa yang tumbuh
progresif di rongga kompartemen tertutup, maka sebenarnya anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti dapat menjadi alat deteksi dini yang efektif. Alarm
utama sistem saraf kita adalah nyeri. Dengan bertambahnya tekanan di
intrakranial akibat massa di manapun letaknya, akan terjadi peregangan
meningen yang merangsang reseptor nyeri di sekitarnya dan menyebabkan
nyeri kepala. Gejala ini merupakan gejala utama (90%) pada tumor intrakranial.
Semua gejala klinis tumor otak adalah berlandaskan pada efek desak ruang.
Tekanan di intrakranial dipertahankan konstan sesuai dengan hukum Monroe
Kelly dengan memodifikasi aliran darah dan cairan serebrospinal. Oleh karena
itu, penambahan massa yang minimal masih dapat ditoleransi oleh otak dan
belum menyebabkan gejala. Jika massa terus membesar, meningen akan
meregang sehingga merangsang reseptor nyeri. Efek desak ruang bukan hanya
ditimbulkan oleh massa, namun juga oleh edema di sekitarnya, sehingga lebih
mudah menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Selain itu, nyeri juga
dapat menyebabkan regangan pada pembuluh darah dan sinus, sehingga bisa
jadi nyeri hebat tidak sesuai dengan efek desak yang minimal.

22
Nyeri kepala akibat tumor intrakranial harus bisa dibedakan dengan nyeri
kepala primer. Sesuai dengan pertumbuhan massa, maka nyeri akan terasa
makin lama makin berat, terutama jika ada penambahan volume ke intrakranial
seperti setelah aktivitas fisik, malam atau pagi hari, dan saat batuk atau
mengedan. Pada awal nyeri kepala masih hilang timbul, kemudian nyeri akan
lebih sering, terlokalisir pada satu area tertentu. Saat nyeri menetap dan
memberat berarti daya kompensasi otak sudah berkurang, biasanya mulai
muncul defisit neurologis. Jika hal ini masih belum terdeteksi, maka bisa jadi
pasien datang dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial, nyeri kepala
hebat disertai muntah serta penurunan kesadaran yang merupakan tanda-tanda
herniasi serebi.
Nervus abdusens merupakan saraf yang terpanjang melewati area
subaraknoid di antara saraf kranial lainnya. Maka pada pasien-pasien dengan
keluhan nyeri kepala berulang bisa ditanyakan adanya keluhan pandangan
ganda atau diplopia terutama saat melihat jauh, dilanjutkan dengan pemeriksaan

23
nervus VI yang teliti untuk mencari adanya paresis secara minimal. Demikian
pula dengan nervus optikus yang begitu keluar dari rongga orbita langsung
diselimuti oleh meningen. Tekanan yang mulai meningkat secara progresif akan
menyebabkan jeratan pada nervus tersebut sehingga terjadi papiledema.
Penilaian jaras visual dapat menjadi salah satu alat penapis klinis oleh
karena letaknya yang membentang mulai dari bola mata di bagian anterior
hingga lobus oksipital di daerah posterior sebagai area persepsi visual. Selain
itu, terdapat pula radiasio optika yang 'mengisi' parenkim dari bagian tengah ke
belakang, ke arah superior dan inferior. Maka keluhan pandangan buram,
pemeriksaan visual, fundus, dan lapang pandang merupakan paket yang wajib
dinilai untuk mendeteksi adanya massa kecil di intrakranial.
Fungsi otak utama adalah fungsi kognitif yang bisa terlihat pada hampir
semua area di setiap lobus baik depan belakang, kanan dan kiri mempunyai
peran dalam fungsi tersebut. Oleh karena itu, perubahan fungsi kognitif
sebenarnya dapat menjadi penapis yang sering terlupakan oleh defisit
neurologis lain yang terlihat secara kasat mata. Gangguan kognitif sebagai awal
gejala muncul hingga 30%, setara dengan sakit kepala, lebih tinggi dibanding
kelemahan motorik. Pada pasien yang berpendidikan tinggi atau masih aktif
bekerja dapat ditanyakan kapan mulai merasa aktivitasnya 'terganggu' atau
keluarga melihat adanya 'perbedaan' dalam kegiatan sehari-hari, yang
seminimal mungkin seperti gangguan atensi, perubahan emosi, dan sebagainya.
Hal ini dapat ditin daklanjuti minimal dengan pemeriksaan Mini Mental Status
Examination (MMSE), Montreal Cognitive Assessment (MoCA) versi
Indonesia (MoCA-Ina) atau pemeriksaan fungsi kognitif lengkap untuk
memastikan gangguannya.
Area otak yang juga cukup luas untuk dicari adanya efek desak ruang adalah
korteks yang melapisi seluruh parenkim. Sesuai dengan patofisiologinya,
adanya lesi di korteks dapat menimbulkan kejang. Keluhan ini bisa tidak
disadari oleh pasien atau keluarga karena bentuk kejang yang bisa berbeda-beda
sesuai dengan area yang terganggu sehingga perlu anamnesis tersendiri. Oleh
karena itu, kejang pertama kali pada usia dewasa atau tua tanpa demam harus

24
dicurigai adanya tumor di intrakranial yang membutuhkan pemeriksaan
pencitraan lebih lanjut dengan pemberian kontras. Hal ini biasanya terjadi pada
tumor jenis oligoden droglioma atau astrositoma derajat rendah.

3.7.Diagnosis3,4
A. Anamnesis
• Sakit kepala yang memburuk terutama di malam hari atau pagi hari
• Mual dan muntah bersamaan dengan sakit kepala yang memberat
• Penurunan kesadaran
• Paresis saraf-saraf kranialis
• Perubahan mood, memori, atau kemampuan untuk berkonsentrasi
• Gangguan fungsi kognitif dan memori
• Kejang
• Kelemahan dan/atau rasa baal, tingling pada ekstremitas.
B. Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan neurologis, funduskopi, fungsi luhur (MMSE dan Moca-
Ina), neurooftalmologi.
C. Pemeriksaan Penunjang
• CT Scan dengan kontras
• MRI dengan kontras
• MR Spectroscopy
• Fungsi luhur
• EEG/EMG/BAEP atas indikasi
• Foto thoraks
• Tumor marker
• Biopsi tumor
• Sitologi cairan serebrospinal (plus flowcytometri)

Diagnosis pasti tumor otak adalah dengan biopsi. Namun diperlukan


anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat membuat dugaan tumor otak agar
sebelumnya dapat dilakukan pemeriksaan pencitraan baik CT scan maupun MRI

25
dengan pemberian zat kontras. Sesuai dengan patofisiologi terjadinya kerusakan
sawar darah otak oleh sel tumor, maka zat kontras akan keluar dari pembuluh darah
dan menunjukkan gambaran penyangatan pada pencitraan. Oleh karena itu, jika
pencitraan dilakukan tanpa pemberian zat kontras, maka gambaran lesinya menjadi
kurang jelas karakteristiknya untuk menentukan dugaan tumor atau bahkan lesinya
menjadi tidak terlihat.
Anamnesis yang khas pada dugaan tumor otak adalah adanya gejala yang
kronik progresif. Berdasarkan patofisiologinya juga, terdapat perbedaan gejala
klinis pada tumor yang menyebabkan efek desak ruang dengan tumor yang terutama
menyebabkan gangguan fungsional. Pada tumor yang menyebabkan efek desak
ruang, seperti meningioma atau astrositoma derajat tinggi, gejala klinis biasanya
dimulai dengan sakit kepala dan diikuti defisit neurologis lainnya. Namun pada
tumor yang terutama menyebabkan gangguan fungsional seperti astrositoma derajat
rendah, gejala biasanya berupa kejang atau gangguan fungsi luhur setelah beberapa
lama, baru diikuti dengan sakit kepala atau defisit neurologis lainnya.
Pemeriksaan fisik perlu dimulai dari tanda vital untuk menentukan ada
tidaknya tanda peningkatan tekanan intrakranial. Pemeriksaan neurologis juga
harus disertai funduskopi untuk menilai papiledema. Pada tumor-tumor daerah
khusus, seperti tumor hipofisis, pineal atau serebelum, diperlukan pemeriksaan
neurooftalmologi untuk menilai adanya gangguan visus dan lapangan pandang,
deviasi konjugat, atau nistagmus. Sistem lainnya yang juga penting mencakup
hampir seluruh area otak adalah gangguan fungsi luhur yang biasanya sering tidak
terdeteksi. Pada meningioma lobus frontal yang tumbuh perlahan-lahan, gangguan
fungsi luhur merupakan gejala utama sebelum munculnya defisit neurologis klasik
lainnya.
Pemeriksaan pencitraan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling
penting untuk mempertajam dugaan diagnosis. MRI dengan segala fiturnya dapat
membantu memberikan gambaran tumor dengan kecurigaan ganas berdasarkan
kuatnya penyangatan kontras, densitas yang inhomogen, serta luasnya. edema
peritumoral di sekitarnya. Demikian pula berdasarkan letaknya di intraparenkim
(intra-aksial) dapat ditentukan kemungkinan suatu astrositoma atau di luar

26
parenkim (ekstra-aksial) sebagai meningioma, schwannoma, dan metastasis
leptomeningeal.
MRI lebih unggul dalam menggambarkan kelainan struktural secara detil
terutama untuk lesi yang kecil, bukan hanya untuk diagnosis, namun juga penilaian
pasca radioterapi dan adanya rekurensi. Walaupun demikian, pada tumor-tumor
yang menunjukkan gambaran kalsifikasi, seperti pada oligodendroglioma, akan
terlihat lebih jelas pada CT scan dibanding MRI.
Berdasarkan efek desak ruangnya, maka diagnosis banding tumor otak
tersering adalah lesi lain yang menyebabkan proses peningkatan tekanan
intrakranial secara progresif, seperti tuberkuloma, abses intrakranial, atau
toksoplasma ensefalitis. Oleh karena itu perlu dicari adanya tanda-tanda infeksi
sistemik, seperti tuberkulosis, human immunodefi ciency virus (HIV), atau sumber
infeksi lainnya dari telinga, hidung, gigi, dan sebagainya. Selain anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti, dapat dilakukan pemeriksaan magnetic resonance
spectroscopy (MRS) bersamaan dengan MRI untuk menilai metabolit infeksi dan
neoplasma berdasarkan rasio cholin dan N-asetil-aspartat (NAA) di area lesi.
Pada tumor juga dapat terjadi perdarahan akibat hipervaskularisasi yang
rentan, sehingga menyebabkan gejala klinis dan gambaran CT scan seperti stroke
hemoragik. Namun hal ini dapat dikenali jika didapatkan anamnesis adanya sakit
kepala sebelumnya, sehingga dilakukan CT scan kepala dengan kontras. Demikian
pula adanya hiperkoagulasi pada keganasan dapat menyebabkan gejala akut seperti
stroke (stroke-like syndrome). Adanya hiperkoagulasi semacam itu biasanya
ditemukan pada tumor metastasis yang juga terdapat tumor primer di organ lain,
sehingga dapat dideteksi dari anamne sis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Gejala
akut pada tumor otak primer juga dapat ditemukan pada pasien pascakejang yang
mengalami edema peritumoral, sehingga didapatkan defisit neurologis seolah-olah
mendadak. Namun hal ini juga dapat ditelaah dari anamnesis dengan menanyakan
gejala soft sign yang mungkin sudah ada sebelum kejang, seperti gangguan fungsi
luhur.

27
3.8. Tatalaksana3,4
• Glukokortikoid oral/injeksi sesuai indikasi
• Reseksi tumor
• Anti konvulsan jika kejang: obat anti epilepsi yang tidak menginduksI
sitokrom p450, seperti: asam valproat, levetiracetam, topiramat.
• Radioterapi: lokal atau whole brain radiotherapy, sesuai indikasi.
• Stereotaxic radiotherapy/surgery sesuai indikasi.
• Kemoterapi intratekal pada limfoma primer dan sekunder, serta keganasan
darah sekunder lainya.
• Kemoterapi sistemik (baik utk glioma maupun PCNSL)
• Kemotrapi oral dan targeted therapy pada glioma high grade.
• Terapi paliatif utuk nyeri dan kejang
• Homecare
• Tindakan operatif :
Pembedahan dilakukan pada tumor jinak (tumor ganas dilakukan juga
pembedahan bila dgn assessment awal secara multi displn tumornya secara
lokasi, feasible utk dilakukan reseksi maksimal bahkan total)

Pasien dengan tumor otak bisa datang dalam keadaan peningkatan TIK,
sehingga harus ditatalaksana segera. Perlu dilakukan analisis penyebab peningkatan
tekanannya segera berdasarkan gambaran klinis dan imajing, karena berbeda
tatalaksananya. Gejala peningkatan TIK akibat ukuran masa tumor yang besar
biasanya berlangsung secara perlahan dalam durasi yang lama dalam hitungan
minggu atau bulan, memerlukan tindakan operatif segera. Namun jika gejala
berlangsung singkat dalam hitungan jam atau hari, maka peningkatan TIK biasanya
disebabkan oleh edema peritumoral atau hidrosefalus akibat sumbatan sistem
ventrikel. Bahkan peningkatannya juga bisa berlangsung mendadak menyerupai
gejala stroke, yang ditemukan pada tumor berdarah seperti apopleksia hipofisis,
astrositoma derajat tinggi yang kaya akan pembuluh darah yang rapuh, atau tumor
metastasis.

28
Penyebab peningkatan TIK tersering adalah edema vasogenik, sesuai
dengan patofisiologi tumor untuk cenderung menyebabkan edema disekitarnya.
Obat pilihan utama adalah kortikosteroid golongan deksametason dosis tinggi,
loading 10mg IV dilanjutkan dosis rumatan 16-20mg/hari dan dapat dinaikkan
dosisnya. Secara teori dosis maksimal bisa hingga 96mg/hari, namun
kenyataannya dosis 30mg/hari juga sudah berefek bermakna. Pemberian
antiedema ini sebenarnya bersifat sementara sambil mempersiapkan pasien
untuk tindakan operatif. Namun kenyataannya persiapannya sering cukup lama.
Pada pemberian lebih lebih dari 5-7 hari, steroid tidak boleh dihentikan tiba-
tiba karena dapat menyebabkan rebound phenomenon, sehingga dilakukan
penurunan secara bertahap (tapering off). Penurunan dilakukan sebanyak 20%
dari dosis harian setiap 3-5 hari tergantung keadaan klinis. Sebaliknya dosis
juga dapat dinaikkan jika dianggap terjadi perburukan klinis akibat edemanya.
Manitol tidak dianjurkan diberikan karena dapat memperburuk edema, kecuali
bersamaan dengan deksametason pada situasi yang berat atau pascaoperasi.
Hidrosefalus biasanya ditemukan akibat penekanan ventrikel oleh tumor di
daerah sella, pineal, serebelum, atau intraventrikel itu sendiri. Dapat dilakukan
pemasangan pirau ventrikuloperitoneal (ventriculoperi toneal/VP shunt) segera
untuk menurunkan TIK sebelum kemudian dilakukan reseksi tumor
penyebabnya. Pada tumor berdarah, dapat terjadi edema sitotoksik bercampur
dengan edema vasogenik, sehingga jika belum terjadi perbaikan klinis yang
signifikan setelah pemberian deksametason dapat dilanjutkan dengan
pemberian manitol 25-50mg dalam solusio 20% intravena selama 10-20 menit.
Efek samping pemberian steroid yakni gangguan toleransi glukosa, stress-
ulcer, miopati, perubahan mood, peningkatan nafsu makan, Cushingoid, dan
sebagainya. Sebagian besar dari efek samping tersebut bersifat reversibel
apabila steroid dihentikan. Selain efek samping, hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pemberian steroid yakni interaksi obat. Kadar antikonvulsan serum,
seperti fenitoin dan karbamazepin dapat dipenga ruhioleh deksametason,
sehingga membutuhkan pemantauan.

29
Epilepsi merupakan kelainan yang sering ditemukan, 30% sebagai
manifestasi awal dengan bentuk bangkitan tersering adalah bangkitan fokal
dengan atau tanpa perubahan menjadi umum sekunder. Oleh karena tingginya
tingkat rekurensi bangkitan, maka harus diberikan obat antiepilepsi (OAE) yang
ditentukan berdasarkan pertimbangan profil efek samping, interaksi obat, dan
biaya. OAE golongan lama seperti fenitoin dan karbamazepin kurang
dianjurkan karena dapat berinteraksi dengan deksametason dan kemoterapi.
Alternatif lain mencakup levetirasetam, asam valproat, lamotrigin, klobazam,
topiramat, atau okskarbazepin. Levetirasetam lebih dianjurkan (Level A) dan
memiliki profil efek samping yang lebih baik dengan dosis antara 20-
40mg/kgBB, serta dapat digunakan pascakraniotomi.

Terapi Definitif
Tumor otak adalah biopsi dan reseksi tumor. Terutama pada tumor-tumor di
ekstraaksial seperti meningioma, tatalaksana utamanya hanya reseksi luas beserta
kapsulnya. Untuk lokasi yang lebih dalam, dapat dilakukan biopsi stereotaktik.
Semakin banyak tumor yang dapat direseksi maka keluarannya akan lebih baik.
Selain efek desak ruangnya teratasi, kemungkinan untuk rekuren juga lebih kecil.
Oleh karena itu lebih disukai jika tumor dapat didiagnosis dalam ukuran kecil
berdasarkan deteksi dini.
Pada golongan astrositoma biasanya agak sulit untuk menentukan batas tumor
dengan jaringan yang sehat, selalu ada sisa tumor yang perlu ditindak lanjuti
dengan radioterapi atau kemoterapi, terutama pada astrositoma derajat tinggi. Saat
ini dengan perkembangan teknik operasi, pengambilan massa tumor bisa
menggunakan neuronavigasi atau zat fluoresens agar lebih akurat. Radioterapi
terutama dilakukan pada tumor-tumor yang sensitif seperti tumor pineal, germ cell,
astrositoma derajat tinggi, dan metastasis otak. Pada tumor yang letak dalam
dilakukan steretotactic radiotherapy atau radiosurgery.
Kemoterapi untuk tumor otak lebih terbatas pilihannya, karena harus dapat
menembus sawar darah otak. Tujuannya untuk menghambat pertumbuhan tumor
dan meningkatkan kualitas hidup (quality of life) pasien semaksimal mungkin.

30
Sejauh ini yang menjadi pilihan adalah temozolamid, untuk glioblastoma dan
metastasis. Kemoterapi jenis alkylating agent ini dapat diberikan. tunggal sebagai
kemoterapi dengan dosis 200mg/m²/hari selama 5 hari yang dapat diulang setiap
28 hari selama 6 siklus. Cara pemberian dapat juga bersamaan dengan radioterapi,
yang berfungsi sebagai radio sensitizer dengan dosis 75mg/m²/hari selama 6
minggu. Selanjutnya dosis meningkat kenjadi 150-200mg/m²/hari setiap 28 hari
selama 6 siklus. Namun temozolamide ini hanya akan berespons baik jika jaringan
tumor termasuk metilasi (bertambahnya gugus metil) pada promotor 0-6-
methylgua nine-methyltransferase (MGMT), yang harus dibuktikan dulu pada
pemeriksaan jaringan sebelum diberikan agen yang tersebut.
Selain kemoterapi, terdapat beberapa agen golongan targeted therapy yang
bekerja spesifik menghambat reseptor vascular endothelial growth factor (VEGF),
yaitu bevacizumab, dan epidermal growth factor receptor (EGFR), yaitu
nimotuzumab. Terapi ini juga baru dapat diberikan pada astrositoma derajat tinggi
dengan mutasi EGFR yang signifikan. Oleh karena cara kerjanya yang spesifik,
maka efek sampingnya juga lebih minimal dibandingkan kemoterapi.

Terapi Paliatif
Biasanya dilakukan setelah pasien menjalani terapi definitif namun masih
terdapat keluhan akibat gejala sisa tumornya. Terapi ini juga diindikasikan jika
pasien tidak dapat dilakukan terapi definitif oleh karena ukuran tumor yang terlalu
besar, kondisi buruk, dan terlalu berisiko untuk dilakukan terapi definitif.
Penetapan terapi ini perlu disepakati oleh semua tim secara multidisiplin bersama
dokter penanggung jawab utama, serta dokter gizi, rehabilitasi medik, psikiatri,
dan ahli terapi paliatif.
Pasien perlu penyesuaian terhadap gejala sisanya untuk bisa kembali minimal
beraktivitas mandiri. Biasanya gangguan berupa kejang, nyeri, atau gangguan
fungsi luhur yang dapat diberikan terapi yang sesuai. Dapat diberikan juga
psikoterapi suportif dan relaksasi yang akan membantu pasien dan keluarga.

31
3.9. Prognosis5
Prognosis baik bila dilakukan diagnosis dini dan penanganan yang tepat
melalui pembedahan. Dengan penanganan yang baik maka persentase angka
ketahahan hidup diharapkan dapat meningkat. Angka ketahanan hidup lima
tahun (fiveyears survival) berkisar 50-60% dan angka ketahanan hidup sepuluh
tahun (tenyears survival) berkisar 30- 40%.
Prognosis tergantung pada tipe tumor. Untuk glioblastoma multiforme yang
cepat membesar “rata-rata survival time” tanpa pengobatan adalah 12 minggu;
dengan terapi pembedahan yang optimal dan radiasi, 32 minggu. Beberapa
astrositoma yang tumbuh mungkin menyebabkan gejala-gejala minimal atau
hanya serangan kejang-kejang selama 20 tahun atau lebih. Prognosa penderita
tumor otak yang seluruh tumornya telah dilakukan pengangkatan secara bersih
dan luas akan mempengaruhi (recurrens rates) atau angka residif kembali. Hasil
penelitian dari ‘The Mayo Clinic Amerika’ menunjukkan bahwa: 25% dari
seluruh penderita tumor otak yang telah dilakukan reseksi total, sepuluh tahun
kemudian tumornya residif kembali, sedangkan pada penderita yang hanya
dilakukan reseksi subtotal, 61% yang residif kembali.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Mutiudin AI, Sagala R, Pahria T. 2020. Studi Kasus: Status Neurologi


Pasien Space Occupying Lesion Dengan hiv Dan Toxoplasmosis
Cerebri. Jurnal Perawat Indonesia,Volume 4 No1,Hal 285-294
2. Radinal YSP, Amroisa N. 2014. Tumor Otak Primer Dengan Hemiparese
Dextra Dan Parese Nervus II, III, IV, VI. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung. Medula, Volume 2, No3
3. Departemen Neurologi FK UI. 2017. Buku Ajar Neurologi. Jakarta : FK
UI
4. PERDOSSI. 2016. Panduan Praktis Klinis Neurologi. Perhimpunan
Dokter Spesialis Indonesia
5. Simamora SK, Zanariah Z. 2017. Space Occupying Lesion (SOL). J
Medula Unila. Volume 7, Nomor 1

33

Anda mungkin juga menyukai