Anda di halaman 1dari 14

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Value-expectancy theory

2.1.1 Sejarah teori

Teori nilai harapan (value-expectancy theory) dikemukakan oleh Dr. Martin Fishbein

pada awal tahun 1970-an. Teori ini pertama kali dijelaskan dalam buku Martin Fishbein dan

Icek Ijzen tahun 1975 yaitu Belief, Attitude, Intention, and Behaviour: An Introduction to

Theory and Research. Penelitian teori ini juga dapat dilihati dalam disertasi Fishbein yakni

“A Theoretical and Empirical Investigation of the Interrelation between Belief about an

Object and the Attitude toward that Object” (1961, UCLA). Teori ini juga dijelaskan dalam

dua artikel lainnya tahun 1962 dan 1963 dalam jurnal Human Relations. Penelitian Fishbein

dituliskan oleh peneliti lain seperti Ward Edwards, Milton Rosenberg, dan John B. Watson.

Dr. Martin Fishbein adalah seorang Profesor Kehormatan dari Harry C. Coles Jr. di jurusan

Komunikasi Annenberg School for Communication dan Direktur Health Communication

Program (Program Komunikasi Kesehatan) di Annenberg Public Policy Center. Di samping

value-expectancy theory, beliau juga penggagas theory of reasoned action. Dr. Fishbein

menerbitkan 200 artikel dan bab dalam buku profesionan dan jurnal, serta mengarang dan

mengedit enam buku.

Penelitian Dr. Fishbein terdiri dari teori sikap dan tindakan, komunikasi dan persuasi,

prediksi dan perubahan tingkah laku. Ia meneliti di lapangan dan laboratorium terdiri dari

5
6

penelitian terhadap keefektifan dari tingkah laku kesehatan. Beliau adalah pimpinan Society

Consumer Psychology and the Interamerican Psychological Society.

2.1.2 Pengertian Teori

Value-expectancy theory adalah salah satu teori tentang komunikasi massa yang meneliti

pengaruh penggunaan media oleh pemirsanya dilihat dari kepentingan penggunaanya. Teori ini

mengemukakan bahwa sikap seseorang terhadap segmen-segmen media ditentukan oleh nilai

yang mereka anut dan evaluasi mereka tentang media tersebut.

Teori ini merupakan tambahan penjelasan dari teori atau pendekatan “uses and

gratifications” adalah dijelaskannya teori yang medasarkan diri pada orientasi khalayak sendiri

sesuai dengan kepercayaan dan penilaian atau evaluasinya. Intinya, sikap kita terhadap sejumlah

media akan di tentukan oleh keprcayaan tentang penilaian kita terhadap media tersebut.

(Palmgreen dkk. dalam Littlejohn, 1996:345) membatasi gratification sought (pencarian

kepuasan)

Film-film televovela dari Amerika Latin yang sekarang banyak ditayangkan oleh televisi

swasta, banyak disukai oleh kaum hawa, terutama ibu-ibu rumah tangga. Itu sebuah fenomena.

Dari fenomena tersebut, bisa diduga bahwa kaum hawa menilai positif kehadiran film-film

tersebut. Padahal jika kita menilik alur ceritanya, banyak peristiwa budaya yang sama sekali tidak

rasional dan bahkan sangat bertentangan dengan pola budaya di Indonesia. Dilihat dari aspek

rasionalitas ceritanya juga sangat banyak yang aneh-aneh atau ganjil. Dramatisasinya sangat

bertele-tele, dsb. Namun demikian, toh kaum hawa masih tetap menyukainya. Mungkin sebagian

dari kita kaum laki-laki juga banyak yang menyukainya. Tampaknya masalah hiburan tidak selalu

mempertimbangkan aspek rasionalitas dan logika cerita.


7

Contoh lain, bila kita percaya bahwa segmen gosip akan menghadirkan hiburan bagi kita,

dan kita senang dihibur, maka kita akan memenuhi kepentingan kita dengan

menonton/mendengar/ membaca acara gosip. Di pihak lain bila kita percaya bahwa bergosip itu

termasuk bergunjing dan

melihatnya sebagai hal yang negatif, dan kita tidak menyukainya, kita akan menghindar diri

dari menonton/ mendengar/ membacanya.

Klandersman dalam value-expectancy theory nya menyataka bahwa perilaku seseorang

merupakan fungsi nilai (value) dari hasil yang diharapkan dari sebuah perbuatan, “Individual’s

behavior is a function of the value of expected outcomes of behavior” (Klandersman,1997,h.26).

Perilaku seseorang akan menghasilakn sesuatu, semakin tinggi nilai yang diharapkan, semakin

tinggi pula keinginan untuk mewujudkan perilaku tertentu

Teori ini mengandung dua komponen yaitu nilai (value) dari tujuan yang akan dicapai dan

harapan (expectancy) agar berhasil mencapai tujuan itu. Dari dua komponen tersebut oleh Keller

dikembangkan menjadi empat komponen. Keempat komponen model pembelajaran itu adalah

attention,relevance,confidence dan satisfaction.

2.1.3 Konsep Utama Teori

Value-expectation theory memiliki tiga komponen dasar yakni:

Individu merespon informasi baru tentang suatu hal atau tindakan dengan menghasilkan suatu

keyakinan dari hal atau tindakan tersebut. Bila keyakinan sudah terbentuk, itu dapat dan

seringkali berubah dengan informasi baru.

Setiap individu memberikan sebuah nilai (value) pada setiap sifat di mana keyakinan tersebut

tergantung/berdasar
8

Sebuah harapan (expectation) terbentuk atau termodifikasi berdasarkan hasil perhitungan antara

keyakinan (beliefs) dan nilai-nilai (value)

Jadi teori ini dalam kaitannya dengan persepsi para anggota grup Facebook dukungan

kembalikan liga italia ke layar tv local, dengan mencari tahu apakah mereka sudah puas dengan

adanya kembali tayangan liga italia di televise layar tv local yaitu Indosiar, ketika mereka

melihat tayangan tersebut apakah mereka melihat sebagai hiburan semata atau hanya ingin

melihat club favorit mereka berlaga, sudah hilangkah rasa kangen mereka akan liga italia yang

sempat absen selama semusim.

Fishein dan Azjen (1975) memberikan persamaan untuk teori ini sebagai berikut:

Philip Palmgren memodernisasikan teori ini dengan rumus sebagai berikut :

Gsi = biei

Keterangan :

Gsi = gratification sought (pencarian kepuasan)

bi = belief (keyakinan)

ei = evaluation (evaluasi)

Penggunaan: ketika memperoleh pengalaman dengan suatu media, kepuasan yang diperoleh akan

mempengaruhi keyakinan, menguatkan pola yang terlihat (Philip Palmgreen).

2.1.4 Penerapan Teori

Salah satu kegunaan value-expectancy theory adalah dalam pendekatan persuasi (persuasion

approaches). Berdasarkan teori ini kita mengharapkan sesuatu untuk mengontrol sikap kita

Memengaruhi seseorang meliputi mengubah nilai yang mereka harapkan untuk diterima. Sebagai
9

contoh, jika kita mengharapkan hasil yang baik dari pendapat namun seseorang meyakinkan kita

bahwa pendapat tersebut tidak bagus, maka kita akan mengubah isi dari pendapat tersebut.

Ada dua penjelasan utama mengapa seseorang mengubah pendiriannya.

Konsistensi Afektif-Kognitif (Affective-Cognitive Consistency). Teori ini menyatakan bahwa

pengaruh dan kesadaran kita mengenai suatu hal terdiri dari dua aspek. Affect meliputi sikap

kita,

bagaimana suatu hal terasa menyenangkan. Cognitions kepercayaan yang berhubungan

dengan objek. Jika kita percaya konsekuensi yang baik akan didapat dari pendapat, kita akan

memakai pendapat itu. Affective-Cognitive Consistency menjelaskan hukum sikap kognitif: jika

kita mengubah kepercayaan seseorang tentang pendapat, sikapnya akan berubah secara otomatis

dalam kesamaan tujuan dan tingkat sesuai dengan perubahan keyakinan. Sebagai contoh, kita

dihadapkan pada pilihan bahwa mendapat nilai yang tinggi akan lebih sulit saat ujian akhir, kita

akan mengubah kebijakan saat ujian dan lebih konsentrasi pada tugas. Sebaliknya jika kita yakin

ujian berarti nilai rendah dan banyak tekanan kita akan bersikap sebaliknya.

Konsistensi kognitif tidak hanya mengubah keyakinan untuk menghasilkan perubahan pada

sikap, tetapi juga menyebabkan perubahan sikap-sikap untuk menuntun perubahan keyakinan.

Rosenberg (1960) membuat sebuah penelitian untuk menguji ide ini. Ia menghipnotis orang dan

mengubah sikap mereka. Dia menemukan bahwa ketika sikap berubah dari senang menjadi tidak

senang, individu akan memproses untuk mengubah keyakinan tentang suatu program dari baik ke

buruk. Mereka melakukannya dengan lengkap. Tak ada orang yang mengatakan,”Program ini

akan menghasilkan efek buruk “ Penelitian ini menunjukkan bukti meyakinkan bahwa kita

mencoba untuk membuat perasaan dan keyakinan kita tentang suatu hal tetap konsisten.
10

Penelitian lain menemukan bahwa ketika seseorang mengajukan pendapat dan pembicara

meyakinkan bahwa ada banyak konsekuensi buruk dari pendapat, individu akan mulai yakin

bahwa konsekuensi baik akan terjadi sedikit, kita tak ragu bahwa hal tersebut akan menghasilkan

hal baik dari hubungan sebelumnya. Penelitian juga menunjukkan menyetujui konsekuensi baik

tidak sama dan tidak seefektif menyetujui konsekuensi buruk. Faktanya, pendengar menyukai

pembicara yang mengatakan konsekuensi baik. Strategi dasar dalam persuasi adalah dengan

meyakinkan seseorang bahwa pemikiran mereka tidak berhubungan dengan pendapat. Sebagai

contoh orang tidak pernah berpikir bahwa ketika mereka mengevalusi hasil ujian itu akan

menambah stress. Orang jarang berpikir mereka salah. Mereka cenderung mengubah keyakinan

mereka sendiri setelah menemukan hasil buruk dari pendapat. Pernyataan bahwa hasil lebih

tinggi tak akan diperoleh dari sistem baru akan kurang efektif dibandingkan memberikan ide

bahwa ujian tengah semester akan lebih berat.

Ide yang sama dapat diterapkan pada seseorang yang ingin meyakinkan penerima

pendapat. Penerima yakin konsekuensi buruk akan timbul. Di lain pihak pembicara yakin akan

timbul konsekuensi baik. Di sini terjadi dua pendapat yang berbeda. Akan menjadi lebih baik

untuk memberikan si penerima dengan fakta-fakta tentang konsekuensi baik dan membiarkan dia

menerima banyak tekanan dan kemungkinan buruk. Dibandingkan dengan meyakinkan penerima

bahwa tekanan tinggi tidak akan berhasil mengubah nilai ujian, pembicara harus menekankan

bahwa akan terjadi hasil baik. Tentu saja orang tersebut tak perlu bertanya langsung tentang

kemungkinan konsekuensi buruk. Apa yang kita katakan belum tentu strategi baik bagi pendapat

sukarelawan yang menyayangkan keyakinan penerima. Dengan membiarkan sendiri si penerima

mengubah keyakinannya, sebenarnya pembicara telah mengajak dalam pesan. Penerima bebas

untuk tidak berbicara atau menyatakan secara tidak langsung .


11

Teori Pembelajaran (Learning Theory). Ini merupakan penjelasan kedua untuk persuasi

dalam kerangka value-expectancy. Ide di sini ialah kita mempelajari untuk menghubungkan

konsekuensi dengan pendapat, karakteristik seseorang, perlengkapan dengan objek (Cronkhite,

1969). Perasaan mendatangkan dengan sebuah konsekuensi menjadi terhubungkan dengan

pendapat tersebut. Pendapat tersebut dapat diidentifikasi dalam berbagai emosi. Menyebutkan

pendapat akan menimbulkan emosi yang luar biasa. Empat konsekuensi – hasil yang lebih rendah,

lebih banyak tekanan, lebih banyak ujian akhir, dan sedikit kesempatan untuk meraih nilai rata-

rata – dapat dikondisikan pada pendapat kita untuk mengubah kebijakan pada ujian akhir. Sikap

penerima akan mewakili total dari perasaan negatif dari empat konsekuensi. Ide ini timbul dari

kondisi klasik dalam psikologi. Dalam percobaan Pavlov, seekor anjing datang menanggapi bel

bersamaan saat ia menanggapi bubuk daging di mulutnya, ia pun mengeluarkan air liur.

Menanggapi bubuk daging yang terhubung pada bel dengan menempatkan bubuk di mulut anjing

dengan segera setelah membunyikan bel. Beberapa saat kemudian, anjing tersebut mengeluarkan

air liur sebagai tanggapan terhadap bel. Tak bisa dipungkiri bahwa proses ini mirip persuasi.

Dalam iklan konsekuensi terdiri dari pendapat dalam harapan terhadap reaksi orang-orang

akan terkondisikan pada pendapat tersebut. Jika tercipta kondisi yang sukses, pendapat tersebut

akan menghasilkan reaksi khalayak yang akan sama dengan reaksi mereka untuk

menghubungkan elemen-elemen. Menyebutkan sebuah perubahan dalam kebijakan menghadapi

ujian akhir memiliki efek yang sama dengan menyebutkan kemungkinan dalam kualitas lebih

rendah, lebih banyak tekanan, lebih banyak soal ujian, dan sedikit kemungkinan mengubah nilai

rata-rata. Pengkondisian akan memungkinkan untuk menimbulkan ketidaksenangan khalayak

tanpa disertai keperluan untuk mengulang konsekuensi.


12

Persuasi meliputi pengkondisian perasaan baru pada pendapat dan membolehkan yang tak

diinginkan sebelumnya dengan menghubungkan pada kelemahan. Tujuannya adalah untuk

memusnahkan hubungan antara pendapat dan hubungan sebelumnya. Sebagai contoh seseorang

mencoba seseorang untuk mengubah keyakinan kebijakan pada ujian akhir, bahwa ada tiga

konsekuensi yang timbul dari pendapat tersebut: lebih sedikit tekanan pada akhir semester, lebih

banyak waktu untuk melakukan aktivitas lain, dan lebih sedikit begadang. Ini merupakan

konsekuensi baru yang penerima belum mempertimbangkan sebelumnya. Ide ini adalah sikap

seseorang dikontrol oleh keyakinan yang terkuat atau lebih penting (Fishbein dan Ajzen, 1975).

Jika seseorang meyakini khalayak tentang tiga konsekuensi baik, keyakinan baru akan menjadi

seorang penerima akan lebih disadari, dan mereka didorong keyakinan yang lebih awal untuk

level kesadaran yang lebih rendah. Jika penerima kurang menyadari keyakinannya, keyakinan

tersebut memiliki efek yang kurang pada kesadaran penerima.

Di samping menambahkan keyakinan baru pada pemikiran penerima tentang sebuah

pendapat, seseorang dapat menambah kepercayaan pada keyakinan lama. Seorang penerima yang

melawan kebijakan baru ujian akhir akan memiliki keyakinan tentang konsekuensi baik seperti

lebih banyak waktu luang untuk mencari pekerjaan musim panas. Tetapi keyakinan tersebut

belum tentu seyakin keyakinan tentang konsekuensi buruk seperti hasil rendah dalam ujian.

Strategi dilakukan untuk membuat khalayak lebih sadar akan keyakinannya, sekaligus

mengurangi kesadaran pada keyakinan negatif.

Kita perlu membuat keyakinan baik lebih menjulang karena dua alasan. Pertama,

pembicara dapat menyajikan fakta-fakta dan berbagai alasan untuk mendemonstrasikan mengapa

konsekuensi baik akan terjadi jika pendapat itu diterapkan. Kedua, pembicara dapat

menunjukkan bagaimana pentingnya konsekuensi baik akan terjadi pada penerima dan teman-
13

temannya. Khalayak menjadi kurang sadar pada keyakinan negatif karena pemikiran akan

menjadi sadar hanya dengan banyak hal pada satu waktu. Sesuai affective-cognitive consistency

theory, pembicara dapat menghindari menyebutkan keyakinan negatif karena mereka akan lebih

menonjol jika pembicara memikirkan tentang mereka. Sesuai dengan learning theory, keyakinan

paling atas akan menentukan sikap seseorang.

Ada beberapa model value-expectancy:

1. Value-expectancy model of attitudes I (Fishbein dan Ajzen, 1976)

Berdasarkan model ini seseorang memegang banyak keyakinan tentang sikap suatu objek,

suatu objek terlihat memiliki banyak sifat. Menghubungkan dengan setiap sikap adalah respon

yang evaluatif (contoh: sikap). Dengan proses pembelajaran, respon evaluatif menghubungkan

dengan sikap suatu objek.

2. Value-expectancy theory model of attitudes II (Fishbein dan Ajzen, 1976)

Ao = (biei)

Keterangan:

Ao = attitude (sikap) terhadap objek (O)

bi = belief (keyakinan) tentang sifat objek

ei = evaluasi dari suatu sikap

Keyakinan adalah kemungkinan subjektif dari seseorang (objek) tentang sifat orang lain

(contoh: Bill Clinton pembohong). Evaluasi adalah penilaian sifat berdasarkan berapa dimensi

evaluasi (contoh: baik/buruk diukur dari skala 1 sampai 7)


14

3. Value-expectancy theory model of attitudes III (Fishbein dan Ajzen, 1976)

Sikap (Attitude) seseorang merupakan penjumlahan dari produk setiap keyakinan (belief)

dikali nilai evaluasinya (Evaluation). Keyakinan dipegang dalam sebuah jenjang (tingkatan).

Suatu sikap ditentukan dalam setiap waktu yang diberikan dengan lima sampai sembilan

keyakinan yang paling menonjol dalam jenjang keyakinan seseorang.

Tipe-tipe keyakinan:

Descriptive belief berdasarkan keyakinan langsung

Inferential belief keyakinan dari keyakinan lain

Informational belief info dari sumber luar

Berkaitan dengan apa yang diberikan media serta evaluasi kita terhadap isi media tersebut.

Jika kita percaya bahwa program kita menilai program olahraga dapa memberikan hiburan

terhadapt kita, olahraga memberikan antusiasme dan emosi yang berlipat jika kita

menyaksikanya, maka oleh dari itu kita akan mencari kepuasan dalam menonton acara olahraga

Itu contohnya, juga sebaliknya, jika kita menilai program olahraga sebaliknya dari itu maka kita

tidak akan menontonya.

Dari sekian banyak olahraga di muka bumi ini tak dapat di pungkiri sepakbola adalah

olahraga yang sangat amat digemari oleh masyarakat di dunia, tidak hanya pria wanita pun acap

kali meyaksikan pertandingan sepakbola entah itu secara langsung di stadion ataupun melalui

tayangan televisi, jika kita berbicara sepakbola pertandingan klub-klub sepakbola sangatlah

menggiurgan terutama yang berbasis di eropa persaingan liga-liga di sana sangat amat

menjanjikan sehingga bisa menjadi peluang bisnis di dalam pertelevisian. Selain itu tayangan

sepakbola juga mempunyai penggemar fanatic yang selalu setia contohnya para fans-fans dari

liga italia, liga inggris, liga spanyol dll. Tidak jarang para fans setia mereka kerap meyaksikan
15

acara liga-liga tersebut jam berapa pun meski dini hari, fanatusme terhadap sepakbola sangat

mendarah daging bagi mereka. Pertelevisian Indonesia sendiri sekarang ini menayangkan liga-

liga kompetitif di dunia seperti liga Inggris yang di tayangkan di Global tv – Mnc tv, liga Italia di

indosiar dan liga Spanyol di tv one.

Pada tahun 90-an liga italia sangatlah di gemari dan menjadi primadona di mana setiap

orang sangatlah menyuakai liga yang terkenal dengan nama lega calico tersebut, hal itu di tandai

dengan selalu hadirnya liga italia di layar kaca setiap musimnya di Indonesia, dan karena pasar

Indonesia sangat menggemari liga italia maka pada tahun 1994 tim AC Milan datang ke

Indonesia untuk bertanding melawan Persib dalam rangka tur asianya, begitu juga Lazio di tahun

1996 dan juga PSSI pernah bekerja sama dengan tim Sampdoria dalam pengiriman tim muda

Indonesia yang di kenal dengan primavera untuk berlatih di sana, itu adalah dampak begitu

tersohornya tanayangan sepakbola italia saat itu di Indonesia. Namun di awal tahun 2000an liga

italia sedikit menurun oleh kebangkitan liga inggris dan liga spanyol yang sangat mendominasi

hingga sekarang di tambah oleh kasus pengaturan skor yang sangat mengemparkan dunia

sepakbola italia bahkan dunia di tahun 2005, kasus yang melibatkan klub, wasit, dan mafia

sepakbola tersubut sangat mencoreng persepakbolaan italia, kasus yang di sebut dengan nama

calciopoli telah membuat embargo pemain-pemain bintang untuk hengkang keluar dari italia

sehingga membuat klub-klub italia sedikit menurun kualitasnya, hingga pada akhirnya pada

musim 2009/2010 untuk pertama kalinya semenjak tahun 90an liga italia absen dari layar kaca

Indonesia. Hal ini tentu sangat tidak baik bagi para penggemar sepakbola negeri pizza yang ada

di Indonesia, liga italia hanya di siarkan oleh televise berbayar dan hal ini yang menyebabkan

oleh sebagian orang penggemar liga italia membentuk sebuah grup di jaringan facebook yang

menamakan diri “DUKUNGAN KEMBALIKAN LIGA ITALIA KE LAYAR TV LOKAL” . Di


16

dasari oleh fanatisme kuat akan kecintaan terhadap liga italia maka mereka bersatu untuk

membulatkan diri membentuk grup yang mempunyai anggota lebih dari 2 ribu users tersebut.

Tetapi karena keinginan kuat untuk meyaksikan tim kesayangan mereka berlaga maka mereka

tetap ingin meyaksikan siaran liga italia tanpa terpengaruh tayangan sepakbola lainya.

Selain keterangan ini, penonton juga menantikan perkembangan tayangan yang di

berikan oleh indosiar, ekspetasi penonton akan semakin bertambah dengan kemunculan liga

italia setelah “libur” semusim dari layar kaca Indonesia, kemunculan atau gebrakan baru apa

yang akan ditampilkan oleh indosiar pada musim ini. Hali ini akan masuk kedalam keyakinan

(beliefs) mereka dan akan memberi output berupa nilai (value) setelah meyaksikan tayangan liga

italia di indosiar, dan mendapat jawaban atas ekpetaksi atau harapan-harapan mereka selama ini.

Mereka akan dapat membuat suatu penilaian setelah menonton tayangan LIGA ITALIA

di indosiar mereka bisa membandingkan bagaimana komentator, naskah, jadwal pertandingan di

indosiar berbeda dengan penayangan di televisi sebelumnya. Dan penonton juga mengharapkan

apa yang yang akan di lakukan indosiar dengan terobosan-terobosan baru mereka, para pemirsa

akan sangat ingin menunggu sesuatu suguhan yang berbeda hal ini di sebut (expentancy)

2.2 Persepsi

Persepsi adalah memberikan makna pada stimulasi inderawi (sensor stimuli). Persepsi

disebut juga sebagai inti komunikasi, karena jika persepsi kita tidak akurat, tidak mungkin kita

berkomunikasi dengan efektif, persepsi lah yang menentukan kita memilih suatu pesan dan

mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat persamaan persepsi antar individu,

semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi dan sebagi konsekuensinya semakin

cenderung membentuk kelompok budaya atu kelompok identitas.


17

Berikut definisi dari persepsi menurut bebrapa ahli.

1. Menurut Jalaludin Rakhmat, persepsi adalah pengalaman tentang objek peristiwa atau

hubungan hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan

2. Menurut A. Baron & Paul B. Paulus, persepsi adalh proses internal yang memungkinkan

kita memilih, mengorganisasikan, menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita dan proses

tersebut mempengaruhi tingkah laku kita

3. Menurut J. Cohen, persepsi adalah interpretasi bermakna atas sensasi sebagai

representatif objek eksternal. Persepsi adalah pengetahuan yang tampak mengenai apa yang ada di

luar sana (ibid,)

4. Menurut Bryan Fellows, persepsi adalah proses yang memungkinkan suatu organisme

menerima dan menganalisa informasi

2.2.1 Jenis Jenis Persepsi

Persepsi manusia sebenarnya terbagi menjadi 2, aitu persepsi terhadap objek (lingkungan

fisik) dan persepsi terhadap manusia (persepsi sosial)

Persepsi terhadap manusia lebih sulit dan kompleks, kaena manusia bersifat dinamis.

Kedua jenis persepsi tersebut mempunyai perbedaan, perbedaan tersebut mencakup hal hal

sebagi berikut :

1. Persepsi Terhadap Lingkungan Fisik

Persepsi terhadap lingkungan fisik merupakan proses penafsiran terhadap objek objek tidak

bernyawa yang ada di lingkungan sekitar kita. Terkadang dalam mempersepsi lingkungan fisik,

kita terkadang melakukan kekeliruan. Indera kita terkadang menipu kita, itlah yang disebut ilusi.
18

Persepsi seseorang terhadap lingkungan fisik dengan orang lain tentu berbeda, ini sebabnya oleh

latar belakang pengalaman, budaya dan suasana psikologis yang berbeda sehingga membuat

persepsi kita berbeda atas suatu objek.

2. Persepsi Sosial

Adalah proses menangkap arti objek sosial dan kejadian kejadian yang kita alami dalam

lingkungan kita. Manusia bersifat emosional, sehingga penilaian terhadap mereka mengandung

resiko.

Anda mungkin juga menyukai