Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Dalam dua tahun terakhir ini, kematian akibat trauma meningkat setiap

tahunnya, data Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan bahwa pada tahun

2012 terjadi 109.038 kasus trauma akibat kecelakaan dengan korban meninggal

dunia sebanyak 27.441 orang. Sedangkan pada 2011 terjadi kasus trauma akibat

kecelakaan sebanyak 109.776 kasus, dengan korban meninggal sebanyak 31.185

orang (Anonim, 2016). Data yang didapatkan dari Rumah Sakit Sanglah tercatat

pada tahun 2015 menyatakan bahwa dari total 2755 tindakan di ruang operasi IRD

RS Sanglah, didapatkan 720 kasus cedera kepala, 455 dengan fraktur ekstremitas

dan 64 kasus dengan trauma abdomen, sisanya berkaitan dengan

kegawatdaruratan bedah non trauma (Anonim,2015).

Trauma abdomen terutama yang terjadi sebagai akibat trauma tumpul pada

abdomen dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada semua usia, akan

tetapi jenis trauma ini merupakan keadaan yang cukup memberikan tantangan

bagi setiap departemen gawat darurat maupun bagi tenaga medis yang bekerja

pada departemen tersebut dikarenakan oleh presentasi maupun gejala klinis yang

sangat bervariasi pada setiap kasus yang terjadi. Adanya perbedaan antara gejala

yang didapatkan dengan trauma yang sesungguhnya pada banyak kasus yang

terjadi membutuhkan diagnosis dan tatalaksana yang tepat dan cepat. Perlu diingat

1
bahwa cedera yang tampak ringan pada beberapa kasus dapat menjadi suatu

penyebab trauma mayor pada organ-organ intraabdomen, sehingga deteksi yang

cepat pada pasien dengan trauma abdomen menjadi suatu tujuan utama untuk

dapat memeperbaiki kondisi pasien serta mendapatkan hasil tatalaksana yang

maksimal. (Bodhit, Bhagra, dan Stead, 2011)

Trauma dapat menyebabkan koagulopati dini terutama pada pasien dengan

syok dengan ditandai dengan adanya antikoagulasi sistemik dan hiperfibrinolisis,

di mana terjadinya syok merupakan faktor inisiasi primer yang terjadi dalam

proses ini ( Brohi, dkk, 2014). Koagulopati merupakan suatu keadaan di mana

terdapat ketidakmampuan dari darah untuk membeku secara normal. Pada pasien

trauma pada umumnya hal ini bersifat multifaktorial dan merupakan suatu proses

akut yang kompleks. Banyak faktor resiko yang dapat mempengaruhi terjadinya

koagulopati yang disebabkan oleh trauma, di antaranya adalah hipotermia,

asidosis, hipoperfusi, hemodilusi dan pemberian cairan. (Katrancha, Gonzalez,

2014). Timbulnya koagulopati dini harus selalu dipertimbangkan pada seluruh

pasien dengan riwayat trauma terutama pada pasien trauma dengan energi tinggi,

di mana koagulopati dini merupakan fenomena yang umum terjadi pada pasien

dengan trauma sebagai salah satu penanda dari keparahan suatu cedera (Ruiz. C,

Andersen.M, 2013)

Pada fase awal dari trauma, kelainan koagulasi dapat menyebabkan

terjadinya peningkatan resiko perdarahan yang diikuti oleh fase

hiperkoagulabilitas dan peningkatan resiko terjadinya thrombosis. (Li, Sun,

2015)Respon fisiologi bawaan (innate imunity) dirangsang oleh adanya kerusakan

2
jaringan, sedangkan kehilangan darah akan menyebabkan terjadinya Acute

Traumatic Coagulopathy (ATC) atau koagulopati dini akibat trauma. Beberapa

faktor dan mekanisme yang menyebabkan koagulopati dini sering disebut sebagai

multifaktorial Trauma Induced Coagulopathy (TIC). (Frith, Davenport, dan Brohi,

2012). Cedera yang berat dapat menyebabkan terjadinya kelainan pada faktor-

faktor prokoagulan, faktor-faktor antikoagulan, disfungsi dari platelet dan tidak

seimbangnya fungsi fibrinolisis. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya Acute

Coagulopathy of Trauma Shock (ACoTS) maupun Disseminated Intravascular

Coagulation (DIC) setelah terjadinya trauma dan dapat menyebabkan terjadinya

mortalitas. (Li, Sun, 2015)

Mortalitas yang terjadi akibat suatu trauma menjadi masalah utama yang

terjadi pada sebagian besar pusat pelayanan kesehatan, kematian yang terjadi

cepat pada trauma abdomen seringkali berkaitan dengan perdarahan yang terjadi

pada sebagian besar pasien (MacLeod, dkk, 2003). Pengenalan komponen akut

koagulopati pada pasien trauma abdomen dapat meningkatkan kecepatan dan

ketepatan dalam menegakkan diagnosis awal maupun pemantauan keadaan klinis

serta hemostasis setelah terjadinya trauma. Keaadaan yang menyebabkan

terganggunya keseimbangan hemostatik dimulai pada saat terjadinya trauma pada

pasien. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terjadinya koagulopati pada

pasien dengan multitrauma terjadi akibat kondisi sekunder atau setelah dilakukan

intervensi tertentu, di mana dijelaskan bahwa penyebab primer dari keadaan

koagulopati ini akibat cedera kepala tertutup, transfusi darah masif, dan akibat

resusitasi dengan cairan. (Bodhit, Bhagra, dan Stead, 2011)

3
Berdasarkan penelitian yang dikerjakan oleh Brohi,K, dkk pada tahun

2014 di London melalui studi retrospektif dengan sampel pasien trauma di mana

dilakukan pengambilan data selama 5 tahun sebelum penelitian menunjukkan

bahwa angka mortalitas sebesar 46% pada pasien trauma dengan koagulopati dini,

di mana data tersebut menunjukkan adanya perbedaan 10,9% dari pasien trauma

dengan fungsi pembekuan darah yang normal. ( Brohi, K, dkk, 2014) Penelitian

lain yang dikerjakan oleh Maegele, M pada tahun 2010 di Jerman melalui teknik

pengumpulan data yang didapatkan dari database di mana mortalitas pasien

trauma dengan koagulopati dini sebesar 13% dibandingkan dengan pasien trauma

tanpa koagulopati sebesar 1,5%. ( Maegele, 2010 )

Kurangnya kriteria diagnosis yang tepat dalam koagulopati dini akibat

trauma dapat menghambat identifikasi, diagnosis dan penanganan dini.

Pemanjangan Prothrombin Time (PT) dan Activated Partial Thromboplastin Time

(APTT) telah banyak digunakan untuk melihat faktor resiko terjadinya mortalitas

pada pasien dengan trauma abdomen. Walaupun pemeriksaan ini sangat sederhana

dan telah dapat diterima secara luas, akan tetapi masih ada beberapa keterbatasan

dari penggunaan PT dan APTT untuk memprediksi terjadinya mortalitas pada

pasien dengan trauma abdomen. (Ruiz, Andersen, 2013)

Hubungan yang sebenarnya antara pemanjanganProthrombin Time (PT)

dan Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) dengan mortalitas pada

pasien dengan trauma abdomen yang masih memiliki banyak keterbatasan

penggunaan terutama di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, sehingga tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh profil koagulasi dini

4
yaitupemanjangan PT dan APTT pada pasien dengan trauma abdomen terhadap

terjadinya mortalitas di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan paparan latar belakang masalah tersebut maka dapat

dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

Apakah koagulopati dini merupakan faktor-faktor risiko mortalitas pasien trauma

abdomen?

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui koagulopati dinisebagai faktor risiko mortalitas pada

pasien trauma abdomen di Rumah Sakit Sanglah

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pemanjangan PT> 14,4 detik merupakan faktor risiko

mortalitas pasien trauma abdomen

2. Mengetahui pemanjangan APTT> 36 detik merupakan faktor risiko

mortalitas pasien trauma abdomen

1.4 Manfaat penelitian

Merekomendasikan pemeriksaan PT dan APTT untuk memprediksi

mortalitas pasien trauma abdomen.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma abdomen

Trauma abdomen merupakan trauma yang terjadi pada regio abdomen dan

dapat diakibatkan oleh trauma tumpul maupun oleh trauma tajam yang dapat

mengenai organ-organ pada abdomen. Gejala utama yang dapat terjadi dapat

berupa nyeri, tenderness, maupun adanya jejas yang tampak pada abdomen.

Trauma ini juga dapat mengakibatkan perdarahan dan infeksi. (Legome, 2016)

Regio abdomen dapat dibagi menjadi empat area utama yaitu abdomen

intrahroracic yang terletak pada abdomen bagian atas yang dilindungi oleh

sangkar dari costae sehingga daerah ini seringkali tidak dapat dievaluasi melalui

palpasi dan pemeriksaan fisik lengkap. Bagian kedua adalah bagian abdomen

yang terletak pada area pelvis yang dikenal sebagai suatu ‘bony pelvis’, bagian ini

terdapat beberapa organ penting yaitu kandung kemih, urethra, rektum, usus

halus, tuba falopii dan uterus pada wanita. Cedera pada area ini sering bersifat

ekstraperitoneal dan sulit untuk didiagnosa. Bagian ketiga adalah abdomen yang

terletak retroperitoneal yang terdiri atas beberapa organ yaitu ginjal, ureter,

pankreas, aorta dan vena cava, cedera pada area ini sulit diketahui hanya dengan

melakukan pemeriksaan fisik. Bagian terakhir dikenal sebagai area abdomen

sejati, di mana di dalamnya terdapat beberapa organ yaitu usus halus dan usus

besar, uterus dalam keadaan gravida, kandung kemih ketika mengalami distensi.

(Legome, 2016)

6
Trauma tumpul abdomen merupakan salah satu penyebab mortalitas dan

morbiditas pada hampir semua usia, trauma yang terjadi pada beberapa kasus

kadang tidak menunjukkan manifestasi yang jelas hingga diagnosis ditegakkan

dan terapi dijalankan. Penegakan diagnosis awal pada trauma tumpul abdomen

cukup sulit untuk dikerjakan dan kadang tidak akurat, beberapa gejala yang harus

dicurigai sebagai trauma tumpul abdomen di antaranya adalah nyeri, tenderness,

perdarahan gastrointestinal, hipovolemia, dan bukti adanya iritasi pada

peritoneum. Pada pemeriksaan abdomen dapat ditemukan adanya lap belt marks

yang dapat menunjukkan suatu ruptur pada usus halus, steering wheel dengan

adanya kontusio, ekimosis pada regio flank (Grey Turner sign) atau pada

umbilicus (Cullen sign) yang menunjukkan adanya perdarahan retroperitoneal,

distensi abdomen, adanya bowel sound pada regio thoraks pada pemeriksaan

auskultasi dapat merupakan trauma pada diafragma, bruit pada trauma fistula

arteriovenous. Tenderness, rigid, rebound tenderness menunjukkan adanya trauma

pada peritoneum, konsistensi yang keras pada abdomen dapat merupakan suatu

perdarahan intraabdominal, sedangkan krepitasi pada regio thoraks bagian bawah

dapat mengindikasinya cedera pada lien ataupun hepar. (Legome, 2016)

Trauma intra abdomen yang terjadi sekunder akibat trauma tumpul pada

abdomen merupakan akibat suatu tumbukan antara pasien yang mengalami cedera

dengan lingkungan luar yang menyebabkan terjadinya gaya akselerasi dan

deselerasi pada organ intraabdomen. Trauma tumpul pada abdomen dapat

dijelaskan melalui tiga mekanisme penting yaitu :

7
 Deselerasi

Deselerasi cepat yang terjadi menyebabkan pergerakan pada

struktur yang berdekatan dengan lokasi benturan, sebagai

akibatnya akan timbul gaya tarikan yang dapat menyebabkan

adanya robekan pada organ visceral dan pedikel vaskuler.

 Crushing

Isi cavum intraabdomen akan mengalami suatu gaya tumbukan

antara dinding anterior abdomen dengan columna vertebralis atau

bagian posterior dari costa pada regio thoraks. Mekanisme ini

dapat menyebabkan trauma berat pada organ viscera solid seperti

lien, hepar dan ginjal.

 Kompresi eksternal

Mekanisme yang ketiga ini terjadi akibat trauma langsung maupun

kompresi eksternal akibat suatu obyek yang diam (sabuk

pengaman, columna spinalis). Gaya kompresi eksternal ini

merupakan hasil suatu gaya yang terjadi secara tiba-tiba serta

akibat adanya peningkatan tekanan intraabdominal yang pada

akhirnya menyebabkan terjadinya ruptur pada organ berongga

(hukum Boyle)

Trauma ini sering ditemukan pada lien maupun hepar, akan tetapi pada

beberapa kasus dijumpai pula cedera pada usus halus dan usus besar. Trauma

akibat kecelakaan lalu lintas masih menjadi penyebab utama dari trauma tumpul

abdomen, meskipun pada beberapa kasus yang dilaporkan trauma ini juga dapat

8
diakibatkan kecelakaan pada tempat kerja ataupun karena suatu penyebab

iatrogenik (resusitasi dan manuver Heimlich) (Legome, 2016)

Trauma tajam pada regio abdomen biasanya diakibatkan oleh trauma

tembak ataupun akibat trauma tusuk, di mana luka tembak dengan velositas yang

tinggi merupakan penyebab yang paling sering terjadi (64%), diikuti dengan luka

tusuk (31%), dan diikuti dengan luka tembak dengan velositas rendah (5%).

Gejala yang ditimbulkan oleh trauma ini sangat bervariasi, tergantung dari senjata

maupun objek, jarak dari tempat trauma berasal, organ mana yang terkena, lokasi

trauma, dan jumlah luka pada abdomen. Trauma dari jarak dekat akan

mendistribusikan energi kinetik yang lebih besar dibandingkan dengan trauma

dari jarak jauh. Pada trauma tajam yang diakibatkan oleh luka tembak biasanya

disertai dengan energi kinetik yang cukup besar sehingga dapat menimbulkan pola

trauma yang bervariasi, berbeda dengan trauma yang diakibatkan oleh trauma

tusuk biasanya dengan pola yang dapat lebih mudah diprediksi. (Legome, 2016)

Trauma tajam pada abdomen dengan kecurigaan adanya cedera pada

organ-organ intraabdomen telah banyak dilaporkan pada banyak kasus, di mana

kematian akibat syok hemoragik pada 24 jam pertama menjadi penyebab

kematian yang terbanyak. Evaluasi dari pasien dengan trauma tajam, maka regio

abdomen dapat dibagi menjadi bagian anterior yang dimulai dari batas anterior

costae sampai pada lipatan inguinalis di antara garis axilaris anterior, intrathoracic

yang dimulai dari intercostalis 4 anterior ( pada papilla mammae) dan 7 posterior (

ujung skapula ) sampai ke batas inferior dari kosta, flank dimulai dari ujung

skapula ke lipatan iliaka di antara anterior dan posterior garis axilla, punggung

9
yang dimulai dari ujung skapula ke lipatan iliaka di antara garis posterior dan

anterior axilla. Anatomi ini perlu diketahui untuk menentukan kemungkinan dari

jenis organ yang mengalami cedera. (Legome, 2016)

Pada trauma tajam yang berasal dari luka tembak, organ-organ yang paling

sering mengalami cedera di antaranya adalah usus halus (50%), colon (40%),

hepar (30%), dan struktur vaskuler pada abdomen (25%). Pada trauma tajam yang

berasal dari luka tusuk, organ yang sering mengalami cedera yaitu hepar (40%),

usus halus (30%), diafragma (20%), dan colon (15%). Mekanisme yang

mendasari trauma tajam abdomen ini sangat menentukan mode of

injury(kecelakaan, pembunuhan, atau suatu bunuh diri). (Legome, 2016)

Beberapa faktor yang menentukan peningkatan mortalitas dari trauma

tajam abdomen di antaranya adalah jenis kelamin di mana wanita dengan

mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, interval waktu di antara waktu

terjadinya trauma dengan tindakan operatif yang dikerjakan, adanya tanda-tanda

syok, serta adanya tanda-tanda cedera intracranial. (Legome, 2016)

Pemeriksaan menyeluruh yang dikerjakan pada pasien dengan trauma

abdomen :

 Primary survey

Tujuan utama dari primary survey seperti yang tercantum

dalam Advanced Trauma Life Support (ATLS) adalah untuk

identifikasi cedera yang mengancam nyawa dengan protokol

ABCDE yaitu Airway dengan memperhatikan cedera pada leher,

10
mendiagnosa secara cepat adanya patensi, refleks protektif, benda

asing, sekresi, dan cedera, Breathingdengan menghitung kecepatan

pernafasan dan pola pernafasan, Circulation dengan melakukan

evaluasi pada status mental, warna kulit, dan suhu badan serta nilai

tanda-tanda vital, Disabilityuntuk melihat adanya defisit

neurologik sebelum diberikan suatu sedativa dan obat-obat yang

bersifat paralitik, menilai kesadaran seseorang dengan Glasgow

Coma Score (GCS), penilaian Exposure sangat penting untuk

melihat mekanisme cedera terutama pada cedera yang mengancam

nyawa. Pemeriksaan pada exposure dapat dikerjakan dengan head

to toe examination yang dikerjakan dengan lengkap baik pada

primary maupun pada secondary survey. Pada pasien dengan

trauma didapatkan insiden yang cukup tinggi terdapat penyakit

infeksi seperti HIV dan hepatitis dengan nilai rata-rata sebesar

19%. (Legome, 2016)

 Secondary survey

Setelah menjalankan protokol primary survey dengan baik

maka fokus selanjutnya pada secondary survey regio abdomen.

Pada fase ini dilakukan identifikasi dari semua cedera melalui head

to toe examination, sedangkan pada pasien yang mengalami cedera

yang mengancam nyawa maka secondary survey dapat ditunda

sampai pasien dalam keadaan yang stabil. Pada pasien dengan

11
trauma tumpul abdomen, pemeriksaan abdomen harus dikerjakan

dengan cermat untuk mencari cairan bebas dalam cavum abdomen

dengan beberapa metode pemeriksaan seperti Diagnostic

Peritoneal Lavage (DPL) atau dengan Focused Assesment with

Sonography for Trauma (FAST). (Legome, 2016)

Gejala yang sering didapatkan pada pasien dengan trauma

abdomen dapat berupa nyeri, tenderness, perdarahan

gastrointestinal, hipovolemia dan adanya iritasi pada peritoneum.

Bradikardi dapat mengindikasikan adanya perdarahan

intraperitoneal pada pasien dengan trauma tumpul abdomen.

Observasi harus dikerjakan untuk melihat pola pernafasan, di mana

pasien dengan pernafasan abdominal harus dicurigai adanya cedera

spinal. Pemeriksaan pada abdomen harus dikerjakan dengan

sistematis dimulai dengan inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi.

(Legome, 2016)

Pemasangan pipa nasogastrik perlu dikerjakan dengan

tujuan untuk dekompresi pada gaster dan dapat digunakan sebagai

sarana untuk memperkirakan banyaknya perdarahan. Pada pasien

dengan trauma maksilofasial dapat digunakan pipa orogastrik.

Pemasangan kateter urine perlu dikerjakan dan dapat diambil

sampel dari urine untuk analisis adanya mikroskopik hematuria.

(Legome, 2016)

 Tertiary survey

12
Konsep dari Tertiary survey pertama kali diperkenalkan

oleh Enderson dkk dengan tujuan untuk memeriksa kembali cedera

yang mungkin terlewatkan pada pemeriksaan primer dan sekunder.

Pemeriksaan ini merupakan suatu repetisi dengan melakukan

pemeriksaan laboratorium dan radiografi terutama pada 24 jam

pertama. (Legome, 2016)

2.2 Koagulopati Dini Akibat Trauma

Koagulopati dini akibat trauma terjadi dalam waktu yang sangat singkat

dan dapat diidentifikasi dalam hitungan menit setelah terjadinya trauma. Floccard

dkk menganalisa sampel darah yang diambil dari 45 pasien dengan trauma akibat

kecelakaan, dan dari hasil tersebut ditemukan 56% mempunyai status koagulasi

yang tidak normal hanya pada 25 menit setelah terjadinya trauma. Koagulopati

dini dapat terjadi pada saat pasien datang pada Unit Gawat Darurat dengan

perdarahan yang tidak terkontrol. (Frith, 2012)

Gambar 2.1 Mekanisme koagulopati dini akibat trauma

13
Konsep pada koagulopati dini pada dasarnya merupakan pemanjangan dari

Prothrombin Time (PT) dan atau Activated Partial Thromboplastin Time (APTT)

pada saat pasien tiba di rumah sakit sebelum dilakukan resusitasi adalah

berhubungan dengan peningkatan mortalitas, kebutuhan transfusi, kerusakan

organ, sepsis dan lama pengobatan selama di rumah sakit. (Cap, Hunt, 2015)

Pada evolusi dari koagulopati dini didapatkan beberapa fase, di mana fase

yang pertama adalah aktivasi cepat dari alur hemostatik multipel termasuk

fibrinolisis yang berkaitan dengan kerusakan jaringan. Fase kedua melibatkan

faktor-faktor yang berhubungan dengan resusitasi, yaitu penggunaan dari koloid

dan sel darah merah yang menyebabkan terjadinya dilusi pada faktor hemostatik.

Keadaan yang selanjutnya pada post-resusitasi, dapat terjadi suatu respon terhadap

fase akut yang di kemudian hari dapat menjadi thromboembolisis pada sistem

vena. Pada beberapa pasien dengan keterlambatan resusitasi maupun terapi yang

tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya Disseminated Intravaskular

Coagulation (DIC). (Cap, Hunt, 2015)

Keadaan yang dapat terjadi akibat kerusakan jaringan yang merupakan

faktor predisposisi atau menyebabkan perburukan dari koagulopati dini adalah

sebagai berikut :

1. Consumption and loss

Faktor koagulasi dan platelet dapat menjadi habis selama terbentuknya

formasi klot dan thrombus ( thrombus merupakan klot yang terdapat pada

dinding pembuluh darah), di mana kehilangan terjadi pada kompartmen

14
intravaskular selama terjadinya perdarahan. Berkurangnya jumlah sel

darah merah dalam sirkulasi juga memberikan efek yang besar terhadap

hemostasis primer melalui pengurangan aliran darah aksial. Sel darah

merah seringkali melalui pusat dari arteri atau arteriole, sedangkan platelet

dan plasma berjalan pada dinding dari pembuluh darah, oleh sebab itu

maka kerusakan pada dinding pembuluh darah sering menyebabkan

penurunan dari faktor hemostatik. Pada proses ini nilai dari hematokrit

dapat menurun hingga 30% , di mana terdapat hubungan terbalik antara

nilai hematokrit dengan waktu perdarahan atau Bleeding Time (BT).

2. Dilusi

Gaya Starling yang terbalik dan adanya perpindahan dari cairan interstitial

menuju ke intravaskular menyebabkan terjadinya autodilusi dari faktor

hemostatik, keadaan ini seringkali diperburuk dengan pemberian whole

blood dengan cairan kristaloid, koloid dan transfusi sel darah merah yang

berlebihan. Hasil akhir dari keadaan dilusi pada koagulopati sangat

bergantung pada pemberian cairan baik in vitro maupun in vivo.

3. Perubahan hormonal dan sitokin setelah terjadinya trauma

Peningkatan dari sitokin dan hormon tertentu seperti epinefrin dan

vasopresin serta adanya pembentukan thrombin menyebabkan terjadinya

aktivasi sel endotelial, di mana pelepasan vasopressin dapat menstimulasi

pelepasan Tissue Plasminogen Activator (t-PA) dan Weibel Palade Body

dari endothelium. Weibel Palade Body bersama-sama dengan dinding

endotelial melepaskan faktor Von Willebrand dan mengeluarkan P-selektin

15
dari dinding inner menuju ke permukaan dari sel endotelial. Sitokin TNF

dan IL-1 sama halnya dengan thrombin dan keadaan hipoksia yang

berkepanjangan, dapat menyebabkan terjadinya aktivasi sel endotelial dan

merangsang terjadinya perubahan lambat pada fenotip sel endotelial yaitu

perubahan antithrombotik menjadi prothrombotik, di mana pada pasien

yang tidak adekuat, hal ini akan memicu terjadinya DIC. Aktivasi sel

endotelial juga dapat menurunkan thrombomodulin dan fibrinolisis dengan

peningkatan dari PAI-1, sehingga akan terjadi pemecahan dari

glikosaminoglikan dan peluruhan glikokaliks dari permukaan sel,

pembatasan dari aktivasi antithrombin, peningkatan produksi Platelet

Activating Factor (PAF), peningkatan permeabilitas endotelial, dan secara

in vitro dapat meningkatkan regulasi ekspresi faktor-faktor pada jaringan.

4. Hipoksia, asidosis dan hipotermia

Trias ini merupakan faktor predisposisi dari perdarahan dengan adanya

kerusakan fungsi dari platelet dan protease koagulasi serta adanya

peningkatan fibrinolisis. Hipoksia dapat menyebabkan terjadinya aktivasi

sel endotelial dan perubahan koagulopati yang terutama terjadi apabila

pH< 7.1 dengan suhu tubuh < 33 derajat Celsius.

5. Aktivasi imun

Kerusakan jaringan dan syok berhubungan dengan pengeluaran platelet

dari ligan CD40, yaitu suatu aktivator imun potent yang dapat

menyebabkan aktivasi sel endotelial dan aktivasi platelet serta

menstabilisasi thrombi. Stabilisasi imun, termasuk aktivasi komplemen,

16
berhubungan dengan pelepasan Damage Associated Molecular Patterns

(DAMPs) seperti mitokondrial DAMPs dan kompleks DNA histon.

Aktivasi imun dapat memperburuk kerusakan jaringan melalui beberapa

mekanisme, di antaranya degradasi proteolitik dan stress oksidatif yang

pada akhirnya dapat meningkatkan aktivasi hemostatik.

Gambar 2.2Cascade koagulasi normal, formasi fibrin, aktivasi platelet

(Diambil dari : Cap, Hunt, 2015)

Patofisiologi koagulopati dini akibat trauma dapat dijelaskan melalui

beberapa proses di antaranya disebabkan oleh adanya stimulasi masif dari

generasi thrombin, konsumsi fibrinogen dan platelet, dan fibrinolisis oleh

kerusakan jaringan. Kerusakan pada jaringan ini dapat menyebabkan pelepasan

dari tissue factor (TF), di mana selanjutnya TF akan menyebabkan pelepasan

thrombin dan generasi fibrin. Kolagen yang terdapat pada matriks subendotelial

terikat pada platelet glikoprotein VI dan vWF terikat pada glikoprotein Ib dapat

17
menyebabkan terjadinya aktivasi platelet. Platelet yang teraktivasi melekat pada

jaringan yang mengalami kerusakan dan berperan sebagai katalis untuk proses

amplifikasi dari generasi thrombin. Seluruh proses ini tampak pada penurunan

faktor pembekuan, level fisiologis dari antikoagulan, kapasitas generasi thrombin,

penurunan jumlah platelet. Data ini menunjukkan adanya suatuproses koagulopati

konsumtif, dengan faktor koagulasi yang mengalami proses deplesi terbanyak

adalah fibrinogen dan faktor V akibat konsumsi yang diaktivasi oleh protein C

atau plasmin bebas. (Cap, Hunt, 2015)

Thrombin merupakan kunci utama dari molekul hemostasis, generasi ini

tidak hanya merubah fibrinogen menjadi fibrin akan tetapi seperti halnya sitokin,

thrombin juga dapat mengaktivasi platelet, leukosit dan endotelium. Thrombin

juga merupakan stimulator utama pada sekresi endotelial t-PA, di mana telah

dijelaskan sebelumnya efek yang ditimbulkan dikenal sebagai fibrinolisis

sekunder (aktivasi proses fibrinolisis merupakan akibat sekunder dari aktivasi

koagulasi). Beberapa faktor yang dapat menstimulasi pelepasan t-PA dari

endotelium di antaranya adalah keadaan hipoksia, adanya epinefrin dan

vasopressin, di mana kondisi ini dikenal sebagai fibrinolisis primer. Konsentrasi t-

PA yang tinggi dapat ditemukan pada koagulopati akibat trauma, dalam keadaan

terikat pada reseptor endotelial, thrombomodulin dan thrombin akan mengaktivasi

protein C. (Cap, Hunt, 2015)

Protein C yang telah teraktivasi (aPC) merupakan suatu efektor mayor

pada terjadinya koagulopati dini melalui pemecahan faktor Va dan VIIa. Dalam

keadaan terikat pada PAI-1 dan de-repressing t-PA, dapat mengaktivasi proses

18
fibrinolisis. Meskipun faktor V mengalami proses deplesi dan PC berubah

menjadi aPC pada proses koagulopati dini akibat trauma, generasi dari thrombin

tampak mengalami peningkatan pada pasien dengan trauma, hal ini tidak

konsisten dengan teori bahwa aPC menghambat generasi thrombin dengan

menginaktivasi faktor V. (Cap, Hunt, 2015)

Patofisiologi koagulopati dini akibat trauma berkembang setelah

terjadinya efek hemostatik segera yang disebabkan oleh kerusakan jaringan.

Aktivasi sel endotelial yang distimulasi oleh thrombin dan beberapa jenis sitokin,

keadaan hipoksia dan hipoperfusi, akan menstimulasi suatu lingkungan

prothrombotik. Hipoperfusi mempunyai peranan penting dalam patogenesis

koagulopati dini, di mana pada keadaan peningkatan syok, kadar PT dan INR

mennunjukkan suatu peningkatan sedangkan faktor koagulasi sebaliknya

mengalami penurunan. Seriring berjalannya perkembangan koagulopati dini, efek

prothrombotik pada aktivasi sel endotelial akan mendominasi, terutama apabila

hipoksia dan asidosis tidak dapat teratasi. Banyak faktor yang berperan dalam

proses ini, akan tetapi pelepasan phosphatydilserine mikrovesikel dari sel

endotelium akan merangsang terbentuknya lingkungan prothrombotik. Platelet

membentuk suatu rangka clot selama proses hemostasis dan berperan sebagai

katalis dalam proses koagulasi. Platelet menujukkan respon yang rendah terhadap

kolagen, adenosin difosfat (ADP) dan asam arakidonat setelah terjadinya trauma.

(Cap, Hunt, 2015)

Pasien dengan cedera berat akibat suatu trauma seringkali mengalami

suatu kondisi syok hemoragik yang memerlukan transfusi masif dan merupakan

19
pasien dengan resiko tinggi untuk terjadi kematian akibat perdarahan. Koagulopati

dini merupakan kunci terjadinya kematian, yang dipicu oleh kerusakan jaringan

dengan hasil terjadinya syok dan hipoksia. Beberapa cara digunakan untuk

memprediksi terjadinya perdarahan berat yang memerlukan resusitasi masif, di

mana beberapa sistem skoring dibuat untuk memprediksi terjadinya beberapa hal

tersebut. Metode untuk mendiagnosis koagulopati dini juga berbeda-beda di

antaranya adalah dengan test pada Prothrombin Time(PT), Activated Partial

Thromboplastin Time(aPTT), International Normalized Ratio(INR) dan

fibrinogen Clauss. Hasil dari pemeriksaan ini akan digunakan sebagai petunjuk

untuk pemberian transfusi dan untuk memprediksi terjadinya mortalitas serta

evaluasi terhadap defisiensi pada faktor koagulasi. (Cap, Hunt, 2015)

Cedera berat pada jaringan dan terjadinya hipoperfusi sistemik menjadi

prasyarat utama dalam terbentuknya koagulopati dini, di mana terdapat beberapa

keadaan klinis yang menunjang terjadinya koagulopati di antaranya

pemanjangnya Prothrombin Time (PT) yang dapat dilihat dari peningkatan nilai

Injury Severity Score (ISS) dan defisit dari basa. Mediator lain yang timbul pada

Trauma Induced Coagulopathy (TIC) selain adanya hipotermia, acidosis dan

hemodilusi yaitu perdarahan, hipoperfusi dan resusitasi dengan menggunakan

hipokoagulan. Keadaan asidosis dan hipotermia tidak memberikan gejala klinis

yang nyata hingga temperatur tubuh berada di bawah 33C dan pH darah kurang

dari 7.2. (Frith, 2012)

Keseimbangan dinamis dari hemostasis tergantung dari beberapa faktor

penting yaitu faktor koagulan, faktor antikoagulan, thrombosit atau keping darah,

20
endotelium dan fibrinolisis. Antikoagulan endogen sistemik dan fibrinolisis

seringkali muncul sebagai salah satu mediator koagulopati dini, di mana

didapatkan banyak manfaat dengan menghambat alur fibrinolisis pada pasien

selama terjadinya perdarahan. (Frith, 2012)

1. Kerusakan dari procoagulan

Pada kondisi setelah trauma seringkali didapatkan penurunnan konsentrasi

fibrinogen secara cepat dan didapatkan peningkatan dari nilai INR, PTT

dan aPTT.

2. Antikoagulan sistemik

Antikoagulan sistemik melalui suatu aktivasi dari protein C merupakan

mediator fungsional dalam terjadinya koagulopati dini akibat trauma.

Penurunan dari protein C mempunyai hubungan yang kuat dengan

pemanjangan nilai PTT dan aPTT, yang juga berhubungan dengan aktivasi

dari protein C (aPC).

3. Hiperfibrinolisis

Fibrinolisis merupakan komponen fungsional dari koagulopati dini, di

mana hal ini juga berhubungan dengan pemberian asam tranexamat

sebagai antihemostatik untuk kasus trauma dengan perdarahan setelah

terjadinya trauma

4. Disfungsi platelet

Jumlah platelet akan mengalami pengurangan setelah terjadinya trauma

dan hal ini merupakan salah satu tanda suatu prognosis yang buruk pada

trauma.

21
5. Aktivasi endotelial

Endotelium vaskular merupakan faktor aktif dalam patofisiologi dari

koagulopati dini, di mana capillary bed thrombomodulin dan reseptor

endotelial protein C yang dapat merangsang terjadinya peningkatan

aktivasi protein C. Dalam proses inaktivasi faktor koagulasi Va dan VIIIa,

aPC juga mengkonsumsi Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1) yang

merupakan antagonis major dari t-PA. Secara garis besar dapat dijelaskan

bahwa pada kondisi trauma dengan perdarahan berat yang disertai

hipoperfusi pada jaringan akan memicu pelepasan t-PA dari sel endotelial

vaskular serta terjadinya hiperfibrinolisis (Frith, 2012)

2.3 Diagnosis koagulopati dini akibat trauma / Trauma Induced Coagulopathy

(TIC)

Koagulopati yang disebabkan oleh trauma telah banyak dijelaskan

sebelumnya, akan tetapi pasien yang datang ke rumah sakit dengan trauma

seringkali memerlukan transfusi masif, seringkali berakhir dengan terjadinya

gagal organ multipel, serta terjadinya kematian. Koagulopati dapat didefinisikan

sebagai pemanjangan nilai PT ataupun pemanjangan nilai APTT. Nilai PT dan

APTT awal dapat memprediksi terjadinya mortalitas pada pasien dengan trauma.

Di mana koagulopati pada penelitian ini mneggunakan nilai standar yang terdapat

pada Rumah Sakit Sanglah yaitu dengan nilai PT > 14.4 detik dan APTT > 36

detik. Selain itu koagulopati juga dapat diartikan sebagai nilai PT/APTT > 1.5 dari

nilai normal maupun nilai International Normalized Ratio (INR) > 1.5. (

Midwinter, Wolley, 2011)

22
Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat oleh Macleod, dkk

secara retrospektif, menunjukkan data yang diambil dari 20.103 pasien dengan

trauma pada Universitas di Miami, Florida pada tahun 1995 sampai dengan 2000,

di mana data ini menunjukkan bahwa pasien dengan nilai PT yang normal

mempunyai mortalitas sebesar 6,3% sedangkan pasien dengan pemanjangan nilai

PT menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi yaitu sebesar 19,3 %. (Midwinter,

MJ, Wolley,T, 2011) Pada penelitian yang dikerjakan oleh Macleod,J.B, dkk pada

tahun 2003 pada Universitas Miami, Florida, peningkatan nilai awal PT

berhubungan dengan peningkatan mortalitas sebesar 260%, di mana setelah

memperbaiki beberapa indikator prognostik, peningkatan PT masih tetap

berpengaruh pada peningkatan mortalitas sebesar 35%. (Macleod, 2003)

Nilai APTT juga merupakan prediktor kuat terhadap mortalitas, di mana

pasien dengan pemanjangan nilai APTT menyebabkan peningkatan mortalitas

sebesar 326% meskipun telah dilakukan kontrol terhadap indikator prognostik.

(Macleod, J.B, 2003) Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Maegle, dkk

yang mengambil populasi di Jerman, menunjukkan bahwa 34,2% pasien dengan

trauma abdomen mengalami koagulopati. Berdasarkan penelitian tersebut di atas,

dapat disimpulkan bahwa seiring dengan peningkatan koagulopati maka terdapat

resiko untuk peningkatan mortalitas pada pasien dengan trauma. ( Midwinter,

Wolley, 2011)

Definisi yang umum digunakan untuk menggambarkan keadaan

koagulopati dengan menggunakan hasil laboratorium yaitu adanya pemanjangan

PT atau APTT, serta pemanjangan nilai INR, faktor ini dapat menggambarkan

23
‘fluid phase’ pada koagulasi, akan tetapi tidak dapat untuk menunjukkan

komponen seluler secara bersamaan dan interaksi antar komponen tersebut. (

Midwinter, Wolley, 2011)

Proses terbentuknya klot dimulai dari fase inisiasi, di mana dalam fase ini

faktor ekstravaskular pada jaringan yang terbentuk setelah terjadinya cedera

bergabung dengan faktor VIIa yaitu suatu faktor koagulasi yang memiliki bentuk

aktif di dalam darah. Proses ini selanjutnya akan mengaktifkan faktor V, IX, dan

X serta akan merangsang pembentukan thrombin dalam jumlah kecil. Thrombin

ini akan memecah Von Willebrand’s Factor (vWF) dan faktor VIII, mengaktivasi

faktor V dan XI, serta menyebabkan aktivasi platelet. Fase ini disebut sebagai fase

amplifikasi. ( Midwinter, Wolley, 2011)

Gambar 2.3 Koagulopati dini akibat trauma, protein C teraktivasi pada

koagulopati (Diambil dari : Cap, Hunt, 2015)

24
Platelet mempunyai peranan penting dalam teori proses pembekuan darah,

di mana dalam proses ini platelet akan mengalami aktivasi dan agregasi. Tanpa

adanya platelet pada permukaan sel di tempat terjadinya trauma, maka faktor Xa

dan thrombin akan mengalami proses difusi dan akan mengalami inaktivasi secara

cepat. Proses inaktivasi ini terjadi bersamaan dengan fibrinolisis yang diperantarai

oleh protein C dan S. Penyebab dari Trauma Induced Coagulopathy (TIC)

bersifat multifaktorial dan masih kurang diketahui secara pasti.

2.4 Mortalitas pada trauma

Peningkatan mortalitas seringkali disebabkan oleh trauma intraabdominal,

dengan predominan disebabkan cedera pada organ solid yaitu pada 80% kasus

(Pimentel, dkk, 2015), di mana pada trauma abdomen kematian dapat disebabkan

oleh banyak faktor, di antaranya akibat koagulopati yang berhubungan dengan

faktor PT dan APTT. Peningkatan PT dan APTT dijelaskan berhubungan dengan

perdarahan yang pada akhirnya akan menyebabkan kematian (peningkatan

mortalitas). (Macleod, 2003)

Hal yang penting untuk dijelaskan adalah bahwa pada kondisi syok akan

menyebabkan terjadinya asidosis, hipotermia dan inflamasi, di mana proses ini

pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya koagulasi. (Midwinter, Wolley,

2011)

1. Hipotermia

Kondisi hipotermia dapat menghambat proses pembekuan darah dalam

tubuh. Penurunan suhu tubuh akan menyebabkan penurunan aktivitas

25
protease, penurunan aktivitas faktor VII yaitu terutama bila suhu tubuh

< 33 derajat Celcius. Penurunan aktivasi platelet ini akan

menyebabkan terjadinya penurunan interaksi antara vWF dan kolagen

glikoprotein 1b dan X (GP1b/X) pada suhu < 30 derajat Celcius. Batas

suhu yang digunakan untuk menggambarkan kondisi hipotermia ini

adalah 34 derajat Celcius.

2. Asidosis

Asidosis merupakan kondisi yang sangat mempengaruhi hemostasis

dalam tubuh, di mana pada pH < 7,4, struktur internal platelet yang

normal akan berubah dan kehilangan kemampuannya untuk berubah

bentuk, dan afinitas Calcium binding site akan mengalami penurunan.

Pada pH < 7,1 propagasi klot pada thrombin akan mengalami

penurunan sebesar 50%, penurunan fibrinogen sebesar 35% dan hitung

platelet sebesar 50 %.

3. Hemodilusi

Hemodilusi mempunyai peranan penting dalam pembentukan

koagulopati. Resusitasi dengan menggunakan kristaloid dapat

menyebabkan dilusi dari faktor-faktor pembekuan darah, menghambat

secara langsung alur koagulasi dan merangsang fase profibrinolitik.

4. Inflamasi

Trauma merupakan faktor utama penyebab dari terjadinya inflamasi

dan Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) yang sering

terjadi setelah terjadinya trauma. SIRS dapat menyebabkan terjadinya

26
aktivasi endotelial dan komplemen, yang selanjutnya dapat

menyebabkan terjadinya aktivasi thrombomodulin-protein C,

antikoagulasi dan fibrinolisis.

( Midwinter, Wolley, 2011)

2.5 Acute Coagulopathy of Trauma Shock (ACoTS) dan Disseminated

Intravaskular Coagulation (DIC)

Penurunan faktor-faktor pembekuan darah yang disebabkan oleh

terjadinya perdarahan dan konsumsi faktor pembekuan pada thrombosis, dilusi

dari faktor-faktor pembekuan yang diakibatkan oleh transfusi masif, dan efek dari

terjadinya asidosis dan hipotermia harus selalu dipertimbangkan sebagai

mekanisme utama dalam koagulopati dini akibat trauma. Mekanisme yang terjadi

dalam koagulopati dibedakan menjadi dua yaitu pada fase awal dan pada fase

lanjut. Mekanisme yang terjadi pada fase awal atau koagulopati dini ini dapat

ditemukan pada pasien dengan hipoperfusi pada jaringan dan resusitasi yang tidak

adekuat dan sering disebut sebagai Acute Coagulopathy of Trauma Shock

(ACoTS). Proses ini diperatarai oleh aktivasi protein C dan aktivasi dari

komplemen. (Li, Sun, 2015)

Mekanisme berikutnya yang terjadi pada fase lanjut adalah terjadinya

konsumsi yang yang berlebihan dan dilusi dari faktor koagulasi yang dapat

menyebabkan terjadinya perdarahan serta adanya resusitasi cairan yang

berlebihan. Mekanisme ini terjadi bersama dengan hipotermia, asidosis dan

inflamasi. Pada fase awal terjadinya trauma, kelainan pada koagulasi dapat

meningkatkan resiko terjadinya perdarahan, keadaan ini diikuti oleh terjadinya

27
fase hiperkoagulabilitas dan thrombosis. Keadaan ini dikenal sebagai ACoTS dan

DIC, di mana perbedaan di antara keduanya masih bersifat kontroversial. Cedera

yang berat menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan, di mana akan terjadi

pelepasan faktor-faktor jaringan, dimulainya jalur koagulasi ekstrinsik, dan terjadi

hiperkoagulabilitas. Kondisi ini pada akhirnya akan menyebabkan terganggunya

fungsi prokoagulan, antikoagulan dan fibrinolisis. ACoTS dan DIC mempunyai

garis besar patogenesis dan patofisiologi yang sama, meskipun terdapat beberapa

perbedaan di antara keduanya. (Li, Sun, 2015)

Pada proses DIC yang merupakan fenotip fibrinolitik menunjukkan

terjadinya proteolisis thrombomodulin endotelial yang diikuti dengan terjadinya

koagulopati konsumtif, sedangkan ACoTS terjadi pada tempat cedera yang

mengaktifkan jalur antikoagulasi dengan adanya konversi dari protein C, dan

aktivitas thrombomodulin, hal ini akan menyebabkan terhentinya formasi

thrombin yang akan menyebabkan terjadinya perdarahan tanpa adanya proses

koagulopati konsumtif. (Gando, dkk, 2012) Kedua proses ini terjadi pada awal

setelah terjadinya trauma, akan tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Johansen, dkk pada tahun 2011 menunjukkan bahwa ACoTS terjadi lebih awal

dibandingkan dengan DIC yaitu pada 1 jam pertama, sedangkan DIC terjadi pada

4 sampai dengan 24 jam setelah terjadinya trauma (Johansen, dkk, 2011)

28
2.6. Sistem Skoring New Injury Severity Score (NISS) pada pasien trauma

abdomen

Sistem skoring trauma dikembangkan dan digunakan di banyak negara

untuk memperkirakan beratnya trauma dan kerusakan jaringan, secara umum

memiliki fungsi untuk :

1. Memprediksi outcome trauma

2. Membandingkan metode terapeutik

3. Alat untuk men-triage pre dan inter-hospital

4. Alat untuk memperbaiki kualitas dan program prevensi

5. Alat untuk penelitian dibidang trauma

Dimana sistem skoring ini mengkonversikan berat ringannya trauma sehingga

dapat dihomogenkan untuk membantu petugas medis berkomunikasi secara

universal (Chawda, Hildebrand, Pape, dan Giannoudis, 2004).

NISS dikembangkan Osler dan kawan-kawan dirumuskan berdasarkan

penghitungan tiga organ tubuh yang mengalami trauma berat (dilihat dari AIS

tertinggi, tanpa memperdulikan organ yang terkena itu dalam satu regio tubuh

atau bukan) lalu di pangkatkan dua dan dijumlahkan. Sehingga NISS dapat

memprediksi outcome lebih akurat pada pasien trauma multipel pada satu regio

tubuh seperti contohnya trauma abdomen, dan dapat dipergunakan sebagai

sebagai prediktor adanya kegagalan multi organ pada post trauma, dipakai

patokan skala NISS >50 dinyatakan pasien mengalami trauma berat yang dapat

menimbulkan mortalitas (Yose, Wiargitha, dan Mahadewa, 2015) seperti nampak

29
pada gambar 2.5. Kisaran skor ini antara 1-75. Dengan skala 1 trauma minor dan

75 terberat (O’Keefe, dan Jurkovich, 2001).

2.4 Contoh Perbedaan Penghitungan ISS vs NISS

(O’Keefe, dan Jurkovich, 2001)

30
Trauma Abdomen Perdarahan

Resusitasi Syok
Kerusakan jaringan

Asidosis Hipotermia
Pelepasan Tissue
Factor (TF) Sekresi endothelial
Hipoksia
t-PA

Pelepasan Thrombin,
generasi fibrin Pelepasan
Thrombomodulin
Fosfatidylserine
dan thrombin

Kolagen pada GP VI
dan vWF terikat pada Lingkungan
Pemecahan faktor Va
GP 1b prothrombotik
dan VIIa

Aktivasi Platelet Penurunan thrombin,


Aktivasi Protein C interaksi vWF dan
(aPC) kolagen, aktivasi
Sirkulasi thrombin platelet
berlebihan

Kaskade koagulasi yang Koagulopati dini


berlebihan

Pemecahan fibrinogen Konsumsi inhibitor Aktivasi protein C dan


yang berlebihan koagulasi komplemen

Klot fibrin pada sirkulasi Konsumsi platelet

Kerusakan organ ACoTS

DIC Mortalitas

Gambar 2.5 Patofisiologi terjadinya mortalitas pada trauma abdomen (Cap,

Hunt,2015)

31
BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN

HIPOTESA PENELITIAN

1.1 Kerangka berpikir

Trauma abdomen merupakan trauma yang terjadi pada regio abdomen dan

dapat diakibatkan oleh trauma tumpul maupun oleh trauma tajam yang dapat

mengenai organ-organ pada abdomen. Gejala utama yang dapat terjadi dapat

berupa nyeri, tenderness, maupun adanya jejas yang tampak pada abdomen.

Beberapa faktor yang menentukan peningkatan mortalitas dari trauma tajam

abdomen di antaranya adalah jenis kelamin, interval waktu di antara waktu

terjadinya trauma dengan tindakan operatif yang dikerjakan, adanya tanda-tanda

syok, serta adanya tanda-tanda cedera intracranial. (Legome, 2016)

Koagulopati dini akibat trauma terjadi dalam waktu yang sangat singkat

dan dapat diidentifikasi dalam hitungan menit setelah terjadinya trauma. (Frith,

2012) Mekanisme yang terjadi pada fase awal atau koagulopati dini ini dapat

ditemukan pada pasien dengan hipoperfusi pada jaringan dan resusitasi yang tidak

adekuat dan sering disebut sebagai Acute Coagulopathy of Trauma Shock

(ACoTS). Proses ini diperatarai oleh aktivasi protein C dan aktivasi dari

komplemen. (Li, Sun, 2015) Kedua proses ini terjadi pada awal setelah terjadinya

trauma, akan tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Johansen, dkk

pada tahun 2011 menunjukkan bahwa ACoTS terjadi lebih awal dibandingkan

32
dengan DIC yaitu pada 1 jam pertama, sedangkan DIC terjadi pada 4 sampai

dengan 24 jam setelah terjadinya trauma (Johansen, dkk, 2011)

Konsep pada koagulopati dini pada dasarnya merupakan pemanjangan dari

Prothrombin Time (PT) dan atau Activated Partial Thromboplastin Time (APTT)

pada saat pasien tiba di rumah sakit sebelum dilakukan resusitasi adalah

berhubungan dengan peningkatan mortalitas, kebutuhan transfusi, kerusakan

organ, sepsis dan lama pengobatan selama di rumah sakit. (Cap, Hunt, 2015). Di

mana koagulopati pada penelitian ini mneggunakan nilai standar yang terdapat

pada Rumah Sakit Sanglah yaitu dengan nilai PT > 14.4 detik dan APTT > 36

detik. Selain itu koagulopati juga dapat diartikan sebagai nilai PT/APTT > 1.5 dari

nilai normal maupun nilai International Normalized Ratio (INR)> 1.5. (

Midwinter, Wolley, 2011)

Peningkatan mortalitas seringkali disebabkan oleh trauma intraabdominal,

dengan predominan disebabkan cedera pada organ solid yaitu pada 80% kasus

(Pimentel, S.K, dkk, 2015), di mana pada trauma abdomen kematian dapat

disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya akibat koagulopati yang berhubungan

dengan faktor PT dan APTT. Peningkatan PT dan APTT dijelaskan berhubungan

dengan perdarahan yang pada akhirnya akan menyebabkan kematian (

peningkatan mortalitas ). (Macleod, 2003)

33
1.2 Kerangka konsep penelitian

Pasien dengan trauma


abdomen
Koagulopati Dini
- PT > 14.4
detik
- APTT > 36
detik Penanganan pasien pada
Unit Gawat Darurat

- Resusitasi
Riwayat Outcome
cairan masif (>
pasien
2000 ml)
- Transfusi PRC
masif
Disseminated - Usia
Intravaskular - Jenis Kelamin
Coagulation (DIC)
Penyakit penyerta
berat :
Cedera kepala berat
Mati (GCS<8)
Trauma thorax (Skor
NISS> 50)

Hidup

Gambar 3.1 Konsep penelitian

34
3.2 Hipotesis penelitian

a. Koagulopati dini ditandai PT > 14.4 merupakan faktor resiko mortalitas

pasien dengan trauma abdomen

b. Koagulopati dini ditandai APTT > 36 merupakan faktor resiko mortalitas

pasien dengan trauma abdomen

35
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan case control untuk mengetahui

koagulopati dini sebagai faktor prediktor mortalitas pasien trauma abdomen.

Penelitian dimulai dengan identifikasi kasus yaitu individu yang telah meninggal

dengan trauma abdomen dibandingkan dengan individu yang hidup setelah

terjadinya trauma abdomen. Selanjutnya dilakukan observasi data secara

retrospektif untuk mengidentifikasi faktor koagulopati akut sebagai faktor resiko

terjadinya mortalitas pada pasien. Gambar 4.1.

Koagulopati Dini
(+)
Pasien trauma
abdomen yang mati

Koagulopati Dini
(-)

Koagulopati Dini
(+)
Pasien trauma
abdomen yang hidup

Koagulopati Dini
(-)

Gambar 4.1. Bagan Rancangan Penelitian

36
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan melalui pengamatan rekam medis pasien di Instalasi

Rekam Medis RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian dimulai pada Januari 2013

sampai Desember 2015.

4.3 Sumber Data

4.3.1 Populasi

a. Populasi target (target population) adalah semua pasien dengan

trauma abdomen.

b. Populasi terjangkau (accessible population) adalah semua pasien

dengan trauma abdomen yang diterima di RSUP Sanglah Denpasar

sejak kurun waktu terhitung Januari 2014 sampai Desember 2015.

c. Sampel yang diinginkan (intended sample) adalah sampel yang

dipilih dengan teknik berurutan (consecutive sampling) dari

populasi terjangkau setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

d. Subyek yang diteliti (actual study subjects) adalah subyek yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.3.2 Kriteria Inklusi

Seluruh penderita meninggaldan hidup yang menderita trauma abdomen

akibat trauma yang datang ke RSUP Sanglah Denpasar dan mendapatkan

penatalaksanaan sesuai prosedur standar operasional.

37
4.3.3 Kriteria Eksklusi

- Pasien dengan catatan medis tidak lengkap

- Pasien trauma abdomen dengan cedera kepala berat yang

diukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS) < 8

- Pasien trauma abdomen dengan traum thorax berat yang diukur

dengan skor NISS > 50

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel

Pasien yang berobat ke Instalasi Rawat Darurat (IRD) bedah RSUP

Sanglah Denpasar dan memenuhi syarat sebagai sampel serta memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi. Sampel kasus pada penelitian ini dengan menggunakan total

sampling sedangkan sampel kontrol digunakan teknik systematic random

sampling.

4.3.5 Besar Sampel

Besar sampel menggunakan rumus Hidayat (Hidayat, 2009) :

Zα adalah nilai baku untuk kesalahan tipe 1 (α) sebesar 5% (1,96)

Zβ adalah nilai baku untuk power penelitian 90% (0,842)

P2 adalah proporsi paparan pada kelompok kontrol yaitu pada pasien

trauma abdomen yang hidup, diketahui P2 sebesar 30% (0,3)

38
OR atau Odds Ratio adalah ukuran asosiasi paparan (faktor resiko)

dengan kejadian dihitung dari angka kejadian penyakit pada kelompok

terpapar faktor resiko dibanding angka kejadian kelompok yang tidak

terpapar faktor resiko, diputuskan OR = 4

P1 adalah proporsi pemaparan pada kelompok kasus yaitu pada pasien

trauma abdomen yang mati, diketahui P1 sebesar 70% (0,63)

Berdasarkan rumus diatas didapatkan jumlah sampel total = 62.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel

Variabel dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 2 kelompok

variabel, yaitu:

a. Variabel bebas adalah nilai PT dan atau APTT

b. Variabel tergantung adalah mortalitas pasien

c. Variabel perancu yang dikontrol dengan analisis adalah umur, jenis

kelamin, resusitasi cairan masif dan transfusi masif

d. Variabel perancu yang dikontrol dengan design adalah Cedera Kepala

Berat ( GCS<8 ) dan trauma thorax ( Skor NISS > 50 )

39
4.4.2 Definisi Operasional Variabel

Untuk keseragaman dan agar tidak terjadi kerancuan maka variabel-

variabel yang digunakan dalam penelitian ini perlu didefinisikan. Definisi

operasional dari variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut :

a. Trauma abdomen adalah trauma yang terjadi pada regio abdomen dan

dapat diakibatkan oleh trauma tumpul maupun oleh trauma tajam yang

dapat mengenai organ-organ pada abdomen. (Legome, E.L, 2016)

b. Koagulopati dini akibat trauma adalah gangguan pada sistem koagulasi

darah akibat pemanjangan dari Prothrombin Time (PT) dan atau Activated

Partial Thromboplastin Time (APTT) pada saat pasien tiba di rumah sakit

sebelum dilakukan resusitasi (Cap A, Hunt BJ, 2015)

c. Prothrombin time( PT ) adalah waktu yang diperlukan untuk proses

pembekuan darah jalur ekstrinsik dengan batasan pemanjangan nilai PT >

14.4

d. Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) adalah waktu yang

diperlukan untuk menggambarkan koagulasi pada darah, dengan batasan

pemanjangan nilai APTT > 36

e. Resusitasi cairan masif adalah pemberian cairan berlebihan dalam waktu

relatif cepat pada penderita gawat umumnya perdarahan akibat kecelakaan

dalam hal ini digunakan batasan > 2000 ml baik cairan kristaloid maupun

koloid (Katrancha, Gonzalez, 2014)

40
f. Transfusi masif adalah proses berlebihan dalam menyalurkan darah atau

produk berbasis darah dari satu orang ke sistem peredaran darah orang

lainnya, dalam hal ini digunakan batasan pemberian lebih dari 2000 cc.

g. Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang digunakan untuk

mengukur tingkat kesadaran pasien, dalam penelitian ini digunakan

kriteria sedang dan berat, di mana berat dengan nilai < 8 dan sedang

dengan nilai >=8

h. NISS adalah modifikasi dari ISS dimana NISS menghitung jumlah dari kuadrat

AIS tiga organ terberat tanpa memperhitungkan bagian tubuh (Chawda,

Hildebrand, Pape, dan Giannoudis, 2004).

i. NISS positif menyatakantrauma berat yang dapat menimbulkan mortalitas jika

nilainya > 50.

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: lembar pengumpul

data yang digunakan untuk mengeksplorasi faktor PT dan APTT.

4.6 Prosedur Penelitian

4.6.1 Tahap Persiapan

Sampel penderita yang didiagnosis trauma tumpul abdomen dipilih secara

berurutan (consecutive). Preparasi penanganan disiapkan sesuai dengan prosedur

baku penanganan trauma abdomen.

41
4.6.2 Pelaksanaan Penelitian

Sebelum pelaksanaan penelitian, etika penelitian dikonsultasikan dengan

Komisi Etika Penelitian Unit Penelitian dan Pengembangan Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar guna mendapatkan surat kelaikan

etika.

Semua penderita yang didiagnosa trauma tumpul abdomen sejak bulan

Januari 2013 sampai dengan Desember 2015, dievaluasi rekam medik dan diambil

data yang berhubungan dengan penelitian. Semua penderita trauma abdomen

diberikan penanganan medis sesuai prosedur standar operasional RSUP Sanglah.

42
4.7 Alur Penelitian

POPULASI TARGET :

Pasien Trauma Abdomen

Kriteria kasus Kriteria kontrol

Kasus Kontrol

Sampel kasus Sampel kontrol


Kriteria
eksklusi
Eligible subyek kasus Eligible subyek kontrol

Pemeriksaan Pemeriksaan
Koagulopati Dini : Koagulopati Dini :
PPT dan APTT PPT dan APTT

Koagulopati Dini Koagulopati Dini Koagulopati Dini Koagulopati Dini


(+) (-) (+) (+)

ANALISIS DATA

HASIL

43
4.8 Analisis Data

Analisis data pada penelitian dilakukan dalam 3 tahap : analisis

univariabel, bivariabel dan multivariabel

1. Analisis univariabel, bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subjek

berdasarkan kelompok penelitian. Hasil analisis univariabel ditampilkan

dalam analisis statistik deskriptif. Variabel yang berskala data numerik

ditampilkan menggunaka mean dan standar deviasi. Sedangkan variabel

yang berskala data kategorikal ditampilkan dalam frekuensi relatif.

2. Analisis bivariabel, bertujuan untuk mengetahui hubungan antara satu

variabel bebas dengan satu variabel tergantung. Analisis ini dilakukan

dengan cara membuat tabel silang 2 x 2. Kemudian untuk menilai

hubungan, dihitung Odds Ratio (OR). Adapun interpretasi dari OR adalah,

jika OR > 1 maka Koagulopati Dini sebagai faktor resiko terjadinya

mortalitas, OR = 0 maka tidak ada hubungan Koagulopati Dini dengan

mortalitas, OR < 1 diartikan sebagai protektif. Uji statistik yang digunakan

pada analisis bivariabel ini adalah chi square test pada batas kemaknaan

0.05. Penilaian kemaknaan menggunakan 95%CI dan nilai p.

3. Analisis multivariabel, analisis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

murni satu variabel bebas terhadap 1 variabel tergantung dengan

mengontrol (mengendalikan) variabel perancu yang juga mempengaruhi

variabel tergantung. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan uji

regressi logistik, dengan cara memasukkan variabel bebas dengan nilai p <

0,250 berdasarkan hasil analisis bivariabel. Semua variabel, dianalisis

44
bersama – sama dan tidak ada yang dieliminasi. Metode ini disebut

sebagai metode Enter. Kemaknaan secara statistik dinilai menggunakan

95% CI dan nilai p.

Keseluruhan tahap analisis data tersebut menggunakan bantuan perangkat lunak

statistik SPSS 21.

45
DAFTAR PUSTAKA

Angelo, M.R., Dutton, R.P. Management of Trauma-Induced Coagulopathy :


Trends and Practices. AANA Journal Trauma 78:1, 2010.

Anonim. 2015. Rekapitulasi Tindakan Operasi OK IRD RS Sanglah tahun


2015.

Baker SP. Advances and adventures in injury prevention. J Trauma: Injury


Infect Crit Care 42:369-73, 1997.

Bodhit, A.N, Bhagra, A, Stead, L.G.Abdominal Trauma : Never


Underestimate It. Hindawi Publishing Corporation p.1-2, 2011.

Brandon, H., Holcom, J.B., dan Schreiber, M.A. 2007. Coagulopathy: Its
Pathophysiology and Treatment in the Injured Patient. USA: World Journal of
Surgery; 31: 1055–1064.

Brohi, K, et al. Acute Traumatic Coagulopathy. Lippincott Williams and


Wilkins 54:6, 2003.

Brohi, K, Cohen, M.J., Davenport, R.A. Acute Traumatic Coagulopathy:


Mechanism, Identification, and Effect. Lippincott Williams and Wilkins
13:680-685, 2007.

Brzozowski, M., Hans, L. The Secondary Trauma Survey. In : Hans, L.,


Mawji, Y., editors. The ABC’s of Emergency Medicine. 12 th. Ed. Toronto. p.
212-214.

Cap, A, Hunt, B.J. The Pathogenesis of Traumatic Coagulopathy. The


Association of Anesthetists of Great Britain and Ireland. 70:96-101, 2015.

Cho, Y., Judson, R., Cho, K.G.Y., Santos, M., Walsh, M., Pascoe, D. 2012.
Blunt Abdominal Trauma. The Royal Melbourne Hospital-Trauma Service
Guidelines.

Cryer, H.M. 2009. Blood Transfusion and Alternate Therapies. In : Wong, J.,
Garden, O.J., Csendes, A., Buchler, M.W., Sarr, M.G., Bland, K.L., editors.
General Surgery Principles and International Practice. 2nd. Ed. Springer-
Verlag London. p. 43-53.

46
Davenport, R., Mansion, J., Henry, D., Platton, S., Coates, A., dan Allard, S.
2011. Functional Definition and Characterisation of Acute Traumatic
Coagulopathy. Critical Care Medicine; PMC; 39(12): 2652–2658.

Emery, M.T. 2014. Abdominal Trauma. In : Sherman, S.C., Weber, J.M.,


Patwari, R.G., Schindlbek, M.A., editors. Clinical Emergency Medicine. New
York: The McGraw-Hill Companies. p. 381-386.

Esposito, T.J., Brasel, K.J. 2013. Epidemiology. In : Mattox, K.L., Moore,


E.E., Feliciano, D.V., editors. Trauma. 7th. Ed. New York: The McGraw-Hill
Companies. p. 18-35.

Ferrada, R., Rivera, D., Ferrada, P. 2009. Blunt Abdominal Trauma. In :


Wong, J., Garden, O.J., Csendes, A., Buchler, M.W., Sarr, M.G., Bland, K.L.,
editors. General Surgery Principles and International Practice. 2nd. Ed.
Springer-Verlag London. p. 144-160.

Frith, D, et al. Definition and Drivers of Acute Traumatic Coagulopathy :


Clinical and Experimental Investigations. Journal of Thrombosis and
Haemostasis 8:1919-1925, 2010.

Frith, D, Davenport, R, Brohi, K. Acute Traumatic Coagulopathy. Lippincott


Williams and Wilkins 25:229-234, 2012.

Germanos, S., Gourgiotis, S., Villias, C., Bertucci, M., Dimopoulos, N.,
Salemis, N. Damage control surgery in the abdomen: An approach for the
management of severe injured patients. International Journal of Surgery
(2008) 6, 246-252.

Hagemo, J.S., Christian, S.C., Stanworth, S.J., Brohi, K., Johanson, P.I.,
Goslings, J.C., Naess, P.A., dan Gaarder, C. 2015. Detection of Acute
Traumatic Coagulopathy andMassive Transfusion Requirements by Means
ofRotational Thromboelastometry: an InternationalProspective Validation
Study. Norwegia: BioMed Central. Critical Care 19;97.

Hemmila, M.R., Wahl, W.L. 2010. Management of the Injured Patient. In :


Doherty, G.M., contributor and editor. Current Diagnosis & Treatment :
Surgery. 13th. Ed. New York: McGraw-Hill. Chapter : 9.

John, R.H., Brohi, K., Dutton, R.P., Hauser, C.J., Holcomb, J.B., Kluger, Y.,
Jones, K.M., Parr, M.J., Rizoli, S.B., Yukioka, T., Hoyt, D.B., dan Bouillon,
B. 2008. The Coagulopathy of Trauma: A Review of Mechanisms. Lippincott

47
Williams and Wilkins: The Journal of Trauma, Injury, Infection and Critical
Care. p 748-754.

Kashuk. 2008. Postinjury Life Threatening Coagulopathy: Is 1:1 Fresh Frozen


Plasma: Packed Red Blood Cells the Answer? Volume 65:261-271. The
Journal of TRAUMA®Injury, Infection, and Critical Care. [cited 2015 Jan. 5].
Available from : www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18695460.

Katrancha, E.D., Gonzalez, L.S. Trauma-Induced Coagulopathy. American


Association of Critical Care Nurses. 34:4, 2014.

Keel, M., Labler, L., Trentz, O. “Damage Control” in Severely Injured


Patients Why, When, and How? Eur J Trau ma 2005;31:212–21.

Kozek-Langenecker, S.A., Afshari, A., Albaladejo, P., Santullano, C.A.A.,


Robertis, E., Filipescu, D.C., et al. Management of severe perioperative
bleeding Guidelines from the European Society of Anaesthesiology. Eur J
Anaesthesiol 2013; 30:270–382.

Lim SH, Anantharaman V. Emergency medicine in Singapore: past, present,


and future. Ann Emerg Med. 1999;33:338–43.

Mac Kinnon D. 2012. Trauma Resuscitation. In : Hans, L., Mawji, Y., editors.
The ABC’s of Emergency Medicine. 12 th. Ed. Toronto. p. 206-211.

Macleod, J.B., et al. Early Coagulopathy Predicts Mortality in Trauma.


Lippincott Williams and Wilkins 55:1, 2003.

Maegle, M. Acute Traumatic Coagulopathy : Incidence, Risk Stratification,


and Therapeutics Options. Journal Emergency Medicine 1:12-21. 2010.

Markum, A.H. 2002. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 30-33.

National Institute for Health and Care Excellence. 2004. Pre-hospital initiation
of fluid replacement therapy in trauma. [cited 2016 Feb. 23] Available from :
https://www.nice.org.uk/guidance/ta74.

Nardi, G, et al. Prevention and Treatment of Trauma Induced Coagulopathy :


An Intended Protocol from the Italian Trauma Update Reasearch Group.
Journal of Anesthesiology and Clinical Science. p. 2-22, 2013.

48
Negoi, I., Paun, S., Hostiuc, S., Stoica, B., Tanase, I., Negoi, R.N. Mortality
after acute trauma: Progressive decreasing rather than a trimodal distribution.
Journal of Acute Disease 2015; 4(3): 205–209.

O’Keefe, G, Jurkovich, G.J. 2001. Measurement of Injury Severity and Co-


Morbidity. In : Injury Control. Rivara FP, Cummings P, Koepsell TD,
Grossman DC, Maier RV (eds). Cambridge University Press.

Peitzman, A. B., Piper, G.L. 2014. Blunt Abdominal Trauma. In : Cameron, J.


L., Cameron, A. M., editors. Current Surgical Therapy. 11th. Ed. New York :
Saunders Elsevier Company. p. 918-1057.

Pimentel, S.K, et al. Risk Factors for Mortality in Blunt Abdominal Trauma
with Surgical Approach. Departemento de Cirurgia42:259-264, 2015.

Raza, M, et al. Non Operative Management of Abdominal Trauma- a 10 Years


Review. World Journal of Emergency Surgery 8:14, 2013.

Reiff, D.A., Rue III, L.W. 2009. Initial Evaluation of The Trauma Patient. In :
Wong, J., Garden, O.J., Csendes, A., Buchler, M.W., Sarr, M.G., Bland, K.L.,
editors. General Surgery Principles and International Practice. 2nd. Ed.
Springer-Verlag London. p. 75-86.

Ruiz, C, Andersen, M. Treatment of Acute Coagulopathy Associated with


Trauma. Hindawi Publishing Corporation p. 478-483, 2013.

Spahn, D.R., Bouillon, B., Cerny, V., Coats, T.J., Duranteau, J., Fernández-
Mondéjar, E, dkk. Management of bleeding and coagulopathy following major
trauma: an updated European guideline. Critical Care 2013, 17:R76.

Staf Direktur Jenderal Perhubungan Darat. 2014. Perhubungan Darat dalam


Angka 2013. [Diakses 15 Desember 2015]. Diunduh dari :
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&c
ad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwit1POU7tzJAhWJGY4KHVTkCc0QFggnMA
I&url=http%3A%2F%2Fhubdat.dephub.go.id%2Fdata-a-
informasi%2Fpdda%2Ftahun-
2014%2Fdownload&usg=AFQjCNGqY23kMVkAqpP8ACcTzNDNuggoIg

Thorsen, K., Ringdal, K.G., Strand, K., Soreide, E., Hagemo, J., dan Soreide,
K. 2011. Clinical and cellular effects of hypothermia, acidosis and
coagulopathy in major injury. Wiley Online Library; 98:894-907.

49
Tieu, B.H., Holcom, J.B., dan Schreiber, M.A. 2007. Coagulopathy: Its
Pathophysiology and Treatment in the Injured Patient. USA: World Journal of
Surgery; 31: 1055–1064.

White, N.J.Mechanisms of Trauma- Induced Coagulopathy. American Society


of Hematology p. 660-662, 2013.

White, M., Yancey, A.H. 2011. Abdominal Trauma. [serial online]. [Diakses
15 Desember 2015]. Diunduh dari : URL :
http://www.learningace.com/doc/2739018/3acd32e1eb55b158a0ca84aa051a7
9d7/phtls-7th-edition-pretest-ver-1-3-jan-2011. p236

Widodo, S.K., Budha, K. Pemakaian Sistem Skor untuk Mengukur Angka


Kelangsungan Hidup Pasien Trauma Multipel di Rumah Sakit Sanglah
Denpasar [Tesis]. Udayana Press; 2002.

Wu, C.Y., et al. The Risk Factors of Concomitant Intraperitoneal and


Retroperitoneal Hemorrhage in The Patients with Blunt Abdominal Trauma.
World Journal of Emergency Surgery 10:4, 2015.

Yose, K., Wiargitha, K., Mahadewa, T.G.B. Validitas New Injury Severity
Score (NISS) dalam Mendeteksi Terjadinya Koagulopati pada Pasien Multiple
Trauma [Tesis]. Udayana Press; 2015.

50
LAMPIRAN 1

Lembar Pengumpulan Data


(Kelompok Kasus : Pasien trauma abdomen yang meninggal)

No. Sampel :
Tanggal MRS/jam :

KOAGULOPATI DINI SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS


PADA PASIEN TRAUMA ABDOMEN DI RUMAH SAKIT
SANGLAH PERIODE
TAHUN 2013-2015

Nama :
No CM :
Jenis Kelamin :
Usia :
Alamat :
Mekanisme trauma :
Tanggal mortalitas :
Diagnosis :
Koagulopati : PT : detik, APTT : detik
Hemoglobin : g/dl
Skor NISS :
GCS :
Syok : Tekanan darah : mmHg, tax: C, N : x/min
Transfusi PRC :
Resusitasi cairan :

51
LAMPIRAN 2

Lembar Pengumpulan Data


(Kelompok Kontrol : Pasien trauma abdomen yang hidup)

No. Sampel :
Tanggal MRS/jam :

KOAGULOPATI DINI SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS


PADA PASIEN TRAUMA ABDOMEN DI RUMAH SAKIT
SANGLAH PERIODE
TAHUN 2013-2015

Nama :
No CM :
Jenis Kelamin :
Usia :
Alamat :
Mekanisme trauma :
TanggalKRS :
Diagnosis :
Koagulopati Dini : PT : detik, APTT : detik
Hemoglobin : g/dl
Skor NISS :
GCS :
Syok : Tekanan darah : mmHg, tax: C, N : x/min
Transfusi PRC :
Resusitasi cairan :

52
53

Anda mungkin juga menyukai