OLEH
KISMAN R. DUAWULU
NIM 212012032
KELAS B
يم
ِ س ِم هللاِ ال َّر ْحم ِن ال َّر ِح
ْ ِب
antar pemeluk agama. Terlebih manakala ada provokasi yang dilandasi sikap
kebencian, maka akan semakin mudah membakar perilaku agresif dan kerap
berujung pada aksi kekerasan. Menurut Azyumardi Azra, simbol-simbol
keagamaan memang merupakan representasi masyarakat yang demikian kental
dengan sifat komunal dan kerap menjadi crying banner dalam melakukan berbagai
tindakan anarkis dan kekerasan. Realitas tersebut kemudian menjadi alasan bagi
negara untuk mengatur kehidupan beragama di Indonesia sebagai upaya
membingkai fakta kemajemukan dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pro-kontra seputar kebijakan yang diperuntukan bagi kehidupan
beragama di Indonesia memang tidak terhindarkan. Pada satu sisi, keyakinan
terhadap suatu agama merupakan hal yang paling privat yang dimiliki setiap
warga negara, namun di sisi lain ekpresi sebuah keyakinan dalam ruang publik
juga menjadi domain negara untuk mengaturnya demi terciptanya sebuah
harmonisasi dan kerukunan dalam kehidupan umat beragama. Perdebatan tersebut
memang kerap memicu polarisasi di tengah masyarakat. Sebagian dari mereka ada
yang melihatnya dengan kecamata HAM semata sehingga memandang bahwa
hak kebebasan beragama merupakan serangkaian hak sebagaimana tertuang di
dalam instrumen internaional dan harus diimplementasikan sedemikian adanya.
Sebagian lagi melihat bahwa konsepsi HAM ala Barat memiliki perbedaan dengan
konsep HAM yang dimiliki Indonesia sebagai bangsa yang memiliki tradisi ke-
Timuran, di samping itu fakta adanya kedaulatan negara sebagai pemegang
otoritas tertinggi di dalam mengatur tertib sosial masyarakatnya juga tidak dapat
diabaiakn. Pada konteks inilah muncul perdebatan sejauh mana legitimasi moral
dan hukum bahwa negara boleh ―mengelola‖ (baca:mengatur, membatasi, dan
melarang) tindakan-tindakan yang bertolak tarik dengan kebebasan beragama.
Sejumlah persoalan yang menyangkut kebebasan beragama bermunculan mulai
dari kekerasan berbasis agama, pelarangan ajaran- ajaran tertentu, sampai kepada
kriminalisasi terhadap mereka yang dianggap sesat dalam aktivitas
keagamaannya.
Negara Negara merupakan lembaga arbitrase tertinggi bagi segenap
pertentangan dan potensi konflik yang terjadi di antara entitas warganya. Oleh
karena itu, kebijakan negara dalam soal kehidupan beragama idealnya harus
merujuk pada konsepsi ide dasar bernegara di dalam memberikan perlindungan
bagi segenap warga negara tanpa adanya diskriminasi. Konkretisasi ide dasar
bernegara tersebut seperti tertuang di dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 yang menyebutkan membentuk Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia‖.
Prinsip ini yang sejatinya harus menjadi spirit dan prinsip bagi kebijakan yang
diperuntukan bagi segenap entitas yang menjadi bagian dari warga negara
Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Mengapa terjadi peristiwa/kasus pelanggaran dalam kebebasan beragama?
2. Apa hambatan yang timbul dalam menciptakan kondisi kebebasan beragama
yang berlandaskan hak asasi manusia?
3. Bagaimana pemahaman dan memperkuat nilai-nilai demokrasi seperti
kebebasan, kesetaraan dan toleransi yang sesungguhnya telah ada dalam diri
semua warga Negara ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa penyebab terjadinya peristiwa/kasus pelanggaran
dalam kebebasan beragama
2. Untuk mengetahui, apa saja hambatan yang timbul dalam upaya proses
menciptakan kondisi kebebasan beragama yang berlandaskan hak asasi
manusia
3. Untuk memberikan pemahaman dan memperkuat nilai-nilai demokrasi
seperti kebebasan, kesetaraan dan toleransi yang sesungguhnya telah ada
dalam diri semua warga negara.
1.4 Manfaat
1. Menggali nila-nilai perlindungan hak asasi manusia dibidang kebebasan
beragama yang terkandung dalam UUD 1945
2. Menggali nilai-nilai positif dan negatif dari campur tangan terhadap hak
asasi dalam bidang kebebasan beragama yang terkandung dalam peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan kebebasan beragama
3. Memfokuskan pada peran Negara terhadap kebebasan beragama di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Undang-Undang Tentang Beragama
Negara telah menjamin kebebasan beragama bukan baru-baru ini,
melainkan sejak Negara ini merdeka melalui undang-undang. Diantara
undang-undang tersebut yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 BAB XA Pasal 28E Tentang hak asasi manusia; (1)
Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.
Dalam pasal 28I ayat 1 disebutkan bahwa hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun. Sedangkan dalam bab XI pasal 29 tentang Agama
disebutkan; (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu. Dari beberapa undang-undang tersebut jelaslah bahwa kebebasan bagi
setiap warga Negara dilindungi oleh Negara. Oleh karena itu, maka
pemaksaan dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu tidak dibenarkan
sesuai hukum yang berlaku tersebut.
2.2 Kebijakan Negara terhadap Kelompok Minoritas
Sebagai bangsa yang terdiri dari banyak agama, suku, ras dan adat
istiadat, ragam kelompok keyakinan di Indonesia dengan sendirinya juga
berkembang. Ada minoritas etnis, minoritas ras, dan minoritas agama. Di
dalam kelompok agama sendiri ada minoritas aliran atau madzhab, minoritas
penganut kepercayaan, dan lain-lain. Dari sekian banyak kelompok minoritas
tersebut, keberadaan minoritas agama adalah yang paling problematik
terutama terkait dengan kebebasan dalam beribadah sesuai agama dan
keyakinannya masing-masing.
Dasar hukum yang kerap dijadikan alasan pembenar bagi sebuah
kelompok dalam menghakimi kelompok lainnya adalah keputusan negara
melalui Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung yang
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tertanggal 9 Juni 2008 yaitu
terdapat enam butir isi SKB ini: (1) Memberi peringatan dan memerintahkan
untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu
agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang
pencegahan penodaan agama; (2) Memberi peringatan dan memerintahkan
bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang
tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti
pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad saw.; (3) Memberi
peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak
mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenai sanksi sesuai peraturan
perundangan; (4) Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga
negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak
melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI; (5)
Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak
mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai
perundangan yang berlaku; dan (6) Memerintahkan setiap pemerintah daerah
agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini. Meskipun SKB ini hanya
meyatakan pelarangan organisasi JAI, dan tidak menyuruh melakukan
tindakan anarkitis, tetapi massa yang marah tidak lagi mempedulikan hal
tersebut.
Kebijakan Negara tersebut bukan hanya menimpa kelompok yang
dianggap menyimpang saja, produk kebijakan yang dikeluarkan negara juga
dapat berimbas pada pemberangusan keberadaan kelompok penghayat
kepercayaan dan sejumlah agama lokal. Seperti diketahui jumlah kelompok
seperti ini di Indonesia sangat banyak semisal Sunda Wiwitan (Kanekes,
Banten), Agama Djawa Sunda (kuningan, Jawa Barat), Buhun (Jawa Barat),
Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Parmalim (Sumatera Utara),
Kaharingan (Kalimantan), Tonaas Walian (Minahasa Sulawesi Utara),
Tolotang (Sulawesi Selatan), Wetu Telu (Lombok), Marapu (Sumba) Budi
Luhur, Purwoduksino, Naurus (Pulau Seram, Maluku), Pahkampetan, Bolim,
Basora, Samawi dan masih banyak lagi.
Keberadaan kelompok-kelompok penghayat kepercayan di atas
tergusur akibat pemberlakuan Penetapan Presiden No. 1/ PNPS/ 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaaan dan/atau Penodaan Agama. Dengan keluarnya
PP yang dikukuhkan oleh rezim Orde Baru menjadi UU No.1/PNPS/1965
tersebut, maka kelompok- kelompok agama asli nusantara ini kemudian
diminta untuk masuk kedalam salah satu agama resmi yang diakui negara yaitu
Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha atau Konghucu. Para
penganut Kaharingan di Kalimantan misalnya terpaksa harus berafiliasi
dengan Hindu dan komunitas Wetu Telu di Lombok harus konversi kedalam
Islam. Jauh sebelumnya, model pengawasan terhadap praktik keagamaan dan
kepercayaan masyarakat seperti ini sejatinya telah dilakukan negara di
antaranya melalui pembentukan Pengawas aliran Kepercayaan Masyarakat
(PAKEM). Sesuai namanya lembaga ini memiliki otoritas untuk mengawasi
dan “memata-matai” aktifitas penganut kepercayaan yang tidak menjadi
bagian dari agama resmi. Di bawah Departemen Agama (sekarang Kementrian
Agama), lembaga PAKEM menurut Mulder menjadi semacam watch dog bagi
gerakan- gerakan spiritual yang melawan Islam.
Kehadiran lembaga PAKEM terbukti sangat efektif dalam memantau
dan mengawasi aliran kepercayaan, apalagi semenjak dikeluarkannya Surat
Edaran Departemen Kejaksaaan Biro Pakem Pusat NO. 34/Pakem/S.E./61,
pendirian lembaga ini kemudian meluas hingga tingkat propinsi dan
kabupaten. Praktis dengan jangakuannya yang meluas seperti itu, lembaga
PAKEM menjadi kepanjangan tangan negara dalam mengontrol aktifitas
warganya dalam soal-soal yang sebetulnya masuk dalam wilayah privat atau
domestik. Dari kronologis tersebut, sepertinya Negara semakin sistematis
dalam mengeluarkan kebijakan yang berisi perlindungan terhadap
keberadaan agama resmi, agama yang diakui Negara.
2.3 Ide Dasar Bernegara; Perlindungan Umat Baragama
Sebagai bagian dari realitas sosial dan institusi politik, negara memiliki
peran penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Gagasan
pendirian sebuah negara tidak terlepas dari mata rantai proses pemenuhan
kebutuhan hidup manusia itu sendiri. John locke misalnya mengemukakan
bahwa keberadaan negara memiliki tujuan di antaranya adalah memelihara
ketertiban dan menegakan hukum di dalam negeri dan menjaga serangan
musuh dari luar. Negara menurut Locke harus dipandang sebagai instrumen
untuk mempertahankan hak hidup, hak kebebasan dan hak milik warga
PBB tahun 1948, di dalam pasal 18, pasal 26 ayat (2), dan pasal 29, disebutkan
mengenai pokok-pokok kebebasan beragama. Pasal 18 mengatakan bahwa
setiap orang mempunyai hak kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama,
termasuk kebebasan memilih dan memeluk agama, dan menyatakan
agamanya itu dalam pengajaran, pengamalan, dan beribadatnya, baik secara
sendiri-sendiri maupun dalam kelompok. Sementara dalam Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang disahkan PBB pada
tanggal 16 Desember 1966, pada Pasal 18 juga dinyatakan hal yang sama
dengan apa yang disebutkan dalam Pasal 18 Deklarasi Universal tentang
HAM PBB tersebut.
Perumusan pasal 18 Deklarasi HAM PBB sebenarnya tidak berjalan
mulus, tercatat misalnya Saudi Arabia yang abstain karena tidak setuju
klausula right to change religion (pasal 18) sebagai bagian dari hak atas
kebebasan beragama dan hak untuk menikah dan membentuk keluarga (pasal
16). Walaupun akhirnya Menteri Luar Negeri Lebanon pada waktu itu,
Charles Malik, dapat menyakinkan negara-negara Islam bahwa hak atas
kebebasan beragama adalah sesuai dengan ajaran agama Islam. Negara-
negara blok komunis juga ikut abstain atas Deklarasi tersebut, dan hanya
Afrika Selatan yang tidak setuju dengan Deklarasi PBB tersebut.
Fakta lain dari Deklarasi tersebut adalah bahwa penyusunan deklarasi
tersebut dianggap tidak representatif dimana umumnya didominasi oleh
perawakilan yang mewakili kelompok masyarakat Barat, karena pada saat
itu masyarakat Afro-Asia umumnya sedang berada di bawah penguasa
kolonial. Konsekuensinya, tidak mengakomodir ide-ide atau disukursus
yang berkaitan dengan nilai-nilai Asia dan Afrika maupun nilai-nilai
keagamaan dari berbagai agama di dunia. Karena situasi tersebut maka tidak
heran jika muncul desakan dari utusan berbagai masyarakat agama di
seluruh dunia agar Deklarasi dan dua Kovenan itu direvisi dan syarat-
syaratnya agar dibuat lebih adil dengan memasukkan konsep-konsep yang
berdasarkan agama.
Dinamika perdebatan seputar Deklarasi tersebut sebenarnya
memperlihatkan kelemahan doktrin hukum alam sebagai fondasi dari apa
yang disebut di dalam instrumen hukum Internasional sebagai hak-hak
universal. Alih-alih dapat menyatukan atau menyamakan persepsi soal hak
kebebasan beragama, namun justru yang muncul adalah potensi
pertentangan karena fakta adanya nilai-nilai partikular yang ada di masing-
masing negara. Kosepsi doktrin hukum alam yang dianggap bersifat
universal, abadi dan tidak terikat oleh ruang dan waktu pada kenyataannya
harus berhadapan dengan lokus masing-masing negara di mana fakta
kemajemukan tidak terhindarkan.
Salah satu kelemahan hukum alam adalah adanya penafian terhadap
eksistensi negara sebagai entitas pemegang otoritas yang berdaulat atas
tertib sosial warganya. Negara memiliki kuasa atas norma yang
diperuntukan bagi masyarakatnya sebagaimana menurut Jeremy Bentham
yang menyebut bahwa sumber hukum itu bukanlah ilham-ilham abstrak
yang berasal dari dunia transenden (sebagaimana yang dibayangkan
penganut hukum kodrat) melainkan negara yang bertindak melalui lembaga-
DAFTAR PUSTAKA
Amhed An-Na’im, Abdullahi, 2007, Islam dan Negara Sekuler;
Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Mizan Pustaka, Jakarta
Arinanto, Satya, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di
Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI, Jakarta,
Asshiddiqie, Jimly, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme,
MKRI-PSHTN FHUI, Jakarta,
Azra, Azyumardi, 1999, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman
Islam, Paramadina, Jakarta.
Aziz, Abdul, 2011, Chiefdom Madinah; Salah Paham Negara Islam,
Pustaka Alvabet, Jakarta
BPHN, 2011, Pengkajian Hukum tentang Perlindungan Bagi Upaya
Menjamin Kerukunan Umat Beragama, Kementerian Hukum
dan HAM RI, Jakarta, hlm. 22
Budiarjo, Miriam, 2007, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta,
C.F. Strong, Modern Political Constitutions: an Introduction to the
Comparative Study of Their Hhistory and Existing Form, Terj.
Derta Sri Widowatie, 2011, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern;
Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, Penerbit Nusa
Media
Christianto, Hwian, ―The Significant Impact Of Law Number
1/Pnps/1965 For The Freedom Of Religion‖ Jurnal Yudisial Vol.
6 No. 21 Desember 2021
Dicey, A.V. 1971, An Introduction to Study of the Law of the
Constitution, 10th edition, English Language Book Society and
MacMillan, London
Donelly, Jack, 2003, Universal Human Rights In Theory And Practice,
Cornell University Press, New York
El-Muhtaj, Majda, 2009, Dimensi-Dimensi HAM mengurai Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Kelsen, Hans, General Theory of Law, Terj. Raisul Muttaqien, 2009,
Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Nusamedia, Bandung
M.D.A. Freeman, 2001, Lloyd's Introduction To Jurisprudenc, Seventh
Edition, Sweet & Maxwell, Ltd, London
Prodjodikoro, Wirjono, 1983, Asas-Asas Hukum Tata Negara
Indonesia, Sumur, Bandung
R. Herlambang Perdana Wiratraman, ―Konstitusionalisme & Hak-Hak
Asasi Manusia; Konsepsi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia‖ dalam Jurnal Ilmu Hukum
YURIDIKA Vol. 20, No. 21 Desember 2020
Riyadi, Eko, 2012, Kecenderungan Paradigma Hak Asasi Manusia Di
Indonesia, Makalah disampaikan dalam Advanced Training Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya Bagi Dosen Hukum dan HAM di
Hotel Novotel Semarang, 21 Desember 2020
Rumadi, 2005, Agama dan Negara; Dilema Regulasi Kehidupan
Beragama di Indonesia, Jurnal ISTIQRA, No. 01 Vol. 04, 2005.
Rudini. Atas Nama Demokrasi Indonesia. (Yogyakarta: Bigraf
Publishing, 1994),
Sharma, Arvind, ―Towards a Declaration of Human Right by the
World Religion‖ dalam Joseph Runzo, Nancy M. Martin dan
Arvind Sharma, eds, 2003, Human Right and Responsibilitis in
the World Religion, Oneworld, Oxford,
Sukardja, Ahmad, 1995, Piagam Madinah dan UUD 1945, Universitas
Indonesia Press, Jakarta
Sulsitiyono, Adi, 2008, Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum,
Makalah disampaikan dalam rangka Seminar Hukum Islam-
Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan Beragama ditinjau dari
Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum. Penyelenggara
FOSMI Fakultas Hukum UNS, tanggal 21 Desember 2021