Oleh:
ABSTRAK
Menurut para tokoh ilmu kalam , Jabariyah adalah suatu aliran atau faham
yagn berpendapat bahwa manusia itu dalam perbuatannya serba terpaksa (majbur)
(Hamdani dkk 2009: 45). Artinya, perbuatan manusia itu pada hakikatnya adalah
perbuatn Allah Swt. Asy-Syahrostani (2005 : hlm. 85)mengatakan bahwa jabar dapat
diartikan menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua
perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya
dalam keadaan terpaksa.
Harun Nasution (1987: hlm 31) mengatakan bahwa Jabariyah adalah paham
yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula
oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang
dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan
dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam
berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa
Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Pemimpin pertama aliran Jabariyah adalah Jahm bin Sufyan. Karenanya aliran
ini juga sering disebut aliran Al-Jahamiyah. Ada pun ajaran-ajarannya banya
persamaannya dengan aliran Qurra dari agama Yahudi dan aliran Ya’cubiyah dari
agama Kristen.
Bibit faham Jabariyah sebenarnya telah muncul sejak awal periode Islam,
namun Jabariyah sebagai pola piker atau aliran yang dianut, dipelajari dan
diperkembangkan baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah, yakni
oleh Ja’d bin Dirham dan Jaham bin Shafwan. Benih-benih itu terlihat dalam
peristiwa sejarah berikut ini (Hamdani dkk 2009: 46-48):
Harun Nasution (1987: hlm 31) menjelaskan bahwa dalam situasi demikian
masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka
sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam,
sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.
Artinya: “Allah-lah yang menciptakan kamu apa yang kamu kerjakan” (Q.S.
AsShaffat: 96)
Artinya: “Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali bila
dikehendaki Allah” (Q.S. Al-Insan: 30)
Artinya: “Tiada suatu bencana yang menimpa di bumi dan (tiada pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzd) sebelum Kami
menciptakanmy” (Q.S. Al_Hadid: 22)
Mungkin inilah yang membuat pola piker Jabariah masih ada hingga saat ini.
Selain kondisi alam yang membuat manusia merasa lemah dan tidak dapat
menjalankan kehidupan mereka sesuai keinginan mereka masing- masing, juga ada
beberapa ayat Al-Qur’an yang sangat mendukung faham Jabariyah ini.
Dalam sejarah teologi Islam, faham Jabariyah , walau tidak selalu di identikan
dengan faham yang dibawa Jaham bin Sofwan atau yang dibawa Al-Najjar bin Dinar
terdapat juga dalam aliran Asy-Ariyah yang selanjutnya menjadi aliran Ahlu Sunnah
wal jama’ah yang dianut mayoritas umat Islam sekarang ini.
Dalam sejarah teologi Islam, selanjutnya paham Jadariyah dianut oleh kaum
Mu’tazilah, sedangkan paham jabariyah, dilanjutkan oleh Asy’ariyah ( Nasution 1987:
hlm 39). Jabariyah dan Mu’tazilah memiliki kesamaan pendapat, misalnya tentang
sifat Allah Swt., Surga dan neraka tidak kekal, Allah Swt. Tidak bias dilihat di akhirat
kelak, Al-Qur-an itu makhluk dan lain sebagainya. Jaham bin Sofyan mati terbunuh
oleh pasukan Bani Umayah pada tahun 131 H.
Al-Jahmiyyah
Pendiri aliran ini adalah Jaham bin Shafwan, nama lengkapnya adalah Abu
Mahrus Jaham bin Shofwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Kufah
(Nasution 1986: hlm. 98). Dia adalah seorang da’I yang fasih dan lincah (orator).
Jaham mati dibunuh Muslim bin Ahwas Al-Mazini pada akhir masa pemerintahan
khalifah Malik bin Marwah, salah seorang khalifah Bani Umayah.
Sekalipun ia sependapat dengan Mu’tazilah yang menolak adanya sifat
amaliah bagiAllah namun dalam beberapa hal ia memiliki perbedaan (Asy-
Syahrastani 2005: 71-73), sebagai berikut:
Makhluk tidak boleh mempunyai sifat yang sama dengan sifat Allah dan kalau
terjadi berarti menyamaikan Allah dengan makhluk-Nya. Ia menolak sifat
Allah Maha Hidup dan Maha Mengetahui, namun ia mengakui sifat Allah
yang Maha Kuasa, Allah lah yang berbuat dan menciptakan, karena itu
makhluk tidak mempunyai kekuasaan. Ilmu Allah bukan sifat zat-Nya. Ia
mengatakan bahwa sesuatu yang belum diciptakan Allah tidak diketaui Allah.
Kalau Allah lebih dahulu mengetahuinya dan baru diciptakan apakah ilmu
Allah terhadap sesuatu yang belum diciptakan sama dengan ilmu Allah
sesudah diciptakan? Dan kalau Ilmu Allah sebelum dan sesudah diciptakan
sama maka dapat dikatakan Allah itu jahil. Karena itu Ilmu Allah terhadap
sesuatu yang belum diciptakan tidak sama dengan Ilmu Allah terhadap
sesuatu yang sudah diciptakan.
Manusia tidak memiliki kekuasaan sedikit pun, manusia tidak dapat dikatakan
mempunyai kemampuan. Semua perbuatan yang trjadi pada makhluk adalah
pebuatan Allah dan perbuatan itu disandarkan pada makhluk hanya
menyandarkan mazaji.
Manusia akan kekal baik didalam surge maupun didalam neraka. Surge dan
neraka akan fana apabila semua calon penghuninya masuk ke dalamnya.
Penghuni surge menikmati kelezatan surge dan penghuni neraka merasakan
kepedihan siksa.
Siapa yang sudah memiliki ma’rifat (pengenalan) kepada Allah, kemudian ia
mengingkari Allah dengan lisannya ia tidak dapat dikatakan kafir. Karena
pengetahuan dan ma’rifat tidak akan terhapus dengan adanya keingkaran
dan ia dikatakan masih mukmin.
Dalam beberapa hal Jaham memiliki pendapat yang serupa dengan Murji;ah,
Mu’tazilah dan Asy-Ariyah (Rozak & Anwar 2012: 85). Sehingga para pengkritik dan
sejarawan menyebutnya dengan nama Al-Mu’tazila, AlMurji’a dan Al-Asy’ari.
Ja’id bin Dirham
Ja’id bin Dirham adalah seorang Maulana bani Hakim, tinggal di Damaskus.
Dia dibesarkan di lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi
( Rozak & Anwar: 2012: 86). Pada awalnya ia diberikan kepercayaan Bani Umayah
untuk mengajar, tetapi karena pikirannya yang kontroversial terlihat membuat Bani
Umayah menolaknya dan membutanya harus lari ke Kufah dan disana dia bertemu
dengan Jaham bin Sofwan. Yang akhirnya berhasil mentransfer pemikirannya kepada
Jaham untuk dikembangkan dan di sebarluaskan.
Secara umum pokok ajaran Ja’id bin Dirham sama dengan Jaham bin Safwan.
Al-Qhuraby menjelaskan tentang beberapa doktrin Jai’d bin dirham adalah sebagai
berikut:
Al-Qur’an adalah makhluk. Oleh karena itu dia baru. Semua yang baru tidak
dapat disifatkan kepada Allah
Allah tidak mimiliki sifat yang serupa dengan makhluk. Seperti berbicara,
melihat dan mendengar
Manusia terpaksa oleh Allah dalam segalanya.
Diantara pokok doktrin Ja’id bin Dirham secara umum sama dengan Jaham.
Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut
Ada pun Jabariah Modereat memiliki doktrin bahwa Tuhan menciptakan
perbuatan manusia, baik perbuatan jahat mau pun perbuatan baik, tetapi manusia
memiliki bagian didalamnya (Harun 1992: 522). Tenaga yang diciptakan didalam diri
manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan tersebut. Ini yang dimaksud
dengan kasab (acquisition). Menurut paham kasab, manusia tidak majbur (dipaksa
oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan di tangan dalang dan tidak pula
menjadi pencipta perbuatan, tetap manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan
oleh Tuhan. Diantara pemuka-pemuka Jabariah moderat ini adalah sebagai berikut:
Al-Najjariyyah
Pendiri aliran ini adalah Husain bin muhammad An-Najjar (230 H). ia
termasuk dalam tokoh Mu’tazilah yang paling banyak mempergunakan ratio,
kendatipun kelompok Mu’tazilah berbeda pendapat, tetapi dalam masalah ushuliyah
(akidah) mereka sependapat (Asy-Syarastani 2005: 73). para pengiktnya disebut An-
Najjariyyah atau Al-Husainiyah. Najjariyyah juga terbagi menjadi beberapa kelompok
kecil (Barghutsiyah, Za’faraniyah dan Mustadrikah), tetapi mereka tidak berbeda
dalam prinsip-prinsip pokok dalam aliran Jabariyah. Diantara pendapat-pendapatnya
adalah sebagai berikut;
https://tirto.id/sejarah-aliran-jabariyah-pemikiran-dan-perbedaan-dengan-
qadariyah-ghVf
https://www.academia.edu/40090524/ALIRAN_JABARIYAH