FAKULTAS HUKUM
MEDAN
T/A 2019-2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama allah SWT yang Maha Pengasi lagi Maha
Penyayang,kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiratnya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayahnya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang Di
Indonesia”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai sumber sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada ibu Asliani Harahap
S.H., M.H yang telah memberikan tugas ini sehingga menambah wawasan kepada
kami.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
I
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
a. Pelaporan ............................................................................................ 6
b. Penyidikan ........................................................................................... 10
c. Penuntutan ........................................................................................... 12
Kesimpulan ........................................................................................................... 15
Saran ..................................................................................................................... 15
II
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
“Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana
asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-
undangan, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini”.
“Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak
pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan
penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang
dan memberitahukannya kepada PPATK”.
2
dapat dipastikan sebagian untuk kesengajaan, sebagian untuk kealpaan.
Konsekuensi logisnya, pasal tersebut tidak hanya mensyaratkan kesengajaan tetapi
juga kealpaan yang dialternatifkan dengan kesengajaan. Dalam konteks
penyebutan culpa yaitu culpa yang sesungguhnya dan culpa yang tidak
sesungguhnya. Culpa sesungguhnya berarti akibat yang dilarang itu timbul karena
kealpaannya, sedangkan culpa tidak sesungguhnya berarti melakukan suatu
perbuatan berupa kesengajaan namun salah satunya diculpakan.
Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa ketentuan Pasal 3, Pasal 4,
dan Pasal 5 tersebut termasuk dalam culpa yang tidak sesungguhnya. Masalahnya
ketentuan tersebut kontradiktif dengan penjelasan Pasal 5 ayat (1), yang
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Patut diduganya” adalah suatu
kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan
pada saat terjadinya transaksi yang diketahuinya yang menunjukkan adanya
pelanggaran hukum. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) ini mengubah konsekuensi bentuk
kesalahan dari kealpaan menjadi kesengajaan. Hal ini dari kata-kata “........suatu
kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau
tujuan.....”adanya pengetahuan dan keinginan atau weten en willen adalah syarat
mutlak kesengajaan dan bukan kealpaan.
Pasal 78 menyatakan:
3
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang
cukup.
Hal tersebut mendorong FATF (Financial Action Task Force) pada tahun
1990 mengeluarkan Forty Recommendation, yaitu rekomendasi bagi negara-
4
negara untuk mengurangi pencucian uang, salah satu caranya adalah dengan
melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang. Atas Forty Recommendation
tersebut, pada tahun 2002 diundangkanlah Undang-undang No. 15 Tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang no. 25 Tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dari rumusan Pasal 12 ayat (1) Undangundang No. 25 tahun 2003 tersebut
maka jelaslah bahwa korupsi dipandang sebagai salah satu asal kejahatan dari
tindak pidana pencucian uang. Untuk memberantas tindak pidana korupsi maka
Indonesia melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan korupsi melalui Undang-
undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.
5
2.2 Penegakan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia
A. Pelaporan
Pelaporan oleh penyedia jasa keuangan merupakan salah satu pilar penting
dalam pelaksanaan rezim anti pencucian uang. Melalui pelaporan dapat diketahui
informasi awal dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang. Standar
internasional yang tertuang di dalam 40 recommendations angka 11 menetapkan
agar setiap negara melaporkan suspicious financial transaction kepada otoritas
yang disebut financial intelligence unit (FIU). Pada prinsipnya rezim anti
pencucian uang di Indonesia bekerja atas dasar laporan yang disampaikan oleh
penyedia jasa keuangan kepada PPATK, sebagaimana diatur di dalam pasal 13
ayat (1) sebagai berikut :
6
c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari Hasil Tindak
Pidana.
7
Hasil analisis merupakan laporan yang telah diperkaya dengan informasi
tambahan dari PPATK.
8
c. Takut berhubungan dengan aparat penegak hukum sebagai akibat lanjut
dari disampaikannya laporan;
d. Persaingan antar penyedia jasa keuangan dan anggapan bahwa tidak semua
penyedia jasa keuangan menerapkan ketentuan sebagaimana mestinya;
e. Ikikad tidak baik (te kwarde trouw) dari penyedia jasa keuangan.
Hingga saat ini sudah terdapat dua penyedia jasa keuangan yang diproses
hukum karena tidak menyampaikan laporan. Kedua penyedia jasa keuangan
tersebut diperiksa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena tidak menyampaikan
laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK dan terkait dengan
pembobolan PT. Bank Global yang dibekukan oleh Bank Indonesia beberapa
waktu lalu.
9
B. Penyidikan
Pasal tersebut berarti bahwa hukum acara yang digunakan dalam proses
hukum perkara tindak pidana pencucian uang, baik di tingkat penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan adalah menggunakan Kitab
Undang-undang Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selama tidak ditentukan
lain oleh Undang-undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
10
g. memanggil orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan
pemeriksaan perkara;
h. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
i. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan
pemeriksaan perkara;
j. mengadakan penghentian penyidikan; dan
k. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Tahap Kedua : Penyerahan tahap kedua adalah penyerahan tanggung jawab atas
berkas perkara dan tersangka kepada Penuntut Umum oleh Penyidik. Dan sejak
itu status tersangka berubah menjadi terdakwa.
11
C. Penuntutan
Adapun yang dimaksud dengan Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi
wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan Hakim (Pasal 1 angka 6 KUHAP), sedangkan Jaksa itu sendiri adalah
pejabat yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk bertindak sebagai Penuntut
Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dalam hal Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan itu, maka
ia dapat mengambil beberapa sikap. Misalnya dalam hal tersangkut beberapa
orang terdakwa, maksudnya apakah perkara itu diajukan dalam 1 (satu) berkas
perkara atau dipecah menjadi beberapa berkas perkara (Splitsing).
Dalam hal terjadi perkara koneksitas dimana pelaku tindak pidana terdiri
dari orang-orang termasuk dalam yurisdiksi pengadilan yang berbeda misalnya
1(satu) tersangka sipil, masuk jurisdiksi pengadilan umum, sementara tersangka
lainnya militer, masuk jurisdiksi pengadilan militer. Penanganan kasus demikian
12
dari Dik, Tut sampai peradilannya harus dalam bentuk koneksitas. Artinya dalam
tim itu tergabung penyidik dari Polri dan Militer. (Pasal 22 UU No.14/1970).
D. Putusan Pengadilan
Hingga saat ini sudah ada tiga putusan pengadilan berkaitan dengan tindak
pidana pencucian uang. Putusan pertama dan kedua adalah putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan yang berkaitan dengan perkara atas nama Lukman Hakim
dan Tony Chaidir yang terkait dengan PT. BII (Tbk.). Majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan memvonis 3 tahun penjara terhadap Lukman Hakim dan
Tony Chaidir. Jaksa Penuntut Umum maupun terpidana tidak menyatakan
banding atas putusan tersebut sehingga putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Putusan yang kedua adalah yang berkaitan dengan perkara atas nama
Jasmarwan di Pengadilan Negeri Medan. Terdakwa Jasmarwan divonis 3,5 tahun
penjara atas dakwaan melakukan tindak pidana penipuan, pencucian uang dan
pemalsuan surat. Jasmarwan maupun Jaksa Penuntut Umum tidak mengajukan
banding sehingga putusan Pengadilan Negeri Medan sudah memiliki kekuatan
hukum yang tetap.
13
Untuk mendorong para hakim memahami rezim anti pencucian uang.
PPATK dan istansi terkait menyelenggarakan sosialisasi dan diskusi mengenai
anti pencucian uang secara berkesinambungan.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
15
Timbul keraguan apakah KPK berwenang melakukan penuntutan terhadap
tindak pidana pencucian uang. Kontradiktif antara Pasal 3,4, dan 5 dengan
penjelasan Pasal 5 ayat (1) mengenai unsur kesengajaan atau kelalaian (culpa) dan
yang berkaitan dengan belum diaturnya ketentuan mengenai pembuktian terbalik
dan konsekuensinya. Kendala-kendala di atas cukup mengganggu dalam praktik
dan perlu segera direvisi agar ada kepastian hukum.
16
DAFTAR PUSTAKA
Remi Syahdeini Sutan, 2017, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Pemberantasan Terorisme, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
17