Anda di halaman 1dari 5

TUGAS I INDIVIDU

ILMU DASAR KESEHATAN MASYARAKAT


Permasalahan Pilar Kesehatan Lingkungan

KHINANTI
(P10121182)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
2021
MASALAH SANITASI DAN HAMBATAN PENYELESAIANNYA

Hingga kini, masalah sanitasi di Indonesia masih menjadi perkara pelik


yang berdampak besar terhadap kesehatan masyarakat serta keseimbangan
lingkungan. Pembangunan sarana sanitasi yang layak masih relatif rendah dan
tidak sebanding dengan jumlah penduduk. Masalah ini mungkin terdengar sepele
bagi masyarakat dengan persediaan air bersih cukup dan lingkungan yang sehat.
Akan tetapi, di daerah-daerah terpencil yang jauh dari pengawasan kita, sanitasi
yang buruk dapat mencegah ancaman kematian.
Menurut World Health Organization, sanitasi dapat didefinisikan sebagai
upaya dalam penyediaan sarana dan pelayanan untuk pembuangan limbah yang
berasal dari manusia, semisal urine dan feses. Selain itu, sanitasi juga bisa
merujuk pada pemeliharaan kondisi yang bersih, pengelolaan sampah, dan
pengolahan limbah cair. Berdasarkan data dari UNICEF, terdapat beberapa isu
penting terkait masalah sanitasi tersebut,di antaranya:
1. Sanitasi yang berdampak buruk pada angka 88 persen pada kematian
anak diare di seluruh dunia.
Bagi penderita anak-anak yang bertahan hidup, masalah diare
tersebut merambah pada masalah gizi. Pada akhirnya, efek dari gizi buruk
menahan anak-anak untuk beraktivitas, meraih potensi maksimal, dan
mencegah memburuknya kualitas sumber daya manusia di masa
mendatang. Tentu saja, dampak terbesarnya adalah menurunnya
produktivitas suatu bangsa.
2. Di Indonesia, diare menjadi penyebab utama kematian anak di bawah
lima tahun.
Menurut laporan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada
tahun 2007, bertanggung jawab atas 31 persen kematian anak usia 1 bulan
hingga 1 tahun, juga 25 persen pada anak usia 1 hingga 4 tahun. Selain itu,
tercatat persentase diare dari rumah tangga yang menggunakan sumur
terbuka untuk air minum, 34 persen lebih tinggi daripada yang
menggunakan air ledeng. Pada anak-anak dari keluarga yang membuang
kotoran di sungai 66 persen lebih tinggi daripada yang menggunakan toilet
pribadi.
3. Sering diabaikan pentingnya peran kebersihan.
Padahal, kematian akibat penyakit diare bisa. Tidak hanya dengan
perbaikan sistem sanitasi, tetapi juga dengan hal-hal sederhana. Misalnya,
disiplin cuci tangan menggunakan sabun antibakteri setiap kali selesai
beraktivitas dikaji, dapat mengurangi risiko terserang diare hingga 47
persen.
4. Pada daerah-daerah perkotaan sanitasi yang buruk lebih berisiko
terhadap penyakit.
Budaya kebersihan yang buruk, kepadatan penduduk, serta
kontaminasi air limbah, semakin memperparah munculnya penyakit.
Bukan hanya diare, tetapi juga penyakit lainnya yang berhubungan dengan
kebersihan, seperti disentri, tipus, hepatitis, berdarah, dan kudis. Bahkan,
penyakit kronis dapat turut mengintai.
5. Praktik kebiasaan buruk di kalangan kurang berpendidikan, dapat
memicu mewabahnya penyakit.
Menurut studi UNICEF pada tahun 2000 tentang “mega-kota”,
penduduk miskin di pinggiran Kota Jakarta kurang setara dengan
masyarakat Jakarta sendiri. Studi serupa juga menghitung angka kematian;
daerah-daerah miskin tersebut memiliki angka kematian lima kali lebih
tinggi.
Pada kasus yang sama, masalah sanitasi di Indonesia juga meningkatkan
angka penderita gizi buruk di daerah-daerah terpencil dengan sistem sanitasi tidak
mencukupi. Butuh investasi yang lebih besar dan luas pada sektor air bersih dan
sanitasi.
Selain itu, hambatan-hambatan lainnya turut menahan masyarakat menjaga
kesehatannya. Di antara hambatan-hambatannya:
1) Koordinasi lembaga-lembaga terkait air bersih dan sanitasi tidak
cukup kuat.
Sebagai contoh, kontraktor yang membangun sistem perairan di
desa-desa lebih bertanggung jawab pada pemerintah, bukan di masyarakat
pedesaan itu sendiri. Hal ini diakibatkan oleh kurang kuat dan rapinya
struktur manajemen dari masyarakat yang bersangkutan.
2) Kurangnya keahlian dalam sektor perairan dan kapasitas
kelembagaan, sering kali menghambat banyak pemerintah
kabupaten.
Alasan utamanya adalah desentralisasi yang membuat kabupaten-
kabupaten terpencil sulit merekrut tenaga ahli. Adapun SDM berkualitas
dari kabupaten biasanya lebih memilih tinggal dan bekerja di daerah
perkotaan, alih-alih membangun kampung halamannya sendiri.
3) Tidak ada data yang memadai tentang perkembangan kebersihan, air
bersih, dan sanitasi di sekolah.
Padahal, kunjungan lapangan menunjukkan perlunya peningkatan
terhadap tanggal tersebut. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, sebanyak 77 persen Sekolah Menengah Pertama
dilengkapi dengan persediaan air bersih dan sumur ledeng. Artinya,
sebanyak lebih dari 10.000 SMP tidak memiliki fasilitas itu. Pada skala
yang lebih besar, diperkirakan hingga 50.000 sekolah memerlukan fasilitas
air bersih dan sanitasi yang layak.
4) Pembudayaan air bersih di kota-kota tidak diskema secara baik, serta
lingkupnya terbilang sempit.
Pada tahun 2009, dari 402 perusahaan air daerah (PDAM) yang
melayani perkotaan, hanya 31 PDAM yang memiliki lebih dari 50.000
sambungan. Kurang optimalnya ruang lingkup itu malah membuat biaya
operasional lebih tinggi. Sementara pada tahun 2010, hanya 30 PDAM
yang mampu menutup biaya operasional dan pemeliharaan sistem secara
benar. Karena itu, sistem persediaan udara bersih pada umumnya tidak
terawat dan berstandar rendah.
5) Sistem sanitasi serta pembuangan kotoran dan air limbah di kota-
kota besar, umumnya kurang memadai dan tidak dikelola dengan
baik.
Bank Dunia menaksir, setiap tahun, rumah tangga tanpa sanitasi
layak di Jakarta membuang 260.731 ton kotoran manusia ke
pengumpulan-pengumpulan udara tanpa melewati pengolahan. Sementara
untuk seluruh Indonesia, angkanya mencapai 6,4 juta ton.
6) Pengelolaan limbah padat perkotaan tidak dilakukan dengan baik.
Lembaga yang bertanggung jawab terhadap hal itu melakukan
kontrak dengan pengusaha-pengusaha swasta kecil. Pengusaha-pengusaha
itu mengumpulkan sampah dari rumah-rumah, memindahkan ke fasilitas
penampungan sementara, kemudian sampah diangkut oleh lembaga
tersebut. Sistem ini sering kali tidak berjalan baik karena kurangnya
disiplin dari berbagai pihak.
7) Kesadaran yang buruk, kondisi terkait kebersihan kerap menjadi
imbasnya.
Tidak hanya di tempat-tempat umum seperti pasar lokal atau
kawasan ramai lainnya, di pusat-pusat kesehatan pun kebersihan masih
mengkhawatirkan. Ketidakpedulian itu berkembang menjadi budaya, dan
biaya pada konsekuensi seperti penyakit. Berdasarkan survei yang
dilakukan Universitas Indonesia tahun 2005 pada enam provinsi, kurang
dari 15 persen ibu yang mencuci tangan setelah buang air besar, sebelum
menyiapkan makanan, sebelum makan, atau bahkan sebelum menyuapi
anak.
8) Sosialisasi pada hal-hal terkait tergolong sangat jarang.
Sistem sanitasi yang buruk merupakan isu sosial yang
membutuhkan penanganan masyarakat secara gotong-royong. Namun,
inisiatif tersebut cenderung tidak terlihat. Sebagian masyarakat yang
berbudaya bersih tentang topik-topik sekitar. Padahal, solusi sederhana
dari masalah ini adalah kerja sama antar sesama penduduk dan pemerintah.
Berdasarkan poin-poin di atas, bisa dipastikan bahwa diperlukan kebijakan
yang responsif, pemusatan pada tindakan-tindakan, pemeliharaan dan
pengembangan fasilitas, serta konsistensi yang berkala. Selain itu, inisiatif untuk
membantu sesama adalah opsi mulia yang bisa kita coba. Pada daerah-daerah
yang jauh dari jangkauan mata pemerintah, peran relawan sangat membantu untuk
mengatasi masalah ini. Untuk itu, salah satu lembaga nonprofit, Sedekah Air,
bergerak sebagai penyedia sarana, entah berupa dana, relawan, maupun penggagas
tempat. Dengan bertambahnya relawan-relawan tersebut, tingkat kesehatan di
Indonesia bisa membaik.

Anda mungkin juga menyukai