SESI 1 – MERANCANG
NOVEL
PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DI KALANGAN REMAJA
Oleh:
Nama : Amanda Puspita Dewi
NIS 9544
NISN 0037179591
No Absen 01
Kelas : XII MIPA 1
Ditujukan kepada:
Guru Bahasa Indonesia
I Putu Gede Pradipta, S. Pd
Helaan nafas lega terhembus kala pintu kelas XII Bahasa tepat berada di
depannya. Langkahnya yang mulai melemah, menuju ke bangku salah satu
sahabatnya, Sinta.
“Iya, nanti lempar aja kertas ke punggung gue,” senyum sumringah terbit
di wajah Amanda mendapat balasan seperti itu. Sambil bersenandung ringan,
gadis itu menuju bangkunya yang berada dua dari depan bangku Sinta.
Jam pertama kelas XII Bahasa disambut oleh kuis dadakan Bu Mareta,
guru paling tegas seantero sekolah. Tak ada satu pun siswa maupun guru yang
berani membantah permintaannya. Jika saja Amanda punya kekuatan sihir, ingin
rasanya ia menyihir guru itu agar menghilang dari sekolahnya ini.
“Baik anak-anak, seperti yang telah ibu sampaikan pada ketua kelas
semalam, bahwa hari ini saya akan mengadakan kuis mengenai pemilihan
kosakata baku dan tidak baku. Pastikan tidak ada satu pun buku atau ponsel yang
berada di atas meja.”
Dalam hati Amanda memikirkan cara agar bisa mendapatkan jawaban dari
Sinta. Bukan semata-mata Bu Mareta mengadakan dadakan seperti sekarang. Ini
karena siswa kelas XII Bahasa belum begitu tepat dalam pemilihan kosakata saat
pengerjaan tugas esai yang diberinya beberapa waktu lalu.
Akan tetapi, Amanda tetap bersikap tidak tahu menahu terkait struktur
penugasan esai tersebut. Gadis super santai itu beranggapan asal dirinya telah
mengerjakan tugas, maka ia bebas dari hukuman. Bagi Amanda, Bahasa Indonesia
hanyalah bahasa sederhana yang biasa diucapkannya sehari-hari. Padahal dibalik
itu semua, Bahasa Indonesia memiliki tata cara kosakata yang terstruktur dan
tepat.
Suasana tegang pun mulai menyelimuti kelas tersebut saat pembagian soal
berlangsung.
“Baik anak-anak, saya akan membacakan peraturan saat ulangan
berlangsung,…” ucap Bu Mareta yang tak dihiraukan oleh Amanda.
“Hm, gimana ya caranya biar Sinta bisa bagi jawaban?” ucap Amanda
pada dirinya sendiri.
Kebingungan terlukis di raut wajah Amanda setelah membaca soal
ulangan yang diberikan. “Soal apa ini? Anak TK mah juga bisa jawab,” ucap
Amanda yang diakhiri dengan tawa kecil.
Namun, nasib sedang tak berpihak kepadanya. Bu Mareta yang memahami
gerak-gerik Amanda pun terus mengawasinya sehingga Amanda kesulitan
melempar kertas kepada Sinta. Akhirnya Amanda pun menjawab ulangan tanpa
bantuan dari Sinta dengan bekal beberapa hal yang ia ketahui.
Lima belas menit telah berlalu sejak kuis itu usai. Bu Mareta pun langsung
memeriksa kuis tersebut. Perasaan yang sangat gelisah membuat Amanda pasrah
terhadap nilainya.
"Ya mana gue peduli. Lo bayangin aja tadi 60 soal kosakata, bisa berasap
kepala gue!" jawab Amanda.
"Astaga Amanda, anak SMP juga bisa jawab kali. Masa lo gak bisa?”
timpal Sinta yang lelah dengan sahabatnya itu.
"Bodo amat ah! Kesel deh, gue ngomong aja gak ada yang koreksi. Ini
pemilihan kosakata yang benar aja ribet banget.”
“Jangan dong bu, saya minta maaf atas kekurangan nilai saya. Saya
mengira pengetahuan Bahasa Indonesia saya sudah cukup dan benar. Selama ini
saya mengucapkan kata-kata yang ternyata kurang benar, tapi tidak satu pun yang
menegur. Jadi saya mengira bahwa itu sudah benar,” tutur Amanda.
“Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya bu, saya rasa ucapan saya
kurang enak dan tidak sopan didengar oleh orangg lain. Saya juga berbicara
kurang formal terhadap guru di sekolah,” lirih Amanda dengan mata berkaca-kaca
menahan tangis. Dirinya jika diberi hukuman oleh Bu Mareta.