Anda di halaman 1dari 8

KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN KATOLIK

PENGANTAR UMUM

A. Hakikat Perkawinan
Dalam kursus persiapan perkawian materi ini diberikan agar pasangan suami-istri yang akan menikah
perlu mendapatkan pemahamana mengenai perkawinan sebagai persekutuan hidup antara seorang pria
dan wanita, atas dasar ikatan cinta kasih yang total, dengan persetujuan bebas dari keduanya untuk tidak
dapat ditarik kembali, dengan tujuan kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi dan kesejahteraan.
Perkawinan dapat di pandang dari empat sudut pandang yaitu perkawinan merupakan hidup dan cinta,
perwkawinan merupakan lembaga hukum negara, dan perkawinan antara dua orang yang dibaptis
merupakan sakramen.

1. Perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta


Perkawinan merupakan persekutuan hidup yang menytukan seorang pria dan wanita dasar persetujuan
bebas (Gilarso, 2011: 9). Mereka bersekutu membentuk suatu keluarga atas dasar cinta kasih yang tulus
dalam kesatuan lahir- batin yang mencakup seluruh hidupnya. Persetujuan bebas merupakan syarat
mutlak untuk terjadinya dan sahnya perkawinan. Cinta mensyaratkan kebebasan serta tanggung jawab,
tidak ada cinta yang dipaksa atau terpaksa dan ini harus dinyatakan secara jelas di depan saksi-saksi yang
sah. Unsur pokok dalam cinta perkawinan adalah kesetian kepada pasangannya dalam untun dan malang
dan bertanggung jawab dalam segala hal.

2. Perkawinan merupakan lembaga sosial


Dalam masyarakat umumnya perkawinan dipandang satu-satunya lembaga yang mengizinkan
persekutuan pria dan wanita, hubungan seks dan keturunan (Gilarso 2011: 10). Maka dari itu perkawinan
dilindungi dan diatur oleh hukum adat dan hukum negara, perkawinan juga melibatkan masyarakat luas,
baik sanak- saudara maupun tetangga dan kenalan. Keluarga adalah sel masyarakat, sebab masyarakat
ikut ambil bagian dalam urusan perkawinan karena mereka ikut berperan dalam keutuhan kehidupan
keluarga.

3. Perkawinan merupakan lembaga hukum negara


Perkawinan adalah ikatan resmi dan harus di sahkan (Gilarso 2011: 10). Perkawinan bukan ikatan bebas
menurut selera sendiri melainkan soal
masyarakat, soal sosial, soal keluarga, dan masa depan bangsa. Maka dari itu negara ikut campur tangan
dalam masalah perkawinan warganya. Negara mengatur perkawinan sebagai lembaga hukum resmi.
4. Perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan sakramen
Menurut Gilarso (2011: 10) dengan dibaptis berarti ia telah bersatu secara pribadi dengan Kristus. Maka
perkawinan antara dua pribadi yang dibaptis merupakan perayaan iman Gerejawi, yang membuahkan
rahmat bagi kedua mempelai. Ikatan cinta setia yang mempersatukan mereka menjadi lambing, tanda
perwujudan kasih setia Kristus kepada Gereja dan satuan rahmat bagi mereka. Sakramen Pekawinan tidak
hanya sebatas upacara di Gereja saja tetapi berlangsung terus-menerus selama hidup mereka berdua.
Maka Tuhan sendiri berkenan hadir di dalam keluarga mereka. Rahmat yang mereka terima adalah
rahmat yang menguduskan mereka berdua, rahmat yang menyempurnakan cinta dan mempersatukan
mereka, dan rahmat yang membantu dan membimbing mereka dalam hidup berkeluarga hingga semakin
dekat dengan Tuhan.

b. Tujuan Perkawinan
Perkawinan dapat dilaksanakan dengan tujuan yang berbeda-beda (Gilarso 2011: 11-12). Tujuan materi
ini diberikan agar suami-istri dapat memahami pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri,
kelahiran dan pendidikan anak, pemenuhan kebutuhan seksual, dan lain-lain.
1. Pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri
Kasih yang ada masih harus dikembangkan dan dimurnika, sehingga sungguh-sungguh dapat
membahagiakan (Gilarso 2011: 11). Cinta adalah keputusan pribadi untuk bersatu dan rela menyerahkan
diri demi kebagian pasangannya, bukan semata-mata dorongan nafsu, rasa tertarik, rasa simpati atau
asmara. Suami-istri bukan sekedar pasangan melainkan belahan jiwa serta teman seperjalanan.

2. Kelahiran dan pendidikan anak


Perkawinan adalah satu-satunya lembaga yang sah untuk pemenuhan keinginan mempunyai anak (Gilarso
2011: 11). Suami-istri yang normal mempunyai kerinduan untuk memiliki keturunan. Perlu disadari
bahwa anak adalah anugerah Tuhan. Bila Tuhan belum memberikan anak, perkawinan tidak kehilangan
artinyaa. Menurut Adi Hardana (2010 : 14) cinta kasih suami-istri tidak hanya tertuju pada mereka
sendiri, tetapi juga kepada orang lain dalam hal ini tertuju pada kelahiran anak, karena itulah dengan
bantuan rahmat Allah, suami-istri dipanggil oleh Allah untuk bekerja sama dalam penerusan generasi
baru dengan sikap keterbukaan untuk menerima karunia (hidup baru) yang diberikan Tuhan.

3. Pemenuhan kebutuhan seksual


Pria dan wanita yang dewasa dan normal merasakan kebutuhan seksual (Gilarso 2011: 12). Kebutuhan itu
layak dipenuhi melalui hubungan seks antara
suami-istri dalam lembaga perkawinan yang sah. Gereja menolak dengan tegas setiap hubungan seks di
luar lembaga perkawinan yang resmi, itu berarti bahwa persetubuhan diadakan dengan kesadaran dan
tanggung jawab penuh, sehingga kebutuhan itu terpenuhi dalam suasana cinta kasih, dan disertai kerelaan
untuk menerima hidup bru sebagai hasil perpaduan cinta kasih mereka.

4. Lain-lain
Perkawinan juga mempunyai maksud tujuan antara lain, misalnya: kesejahteraan keluarga, jaminan
perlindungan dan keamanan demi ketenangan nama baik, kerukunan keluarga; jaminan nafkah atau
ekonomi, sah dan sehatnya keturunan dsb (Gilarso 2011: 12).

d. Sakramen Perkawinan
Menurut Konseng & Tukan (1991: 36) materi ini diberikan yaitu untuk membantu pasangan suami-istri
memahami inti pokok perkawinan katolik adalah sebagai bahasa perkawinan. Katolik bersifat
sakramental. Berdasarkan sakramen ini, mereka melambangkan dan mengambil bagian dalam misteri
kesatuan dan cinta yang subur antara Kristus dan Gereja. Perkawinan adalah tanda keselamatan. Dengan
sakramen perkawinan maka suami-istri bersedia menghayati perkawinan kristiani. Dalam perkawinan
katolik terdapat tiga pribadi yang terlihat: suami-istri dan Tuhan. Oleh karena itu suami-istri Kristiani
dikuatkan dan bagaikan dikuduskan untuk tugas-kewajiban maupun martabat status hidup mereka dengan
sakramen khas.

e. Moral Perkawinan
Dalam memberikan materi ini ada dua dasar yang menjadi sumber dan titik pijak pertimbangan moral
yaitu Kitab Suci dan ajaran sosial Gereja, serta pengalaman, penalaran akal budi manusia, dan ilmu
pengetahuan. Moral perkawinan tidak hanya berisikan larangan-larangan, tetapi mencoba memberikan
pedoman positif (Adi Hardana 2010: 32). Menurut Gilarso (1990: 45) ada beberapa pokok ajaran Kitab
Suci dan Gereja Katolik seperti Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya sendiri, Allah
menciptakan pria dan wanita dan memanggil mereka untuk bersatu dalam keluarga. Maka tujuan pokok
dari perkawinan adalah agar Pria dan wanita menjadi satu. Kesatuan antara suami-istri harus dibangun
setiap hari, dengan saling memperhatikan, keterbukaan, dan kerelaan berkomunikasi dan saling menerima
apa adanya, dengan kasih sayang, kelembutan dan kesabaran, dengan kerelaan berkorban dan saling
membantu, maaf-memaafkan, doa bersama, dan saling menanggung beban. Segala sesuatu yang
mendukung, menunjang mewujudkan, atau memperkuat kesatuan suami- istri, adalah baik. Segala sesuatu
yang merusak, melanggar, mengancam, atau meretakkan kesatuan itu, adalah tindakan tidak baik.

f. Psikologi Pria dan Wanita


Tuhan menciptakan manusia sebagai pria dan wanita dengan perbedaan masing-masing yang melekat
pada diri mereka. Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang berkelamin, maksudnya supaya
pria dan wanita saling melengkapi dan membahagiakan (segi psikologis) dan upaya umat manusia
berlangsung terus di dunia ini (segi biologis) (Adi Hardana 2010: 63). Panggilan hidup kaum pria terarah
menjadi seorang ayah/bapak, sedangkan wanita menjadi seorang ibu. Sejak semula Allah memberikan
perlengkapan yang berbeda pada kodrat pria dan wanita, baik perlengkapan jasmaniah/biologis maupun
rohaniah/psikologis. Perbedaan adalah anugrah Tuhan dengan maksud agar pria dan wanita saling
melengkapi dalam hidup berkeluarga. Perbedaan pria dan wanita harus disyukuri sebagai anugerah Ilahi.
Dengan perbedaan itu mereka dapat saling mengisi dan melengkapi satu sama lain, sehingga menjadi satu
kesatuan yang tak terpisahkan sebagai pasangan suami-istri yang dicita-citakan oleh Gereja dan
masyarakat.

g. Komunikasi suami-istri
Dalam kursus komunikasi suami-istri diberikan agar mereka memahami pentingnya komunikasi
merupakan kunci dalam membangun relasi. Apabila suami-istri semula berusaha untuk tetap
berkomunikasi, segala persoalan akan dapat dihadapi bersama. Menurut Tim Pusat Pendampingan
Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 30) komunikasi adalah suatu proses antara dua orang yang
memberikan informasi/isyarat dan yang lain menerima informasi tersebut sehingga terjadi kesatuan
pemahaman. Agar komunikasi biasa berlangsung, yang pertama-tama perlu diusahakan adalah suasana
yang mendukung, yaitu relasi dengan istri/suami dinomorsatukan di atas segalanya. Cinta itu lebih dari
sekedar perasaan tetapi suatu keputusan untuk tetap setia. Dalam keluarga kristiani sangat penting
diadakan doa malam bersama. Masalah-masalah yang menyangkut
kepentingan keluarga mesti dirundingkan bersama sampai tercapai mufakat, atau paling tidak saling pen
gertian. Hendaknya kedua belah pihak, minimal sehari sekali, saling mengucapkan sepatah kata manis
atau kata pujian. Komunikasi dalam keluarga menjadi mutlak dan harus selalu terus-menerus dibangun.

h. Keluarga Berencana Alamiah


Keluarga yang baik perlu direncanakan melalui KB, dalam kursus Kb diberikan salah satu perkawinan itu
adanya tentang anak. sangat di anjurkan dalam keluarga katolik untuk memanfaatkan kb alamiah, secara
khusus Paus Yohanes II menegaskan:
Tanggung jawab bersama yang harus diemban suami-istri dalam menggunakan metode KB-alamiah.
Dengan menggunakan KB alamiah tanggung jawab itu dibebankan di atas pundak kedua belah pihak.
secara psikologis, hubungan seks merupakan ungkapan cinta dan penyerahan diri antara suami-istri, tetapi
secara biologis, dimaksudkan untuk mendapatkan keturunan. Jika tidak menginginkan anak, suami-istri
jangan mengadakan hubungan seks tepat pada waktu istri dalam masa subur. Di luar waktu itu, hubungan
seks tetap dilakukan sebagai ungkapan cinta satu sama lain.
apabila suami-istri menginginkan anak maka perhatikan hari-hari ketika tampak atau terasa adanya lendir
yang basah, licin, dan mulur apabila direntangkan di antara dua jari. Jika hari-hari digunakan untuk
senggama, kemungkinan besar kehamilan akan terjadi (Brayat Minulyo 2007: 65). Untuk
mempertinggikan kesuburan sebaiknya suami mengadakan tentang sanggama selama beberapa hari.
Jika suami-istri tidak menginginkan anak maka jangan mengadakan senggama waktu haid karena lendir
kesuburan tidak akan kelihatan meskipun ada (Brayat Minulyo 2007: 65). Jangan mengadakan sanggama
apabila ada tanda- tanda lendir keluar, sekurang-kurangnya 3 hari sesudahnya. Jangan mengadakan
sanggama apabila ada pengeluaran darah dua siklus (bukan haid) sampai dengan 3 hari 3 malam
sesudahnya. Cara ini dapat dipakai pada siklus menstruasi yang tidak teratur, masa haidanya
(menopause). Ada banyak keuntungan metode ovulasi Billings yaitu memungkinkan setiap kelahiran
direncanakan, termasuk jenis kelamin anak. Aman karena tidak ada efek samping. Alamiah karena tidak
memakai alat kontrasepsi atau obat-obat kimia. Ekonomis dan mandiri penuh serta dapat diandalkan
keberhasilannya. Selain itu dapat digunakan oleh setiap perempuan dalam setiap fase hidup.

i. Pengaturan Ekonomi Keluarga


Hal yang penting ini perlu di bahasa dalam kursus yaitu tentang pengaturan ekonomi rumah tangga.
Orang yang bijak mengatur rumah tangganya sedemikian rupa sehingga dari penghasilan yang tertentu
dan terbatas semua kebutuhan keluarga dapat tercukupi. Dapat makan setiap hari, dapat berpakaian
pantas, punya rumah kediaman yang layak, mendapatkan pendidikan secukupnya, dan bila ada anggota
keluarga yang sakit mendapatkan pengobatan dan perawatan sepenuhnya. Menurut Gilarso (2011: 138)
keluarga harus mampu mengatur ekonomi keluarga. Dengan cara mampu mengatur pengeluaran sesuai
dengan keadaan keuangan yang ada dan rencana yang telah disusun. Mampu mengadakan
pilihan atau seleksi atas kebutuhan-kebutuhan, mana yang betul-betul dibutuhkan saat maupun saat
mendatang, mana yang tidak atau kurang perlu. Mampu mengadakan tabungan untuk merealisasikan
keinginan serta kebutuhan-kebutuhan masa mendatang yang sudah direncanakan. Mampu mengatur
keungan sedemikian rupa sehingga tidak terjebak hutang maupun membeli secara kredit.

j. Persiapan Perkawinan
Persiapan perkawinan menurut Gereja Katolik mencakup empat persiapan yaitu persiapan awal (tiga
bulan sebelum perkawinan), persiapan pertengahan (dua bulan sebelum perkawinan), persiapan tahap
akhir (paling lambat satu bulan sebelum perkawinan), dan persiapan untuk pelaksanaan pada saat
perkawinan. Persiapan ini penting untuk mereka yang memang akan menjalani hidup berkeluarga (Brayat
Minulyo 2007:
77).

1. Persiapan Awal
Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 77) minimal tiga bulan sebelum
perkawinan, calon pasangan suami-istri perlu bersama-sama menghadapi pastor paroki pihak calon
mempelai putri. Jika salah seorang bukan katolik, hendaknya menghadap pastor paroki pihak calon yang
Katolik. Yang perlu dibicarakan ialah rencana hari, tanggal perkawinan, waktu dan tempat perkawinan
akan dilaksanakan, kapan diadakan penyelidikan kanonik, dan bagaimana liturgi perkawinannya.
2. Persiapan Pertengahan (Kursus Persiapan Perkawinan)
Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 77) calon mempelai hendaknya
menghubungi sekretariat Paroki untuk menanyakan persyaratan administrasi yang perlu dipenuhi, baik
perkawinan gerejawi maupun catatan sipil, untuk mencatatkan tanggal perkawinan dan imam yang akan
meneguhkan perkawinan, untuk meminta informasi dan mendaftarkan kursus persiapan perkawinan.
Sekretariat paroki akan memberikan catatan yang perlu disiapkan dan memberikan beberapa blangko
persyaratan yang perlu diisi dan dikembalikan ke sekretariat paroki. Melalui persiapan ini akan
memudahkan para calon pasangan suami-istri merencanakan pernikahannya.

3. Persiapan Tahap Akhir


Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 78) persiapan tahap terakhir yaitu
calon suami-istri menghadap pastor paroki untuk penyelidikan kanonik. Pastor akan memeriksa, apakah
ada halangan dalam perkawinan yang dapat dihilangkan dengan dispensasi dari Gereja, dan apakah
mereka sungguh-sungguh bebas tanpa unsur paksaan dalam menentukan perkawinan mereka.
Selanjutnya, diadakan pengumuman tiga kali di Gereja. Apabila kurang dari tiga kali, perlu adanya
dispensasi. Agar upacara perkawinan di Gereja biasa mengenai liturgi perkawinan dengan pastor Paroki
dalam rangka menyusun buku upacara liturgi perkawinan. Selanjutnya, disiapkan paduan suara untuk
memeriahkan pernikahannya di Gereja, disiapkan putra/I altar, dan lektor untuk membaca bacaan dan doa
umat.

4. Persiapan untuk pelaksanaan pada saat perkawinan


Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 78) agar upaca pernikahan di
Gereja dapat terlasana dengan baik teratur, dan lancar calon mempelai perlu memikirkan adanya panitia
pelaksana upacara pernikahan di Gereja. Untuk keperluan ini, calon memperlai perlu melibatkan kaum
keluarganya, atau ketua dan umat lingkungan. Mereka diharapkan biasa membantu menyiapkan beberapa
hal, seperti buku panduan liturgi perkawinan, lektor yang membaca bacaan 1 dan doa umat, menyiapkan
putra/i altar, menyiapkan wakil orang tua, mempersiapkan paduan suara, mengingatkan perlunya
disediakan dua cincin perkawinan, dll.

k. Pendidikan Anak
Menurut Budiyono Hadi (2012: 7) pendidikan dalam keluarga dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu
pendidikan di dalam keluarga, pendidikan di sekolah dan pendidikan nonformal. Perlu disadari oleh
Keluarga Katolik bahwa pendidkan yang paling dasar ialah pendidikan dalam keluarga. Orang tua sedapat
mungkin menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik tempat suasana pengembangan iman terjamin. Bila
anak sudah agak besar, baiklah disadarkan agar mengikuti kegiatan pramuka, putra-putri altar, koor, legio
maria,dll.
Suami-istri adalah sepasang pria dan wanita yang disatukan oleh Allah, sehingga mereka “tidak lagi dua
melainkan satu” (Mat: 19). Maka mereka berdua merupakan satu pasangan yang berkenan pada Allah dan
terhormat di mata masyarakat. Kepada pasangan suami-istri Allah menyerahkan anak, sebagai sebuah
“titipan” dari-Nya. Sebagai titipan Allah, dan sekaligus juga sebagai citra Allah, setiap anak haruslah
sepenuh-penuhnya mereka hargai, mereka cintai, mereka asuh, dan mereka didik, sehingga kelak
dikemudian hari anak mampu dan berhasil mengasihi Allah dan sesamanya. Allah menghendaki bahwa
keluarga menjadi tempat utama bagi lahir dan tumbuh kembang setiap anak, beliau juga menghendaki
bahwa keluarga menjadi tempat pertama untuk pendidikan anak, sebelum ia dididik lebih lanjut di
sekolah dan di tempat-tempat lain.
Kedua orang tua diharap mau dan mampu memberi teladan dan ajaran tentang kebaikan dan kebenaran.
Pendidikan anak adalah usaha usaha orang-orang dewasa membantu anak muda dalam
memperkembangkan kepribadian mereka. Usaha tersebut menyangkut berbagai dimensi, yakni: dimensi
fisik, dimensi mental, dimensi moral, dimensi sosial, dan dimensi spiritual.
Karena kompleksnya kepribadian setiap anak, maka pendidikan anak merupakan proses yang panjang dan
menuntut perhatian orang tua dalam berbagai hal yakni:

1. Pemberian Teladan Hidup


Melahirkan anak-anak itu tidaklah terlalu sulit. Yang lebih sulit adalah membuat mereka menjadi orang-
orang yang baik. Untuk itu, orang tua harus memberikan teladan hidup yang baik. Kalau orang tua ingin
bahwa anak-anak mereka menjadi orang-orang yang rajin, ramah, dan saleh, mereka harus memberikan
teladanan kerajinan, keramahan dan kesalehan.

2. Perhatian dan Kasih Sayang


Setiap orang membutuhkan perhatian dan kasih sayang demi orang lain. Anak-anak pun membutuhkan
perhatian dan kasih sayang. Tetapi, tentang hal ini, haruslah disadari betul bahwa perhatian dan mengasihi
tidaklah berarti memanjakan. Orang tua yang memanjakan anak-anak justru mereka menjadi orang-orang
yang “lemah”, orang-orang yang tidak memiliki “semangat juang” mereka tidak tahan banting.

3. Simpati dan Empati


Mendidik anak-anak tidaklah berarti hanya memberikan informasi mengenai hal-hal yang diwajibkan dan
hal-hal yang dilarang, melainkan juga ber- simpati dan ber-simpati pada anak-anak itu. Ber-empati bearti
menunjukan perhatian dan penghargaan. Sedangkan ber-empati berarti berusaha merasakan apa yang
sedang dirasakan oleh anak-anak. orang tua yang bisa ber-simpati dan ber- empati pada anak-anak
tidaklah hanya mengasihi mereka, melainkan juga mengenal dan memehami mereka.

SEMOGA BERMANFAAT

Anda mungkin juga menyukai