Anda di halaman 1dari 5

Nama : ZAHWA RIESKA ASY SYAIMA

Nim : 1910211320049
Kelas :D
Mata Kuliah : Hukum Internasional
Hari/Tanggal : Senin, 04 Januari 2020

UJIAN AKHIR SEMESTER

Terjadinya disintegrasi Tomor-timor dari Indonesai pasca jajak Pendapat tahun 1999
mengakibatkan terjadinya perubahan dibeberapa bidang, khususnya dalam hal kepemilikan
harta benda, status perkawinan dan utang piutang ( terutama jika kedua belah pihak berada
pada pilihan yang berbeda, yang satu memilih tentap menjadi WNI dan yang satu ( Pihak
suami atau pemberi piutang dalam hal ini ) memilih untuk menjadi WN Tomor Leste, Negara
Baru yang di akui PBB pada tahun 2002. Silahkan saudara analisis bagaimana status
keperdataan masing-masing pihak tersebut dalam sebuah Tulsan ilmiah maksimal 10 hlmn,
silahkan saudara jelaskan dari sisi Hukum Perdata Internasional menggunakan beberapa
teori yang menurut saudara tepat.

perkawinan antar warga negara Indonesia dengan Warga Negara Asing selama memenuhi syarat-
syarat hukum Indonesia boleh dilakukan berdasarkan pasal 57-62 UU No. 1 tahun 1974.

Pertama-tama harus anda ketahui, atas perkawinan WNI yang dilangsungkan di Luar Negeri berlaku
Pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur untuk setiap perkawinan WNI di luar negeri berlaku
asas lex loci celebrationis. Asas ini berarti perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan hukum
negara dimana perkawinan dilangsungkan, dalam kasus ini Hukum Jepang. Hukum Perkawinan
Jepang, lewat Horei Law hanya mengatur perkawinan secara perdata dan menjunjung tinggi pilihan
hukum yang dilakukan para pihak. Sehingga perkawinan anda secara formil telah sah.

Tapi pelaksanaan pasal 56 tersebut harus didahului oleh pelaksanaan pasal 60 UU No. 1 Tahun 1974
yang menyatakan untuk setiap WNI yang hendak menikah harus memenuhi persyaratan materiil dan
konsepsi perkawinan yang ditentukan oleh UU No. 1 tahun 1974. Sekedar informasi, syarat materiil
yang harus anda penuhi adalah menikah tidak dalam paksaan, anda cakap bertindak alias berusia 15
tahun keatas dan berpikiran sehat, tidak sedang terikat dalam perkawinan, atau telah lewat 300 hari
sesudah putusnya perkawinan lama.

Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh suami istri untuk mengatur akibat
perkawinan mengenai harta kekayaan. Pada dasarnya, perjanjian hukum perkawinan dibuat untuk
mengadakan penyimpangan tentang persatuan harta kekayaan dalam KUHPerdata. Tapi dalam pasal
29 UU No. 1 tahun 1974, perjanjian kawin diatur secara sederhana agar dapat dikembangkan.

Tapi, walaupun dapat dikembangkan, perjanjian kawin hanya boleh mengatur tentang harta
kekayaan. Hal ini disebabkan karena ingin menyimpangi ketentuan tentang persatuan harta setelah
perkawinan. Untuk alasan ini, perjanjian perkawinan harus dilakukan sebelum atau pada saat
perkawinan dilangsungkan.
Pasal 1395 Code Civil Perancis kurang lebih juga menyatakan perjanjian kawin hanya boleh dilakukan
sebelum perkawinan terjadi. Selain itu, secara umum, Code Civil Perancis mengatur perjanjian kawin
sebagai hukum yang berlaku atas harta perkawinan, bukan atas hukum atau cara mendidik anak.

Secara internasional, Perancis juga tunduk pada the Hague Convention on the Law Applicable to
Matrimonial Property Regimes. Pasal 3 Konvensi di atas juga dengan tegas menyatakan perjanjian
perkawinan harus dilaksanakan sebelum perkawinan berlangsung. Jika tidak dibuat sebelum
menikah maka atas harta kekayaan mempelai setelah kawin harus diatur mengikuti tempat tinggal
tetap mempelai setelah menikah atau hukum negara yang paling banyak terkait.

Di Jepang, Hukum Horei memperbolehkan pasangan yang menikah di Jepang untuk memilih hukum
yang berlaku atas harta kekayaan mereka setelah menikah. Namun pilihan terbatas pada hukum
tempat tinggal tetap, hukum asal kewarganegaraan, atau menyangkut benda tidak bergerak seperti
tanah, hukum tempat kedudukan tanah. Perjanjian perkawinan yang sah tetap valid walaupun
pasangan mempelai telah pindah ke negara lain jika telah didaftarkan di Jepang.

Konsep perkawinan campuran menurut Stb. Nomor 158 Tahun 1898. Pasal 1 Stb. Nomor 158 Tahun
1989 mengatur “Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum-hukum yang berlainan. ”Hukum-hukum yang berlainan itu terjadi karena
perbedaan kewarganegaraan, tempat, golongan, dan agama. Perkawinan campuran menurut
UUP hanya menekankan pada perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya harus warga negara
Indonesia.

Di dalam Pasal 58 UU Perkawinan, perkawinan campuran yang berlaianan kewarganegaraan dapat


memperoleh kewarganegaraan suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya
menurut cara-cara yang telah ditentukan undangundang.

 Akibat Hukum Perkawinan Campuran Terhadap Kewarganegaraan

Terkait dengan status kewarganegaraan perkawinan campuran menurut hukum positif Indonesia
yaitu mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Undang-
Undang Kewarganegaraan ini menganut asas persamaan kedudukan bahwa wanita maupun laki-laki
dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesianya akibat perkawinan campuran tersebut.
Pada Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
mengatur :
1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki Warga Negara Asing
kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal suaminya,
kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan
tersebut;
2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan Warga Negara Asing
kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara Istrinya,
kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan
tersebut;
Di dalam UUP status kewarganegaraan istri tidak dengan sendirinya tunduk pada status
kewarganegaraan suami dan tidak dengan sendirinya tunduk pada hukum yang berlaku bagi suami.
Jadi dilihat dari ketentuan tersebut kedudukan suami dan istri sama yaitu laki-laki atau perempuan
sama-sama dapat kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia akibat dari perkawinan
campurannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur pada Undang-Undang Kewarganegaraan
yaitu laki-laki maupun perempuan yang melakukan perkawinan campuran akan mengikuti status istri
atau suami apabila negara menghendakinya. Namun apabila tidak masingmasing istri atau suami
dapat mempertahankan kewarganegaraannya.

 Akibat Hukum Perkawinan Campuran Terhadap Harta Benda

Setelah berlakunya UUP terkait dengan harta benda perkawinan diatur pada Bab VII. Berbeda
dengan KUH Perdata yang menggunakan istilah harta kekayaan dalam perkawinan.UUP melihat
harta benda perkawinan dari sisi benda materiil yaitu berupa benda berwujud. Sedangkan istilah
harta kekayaan yang digunakan KUHPerdata maknanya lebih luas dibanding benda karena harta
kekayaan meliputi benda dan hak-hak kebendaan, termasuk piutang dan hak-hak kebendaan lain
yang tidak berwujud.
Dalam UUP terkait dengan Harta Benda Perkawinan diatur pada Pasal 35 sampai dengan Pasal
37 UUP, sedangkan dalam KUH Perdata terkait dengan Harta Kekayaan Perkawinan diatur pada Pasal
119 sampai dengan Pasal 198 yang dituangkan secara rinci dan detail.Pasal 35 UUP mengatur :

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.


2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.

Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan
tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa. Harta yang diperoleh tersebut akan menjadi harta
bersama jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut. Kemudian mengenai harta
bersama tersebut suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Hal ini diatur
di dalam Pasal 36 ayat (1) UUP “mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak”.
Harta bawaan adalah harta benda milik masing-masing suami dan istri yang diperoleh
sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan. Berdasarkan
ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUP, suami dan istri berhak memiliki sepenuhnya harta bawaannya
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain yaitu dengan perjanjian kawin.
Dalam hal ini yang termasuk harta milik pribadi masing-masing suami istri tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Harta yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan termasuk di dalamnya
hutang-hutang yang belum dilunasi
b. Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah/pemberian kecuali ditentukan lain
c. Warisan yang diperoleh masing-masing, kecuali ditentukan lain.
d. Hasil-hasil dari milik pribadi masing-masing sepanjang perkawinan berlangsung,
termasuk hutang-hutang yang ditimbulkan dalam melakukan pengurusan harta milik
pribadi tersebut.
Akibat hukum terhadap harta benda dalam perkawinan campuran antara lain kepemilikan
atas benda tidak bergerak berupa tanah dan segala sesuatunya yang melekat pada tanah, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA.Pada Pasal 21 ayat (3) UUPA menentukan bahwa Warga
Negara Asing tidak diperbolehkan memiliki Hak Milik Atas Tanah meskipun perolehannya merupakan
perolehan dari akibat adanya harta bersama yaitu percampuran harta dalam perkawinan. Atas
perolehannya tersebut WNA harus melepaskan tanahnya tersebut dalam jangka waktu 1 tahun
apabila lewat jangka waktu tersebut makan tanahnya akan jatuhnya pada Negara.

 Hutang Piutang

Hutang dalam perkawinan sendiri dapat terdiri dari :


1. Hutang Persatuan
Merupakan semua hutan-hutang dan pengeluaran yang dibuat baik oleh suami ataupun istri
atau secara bersama-sama untuk keperluan kehidupan rumah tangga, termasuk
pengeluaran sehari-hari. Pengeluaran tersebut akan menjadi beban dari harta persatuan.

2. Hutang Pribadi
Hutang pribadi meupakan hutang yang mlekat pada milik pribadi masing-masing pihak dan
tidak dimasukan ke dalam persatuan harta.

Atas hutang bersama suami istri memiliki kewajiban untuk melunasi semua hutang bersama.
Kewajiban memikul sesuatu yang mengenai hubungan intern antara suami atau istri mengarah pada
siapakah yang harus memikul pelunasan hutang itu atau bagian siapakah yang harus dikurangi
untuk melunasi hutang tersebut serta hak-hak apa saja yang bisa didapatkan. Hal tersebut berkaitan
dengan hak-hak suami dan istri yang dapat dilakukan terhadap isi pokok perjanjian hutang piutang
yang telah dilaksanakan terhadap pihak ketiga yang mana harus tetap adil dalam penyelesaiannya di
pengadilan.

Bagi yang menganut KUHPerdata semua harta perkawinan menjadi harta persatuan,
sehingga menurut Achmad Dimyati, S.H., M.H ada kerja sama antara suami dan istri dalam
menyelesaikan permasalahan hutang. Terhadap hutang-hutang bersama setelah hapusnya
persatuan, KUH. Perdata mengaturnya sebagai berikut :

1. Suami istri bertanggung jawab terhadap hutanghutang yang telah dibuatnya. Pasal 130
KUHPerdata menentukan bahwa setelah bubarnya persatuan, suami boleh karena hutang-
hutang persatuan seluruhnya, dan yang demikian itu tak akan mengurangi hak suami, untuk
menuntut kembali setengah bagian dari hutang-hutang itu kepada istri, atau kepada para
ahli warisnya;

2. Suami bertanggung jawab sepenuhnya bagi pelunasan hutang-hutang bersama yang dibuat
oleh pihak istri, dikecualikan dari pertanggung jawab tersebut ialah hal peluanasan
hutanghutang yang dibuat sebelum perkawinan oleh si istri, pertanggung jawab mana
berakhir dengan dilaksanakannya pembagian dan pemisahan harta campuran;
3. Istri bertanggung jawab hanya untuk separuh bagian dari hutang bersama yang dibuat oleh
pihak suami akan tetapi bertanggung jawab penuh untuk hutang bersama yang dibuat
olehnya sendiri dalam perkawinan;

4. Setelah diadakan pembagian, pihak lain tidak lagi dapat dituntut terhadap hutang yang
dibuat pihak lain sebelum perkawinan.

Pertanggung jawab suami istri yang disinggung dalam sub a di atas merupakan pertanggung
jawab terhadap pihak ketiga yang disebut dengan istilah obligation bagi pelunasan hutang-hutang
bersama yang dibuat masingmasing baik yang dibuat sebelum maupun yang dibuat selama
berlangsungnya perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai