Anda di halaman 1dari 6

NAMA : PRASETYO

AGUNG NUGROHO
KELAS: XII MIPA 4
THN : 2019/2020

TUGAS BAHASA
INDONESIA
Menulis Novel Sejarah
Menunggu Bukan Berarti Melupakan
Azan subuh mulai terdengar, bergema menggertarkan seisi ruang operasi. Memecah
malam yang sunyi, meski bulan tengah berbincang dengan para bintang dilangit. Sungguh
sebuah malam yang damai. Semua orang tertidur pulas, tenggelam dalam mimpinya masing-
masing. Namun, tidak dengan beliau, yang sedang berjuang mempertaruhkan nyawanya di meja
operasi. Berjuang demi darah daging yang telah dinantinya selama 20 tahun.
Lahir tepat satu bulan lewat dari perkiraan para tenaga medis sehingga tidak bisa melalui
cara normal lagi, tetapi harus melewati meja operasi. Ia tahu usianya tidak lagi muda, Ia tahu
betapa menyakitkannya diejek selama bertahun tahun. Namun Ia tetap bertahan, melawan
dugaan orang. “Ini bukanlah keajaiban” ujarnya saat Ia mengenang kembali masa itu.
Seorang Ibu yang percaya akan hasil dari sebuah kerja keras, ketekunan, dan kesabaran.
Mengubah takdirnya dan keluarganya. Itulah ibuku, seorang wanita hebat yang sehari harinya
merawatku dan adikku. Setiap hari bangun sebelum matahari terbit, menyiapkan bekal untuk
menuntut ilmu.
Aku lahir pada pertengahan tahun ke-2 di abad ke-20, lahir di sebuah rumah sakit di
Jakarta Timur. Anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan yang berbahagia dan saling
mencintai. Seorang anak yang lahir di keluarga biasa, bukan pejabat apalagi konglomerat.
Keluarga yang saling menjaga satu sama lain dalam suka maupun duka.
Aku memulai hidupku di ibukota Indonesia, tepatnya di bagian timur. Sebuah bagian
yang damai dan tenang, tidak banyak konflik yang terjadi di kota ini. Kota yang telah menjadi
punggung tempatku bersandar selama 17 tahun ini. Khususnya di tempatku tinggal, sungguh
sebuah lingkungan yang nyaman, kebanyakan penduduknya adalah pegawai disebuah obyek
wisata. Biasanya saat tengah hari, hanya keluarganya yang ada dirumah sementara para kepala
keluarga pergi ke kantor.
Sejak kecil, kecakapanku adalah mengingat. Sampai sekarang aku masih bisa mengingat
berbagai peristiwa saat aku masih menjadi anak kecil. Dulu, aku dan keluargaku tinggal disebuah
rumah dinas karyawan, masih terbayang jelas kondisi rumah itu. Tidak terlalu besar, dapurnya
berlantai semen, 2 ruang tidur. Jelas sekali di ingatanku, bagaimana atapnya rembes di berbagai
titik. Bayangan ibuku yang dengan sigap mengambil wadah untuk menampung air hujan
membekas dalam di memori.
Saat berusia 2 tahun, ibuku melahirkan adik perempuanku. Jadilah kami dua bersaudara
yang saling menyayangi. Kami tidak biasa berkelahi, hanya aku yang biasa jahil padanya.
Setelah adikku lahir, ayahku memutuskan untuk membangun rumah tidak jauh dari tempat
kerjanya di obyek wisata tersebut. Aku pernah diajak ayahku melihat proses pembangunan
rumah itu saat masih berbentuk rangka dan pondasi.
Akhirnya kami pun pindah ke rumah baru tersebut, meninggalkan rumah dinas yang
kutempati selama 2 tahun itu. Rumah baru itu pun menjadi tempat tinggalku hingga sekarang ini.
Didepan tempat tinggalku ada sebuah masjid, yang setiap hari mengingatkanku untuk bangun.
Menyuruhku setiap hari untuk mengingat Sang Pencipta.
Setelah berusia 3 tahun, kedua orangtuaku mulai menyekolahkanku di sebuah Taman
Kanak Kanak Katolik. Mengapa? “Di sini kamu bisa belajar bahasa inggris dan banyak ilmu
mas, kamu boleh bersekolah dan menuntut ilmu disini. Akan tetapi, jangan pernah lupakan
agamamu sendiri”.Itulah yang Ayahku katakan saat hari pertama masuk. Dan Aku setuju pada
perkataan Ayahku.
Maka dimulailah masa taman kanak kanak itu. Aku, sebagai satu satunya siswa yang
beragama Islam disana sejujurnya merasa minder saat pertama kali masuk. Namun, lama
kelamaan perbedaan itu sudah tidak aku perdulikan. Yang berbeda hanyalah agama, kita semua
sama sama manusia, sama sama saudara, sama sama warga Indonesia. Akupun mengikuti semua
kegiatan yang diadakan, mulai dari ibadah pagi, ibadah jum’at, paskah, natal, jum’at agung,
kenaikan Yesus, dll.
Tetapi setelah lulus dari TK itu, aku lihai dalam berbahasa inggris dan matematika
sampai tingkat perkalian dan pangkat dua. “Beruntung sekali aku bisa menuntut ilmu disana dan
belajar agama lain.” Masa itu adalah salah satu yang paling berkesan seumur hidupku. Menuntut
ilmu di TK itu telah menjadikanku seorang individu yang open minded dibandingkan anak
seumuranku yang notabenenya lulus dari taman kanak kanak berbasis islam.
Maka cerita dari seorang anak kecil berpikiran terbuka yang baru akan mengetahui
kejamnya dunia ini dimulai dari sini.
Tamat dari TK tersebut, aku melanjutkan pendidikanku ke sebuah sekolah dasar swasta
di sebuah daerah komplek tentara. Hari hari sekolahku berjalan dengan lancar. Meraih urutan
pertama secara akademik di kelas 1 dan 2. Karena aku seseorang yang lumayan pendiam,
satu satunya teman dekatku adalah teman sebangku.
Tak terasa 3 tahun sekolah dasar telah berlalu, kini Aku berada di kelas IVA. Kelas yang
katanya unggulan dibandingkan kelas lain. Aku dapat hobi baru saat kelas III, memainkan
alat music, aku pun ikut dalam sebuah lembaga les alat music yang didirikan oleh artis
terkenal, yaitu Gilang Ramadhan. Aku mengambil drum, yang menurutku keren karena trik
memutar stik, yang masih tidak bisa kulakukan sampai sekarang.
Pengelihatanku berkurang sampai menyentuh minus 2, aku pun memakai kacamata.
Urutan tempat duduk pun diubah menjadi laki-laki dan perempuan dalam satu meja. Dan
tentunya yang duduk disebelahku adalah seorang perempuan. Setiap hari aku mengajarinya
tentang pelajaran, karena dia adalah anak tunggal dan ayahnya sudah meninggal saat Ia
duduk di bangku taman kanak kanak.
Hari hari pun berjalan lancar tanpa ada kendala atau halangan sedikitpun. Sampai pada
suatu saat hal yang paling membekas di ingatanku terjadi.
Saat itu adalah musim hujan. Musim yang aku benci karena sulit untuk berangkat ke
sekolahku yang cukup jauh dari rumah. Musim yang membuatku berpikir apakah tuhan
pernah memikirkan hamba-Nya yang kesulitan menjalani kegiatan sehari-hari mereka karena
langit menurunkan bebannya ke bumi.
Masa itu adalah masa penasaran anak laki-laki terhadap hal hal yang berbau reproduksi.
Mereka mencari dari berbagai sumber yang dapat membantu mereka memahami reproduksi,
meskipun harus membuka situs yang ilegal. Dan “rajanya” ada di kelasku.
Fariz namanya. Seorang anak yang sering dikatakan bandel oleh para guru, Dan oleh
kami juga. Dan pada masa itu Ia mendapat hobi baru, yaitu dengan sengaja memegang
kemaluan perempuan di kelasku. Hampir setiap hari Ia melakukannya, namun karena aku
tidak terlalu dekat dengan siswi lain dikelasku selain teman sebangku maka aku tidak
memperdulikannya.
Namun Ia mulai mengujiku dengan melakukan hal itu kepada teman sebangkuku. Sampai
pada suatu saat, kesabaranku habis.
Hari Rabu. Ia melakukannya lagi kepada seluruh siswi di kelasku, dengan santainya ia
menyibak semua rok yang ada di depannya. Aku mulai berdiri dari tempat dudukku, dan
berjalan ke luar kelas karena muak melihatnya. Tapi saat Ia sampai ke teman sebangkuku,
kakiku langsung berhenti dan bergegas menghampirinya. Tanganku mengepal keras dan
kakiku sudah bersiap membentuk kuda kuda.
Aku memutar badannya menghadapku dan mendaratkan pukulanku pada wajahnya.
“Buakk…” Ia jatuh terjerembab ke lantai setelah menghantam meja disebelahnya.

“Ngapain lo hah?” pekiknya sambil berusaha untuk bangun.

Aku diam, tidak menjawab satupun pertanyaannya. Nafasku memburu tidak teratur dan
tatapanku menatap jauh kedalam matanya yang terlihat marah karena sudah kupukul. Ia
berdiri kembali di kedua kakinya sambil memegangi pipinya yang memerah. Sedangkan Aku
masih siap untuk melawannya lengkap dengan kuda kuda yang kupelajari di ekstrakurikuler
karate yang aku ikuti dari kelas 1.
Ia balas memukulku, kali ini di bagian perut. Aku meringis kesakitan.
“Perempuan itu ciptaan tuhan yang paling indah! Aku sudah muak denganmu!
Mempermainkan perempuan seenakmu dan melecehkan mereka, kamu benar benar seorang
pecundang!” ujarku sambil menahan rasa sakit di bagian hati.
Akhirnya kami terlibat dalam perkelahian yang cukup seru, aku lolos dengan luka cakar
dan memar dibeberapa bagian, sedangkan Ia hanya mendapat luka memar di wajahnya.
Setelah kami usai para guru berdatangan. Nampaknya kami telah membuat acara hiburan
yang cukup menarik bagi para siswa.
Aku dan dia dibawa ke ruang guru, kami diperintahkan untuk mengangkat satu kaki dan
mendengarkan omelan guru satu sekolah. “Sial.” Kataku dalam hati. Akhirnya setelah
mendengar penjelasanku akhirnya kami dilepaskan, namun kami berdua sama sama diskors 2
hari oleh sekolah.
Aku pulang dengan luka disekujur tubuhku, sampai dirumah bukannya langsung diobati,
malah disambung dengan omelan orang tuaku yang hanya mendengar bagian berkelahinya
saja.

“Kamu mau jadi apa hah? Kecil kecil sudah berkelahi. Macam jagoan saja kamu!.”
Teriak Ayahku.
“Tidak ada gunanya aku menjelaskan semuanya, mereka tidak akan percaya.” Pikirku.
Tidur di teras rumah adalah hasil yang aku dapatkan dari perbuatanku itu, bukan tidur
yang nyaman maupun aman. Tetapi jauh di lubuk hatiku hanya ada rasa puas karena telah
membela yang benar. “Beranilah jika kamu benar, tapi takutlah kalau kamu berbuat salah.”
Itulah prinsip yang masih terus kupegang hingga saat ini.
Aku masuk sekolah di SD itu setelah 2 hari diskors, mentari pagi menyambutku dengan
hangat di depan pagar sekolah. Aku menyapa satpam sekolahku dengan semangat baru,
percaya bahwa aku telah melakukan hal yang benar. Kulangkahkan kakiku ke dalam kelas,
semuanya diam terpaku melihatku. Aku berjalan kearah tempat dudukku di belakang, masih
kurasakan tatapan teman sekelasku. Teman sebangkuku sudah ada disana, aku tersenyum
kepadanya ketika mata kami bertemu, namun Ia memalingkan wajahnya. Aku bingung, tetapi
maklum karena panggung hiburan yang telah kubuat 2 hari yang lalu. Kutaruh tasku di kursi
dan segera duduk karena guru sudah datang.
Aku membuka tasku, mencari buku dan alat tulis. Ia tetap memalingkan wajahnya, tetapi
sambil melihatku membuka tas. Kutaruh buku dan alat tulis diatas meja, lalu melihat
kearahnya yang sedang panik karena terpergok olehku. Aku sempat melihat wajahnya
memerah sebelum memalingkan wajahnya.
“Kenapa?” ujarnya dengan suara kecil.
“Kenapa apanya?” balasku bingung sambil menatapnya, meskipun Ia tetap memalingkan
wajahnya.
“Kenapa kamu berkelahi kemarin? Sampai kamu diskors 2 hari dan dimarahi oleh guru,
apakah itu tidak apa apa?” ujarnya.
“Hmm?” aku kurang jelas mendengarnya karena sedang mendengarkan penjelasan guru.
“Hei, aku lagi ngomong nih.” Akhirnya Ia menatapku. Aku masih sibuk mencatat.
Melihat Ia akhirnya menoleh, aku menghentikan kegiatan mencatatku dan menatapnya.
“Lebih baik aku melihat manusia punah, daripada melihat manusia kembali ke hakikat
buas binatangnya. Kita manusia beradab, bukan hewan. Kita punya etika yang harus
dijunjung tinggi dimanapun kita berada.” Kataku sambil menatapnya dengan serius.
“Heh, seperti biasa jalan pikiranmu sangat rumit ya.” Ia tertawa kecil mendengar
penjelasanku yang terkesan seperti filsafat saja.
Aku memalingkan wajah dan berkata dengan suara yang kecil, “Singkatnya, Aku hanya
tidak ingin kamu diganggu, dan setahun kemarin adalah pelajaran yang paling berharga di
hidupku.”
Sepertinya Ia mendengar dengan jelas, dan kami berdua saling menatap wajah satu sama
lain.
“A-Apaan sih! Kok tiba tiba ngomongnya begitu.” Suaranya bergetar sambil tetap
menyembunyikan wajahnya.
“Ya, memang itu yang kulakukan.” Aku menoleh kembali kepadanya.
Ia diam seribu bahasa, sementara Aku tersenyum melihat reaksinya itu. Waktu serasa
berhenti saat itu. Perasaan tercampur aduk menghasilkan rasa hangat di hati. “Cinta adalah
perbuatan. Kata kata dan tulisan indah adalah omong kosong.” Kata seorang penulis
kondang Indonesia.
“Ma-makasih.” Katanya setengah berbisik.
“Sama sama.” Ujarku sambil tersenyum kepadanya.
Aku meneruskan kegiatanku mencatat pelajaran, sementara wajahnya masih memerah,
tersipu malu. Aku hanya tersenyum sambil mencatat. Bel berbunyi, saatnya istirahat. Aku
segera mengeluarkan kotak bekalku, reflek dari perutku yang sudah berbunyi sejak pagi
hari.
Aku mulai makan, lalu melihat Ia mengeluarkan sebuah bungkusan, rapih dibalut dalam
kertas coklat lengkap dengan pita. “Ini, buatmu.” Ia menyodorkan bungkusan itu kepadaku
sambil menundukkan kepalanya. Aku menerima bungkusan itu dan mengucapkan terima
kasih.
Sepulang sekolah, pikiranku hanya dipenuhi dengan keinginan untuk membuka
bungkusan itu. Kulepas dengan cepat sepatu dan seragamku, dan langsung mengganti
dengan pakaian rumah. Kubuka bungkusan itu dengan melepas pitanya. Bungkusannya
sangat rapi, tidak ada selotip sedikitpun, hanya dilipat lalu diikat dengan pita.
Didalamnya terdapat sebuah buku, aku tersenyum melihat judulnya. “100 Cara
Menyelesaikan Segala Urusan Dengan Cepat”. Aku tertawa “Memangnya aku seribet itu
ya?” sampai sekarang aku masih menyimpan buku itu dan masih membacanya.
Tetapi tidak dengannya. Dia pindah sekolah saat kelas 5. Meski masih berat untukku
tetapi aku sudah melepasnya pergi. Memang itulah hidup, kadang kadang kita harus melepas
hal yang paling berharga untuk kita.
Setelah lulus dari SD, aku melanjutkan ke SMP Negeri 81 Jakarta. Hari berlalu dengan
cepat tanpanya, bagai ruang hampa yang memohon untuk diisi oksigen. Tidak ada hal berarti
yang terjadi selain Aku yang berusaha untuk mencari teman dan bersosialisasi. Ujian
Nasional kulalui tanpa masalah, kuraih NEM 34,3 dan aku mendaftarkan diri ke SMA
Negeri 67 Jakarta.
Juli, akhirnya pengumuman PPDB pun tiba dan Aku berhasil masuk ke SMA Negeri 67
Jakarta. Meskipun bukan pilihan pertama, namun Aku bersyukur bisa masuk SMA Negeri.
Singkat cerita, sekarang Aku telah ada di kelas 12, di penghujung kehidupan SMA dan
jembatan untuk meraih kuliah di Universitas Negeri. Banyak yang telah kulalui untuk bisa
ada di posisiku saat ini, dan aku masih menantikan banyak hal yang nanti akan kulalui
kedepannya. Harapanku adalah bisa masuk Universitas Indonesia, jurusan Teknik Mesin,
atau Geologi. Atau bisa mendapat beasiswa kuliah di Jepang, aku rindu sekali negara itu.
Untuk saat ini aku hanya bisa berusaha dan berdoa, namun tetap berserah diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa apapun kehendaknya aku berharap yang terbaik. “Belajar dari masa lalu,
hidup untuk hari ini, dan berharap untuk hari esok agar lebih baik lagi.” Itulah yang
membuatku tetap maju sampai sekarang.

Anda mungkin juga menyukai