Anda di halaman 1dari 72

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

NASABAH GADAI EMAS SYARIAH

ARTIKEL SKRIPSI
Disusun Oleh:
MUHAMMAD AZKAN NUFUS
NIM : 14.21.00891

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat


Untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT PESANTREN MATHALI’UL FALAH
PATI JAWA TENGAH
2021
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
NASABAH GADAI EMAS SYARIAH

MUHAMMAD AZKAN NUFUS

(Program Studi Perbankan Syariah, Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam, Institut

Pesantren Mathali’ul Falah)

Azkan.nufus94@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Gadai


Emas Syariah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (Pertama) bentuk
perlindungan hukum terhadap nasabah gadai emas syariah, dan (Kedua)
manajemen risiko atas terjadinya kerugian yang dialami nasabah gadai emas
syariah.
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan. Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan
dan putusan hakim, bahan hukum sekunder yaitu semuai publikasi tentang hukum
yang merupakan dokumen yang tidak resmi, bahan hukum tersier adalah bahan
hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan,bahan hukum sekunder dan data-data lain yang mendukung penelitian ini.
Adapun dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang penulis gunakan
adalah penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia mengenai perlindungan terhadap nasabah gadai emas syariah.
Penelitian ini menggunakan analisis isi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (Pertama) Perlindungan hukum
secara umum yang diberikan oleh undang-undang terhadap nasabah dalam
melakukan transaksi dengan Bank adalah Perlindungan hukum terhadap nasabah
dalam bentuk pengaturan mengenai kewajiban Bank dalam menyediakan
informasi kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi
yang dilakukan nasabah. Perlindungan hukum yang secara khusus memberikan
perlindungan terhadap nasabah gadai emas syariah dalam hal terjadinya
penurunan harga emas adalah perlindungan hukum secara represif. Perlindungan
hukum secara represif dapat dilakukan dengan menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan maupun di luar pengadilan. (Kedua) Manajemen risiko terhadap
nasabah sebagai konsumen tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pada Pasal 1155 yang menyatakan bahwa barang jaminan yang dilelang
akan dilelang dihadapan umum dan sesuai dengan peraturan yang berlaku
sehingga tidak menimbulkan kerugian terhadap nasabah. Setelah proses
pelelangan dilakukan maka kreditur memberikan pertanggungjawaban hasil
lelang kepada debitur dan dalam hal terdapat kelebihan uang lelang maka akan
dikembalikan kepada debitur.

Kata kunci: Perlindungan Hukum, Nasabah, Gadai Emas Syariah

ABSTRACT

This research is entitled Legal Protection Against Sharia Gold Pawn


Customers. This study aims to determine: (First) the form of legal protection for
sharia gold pawn customers, and (Second) risk management for losses suffered
by sharia gold pawn customers. This type of research is normative juridical using
a statutory approach.
The types of data used in this research are primary legal materials,
namely statutory regulations and judges' decisions, secondary legal materials,
namely all publications on law which are unofficial documents, tertiary legal
materials are legal materials that provide instructions or explanations for
primary legal materials. and, secondary legal materials and other data that
support this research. As in this study, the data collection technique that the
writer uses is tracing the applicable laws and regulations in Indonesia regarding
the protection of sharia gold pawn customers. This study uses content analysis.
The results of this study indicate that: (First) The general legal
protection provided by law for customers in conducting transactions with banks
is legal protection for customers in the form of regulations regarding the Bank's
obligations in providing information on the possibility of risk of loss in
connection with transactions conducted by customers . Legal protection that
specifically provides protection for sharia gold pawn customers in the event of a
decline in gold prices is a repressive legal protection. Repressive legal protection
can be carried out by resolving disputes through the court or outside the court.
(Second) Risk management for customers as consumers is stated in the Civil
Code in Article 1155 which states that collateral that is being auctioned will be
auctioned off in public and in accordance with applicable regulations so as not to
cause harm to the customer. After the auction process is carried out, the creditor
gives accountability for the auction results to the debtor and in the event that
there is excess auction money, it will be returned to the debtor.

Keywords: Legal Protection, Customers, Sharia Gold Pawn


I. PENDAHULUAN

Rahn adalah perjanjian penyerahan harta yang dijadikan pemiliknya

sebagai jaminan hutang yang nantinya dapat dijadikan sebagai pembayar hak

piutang tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya. Barang-barang yang

dijadikan sebagai rahn adalah barang yang berharga atau mempunyai nilai

ekonomis serta dapat disimpan/bertahan lama.1

Rahn merupakan perwujudan gadai yang berlandaskan pada prinsip-

prinsip syariah yang masih mengandung unsur gadai konvensional yang

dapat beradaptasi sesuai dengan tuntutan umat dan perkembangan dunia

usaha dalam ekonomi Islam.

Gadai emas syariah merupakan suatu bentuk penyaluran dana oleh

bank syariah yang bertujuan untuk membantu masyarakat terutama nasabah

dalam memperoleh pinjaman uang dengan menggadaikan emas milik

nasabah tersebut. Fungsi gadai tidak hanya membantu perolehan dana yang

mudah dan cepat, tetapi juga sebagai alat investasi untuk memiliki emas

dengan pinjaman yang diberikan oleh bank syariah.

Sistem gadai emas dirasa sangat menguntungkan apabila terdapat

kebutuhan yang bersifat mendesak. Bagi masyarakat menggadaikan emas

jauh lebih menguntukan daripada harus menjual emas tersebut. Melihat

begitu besarnya animo masyarakat dalam transaksi gadai emas syariah sudah

semestinya kita melihat bagaimana perlindungan terhadap nasabah gadai

emas syariah terebut apakah bertentangan dengan prinsip syariah

sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 9


1
Hasan Sadily, Ensklopedi Islam, Jilid V , PT Ichtiar Van Hoove, Jakarta, 2000, hal. 1480.
tahun 1969 tentang bentuk-bentuk usaha Negara menjadi undang-undang

juncto Peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang

Usaha Pergadaian maupun Pasal 7, Pasal 8 ayat (1) huruf f Undang-Undang

Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

Hal ini membuat penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan

mengenai perlindungan hukum yang seharusnya diperoleh nasabah dalam

skripsi dengan judul: “ PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

NASABAH GADAI EMAS SYARIAH”

Berdasarkan pernyataan diatas penulis merumuskan pertanyaan

sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap nasabah gadai emas

syariah?

2. Bagaimana manajemen risiko atas terjadinya kerugian yang dialami

nasabah gadai emas syariah?

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Mendeskripsikan dan menganalisis bentuk perlindungan hukum

terhadap nasabah gadai emas syariah.

b. Mendeskripsikan dan menganalisis manajemen risiko atas terjadinya

kerugian yang dialami nasabah gadai emas syariah.

II. LANDASAN TEORI

1. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum

a. Pengertian Perlindungan Hukum

Hukum diciptakan untuk menumbuhkan rasa keadilan,


kemanfaatan dan memberikan kepetaian hukum bagi masyarakat.

Hukum dibuat untuk melindungi hak dan kewajiban setiap orang

sebagai subjek hukum dari suatu pelanggaran. Berdasarkan ‘tindakan

pemerintah’, hukum terbagi menjadi dua macam, yaitu:2

1) Perlindungan hukum yang preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini, masyarakat diberikan

kesempatan untuk mewujudkan keberatan (inspraak) atau

pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat

bentuk yang definitif. Tujuannya ialah untuk mencegah terjadinya

sengketa.

2) Perlindungan hukum yang represif

Tujuan perlindungan hukum yang represif adalah untuk

menyelesaikan suatu sengketa yang telah terjadi. Penanganannya

dilakukan oleh peradilan umum dan peradilan administrasi di

Indonesia.

Prinsip perlindungan hukum terhadap tindak pemerintah

bertumpu dan bersumber dari dua konsep, yaitu:3

1) Konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

asasi manusia.

2) Konsep atau prinsip kedua yadalah prinsip negara hukum.

b. Pengertian Perlindungan Konsumen

2
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 2002, halaman 37.
3
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 2002, halaman 38.
Beberapa batasan tentang konsumen antara lain:4

1) Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa

yang digunakan untuk tujuan tertentu

2) Konsumen-antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang

dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain

untuk diperdagangkan

3) Konsumen-akhir adalah setiap orang yang mendapatkan dan

menggunakan barang dan/jasa untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan tidak untuk

diperdagangkan kembali.

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK) menyatakan:

1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak

konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban

konsumen dan pelaku usaha

2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan

konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait.

3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan

koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.

4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen

4
Heri Tjandrasari, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Upaya perlindungan Hukum
Bagi Konsumen (online), Fakultas Hukum Universitas Indonesia MaPPI-FHUI, (14 Maret 2020)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:

a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat

antara pelaku usaha dan konsumen;

b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat;

c. Meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta

meningatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang

perlindungan konsumen.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan pemerintah

Selain pembinaan, pemerintah juga berperan penting dalam

melakukanpengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan

konsumen. Dalam pasal 30 UUPK disebutkan bahwa pemerintah

bersama masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat adalah pihak-pihak yang diberi tugas untuk melakukan

pengawasan.

c. Perlindungan Nasabah

Perlindungan terhadap dana nasabah yang disimpan dalam

bank dapat dilakukan dengaan dua cara, yaitu:5

1) Perlindungan secara implisit

Adalah perlindungan yang dihasilkan oleh pembinaan dan

pengawasan bank yang dapat menghindarkan terjadinya


5
Tim kerja, Penelitian hukum tentang aspek hukum pertanggung jawaban bank terhadap
nasabah, proyek kerjasama Bank indonesia dengan BPHN Departemen Kehakiman-RI, Jakarta,
1995, halaman 27.
kebangkrutan bank .

2) Perlindungan secara eksplisit

Adalah perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang

menjamin simpanan masyarakat sehingga apabila bank mengalami

kegagalan, lembaga tersebut akan mengganti dana nasabah

yangtelah ditanam di suatu bank.

2. Tinjauan Umum tentang Gadai

a. Pengertian Gadai

Dari rumusan Pasal 1150 KUHPerdata dapat diketahui

bahwa untuk dapat disebut gadai maka unsur-unsur berikut di

bawah ini harus dipenuhi:6

1) Gadai diberikan hanya atas benda bergerak;

2) Gadai harus dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai;

3) Gadai memberikan hak kepada kreditur untuk memperoleh

pelunasan terlebih dahulu atas piutang kreditur (droit de

preference);

4) Gadai memberikan kewenangan kepada kreditur untuk

mengambil sendiri pelunasan secara mendahulu tersebut.

Bentuk perjanjian gadai adalah bebas, dimana perjanjian

gadai dapat diadakan secara lisan atau tertulis (dengan akta

dibawah tangan atau akta notaris).

Pasal 1151 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

6
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai,
dan Hipotek, Kencana, Jakarta, 2005, halaman 74.
menetapkan bahwa perjanjian gadai dapat dibuktikan dengan

segala alat bukti yang diperbolehkan bagi persetujuan pokoknya,

karena persetujuan pokoknya dapat berupa perjanjian obligator,

tetapi umumnya berupa perjanjian hutang piutang dan prinsipnya

perjanjian obligator bentuknya adalah bebas, dapat lisan, dapat

tertulis baik otentik maupun dibawah tangan, maka perjanjian

gadai juga tidak terikat pada suatu bentuk tertentu.7

Timbulnya hak gadai pertama-tama adalah karena

diperjanjikan. Perjanjian itu melibatkan dua pihak yang

menggadaikan barangnya dan disebut pemberi gadai atau debitur

dan pihak yang menerima jaminan gadai dan disebut juga

penerima/pemegang gadai atau kreditur.8

b. Hak dan Kewajiban Pemegang dan Pemberi Gadai

Adapun hak-hak dari pemegang gadai adalah sebagai

berikut:

1) Pemegang gadai berhak untuk menahan barang gadai, sampai

waktu hutang dilunasi, baik mengenai hutang pokok maupun

bunga.

2) Pemegang gadai berhak mengambil pelunasan dari pendapatan

penjualan barang gadai apabila debitur tidak menepati

kewajibannya (pasal 1155 KUHPerdata).

7
J. Satria, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebarangan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
1991, halaman 110.
8
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-hak yang Memberi Jaminan ,
Ind-Hill-CO, Jakarta, 2005, halaman 23.
3) Pemegang gadai berhak untuk meminta ganti biaya-biaya yang

telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang gadai itu

( Pasal 1157 ayat 2 KUHPerdata).

4) Pemegang gadai berhak untuk menggadaikan lagi barang gadai

itu bilamana hal itu sudah menjadi kebiasaan.

Kemudian kewajiban dari pemegang gadai adalah sebagai

berikut:

1) Pemegang gadai bertanggung jawab tentang hilangnya atau

merosotnya nilai barang gadai; jikalau hal itu disebabkan

karena kelalaiannya (Pasal 1157 ayat 1 KHUPerdata).

2) Pemegang gadai harus memberitahukan pemberi gadai apabila

ia hendak menjual barang gadai (pasal 1156 ayat 2

KHUPerdata).

3) Pemegang gadai harus memberikan perhitungan tentang

pendapatan dari penjualan barang gadai dan setelahnya ia

mengambil pelunasan hutangnya, harus menyerahkan

kelebihannya pada debitur.

4) Pemegang gadai harus mengembalikan barang gadai, apabila

hutang pokok, bunga dan biaya untuk menyelamatkan barang

gadai telah terbayar lunas (pasal 1159 ayat 1 KHUPerdata).

Adapun hak pemberi gadai adalah sebagai berikut:9

1) Pemberi gadai berhak untuk menuntut, apabila barang gadai

9
Hasanuddin Rahman,Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1955, halaman 215.
itu telah hilang atau merosotnya nilai barang tersebut, sebagai

akibat dari kelalaian pemegang gadai.

2) Pemberi gadai berhak mendapat pemberitahuan terlebih dahulu

dari pemegang gadai apabila barang gadai akan dijual.

3) Pemberi gadai berhak mendapatakan kelebihan atas penjualan

barang gadai, setelah dikurangi dengan pelunasan hutangnya.

4) Pemberi gadai berhak mendapatkan kembali barang yang

digadaikan apabila hutangnya telah dibayar lunas.

Kemudian kewajiban dari pemberi gadai adalah:

1) Pemberi gadai berkewajiban untuk menyerahkan barang yang

digadaikan kepada pemegang gadai, sejak setelah perjanjian

gadai didahulukan.

2) Pemberi gadai bertanggung jawab atas pelunasan hutangnya

terutama dalam hal penjualan barang yang digadaikan.

3) Pemberi gadai berkewajiban untuk memberikan ganti kerugian

atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pemegang gadai

untuk menyelamatkan barang yang digadaikan.

4) Apabila telah dijanjikan sebelumnya, ia harus menerima jika

pemegang gadai menggadaikan lagi barang yang digadaikan

tersebut.

c. Syarat Umum dalam Penggadaian Barang

Terdapat syarat umum dalam menggadaikan barang-barang

tersebut, yaitu antara lain:10


10
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty,
1) Harus ada perjanjian gadai/pand;

Menurut ketentuan di dalam KUHPerdata, tentang bentuknya

perjanjian itu tidak disyaratkan apa-apa.

2) Barang yang digadaikan harus diserahkan oleh debitur

(pemberi gadai) kepada kreditur pemegang gadai (pasal 1152

KUHPerdata). Syarat ini juga dikenal dengan syarat

inbezitstelling.

d. Hapusnya Gadai

Hapusnya gadai dapat disebabkan karena hal-hal sebagai

berikut:

1) Hak gadai hapus apabila barang jaminan keluar dari kekuasaan

pemegang gadai (pasal 1152 ayat 3 KUHPerdata).

2) Hak gadai hapus karena dilepaskan secara sukarela.

3) Hak gadai hapus jika barang tanggungan hilang atau hapus

(musnah).

4) Hak gadai hapus jika seorang pemegang gadai lantaran sesuatu

sebab menjadi pemilik dari barang yang dipegangnya sebagai

tanggungan itu.

5) Hak gadai hapus apabila perjanjian pokoknya hapus. Sebab gadai

itu merupakan perjanjian yang bersifat accessoir, sehingga

tergantung kepada perjanjian pokoknya.

6) Hak gadai hapus karena daluarsa atau lewat waktu.

3. Tinjauan Umum tentang Gadai Emas Syariah


Yogyakarta, 1984, halaman 57.
A. Pengertian Gadai Syariah

Dalam Islam, gadai disebut juga dengan rahn. Rahn

adaah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai

tanggungan utang.11

Rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang

piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku fiqh

mu’amalah akad ini merupakan akad tabarru’ atau akad derma

yang tidak mewajibkan imbalan.12

B. Dasar Hukum Gadai Syariah

a) Al-quran

Dasar hukum gadai syariah sendiri menggunakan QS. AL-

Baqarah ayat 283. Fungsi barang gadai (marhun) pada ayat ini

adalah untuk menjaga kepercayaan masing-masing pihak,

sehingga penerima gadai (murtahin) meyakini bahwa pemberi

gadai (rahin) beriktikad baik untuk mengembalikn

pinjamannya (marhun bih) dengan cara menggadaikan barang

atau benda yang dimilikinya (marhun), serta tidak melalaikan

jangka waktu pengembalian utangnya itu.

b) Hadist Nabi Muhammad SAW

Artinya:

“Telah menceritakan kepada kami Musaddad


telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahid
telah menceritakan kepada kami Al A'masy
11
Huzaimah Y. Tanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer III, Lembaga Studi Islam
daan Kemasyarakatan, Jakarta, 1995, halaman 59.
12
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, halaman 4.
berkata; kami menceritakan di hadapan Ibrahim
tentang masalah gadai dan pembayaran tunda
dalam jual beli. Maka Ibrahim berkata; telah
menceritakan kepada kami Al Aswad dari
'Aisyah radliallahu 'anha bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam pernah membeli
makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran
tunda sampai waktu yang ditentukan, yang
Beliau menggadaikan (menjaminkan) baju besi
Beliau”. (H.R Bukhari-2326)

c) Ijma’ Ulama

Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai.

Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad SAW

yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan

dari seorang Yahudi.

d) Fatwa Dewan Syariah Nasional

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulaama Indonesia

(DSN-MUI) menjadi dasar hukum yang berkaitan dengan

gadai syariah.

C. Gadai Emas Syariah

Gadai emas syariah adalah penyerahan suatu barang

berupa emas dari nasabah kepada bank sebagai jaminan atas

pinjaman atau utang yang diberikan kepada nasabah tersebut.

Gadai emas syariah merupakan kegiatan pemberian utang dengan

akad gadai dalam perbankan syariah dengan jaminan emas yang

pada transaksinya dapat dikenakan biaya penyimpanan.

Dalam gadai emas syariah, terdapat tiga transaksi yaitu:


1) Pinjaman yang diberikan diikat dengan akad qardh;

2) Penyerahan jaminan emas diikat dengan akad rahn sebagai

jaminan atas pinjaman yang telah diberikan;

3) Penyimpanan emas tersebut diikat dengan akad ijarah atau

sewa menyewa.

Dasar hukum dari gadai emas syariah adalah Fatwa DSN

NO.25/DSN MUI/III/2002 tentang Rahn, Fatwa DSN No.26/DSN-

MUI/III/2002 tentang Rahn Emas dan Surat Edaran Bank

Indonesia Nomor 14/7/DPbS tanggal 29 Februari 2012 tentang

Produk Qardh Beragun Emas bagi Bank Syariah dan Unit Usaha

Syariah (SEBI No.14/7/DPbS tanggal 29 Februari 2012).

Dalam SEBI No.14/7/DPbS tanggal 29 Februari 2012

menjelaskan mengenai karakteristik dan fitur produk qardh

beragun emas, yaitu:

1) Tujuan pembiayaan gadai adalah jangka pendek.

2) Gadai emas syariah menggunakan tiga akad yaitu qardh, rahn

dan ijarah.

3) Tidak menggunakan biaya-biaya lain selain biaya yang telah

diperbolehkan menyertai.

4) Penyertaan biaya penyimpanan dan pemeliharaan didasarkan

pada berat agunan yang telah terhitung dalam nilai taksiran

agunan.

5) Sumber dana untuk pembiayaan gadai emas didapatkan dari


bagian modal dan keuntungan yang disisihkan.

6) Pendapatan dari penyimpanan dan pemeliharaan emas yang

sumber dananya berasal dari pihak ketiga dibagikan kepada

nasabah penyimpan dana.

7) Pelaksanaan layanan produk gadai emas di bank syariah

memiliki SOP (Standart Operating Procedure) tertulis yang

digunakan sebagai acuan dalam merumuskan dan menjalankan

sistem dan prosedur pelaksanaannya.

8) Nasabah baru yang ingin melakukan transaksi gadai wajib

menerima informasi mengenai risiko layanan produk ini.

Risiko – risiko Gadai Emas, yaitu :

a. Market risk (risiko pasar).

b. Liquidity risk (risiko likuiditas).

c. Operational risk.

d. Capital risk (risiko modal).

e. Credit risk (risiko kredit).

f. Reputation risk (risiko reputasi).

4. Tinjauan Umum tentang Manajemen Risiko

a. Pengertian Manajemen Risiko

Tasriani dan Andi mendefinisikan manajemen risiko

merupakan suatu pendekatan terstruktur/metodologi dalam mengelola

ketidak-pastian yang berkaitan dengan ancaman; suatu rangkaian

aktivitas manusia termasuk: penilaian risiko, pengembangan strategi


untuk mengelolanya dan mitigasirisiko dengan menggunakan

pemberdayaan atau pengelolaan sumber daya.13

b. Tujuan Manajemen Risiko

Adapun tujuan dari dari diterapkannya manajemen resiko

bagi bank adalah:14

a. Menyediakan informasi tentang risiko kepada pihak regulator.

b. Memastikan bank tidak mengalami kerugian yang

bersifat unacceptable.

c. Meminimalisasi kerugian dari berbagai risiko yang bersifat

uncontrolled.

d. Mengukur eksposur dan pemusatan risiko.

e. Mengalokasikan modal dan membatasi risiko.

Dalam penerapan manajemen risiko, bank syariah dan bank

konvensional berbeda.Bank syariah harus sesuai dengan ketentuan

atau asas syariah.15 Ketentuan syariah atau asas syariah tersebut

meliputi :16

1. Persaudaraan (ukhuwah).

2. Keadilan (‘adalah).
13
Tasriani dan Irfan, Andi.(2015). Penerapan Dan Pengelolaan Manajemen Risiko (Risk)
Dalam Industri Perbankan Syariah: Study Pada Bank BUMN Dan Bank Non BUMN.Jurnal
Sosial Budaya, Vol. 12, No. 1,103-113.
14
Karim, Adiwarman. (2013). Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Halaman 255
15
Otoritas Jasa Keuangan. (2016). Booklet Perbankan Indonesia.Diunduh pada 4 Maret 2020
melalui www.ojk.go.id.
16
Tasriani dan Irfan, Andi.(2015). Penerapan Dan Pengelolaan Manajemen Risiko (Risk)
Dalam Industri Perbankan Syariah: Study Pada Bank BUMN Dan Bank Non BUMN.Jurnal
Sosial Budaya, Vol. 12, No. 1,halaman 105
3. Keseimbangan (tawazun) .

4.Universalisme (Syumuliyah) .

c. Proses Manajemen Risiko

Proses manajemen risiko adalah sebagai berikut :

1). Indentifikasi risiko

Pengidentifikasian tentang sumber risiko dan akibat risiko sebagai

berikut:

a). Identifikasi sumber risiko

Sasaran yang ingin diperoleh pada tahap ini adalah untuk

mengetahui karakteristik risiko gadai/rahn emas.Dalam rangka

kerja identifikasi, Bank Syariah telah melakukan identifikasi

mendalam, yang mengerucutkan pada tiga sumber risiko

yang ketiganya bersumber pada emas atau barang jaminan itu

sendiri. Ketiga sumber risiko itu masing-masing adalah dari

aspek keamanan penyimpanan, penurunan harga emas, dan

keakuratan proses penaksiran.

b). Identifikasi akibat risiko

Identifikasi dalam tahap ini bertujuan untuk melihat seberapa

besar dampak risiko terhadap kinerja bank dan menentukan

prioritas risiko dalam gadai/rahn emas. Oleh karena itu, fokus

pada sumber risiko seperti aspek-aspek yang disebutkan di


atas, yaitu keamanan penyimpanan, penurunan harga emas, dan

keakuratan dalam proses penaksiran.

2). Penilaian Risiko

Proses penilaian risiko dilakukan untuk menentukan besar-kecilnya

probability dan impact risiko gadai/rahn emas, sehingga pihak

bank dapat menentukan prioritas dan pemeringkatan tingkat

risiko untuk menentukan pengelolaan dan strategi yang tepat

untuk mengantisipasi potensi risiko. Teknik penilaian risiko dibagi

kedalam dua dimensi pengukuran yaitu frekuensi (tingkat waktu

terjadinya risiko) dan signifikansi (dampak risiko terhadap

perusahaan).

3). Antisipasi Risiko

Proses antisispasi risiko merupakan upaya dalam rangka

menstabilkan kinerja gadai/rahn emas, sehingga eksistensi bank

dalam menjaga kepercayaan masyarakat dapat dicapai. beberapa

alternatif yang bisa dipilih untuk mengelola/mengantisipasi risiko

yang dihadapi bank, diantaranya :

a). Risk avoidance (penghindaran risiko)

Alternatif penghindaran risiko ini dipilih apabila bank memiliki

risiko yang bisa dihilangkan tanpa adanya pengaruh negatif

terhadap pencapaian tujuan bank. Risiko yang utama adalah


terdapat dalam barang jaminan emas itu sendiri.Oleh karena itu,

keakuratan dalam penaksiran menjadi sesuatu yang utama dalam

transaksi gadai.

Upaya yang diambil oleh pihak bank untuk mengatasi hambatan

yang disebabkan kesalahan dari pihak bank adalah adanya

petugas audit untuk mengecek kembali dan memeriksa seluruh

bukti-bukti gadai emas yang dilakukan. Pelatihan pun juga rutin

dilaksanakan. Hal ini bertujuan untuk melatih bank agar dapat

melaksanakan pelayanan dengan baik.Pengawasan yang

dilakukan oleh petugas audit adalah pengawasan prefentif.

Maksudnya adalah pengawasan yang dilakukan terhadap suatu

kegiatan sebelum kegiatan dilakukan, sehingga dapat

menghindari terjadinya penyimpangan. Dan Upaya yang diambil

oleh pihak bank untuk mengatasi hambatan yang terjadi yang

disebabkan oleh faktor lingkungan adalah harga pasar yang

jatuh dapat diatasi oleh bank dengan cara diawal perjanjian emas

tersebut lebih tinggi 80% dari harga pasar. Sehingga jika harga

turun, maka emas masih dapat melunasi kewajibannya.17

b. Risk retention (penahanan risiko)

Alternatif penahanan risiko dipilih apabila bank memiliki

17
Zeni Ervin C. K., Rachmi Sulistyarinni dan Yenni Eta Widyanti, Penerapan Peraturan Bank
Indonesia No:13/23/PBI/2011 tentang Manajemen Risiko Bagi BNI Syariah pada Produk Gadai
Emas (Studi di BNI Syariah Malang), (Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2014),
Halaman 14
komitmen untuk menanggung sendiri risiko yang muncul dengan

menyediakan dana untuk menanggung risiko yang datang, baik

pendanaan risiko dengan cara menyisihkan dana tertentu secara

periodik maupun membuat asuransi internal dan mendirikan

perusahaan asuransi yang menjadi bagian dari bank tersebut.

c. Risk transfer (pengalihan risiko)

Alternatif pengalihan risiko adalalah mentrasfer risiko ke pihak

lain yang lebih memiliki kemampuan dalam keahlian dan skala

ekonomi yang lebih baik untuk mengendalikan risiko, sehingga

mampu mendiversifikasikan risiko menjadi lebih baik. Riisk

transfer bisa dilakukan melalui beberapa cara, yaitu asuransi,

Hedging, Incorporated.

d. Risk control (pengendalian risiko)

Dalam upaya mengendalikan risiko, perlu dilakukan upaya

penyelamatan pembiayaan ketika terjadi pembiayaan yang

bermasalah. Mekanisme penyelamatan yang sering digunakan

oleh perbankan dalam rangka penanganan pembiayaan

bermasalah adalah dengan cara restrukturisasi. Namun istilah

yang lebih dikenal dengan


3 R (rescheduling, reconditioning, restructuring) tidak berlaku

dalam penyaluran pembiayaan gadai/rahn emas.

4. Monitoring risiko

Untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi yang lebih baik

dalam menganalisis serta mengendalikan risiko kegiatan gadai/rahn

emas, terutama untuk pembiyaan yang tergolong besar dengan

proyeksi modal usaha, diperlukan langkah-langkah monitoring,

sebagai berikut:

a. On desk monitoring (mengecek secara administratif)

b. On site monitoring (melihat langsung ke tempat usaha nasabah)

c.Exception monitoring (pemantauan kredit dengan memberikan

perhatian khusus kepada kegiatan yang kurang berjalan

baik). Dengan melihat penggolongan pembiayaan di gadai emas,

yang digolongkan kedalam collectability. Penggolongan dalam

collectability tersebut sebagai berikut:

No. Penggolongan Jumlah Hari Kualitas

2. Collectability 2 1-30 hari Dalam

Perhatian
3. Collectability 3 30-60 hari Kurang

Lancar
4. Collectability 4 60-90 hari Diragukan
5. Collectability 5 >90hari Macet
Tabel 1.2. Penggolongan Collectability

5. Hambatan Dalam Penerapan Manajemen Risiko

Hambatan dalam penerapan manajemen risiko berasal dari :

a. Hambatan Intern

Berasal dari sisi bank, yaitu sistem operasional dalam

manajemen risikonya.

b. Hambatan Ekstern

Berasal dari sisi nasabah, yaitu nasabah tidak mampu

menyelesaikan prestasi atas gadainya yang telah jatuh tempo

dan nasabah tidak mampu menyelesaikan prestasinya tersebut.

Dari lingkungan, yaitu harga pasar emas yang mengalami

fluktuasi sehingga dapat merugikan nasabah dan juga bank.

6. Upaya-upaya penyelesaian terhadap hambatan-hambatan

dalam penerapan manajemen risiko gadai emas pada bank syariah

antara lain:

a. Pihak bank mengecek kembali dan memeriksa seluruh bukti-

bukti gadai emas yang dilakukan serta pelaksanaan pelatihan

rutin.

b. Lelang dilakukan ketika gadai emas nasabah telah jatuh tempo


dan disepakati oleh nasabah dengan memberikan hak substitusi

kepada bank untuk melakukan lelang.

c. Menerapkan prinsip kehati-hatian yang sangat tinggi.

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan ini, jenis penelitian yang penulis gunakan adalah

penelitian yuridis-normatif adalah suatu prosedur ilmiah untuk

menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi normatifnya

yang objeknya adalah hukum itu sendiri.18 Di dalam penelitian yuridis-

normatif, maka pengolahan data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk

mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis.19

Penggunaan jenis penelitian yuridis-normatif dalam penelitian ini

mencoba mengkaji perlindungan hukum terhadap nasabah gadai emas

syariah. Sedangkan dari aspek normatif yakni mencoba menganalisi

permasalahan yang ada pada peraturan atau norma tersebut.

2. Pendekatan penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan

pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai

aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.

18
Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, 2011,
halaman 57.
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, halaman 251.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum antara

lain adalah Statute approach.

Statute approach atau pendekatan perundang-undangan yakni

dengan cara menelaah semua undang-undang dan regulasi yang terkait

dengan isu hukum yang sedang ditangani. Hasil dari telaah tersebut

merupakan suatu argument untuk memecahkan isu yang sedang dihadapi,

dalam hal ini mengenai perlindungan hukum terhadap nasabah gadai emas

syariah.

Penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan

perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan

hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Pada penelitian ini, bahan hukum dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Jenis bahan Hukum

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai

otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. Dalam

penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan penulis antara

lain:

(1) Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;


(2) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah;

(3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen;

(4) Peraturan Bank Indonesia No.10/16/PBI/2008 tentang

perubahan atas Peraturan bank Indonesia No. 9/19/2007

tentang Pelaksanaan prinsip Syariah dalam kegiatan

Penghimpunan Dana dan Penyaluran dana serta pelayanan Jasa

Bank Syariah;

(5) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbS tanggal 29

Februari 2012 tentang Produk Qardh Beragun Emas;

(6) Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn;

(7) Fatwa DSN No. 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas;

(8) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/9/DPM tanggal 16

Februari 2004 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek

Bagi Bank Umum;

(9) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/37/DPM tanggal 8

Agustus 2004 tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah di

Indonesia;

(10) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor

31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian;

(11) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2

Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Buku


II.

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder adalah semua publikasi tentang hukum

yang merupakan dokumen yang tidak resmi. Bahan

Hukum Sekunder terdiri dari:

(1) Buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa

permasalahan hukum;

(2) Jurnal-jurnal hukum;

(3) Pendapat para sarjana;

(4) Kasus-kasus hukum yang terkait dengan penelitian;

(5) Yurisprudensi, dan

(6) Komentar-komentar atas putusan hakim.

c) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan

petunjuk atau penjelasan terhadap bahan buku primer dan bahan

hukum sekunder yang meliputi:20

(1) Kamus hukum

(2) Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan

(3) Ensiklopedia.

2) Sumber Bahan Hukum

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil

20
Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, 2011,
halaman 296.
penelusuran melalui media cetak maupun media elektronik terkait

dengan peraturan dan kebijakan mengenai perlindungan terhadap

nasabah.

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari

penelitian-penelitian sebelumnya di berbagai Universitas,

Perpustakaan Umum Kabupaten Pati dan Internet.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum primer dilakukan dengan penelusuran terhadap

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia mengenai

perlindungan terhadap nasabah gadai emas syariah. Bahan hukum

primer juga diperoleh melalui literatur dan juga internet.

Bahan hukum sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan

atau literatur serta artikel ataupun jurnal tentang perlindungan

terhadap nasabah gadai emas syariah.

5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan

metode analisis isi (content analysis). Kemudian untuk menunjang

pembahasan, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu

suatu cara dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek

atau obyek penelitian pada saat ini berdasarkan dari faktor-faktor

yang tampak.
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Gadai Emas Syariah Dalam

Hal Terjadinya Penurunan Harga Emas Pada Saat Eksekusi Objek

Jaminan

Dalam melakukan gadai emas di bank syariah, hal yang perlu

diketahui adalah mengenai fluktuasi harga emas yang kendati sering

berubah-ubah setiap tahunnya. Hal tersebut sangat penting terkait dengan

untung-rugi yang akan diperoleh oleh nasabah dalam melakukan gadai emas

di bank syariah.

Apabila terjadi penurunan harga emas pada saat objek jaminan

berupa emas milik nasabah dieksekui oleh pihak Bank, maka kerugian besar

akan dialami oleh nasabah. Nasabah bank syariah mendapat kerugian akibat

penjualan objek jaminan oleh pihak Bank pada saat harga emas sedang turun

serta wajib membayar biaya gadai emas dan biaya sewa tempat untuk

penitipan emasnya di bank syariah.

Perlindungan hukum terhadap nasabah gadai emas syariah di bank

syariah dalam hal penurunan harga emas pada umumnya dibagi menjadi 2

(dua) yaitu:

1. Perlindungan hukum secara preventif


Perlindungan hukum secara preventif dalam penelitian ini adalah

perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang untuk mencegah

terjadinya kerugian terhadap nasabah gadai emas di Bank Syariah dalam

hal terjadinya penurunan harga emas pada saat eksekusi objek jaminan. Di

Indonesia, belum ada undang-undang khusus yang memberikan

perlindungan kepada nasabah terkait dengan gadai emas syariah pada saat

penurunan harga emas. Namun terdapat peraturan perundang-undangan

yang mengatur mengenai gadai emas syariah dan risiko penurunan harga

emas yang akan dijabarkan berikut ini.

a. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011

tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah

dan Unit Usaha Syariah

Penurunan harga emas dalam manajemen risiko termasuk

kedalam kategori manajemen risiko pasar. PBI Nomor

13/23/PBI/2011 menjelaskan bahwa risiko pasar adalah risiko pada

posisi neraca dan rekening administratif akibat perubahan harga

pasar, antara lain risiko berupa perubahan nilai dari aset yang dapat

diperdagangkan atau disewakan. Disebut risiko pasar karena risiko ini

berdampak pada semua institusi atau proyek yang ada dalam cakupan

pasar. Jenis risiko pasar meliputi risiko suku bunga, risiko nilai tukar,

risiko komoditas dan risiko ekuitas. Penurunan harga emas dalam

penelitian ini termasuk ke dalam risiko nilai tukar, yaitu risiko akibat

perubahan nilai posisi trading book dan banking book yang


disebabkan oleh perubahan niai tukar valuta asing atau perubahan

harga emas.21 Risiko nilai tukar tersebut merupakan suatu

konsekuensi yang terkait dengan pergerakan atau fluktuasi nilai tukar.

Dalam perbankan syariah sendiri sebenarnya mensyaratkan tidak

diperbolehkannya transaksi yang bersifat spekulasi, tetapi bank

syariah tidak akan dapat terlepas dari adanya posisi dalam valuta

asing. Dalam hal ini bank syariah perlu menetapkan exposure limit,

transaction limit, currency limit, turnover limit, cut loss limit,

intraday limit dan counterparty limit.22

Dalam pasal 2 ayat 1 PBI Nomor 13/23/PBI/2011

menjelaskan bahwa Bank Syariah wajib menerapkan manajemen

risiko secara efektif. Kemudian dijelaskan pada pasal 3 mengenai

penerapan manajemen risiko itu sendiri paling sedikit mencakup:23

1) Pengawasan aktif Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan

Pengawas Syariah;

2) Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit manajemen

risiko;

3) Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan

pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan

4) Sistem pengendalian intern yang menyeluruh.

21
Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2012, halaman 293
22
Bambang Rianto Rustam, Manajemen Risiko Perbankan Syariah di Indonesia, Salemba
Empat, Jakarta, 2013, halaman 137.
23
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Dapat disimpulkan dari penjelasan pasal diatas bahwa proses

dari manajemen risiko sendiri adalah seperti yang digambarkan pada

bagan berikut ini:

Bagan 1

Proses Manajamen Risiko

Sumber: Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011, diolah, 2020.

Dalam PBI Nomor 13/23/PBI/2011 dijelaskan bahwa Bank

wajib melakukan proses manajemen risiko terhadap seluruh faktor-

faktor risiko yang bersifat material.

b. Menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbS tentang

Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha

Syariah

Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbS

tentang produk qardh beragun emas bagi Bank Syariah dan Unit Usaha

Syariah atau disebut juga dengan SEBI 14/7/DPbS sebenarnya bertujuan

untuk mencegah terjaadinya peningkatan risiko bagi Bank Syariah

sendiri mengingat pada saat ini masyarakat tidak lagi menggadaikan


emasnya hanya untuk mendapatkan kredit melainkan sebagai alat

investasi. Dalam SEBI 14/7/DPbS tersebut Bank Indonesia memberikan

batasan-batasan terkait untuk pembiayaan melalui transaksi kredit

beragun emas atau gadai emas. Namun dalam SEBI 14/7/DPbS terdapat

pasal-pasal yang memberi perlindungan terhadap nasabah agar nasabah

berhati-hati dalam melakukan gadai emas sehingga tidak akan

mengalami kerugian yang tidak dapat diduga sebelumnya.

Dalam ketentuan krakteristik produk qardh beragun emas butir

ke 7 yang terdapat pada SEBI 14/7/DPbS dijelaskan bahwa dalam

melakukan pembiayaan melalui qardh beragun emas, Bank Syariah

wajib melaksanakannya dengan didukung kebijakan dan prosedur

tertulis yang memadai, termasuk penerapan manajemen risiko.

Penerapan manajemen risiko inilah yang penting dilakukan untuk

memberikan perlindungan bagi Bank maupun nasabahnya.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, manajemen risiko yang

berkaitan adalah risiko pasar. Risiko pasar sendiri sangat terpengaruh

oleh perubahan nilai tukar mata uang atau perubahan harga emas.

Fluktuasi harga emas yang tidak menentu menyebabkan Bank Syariah

harus berhati-hati dalam melakukan pembiayaan melalui gadai emas.

Seperti yang telah diketahui sebelumnya, fluktuasi harga emas yang

dapat merugikan nasabah adalah penurunan harga emas pada saat objek

jaminan dieksekusi oleh pihak Bank. Untuk itu dalam SEBI 14/7/DPbS

juga mewajibkan Bank Syariah menjelaskan secara lisan atau tertulis


kepada nasabah mengenai karakteristik produk yang meliputi fitur,

risiko, manfaat, biaya, persyaratan, penyelesaiaan apabila terdapat

sengketa, serta hak dan kewajiban nasabah termasuk apabila terjadi

eksekusi agunan emas.

Dalam melaksanakan gadai emas di Bank Syariah juga perlu

menerapkan prinsip kehati-hatian seperti yang disebutkan dalam pasal 2

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 bahwa perbankan syariah dalam

melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, demokrasi

ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.

2. Perlindungan Hukum Secara Represif

Dalam melakukan suatu hubungan hukum antara satu pihak dan

pihak lain seringkali terjadi sengketa. Sengketa dapat terjadi apabila

terdapat kerugian pada salah satu pihak yang disebabkan oleh pihak

lainnya. Kerugian dapat disebabkan apabila salah satu pihak melanggar

aturan dalam perjanjian atau tidak memenuhi prestasi yang telah

diperjanjikan sebelumnya.

Dalam hal terjadinya sengketa antara nasabah dan Bank Syariah,

sengketa terjadi apabila perselisisihan antara nasabah dan Bank tidak

dapat diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian intern dan

membutuhkan bantuan pihak ketiga untuk menyelesaikan perselisihan

tersebut.

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan di pengadilan umum

maupun di luar pengadilan umum seperti yang akan dijelaskan berikut ini:
a. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Umum

Mengenai penyelesaian sengketa antara nasabah dan Bank

Syariah, telah diatur dalam Udang-Undang nomor 21 tahun 2008

tentang perbankan Syariah yang terdapat dalam penjelasana pasal 55

ayat (2) dijelasakan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian

sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai

berikut:

a. Musyawarah;

b. Mediasi perbankan;

c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau

lembaga arbitrase lain; dan/atau

d. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Melalui penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa

Undang-Undang belum menghapus kewenangan pengadilan umum

untuk meyelesaikan sengketa perbankan syariah. Padahal telah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas

Undang- Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

mengenai kewenangan absolute pengadilan agama dalam

menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006

tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama juga mengatur mengenai perluasan kewenangan

lembaga Peradilan Agama yang meliputi perkara-perkara bidang


ekonomi syariah. Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud

dengan ekonomi syariah adalah perbuatan kegiatan usaha yang

dilaksanakan menurut prinsip syariah meliputi:

a. Bank syariah;

b. Lembaga keuangan mikro syariah;

c. Asuransi syariah

d. Reasuransi syariah;

e. Reksadana syariah;

f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah

g. Sekuritas syariah;

h. Pembiayaan syariah;

i. Pegadaian syariah;

j. Dana pensiun lembaga keuangan syariah;

k. Bisnis syariah.

Dalam sengketa perbankan syariah sebagaimana telah

menjadi kewenangan dari Pengadilan Agama, yang menjadi subyek

di depan pengadilan dan dapat bertindak sebagai pihak penggugat

atau pihak tergugat adalah bank syariah dan nasabah. Bank syariah

menjadi salah satu subyek yang dapat berperkara di Pengadilan

Agama karena merupakan badan hukum yang tunduk pada hukum

Islam sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 sebagaimana yang telah dijelaskan dalam penjelasannya.

Untuk nasabah sendiri menjadi subyek dari Pengadilan Agama karena


sebagai orang yang beragama Islam atau orang yang tunduk pada

hukum Islam. Adapun yang menjadi obyek dalam sengketa adalah

berupa perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak yakni antara

bank syariah dan nasabah, yang didalamnya terdapat hak dan

kewajiban para pihak, serta perjanjian tersebut dibuat berdasarkan

pada hukum Islam.

Dari kedua penjelasan Undang-Undang diatas (UU

Nomor 21 tahun 2008 dan UU Nomor 3 tahun 2006), dapat ditarik

kesimpulan bahwa terdapat dualisme lembaga peradilan dalam

memberikan upaya perlindungan represif terhadap nasabah, yaitu

antara pengadilan umum dan pengadilan agama. Namun kondisi

tersebut diharapkan dapat memperkuat upaya perlindungan nasabah,

khususnya nasabah dalam gadai emas di Bank Syariah yang dibahas

dalam penelitian ini.

b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Umum

Dalam penyelesaian sengketa, nasabah diberikan pilihan

untuk menyelesaikan di pengadilan umum atau di luar pengadilan

umum. Dalam hal pihak nasabah yang bersengketa adalah nasabah

kecil dan Usaha Mikro Kecil (UMK), pastilah akan lebih memilih

penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum. Dalam penyelesaian

sengketa antara nasabah dengan Bank Syariah, telah dijelaskan

sebelumnya dalam pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 tahun

2008 bahwa penyelesaian sengketa dapat dilakukan diluar pengadilan


umum sesuai dengan isi akad.

Sesuai dengan isi akad disini salah satunya dapat

dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).

Basyarnas sebelumnya bernama BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat

Indonesia). Kemudian atas keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis

Ulama Indonesia Nomor Kep- 09/MUI/XII/2003 tanggal 24

Desember 2003, nama BAMUI diubah menjadi Badan Arbitrase

Syariah Nasional (Basyarnas). Basyarnas merupakan lembaga

otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum dalam

menyelesaiakan sengketa di bidang syariah.

Dalam melakukan penyelesaian sengketa, Basyarnas

memiliki prosedur penyelesaian sengketa tersendiri namun tetap

berdasarkan dari ketentuan Undang-Undang nomor 30 tahun 1999

tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa seperti

dijelaskan pada bagan dibawah ini:

Bagan 2
Prosedur Penyelesaian Sengketa

Sumber: Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa,diolah, 2020.

Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, maka dalam

menyelesaikan sengketa antara nasabah gadai emas dengan pihak

Bank Syariah dalam hal eksekusi objek jaminan pada saat terjadinya

penurunan harga emas dapat melalui pengadilan umum maupun di


luar pengadilan umum. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan

umum dilakukan melalui Basyarnas. Menyelesaikan sengketa melalui

Basyarnas dirasa lebih menguntungkan bagi nasabah khusunya

nasabah golongan menengah ke bawah dan nasabah usaha mikro

kecil.

B. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH DALAM PERJANJIAN

GADAI DI PT PEGADAIAN

1. Syarat dan Prosedur Pembuatan Perjanjian Gadai

Di dalam hukum perdata dikenal hak kebendaan yang bersifat

memberi kenikmatan dan hak kebendaan yang bersifat jaminan. Hak

kebendaan yang bersifat memberi jaminan itu salah satunya adalah

gadai.24 Istilah gadai berasal dari terjemahan dari kata pand (bahasa

Belanda) atau pledge atau pawn (bahasa Inggris).

Menurut Pasal 1150 KUHPerdata :

“ gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang

atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh

seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang

memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk

mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan

daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian

biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah

dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu


24
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Benda, Liberty, Bandung, 1981,
hlm.96
digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan”.

Dari pengertian gadai tersebut dapat diketahui bahwa untuk

disebut gadai, maka unsur-unsur berikut dibawah ini harus dipenuhi :

a. Gadai diberikan hanya atas benda bergerak

b. Gadai harus dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai

c. Gadai memberikan hak kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan

terlebih dahulu atas piutang kreditur (droit de preference)

d. Gadai memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mengambil

sendiri pelunasan secara mendahulu tersebut.25

Dasar hukum mengenai gadai dapat dilihat pada peraturan

perundang-undangan berikut :

1) Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata Buku II

2) Artikel 1196 VV, titel 19 Buku III NBW

3) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan

Jawatan Pegadaian

4) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1970 tentang Perubahan

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan

Jawatan Pegadaian

5) Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun Tahun 2000 tentang

Perusahaan Umum Pegadaian.26


25
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Benda, Liberty, Bandung, 1981,
hlm.96
26
Salim,HS , Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta,2014 , hlm.35
Buku II KUHPerdata, jaminan gadai memiliki sifat sebagai

berikut:

1. Jaminan gadai mempunyai sifat accessoir (perjanjian tambahan)

artinya, jaminan gadai bukan hak yang berdiri sendiri tetapi

keberadaannya tergantung pada perjanjian pokok.

2. Jaminan gadai memberikan hak preferen yaitu kreditur sebagai

penerima gadai mempunyai hak yang didahulukan terhadap kreditur

lainnya, artinya bila debitur tidak memenuhi janji atau kewajibannya

atau lalai maka kreditur penerima gadai mempunyai hak untuk menjual

jaminan gadai tersebut dan hasil penjualan digunakan terutama untuk

melunasi hutangnya.

3. Jaminan gadai mempunyai hak eksekutorial yaitu pemegang gadai

(kreditur) atas kekuasaan sendiri mempunyai hak untuk menjual benda

yang digadaikan apabila debitur tidak melaksanakan janji atau debitur

tidak melaksanakan kewajiban dan hasil penjualan dari barang yang

dijadikan jaminan digunakan untuk melunasi hutang debitur kepada

kreditur.

4. Gadai tidak dapat dibagi-bagi. Gadai tetap melekat untuk seluruh

bendanya, yang artinya debitur harus terlebih dahulu melunasi seluruh

hutangnya maka barang yang menjadi jaminan atas gadai kembali ke

debitur.

5. Benda yang menjadi jaminan dalam kekuasaan kreditur. Benda yang

digadaikan harus di luar atau ditarik dari kekuasaan debitur si pemberi


gadai. Benda yang digadaikan harus dalam kekuasaan kreditur sebagai

penerima gadai.27

Objek gadai adalah benda bergerak (Pasal 1150 KUHPerdata).

Benda bergerak ini dibagi dua macam yaitu benda bergerak berwujud dan

tidak berwujud. Yang termasuk dalam benda bergerak berwujud seperti

emas, arloji, sepeda motor, dan lain-lain. Sedangkan benda bergerak tidak

berwujud adalahyang timbul dari hubungan hukum tertentu seperti saham,

piutang, bunga, dan lain-lain.28

Syarat sahnya suatu perjanjian gadai harus memenuhi syarat

sahnya suatu perjanjian secara umum yang terdapat dalam Pasal 1320

KUHPerdata ditambah dengan syarat benda gadai yang diserahkan kepada

penerima gadai dimana benda gadai berada dalam kekuasaan penerima

gadai sampai hutang dilunasi oleh si pemberi gadai. Hal ini sejalan dengan

Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata dimana, gadai tidak sah jika bendanya

dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan si pemberi gadai ( si berutang ).

Pasal 1320 KUHPerdata mengatur mengenai syarat sahnya

suatu perjanjian yaitu :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

Sebelum kesepakatan tercapai antara para pihak, maka umumnya

diantara para pihak akan terlebih dahulu dilakukan pembicaraan atau

umumnya disebut negosiasi. Dalam negosiasi, salah satu pihak akan

27
Megarita, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Saham Yang Digadaikan, USU Press,
Medan, 2012, hlm.29
28
Salim, HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta,2014, hlm. 38
menyampaikan dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai hal-hal yang

dikehendakinya dengan segala macam persyaratan yang mungkin

diperkenankan oleh hukum untuk disepakati, hal ini disebut

penawaran.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Berdasarkan Pasal 330 KUHPerdata dikaitkan dengan Pasal 1330

KUHPerdata maka seseorang yang bisa dikatakan dewasa adalah jika

telah berusia 21 tahun dan telah menikah.

3. Suatu hal tertentu

Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata mengenai

keharusan suatu hal tertentu dalam perjanjian.

Ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata menyatakan bahwa :

“hanya kebendaan yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi

pokok perjanjian”.

Dalam Pasal 1333 KUHPerdata menyatakan bahwa :

“suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang

lain sedikit ditentukan jenisnya”.

4. Suatu sebab yang halal

Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata, yang dikatakan sebab yang

terlarang adalah apabila bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan dan ketertiban umum.29

29
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Kekayaan : Hak Istimewa, Gadai dan
Hipotek, Kencana , Jakarta, 2007, hlm.75
Syarat tambahan dari sahnya perjanjian gadai adalah dengan

menyerahkan barang yang digadaikan oleh pemberi gadai kepada

penerima gadai sehingga barang itu berada di bawah kekuasaan penerima

gadai. Asas ini disebut dengan asas inbezitling.30 Hal ini jelas terlihat

dalam Pasal 1152 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut :

“Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang

bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah

kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang

siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak”.

Langkah-langkah prosedur pemberian gadai dimulai saat

nasabah ingin mendapatkan pinjaman uang dari lembaga pegadaian,

nasabah tersebut harus menyampaikan keinginan kepada lembaga gadai

dengan menyerahkan benda jaminan kepada penaksir gadai. Benda yang

dapat dijadikan jaminan gadai adalah perhiasan emas, emas batangan,

mobil, sepeda motor, laptop, handphone dan barang elektronika lainnya.

Nasabah yang ingin menggadaikan barangnya di pegadaian selain

membawa barang jaminan juga harus melengkapinya syarat sebagai

berikut :

1. membawa KTP atau bukti identitas resmi lainnya

2. surat kuasa dari pemilik barang apabila barang dikuasakan

3. mengisi formulir permintaan kredit (FPK)

4. menandatangani perjanjian kredit (SBK)

30
Salim, HS Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta,2014., hlm. 37
Langkah pertama yaitu nasabah mengambil dan mengisi

Formulir Permintaan Kredit (FPK) dan menyerahkan FPK yang telah diisi

dengan melampirkan foto copy KTP atau identitas resmi lainya serta

barang yang akan dijadikan jaminan. Nasabah tersebut harus membawa

langsung barang jaminan dan menyerahkannya kepada penaksir gadai.

Penaksir gadai merupakan orang ditunjuk oleh lembaga pegadaian untuk

menaksir objek gadai, yang meliputi kualitas gadai, beratnya, dan

besarnya nilai taksiran dan nilai pinjamannya. Semakin besar dana

pinjaman, maka semakin besar biaya administrasi. Berikut rinciannya :

a. Golongan A dengan pinjaman Rp.50.000-Rp.500.000 dikenakan biaya

administrasi Rp.2.000

b. Golongan B1 dengan pinjaman Rp.500.001-Rp.1.000.000 dikenakan

biaya administrasi Rp.8.000

c. Golongan B2 dengan pinjaman Rp.1.000.001-Rp.2.500.000 dikenakan

biaya administrasi Rp.15.000

d. Golongan B3 dengan pinjaman Rp.2.500.001-Rp.5.000.000 dikenakan

biaya administrasi Rp.25.000

e. Golongan C1 dengan pinjaman Rp.5.000.001-Rp.10.000.000 dikenakan

biaya administrasi Rp.40.000

f. Golongan C2 dengan pinjaman Rp.10.000.001-Rp.15.000.000

dikenakan biaya administrasi Rp.60.000

g. Golongan C3 dengan pinjaman Rp.15.000.001-Rp.20.000.000

dikenakan biaya administrasi Rp.80.000


h. Golongan D dengan pinjaman Rp.20.000.001-Rp.1.000.000.000

dikenakan biaya administrasi Rp.100.000

Setelah barang jaminan selesai ditaksir oleh penaksir gadai,

maka penaksir gadai akan menetapkan jumlah besarnya pinjaman, apabila

nasabah setuju maka barang yang telah dinilai akan ditulis dalam Surat

Bukti Kredit menurut golongannya. SBK merupakan surat perjanjian

sederhana yang dibuat oleh pegadaian dimana nasabah menyetujui apa

yang telah ditetapkan pegadaian atau menolaknya dimana perjanjian gadai

tidak pernah terjadi. Selain itu SBK berfungsi sebagai alat untuk

mengambil barang gadainya apabila nasabah telah melunasi hutangnya.

Perjanjian gadai dicantumkan dalam satu lembar kertas yang

menyatu dengan Surat Bukti Kredit (SBK) yang memuat :

1) Nama kantor Pegadaian;

2) Nama dan alamat debitur, biasanya ditulis berdasarkan alamat dalam

KTP;

3) Nomor telepon dan pekerjaan debitur;

4) Nama barang jaminan kreditur, adalah nama atau jenis barang yang

digadaikan oleh debitur, nama barang debitur biasanya berisi seperti

keterangan terhadap benda jaminan;

5) Golongan peminjaman, merupakan penggolongan terhadap benda

jaminan;

6) Tanggal kredit, tanggal dimulainya hitungan pinjaman;

7) Tanggal jatuh tempo, adalah tanggal jatuh tempo pembayaran


pelunasan pinjaman, namun terhadap tanggal jatuh tempo, debitur

dapat memperpanjang waktu pinjaman kembali dengan syarat

membayar bunga jatuh tempo, kemudian menerangkan akan

meneruskan pinjaman;

8) Besar uang taksiran pinjaman, yang didasarkan pada taksiran harga

benda jaminan pada saat diajukan permohonan pinjaman di pegadaian;

9) Besar uang pinjaman, biasanya besar uang pinjaman lebih kecil atau

sama dengan besar uang taksiran, besar uang pinjaman ditentukan oleh

Pegadaian berdasarkan nilai taksiran benda jaminan pada saat

permohonan pinjaman gadai;

10) Perhatian (yang berisi semacam peringatan)

(a) Perhitungan tarif sewa modal dihitung sekian persen berdasarkan

golongan yang dikenakan per 15 hari;

(b) Hari sewa modal dihitung sejak tanggal kredit sampai dengan

tanggal pelunasan dalam kelipatan 15 bulan keatas;

(c) Jangka waktu maksimum adalah 4 bulan dan dapat diperpanjang

dengan cara membayar sewa modal;

(d) Ketentuan mengenai biaya administrasi terhadap pelunasan atau

pembaruan kredit;

(e) Ketentuan lelang terhadap barang yang telah jatuh tempo;

(f) Ketentuan mengenai permintaan penundaan lelang;

(g) Pengambilan barang jaminan harus menyertakan Surat Bukti

Kredit dan kartu identitas;


(h) Ketentuan mengenai Surat Bukti Kredit dan nota pembayaran;

(i) Kewajiban nasabah untuk mentaati ketentuan dalam perjanjian;

Langkah selanjutnya menyerahkan kepada kasir. Kasir akan

menyiapkan pembayaran dan membubuhkan paraf dan tanda bayar pada

SBK serta menyerahkan uang kepada nasabah.

Berikut ini merupakan isi perjanjian gadai dengan jaminan

benda bergerak yang telah dibakukan oleh PT Pegadaian, yaitu :

(1) Nasabah menerima dan setuju terhadap uraian dan taksiran barang

jaminan, penetapan Uang Pinjaman, Tarif Sewa Modal, Biaya

Administrasi, Biaya Lainnya (jika ada), Bea Lelang sebagaimana

yang dimaksud pada Surat Bukti Gadai (SBG), atau bukti transaksi

(struk atau dokumen elektronik) dan sebagai tanda bukti yang sah

penerimaan uang pinjaman dan Uang Kelebihan Lelang (jika ada).

(2) Barang yang diserahkan sebagai barang jaminan adalah milik nasabah

dan/atau kepemilikan sebagaimana Pasal 1977 KUHPerdata dan/atau

milik Pemberi Kuasa atas barang jaminan yang dikuasakan kepada

nasabah, dan menjamin bukan berasal dari hasil kejahatan, tidak

dalam objek sengketa dan/atau sita jaminan.

(3) Nasabah menyatakan telah berutang kepada PT.Pegadaian (Persero)

dan berkewajiban untuk membayar uang pinjaman ditambah sewa

modal dan biaya lainnya (jika ada) pada saat pelunasan, atau

membayar cicilan uang pinjaman (jika ada), sewa modal, biaya

administrasi pada saat perpanjangan.


(4) PT.Pegadaian (Persero) akan memberikan ganti kerugian apabila

barang jaminan yang berada dalam penguasaan PT.Pegadaian

(Persero) mengalami kerusakan atau hilang yang tidak disebabkan

oleh suatu bencana alam (forje majeure) yang ditetapkan pemerintah.

Ganti rugi diberikan setelah perhitungan dengan uang pinjaman, sewa

modal dan biaya lainnya (jika ada), sesuai ketentuan penggantian

yang berlaku di Pegadaian (Persero).

(5) Nasabah dapat melakukan ulang gadai, gadai ulang otomatis, dan

minta tambah uang pinjaman, selama nilai taksiran masih memenuhi

syarat dengan memperhitungkan sewa modal, biaya administrasi dan

biaya lainnya (jika ada) yang masih akan dibayar. Jika terjadi

penurunan nilai taksiran barang jaminan pada saat ulang gadai, maka

nasabah wajib mengangsur uang pinjaman atau menambah barang

jaminan agar sesuai dengan nilai taksiran baru.

(6) Terhadap barang jaminan yang telah dilunasi dan belum diambil

nasabah, terhitung sejak terjadinya tanggal pelunasan sampai dengan

sepuluh hari tidak dikenakan biaya jasa titipan. Bila telah memenuhi

sepuluh hari dari pelunasan, barang jaminan tetap belum diambil,

maka nasabah sepakat dikenakan biaya jasa titipan yang besarannya

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di PT.Pegadaian (Persero) atau

sebesar yang tercantum dalam bukti transaksi

(7) Apabila sampai dengan tanggal jatuh tempo tidak dilakukan

pelunasan, ulang gadai, gadai ulang otomatis, maka PT.Pegadaian


(Persero) berhak melakukan penjualan barang jaminan melalui lelang.

(8) Hasil penjualan lelang barang jaminan setelah dikurangi uang

pinjaman, sewa modal, biaya lainnya (jika ada) dan bea lelang,

merupakan kelebihan yang menjadi hak nasabah, PT.Pegadaian

(Persero) akan memberitahukan nominal uang kelebihan nasabah

melalui papan pengumuman di Kantor Cabang/Unit Pelayanan

Cabang Penerbit SBG, mengirimkan surat ke alamat nasabah atau

melalui media lainnya seperti telepon, short message service (SMS).

(9) Nasabah setuju bahwa biaya pemberitahuan uang kelebihan kepada

nasabah dapat diperhitungkan sebagai pengurangan dari kelebihan.

(10) Jangka waktu pengambilan uang kelebihan lelang adalah selama 1

(satu) tahun sejak tanggal lelang sebagaimana dimaksud pada angka 8

perjanjian ini.

(11) Jika lewat jangka waktu pengambilan uang kelebihan lelang, nasabah

menyatakan setuju untuk menyatakan uang kelebihan lelang tersebut

sebagai dana kepedulian sosial yang pelaksanaannya diserahkan

kepada PT.Pegadaian (Persero). Jika hasil penjualan lelang barang

jaminan tidak mencukupi untuk melunasi kewajiban nasabah berupa

uang pinjaman, sewa modal, biaya lainnya (jika ada) dan bea lelang

maka nasabah wajib membayar kekurangan tersebut.

(12) Nasabah dapat datang sendiri untuk melakukan ulang gadai, gadai

ulang otomatis atau minta tambah uang pinjaman atau mengangsur

uang pinjaman atau pelunasan atau menerima barang jaminan atau


menerima uang kelebihan lelang, dan/atau dapat dengan memberikan

kuasa kepada orang lain dengan mengisi dan membubuhkan

tandatangan pada kolom yang tersedia, dengan melampirkan fotokopi

ktp/paspor/sim nasabah dan penerima kuasa serta menunjukkan

ktp/paspor/sim asli penerima kuasa.

(13) Nasabah atau kuasanya dapat melakukan perpanjangan, mengangsur

uang pinjaman dan pelunasan SBG di seluruh cabang/ unit pelayanan

cabang online dan channel yang bekerja sama dengan PT.Pegadaian

(Persero).

(14) Dalam hal nasabah atau kuasanya melakukan pengambilan barang

jaminan, transaksi minta tambah uang pinjaman atau pengambilan

uang kelebihan lelang, maka hanya dilayani di Kantor Cabang/Unit

Pelayanan Cabang Penerbit Surat Bukti Gadai.

(15) Nasabah menggunakan layanan gadai ulang otomatis membubuhkan

tandatangan pada kolom yang tersedia.

(16) Bilamana nasabah meninggal dunia dan terdapat hak dan kewajiban

terhadap PT.Pegadaian (Persero) ataupun sebaliknya, maka hak dan

kewajiban dibebankan kepada ahli waris nasabah sesuai dengan

ketentuan waris dalam hukum Republik Indonesia.

(17) Nasabah menyatakan tunduk dan mengikuti segala peraturan yang


berlaku di PT.Pegadaian sepanjang ketentuan yang menyangkut utang

piutang dengan jaminan gadai.

(18) Apabila terjadi perselisihan di kemudian hari akan diselesaikan

secara musyawarah untuk mufakat dan apabila tidak tercapai

kesepakatan akan diselesaikan melalui Lembaga Alternatif

Penyelesaian Sengketa di bidang usaha pergadaian sesuai undang-

undang yang berlaku.

2. Bentuk Perlindungan Hukum yang Diberikan kepada Nasabah dalam

Perjanjian Gadai

Nasabah sebagai debitur dalam membuat dan menyetujui suatu

perjanjian gadai tentulah akan diberikan suatu perlindungan hukum yang

akan melindungi hak-hak nasabah dari perbuatan kreditur yang dapat

merugikannya (wanprestasi). Dalam hal ini perlindungan hukum diberikan

kepada nasabah berdasarkan hukum perdata dan perlindungan hukum yang

diberikan oleh pihak pegadaian berdasarkan peraturan intern dan eksternal

yang berlaku di PT. Pegadaian.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak secara jelas dan rinci

mengatur mengenai perlindungan hukum nasabah. Namun jika diteliti lebih

lanjut perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata terdapat dalam Pasal 1155 mengenai lelang

dan Pasal 1157 KUHPerdata mengenai tanggung jawab kreditur . Menurut

Pasal 1155 KUHPerdata :


“ bila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati lain, maka

jika debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya,

setelah lampaunya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah

dilakukan peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak

ada ketentuan tentang jangka waktu yang pasti, kreditur berhak

menjual barang gadainya dihadapan umum menurut kebiasaan

setempat dan dengan persyaratan yang lazim berlaku, dengan

tujuan agar jumlah utang itu dengan bunga dan biaya dapat

dilunasi dengan hasil penjualan itu. Bila gadai itu terdiri dari

barang dagangan atau dan efek-efek yang dapat diperdagangkan

dalam bursa, maka penjualannya dapat dilakukan di tempat itu

juga, asalkan dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli

dalam bidang itu”.

Menurut pasal di atas maka barang jaminan dilelang di hadapan

umum dan menurut kebiasaan dan persyaratan yang berlaku dimaksudkan

agar mendapat harga pasar yang sesuai sehingga tidak menimbulkan

kerugian bagi debitur. Setelah pelelangan dilakukan maka pemegang gadai

memberikan pertanggung jawaban tentang hasil lelang kepada pemberi

gadai.31

Dalam hal adanya kelebihan uang lelang maka harus dikembalikan

kepada debitur setelah dikurangi uang pinjaman dan sewa modal. Namun

terkadang tidak semua barang jaminan yang dilelang dapat melunasi seluruh

31
Mariam Darus Badzulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung,1997,
hlm. 93
hutang debitur sehingga apabila hasil dari lelang tidak memenuhi maka

kreditur dapat meminta debitur untuk melunasi sisa hutangnya.

Dalam Pasal 1155 KUHPerdata, kreditur memiliki hak parate

eksekusi yaitu melakukan lelang tanpa perantaraan hakim dengan terlebih

dahulu memberikan peringatan kepada debitur. Dalam hal ini debitur akan

diberikan peringatan atau somasi melalui surat ataupun telepon untuk

meminta kreditur melaksanakan kewajibannya.

Pasal 1155 KUHPerdata adalah perlindungan hukum yang

diberikan apabila pihak debitur yang melakukan wanprestasi dalam

perjanjian gadai. Sedangkan dalam Pasal 1157 KUHPerdata adalah

perlindungan hukum debitur apabila kreditur lalai dan melakukan

wanprestasi. Pasal 1157 KUHPerdata yaitu :

“kreditur bertanggung jawab atas kerugian atau susutnya barang

gadai itu, sejauh hal itu terjadi akibat kelalaiannya. Di pihak lain

debitur wajib mengganti kepada kreditur biaya yang berguna dan

perlu dikeluarkan oleh kreditur itu untuk penyelamatan barang

gadai itu.”

Selain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat undang-

undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan hukum

nasabah yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (UUPK). Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Perlindungan

Konsumen menyebutkan, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada


konsumen. Perlindungan hukum pada dasarnya merupakan pemenuhan atas

hak-hak konsumen yang seharusnya didapat oleh konsumen. Segala upaya

yang dilakukan memberikan kepastian hukum menunjukkan bahwa

perlindungan konsumen bukan hanya berorientasi terhadap ganti kerugian

maupun pemberian sanksi namun juga untuk pemberdayaan konsumen

maupun peningkatan kesadaran pelaku usaha terhadap pentingnya

perlindungan konsumen.

Pemberlakuan UUPK tidaklah menghapus ketentuan peraturan

perundang-undangan yang sebelumnya telah ada mengenai perlindungan

konsumen yang sesuai dengan Pasal 64 Ketentuan Peralihan yaitu :

“ segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang

bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-

undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak

diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan

ketentuan dalam undang-undang ini”.

Undang-Undang No.8 Tahun 1999 memberikan perlindungan

hukum kepada nasabah selaku debitur secara umum jika merasa dirugikan

oleh pihak kreditur. Terhadap penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 45

yaitu :

1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui

lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan

pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan

umum.
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau

diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak bersengketa.

3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur

dalam undang-undang.

4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila

upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh

para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa berdasarkan ayat (2) tidak menutup

kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak. Penyelesaian damai yang

dimaksud adalah penyelesaian yang dilakukan kedua belah pihak yang

bersengketa tanpa pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

dan tidak bertentangan dengan UUPK.

Namun apabila penyelesaian secara damai tidak dapat dilakukan

maka terdapat dua pilihan yang dapat dilakukan yaitu :

a. Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen

dan pelaku usaha yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

b. Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan terdapat dalam Pasal 47

yaitu :

“penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan

diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk


dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu

untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan

terulang kembali kerugian yang diderita konsumen.”

Undang-Undang Perlindungan Konsumen memperkenalkan 3

(tiga) macam penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu :

1) Arbitrase

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar

peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.32 Penyelesaian sengketa

melalui arbitrase dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, jika

para pihak mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian pokok

sengketa atau mengadakan perjanjian arbitrase setelah timbulnya sengketa

diantara mereka.

2) Konsiliasi

Penyelesaian sengketa dengan menyerahkan pihak ketiga sebagai

konsiliator yang memberikan pendapat tentang sengketa yang

disampaikan para pihak.

3) Mediasi

Merupakan penyelesaian sengketa yang fleksibel dan tidak mengikat serta

melibatkan pihak netral yaitu mediator yang memudahkan negosiasi

antara para pihak untuk mencapai kesepakatan

Penyelesaian sengketa di luar Pengadilan dapat dilakukan dengan

32
Dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa Pasal 1 ayat (1)
tahapan sebagai berikut :

Pertama : diupayakan penyelesaian melalui proses mediasi. Panel arbitrator

yang ditunjuk bertindak sebagai mediator. Apabila disepakati

penyelesaian maka solusi yang disepakati para pihak dijadikan

kompromis, dan kompromis dapat efektif menjadi award (putusan

arbitrase) yang final dan binding apabila para pihak meminta.

Kedua : jika mediasi gagal, penyelesaian ditingkatkan menjadi konsiliasi.

Apabila dengan cara mediasi sengketa gagal diselesaikan maka

atas kesepakatan bersama, pihak yang semula menjadi mediator

akan bertindak sebagai konsiliator yang mengusahakan solusi yang

dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Apabila para

pihak berhasil mencapai kesepakatan atas solusi yang dibuat oleh

konsiliator, maka kedudukannya berubah menjadi arbitrator

sehingga solusi yang diberikan meningkat menjadi award yang

bersifat final dan binding bagi para pihak. Award tersebut

memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana layaknya putusan

arbitrase.

Ketiga : jika konsiliasi gagal, penyelesaian ditingkatkan menjadi arbitrase.

Apabila konsiliasi tidak menghasilkan solusi maka proses

konsiliasi dihentikan, akan tetapi bersamaan dengan itu

penyelesaian sengketa dilanjutkan dengan proses pemeriksaan

arbitrase dan konsiliator langsung bertindak sebagai arbitrator.

Penyelesaian sengketa menghasilkan putusan arbitrase yang


bersifat final dan binding kepada para pihak.33

Apabila penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak

membuahkan hasil maka, penyelesaian sengketa dilakukan melalui

pengadilan. Dalam Pasal 48 :

“penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu

pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan

memperhatikan ketentuan pasal 45 diatas.”

Penyelesaian sengketa konsumen melalui Pengadilan hanya

dimungkinkan apabila :

(a) Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan, atau

(b) Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan

tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang

bersengketa.

Usaha- usaha penyelesaian sengketa secara cepat terhadap tuntutan

ganti kerugian oleh konsumen terhadap pelaku usaha telah dilakukan di

Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yang memberikan kemumgkinan bagi konsumen untuk

mengajukan penyelesaian sengketanya di luar pengadilan, yaitu melalui

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang putusannya dinyatakan final

dan mengikat, sehingga tidak dikenal adanya upaya banding maupun kasasi

dalam Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tersebut.

33
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta,2011, hlm.258.
Selain mengakui keberadaan peraturan perundang-undangan yang

telah ada yang bertujuan untuk melindungi konsumen, Undang-Undang

Perlindungan Konsumen juga masih memberikan ruang untuk pengaturan

atau peraturan perundang-undangan baru yang bertujuan untuk memberikan

perlindungan konsumen di Indonesia. Ketentuan umum dalam Undang-

Undang Perlindungan Konsumen dapat diterapkan terhadap ketentuan

undang-undang khusus yang mengatur perlindungan konsumen. Misalnya

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Meskipun secara khusus UU OJK telah ditentukan bagi perlindungan

konsumen di sektor keuangan namun ketentuan umum dalam UUPK dapat

digunakan untuk melindungi konsumen di sektor keuangan sepanjang sesuai

dengan pengertian konsumen dalam UUPK.

3. Perlindungan Hukum bagi Nasabah dalam Perjanjian Gadai di PT.

Pegadaian Kantor Cabang Pati

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengeluarkan peraturan

mengenai lembaga keuangan yang berada di dalam pengawasannya. Salah

satunya merupakan PT. Pegadaian, yang dituangkan dalam Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian.

Perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah dalam

perjanjian gadai menurut peraturan internal PT.Pegadaian yaitu menurut

PERDIR 41/DIR I/2017 bahwa setiap barang yang menjadi objek jaminan di
PT.Pegadaian akan diasuransikan untuk menjamin keberadaan barang

jaminan tersebut. Dalam mengansuransikan barang jaminan, PT.Pegadaian

bekerja sama dengan Sarana Janesia Utama selaku lembaga asuransi untuk

barang jaminan Kredit Cepat Aman (KCA).

Namun selain diatur di dalam peraturan internal, perlindungan

nasabah berupa asuransi barang jaminan juga diatur di dalam Pasal 22

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.31/POJK.05/2016 yaitu :

“Perusahaan pergadaian wajib mengasuransikan barang jaminan

berdasarkan hukum gadai dan barang titipan dalam rangka

memitigasi risiko”.

Hal ini didasarkan bahwa pegadaian wajib mengembalikan barang

jaminan kepada nasabah dalam kondisi fisik yang sama seperti saat

penyerahan barang (Pasal 25 ayat (1) POJK No.31/POJK.05/2016). Dalam

hal apabila pihak pegadaian selaku kreditur telah melakukan wanprestasi

yaitu menghilangkan atau merusak dan mengurangi nilai barang jaminan,

maka pihak pegadaian wajib memberikan ganti rugi. Ganti rugi tersebut

diatur dalam Pasal 25 ayat (2) yaitu :

“dalam hal barang jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

hilang atau rusak, perusahaan pergadaian wajib menggantinya

dengan :

1. Uang atau barang yang nilainya sama atau setara dengan nilai

barang jaminan pada saat barang jaminan tersebut hilang atau

rusak, untuk barang jaminan berupa perhiasan; atau


2. Uang atau barang yang nilainya sama atau setara dengan nilai

barang jaminan pada saat barang jaminan tersebut dijaminkan,

untuk barang jaminan selain perhiasan”

Ganti kerugian ini juga diatur di dalam Surat Bukti Kredit poin 4

yaitu PT.Pegadaian akan memberikan ganti kerugian apabila barang jaminan

yang berada dalam penguasaan PT.Pegadaian mengalami kerusakan atau

hilang yang tidak disebabkan oleh suatu bencana alam (force majeure) yang

ditetapkan pemerintah. Ganti kerugian diberikan setelah diperhitungkan

dengan uang pinjaman, sewa modal dan biaya lainnya (jika ada), sesuai

ketentuan penggantian yang berlaku di pegadaian.

Apabila debitur telah melakukan wanprestasi dan bersedia untuk

melelang barang jaminannya, sesuai dengan Pasal 1155 KUHPerdata untuk

melakukan penjualan barang jaminan berdasarkan hukum gadai dengan

syarat dan cara lelang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-

undangan juga diatur dalam Pasal 26 POJK No.31/POJK.05/2016.

Setelah perusahaan pegadaian selesai melakukan penjualan dan

terdapat uang kelebihan dari hasil lelang, maka perusahaan pergadaian wajib

mengembalikan uang kelebihan dari hasil penjualan barang jaminan kepada

nasabah (Pasal 27 ayat (1)) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal

lelang.
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. a. Perlindungan hukum terhadap nasabah gadai emas syariah dalam hal

terjadinya penurunan harga emas pada saat eksekusi objek jaminan dapat

dibagi menjadi dua perlindungan, yaitu perlindungan hukum secara

umum oleh undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap

nasabah dalam melakukan kegiatan transaksi dengan Bank dan

perlindungan hukum secara khusus terkait dengan perlindungan nasabah

gadai emas syariah dalam hal penurunan harga emas.

b. Perlindungan hukum secara umum yang diberikan oleh undang-undang


terhadap nasabah dalam melakukan transaksi dengan Bank adalah

Perlindungan hukum terhadap nasabah dalam bentuk pengaturan

mengenai kewajiban Bank dalam menyediakan informasi kemungkinan

timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi yang dilakukan

nasabah. Perlindungan hukum yang secara khusus memberikan

perlindungan terhadap nasabah gadai emas syariah dalam hal terjadinya

penurunan harga emas adalah perlindungan hukum secara represif.

Perlindungan hukum secara represif dapat dilakukan dengan

menyelesaikan sengketa melalui pengadilan maupun di luar pengadilan.

Mengengai penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum dapat

dilakukan oleh lembaga arbitrase antara lain adalah Badan Arbitrase

Syariah Nasional (Basyarnas).

d. Dalam Pasal 1157, nasabah yang barang jaminannya rusak atau hilang

akibat kelalaian dari pihak kreditur akan mendapatkan ganti kerugian.

Perlindungan nasabah menurut Undang-Undang Perlindungan

Konsumen diatur dalam Pasal 45 UU No. 8 Tahun 1999 yaitu nasabah

yang merasa dirugikan dapat menggugat pelaku usaha dalam hal ini

adalah pihak kreditur melalui pengadilan atau diluar pengadilan.

2. a. Manajemen risiko terhadap nasabah sebagai konsumen tercantum dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada Pasal 1155 yang

menyatakan bahwa barang jaminan yang dilelang akan dilelang

dihadapan umum dan sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga

tidak menimbulkan kerugian terhadap nasabah. Setelah proses


pelelangan dilakukan maka kreditur memberikan pertanggungjawaban

hasil lelang kepada debitur dan dalam hal terdapat kelebihan uang lelang

maka akan dikembalikan kepada debitur.

b. Bentuk manajemen risiko yang ditetapkan oleh PT. Pegadaian Kantor

Cabang Pati terdapat dalam peraturan internal yaitu PERDIR

41/DIR/I/2017 dan Pasal 22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

No.31/POJK.05/2016 dimana setiap barang yang akan dijadikan objek

jaminan akan diasuransikan berdasarkan hukum gadai untuk menjamin

keberadaan barang jaminan tersebut. Berdasarkan Pasal 25 Paraturan

Jasa Keuangan No.31/POJK.05/2016, pihak pegadaian akan mengganti

kerusakan atau kehilangan barang jaminan milik nasabah yang

disebabkan oleh kelalaian pegadaian dalam bentuk barang atau uang

yang nilainya setara dengan nilai barang jaminan yang hilang atau rusak

tersebut. Dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dan pegadaian maka

upaya yang dilakukan dapat melalui jalur litigasi maupun non litigasi.

B. SARAN DAN REKOMENDASI

1. Bagi Pihak Nasabah harus lebih berhati-hati dalam menggunakan produk

Bank. Sebelum menggunakan produk Bank atau melakukan transaksi

dengan Bank, diharapkan untuk mencari informasi yang jelas mengenai

produk tersebut dan mengetahui kemungkinan timbulnya risiko terkait

dengan produk Bank tersebut agar Nasabah terhindar dari kerugian.

2. Hendaknya nasabah yang ingin menggadaikan barang di pegadaian harus


benar-benar dapat mempertanggungjawabkan barang jaminan tersebut

sebagai hak miliknya dan bukan merupakan hasil dari kejahatan ataupun

objek sengketa sehingga tidak menimbulkan masalah di masa yang akan

datang.

3. Adanya upaya hukum yang dimiliki debitur dalam menuntut haknya sebagai

nasabah belum dipahami secara keseluruhan oleh debitur, sehingga

perlunya upaya lebih dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk

lebih cermat serta tangkas dalam melindungi dan mensosialisakannya

terhadap selaku konsumen.

4. Hendaknya sebelum nasabah menyetujui perjanjian yang dibuat oleh

PT.Pegadaian terlebih dahulu dapat membaca dan memahami isi perjanjian

tersebut secara teliti agar dikemudian hari tidak merasa dirugikan oleh

PT.Pegadaian.
Daftar Pustaka

Badzulzaman ,Mariam Darus, 1997, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,


Alumni, Bandung
Bank Indonesia. (2011). Peraturan Bank Indonesia Nomor:
13/23/PBI/2011, Jakarta: Bank Indonesia,
Darmawi, Herman (2010). Manajemen Risiko. Jakarta: Bumi Aksara.
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. (2016). Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 65 /Pojk.03/2016 Tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha
Syariah.
Fasa, M. Iqbal (2016). Manajemen Risiko Perbankan Syariah Di
Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Bisinis Islam, Vol. 1, No. 2, 36-53.
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-hak yang Memberi
Jaminan , Ind-Hill-CO, Jakarta, 2005
Fatwa DSN No. 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas
Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-hak yang Memberi
Jaminan , Ind-Hill-CO, Jakarta, 2005
H. Mardjono, Petunjuk Praktis; Menjalankan Syariat Islam dalam
Bermuamalah yang Sah Menurut Hukum Islam, Dewan Pimpinan
Pusat Bulan Bintang, Jakarta, 2000
Hanafi, M. Mamduh. (2016). Manajemen Risiko (Ed. Ke-3).Yogyakarta:
Upp Stim Ykpn.
Harga Emas Dunia, Diakses melalui www.Harga-Emas.org pada 3
September 2020
Hasan Sadily, Ensklopedi Islam, Jilid V , PT Ichtiar Van Hoove, Jakarta,
2000
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum
Jaminan,Liberty, Yogyakarta, 1984
Hasanuddin Rahman, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di
Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1955
HS, Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUHPerdata, Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2006
_______, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2014
Heri Tjandrasari, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan
UpayaPerlindungan Hukum Bagi Konsumen (online), Fakultas Hukum
Huzaimah Y. Tanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer III,
LembagaStudi Islam daan Kemasyarakatan, Jakarta, 1995
J. Khalil, Prinsip Syariah dalam Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis Vol.20,
Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2002
J. Satria, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebarangan, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1991
Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Malang, 2011
Jundiani, Pengaturan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, UIN-Malang
Press, Malang, 2009
Karim, Adiwarman. (2013). Bank Islam: AnalisisFiqh dan Keuangan.Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak
Istimewa, Gadai, dan Hipotek, Kencana, Jakarta, 2005
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Gadai (online), http://wahdahmakassar.org/Hadits%20Web%20Bukhari
%20Muslim/bukhari/Gadai.html , Diakses pada tanggal 28 Februari
2020
Lampiran SK DIR BI No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999
Mahfud, Humaira dan Dahlan.(2014). Pelaksanaan Qard Beragunan Emas
pada Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Jurnal Hukum, Vol. 2,
No.4, 35-44.
Maulidizen, Ahmad. (2016). Aplikasi Gadai Emas Syariah: Study Kasus
Pada BRI Syariah Cabang Pekanbaru. Jurnal Ekonomi Syariah, Vol.
1,No. 1, 77-89.
Megarita, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Saham Yang Digadaikan,
Medan: USU Press, 2012
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,
Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2011
Moleong, J. Lexy. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhammad Firdaus,dkk., Mengatasi Masalah dengan Pegadaian
Syariah,Reinesa, Jakarta, 2007
Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, Edisi Pertama, Salemba
Diniyah, Jakarta, 2003
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema
Insani Press, Jakarta, 2001
Muharrami, Rais Sani. (2016). Analisis Dampak Implementasi Surat Edaran
Bank Indonesia No. 14/7/Dpbs Tahun 2012 Tentang Qardh Beragun
Emas Syariah Terhadap Risiko Gadai/Rahn Emas Syariah.Jurnal Eka
Cida, Vol. 1,No. 1, 80-95
Mukti fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010
Muljadi, Kartini, dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Kekayaan : Hak
Istimewa Gadai dan Hipotek, Jakarta: Kencana, 2007
.Nadhifatul Kholifah , Topowijono , Devi Farah Azizah, Analisis Sistem dan
Prosedur Gadai Emas Syariah, 2013 (Online),
http://www.administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id/index.../393,
Diakses pada tanggal 28 Februari 2020
Narbuko, Cholid dan Abu Ahmadi. 2004. Metode Penelitian. Jakarta:
Bumi Aksara.
Otoritas Jasa Keuangan. (2016). Booklet Perbankan Indonesia.Diunduh
pada 4 September 2020 melalui www.ojk.go.id.
Peraturan bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian
pengaduan Nasabah
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2002
Putra, Nusa. 2012. Penelitian Kualitatif Proses dan Aplikasi. Jakarta: PT
Indeks
Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012
Sahal, Lutfi. (2015). IMPLEMENTASI “Al-’Uqud Al-Murakkabah” Atau
“Hybrid Contracts”(Multi Akad) Gadai Emas Pada Bank Syariah
Mandiri Dan Pegadaian Syariah. Jurnal Studi Ekonomi, Vol. 6, No.
2, 141-162.
Satrio, J, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2006
Sergio, Marcelo, Dan Paulo (2015). Performence Of Conditional Model In
Gold Risk Management. Journal Of Economi And Finance, Vol. 82,
No. 3, 648-658.
Siregar, Tampil Anshari, Metodologi Penelitian Hukum, Medan: Multi
Grafik, 2005
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata Hukum Benda, Bandung:
Liberty, 1981
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT.Grafindo
Persada, 2003
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbS tanggal 29 Februari 2012
tentang Produk Qardh Beragun Emas bagi Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah
Tasriani dan Irfan, Andi.(2015). Penerapan Dan Pengelolaan Manajemen
Risiko (Risk) Dalam Industri Perbankan Syariah: Study Pada Bank
BUMN Dan Bank Non BUMN.Jurnal Sosial Budaya, Vol. 12, No. 1,
103-113.
Tim kerja, Penelitian hukum tentang aspek hukum pertanggung jawaban
bank\terhadap nasabah, proyek kerjasama Bank indonesia dengan
BPHN Departemen Kehakiman-RI, Jakarta, 1995
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Universitas Indonesia MaPPI-FHUI, www.pemantauperadilan.com , Diakses
pada tanggal 24 Februari 2020
Usanti , Trisadini Prasastinah (2015). Pengelolaan Risiko Pembiayaan Di
Bank Syariah.Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 2, 409-425.
W. Creswell, John. (2015). Research design: Pendekatan kualitatif,
kuantitatif & mixed (Ed. Ke-3). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yusuf, A. Muri. (2014). Metode penelitian: Kuantitatif, kualitatif &
penelitian gabungan. Jakarta: Kencana.
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Zeni, Rachmi, Dan Widyanti, Eka Yenni.(2014). Penerapan Peraturan Bank
Indonesia No:13/23/Pbi/2011 Tentang Manajemen Risiko Bagi Bni
Syariah Pada Produk Gadai Emas (Studi Di Bni Syariah Cabang
Malang). Jurnal Hukum, 2-18.

Anda mungkin juga menyukai