Anda di halaman 1dari 3

Nama : Kevin Gilbert Sianturi

Nim : 3193111004
Kelas : PPKn Reg D 2019

PENGHAPUSAN TINDAK PIDANA


Membunuh Begal dan Pembelaan Terpaksa
Kasus kriminalisasi pembelaan diri yang berujung pada hilangnya nyawa kembali terjadi. ZA
(17), mahasiswa Malang, dinyatakan bersalah melakukan penganiyaan yang menyebabkan
kematian (Pasal 351 ayat 3 KUHP) dan divonis 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri
Kepanjen sesuai dengan UU Peradilan Anak. Menurut hakim, ZA terbukti menikam dan
membunuh seorang perampok bernama Misnan (35). Penusukan ini bermula saat Misnan dan
komplotannya menghadang ZA yang sedang menunggangi pacarnya (8/9/2019). Geng
kemudian meminta paksa barang-barang berharga dan mengancam akan memperkosa teman
ZA. Demi membela diri dan temannya, ZA mengambil pisau dari jok motornya dan terlibat
perkelahian, hingga akhirnya ZA menusuk dada Misnan. Anggota geng lainnya kemudian
melarikan diri dan keesokan harinya Misnan ditemukan tewas.
Pembelaan kasus serupa sebenarnya terjadi di Bekasi pada 2018. Dalam kasus ini,
Muhammad Irfan Bahri (19 tahun) juga terlibat duel dengan dua orang perampok (AS, IY)
yang berusaha merampas telepon genggamnya dan temannya serta menyabet Irfan dengan
sabit. Namun, duel tersebut akhirnya dimenangkan oleh Irfan hingga perampok terakhir
terluka parah.
Berbeda dengan kasus ZA, kasus Irfan tidak disidangkan di pengadilan. Dia hanya ditetapkan
sebagai tersangka, dan polisi kemudian mengklarifikasi hal ini hanya sebagai saksi. Tak
hanya itu, Irfan juga mendapat penghargaan dari Kapolres Bekasi atas perilaku bela diri yang
menginspirasi. Dua kasus serupa ini memiliki argumentasi pembelaan diri, namun berujung
pada cara penegakan hukum yang berbeda.
Sebenarnya, kedua kasus ini bukan satu-satunya kasus dengan bentuk penegakan hukum yang
berbeda. Beberapa kasus pencurian, perampokan, atau duel yang menyebabkan kematian
seseorang juga menggunakan dalil pembelaan diri, namun kasus-kasus tersebut berakhir
dengan hukuman penjara bagi pelakunya. Bagaimana ini terjadi? Apakah hukum pidana
memang memiliki standar yang berbeda atau haruskah setiap kasus tidak dipandang sama?
Untuk menghindari prasangka dan mengembangkan pemahaman tentang masalah ini, konsep
pembelaan diri dalam hukum pidana harus dipahami sepenuhnya.
Alasan Penghapusan
Pada prinsipnya jika dua syarat terpenuhi, seseorang akan dipidana (penjara, denda, dan lain-
lain), yaitu: pertama, perbuatan itu merupakan kejahatan; kedua, pelaku bersalah. Rumus
sederhananya adalah perilaku kriminal + perilaku ilegal = hukuman pidana. Ketika
membuktikan tindak pidana dan pelakunya bersalah, keadaan atau peristiwa tertentu dapat
menghilangkan atau meniadakan masing-masing persyaratan tersebut. Jika situasi atau
peristiwa tersebut ada, terjadi, dan dapat dibuktikan, maka tentu saja tidak dapat dikenakan
kepada pelakunya. Keadaan atau kejadian inilah yang disebut dengan dasar penghapusan
kejahatan. Konsep pembelaan diri terkait dengan alasan penghapusan pidana ini.
Pembelaan diri adalah suatu keadaan atau peristiwa yang dapat menghilangkan suatu
kejahatan, dapat menghilangkan sifat melawan hukum sebagai pembenaran, atau
menghilangkan kejahatan pelaku sebagai alasan pengampunan. Pertanyaan selanjutnya
adalah, apa parameter pembelaan diri untuk menghilangkan alasan kejahatan? Titik tolak
parameter pembelaan diri adalah Pasal 49 KUHP. Artikel ini tidak hanya membahas
pertahanan diri, tetapi juga orang lain. Menurut konsep hukum pidana, pembelaan dalam
pasal ini meliputi dua bentuk, yaitu pembelaan darurat (noudweer) dalam Pasal 49(1) dan
noudweer over the limit dalam Pasal 49(2) ) ). Kedua peraturan ini berbeda dalam
penghapusan kejahatan; jika pertahanan darurat adalah alasan yang sah, maka pertahanan
darurat yang melampaui batas adalah alasan, karena pertahanan tersebut memiliki faktor
dampak mental yang besar.
Kesalahan pelaku dalam hal ini dimaafkan, bukan yang dibenarkan. Menilai syok mental
pada peristiwa tertentu memerlukan penilaian psikolog atau psikiater. Berbeda dalam menilai
pertahanan darurat biasa. Mengenai pertahanan darurat, parameternya terletak pada dua
elemen utama, yaitu elemen serangan dan elemen pertahanan. Pertama, unsur serangan atau
ancaman serangan. Serangan atau ancaman tersebut harus terjadi segera (pada saat yang
bersamaan), tidak boleh untuk serangan yang diharapkan di masa yang akan datang, dan tidak
boleh pada saat serangan telah berakhir. Misalnya, perangkap senjata dipasang untuk pencuri.
Jebakan ini tidak bisa diartikan sebagai pertahanan darurat, karena ini bukan serangan instan.
Selain itu, jika serangan atau situasi yang mengancam sudah tidak ada lagi, maka argumen
pertahanan darurat tidak dapat digunakan. Misalnya, penyerang tidak berdaya karena
pembelaannya, tetapi masih dipukuli atau ditikam. Oleh karena itu, pemukulan dan
penusukan yang dilakukan setelah pelaku tidak berdaya tidak dapat disebut sebagai
pembelaan darurat. Serangan atau ancaman ini juga melawan hukum atau dengan kata lain
mengarah pada suatu tindak pidana. Jika ruang lingkup yang dilindungi adalah diri
sendiri/orang lain (tubuh atau jiwa), kesusilaan, dan harta benda, maka tindakan penyerangan
itu mengarah pada tindak pidana yang secara konkret terdiri dari penyiksaan, pembunuhan,
pencabulan, pemerkosaan, dan pencurian (perampokan).
Yang kedua adalah unsur pembelaan. Pembelaan itu hanya untuk kepentingan diri sendiri dan
orang lain (tubuh dan nyawa), dan menyangkut kehormatan harkat dan martabat serta harta
benda. Pertahanan yang terjadi bersifat wajib, artinya tidak ada cara lain untuk menolak
serangan atau ancaman serangan. Untuk menilai sifat pembelaan ini, berdasarkan pemahaman
doktrin para ahli (Van Hatum, Andi Hamzah, Satochid Kartanegara), digunakan asas
proporsionalitas atau asas subsidiaritas.
Prinsip ini menentukan keseimbangan antara kepentingan sah yang dilindungi dari serangan
dan kepentingan sah yang dilanggar oleh pembela, atau keseimbangan antara cara pembelaan
berlangsung dan cara penyerangan. Jika ada metode pertahanan lain untuk menahan
serangan/ancaman, maka pembela tidak boleh memilih metode yang paling parah untuk
mengorbankan kerugian yang lebih besar bagi penyerang.
Misalnya, menembak atau menusuk titik vital pencuri jemuran dan menyebabkan kematian,
itu bukan tindakan proporsional. Menembak atau menusuk jelas bukan pertahanan darurat.
Aparat penegak hukum harus bisa menerapkan prinsip proporsionalitas/subsidiaritas terhadap
kasus pembelaan seperti ZA dan Irfan sebagai parameter pembuktian, tidak hanya
berdasarkan unsur pasal yang disangkakan atau didakwakan. Pengumpulan barang bukti
berdasarkan prinsip ini secara publik dapat menjaga objektivitas dan independensi aparat
penegak hukum, serta dapat mencegah publik dari pandangan yang sempit dan hanya
membaca komentar media tentang kepahlawanan tanpa pemahaman yang jelas tentang fakta
kasus.
Penggalian fakta dengan menerapkan asas proporsionalitas/subsidiaritas tentu lebih adil
dibandingkan penetapan tersangka/terdakwa dan pembuktian semata berdasarkan pengenaan
pasal pembunuhan atau penganiayaan. Fakta pembelaan dan fakta setiap penyerangan harus
dibuktikan, ditimbang, dan dinilai sedemikian proporsional, agar tidak mencederai keadilan
dan menimbulkan polemik di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai