Anda di halaman 1dari 41

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR


Kantor : Jl. Sultan Alauddin No. 259 Gedung Iqra Lt. IV Telp. (0411) 851914 Makassar 90223

KARTU KONTROL BIMBINGAN

Nama : Nasrullah
NIM : 105261106718
Fakultas/ Jurusan : Agama Islam / Ahwal Asy Syakhshiyyah
Judul : Analisis Fatwa Tarjih Tentang Perceraian Di Luar
Sidang Pengadilan Agama Di Tinjau Dari Ushul
Fiqhi

Pembimbing I : Dr. Abbas Baco Miro, Lc., MA.


No. Hari/Tanggal Uraian Perbaikan Paraf

Dalam pembimbingan minimal 3 kali bimbingan untuk mengikuti ujian seminar Proposal .

Makassar, 19 Rajab 1443 H


20 Februari 2022 M

Ketua Prodi,

Hasan bin Juhanis, Lc., M.S


NIDN : 0911047703
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
Kantor : Jl. Sultan Alauddin No. 259 Gedung Iqra Lt. IV Telp. (0411) 851914 Makassar 90223

KARTU KONTROL BIMBINGAN

Nama : Nasrullah
NIM : 105261106718
Fakultas/ Jurusan : Agama Islam / Ahwal Asy Syakhshiyyah
Judul : Analisis Fatwa Tarjih Tentang Perceraian Di Luar
Sidang Pengadilan Agama Di Tinjau Dari Ushul
Fiqhi

Pembimbing I : Rapung, Lc., M.H.I.


No. Hari/Tanggal Uraian Perbaikan Paraf

Dalam pembimbingan minimal 3 kali bimbingan untuk mengikuti ujian seminar Proposal .

Makassar, 19 Rajab 1443 H


20 Februari 2022 M

Ketua Prodi,

Hasan bin Juhanis, Lc., M.S


NIDN : 0911047703
ANALISIS FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH TENTANG
PERCERAIAN DI LUAR SIDANG PENGADILAN AGAMA DI TINJAU
DARI USHUL FIQHI

PROPOSAL

Diajukan untuk memenuhi Salah Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
(S.H) Pada Jurusan Ahwal Asy Syakhshiyyah
Fakultas Agam Islam Universitas Muhammadiyah Makassar

NASRULLAH
105261106718

PROGRAM STUDI AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH


FAKULTAS GAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
1443 H/ 2022 M
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Judul Proposal : Analisis Fatwa Tarjih Tentang Perceraian Di Luar Sidang


Pengadilan Agama Di Tinjau Dari Ushul Fiqhi
Nama : Nasrullah
NIM : 105261106718
Fakultas/Prodi : Agama Islam/ Ahwal Asy Syakhshiyyah

Setelah dengan saksama memeriksa dan meneliti, maka Proposal ini


dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diujikan di depan Tim Penguji ujian
Proposal pada Prodi Ahwal Asy Syakhshiyyah Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Makassar

Makassar, 19 Rajab 1443 H


20 Februari 2022 M

Disetujui Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Abbas Baco Miro, L.c., MA. Rapung, Lc., M.H.I.


NIDN : 0918107701 NIDN :
DAFTAR ISI

SAMPUL ................................................................................................................. i
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................3
C. Tujuan Kajian ...............................................................................................3
D. Mamfaat Kajian ............................................................................................3
E. Metodologi Penelitian ..................................................................................4
1. Desain Penelitian .....................................................................................4
2. Data dan Sumber Data .............................................................................7
3. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................8
4. Teknik Analisis Data ...............................................................................9

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

A. Perceraian Dalam Islam .............................................................................11


1. Pengertian dan Ketentuan Perceraian ....................................................11
2. Dasar Hukum dan Hukum Perceraian ...................................................14
3. Rukun dan Syarat Perceraian .................................................................16
4. Alasan dan Faktor Perceraian ................................................................18
5. Akibat Perceraian Terhadap Istri dan Anak ..........................................23
6. Tujuan Perceraian ..................................................................................25

BAB III FATWA TARJIH TENTANG PERCERAIAN DI LUAR SIDANG


PENGADILAN AGAMA

A. Profil Majelis Tarjih Muhammadiyah ........................................................26


B. Struktur Organisasi Muhammadiyah Pusat ................................................29
C. Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah Tentang Perceraian Di Luar Sidang
Pengadilan Agama .....................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................35


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan
merupakan yang sangat penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan
adanya Pernikahan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan
norma agama dalam kehidupan bermasyarakat.1

Pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang


sakinah, mawaddah, dan rahmah. tujuan Pernikahan dalam Islam selain untuk
memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk
membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah dan memelihara serta
meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini juga mencegah
perzinaan, agar tercipta ketenangan dan ketenteraman jiwa bagi yang
bersangkutan, ketenteraman keluarga dan masyarakat.2

Suatu ikatan Pernikahan mempunyai satu visi misi yang sama, satu dengan
yang lain sebagai unsur perekat dan penyatu dalam membangun rumah tangga
yang sakinah, mawaddah da rahmah.3 Hal ini dinyatakan dalam firman Allah:

               

     

1
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006), 1
2
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No.
1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), 26-27.
3
Linda Azizah, “Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam”, dalam Jurnal Al-
„Adalah, Vol. X, No. 4 Juli 2012, (415-422), 415.

1
2

Terjemahan ;

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu


isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.

Setiap usaha untuk menyepelekan hubungan Pernikahan dan


melemahkannya agama perceraian itu sangat dibenci oleh Allah Swt.4 Kehidupan
dalam sebuah Pernikahan merupakan suatu tujuan yang sangat diutamakan dalam
Islam. Akad nikah diadakan untuk selamanya dan seterusnya agar suami istri
dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung, menikmati curahan
kasih sayang, dan dapat memelihara anakanaknya sehingga mereka tumbuh
dengan baik yang dapat menunjukkan tentang kesuciannya yang begitu agung
selain Allah SWT.5

Setiap usaha untuk menyepelekan dan melemahkan hubungan Pernikahan


sangat dibenci oleh Islam, karena merusak kebaikan dan menghilangkan
kemaslahatan antara suami dan istri. Oleh karena itu, apabila terjadi perselisihan
antara suami istri sebaiknya diselesaikan dengan baik-baik, jangan sampai terjadi
perceraian.6

Adapun bentuk-bentuk perceraiannya dapat berupa cerai talak ataupun cerai


gugat. Dengan demikian hak untuk memutuskan Pernikahan melalui perceraian
tidak lagi menjadi monopoli suami, tetapi istri juga diberi hak untuk mengajukan
gugat cerai. Namun untuk mengajukan gugat cerai tersebut harus ada cukup
alasan (alasan yang jelas) yang mendukung diajukannya gugatan tersebut. Pada
dasarnya perceraian merupakan jalan terakhir yang ditempuh setelah ikhtiar dan
segala daya upaya yang telah dilakukan guna memperbaiki kehidupan Pernikahan
dan ternyata tidak ada jalan lain lagi selain jalan perceraian.

4
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pengadilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 102
5
Latif Djamil, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 3
6
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang Undang Perkawinan, (Yogyakarta:
Liberty, 2004), h. 103-105
3

Talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir, sebagai “pintu darurat”


yang boleh ditempuh, manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi
dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Sifatnya sebagai alternatif
terakhir, Islam menunjukan agar sebelum terjadinya talak atau perceraian,
ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, baik hakam dari
kedua belah pihak, atau melalui langkah-langkah lainnya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan


penelitian hukum mengenai perceraian di luar pengadilan menurut Putusan Tarjih
Muhammadiyah dan Kaitannya Dengan Ushul Fiqh.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan focus penelitian di atas, maka peneliti
dapat merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Fatwa Tarjih Muhammadiyah mengenai perceraian diluar


pengadilan ?
2.Bagaimana Fatwa Tarjih Tentang Perceraian Di Luar Sidang Pengadilan
Agama Di Tinjau Dari Ushul Fiqhi ?
C. Tujuan Kajian

Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Mengetahui Bagaimana Fatwa Tarjih Muhammadiyah mengenai


perceraian diluar pengadilan.
2. Mengetahui Bagaimana Fatwa Tarjih Tentang Perceraian Di Luar Sidang
Pengadilan Agama Di Tinjau Dari Ushul Fiqhi
D. Mamfaat Kajian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Secara Teoritis
1) Menambah khazanah keilmuan yang dapat berguna bagi pengembangan
ilmu hukum syariah.
4

2) Sebagai acuan untuk penelitian serupa di masa yang akan datang serta
dapat dikembangkan lebih lanjut demi mendapatkan hasil yang sesuai
dengan perkembangan zaman
b) Secara Praktis
1) Penelitian ini diharapkan sebagai tambahan wawasan pengalaman dan
pengetahuan yang lebih luas mengenai Fatwa Tarjih Muhammadiyah
mengenai perceraian di luar pengadilan dan kaitannya dengan ushul
Fiqh.
2) Penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi peneliti khususnya
dan bagi masyarakat pada umumnya dalam perceraian di luar
pengadilan.
E. Metodologi Penelitian
1. Desain Penelitian
a. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis riset kepustakaan (library research).


Apa yang disebut dengan riset kepustakaan atau sering juga disebut studi
pustaka, ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian.7 Sedangkan menurut Mahmud dalam bukunya Metode
Penelitian Pendidikan menjelaskan bahwa penelitian kepustakaan yaitu
jenis penelitian yang dilakukan dengan membaca buku-buku atau majalah
dan sumber data lainnya untuk menghimpun data dari berbagai literatur,
baik perpustakaan maupun di tempat-tempat lain. Dari penjelasan di atas
dapat dipahami bahwa penelitian kepustakaan tidak hanya kegiatan
membaca dan mencatat data-data yang telah dikumpulkan. Tetapi lebih
dari itu, peneliti harus mampu mengolah data yang telah terkumpul dengan
tahap-tahap penelitian kepustakaan.
Dalam penelitian ini penulis menerapkan metode penelitian
kepustakaan karena setidaknya ada beberapa alasan yang mendasarinya.

7
Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2011), h. 95-96
5

Pertama bahwa sumber data tidak melulu bisa didapat dari lapangan.
Adakalanya sumber data hanya bisa didapat dari perpustakaan atau
dokumen-dokumen lain dalam bentuk tulisan, baik dari jornal, buku
maupun literatur yang lain. Kedua, studi kepustakaan diperlukan sebagai
salah satu cara untuk memahami gejala-gejala baru yang terjadi yang
belum dapat dipahami, kemudian dengan studi kepustakaan ini akan dapat
dipahami gejala tersebut. Sehingga dalam mengatasi suatu gejala yang
terjadi,
b. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sebab sumber
data maupun hasil penelitian dalam penelitian kepustakaan (library
research) berupa deskripsi kata-kata.
Moleong mengungkapkan sebelas karakteristik penelitian kualitatif,
yaitu: berlatar alamiah, manusia sebagai alat (instrumen), menggunakan
metode kualitatif, analisa data secara induktif, teori dari dasar/grounded
theory (menuju pada arah penyusunan teori berdasarkan data), data bersifat
deskriptif (data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan
angka-angka), lebih mementingkan proses dari pada hasil, adanya batas
yang ditentukan oleh fokus, adanya kriteria khusus untuk keabsahan data,
dan desain yang bersifat sementara (desain penelitian terus berkembang
sesuai dengan kenyataan lapangan), hasil penelitiaan dirundingkan dan
disepakati bersama (hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama
antar peneliti dengan sumber data). Dari kutipan ini dapat dipahami bahwa
penulis menekankan akan pentingnya proses dalam penelitian
dibandingkan hasilnya. Secara umum pendekatan penelitian kualitatif pada
studi kepustakaan sama dengan penelitian kualitatif yang lain. Yang
menjadi perbedaan hanyalah sumber data atau informasi yang dijadikan
sebagai bahan penlitian.
Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang
mendalam, suatu data yang mengandung makna. Penulis dalam penelitian
ini akan menggali makna dari informasi atau data empirik yang didapat
6

dari buku-buku, hasil laporan penelitian ilmiah atau pun resmi maupun
dari literatur yang lain.
c. Tahap Tahap Penelitian Pustaka
Adapun tahap-tahap yang harus ditempuh penulis dalam penelitian
kepustakaan adalah sebagai berikut:
1) Mengumpulkan bahan-bahan penelitian. Karena dalam penelitian
ini adalah penelitian kepustakaan, maka bahan yang dikumpulkan
adalah berupa informasi atau data empirik yang bersumber dari
Kitab kitab Arab, buku-buku, jurnal, hasil laporan penelitian resmi
maupun ilmiah dan literatur lain yang mendukung tema penelitian
ini.
2) Membaca bahan kepustakaan. Kegiatan membaca untuk tujuan
penelitian bukanlah pekerjaan yang pasif. Pembaca diminta untuk
menyerap begitu saja semua informasi “pengetahuan” dalam bahan
bacaan melainkan sebuah kegiatan „perburuan‟ yang menuntut
keterlibatan pembaca secara aktif dan kritis agar bisa memperoleh
hasil maksimal. Dalam membaca bahan penelitian, pembaca harus
menggali secara mendalam bahan bacaan yang memungkinkan
akan menemukan ide-ide baru yang terkait dengan judul penelitian.
3) Membuat catatan penelitian. Kegiatan mencatat bahan penelitian
boleh dikatakan tahap yang paling penting dan barang kali juga
merupakan puncak yang paling berat dari keseluruhan rangkaian
penlitian kepustakaan. Kerena pada akhirnya seluruh bahan yang
telah dibaca harus ditarik sebuah kesimpulan dalam bentuk laporan.
4) Mengolah catatan penelitian. Semua bahan yang telah dibaca
kemudian diolah atau dianalisis untuk mendapatkan suatu
kesimpulan yang disusun dalam bentuk laporan penelitian.
Penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian pustaka (library
research) karena dalam penelitian ini, peneliti menelaah tentang perceraian
di luar siding pengadilan dan kaitannya dengan Ushul Fiqh.
7

2. Data dan Sumber Data


Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan atau library
research. Maka sumber data bersifat kepustakaan atau berasal dari berbagai
literatur, di antaranya buku, jurnal, surat kabar, dokumen pribadi dan lain
sebagainya.8 Untuk lebih jelasnya, maka sumber data dalam penelitian ini
dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder, dengan uraian
sebagai berikut:
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber data pokok yang langsung
dikumpulkan peneliti dari objek penelitian.9 Adapun sumber primer dalam
penelitian ini adalah buku yang menjadi objek dalam penelitian ini, yakni
Kitab kitab Turats (Fiqhi).
Penulis memilih Kitab Turats ini karena ada beberapa alasan.
Pertama, penulis ingin mengungkapkan hukum perceraian di luar
pengadilan. Kedua, penulis ingin mencari kaitan antara perceraian di luar
pengadilan dengan qaidah ushul fiqh. Ketiga, dalam penelitian ini peneliti
ingin mendalami hasil keputusan Fatwa Tarjih Muhammadiyah.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah sumber data tambahan yang menurut
peneliti menunjang data pokok.10 Adapun sumber sekunder pada penelitian
ini adalah buku-buku lain yang mengkaji tentang perceraian
Buku-buku yang masuk sebagai sumber sekunder dijadikan sebagai
pendukung data primer. Artinya buku ini berposisi sebagai pendukung
buku primer untuk menguatkan imformasi yang diperoleh dari Kitab
Turats. Sumber data sekunder tersebut salah satunya adalah Terjemahan
Kitab atau buku buku yang terkait dengan perceraian.

8
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R & D, (Bandung: Alfabeta, 2016), h.
137
9
Ranny Kautur, Metode Penelitian untuk Penelitian Skripsi danTesis, (Bandung : Taruna
Grafika, 2000), h. 38.
10
Burhan Ashafa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h. 103
8

c. Sumber Tertier
Bahan tertier adalah bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan
primer dan sekunder.11 Bahan tertier pada penelitian ini di antaranya yaitu
yaitu kamus dan bahan dari internet yang berkaitan dengan perceraian
diluar siding pengadilan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data berkaitan dengan sumber data. Teknik
pengumpulan data yaitu berupa cara yang digunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan dan menggali data yang bersumber dari sumber data primer
dan sumber data sekunder. Oleh karena sumber data berupa data data tertulis,
maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
dokumentasi.
Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang berarti catatan peristiwa
yang sudah berlalu yang bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya
monumental dari seseorang. Atau dengan kata lain, dokumen adalah tulisan,
gambar atau karya-karya yang monumental yang berisi suatu ide tertentu.
Atau gampangnya adalah suatu pikiran atau gagasan yang dituangkan dalam
bentuk tulisan, gambar maupun dalam bentuk karya yang lain.
Kemudian, teknik dokumentasi adalah suatu cara yang dilakukan
dengan mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan,
transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, leger, agenda,
dan sebagainya. Teknik dokumentasi berarti cara menggali dan menuangkan
suatu pemikiran, ide atau pun gagasan dalam bentuk tulisan atau dalam
bentuk gambar maupun karya-karya yang lain
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara
dokumentasi karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan.
Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang sumber data empirik yang
primer maupun sekunder berasal dari kitab kitab, buku-buku, dokumen-
dokumen, jurnal, atau literatur-literatur yang lain.

11
Burhan Ashafa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h. 103
9

Teknik dokumentasi digunakan untuk menggali dan mengumpulkan


data dari sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan permasalahan dalam
penelitian ini. Data primer atau sumber utama adalah berasal kitab kitab
Turats. Kemudian untuk pengumpulan data penunjang atau pelengkap,
diperoleh dengan menggali data dari buku-buku lain yang berhubungan
dengan masalah penelitian. Dalam teknik dokumentasi ini, penulis akan
menerapkan beberapa langkah, yaitu sebagai berikut :
1) Membaca sumber data primer maupun sumber data sekunder.
2) Membuat catatan yang berkaitan dengan penelitian dari sumber data
primer maupun sekunder tersebut.
3) Mengolah catatan yang sudah terkumpul
4. Teknik Analisis Data
a. Analisis Konten
Analisis konten (content analysis) atau kajian isi adalah metodologi
penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik
kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen.12 analisis konten
adalah suatu cara penelitian dengan tahapan tertentu untuk mengambil inti
dari suatu gagasan maupun informasi yang kemudian ditarik sebuah
kesimpulan.
Penulis menggunakan teknik analisis data berupa analisis konten
(content analysis) karena jenis penelitian ini adalah jenis penelitian
kepustakaan, di mana sumber datanya adalah berupa buku dan dokumen-
dokumen maupun literatur dalam bentuk yang lain. Dalam analisis ini,
pnulis akan meneliti beberapa kitab kitab dan juga termasuk buku buku
pendukung dengan berbagai tahap antara lain :
1. Unitizing (peng-unit-an)
2. Sampling (pe-nyamling-an)
3. Recording/coding (perekaman/koding).
4. Reducing (pengurangan) data atau penyederhanaan data.

12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009,
hlm 220
10

5. Abductively inferring (pengambilan simpulan) bersandar kepada


analisa konstuk dengan berdasar pada konteks yang dipilih.
6. Naratting (penarasian) atas jawaban dari pertanyaaan penelitian
b. Analisis Deskriptif
Metode deskriptif analitik adalah metode dengan cara menguraikan
sekaligus menganalisis. Dengan menggunakan kedua cara secara bersama
sama maka diharapkan objek dapat diberikan makna secara maksimal.13
Maka pada analisis ini penulis akan menganalisis beberapa kitab yang
berkaiatan dengan masalah perceraian termasuk Fatwa Tarjih
Muhammadiyah dan menarik sebuah kesimpulan serta mendeskripsikan
dalam beberapa penjelasan.
c. Analisis Eksegesisi
Analisis Eksegesisi adalah eksposisi, pengungkapan, penjelasan dari
sebuah teks berdasarkan analisa analisa yang seksama dan obyektif. Kata
eksegesis secara harfiah bermakna menuntun atau menarik keluar dari
sebenarnya. Maksudnya ialah kesimpulan tersebut berasal dari seorang
penafsir yang dalam hal ini adalah penulis. Analisis ini dikaitkan dengan
menemukan kebenaran makna dari sebuah teks, dengan memperhatikan
seksama tata bahasa, hubungan kata, dan latar belakang.

13
Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian: Kajian Budaya Dan Ilmu Sosoal
Humaniora Pad Umumnya, Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 336
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

A. Perceraian Dalam Islam


1. Pengertian dan Ketentuan Perceraian

Perceraian dalam Islam dikenal dengan istilah talak, semakna dengan


kata talak itu adalah al-irsâI atau tarku, yang berarti melepaskan dan
meninggalkan. Yaitu melepaskan tali perkawinan mengakhiri hubungan
suami isteri.1 Talak bukanlah sebuah larangan, namun sebagai pintu terakhir
dari rumah tangga, ketika tidak ada jalan keluar lagi.

Secara etimologi berarti, membuka ikatan, baik ikatan nyata seperti


ikatan kuda atau ikatan tawanan atau ikatan ma’nawi seperti ikatan
pernikahan yaitu antara suami dan istri. Menurut syara’ yang dimaksud talak
ialah memutuskan tali perkawinan yang sah, baik seketika atau dimasa
mendatang oleh pihak suami dengan mengucapkan kata-kata tertentu atau
cara lain yang menggantikan kedudukan kata-kata tersebut.

Ikatan pernikahan berakhir dengan perceraian, apakah disebabkan oleh


sikap suami atau sikap istri. Pasangan suami istri yang tidak cocok lagi untuk
melanjutkan rumah tangganya dan telah menerima untuk bercerai, telah
memberikan pendapat yang negative bukan hanya terhadap anak-anak,
bahkan termasuk mantan suami istri serta terhadap masyarakat.2

Imam Nawawi dalam bukunya tahdzib memiliki pemahaman bahwa


talak adalah tindakan orang terkuasai terhadap suami yang terjadi tanpa sebab
kemudian memutus nikah. Lafal talak telah ada sejak zaman Jahiliah. Syara’
datang untuk menguatkannya bukan secara spesifik atas umat ini. penduduk
jahiliah menggunakannya ketika melepas tanggungan, tetapi dibatasi tiga kali.

1
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat II, (Bandung: CV. Pustaka Setia
1999), h. 9.
2
Darmawati, “Perceraian Dalam Perspektif Sosiologi”, Jurnal Wawasan Keislaman Uin
Alaudin, Vol. 11 No. 1, 2017. H. 1

11
12

Putusnya sebuah perkawinan tidak hanya terjadi melalui talak yang


dijatuhkan oleh seorang suami, perkawinan dapat putus melalui sebab lain di
antaranya sebagai berikut:

a. Talak

Talak dibagi kedalam dua macam, sebagai berikut:

1) Talak Raj‟i, adalah suatu talak dimana suami memiliki hak untuk
meurujuk isteri tanpa kehendaknya. Dan talak raj’i ini diisyaratkan
pada isteri yang telah digauli. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada
isteri sebagai talak satu atau dua, yang diikrarkan di depan sidang
pengadilan, dan suami diperbolehkan meruju’nya bila masih dalam
masa iddah, tanpa diharuskan nikah baru.3
2) Talak Ba‟in secara etimologi, ba’in adalah nyata, jelas, pisah atau
jatuh, yaitu talak yang terjadi karena isteri belum digauli oleh
suami, atau karena adanya bilangan talak tertentu (tiga kali), dan
atau karena adanya penerimaan talak tebus (khulu), meskipun ini
masih diperselisihkan fuqaha, apakah khulu‟ ini talak atau fasah.4
Talak ba’in dibagi menjadi dua macam:
a) Ba’in sugra adalah talak yang menhilangkan hak-hak rujuk
dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah
baru (tajdid an-nikah) kepada bekas isterinya.
b) Ba‟in kubra adalah talak yang mrnghilangkan hak suami
untuk menikah kembali kepada isteri nya, kecuali kalau
bekas isterinya telah kawin dengan laki-laki lain dan telah
berkumpul sebagai mana suami isteri secara nyata dan sah.

3
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Pernikahan Islam, (Yogyakarta: UII Pres, 2004), h. 80
4
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah, Terj. Ansori Umar Sitanggal
“Fiqih Wanita”, (Semarang: CV Asy- Syifa, 1986), h. 411
13

b. Khulu’

Khulu‟ berasal dari kata “khulu‟ al-saub” yang berarti melepaskan


atau mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah pakaian
bagi laki-laki, dan juga sebaliknya. Khulu‟ adalah salah satu bentuk
perceraian dalam Islam yang berarti manghilangkan atau mengurungkan
akad nikah dengan kesediaan isteri membayar uang „iwad atau uang
pengganti kepada suami dengan pernyataan cerai atau khulu.

c. Fasakh

Fasakh menurut bahasa berarti memisahkan atau memutuskan.


Adapun fasakh menurut istilah adalah memutuskan pernikahan
5
berdasarkan syarat-syarat tertentu dengan syariat.

d. Li’an

Li‟an secara etimologi berarti laknat atau kutukan. Sementara secara


terminologi adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika menuduh
isterinya berzina dengan empat kali sumpah dan menyatakan bahwa dia
adalah termasuk orang yang benar dalam tuduhan, dan pada sumpah
kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedi menerima laknat/kutukan
Allah jika ia dusta dalam tuduhannya. Bila suami melakukan li‟an kepada
isterinya, sedangkan isterinya tidak menerima, maka isteriboleh
melakukan sumpah li‟an juga terhadap suaminya.6

e. Ila’

Ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. dalam


kalangan bangsa arab jahiliyah perkataan ila‟ mempunyai arti khusus
dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak
mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri
tidak di-talaq ataupun diceraikan, sehingga kalau keadaan ini berlangsung

5
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006),
h. 197.
6
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), h. 238.
14

berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karna keadannya


terkatung-katung dan tidak ada ketentuan yang pasti.

f. Kematian

Putusnya perkawinan karena kematian, terjadi karena salah satu


pihak dalam perkawinan meninggal dunia, apakah itu suami atau
isteri,yang lebih dulu ataupun para pihak suami dan isteri secara
bersamaan meninggal dunia.

g. Putusan pengadilan
Putusnya perkawinan karena putusnya pengadilan ini, sebagaimana
ditunjukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 114 dan Pasal
115. Menurut pasal 115 menyatakan bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan tersebut
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (suami dan
isteri).
2. Dasar Hukum dan Hukum Perceraian
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum talak. Pendapat yang lebih
benar adalah makruh jika tidak ada hajat yang menyebabkan, karena talak
berarti kufur terhadap nikmat Allah, mengkufuri nikmat Allah haram
hukumnya. talak tidak halal kecuali darurat, misalnya suami ragu terhadap
perilaku isteri atau hati sang suami tidak ada rasa tertarik pada isteri karena
Allah Maha membolak balikan segala hati. Jika tidak ada hajat yang
mendorong talak berarti kufur terhadap nikmat Allah secara murni dan buruk
adab terhadap suami, hukumnya makruh.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tentang hukum talak
secara rinci. Menurut mereka hukum talak terkadang wajib dan terkadang
halal dan sunnah. Al-Baijarami berkata : “hukum talak ada lima, yaitu
adakalanya wajib seperti talaknya orang yang bersumpah ila (bersumpah
tidak mencampuri isteri), atau dua utusan dari keluarga suami dan isteri,
adakalanya haram seperti talak bit’ah, dan adakalanya sunnah seperti talaknya
orang yang lemah, tidak mampu melaksanakan hak-hak pernikahan.
15

Demikian juga sunnah, talaknya suami yang tidak ada kecenderungan hati
kepada isteri, karena perintah salah satu dari dua orang tua yang bukan
memberatkan, karena buruknya akhlaknya dan ia tidak tahan hidup
bersamanya, tetapi ini tidak mutlak karena umumnya wanita seperti itu.”

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa talak ada kalanya wajib,
seperti talaknya dua utusan keluarga yang ingin menyelesaikan perpecahan
pasangan suami isteri karena talak inilah satu solusi perpecahan tersebut.
Demikian juga talak orang yang sumpah ila‟ (tidak mencampuri isteri)
setelah menunggu masa iddah empat bulan sebagai firman Allah:

               

      

Terjemahan :

Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinyadiberi tangguh empat


bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya),
Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Ulama Hanabilah menambahkan, talak haram yakni talak yang bukan


karena hajat. Ia digolongkan haram karena merugikan diri suami dan isteri
dan melenyapkan maslahat yang diperoleh sepasang suami isteri tanpa ada
hajat, keharamannya seperti merusak harta. Dalam riwayat lain macam ini
tergolong talak makruh, karena sabda nabi: Perbuatan Halal yang paling
dibenci Allah adalah talak. Dalam satu periwayatan: Allah tidak
menghalalkan sesuatu yang lebih dibenci dari pada talak. (HR. Abu Dawud)

Sesungguhnya talak dibenci tanpa ada hajat, namun Nabi menyebutnya


sebagai barang halal. Dikarenakan talak menghilangkan nikah yang
mengandung banyak kemaslahatan yang dianjurkan, maka talak makruh.
16

Talak mubah adalah talak karena hajat seperti akhlak wanita yang tidak
baik, interaksi pergaulannya yang tidak baik dan merugikan. Apabila
pernikahan dilanjutkan pun tidak mendapatkan tujuan apa-apa. Talak sunnah
adalah talak wanita yang lalai terhadap hak-hak Allah yang wajib
dilaksanakan, seperti shalat dan semacamnya dan tidak mungkin memaksanya
atau karena wanita yang tidak terpelihara. Imam Ahmad berkata: “ Tidak
layak mempertahankan wanita demikian itu karena ia kurang agamanya, tidak
aman kerusakan rumah tangga, dan mempersamakan anak yang bukan
diperoleh dari suami.” Tidak mengapa mempersempit peluang wanita seperti
tersebut sebagai pelajaran.

Pembicaraan tentang beberapa hikmah disyariatkannya talak


sebagaimana yang telah kami bicarakan di atas, bahwa Islam memberikan hak
talak ini bagi suami karena ia lebih mendorong keabadian pernikahan. Ia
korbankan harta benda yang dibutuhkan untuk mencapai jalan ini, bahkan
lebih besar dari itu ketika itu talak dan menghendaki menikah dengan wanita
lain.

3. Rukun dan Syarat Perceraian

Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan
terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud.
Rukun talak ada empat sebagai berikut :

a. Suami

Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak


menjatuhkannya selain suami tidak berhak menjatuhkannya.

b. Istri

Sahnya talak pada istri yang ditalak disyaratkan kedudukan istri yang
ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah dan istri itu
masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang
menjalani masa iddah talak raj‟i dari suaminya oleh hukum dipandang
masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami
17

c. Sighat talak

Shighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap


istrinya yang menunjukkan talak baik yang sarih (jelas) maupun yang
kinayah (sindiran) baik berupa ucapan lisan tulisan dan isyarat bagi suami
tuna wicara.

d. Qashdu (sengaja).

Artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh


yang mengucapkannya untuk talak bukan untuk maksud lain. Islam
sungguh telah menetapkan beberapa batasan dan sejumlah syarat untuk
talak, yaitu sebagai berikut:

1) Dari segi individu, ia harus seorang yang baligh, berakal, taat, dan
terpilih. Maka talak tidak terjadi pada anak kecil, orang gila,
orang yang dipaksa, dan orang yang mabuk.
2) Dari segi ucapan, para ulama fiqih menyatakan bahwa talak tidak
terjadi kecuali menggunakan kata-kata yang jelas dengan talak,
seperti “engkau aku talak”.

Dari segi tujuan, talak haruslah dengan maksud ucapan. Bagi orang
yang berniat dalam dirinya menalak istrinya dan tidak diucapkan

1) Dengan talak maka talaknya tidak terjadi. Bagi seorang yang


mengucapkan talak karena dipaksa atau saat mabuk maka talaknya
tidak terjadi karena ia kehilangan akalnya.
2) Adapun dari segi jumlah, Al-Qur‟an telah menjadikan talak tiga
kali secara terpisah. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-
Baqarah ayat 229 sebagai berikut:

             

Terjemahan :
Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi
tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka
18

kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah


Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
3) Dari segi kesaksian, menurut mayoritas ulama fiqih bahwa
kesaksian adalah wajib dalam talak. Berdasarkan firman Allah
SWT dalam surat Ath-Thalaq ayat 2 sebagai berikut:

         

            

         

Terjemahan :
Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka
dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran
dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia
akan Mengadakan baginya jalan keluar.
4. Alasan dan Faktor Perceraian
Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan
rumah tangga, yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk
memutus/terputusnya perkawinan.7

a. Terjadinya nusyuz dari pihak isteri

Nusyus bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri


terhadap suaminya. Hal ini terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah,
penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah
tangga. Berkenaan dengan hal ini al-Qur’an memberi tuntunan
bagaimanam mengatasi nusyuz isteri agar tidak terjadi perceraian.

Allah SWT berfirman di dalam surah an-Nisa (4): 34 yang artinya:

7
Ahmad Rafik, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali pers, 1995), h. 269-272.
19

            

           

         

         

Terjemahan

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Berangkat dari surah an-Nisa (4): 34 al-Quran memberikan opsi


sebagai berikut:

1) Isteri diberi nasehat dengan cara yang ma‟ruf agar ia segera sadar
terhadap kekeliruan yang diperbuatnya
2) Pisah ranjang. Cara ini bermakna hukuman psikologi bagi isteri
dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi diri
terhadap kekeliruannya.
3) Memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya. Penting untuk
dicatat, yang boleh di pukul hanyalah bagian yang tidak
membahayakan si isteri seperti betisnya.
b. Nusyuz suami terhadap isteri

Selama ini sering disalah pahami bahwa nusyuz hanya datang dari
pihak isteri saja. Padahal al-Qur’an juga menyebutkan adanya nusyuz dari
suami seperti yang terlihat dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ (4): 128.
20

             

             

    

Terjemahan ;

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan
jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara
dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Kemungkinan nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian


dari pihak suami untuk memenuhi kewajiban pada isteri, baik nafkah lahir
maupun nafkah batin. Berkenaan dengan tugas suami berangkat dari hadist
Rasul SAW.,ada dinyatakan, di antara kewajiban suami terhadap isteri
adalah:
Pertama, memberi sandang dan pangan. Kedua, Tidak memukul
wajah jika terjadi nusyuz, ketiga, tidak mengolok-olok dengan
mengucapkan hal-hal yang dibencinya. Keempat, tidak menjauhi isteri
menghindari isteri kecuali di dalam rumah. Inti hadist ini adalah suami
harus memperlakukan isterinya dengan cara yang baik dan dilarang
menyakiti isterinya baik lahir maupun batin, fisik dan mental. Jika ini
terjadi dapat dikatakan suatu bentuk nusyuz suami kepada isteri.

c. Terjadinya Syiqaq

Terjadinya syiqaq suatu keadaan perselisihan suami-isteri, yang


dikhawatirkan akan berakibat pecahnya rumah tangga atau putusnya
perkawinan, sehingga karrena itu, maka diangkatlah dua orang penjuru
21

pendamai (hakam), guna menyelesaikan perselisihan tersebut.8 Untuk


sampai pada kesimpulan bahwa suami isteri tidak dapat lagi didamaikan
harus dilalui beberapa proses. Dalam ayat suci al-Qur’an surah anNisa’(4):
35 ada dinyatakan:

             

         

Terjemahan :

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,


Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal.

Dari ayat di atas, jelas sekali aturan Islam dalam menangani


problema kericuhan dalam rumah tangga. Dipilihnya hakam (arbitrator)
dari masing-masing pihak dikarenakan para perantara itu akan lebih
mengetahui karakter, sifat keluarga mereka sendiri. Pengangkatan hakam
yang dimaksud dalam ayat tersebut, terutama bertugas mendamaikan
suami istri. Hanya dalam keadaan terpaksa sekali dan sudah sekuat tenaga
mendamaikan suami istri itu tidak berhasil, maka hakam boleh mengambil
keputusan menceraikan suami istri tersebut. Munurut suatu riwayat dari
imam Syafi’i, “ pernah datang dua orang suami istri kepada Ali r.a dan
beserta mereka ikut pula beberapa orang lainya. Ali menyuruh mereka
mengutus seorang hakim. Kemudian berkata kepada keduanya, “ kamu
tentu tahu, apa yang wajib kamu lakukan. Apabila kamu berpendapat

8
Sayuti Thalib, Hukum kekeluargaan Indonesia berlaku bagi Umat Islam, Buku I,
Universitas Indonesia, (Jakarta, Gitama Jaya, 1974), h. 127
22

bahwa kamu dapat mendamaikan mereka, cobalah lakukan. Dan jika kamu
berpendapat bahwa keduanya lebih baik bercerai, perbuatlah”.9

d. Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau fakhisyah

Perbuatan ini dapat menimbulkan saling tuduh menuduh antara


keduanya. Cara penyelesaiannya adalah membuktikan tuduhan yang
didakwakan, dengan cara li‟an seperti telah disinggung dimuka. Li‟an
sesungguhnya telah memasuki “gerbang” putusnya perkawinan, dan
bahkan untuk selama-lamanya, karena akibat li‟an adalah terjadinya talak
ba‟in kubra.10 Tawaran penyelesaian yang diberikan al-Qur’an adalah
dalam rangka anti sipasi agar nusyuz dan syiqaq yang terjadi tidak sampai
mengakibatkan terjadinya perceraian.

Faktor-faktor penyebab perceraian (cerai gugat) yaitu:

1) Faktor Ekonomi Faktor ekonomi, merupakan factor yang paling


dominan sebagai penyebab terjadinya cerai gugat. Hal ini disebabkan
kurang atau bahkan tidak adanya tanggung jawab suami dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
2) Percekcokan, penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga
Penganiayaan dalam rumah tangga menjadi factor yang cukup dominan
dalam perkara cerai gugat yang diajukan di pengadilan agama.
3) Adanya wanita lain, perselingkuhan, poligami Adanya wanita lain,
sehingga terjadinya perselingkuhan bahakan ada yang sampai terjadinya
poligami termasuk menjadi factor penyebab cerai gugat yang diajukan.
4) Judi dan mabuk-mabukan Judi dan mabuk-mabukan juga menjadi
factor penyebab terjadinya cerai gugat.

9
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi‟I Lengkap Muamalat, Munakahat,
Jinayat ( Jakarta: CV Pustaka Setia, 2000), h. 336
10
Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 217.
23

5. Akibat Perceraian Terhadap Istri dan Anak

Perceraian memberikan dampak terhadap anak dan istri, dampak


tersebut menimbulkan sebuah peraturan yang mengharuskan setiap pihaknya
tidak lepas tanggung jawab terhadap hal-hal yang terjadi setelah perceraian.
Berikut ini kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi akibat putusnya
perkawinan:

a. Akibat talak

Menurut ketentuan pasal 149 KHI dinyatakan sebagai berikut:

1) Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib


memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qabla al-
dukhul
2) Memberi nafkah, maskan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian)
kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah
dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil
3) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh
apabila qabla al-dukhul
4) Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan, termasuk didalamnya
biaya pendidikan) untuk anak yang belum mencapai 21 tahun.
b. Akibat perceraian (cerai gugat)

Akibat perceraian karena cerai gugat diatur dalam Pasal 156


Kompilasi Hukum Islam:

1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlanah dari


ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh:
a) Wanita-wanita dalam garis ibu
b) Ayah
c) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah
d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
24

e) Wanita-wanita kerabat sedarah menurtu garis samping


dari ibu
f) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping
dari ayah
2) Anak yang sudah mumayyiz berhak untuk memilih mendapatkan
hadlanah dari ayah atau ibunya.
3) Apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadlanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadlanah
kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadlanah pula.
4) Semua biaya hadlanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak
tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri.
5) Bila mana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan nafkah
anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan
huruf (a), (b), (c), dan (d).
6) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan
anakanak yang tidak turut padanya.
c. Akibat Khulu’

Perceraian dengan jalan khulu‟ mengurangi jumlah talak dan tak


dapat dirujuk. Menurut Ibn Rusyd, Khulu’ itu khusus bagi pemberian isteri
untuk semua yang telah diberikan suami kepadanya.11 Menurut mayoritas
(jumhur) ulama, termasuk Imam Empat, suami apabila telah mengkhulu’
isterinya, maka isteri itu bebas, dan semua urusannya terserah kepadanya,
dan tidak boleh lagi suami rujuk kepadanya, karena pihak isteri telah
memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari perkawinan.

11
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz 2, (Semarang: Usaha Keluarga,), h. 66.
25

6. Tujuan Perceraian

Tujuan perceraian sendiri sangat dibenci oleh Allah seiring dalam


kehidupan yang terus dijalani dalam membentuk suatu rumah tangga, namun
sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga, dalam keadaan darurat
boleh dilakukan. Tujuan dibolehkannya melakukan perceraian itu adalah
karena dinamika kehidupan rumah tangga kadangkadang menjurus kepada
sesuatu yang bertentangan dengan pembentukan rumah jika sekiranya
perceraian menjadi solusi yang terakhir bagi pasangan suami istri, setelah
melalui pertimbangan yang matang dan mantap. Maka hendaklah dilakukan
dengan prinsip ihsan maka dalam persoalan perceraian sangat tidak
dianjurkan melakukan cerai kecuali hanya keadaan darurut. Adapun yang
menjadi penyebab putusnya perceraian menurut hukum Islam adalah
disebabkan karena kematian, karena adanya thalaq dari suami, karena adanya
putusan hakim, dan putus dengan sendirinya. Dalam hal ini kematian
merupakan bentuk putusnya perkawinan dengan sendirinya. Secara
keseluruhan penyebab putusnya perkawinan adalah disebabkan karena thalaq,
khulu’, fasakh, syiqaq, ila’, zhihar, dan li’an. 12

12
Abdul Rahman, Perkawinan dalam Syari‟at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 80
BAB III

FATWA MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH


TENTANG PERCERAIAN DI LUAR SIDANG PENGADILAN AGAMA

A. Profil Majelis Tarjih Muhammadiyah

Majelis Tarjih dan Tajdid memiliki rencana strategis untuk Menghidupkan


tarjih, tajdid dan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah sebagai gerakan
pembaharuan yang kritis dinamis dalam kehidupan masyarakat dan proaktif
dalam menjalankan problem dan tantangan perkembangan sosial budaya dan
kehidupan pada umumnya sehingga Islam selalu menjadi sumber pemikiran,
moral, dan praksis sosial di tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
yang sangat kompleks.

Muhammadiyah telah menamakan dirinya sebagai organisasi gerakan tajdid


sebagai sebuah konsekuensi “kembali pada al Qur‟an dan Sunnah” oleh karena itu
para ulama‟nya dituntut untuk memilih yang paling arjah atau yang paling kuat
dari beberapa pendapat yang berbeda. Baik dari segi dalil dalilnya maupun
manhaj yang dipakainya, sehingga para anggota persyarikatan tidak terombang-
ambing oleh ikhtilaf, dan untuk itu, maka dibentuklah Majelis Tarjih.1

Mejelis Tarjih adalah suatu lembaga dibawah naungan Muhammadiyah


yang membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum bidang fiqih.
Mejelis ini dibentuk dan disahkan pada Kongres Muhammadiyah XVII Tahun
1928 di Pekalongan dengan KH. Mas Mansur sebagai ketua yang pertama.
Mejelis ini didirikan untuk menyelesaikan masalah-masalah khilafiyah karena
pada waktu itu dianggap rawan oleh Muhammadiyah.2

Berdasarkan garis besar program, Majelis ini mempunyai tugas:

1) Mengembangkan dan menyegarkan pemahaman dan pengalaman ajaran


Islam dalam kehidupan masyarakat yang multikultural dan kompleks.
1
Mu‟amal Hamidy, Manhaj Tarjih dan Perkembangan Pemikiran Keislaman dalam
Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm.12
2
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Mejelis Tarjih, Jakarta: Logos Publishing House,
1995, hlm. 64.

26
27

2) Mensistematisasi metodologi pemikiran dan pengalaman Islam sebagai


prinsip gerakan tajdid dalam gerakan Muhammadiyah.
3) Mengoptimalkan peran kelembagaan bidang tajdid, tarjih dan pemikiran
Islam untuk selalu proaktif dalam menjawab masalah riil masyarakat yang
sedang berkembang.
4) Mensosialisasikan produk-produk tajdid, tarjih dan pemikiran keislaman
Muhammadiyah ke seluruh lapisan masyarakat.
5) Membentuk dan mengembangkan pusat penelitian, kajian, dan informasi
bidang tajdid pemikiran Islam yang terpadu dengan bidang lain.

Pada tahap-tahap awal, tugas Majelis Tarjih, sesuai dengan namanya,


hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam
Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, di kemudian hari,
karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya
semakin banyak dan kompleks, dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan
dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah
mengalami pergeseran yang cukup signifikan Kemudian mengalami perluasan
menjadi usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-masalah baru yang
sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan pendapat ulama
mengenainya. Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih
dikenal dengan nama Ijtihad.

Majelis Tarjih ini mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam


Persyarikatan, karena selain berfungsi sebagai Pembantu Pimpinan Persyarikatan,
mereka memiliki tugas untuk memberikan bimbingan keagamaan dan pemikiran
di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya dan warga persyarikatan
Muhammadiyah khususnya. Sehingga, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa
Majlis Tarjih ini merupakan Think Thank“ nya Muhammadiyah. Ia bagaikan
sebuah “Processor“ pada sebuah komputer, yang bertugas mengolah data yang
masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor.

Adapun tugas-tugas Majlis Tarjih, sebagaimana yang tertulis dalam Qa‟idah


Majlis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan Pimpinan Pusat
28

Muhammdiyah No. 08/SK PP/I.A/8.c/2000, Bab II pasal 4, adalah sebagai


berikut:

1) Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka


pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.
2) Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan
guna menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan serta
membimbing umat, khususnya anggota dan keluarga Muhammadiyah.
3) Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing
anggota melaksanakan ajaran Islam
4) Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan
meningkatkan kualitas ulama.
5) Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah
yang lebih maslahat.

Kemudian pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H (bertepatan tanggal 18


November 1912 M) Muhammadiyah diresmikan menjadi organisasi persyarikatan
dan berkedudukan di Yogyakarta, dipimpin langsung oleh KH. A. Dahlan sendiri
sebagai ketuanya.

Majlis tarjih adalah suatu lembaga dalam Muhammadiyah yang


membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum bidang fiqih. Majlis
ini dibentuk dan disahkan pada kongres Muhammadiyah XVII tahun 1928 di
Yogyakarta, dengan K.H. Mas Mansur sebagai ketuanya yang pertama. Majlis ini
didirikan pertama kali untuk menyelesaikan persoalan persoalan khilafiyat, yang
pada waktu itu dianggap rawan oleh Muhammadiyah. Kemudian Majlis Tarjih
itulah yang menetapkan pendapat mana yang yang dianggap paling kuat, untuk
diamalkan oleh warga Muhammadiyah. Dalam perkembangan selanjutnya, Majlis
Tarjih tidak sekedar mentarjihkan masalah-masalah khilafiyat, tetapi juga
mengarah pada penyelesaian persoalan-persoalan baru yang belum pernah dibahas
sebelumnya.3

3
Djamil Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Op. cit, h. 64.
29

Sehubungan semakin banyak tugas yang harus dilaksanakan oleh Majlis


Tarjih, maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1971 telah menetapkan
Qaidah Lajnah Tarjih. Dalam pasal 2 Qaidah tersebut disebutkan, bahwa tugas
Lajnah Tarjih adalah sebagai berikut :

1) Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh


kemurniannya.
2) Menyusun tuntunan aqidah, akhlaq, ibadah, mu‟amalah dunyawiyyah.
3) Memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun tarjih sendiri
memandang perlu.
4) Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah
yang lebih maslahat.
5) Mempertinggi mutu ulama.
6) Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan
persyarikatan.4

Berdasarkan tugas pokok dan kegiatan yang telah dilakukan oleh Majlis
Tarjih, agaknya tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa Majlis ini merupakan
lembaga ijtihad Muhammadiyah. Tugas utamanya adalah menyelesaikan segala
macam persoalan kontemporer, ditinjau dari segi fiqih. Tentu yang dimaksud
ijtihad di sini adalah ijtihad jama‟i. Memang dalam perkembangan awal, ijtihad
Majlis Tarjih Muhammadiyah lebih banyak bersifat ijtihad intiqa‟i atau ijtihad
tarjihi. Namun dalam perkembangannya yang terakhir sudah mengarah kepada
ijtihad insya‟i.

B. Struktur Organisasi Muhammadiyah Pusat

Struktur Pengurus
Majelis Tarjih Muhammadiyah Pusat
Berdasarkan Surat Keputusan PP Muhammadiyah Nomor
124/KEP/I.0/D/2015 maka Susunan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode
2015-2020 adalah sebagai berikut:

4
Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih,
1971), hal. 2.
30

Ketua Umum
Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.
Ketua (Bidang Tarjih, Tajdid dan Tabligh)
Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc, M.Ag.
Ketua (Bidang Konsolidasi Organisasi dan Kaderisasi)
Drs. H.A. Dahlan Rais, M.Hum.
Ketua (Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik)
Dr. H.M. Busyro Muqoddas, SH, M.H.
Ketua (Bidang Ekonomi, Kewirausahaan dan UMKM)
Dr. H. Anwar Abbas, M.M, M.Ag.
Ketua (Bidang Pendidikan, Kebudayaan dan Litbang)
Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy, M.AP.
Ketua (Bidang Hubungan Antaragama dan Peradaban)
Prof. Dr. H. Syafiq A. Mughni
Ketua (Bidang Pustaka, Informasi dan Komunikasi)
Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si.
Ketua (Bidang Wakaf dan Kehartabendaan)
Drs. H.M. Goodwill Zubir
Ketua (Bidang Pemberdayaan Masyarakat, LH, Kebencanaan, ZIS)
Drs. H. Hajriyanto Y. Thohari, M.A.
Ketua (Bidang Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri)
Prof. Dr. Bahtiar Effendy
Ketua (Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial)
dr. H. Agus Taufiqurrohman, M.Kes, Sp.S.
Ketua (Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)
Dra. Hj. Noordjannah Djohantini. M.M, M.Si.
Sekretaris Umum
Dr. H. Abdul Mu'ti, M.Ed. Sekretaris Dr. H. Agung Danarto, M.Ag.
Bendahara Umum
Prof. Dr. H. Suyatno, M.Pd.
Bendahara Drs. H. Marpuji Ali, M.S.I.
31

C. Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah Tentang Perceraian Di Luar


Sidang Pengadilan Agama

Menurut pasal 39 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan pasal 65 UU No.


9/1989 tentang Peradilan Agama, perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan setelah Pegadilan yang bersagkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.5

Perceraian dapat terjadi karena permohonan suami kepada Pengadilan untuk


menyaksikan ikrar talak yang disebut cerai talak atau karena gugatan isteri yang
disebut cerai gugat. Untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup.
Meskipun termasuk ke dalam wilayah hukum privat, persoalan cerai
sesungguhnya juga menyangkut kepentingan luas, yakni ketentraman rumah
tangga, nasib anak-anak yang orang tuanya bercerai, bahkan menyangkut
kepentingan lebih luas lagi, yaitu tentang kepastian dalam masyarakat apakah
suatu pasangan telah berpisah atau masih dalam ikatan perkawinan. Oleh karena
itu perceraian tidak dapat dilakukan secara serampangan. Sebaliknya harus
dilakukan pengaturan sedemikian rupa agar terwujud kemaslahatan dan ketertiban
di dalam masyarakat.6

Dalam hadis Nabi saw dinyatakan bahwa perceraian itu adalah suatu hal
yang halal tetapi sangat dibenci oleh Allah. Nabi saw bersabda :

)‫أبغض احلالل إىل هللا تعاىل الطالق (رواه أبو داود والبيهقي‬

Terjemahan:

Suatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah talak [HR.
Abu Dawud dan al-Baihaqi].

Ini artinya perceraian jangan dianggap enteng dan dipermudah-mudah


karena peceraian itu sangat dibenci oleh Allah meskipun halal. Wujud dari tidak
mengenteng entengkan perceraian itu adalah bahwa ia hanya dapat dilakukan bila

5
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama 8, Cet.
III, (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2019), h. 41
6
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Op. cit, h. 42
32

telah terpenuhi alasan-alasan hukum yang cukup untuk melakukannya. Di


samping itu harus dilakukan melalui pemeriksaan pengadilan untuk membuktikan
apakah alasannya sudah terpenuhi atau belum.

Oleh karena itulah ijtihad hukum Islam modern, seperti tertuang dalam
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (ps. 115) misalnya, mewajibkan prosedur
perceraian itu melalui pengadilan; dan bahwa perceraian terjadi terhitung sejak
saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan (KHI, ps. 123).
Memang dalam fikih klasik, suami diberi hak yang luas untuk menjatuhkan talak,
sehingga kapan dan di manapun ia mengucapkannya, talak itu jatuh seketika.
Keadaan seperti ini dipandang dari sudut pemeliharaan kepentingan keluarga,
kepastian hukum dan ketertiban masyarakat tidak mewujudkan maslahat bahkan
banyak merugikan terutama bagi kaum wanita (isteri).

Oleh karena itu demi terwujudnya kemaslahatan, maka perceraian harus


diproses melalui pengadilan. Jadi di sini memang ada perubahan hukum, yaitu
dari kebolehan suami menjatuhkan talak kapan dan di manapun menjadi
keharusan menjatuhkannya di depan sidang pengadilan. Perubahan hukum
semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

)113 ‫ صز‬،‫ال ينكر تغري األحكام بتغري األزمان (قواعد الفقو‬

Terjemahan :

Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman (Qawaid alFiqh,


hlm. 113).
Ibnu al-Qayyim menyatakan :

:2 ‫تغري الفتوى واختالفها حبسب تغري األزمنة واألمكنة واألحوال والنيات والعوائد (إعالم املوقعني‬
)3
Terjemahan:
Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman,
tempat, keadaan, niat dan adat istiadat (I‟lam al-Muwaqqi‟in, Juz III, hlm.
3).
33

Para filosof syariah telah menyepakati bahwa tujuan syariah adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan. Menurut asy-Syatibi, dasarnya adalah:

     

Terjemahan:

Tiadalah Kami mengutus engkau melainkan untuk menjadi rahmat bagi


semesta alam (QS. al-Anbiya‟ (21): 107)

Dalam kaitan ini penjatuhan talak di depan sidang pengadilan bertujuan


untuk mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan terhadap institusi keluarga
dan perwujudan kepastian hukum dimana perkawinan tidak dengan begitu mudah
diputuskan. Pemutusan harus didasarkan kepada penelitian apakah alasan-
alasannya sudah terpenuhi. Dengan demikian talak yang dijatuhkan di depan
pengadilan berarti 3 talak tersebut telah melalui pemeriksaan terhadap alasan-
alasannya melalui proses sidang pengadilan.7

K.H. Ahmad Azhar Basyir (mantan Ketua Majelis Tarjih dan Ketua PP
Muhammadiyah), mengenai masalah ini, menyatakan: Perceraian yang dilakukan
di muka pengadilan lebih menjamin persesuaiannya dengan pedoman Islam
tentang perceraian, sebab sebelum ada keputusan terlebih dulu diadakan penelitian
tentang apakah alasan-alasannya cukup kuat untuk terjadi perceraian antara
suami-istri. Kecuali itu dimungkinkan pula pengadilan bertindak sebagai hakam
sebelum mengambil keputusan bercerai antara suami dan istri.

Pada bagian lain dalam buku yang sama K.H. Ahmad Azhar menjelaskan
lebih lanjut, Untuk menjaga agar perceraian jangan terlalu mudah terjadi, dengan
pertimbangan “Maslahat Mursalah” tidak ada keberatannya apabila diambil
ketentuan dengan jalan undang-undang bahwa setiap perceraian apapun
bentuknya diharuskan melalui pengadilan. Selain dari itu dapat pula ditegaskan
bahwa penjatuhan talak di luar sidang pengadilan, mengingat mudarat yang

7
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Op. cit, h. 44
34

ditimbulkannya, harus dilarang dan dinyatakan tidak sah berdasarkan prinsip


sadduz-zari„ah (menutup pintu yang membawa kepada kemudaratan).

Dari apa yang dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa :

1. Perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan: cerai


talak dilakukan dengan cara suami mengikrarkan talaknya di depan
sidang pengadilan, dan cerai gugat diputuskan oleh hakim
2. Perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan dinyatakan tidak
sah.
DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an Al Karim

Ashafa, Burhan. 2013. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: Rineka Cipta)

Azhar Basyir, Ahmad. 2004. Hukum Pernikahan Islam. (Yogyakarta: UII Pres)
Azizah, Linda. 2012. Jurnal Al Wadalah Vol. X, No. 4 Analisis Perceraian dalam
Kompilasi Hukum Islam
Darmawati. 2017. Jurnal Wawasan Keislaman Uin Alaudin, Vol. 11 No. 1. H. 1
Perceraian Dalam Perspektif Sosiologi.
Daud Ali, Muhammad. 2002. Hukum Islam dan Pengadilan Agama. (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada)
Djamil, Fathurrahman. 1995. Metode Ijtihad Mejelis Tarjih. (Jakarta: Logos Publishing
House)
Djamil, Latif. 2011. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. (Jakarta: Sinar
Grafika)
Fathoni, Abdurrahmat. 2011. Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi.
(Jakarta: Rineka Cipta)

Ghazaly, Abd. Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. (Bogor: Kencana)


Hamidy, Mu’amal. 2010. Manhaj Tarjih dan Perkembangan Pemikiran Keislaman
dalam Muhammadiyah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin. 2000. Fiqih Madzhab Syafi‟I Lengkap
Muamalat, Munakahat, Jinayat. ( Jakarta: CV Pustaka Setia)
Lexy J. Moleong. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya.
(Bandung, 2009)
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2019. Tanya Jawab Agama 8,
Cet. III. (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah)
Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia.
(Jakarta: Kencana)
Muhammad al-Jamal, Ibrahim. 1986. Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah, Terj. Ansori
Umar Sitanggal “Fiqih Wanita”. (Semarang: CV Asy- Syifa)
Rafik , Ahmad. 1995. Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Rajawali pers)
Rahman, Abdul. 1996. Perkawinan dalam Syari‟at Islam. (Jakarta: Rineka
Cipta)

35
36

Ramulyo, Mohd. Idris. 2002. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta:
Bumi Aksara)
Ranny Kautur. 2000. Metode Penelitian untuk Penelitian Skripsi danTesis. (Bandung :
Taruna Grafika)

Rofik, Ahmad. 2015. Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Rajawali Pers)
Rusyd, Ibn. Bidayah al-Mujtahid, juz 2. (Semarang: Usaha Keluarga)
Slamet Abidin dan H. Aminuddin. 1999. Fiqh Munakahat II. (Bandung: CV.
Pustaka Setia)
Soemiyati. 2004. Hukum Perkawinan Islam dan Undang Undang Perkawinan.
(Yogyakarta: Liberty)
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R & D. (Bandung: Alfabeta)

Syarifudin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta:


Prenada Media)
Thalib, Sayuti. 1974. Hukum kekeluargaan Indonesia berlaku bagi Umat Islam,
Buku I, Universitas Indonesia. (Jakarta, Gitama Jaya)

Anda mungkin juga menyukai