Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH

Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam

Yang Diampu Oleh Moch. Zainal Aziz Muchtzrom, S.Pd, M.E.I

Disusun Oleh Kelompok 6 :

1) Fitri Nur Azizah


2) Indah Tri Kusuma
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM AL HIKMAH TUBAN
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan
Karunia Nya kepada kami. Sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah dengan judul
“Tokoh Dan Pemikiran Ekonomi Islam Pasca Khulafaur Rasyidin” ini tepat pada
waktunya.Selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.

Dalam penulisan makalah ini , kami menyadari bahwa dalam mengupas permasalahan di
dalam makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam hal sistematika maupun teknik
penulisannya. Kiranya tiada lain karena keterbatasan kemampuan dan pengalaman kami yang
belum luas dan mendalam. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang membangun tentunya
kami harapkan, sebagai masukan yang berharga demi kemajuan kami di masa mendatang.
Demikianlah makalah ini , kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kami
khususnya, bagi pembaca umumnya, dalam memberikan informasi tentang Permasalahan
Pendidikan

Senori, 18 November 2021

Penulis

Kelompok 6
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Berdirinya Bani Umayyah
B. Perkembangan Politik, Ekonomi Dan Administrasi Pada Dinasti Bani Umayyah
C. Mengetahui Gerakan Oposisi Yang Terjadi Pada Masa Dinasti Umayyah

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberhasilan Muawiyah dalam mewujudkan ambisinya mendirikan kekuasaan
dinasti Umayyah disebabkan di dalam diri Muawiyah terkumpul sifat-sifat penguasa,
politikus dan adiministratur. Ia pandai bergaul dengan berbagai temperamen manusia,
sehingga ia dapat mengakumulasikan berbagai kecakapan tokoh-tokoh pendukungnya,
bahkan bekas lawan politiknya sekalipun.
Berdirinya pemerintahan dinasti Umayyah tidak semata-mata peralihan
kekuasaan, namun peristiwa tersebut mengandung banyak implikasi, diantaranya adalah
perubahan beberapa prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi
imperium dan perkembangan umat Islam.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani
Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokaratis berubah menjadi monarki (kerajaan
turun temurun).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman latar belakang berdirinya dinasti umayyah ?
2. Bagaimana perkembangan dinasti umayyah ?
3. Bagaaimana gerakan oposisi yang terjadi pada masa dinasti umayah ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui latar belakang berdirinya dinasti umayyah
2. Untuk mengetahui perkembangan dinasti umayah
3. Untuk mengetahui gerakan oposisi yang terjadi pada masa dinasti umayyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar belakang berdirinya dinasti umayyah
Pada masa pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib, terjadi pertempuran Ali
dengan Muawiyah di Shifin. Perang ini diakhiri dengan tahkim, tapi ternyata tidak
menyelesaikan masalah bahkan menimbulkan adanya golongan tiga yaitu Khawarij yang
keluar dari barisan Ali Umat Islam menjadi terpecah menjadi tiga golongan politik yaitu
Muawiyah, Syiah dan Khawarij. Pada tahun 660 M Ali terbunuh oleh salah seorang
anggota Khawarij.
Dengan demikian berakhirlah masa Khulafaur Rasyidin dan mulai kekuasaan
Bani Umayah dalam semangat politik Islam. Kekuasaan Bani Umayah berbentuk
pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan
turun temurun). Hal ini dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk
menyatakan setia terhadap anaknya Yazid. Peristiwa takhim berdasarkan sejarah yang
kita pelajari ialah berlaku perebutan kekuasaan antara Ali dan Mu’awiyah yang
membawa mereka ke meja perundingan. Perundingan antara mereka berdua telah
diwakili oleh Abu Musa al-‘Asyari bagi pihak Ali dan ‘Amr bin al-‘Ash bagi pihak
Mua’wiyah. Keduadua perunding telah setuju untuk memecat Ali dan Mua’wiyah.
Menurut sejarah lagi, ‘Amr bin al-‘Ash dengan kelicikannya mampu memperdayakam
Abu Musa yang digambarkan sebagai seorang yang lalai dan mudah tertipu. Akibatnya,
Ali terlepas dari jawatan khalifah.
Oleh karena peristiwa takhim sangat penting dalam sejarah politik negara Islam,
adalah perlu untuk kita menyingkap hakikat sebenarnaya pada babakbabaknya di mana
peristiwa ini telah disalahtanggapi dan telah disalahtafsirkan. Akibatnya timbul kesan
buruk yaitu menjatuhkan kedudukan dan martabat para sahabat. Peristiwa tahkim yang
tersebar itu telah menjadikan sebahagian sahabat sebagai penipu dan orang yang mudah
terpedaya dan sebahagian yang lain dituduh sebagai perakus kuasa.
Dengan meletakkan riwayat tahkim di atas neraca kajian dan penilaian, dua
perkara dapat diamati, yaitu pertama, kelemahan pada sanad dan kedua, kegoncangan
pada matan atau teks. Dari sudut sanad terdapat dua perawi yang diakui keadilannya yaitu
Abu Mikhnaf Lut bin Yahya dan Abu Janab al-Kalbi. Abu Mikhnaf seorang yang dha’if.
Al-Bukhari dan Abu Hatim berkata: Yahya bin al-Qattan mendha’ifkannya. Uthman al-
Darimi dan al-Nasa’i mengatakan dia dha’if. Ada tiga perkara yang dikesani pada
matannya. Pertama, berkaitan dengan perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah yang
menjadi puncak kepada peperangan antara mereka berdua. Kedua, persoalan jawatan Ali
dan Mu’awiyah. Ketiga, kepribadian Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin al-‘Ash.
Latar belakang lahirnya Dinasti Umayyah ialah dalam kondisi dan situasi di
tengah-tengah terjadinya pertentangan politik antara golongan, yaitu: golongan Syi’ah,
golongan Khawarij, golongan Jami’iyah, dan golongan Zubaer. Dari pertentangan polotik
antar golongan itu, kelompok Bani Umayyah yang dipelopori Mu’awiyyah muncul
sebagai pemenangnya yang selanjutnya berdirilah pemerintah Daulat Bani Umayyah.
Corak politik suatu negara umumnya akan dipengaruhi oleh latar belakang
berdirinya negara yang bersangkutan dan dipengaruhi oleh situasi saat berdirinya negara
tersebut. Daulat Bani Umayyah yang lahir dikelilingi oleh musuhmusuhnya dari berbagai
golongan, maka kebijaksanaan politiknya menggunakan pendekatan keamanan (militer)
agar kekuasaannya menjadi korban dan berwibawa.
Muawiyah bin Abi Sufyan sudah terkenal sifat dan tipu muslihatnya yang licik.
Dia adalah kepala angkatan perang yang mula-mula mengatur angkatan laut, dan ia
pernah dijadikan sebagai amir “Al-Bahar”. Ia mempunyai sifat panjang akal, cerdik
cendikia lagi bijaksana, luas ilmu dan siasatnya terutama dalam urusan dunia, ia juga
pandai mengatur pekerjaan dan ahli hikmah.
Muawiyah bin Abi Sufyan dalam membengun Daulah Bani Umayyah
mengunakan politik tipu daya, meskipun pekerjaan itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Ia tidak gentar melakukan kejahatan. Pembunuhan adalah cara biasa, asal maksud dan
tujuannya tercapai Abu Sufyan ini baru memeluk Islam dan tunduk kepada Nabi
Muhammad saat Fathu Makkah. Meskipun begitu Nabi Muhammad saw., tetap
memerankan Abu Sufyan sebagai pemimpin Makkah. Pada saat itu ketika seluruh
penduduk Makkah merasa ketakutan, Nabi Muhammad berkata, bahwa barang siapa yang
memasuki rumah Abu Sufyan, maka ian akan selamat. Artinya bahwa keberadaan Abu
Sufyan adalah tetap pemimpin Makkah, meskipun ia tunduk kepada kepemimpinan Nabi
Muhammad saw. Pada masa kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, Bani
Umayah tidak lagi sebagai pempimpin bangsa Arab. Pada saat itu kepemimpinan Islam
dan bangsa Arab, tidak memperhatikan asal-usul kabilah dan kesukuan. Proses rekrutmen
pempimpin didasarkan pada kemampuan dan kecakapan.
Meskipun Usman bin Affan adalah dari keluarga Bani Umayyah, tetapi ia tidak
pernah mengatasnamakan diri sebagai Bani Umayyah. Begitu juga Mu’awiyah bin Abi
Sufyan diangkat oleh Umar bin Khattab sebagai gubernur Syiria adalah karena
kecakapannya. Ambisi Bani Umayyah untuk memimpin kemabali muncul ketika mereka
sudah mempunyai kekuatan besar. Dengan berbagai upaya, mereka menyusun kekuatan
dan merebut kekhalifahan umat Islam. Usaha ini akhirnya berhasil setelah Hasan bin Ali
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkannya kepada
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang dikenal dengan istilah Amul Jama’ah
B. Perkembangan politik, Ekonomi Dan Administrasi Pada Dinasti Bani Umayyah
1. Perkembangan Ekonomi
Perekonomian adalah merupakan salah satu unsur terpenting dalam
memperlancar proses pembangunan suatu negara. Sebab merosotnya
perekonomian suatu negara akan berpengaruh terhadap proses pelaksanaan
pembangunan yang akan dilakukan .
Cari Brockelmann menegaskan bahwa:
“Pada tahun 693 khalifah Abdul Malik secara bulat menetapkan untuk mencetak
uang sendiri di damaskus. Sementara itu Hajjaj pada tahun berikutnya melakukan
hal yang sama. Akibatnya masyarakat Arab sudah mulai mengenal sistem
perhitungan. Ide ini juga diterima di Yaman, Siri”
Kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Khalifah Abdul Malik tersebut,
sangat berpengaruh terhadap perekonomian dinasti itu. Sebab kita melihat,
sebelum diberlakukannya kebijakan ini mata uang yang beredar sebagai alat tukar
adalah mata uang Roma dan mata uang Persia yaitu dirham (drachma) dan dinar
(dinarius).
Dengan tidak adanya mata uang sendiri tentu akan dapat mengurangi nilai-
nilai persatuan dan kesatuan umat Islam di daerah yang demikian luasnya.
Sehingga dapat dikatakan, secara implisit kebijaksanaan hkhalifah memiliki nilai-
nilai esensial dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam
wilayah yang luas tersebut.
Implikasi nilai-nilai persatuan dan kesatuan terhadap perekonomian pada
masa itu (Dinasti Umayyah) adalah sangat penting. Sebab adanya persatuan dan
kesatuan wilayah umat Islam yang luas tersebut akan menciptakan stabilitas
keamanan yang terjamin. Dengan adanya stabilitas keamanan yang terjamin,
maka lalu lintas perdagangan akan berjalan lancar, dengan lancarnya lalu lintass
perdagangan, pada gilirannya akan meningkatkan perekonomiannya.
Di samping perdagangan, menurut K. Ali ada beberapa sumber
pendapatan pada masa Dinasti Umayyah, yaitu: 1. The land-tax, 2. The polltax on
non-muslim subjects, 3. The poor rates, 4. Customis and excise duties, 5. Tributes
paid under treaties, 6. The fifth of the spoils of war, 7. Fay, 8. Additional imports
in kinds, 9. Persents on occasions of festifal etc, and 10. Child tribute from the
barbers.
Seluruh sumber-sumber pendapatan tersebut di atas dikelola oleh sebuah
departemen yang disebut dengan departemen pendapatan negara (diwan all-
kharaj), dan hasil pengumpulan dari sumber-sumber tersebut disimpan di Baitul
Mal (kantor perbendaharaan negara).
Pada masa pemerintahan Abdul Malik, perkembangan perdagangan dan
perekonomian, teraturnya pengelolaan pendapatan negara yang didukung oleh
keamanan dan ketertiban yang terjamin telah membawa masyarakatnya pada
tingakat kemakmuran. Realisasinya dapat kita lihat dari hasil penerimaaan pajak
(kharaj) di wilayah syam saja, tercatat 1.730.000 dinar emas setahun. Hal ini
seperti yang dikatakan oleh Hugh Kennedy: “Nor was there ani doubt that the
surplustaxition was to be forwarded to the treasury in damascus.
Kemakmuran masyarakat Bani Umayyah juga terlihat pada masa
pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz. Keadaan perekonomian pada masa
pemerintahannya telah naik ke taraf yang menakjubkan. Semua literatur yang ada
pada kita sekarang ini menguatkan bahwa kemiskinan, kemelaratan, dan kepapaan
telah dapat diatasi pada masa pemerintahan khalifah ini. Kebijakan yang
dilakukan oleh Umar ibn Abdul Aziz dalam implikasinya denagn perekonomian
yaitu membuat aturan-aturan mengenai takaran dan timbangan, dengan tujuan
agar dapat membasmi pemalsuan dankecurangan dalam pemakaian alat-alat
tersebut.
2. Perkembangan Administrasi
Pada masa pemerintahan khulafaur rasyidin (632-661 M), pimpinan
pemerintahan pusat hanya terdiri atas khalifah, didampingi seorang pejabat yang
disebut al-Katib (sekretaris). Di samping khalifah ada majelis penasehat yang
terdiri atas sahabat-sahabat Nabi Muhammad. Al-Katib bertugas mencatat
penerimaan dan engeluaran perbendaharaan negara. Mengurus surat menyurat
dengan pembesar setempat, mendata nama-nama tentara dan penghasilannya.
Pada masa Dinasti Bani Umayyah, telah muncul persoalan-persoalan yang
cenderung membawa ketidak stabilan dan perpecahan umat, seperti hancurnya
teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan yang lebih dulu, munculnya
anarkisme dan ketidak disiplinan kaum nomad. Di sisi lain wilayah kekuasaan
umat Islam pada masa Dinasti Umayyah, menurut Annemarie Schimel: “Telah
sampai ke Atlantic, perbatasan Bizantium, Selat Gibraltar, (Jabal Tarik) tahun
711. Pada tahun itu juga mereka juga menguasai Transoxiana, Sind, serta
Indusvalley (sekarang arah selatan Pakistan).
Adanya persoalan intern dan ekstern tersebut di atas mengakibatkan
terjadinya perkembangan administrasi pemerintahan sesuai dengan perkembangan
wilayah dan perkembangan urusan kenegaraan yang semakin lama semakin
kompleks.
Pengelolaan administrasi dalam struktur pemerintahan Dinasti Bani
Umayyah adalah merupakan penyempurnaan dari pemerintahan khulafaur
rasyidin yang diciptakan oleh Khalifah Umar. Wilayah kekuasaan yang luas itu,
sebagaimana periode Madinah dibagi menjadi wilayah provinsi. Setiap provinsi
dikepalai oleh seorang gubernur atau amir yang diangkat oleh khalifah. Gubernur
didampingi seseorang atau beberapa orang katib (sekretaris), seorang hajib
(pengawal), dan pejabat-pejabat penting lain, yaitu shahib al-kharaj (pejabat
pendapatan), shahib al-syurthat (pejabat kepolisian), dan qadhi (kepala
keagamaan dan hakim). Pejabat pendapatan dan qadhi diangkat oleh khalifah dan
bertanggung jawab kepadanya.
Pada tingkat pemerintahan pusat dibentuk beberapa lebaga dan
departemen, al-katib, al-hajib, dan diwan. Lembaga al-katib terdiri dari katib al-
rasail (sekretaris negara), katib al-kharaj (sekretaris pendapatan negara), katib al-
jund (sekretaris militer), katib al-syurthat (sekretaris kepolisian), katib al-qadhi
(panitera).
Para katib bertugas mengurusi administrasi negara secara baik dan rapi
untuk mewujudkan kemaslahatan negara. Al-hajib (pengawal dan kepala rumah
tangga istana) bertugas mengatur para pejabat atau siapapun yang bertemu dengan
khalifah. Lembaga ini belum dikenal di zaman negara Madinah, karena siapa saja
boleh bertemu dan berbicara langsung dengan khalifah tanpa melalui birokrasi.
Tapi ada tiga orang yang boleh langsung bertemu dengan khalifah tanpa hajib,
yaitu muazin untuk memberi tahukan waktu shalat pada khalifah, shahib al-barid
(pejabat pos) yang membawa berita-berita penting untuk khalifah, dan shahib al-
tha’am, petugas yang mengurus hal ikhwal makanan dalam istana.
Dalam bidang pelaksanaan hukum yaitu al-Nidzam al-Qadhai terdiri dari
tiga bagian, yaitu al-qadha dipimpin seorang qadhi yang bertugas membuat fatwa-
fatwa hukum dan membuat peraturan-peraturan yang digali langsung dalam al-
Qur’an, sunnah Rasul, Ijma’, atau berdasarkan ijtihad.
Badan ini bebas dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan
hukum, baik terhadap pejabat atau pagawai negara yang melakukan pelanggaran.
Pejabat badan al-Hisbat disebut al-Muhtasib, tugasnya menangani kriminal yang
perlu penyelesaian segera. Sedang pejabat alMazhalim disebut qadhi al-mazhalim
atau shahib al-mazhalim. Kedudukan badan ini lebih tinggi dari al-qadha dan al-
hisbat, karena badan ini bertugas meninjau kembali akan kebenaran dan keadilan
keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh qadhi dan muhtasib.
Jika terjadi kasus tentang perkara yang keputusannya dianggap perlu
ditinjau kembali, baik rakyat maupun pejabat yang menyalah gunakan jabatan,
badan ini menyelenggarakan mahkamah al-mazhalim yang mengambil tempat di
masjid. Sidang inni dihadiri oleh lima unsur lengkap yaitu para pembantu sebagai
juri, para hakim, para fuqaha, para katib, dan para saksi.
Dalam pemerintahan Bani Umayyah terdapat beberapa diwan atau
departeman yaitu:
a. Diwan al-Rasail, departemen yang mengurus surat-surat negara dari khalifah
kepada gubernur atau menerima surat-surat dari gubernur. Departemen ini
memiliki dua sekretariat, untuk pusat menggunakan bahasa Arab, dan daerah
menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia. Philip K. Hitti mengatakan
bahwa: The Arabization in changing the language of the public registers
(diwan) from Greek to arabic in Damascus and from Pahlavi to Arabic in Al-
Iraq and Easten provinces and in the creation of an Arabic coinage with the
charge inpersonal naturally took place. Berdasarkan kepada pendapat Philip
K. Hitti tersebut menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Abdul Malik
telah diterapkan peraturan gerakan Arabisasi yaitu dengan hanya
menggunakan bahasa Arab dalam penulisan surat-surat negara. bahkan
pengaruh gerakan Arabisasi masih terlihat hingga sekarang, sebagaimana
yang dikemukakan oleh M.A. Shaban: “this was most evident froom the fact
that the language of public record, which until then had been copric, Greek,
or Pahlavi change to Arabic.
b. Diwan al-Khatim, departemen pencatatan yang bertugas menyalin dan
meregistrasi semua keputusan khalifah atau oereturanperaturan pemerintah
untuk dikirim pada pemerintah daerah.
c. Diwan al-Kharaj, departemen pendapatan negara yang diperoleh dari kharaj,
zakat, ghanimah, dan sunmber-sumber lain. Semua pwmasukan dari sumber-
sumber itu disimpan di Baitul Mal.
d. Diwan al-Barid, departemen pelayanan pos, bertugas malayani informasi
tentang berita-berita penting dari daerah kepada pemerintah pusat dan
sebaliknya. Pelayanan ini sudah diperkenalkan pada masa Mu’awiyah.
e. Diwan al-Jund, departemen pertahanan yang bertugas mengorganisir militer.
3. Perkembangan politik
Bisa dikatakan bahwa puncak kejayaan islam berada pada masa dinastu
umayyah setidaknya ditunjukkan oleh wilayah kekuasaanya. Selain itu juga
perkembangan kebudayaan- kebudayaanya, tetapi pada masa dinasti umayyah
tidak semua pimpinan yang berkuasa mampu mempertahankan kemegahan
tersebut, sebagai mana banyak dialami oleh bangsa-bangsa di dunia. Hal itu
mengandung arti bahwa dinasti umaya juga mengalami masa keemasan dan masa
suram. Perkembangan politik dan pemerintahan pada masa dinasti umayah
sebagaima yang telah kita ketahui bersama ketika khalifah alin bin abi thalib
berkuasa, keadaan kaum muslimin terjadi perpecahan umat sehingga timbul
kelompok-kelompok atau golongan yang masing-masing bersikeras merasa
memiliki hak berkuasa. Sejarah bergulir terus hingga kedudukan pimpinan
tertinggi umat islam dipegang oleh muawiyah bin abu sofyan.
Dari sekian banyak khalifah yang berkuasa pada masa Dinasti Umayyah
hanya beberapa khalifah saja yang dapat dikatakan khalifah besar yaitu Muawiyah
ibn Abi Soyan, Abd al Malik ibn Marwan, Al Walid ibn Abdul Malik, Umar bin
Abdul Aziz dan Hasyim ibn Abd al Malik. Sementara Samsul Munir Amin dalam
bukunya; menulis, bahwa para sejarawan umumnya sependapat bahwa para
khalifah terbesar dari daulah Bani Umayyah hanya tiga, yaitu Muawiyah, Abdul
Malik dan Umar bin Abdul Aziz.
a. Muawiyah bin Abi Sofyan
Adapun yang dilakukan Muawiyah pada awal masa
pemerintahannya ialah;
Pertama, memindahkan ibu kota Negara dari Madinah (Kufah) ke
Damascus, daerah yang pernah ia tempati menjabat sebagai gubernur pada
masa Khalifah Usman dan Ali.
Kedua, merubah sistem pemerintahan yang bersifat demokrasi
menjadi monarchiheridetis (turun temurun). Hal ini tercermin ketika
suksesi kepemimpinan Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk
menyatakan setia kepada Yazid anaknya. Muawiyah bermaksud
menerapkan monarchi yang ada di Persia dan Bizantium. Walaupun dia
tetap menggunakan istilah khalifah. Namun, ia memberi interpretasi baru
dari kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut, Dia menyebutnya
“khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa yang diangkat oleh Allah”
Menurut M.A Shaban sebagaimana yang dikutip Ajid Thohir bahwa
semua khalifah Dinasti Umayyah tidak ada yang diangkat melalui majelis
syuro (musyawarah) seperti pada masa Khulafau al-Rasyidin, melainkan
menggunakan sistem waris sebagaimana layaknya sebuah kerajaan. Oleh
karena itu, menurut Abu A’la Maududi mereka tak pantas mendapat
sebutan khalifah sebagaimana layaknya Khulafau al-Rasyidin.
Ketiga, sebagimana yang dikemukakan Ali Husni al-Kharbutily
bahwa Muawiyah adalah orang yang cerdik dan sangat ahli dalam bidang
siasat. Oleh karena, dinasti ini membagi wilayah kekuasaannya kepada
lima front kekuatan politik, yakni ; 1) front Jazirah Arab yang meliputi
Hijaz, Yaman, Makkah dan Madinah, 2) Front Mesir yang mencakup
seluruh wilayah Mesir, 3) Front Irak yang mencakup wilayah-wilayah
Teluk Persia, Aman, Bahrain, Sijistan, Kirman, Khurasan sampai ke
Punjab India, 4) Front Asia kecil yang mencakup wilayah Armenia dan
Azerbaijan, dan 5) Front Afrika yang mencakup wilayah Barbar,
Andalusia dan Negara-negara di Sekitar laut Tengah.
Terhadap masing-masing wilayah itu, menurut Mahayuddin
bahwa diterapkan tata aturan politik yang berbeda, misalnya di Front
Jazirah Arab-Makkah, Madinah dan front Irak diterapkan kebijakan politik
lunak karena masyarakat di kedua wilayah itu tergolong basis pendukung
Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwan. Selain itu, berbagai pendekatan
lain juga dilakukan oleh Muawiyah di antaranya pendekatan psikologis
dan pendekatan sosial kesejahtraan. Hal itu dapat dilihat atas tindakan
Muawiyah yang tidak segan-segan memberikan hadiah uang cukup
banyak kepada masyarakat terutama yang menentangnya, memberikan
otonomi daerah, memberikan jaminan kesejahtraan kepada Hasan bin Ali,
memberi uang kepada Qudamah dan beberapa rakyat Irak. Semua ini
dilakukan demi mendapatkan dukungan dan simpati masyarakat serta
bermaksud untuk menanamkan kekuatan politiknya.
Begitupun, Ekspansi yang terhenti pada masa Khalifah Usman dan
Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah, Tunisia
dapat ditaklukkan, di sebelah Timur dapat dikuasai daerah Khurasan
sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul.
Di antara jasa-jasa Muawiyah ialah mendirikan kantor cap
(percetakan mata uang), mengadakan dinas pos kilat dengan menggunakan
kuda-kuda yang selalu siap disetiap pos yang menghubungkan antara
wilayah satu dengan wilayah lainnya, membangun armada perang pertama
dalam sejarah Islam, dan mengatur pembagian gaji tentara secara teratur.
Selain itu, pada masa Muawiyah jabatan khusus seorang hakim (qâdhi)
mulai berkembang menjadi propesi tersendiri.
Muawiyah wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan
digantikan oleh Yazid, anaknya yang telah ditetapkan sebagai putra
mahkota pada masa pemerintahan Muawiyah.
b. Abdul al-Malik
Khalifah Abdul al-Malik (65-86 H/684-705 M) adalah orang kedua
terbesar dalam deretan khalifah para khalifah Bani Umayyah yang
disebut-sebut sebagai pendiri kedua bagi kedaulatan Umayyah.
Pada masa pemerintahannya, pasukannya sangat berjaya di medan
perang, selain itu berbagai kemajuan dilakukannya ialah berhasil
memperbaiki saluran air sungai Eufrat dan Tigris, memajukan
perdagangan, memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan,
juga menyempurnakan tulisan mushaf al-Qur’an dengan titik pada huruf-
huruf tertentu. Mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di
daerah-daerah yang kuasai Islam, dia mencetak uang tersendiri pada tahun
659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab, berhasil melakukan
pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab
sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Khalifah Abdul
Malik wafat tahun 86 H diganti oleh putranya yang bernama al-Walid.
c. Umar bin Abdul Aziz
Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai khalifah besar yang ketiga
dalam Dinasti Umayyah, ia adalah menantu dari Khalifah Abdul Malik
(Kalifah kelima dinasti Umayyah), ia juga adalah gubernur Madinah pada
masa khalifah al-Walid bin Abdul Malik. Meskipun masa
pemerintahannya sangat singkat (kurang lebih 2 tahun), namun,
pemerintahannya dinilai sebagai ‘lembaran putih” bani Umayyah. Pada
masa pemerintahannya hubungan pemerintah dan oposisi membaik
terutama dengan golongan Syiah, ia juga memberi kebebasan kepada
penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya, pajak
diperingan dan kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Selain itu, pada awal menjabat sebagai khalifah ia mengembalikan tanah-
tanah yang pernah dihibahkan kepadanya, menjual barang-barang
mewahnya untuk diserahkan hasil penjualannya ke baitul mal, menaikkan
gaji para gubernurnya, meratakan kemakmuran dengan memberi santunan
kepada fakir dan miskin, dan memperbaharui dinas pos, mengurangi
beban pajak, menghentikan pembayaran jizyah bagi orang Islam baru. Ia
mengadakan perdamaian antara Amawiyah dengan golongan Syiah serta
Khawarij, menghentikan peperangan dan mencegah caci maki terhadap
khalifah Ali bin Abi Thalib dalam khutbah Jumat dan diganti dengan
bacaan ayat dalam Q.S. al-Nahl/16 ; 90. Terjemahnya : Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran. Dari beberapa kebijakan-kebijakan
yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz memberi indikasi
bahwa ia lebih memfokuskan pembangunan dalam negri. Asumsi itu
diperkuat alasan bahwa karena pada masa pemerintahannya tercatat hanya
melakukan penyerangan ke Prancis melalui pengunungan Piranee yang
dipimpin oleh Abd al-Rahman Ibn Abdullah al-Ghafiqi saat itu.
C. Gerakan – gerakan Oposisi terhadap Bani Umayyah
Pada akhir-akhir masa jatuhnya Bani Umayyah, telah muncul Gerakan Oposisi terhadap
bani umaiyah ini, sehingga memperkeruh kondisi dinasti(kerajaan) ini pada saat itu. Di
antaranya adalah gerakan-gerakan yang digencarkan oleh kelompok-kelompok sebagai
berikut :
1. Kelompok Syi’ah
seperti yang kita ketahui bersama bahwa Syi’ah adalah orang-orang yang
yang mendukung Sayidina Ali(pengikut Sayidina Ali). Mereka menganggap
Dinasti Umayah ini perebut kekuasaan dari keturunan Sayidina Ali. Pengabdian
dan ketaatan mereka yang tulus terhadap keturunan Nabi berhasil menarik simpati
publik. Mereka mendapat dukungan dari orang-orang disekelilingnya yang tidak
puas terhadap pemerintahan Dinasti Umayyah, baik dari sisi politik, ekonomi,
maupun sosial.
2. Kelompok Sunni
Di kelompok Sunni, sekalipun orang yang paling Saleh di antara mereka,
mengecam akhlak para Khalifah karena mereka mementingkan kehidupan
duniawi, serta mengabaikan hukum Al-Qur’an dan Hadith, dimana-mana mereka
telah siaga penuh untuk menjatuhkan sanksi keagamaan terhadap segala bentuk
penentangan yang mungkin muncul.
3. Keluarga ‘Abbas
Para keturunan Paman Nabi, al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muththalibibn
Hasyim, mulai menegaskan tuntutan mereka untuk menduduki pemerintahan.
4. Perpecahan antara suku, etnis, dan kelompok politik
Di samping ada Gerakan Oposisi terhadap bani umaiyah ini, ada faktor
utama yang melatar belakangi runtuhnya Dinasti ini. Faktor itu adalah munculnya
perpecahan antara suku, etnis, dan kelompok politik yang tumbuh semakin kuat,
sehigga terjadi gejolak politik dan kekacauan yang menganggu stabilitas negara.
Ketika kita melihat ke belakang, sebenarnya para khalifah pada masa akhir
periode Umayyah lebih merupakan pemimpin kelompok tertentu, bukan
pemegang kedaulatan atas sebuah kerajaan yang utuh. Hal ini dapat dilihat dari
putranya Mu’awiyah sebagai penerus menjadi khalifah, Yazid, yang telah lahir
dari seorang Ibu yang berasal dari suku Kalb Yaman, yang bernama Maysun,
menikah dengan seorang wanita suku Kalb. Suku Qays yang merasa iri tidak mau
mengakui penerusnya, Muawiyah II, dan mengangkat baru, IbnZubayr.
Kemenangan suku Kalb yang menentukan atas suku Qays di MarjaRahit (684)
berhasil mengamankan kekuasaan Marwan, bapak keluarga Marwan dalam
Dinasti Umayyah.
Di bawah kepemimpinan al-Walid I, kekuasaan suku Qays mencapai
puncak kejayaannya pada masa al-Hajjaj dan saudara sepupunya, Muhammad,
penakluk India, dan pada masa Qutaybah, penakluk Asia Tengah. Saudara al-
Walid, Sulayman, memberi dukungan kepada orang Yaman. Namun Yazid II,
karena pengaruh Ibunya yang berasal dari keluarga Mudhar, mendukung orang
Qays, seperti halnya al-Walid II; Yazid III mengandalkan pasukan Yaman untuk
merebut kekuasaan dari tangan pendahulunya, al-Walid II.
Menurut analisis penulis, bahwa pada masa menjelang runtuhnya Dinasti
Umayyah ini sudah terjadi perebutan kekuasaan, siapa yang kuat dan mempunyai
pengaruh yang luas dihadapan rakyat maka itulah yang berpotensi menjadi
khalifah. Jiwa persaudaraan dan persatuan pada saat itu sudah meluntur
dibandingkan semangat para khalifah dan gubernur sebelum-belumnya. Inilah
sekilas gambaran politik Dinasti Bani Umayyah pada saat itu.
Faktor lain yang memicu runtuhnya Dinasti Umayyah ini adanya rasa
kekecewaan dari orang Islam non Arab, karena mereka merasa dianak tirikan oleh
penguasa. Mereka tidak memperoleh kesetaraan ekonomi dan sosial yang sama
dengan orang Islam Arab, secara umum mereka diposisikan sebagai kalangan
mawla(mantan budak), dan tidak selalu bebas dari kewajiban membayar pajak
kepala yang biasa dikenakan terhadap nonmuslim. Hal lain yang semakin
menegaskan kekecewaan mereka adalah kesadaran bahwa mereka memiliki
budaya yang lebih tinggi dan lebih tua, kenyataan ini bahkan diakui oleh orang
Arab sendiri.
Adanya koalisi antara kekuatan Syiah, Khurasan, dan Abbasiyah, yang
dimanfaatkan kelompok Abbasiyah untuk kepentingan mereka sendiri merupakan
tanda-tanda semakin dekatnya jatuhnya Dinasti Umayyah. Koalisi ini dipimpin
oleh Abu al-Abbas, cicit al-Abbas, paman Nabi. Di bawah kepemimpinannya,
Islam revolusionar bangkit menentang tatanan yang ada dengan menawarkan
gagasan teokrasi, dan janji untuk kembali kepada tatanan
ortodoksi.Pemberontakan dimulai ketika seorang pendukung Abbasiyah, Abu
Muslim, seorang budak Persia yang telah dimerdekakan, mengibarkan bendera
hitam, yang pada awalnya merupakan warna bendera Muhammad, tapi kini
menjadi lambang Abbasiyah.Peristiwa ini terjadi pada 9 Juni 747.
Di dalam referensi yang berbeda pada Gerakan Oposisi terhadap bani
umaiyah, penyebab utama keruntuhan Dinasti Umayyah ini disebabkan dua
faktor. Pertama, faktor intern, yaitu adanya persaingan dan perebutan kekuasaan
di antara para keluarga khalifah. Kedua, faktor ekstern, yaitu adanya perselisihan
dan perebutan pengaruh yang cenderung mengarah pada fanatisme golongan
antara orang Arab Mudariyah di Utara dan Yamaniyah di Selatan. Begitu juga
ketidaksenangan rakyat atas perilaku para khalifah dan keluarganya, terutama
empat khalifah terakhir (al Walid II, Yazid III, Ibrahim dan Marwan II) yang
cenderung mengabaikan nasib rakyat.Apalagi kaum Syi’ah dan pendukung
keluarga Nabi dan keturunan Ali mulai bangkit menentang perlakuan Pemerintah
yang selama ini menekan dan menghinakan mereka
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Latar belakang lahirnya Dinasti Umayyah ialah dalam kondisi dan situasi di
tengah-tengah terjadinya pertentangan politik antara golongan, yaitu: golongan Syi’ah,
golongan Khawarij, golongan Jami’iyah, dan golongan Zubaer. Dari pertentangan polotik
antar golongan itu, kelompok Bani Umayyah yang dipelopori Mu’awiyyah muncul
sebagai pemenangnya yang selanjutnya berdirilah pemerintah Daulat Bani Umayyah.
Bertitik tolak dari uraian di atas dapatlah dikatakan perkembangan perekonomian
pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah secara umum sudah mulai meningkat
dibanding dengan masa sebelumnya. Meningkatnya perekonomian yang membawa
kepada kemakmuran rakyat pada dinasti ini, sebenarnya tidak terlepas dari
kebijaksanaan-kebijaksamnaan yang dilakukan khalifah, di samping dukungan
masyarakat terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut.
Berangkat dari uraian di atas, terlihat bahwa perkembangan administrasi pada
masa Dinasti Bani Umayyah sudah semakin kompleks, mengingat munculnya berbagai
persoalan yang crusial yang menuntut adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan. Namun
secara prinsip kebijaksanaan yang dilakukan Bani Umayyah adalah merupakan
pengembangan dan penyempurnaan dari administrasi yn\ang pernah diciptakan oleh
Khalifah Umar ibn Khattab.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2004)
Rasyid Jullandri, Qur’anic Exsegies and Classical Tafsir, (t.tp: Islamic Quarterly, 1980)
Jalaludin As- Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa’, (Kairo: Dar An-Nahdah, 1975)
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media pratama,
2007)
Abdul Al-A’Al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1984)
A, Salaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Zikra, 2000), cet IV
Yasuf Al-‘Isy, Dinasti Umayyah: Sebuah Perjalanan Lengkap tentang Peristiwa- Peristiwa yang
Mengawali dan Mewarnai Perjalanan Dinasti Umayyah, terj. Imam Nurhidayat dan
Mudammad Khalil, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2007)
Abdul Azis, et.al, Ensikopedi Islami, Jilid V (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2001)
K. Ali, A Study Of Islamic History; Terj. Adang Affandi , (Jakarta: Ban Cipta, 1995)
Philip K. Hitty, The Arabs; A Short History, Terj. Ushuluddin Hutagalung,

(Yokyakarta: Sumur Bandung, 2001)


Badri, Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
Rajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004)
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999)

Anda mungkin juga menyukai