Anda di halaman 1dari 136

Heri Susanto

Seputar
Pembelajaran Sejarah
(Isu, Gagasan dan Strategi
Pembelajaran)

2014

i
Heri Susanto

Seputar Pembelajaran Sejarah


(Isu, Gagasan dan Strategi Pembelajaran)

© Heri Susanto, Banjarmasin 2014

viii + 128 Halaman; 15,5 X 23 cm


ISBN-10: 602-18655-9-6
ISBN-13: 978-602-18655-9-0
Cetakan I: Januari 2014

Penata Isi: lu_cy


Desain Cover: Agvenda

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun juga, baik secara mekanis maupun elektronis, termasuk
fotokopi, rekaman dan lain-lain tanpa izin dari penerbit

Penerbit:
Aswaja Pressindo
Anggota IKAPI No. 071/DIY/2011
Jl. Plosokuning V No. 73 Minomartani,
Ngaglik, Sleman Yogyakarta
Telp.: (0274) 4462377
e-mail: aswajapressindo@gmail.com
aswajapressindo@yahoo.com
Website: www.aswajapressindo.co.id

ii
Untuk para pembelajar,
yang selalu mencari makna dari setiap
perjalanan.

iii
Heri Susanto

iv
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, dengan petunjuk Allah S.W.T. buku ini


dapat terselesaikan. Buku ini adalah sebuah karya kecil yang coba
penulis persembahkan untuk dunia pendidikan sejarah. Ide buku
ini berawal dari keprihatinan penulis terhadap kondisi pembelajaran
sejarah yang cenderung kurang menyenangkan dan dianggap tidak
penting. Selama penulis menjadi guru, banyak sekali fakta yang
penulis temukan bahwa mata pelajaran sejarah menjadi mata
pelajaran yang dianggap kurang penting. Bahkan muncul ejekan
yang berbunyi “untuk apa mengungkit masa lalu”. Lebih parah lagi,
mereka yang mengerti sejarah dan menekuni disiplin sejarah
sebagian hanya beranggapan bahwa mempelajari sejarah hanya
untuk kesenangan. Kondisi ini semakin menguatkan bahwa ada
sesuatu yang harus diperbaiki dalam pembelajaran sejarah.
Mengajarkan sejarah berarti mengajarkan tentang nilai
kehidupan. Keunikan ini menyebabkan diperlukaannya strategi
khusus dalam pembelajaran sejarah. Bukan sekedar menguasai
materi, pengajar sejarah juga dituntut untuk menguasai strategi
mengajar sejarah. Sebagai proses interaksi dan rekonstruksi
pengalaman, pembelajaran sejarah memerlukan kejelian pengajar
untuk merancang pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa.
Buku ini terbagi menjadi dua bagian, bagian pertama
merupakan telaah konseptual pendidikan sejarah dan bagian kedua
merupakan aplikasi didaktik sejarah. Jika pada bagian pertama

v
Heri Susanto

cenderung teoritis, pada bagian kedua penulis berharap agar


pembaca dapat memiliki gambaran dalam merancang pembelajaran
sejarah inovatif. Akhirnya penulis berharap semoga karya kecil ini
bermanfaat bagi para pembaca.

Banjarmasin, Januari 2014


Penulis

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................. i


PERSEMBAHAN ..................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................ vii

BAGIAN PERTAMA;
TELAAH KONSEPTUAL ......................................................... 1
BAB I SEJARAH, BUDAYA DAN NASIONALISME ..... 2
A. Pendahuluan ..................................................................... 2
B. Pemahaman Sejarah dan Persepsi terhadap
Keberagaman Budaya Sebagai Variabel
Penanaman Nasionalisme ................................................ 6
BAB II MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
MELALUI PENDIDIKAN SEJARAH ................. 27
A. Pendahuluan ................................................................... 27
B. Nilai-nilai Karakter dalam Sejarah Bangsa .................... 28
C. Pendidikan Karakter dan Pendidikan Sejarah ................ 32
D. Pembelajaran Sejarah dalam Upaya Membangun
Karakter Bangsa ............................................................. 35
E. Kesimpulan ..................................................................... 38

vii
Heri Susanto

BAB III PENANAMAN NASIONALISME MELALUI


PEMBELAJARAN SEJARAH YANG ADAPTIF .. 39
A. Wacana ........................................................................... 39
B. Kedudukan dan Peran Mata Pelajaran Sejarah
dalam Penanaman Nasionalisme ................................... 41
C. Pengajaran Sejarah dengan Pendekatan Adaptif dalam
Menanamkan Nasionalisme ........................................... 46
D. Simpulan ......................................................................... 53

BAGIAN KEDUA;
APLIKASI DIDAKTIK SEJARAH ...................................... 55
BAB IV KONSEP DAN PRAKSIS PEMBELAJARAN
SEJARAH ................................................................. 56
A. Tujuan Pembelajaran Sejarah ........................................ 57
B. Karakteristik Pembelajaran Sejarah ............................... 59
C. Kompetensi Pembelajaran Sejarah .................................. 61
D. Praksis Pembelajaran Sejarah ......................................... 63
BAB V DESAIN, STRATEGI DAN EVALUASI
PEMBELAJARAN SEJARAH ............................... 85
A. Perencanaan/Penyusunan Perangkat Pembelajaran ..... 85
B. Strategi Pengajaran Sejarah ........................................... 94
C. Evaluasi Pembelajaran Sejarah ..................................... 113

DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 119

viii
BAGIAN PERTAMA
TELAAH KONSEPTUAL

1
Heri Susanto

BAB I
SEJARAH, BUDAYA DAN
NASIONALISME

A. Pendahuluan
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan
mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan
mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok
manusia. Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur:
Pertama; kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa In-
donesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua,
kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala
bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia.
Nasionalisme tiap bangsa di dunia tercipta melalui proses yang
berbeda-beda, sehingga pada saat Nasionalisme tersebut menam-
pakaan wujudnya juga mempunyai bentuk dan ciri yang berbeda.
Nasionalisme Indonesia terbentuk dengan cara yang unik, berbeda
dengan Nasionalisme Eropa atau Nasionalisme bangsa lain di Asia
yang kebanyakan terbentuk dari adanya persamaan ras, suku, nenek
moyang, atau hal lain yang melahirkan nuansa monokultural.
Nasionalisme Indonesia justru terlahir di tengah keberagaman ras,
suku, nenek moyang dan nuansa multikultural, dijelaskan oleh Elson
(2008:101) bahwa sifat nasionalisme Indonesia yang bertahan lama,
yakni karena kemampuannya menggugah pengabdian kepada satu
bangsa sambil menampung toleransi multikultural berikut
kepentingan daerah dan suku.
Lombard (2008: 1) dalam tinjauannya menyebutkan; sungguh
tak ada satu pun tempat di dunia ini – kecuali mungkin Asia Tengah
– yang, seperti halnya Nusantara, menjadi tempat kehadiran hampir

2
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme

semua kebudayaan besar dunia, berdampingan atau lebur menjadi


satu.
Realita geografik, kultural dan etnikal, Nusantara ini dihuni oleh
ratusan suku dengan budaya yang beragam serta kepercayaan dan
agama yang berbeda-beda. Fakta ini mendorong para perintis
kemerdekaan dalam era idealisasi perjuangan menganut paham
bahwa bangsa adalah kelompok masyarakat yang memiliki latar
belakang sejarah, nasib, tujuan dan cita-cita yang sama. Rumusan
inilah yang menyatukan seluruh suku bangsa di Indonesia ini
menjadi satu bangsa. Dan rumusan ini pulalah yang secara empiris
berhasil mengantar bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan
(Soemitro, 1994:32).

Berangkat dari asumsi tersebut selayaknya pula kalau sikap


nasionalisme yang harus ditunjukkan oleh warga bangsa adalah
nasionalisme yang berlandaskan pada pemahaman sejarah
perjuangan masyarakat di masing-masing daerah dan persepsi
terhadap budaya daerah yang benar sebagai pembentuk identitas
Indonesia secara utuh.
Pemahaman kembali ketangguhan dan keuletan berbagai daerah
berarti merajut lebih rapi lagi kesatuan dan persatuan bangsa.
Komunitas bangsa yang terdiri atas kesatuan suku bangsa dan
kesatuan etnis tidak tumbuh sendiri, terbentuk melalui proses
sejarah yang panjang. Jati diri bangsa merupakan hasil terjadinya
proses pematangan integrasi nasional(Taufik Abdullah, 1996:13).

Dalam konteks ini, sejarah perjuangan rakyat daerah untuk


lepas dari kolonialisme dan untuk menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan manifestasi dari sikap politik untuk berada
dalam sebuah “nation” yang disebut Indonesia. Pemahaman yang
baik terhadap sejarah perjuangan rakyat di daerah untuk lepas dari
kolonialisme dan untuk menjadi NKRI selayaknya menjadi pondasi
semangat nasionalisme masyarakat pada tiap daerah, dengan
demikian nasionalisme yang diliki setiap warga negara merupakan
nasionalisme yang mempunyai pijakan yang kokoh sehingga tidak
mudah luntur oleh berbagai tantangan yang muncul kemudian.
Akan tetapi mempelajari sejarah seringkali belum dipahami
sebagai upaya menumbuhkan sikap nasionalisme, terlebih sejarah
3
Heri Susanto

daerah yang seringkali dianggap kurang unik dan kurang penting.


Sehubungan dengan hal tersebut Bambang Purwanto (2006)
mengemukakan, jika prinsip sejarah sebagai sesuatu yang unik
diterapkan, maka dapat dikatakan bahwa semua sejarah sebenarnya
adalah sejarah lokal. Sementara itu sejarah nasional tidak lain hanya
merupakan representasi politis dari sejarah lokal dalam bingkai
dimensi keruangan yang baru, ketika perkembangan nasionalisme
berhasil menciptakan identitas baru dalam konteks negara bangsa.
Sejarah nasional pada dasarnya adalah sekumpulan sejarah lokal
dalam bingkai keruangan yang lebih luas lagi, dengan demikian
memahami sejarah lokal sebagai upaya menumbuhkan sikap
nasionalisme sama pentingnya dengan memahami sejarah nasional.
Diantara bagian dari sejarah lokal yang penting untuk dikaji
adalah sejarah perjuangan rakyat di daerah, misalnya saja sejarah
perjuangan rakyat Banjar, dari sejarah ini kita dapat mempelajari
bagaimana sikap anti kolonialisme dan imperialisme masyarakat
Banjar yang menjadi napas perjuangan di Kalimantan Selatan dan
sekaligus sejalan dengan proses penbentukan nasionalisme Indone-
sia yang berangkat dari alasan yang sama yaitu anti kolonialisme
dan imperialisme.
Disamping sejarah perjuangan rakyat daerah, yang tidak kalah
pentingnya adalah keberagaman budaya daerah, seperti dijelaskan
dimuka bahwa nasionalisme Indonesia terbentuk ditengah
keberagaman budaya tiap daerah, sehingga tidak bisa dipungkiri
bahwa budaya Indonesia pada hakikatnya merupakan perwujudan
dari budaya-budaya daerah itu sendiri. Persepsi yang benar terhadap
keberagaman budaya akan mampu mengarahkan setiap masyarakat
di daerah untuk memiliki identitas dan karakter yang kuat sebagai
manusia Indonesia dalam bingkai multikulturalisme. Selain hal
tersebut, perjalanan sejarah dari banyak negara besar membuktikan
bahwa bangsa yang mampu berkembang menjadi bangsa pesaing
di tingkat dunia adalah bangsa yang mempunyai identitas budaya
yang kuat dan mampu mempertahankan keluhuran akar budaya
mereka.
Peran budaya pada era reformasi menghadapi tantangan
berkaitan dengan fungsinya sebagai penyadaran “sense of belong-

4
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme

ing dan nasionalisme” (Wiriatmadja, 2002:viii). Nilai-nilai yang


terkandung dalam budaya daerah diharapkan dapat membentuk
karakter masyarakat tiap daerah menjadi lebih kuat dan maju dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan justru menjadi
alat perpecahan diantara sesama warga bangsa. Untuk mewujudkan
hal tersebut tentunya diperlukan upaya penyadaran yang sistematis
melalui dunia pendidikan.
Ditinjau dari segi pendidikan, pada hakekatnya pendidikan
adalah proses pembudayaan secara terus-menerus dan sistematis
yang akan membentuk kepribadian peserta didik menjadi manusia
dewasa yang seutuhnya, dalam tataran ini pendidikan dan budaya
adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan suatu
masyarakat akan mempengaruhi proses pembentukan kepribadian
seorang individu dalam pendidikan, dalam konsep ini pendidikan
tidak hanya diidentifikasi sebagai kegiatan persekolahan, akan tetapi
juga proses pembudayaan dalam keluarga dan masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, adalah sangat penting untuk
menggali kembali nilai-nilai positif dari keberagaman dalam proses
pendidikan sebagai metode penanaman nilai-nilai luhur tradisi yang
akan membentuk karakter individu peserta didik.
Setiap daerah memiliki sistem perekonomian, pengetahuan,
religi, sosial, mata pencaharian, komunikasi, dan kesenian sebagai
unsur budaya. Unsur-unsur tersebut sebagai bukti keberhasilan
bangsa Indonesia di setiap daerah dalam memelihara alam,
memanfaatkan alam, dan menyaring unsur-unsur luar yang masuk.
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa suatu bangsa akan mampu
bertahan bukan hanya karena dapat bersikap adaptif terhadap
perubahan yang terjadi akan tetapi juga karena bangsa tersebut
memiliki karakter yang kuat.
Dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional mengembang-
kan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang,
dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konsep-
tual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian
pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam
konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut
dikelompokan dalam: olah hati (Spiritual and emotional develop-

5
Heri Susanto

ment), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik


(Physical and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (Af-
fective and Creativity development). Pengembangan dan
implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu
pada grand design tersebut(Muhammad Nuh, 2010).
Bertolak pada prinsip tersebut sudah selayaknya pendidikan
harus dibangun dengan tidak mengesampingkan identitas
masyarakat dalam suatu daerah yang tercermin dalam sejarah dan
budayanya. Revitalisasi dan reaktualisasi budaya lokal diperlukan
dalam era globalisasi agar bangsa Indonesia memiliki “rasa hayat
historis” (Soedjatmoko, 1992: 56) dan karakter bangsa yang kuat
untuk terlibat aktif dalam globalisasi tanpa tergilas oleh unsur-unsur
luar. Pendidikan yang berpijak pada budaya lokal dan bercermin
pada sejarah akan mampu menghasilkan generasi yang memiki
karakter yang kuat, menjadi suatu yang penting untuk menggali
nilai-nilai sejarah dan budaya lokal guna menemukan akar solusi
pemecahan berbagai masalah sosial dalam masyarakat dewasa ini.
Pada kenyataannya tren pendidikan yang ada belumlah
menempatkan sejarah dan budaya daerah sebagai suatu kompenen
penting yang akan sangat menentukan bagaimana keberlanjutan
bangsa Indonesia. Sejarah seringkali hanyalah dipahami sebagai
rangkaian peristiwa masa lalu yang tidak ada relevansinya dengan
masa depan dan budaya daerah menjadi budaya yang terpinggirkan
ketika serbuan budaya asing begitu gencar. Menjadi penting
kemudian untuk mencari tahu, seberapa besar kontribusi pema-
haman sejarah dan keberagaman budaya terhadap sikap
nasionalisme.

B. Pemahaman Sejarah dan Persepsi terhadap


Keberagaman Budaya Sebagai Variabel Penanaman
Nasionalisme
1. Pemahaman Sejarah
Pemahaman merupakan proses yang dilalui seorang individu
untuk menjadikan suatu pengetahuan menjadi milik dirinya dan
pada akhirnya akan mempengaruhi proses berfikir dan bertindak
individu tersebut. Menurut Suharsimi Arikunto (2003:17) pema-

6
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme

haman (comprehension) mempunyai arti mempertahankan,


membedakan, menduga (estimates), menerangkan, memperluas,
menyimpulkan, menggeneralisir, memberikan contoh, menulis
kembali, memperkirakan.
Bloom(1956) memasukkan pemahaman dalam ranah kognitif,
pemahaman menempati tingkat kedua setelah pengetahuan, ini
berarti memahami lebih dari sekedar mengetahui, memahami lebih
mendalam dari sekedar mengetahui. Dapat dikatakan bahwa
pemahaman adalah gabungan antara mengetahui dan menghayati
sesuatu yang menyebabkan seseorang mendapatkan pemahaman
secara utuh.
Winkel (2004:274) menjelaskan bahwa pemahaman mencakup
kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang
dipelajari. Hal ini berarti bahwa pemahaman melibatkan beberapa
proses, yaitu proses mengetahui, menghayati pengetahuan tersebut,
dan kemudian menangkap makna yang terkandung di dalamnya.
Jika dihubungkan dengan pemahaman sejarah, berarti
seseorang dapat memiliki pemahaman sejarah apabila sebelumnya
telah mengetahui konsep sejarah, kemudian menghayati peristiwa
sejarah tersebut, dan kemudian dari penghayatan tersebut akan
mampu menangkap makna yang terkandung dalam peristiwa
tersebut.
Sejarah merupakan suatu proses perjuangan manusia dalam
mencapai gambaran tentang segala aktivitasnya yang disusun secara
ilmiah dengan memperhatikan urutan waktu, diberi tafsiran dan
analisa kritis, sehingga mudah dimengerti dan dipahami. Sejarah
dapat memberikan gambaran dan tindakan maupun perbuatan
manusia dengan segala perubahannya. Perubahan inilah yang dikaji
oleh sejarah. Lebih jauh lagi Taufik Abdullah & Abdurrachman
Surjomihardjo(1985:27) menyebutkan bahwa sejarah bukan semata-
mata suatu gambaran mangenai masa lampau, tetapi sebagai suatu
cermin masa depan.
Konsep sejarah dewasa ini semakin ilmiah dan komprehensif. Sejarah
bukan sekedar rangkaian peristiwa atau untaian pasir, melainkan
lingkaran peristiwa yang terentang pada benang-benang gagasan.
Secara umum diyakini bahwa gagasan merupakan dasar semua

7
Heri Susanto

tindakan dan berada di balik semua setiap kejadian sehingga


perannya sangat penting. Gagasan telah menjadi pertimbangan
dalam tindakan manusia dari abad ke abad. Gagasan merupakan
kekuatan yang memotivasi manusia untuk mengambil tindakan.
Sejarah mengkaji kekuatan di balik tindakan tersebut dan
menghadirkan gambar tiga dimensi tentang manusia di masa
lampau. Sesuai dengan konsep modern, sejarah tidak hanya berisi
tentang sejarah raja dan ratu, pertempuran dan jenderal, tetapi juga
tentang orang biasa – rumah dan pakaiannya, ladang dan
pertaniannya, usaha yang terus menerus untuk melindungi rumah
dan jiwanya dan untuk mendapatkan pemerintahan yang adil,
aspirasinya, prestasi, kekecewaan, kekalahan dan kegagalannya
(Kochhar 2008: 10-11).

Konsep sejarah tersebut menjelaskan bahwa sejarah adalah


sebuah ilmu yang memiliki misi yang sangat besar untuk memper-
baiki peradaban umat manusia, sejarah banyak memberikan
pelajaran tentang konsep-konsep penting dalam menghadapi
kehidupan yang akan datang. Sejarah juga mengajarkan kita
bagaimana kita memahami manusia dalam konteks masa lalu untuk
membuat sejumlah keputusan di masa yang akan datang. Hal
tersebut menjelaskan bahwa sejarah tidaklah sesederhana hanya
sekedar nama, peristiwa, waktu dan tempat kejadian. Sejarah harus
dipandang sebagai upaya penyadaran individu dan masyarakat agar
mampu menjadi warga Negara yang baik.
Penjelasan sejarah mampu menjadi ukuran bertindak dalam
kehidupan, seperti dijelaskan oleh Dilthey; life only takes on a mea-
sure of transparency in the light of historical reason(Sartono
Kartodirdjo, 1959:60). Berbagai perubahan dan keberlanjutan yang
disajikan dalam penjelasan sejarah akan memberikan gambaran
tentang kehidupan dan menunjukkan nilai-nilai penting yang
selayaknya menjadi ukuran dalam bertindak.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, selayaknya sejarah bukan
hanya dipahami sebagai sebuah mata pelajaran(subject matter),
akan tetapi lebih jauh dari itu. Sejarah adalah jalan untuk menuju
pemahaman yang realistis terhadap keadaan masa sekarang, sebagai
hasil mempelajari masa lalu yang akan menjadikan manusia
menjadi lebih bijak dalam membuat keputusan-keputusan hidup.

8
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme

Dengan demikian pemahaman sejarah merupakan pemahaman


tentang perubahan kehidupan manusia di masa lalu melalui
gagasan-gagasannya yang mempunyai akibat terhadap kehidupan
kita dimasa sekarang dan akan datang.
Other qualities which should be develop in history education are
historical knowledge and understanding. These qualities as much
as important as those historical thinking and skills. It is adequate
to say that there will be no other cognitive nor affective qualities
can be developed and constitute students personalities when they
have knowledge of historical fact and terms. In this perspective,
student should be knowledgeable about historical facts,
interpretation, analysis, reconstruction, historical accounts,
criticism, bias, cause and effect, continuity and change, terms
related to historical events which are essential for the development
of historical understanding, and subsequently is prerequisite for
the development of historical thinking and skills. (Said Hamid
Hasan, 2010: 4)

Sejarah bukan saja berkisah tentang peristiwa tetapi juga


mengulas persepsi dan pandangan masyarakat (Asvi Warman Adam,
2005: xii). Pemahaman sejarah perlu dimiliki setiap orang sejak dini
agar mengetahui dan memahami makna dari peristiwa masa lampau
sehingga dapat digunakan sebagai landasan sikap dalam menghadapi
kenyataan pada masa sekarang serta menentukan masa yang akan
datang. Artinya sejarah perlu dipelajari sejak dini oleh setiap individu
baik secara formal maupun nonformal, Keterkaitan individu dengan
masyarakat atau bangsanya memerlukan terbentuknya kesadaran
pentingnya sejarah terhadap persoalan kehidupan bersama seperti:
nasionalisme, persatuan, solidaritas dan integritas nasional.
Terwujudnya cita-cita suatu masyarakat atau bangsa sangat ditentu-
kan oleh generasi penerus yang mampu memahami sejarah
masyarakat atau bangsanya.
Dalam konteks ini, sejarah adalah cara dalam menanamkan
konsep-konsep; nasionalisme, persatuan, solidaritas dan integritas
sosial tersebut. Konsep tersebut dapat kita temukan dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme dan
imperialisme bangsa lain. Nasionalisme dalam tataran ini adalah

9
Heri Susanto

ideologi perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan kolonialisme


dan imperialisme.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pema-
haman sejarah adalah pemahaman terhadap ‘pengalaman holistik
sebagai sistem peristiwa masa lalu’(Collingwood, 1985:186) dalam
hubungannya dengan kehidupan manusia di masa kini dan masa
akan datang, yang di dalamnya terdapat nilai dan karakter
perjuangan tiap bangsa.
Menurut Frederick & Soeri Soeroto (2005) beberapa unsur
pemikiran sejarah yang merupakan proses untuk memahami masa
lampau yang pertama adalah pengertian waktu, sebagai pangkal
pemikiran sejarah waktu dapat diuraikan sebagai sesuatu yang
mutlak dalam sejarah. Unsur selanjutnya adalah kesadaran akan
sifat dasar fakta, yaitu kerumitannya. Fakta harus dilihat dari
berbagai sudut, sebanyak mungkin, serta diperlakukan dengan hati-
hati sekali dan akhirnya harus diputuskan pada bagian atau dalam
pengertian yang seperti apa yang paling mendekati kebenaran. Unsur
ketiga ialah tekanan pada sebab-musabab, bukan saja kapan suatu
kejadian itu terjadi, apa yang sesungguhnya telah terjadi dan
bagaimana terjadinya, tetapi juga mengapa. Terakhir, meskipun
sejarah unik akan tetapi jangkauan topiknya bisa sangat luas dalam
artian bisa apa saja dalam segi kehidupan manusia.
Pemahaman sejarah merupakan kecenderungan berfikir yang
merefleksikan nilai-nilai positif dari peristiwa sejarah dalam kehi-
dupan sehari-hari, sehingga kita menjadi lebih bijak dalam melihat
dan memberikan respon terhadap berbagai masalah kehidupan.
Pemahaman sejarah memberi petunjuk kepada kita untuk melihat
serangkaian peristiwa masa lalu sebagai sistem tindakan masa lalu
sesuai dengan jiwa jamannya, akan tetapi memiliki sekumpulan nilai
edukatif terhadap kehidupan sekarang dan akan datang.
Berfikir sejarah mengharuskan kita mempertemukan dua
pandangan yang saling bertentangan: pertama, cara berfikir yang
kita gunakan selama ini adalah warisan yang tidak dapat
disingkirkan, dan, kedua, jika kita tidak berusaha menyingkirkan
warisan itu, mau tidak mau kita harus menggunakan “presentisme”

10
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme

yang membuat buntu kita pikiran itu, yang melihat masa lalu dengan
kacamata masa sekarang (Wineburg, 2006: 18).

Seseorang yang memiliki pemahaman sejarah tidak akan


terjebak pada kecenderungan “presentism” tersebut, akan tetapi tidak
juga menihilkan adanya sekumpulan konsep dan kausalitas sistemik
sebagai pembentuk kehidupan masa sekarang dan arah bagi
kehidupan pada masa yang akan datang.

2. Persepsi terhadap Keberagaman Budaya


Persepsi merupakan aspek psikologis yang akan sangat mem-
pengaruhi tindakan seseorang terhadap suatu hal. W.S. Winkel
(2004:278) menjelaskan bahwa persepsi mencakup kemampuan
untuk mengadakan diskriminasi yang tepat antara dua perangsang
atau lebih, berdasarkan pembedaan antara ciri-ciri fisik yang khas
pada masing-masing rangsangan. Adanya kemampuan ini
dinyatakan dalam suatu reaksi yang menunjukkan kesadaran akan
hadirnya rangsangan (stimulasi) dan perbedaan antara seluruh
rangsangan yang ada. Reaksi yang muncul misalnya adanya
stereotipe baik atau tidak terhadap objek yang dipersepsikan.
Bimo Walgito(2003) menjelaskan, persepsi merupakan suatu
proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan adalah
merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat
penerima yaitu alat indera. Stimulus yang mengenai individu itu
kemudian diorganisasikan, diiterpretasikan, sehingga individu
menyadari tentang apa yang diinderanya itu.
Selanjutnya Taylor, Peplau, dan Sears (2009) menjelaskan
bahwa persepsi merupakan proses yang relatif rasional dalam
mengambil informasi tentang sesuatu dan mengorganisasikannya
berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Persepsi melalui interaksi-
interaksi yang mencakup pemprosesan informasi secara heuristik.
Penafsiran merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari
persepsi, ini karena persepsi selalu dimulai dari proses pengindraan
dan bermuara pada interpretasi/ penafsiran terhadap objek persepsi.
Andrik Purwasito (2003: 172) menjelaskan; persepsi sebagai fokus
kajian mendasarkan pada asumsi persepsi adalah inti komunikasi,
sedangkan penafsiran merupakan inti persepsi. Dalam hubungannya

11
Heri Susanto

dengan budaya, persepsi terhadap budaya merupakan upaya


memperoleh informasi melalui interaksi-interaksi yang melibatkan
komunikasi dan kontak dengan budaya yang dipersepsi dan
selanjutnya melakukan pemprosesan informasi secara heuristik
untuk memahami objek persepsi dan menginterpretasikannya sesuai
prinsip-prinsip yang dipahami.
Apabila persepsi sosial merupakan proses yang digunakan
seseorang untuk memahami orang lain, maka persepsi terhadap
budaya merupakan proses seseorang untuk memahami budaya.
Dalam proses ini terjadi atribusi yaitu upaya untuk memahami
penyebab dibalik perilaku sosial budaya yang memegang peranan
penting untuk memahami objek yang dipersepsi (Baron dan Byrne,
2004).
Proses atribusi juga dapat mengalami bias, mengingat proses
atribusi juga dipengaruhi oleh faktor emosional seseorang sehingga
cenderung mudah berubah (Taylor, Peplau, dan Sears, 2009).
Berdasarkan atas hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa dalam
persepsi itu sekalipun stimulusnya sama, tetapi karena pengalaman
tidak sama, kemampuan berpikir tidak sama, kerangka acuan tidak
sama, adanya kemungkinan hasil persepsi antara individu satu
dengan individu yang lainnya tidak sama(Bimo Walgito, 2003).
Dalam hal persepsi terhadap budaya, terkadang apabila persepsi
tersebut melibatkan sekelompok orang maka dapat memunculkan
konsensus palsu (Taylor, Peplau, dan Sears, 2009), yaitu adanya
tendensi untuk melebih-lebihkan kelaziman dan upaya menggene-
ralisasi sesuatu objek yang dipersepsikan. Pandangan yang baik dari
seseorang yang berpengaruh dalam kelompoknya seringkali akan
diikuti pula oleh anggota kelompok lainnya, bisa pula terjadi satu
orang yang dinilai baik maka orang lain dalam kelompok yang sama
juga dianggap baik.
Lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi
stimulus juga akan berpengaruh dalam persepsi, terlebih-lebih bila
objek persepsi adalah manusia. Objek dan lingkungan yang melatar-
belakangi objek merupakan kebulatan atau kesatuan yang sulit
dipisahkan. Objek yang sama dengan situasi sosial yang berbeda,
dapat menghasilkan persepsi yang berbeda (Bimo Walgito, 2003).

12
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme

Bila dihubungkan dengan budaya, maka persepsi budaya


merupakan kesadaran akan keberadaan budaya sebagai hasil dari
mengambil informasi tentang budaya dan mengorganisasikannya
berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Hasil pengorganisasian inilah
yang nantinya akan melahirkan interpretasi terhadap budaya dan
menjadi dasar tindakan bagi individu atau masyarakat tersebut.
Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan dan hasil
karya yang dapat dirasakan dengan belajar beserta hasil budi dan
karya itu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebudayaan
sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial,
yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami
lingkungan sosial yang dihadapi dan sehingga tercipta pola tindakan
tertentu (Ruslie Mar’ie, 2005: 45).
Menurut antropologi kebudayaan adalah “keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”
(Koentjaraningrat, 1980:193). Dalam pada itu Ralph Linton
mengemukakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah
laku yang unsur-unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh
anggota dari masyarakat tertentu. Sementara itu C. Kluckhohn dan
W.H. Kelly merumuskan bahwa kebudayaan adalah pola untuk
hidup yang tercipta dalam sejarah, yang eksplisit, implisit, rasional,
irrasional dan non rasional, yang terdapat pada setiap waktu sebagai
pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia (Harsojo, 1967).
The term of culture is derived from Sanskrit and Malay, namely
budhi and daya. Budhi refer to logical mind, while daya refers to
words. Malay is the power of influence and strength. Accordingly,
in brief it may refer to the power of thinking, soul and willingness
to move the soul. … In brief, it is a way of life conducted by a group
of people comprises social, politic, ekonomic, religion, belief,
custom, attitude, and value (Ahmad Ali Seman, 2010: 39).

Berangkat dari definisi tersebut bahwa kebudayaan tidak dapat


dilepaskan dari kehidupan manusia, manusia membentuk kebuda-
yaan dan dalam waktu bersamaan manusia juga dibentuk oleh
kebudayaan yang melingkupinya. Bila dalam definisi Linton
dikatakan bahwa kebudayaan didukung dan diteruskan oleh anggota

13
Heri Susanto

masyarakat, maka kebudayaan adalah identitas suatu masyarakat


dan dikembangkan oleh masyarakat itu sendiri. Sesuai dengan
karakter masyarakat yang selalu dinamis untuk menjawab segala
tantangan yang datang maka kebudayaan juga selalu mengalami
reinterpretasi dan transformasi sehingga kebudayaan juga bukan
sesuatu yang statis, akan tetapi sangat dinamis mengikuti gerak
perubahan masyarakat pemiliknya.
Adalah sebuah kenyataan mutlak bahwa Indonesia adalah
negara dengan banyak budaya, keunikan ini selain kekayaan juga
menjadi tantangan tersendiri terhadap identitas kebangsaan kita.
Susahnya membentuk persepsi bersama terhadap identitas budaya
bangsa adalah salah satu masalah pokok yang dihadapi negara
dengan banyak budaya, fanatisme kesukuan dan persepsi stereotipe
terhadap budaya lain adalah masalah lain yang juga sering muncul
dalam pergaulan masyarakat dengan ciri plural yang kental seperti
Indonesia.
Pendekatan historis tentang masyarakat Indonesia – yang sebagian
besar di antaranya menjadi unsur pembentuk bangsa Indonesia
pada dewasa ini – dapat memberikan pemahaman logis mengenai
keadaan plural dan heterogen masyarakat ini. Sejarah merekam
bahwa wilayah Kepulauan Nusantara yang kini telah terwujud
menjadi wilayah Negara Keasatuan Republik Indonesia telah
kedatangan manusia – yang bukan saja berbeda dalam dimensi etnik
tetapi juga ras – dari beberapa belahan dunia. Kelompok-kelompok
manusia tersebut sudah tentu berperan besar dalam menegaskan
bahwa Indonesia adalah negara yang plural dan heterogen dalam
bidang kultur. (I Gde Semadi Astra, 2010: 253)

Pluralisme mengarah pada apa yang disebut kesadaran akan


adanya pihak lain dan perbedaan baik dalam kehidupan nyata
maupun kehidupan filosofis dengan representasinya (Siti Ruhaini
Dzuhayatin, 2007: 412). Kesadaran ini bermula dari adanya persepsi
positif terhadap keberagaman budaya.
Di lain pihak, ketika pluralisme budaya dunia memberi peluang
kepada masyarakat negara berkembang untuk “tampil beda”, maka
seharusnya diartikan sebagai peluang untuk menggali kebudayaan
“lokal” yang memang unik, yang khas, sekaligus dapat membantu

14
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme

pencapaian kepentingan nasional dalam percaturan politik


internasional (Tulus Warsito & Wahyuni Kartikasari, 2007: 45).
Bukanlah suatu kecelakaan jika negara Indonesia harus menampung
kebangsaan yang bercorak multikultural. Keragaman tidak selalu
berakhir dengan pertikaian asal tersedia sistem pengelolaan negara
yang kongruen dengan pluralitas kebangsaan. Kita juga tidak perlu
terobsesi dengan penyeragaman, karena kesatuan bukanlah ukuran
kedamaian dan kesejahteraan (Yudi Latif, 2011: 364).

Sistem pengelolaan negara yang kongruen dengan pluralitas


kebangsaan adalah pengelolaan negara yang ramah terhadap
keberagaman, yang menempatkan keberagaman sebagai pondasi
dalam membangun “nations state”. Negara mempunyai peran yang
sangat besar dalam upaya membentuk “moral precepts” bagi warga-
nya, yaitu persepsi positif terhadap keberagaman budaya bangsa.
Ajaran moral inilah yang nantinya akan melahirkan kesadaran
budaya yang utuh sebagai sebuah bangsa dengan ciri pluralitas yang
kental. Bagaimana persepsi terhadap budaya dibentuk, setidaknya
ajaran moral yang ditanamkan sebagai suatu sistem ideologi oleh
negara akan turut mewarnainya.
Persepsi terhadap budaya yang bermuara pada kesadaran
budaya tersebut dimulai dari; pertama, pengetahuan akan adanya
berbagai kebudayaan suku bangsa yang masing-masing mempunyai
jati diri beserta keunggulan-keunggulannya; kedua, sikap terbuka
untuk menghargai dan berusaha memahami kebudayaan suku-suku
bangsa di luar suku bangsanya sendiri, dengan kata lain kesediaan
untuk saling kenal; ketiga, pengetahuan akan adanya berbagai
riwayat perkembangan budaya di berbagai tahap masa silam; dan
keempat, pengertian bahwa di samping merawat dan mengembang-
kan unsur-unsur warisan budaya, kita sebagai bangsa Indonesia yang
bersatu sedang mengembangkan sebuah kebudayaan baru, yaitu
kebudayaan nasional (Edy Sedyawati, 2006).
Keadaan yang beragam dalam berbagai hal itu – selain tidak
dapat dihindari – memang tidak dapat dipungkiri juga memiliki
dimensi positif dan negatif. Belakangan ini, kurang lebih menjelang
akhir abad XX, berkembang pandangan multikulturalisme yang pada
hakikatnya berupaya menjebatani keadaan plural dan heterogen itu

15
Heri Susanto

agar terjadi pertautan arah yang pada akhirnya bermuara pada


keberanian hidup bersatu dalam keberagaman, bukan disatukan
dalam keseragaman. Menurut multikulturalisme, harus diterima
adanya realitas empiris keanekaragaman, perbedaan, namun
bersamaan dengan itu harus dikembangkan pula pandangan kesede-
rajatan, toleransi, persamaan, penghargaan terhadap demokrasi, hak
asasi, dan solidaritas. (Mulkhan dan Atmadja dalam I Gde Semadi
Astra, 2010: 255)
Pembentukan masyarakat multikultural Indonesia yang sehat tidak
bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus
diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan
berkesinambungan, dan bahkan perlu percepatan (akselarasi). Salah
satu strategi penting dalam mengakselerasikannya adalah
pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh
lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal, dan bahkan
informal dalam masyarakat luas (Azyumardi Azra, 2011:20).

Secara sederhana upaya tersebut dapat dilakukan dengan


memupuk persepsi positif terhadap keberagaman budaya. Hal ini
menjadi penting karena inti masyarakat multikulturalisme adalah
adanya kesediaan menerima dan menghargai budaya lain yang
tercermin dalam persepsi terhadap keberagaman budaya.
Masalah multikulturalisme bisa dijelaskan dengan fakta bahwa
setiap warga negara, bukanlah individu-individu abstrak yang
tercerabut dari akar sosialnya. Pengakuan terhadap hak-hak budaya
kelompok etnis, terutama golongan minoritas, harus dibuka terlebih
dahulu sebagai prakondisi menuju pembentukan individu warga
negara yang bisa melampaui identitas etniknya/post etnic condition
(Yudi Latif, 2011: 365).
Persepsi terhadap budaya bangsa yang berciri multikulturalisme
pada umumnya selalu berkaitan dengan anggapan bahwa “tiap
budaya mempunyai tipe kepribadian dominan” (Kaplan & Manners,
2002: 184). Hal ini nampak misalnya ketika kita mempersepsikan
bahwa bahwa seseorang dari suku bangsa tertentu cenderung
memiliki ciri perilaku tertentu sesuai dengan ciri dominan masyarakat
asalnya.

16
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme

Persepsi positif akan muncul manakala objek yang dipersepsi


mempunyai kecenderungan untuk sama atau setidaknya tidak
bertentangan dengan pemahaman perseptor. Sebaliknya bila objek
persepsi memiliki banyak perbedaan apalagi sangat bertentangan
dengan nilai budaya yang dianut dan dipahami perseptor maka akan
menimbulkan persepsi negatif. Jika persepsi positif akan mengarah
pada integrasi maka persepsi negatif akan mengarah pada
disintegrasi.
Dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia akan sangat
mungkin sekali terjadi kesalahpahaman sebagai akibat dari
beragamnya perbedaan yang ada, oleh karenanya untuk membentuk
persepsi positif terhadap keberagaman perlu adanya pemahaman
prinsif kebhinekaan sebagai roh dari integrasi kebangsaan Indone-
sia. Prinsif kebhinekaan dimaksud adalah penerimaan dan saling
menghargai terhadap keberagaman bangsa yang mencakup ke-
beragaman ras, suku, bahasa, budaya, sosial, ekonomi, politik dan
religi.
Lebih spesifik lagi pada lingkup kedaerahan, keberagaman juga
sangat terasa. Keterbukaan akses geografis yang memudahkan
terjadinya kontak budaya dan penyebaran penduduk telah
menyebabkan nuansa keberagaman juga sangat terasa di berbagai
daerah.
Keadaan beragamnya unsur pembentuk budaya inilah yang
menyebabkan munculnya ciri khas masyarakat sebagai pemilik
budaya tersebut. Menurut tinjauan Kuntowijoyo (2006:xii), hal
tersebut menjadi faktor yang menyababkan sistem budaya tidak
pernah berhenti, namun selalu mengalami perubahan dan
perkembangan baik karena dorongan dari dalam maupun dari luar,
tidak terkecuali pada kebudayaan daerah tentunya.
Keragaman, atau kebhinekaan atau multikulturalisme merupakan
salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan
di masa silam, lebih-lebih lagi pada masa kini dan di waktu-waktu
mendatang. Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami
sebagai pengakuan, bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah
beragam dan majemuk. Sebaliknya, tidak ada satu negarapun yang

17
Heri Susanto

mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal (Azyumardi Azra,


2011:21).

Dapat ditarik kesimpulan kemudian, bahwa multikultur adalah


tempat pembelajaran masyarakat dari berbagai kultur yang berbeda-
beda, melalui proses komunikasi, melahirkan tingkah laku sosial,
menyepakati norma dan nilai bersama, membangun struktur
kelembagaan. Multikultur adalah proses transaksi pengetahuan dan
pengalaman yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk
menginterpretasi pandangan dunia mereka yang berbeda untuk
menuju ke arah kebaruan kultur (Andrik Purwasito, 2003: 138).
Dengan paradigma tersebut seharusnya dipahami bahwa keberaga-
man budaya yang terdapat pada tiap daerah adalah unsur yang
memperkaya proses pembentukan identitas ke-Indonesiaan.
Dengan demikian persepsi terhadap keberagaman budaya
merupakan persepsi yang diarahkan pada kecenderungan untuk
menerima, memahami dan menghargai keberagaman sebagai
sebuah identitas kebangsaan Indonesia, dengan indikator; menyadari
eksistensi budaya tiap suku bangsa sebagai bagian budaya bangsa
Indonesia, kepekaan terhadap peran budaya dalam membentuk
karakter masyarakatnya, menunjukkan rasa memiliki terhadap
budaya bangsa, menafsirkan nilai-nilai positif keberagaman budaya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

3. Sikap Nasionalisme
a. Sikap
Istilah sikap yang dalam bahasa Inggris disebut attitude
pertamakali digunakan oleh Herbert Spencer, yang menggunakan
kata ini untuk menunjuk suatu status mental seseorang (Abu Ahmadi,
2007:148). Menurut Chava, Bagardus, La Pierre, Mead dan Gordon
Allport yang dikutip oleh Saifuddin Azwar, bahwa sikap merupakan
semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan
cara-cara tertentu (Saifuddin Azwar, 2000:5). Kesiapan dimaksud
merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi terhadap suatu
keadaan sesuai dengan stimulus yang menghendaki respon tersebut.
Respon hanya akan timbul apabila individu tersebut dihadapkan
pada stimulus yang menghendaki timbulnya reaksi individu. Hal ini

18
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme

berarti bahwa sikap hanya akan nampak apabila terdapat sejumlah


stimulus yang menyebabkan seorang individu dihadapkan pada suatu
keadaan untuk memberikan suatu respon tertentu.
Saifuddin Azwar (2000) menjelaskan beberapa faktor yang
mempengaruhi sikap:
1) Pengalaman Pribadi
Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman
pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap
akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut
terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.
2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang
konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.
Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk
berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang
yang dianggap penting tersebut.
3) Pengaruh Kebudayaan
Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah
sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah
mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah
yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat
asuhannya.
4) Media Massa
Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media
komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan
secara obyekstif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya,
akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya.
5) Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga
agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah menghe-
rankan jika kalau pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi
sikap.

19
Heri Susanto

6) Faktor Emosional
Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang
didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran
frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
Dalam pergaulan hidup sehari-hari sikap akan sangat
menentukan bagaimana penilaian seorang individu terhadap suatu
hal, sikap merupakan pembentuk tingkah laku dan pandangan secara
psikologis. Karena sikap-sikap dilihat sebagai menentukan dalam
keseluruhan organisasi individu, beberapa konsekwensi sikap-sikap
terhadap tingkah laku adalah tidak langsung, karena diperantarai
oleh proses-proses psikologis lainnya(Newcomb, 1985:76), sikap
seringkali depengaruhi juga oleh proses belajar, persepsi, dan kognisi
seseorang. Sehingga wajar kiranya apabila kemudian suatu objek
yang sama akan disikapi berbeda oleh seseorang atau sekelompok
orang.
Psikologi sosial memandang sikap sebagai sesuatu yang penting
bukan karena sikap itu sulit untuk diubah, akan tetapi juga karena
sikap sangat mempengaruhi pemikiran sosial walaupun tidak selalu
direfleksikan dalam tingkah laku(Baron dan Byrne, 2004). Biasanya
seseorang tidak dapat mengukur sikap secara langsung, maka yang
diukur adalah sikap yang nampak, dan sikap yang nampak adalah
juga perilaku(Bimo Walgito, 2003:108).
Pada lingkup yang lebih luas, yaitu lingkup kebangsaan sikap
merupakan indikator tindakan yang mengarah pada tingkat
kesadaran nasional dan nasionalisme kebangsaan. Hal ini erat
kaitannya dengan sikap sebagai bentuk respon terhadap pemaknaan
kondisi kebangsaan sesuai dengan kondisi nyata, dalam bingkai
keindonesiaan sikap kebangsaan akan sangat dipengaruhi oleh
pemahaman terhadap berbagai faktor, misalnya; nilai-nilai ideal dan
realitas yang dipahami, harapan kondisi riil yang diharapkan dan
kecenderungan dalam menanggapi keadaan-keadaan yang kontra
idealis.

b. Nasionalisme
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan
mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris

20
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme

“nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk


sekelompok manusia. Menurut Hans Kohn nasionalisme adalah
suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu
harus diserahkan kepada negara-kebangsaan(Kohn, 1961).
Dalam hubungannya dengan kehidupan berbangsa, Anderson
(2001:8) menjelaskan; bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena
para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan
kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan
mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang
mereka. Namun toh di benak setiap orang yang menjadi anggota
bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka.
Bayangan tentang kebersamaan inilah yang kemudian
mewujudkan semangat nasionalisme. Nasionalisme merupakan
salah satu unsur dalam pembinaan kebangsaan atau nation-build-
ing. Dalam proses pembinaan kebangsaan semua anggota
masyarakat bangsa dibentuk agar berwawasan kebangsaan serta
berpola tatalaku secara khas yang mencerminkan budaya maupun
ideologi. Proses pembinaan kebangsaan memang unik bagi tiap
bangsa. Bagi masyarakat bangsa yang plural akan tetapi homogen,
seperti Amerika Serikat, konsep melting-pot dapat diterapkan.
Namun bagi masyarakat Indonesia yang plural dan heterogen akan
lebih mengedepankan wawasan kebangsaan yang unsur-unsurnya
adalah rasa kebangsaan, faham kebangsaan, dan semangat
kebangsaan atau nasionalisme (Edi Sudrajat, 1998), dalam keadaan
ini diperlukan nasionalisme yang toleran. Nasionalisme yang toleran
adalah nasionalisme yang identitas nasionalnya diupayakan untuk
bisa merasuk kedalam kehidupan pribadi dan kebudayaan, bukan
dipolitisasi dan dijadikan hak dasar hukum untuk memaksa (Dia-
mond, 1998).
Hakikat Indonesia adalah suatu cita-cita politik untuk
mempersatukan unsur-unsur tradisi dan inovasi serta keragaman
etnis, agama, budaya, dan kelas sosial ke dalam suatu “botol baru”
bernama “negara-bangsa”. Hasrat persatuan itu memang terjadi
secara negatif, didorong oleh kehendak menghadapi musuh bersama
(negara kolonial), dan secara positif, tercipta oleh hasrat untuk
mencapai kebahagiaan bersama (Yudi Latif, 2011:357).

21
Heri Susanto

Nasionalisme merupakan tali pengikat yang kuat, yakni paham


yang menyatakan bahwa kesetiaan individu harus diserahkan
kepada negara kebangsaan, sebagai ikatan yang erat terhadap
tumpah darahnya. Keinginan untuk bersatu, persamaan nasib akan
melahirkan rasa nasionalitas yang berdampak pada munculnya
kepercayaan diri, rasa yang amat diperlukan untuk mempertahan-
kan diri dalam perjuangan menempuh suatu keadaan yang lebih
baik. Dua faktor penyebab munculnya nasionalisme, yaitu faktor
intern dan ekstern. Faktor pertama sebagai bentuk ketidakpuasan
terhadap penjajah yang menimbulkan perlawanan rakyat dalam
bentuk pemberontakan atau peperangan. Sedang faktor kedua
sebagai renaissance yang dianggap simbol kepercayaan atas kemam-
puan diri sendiri (Perdanayudha, 2010).
Ikatan-ikatan nasionalisme yang telah dibina dan disepakati
selama masa perjuangan prakemerdekaan, biasaya akan berubah
kearah persaingan antar golongan. Hal ini terjadi karena konsep
nasionalisme (kebangsaan) yang telah disepakati tersebut bisa jadi
mempunyai banyak pengertian. Bisa saja suatu golongan
menganggap konsep tertentu lebih baik daripada konsep yang semula
disodorkan oleh golongan lain (Tulus Warsito & Wahyuni Kartikasari,
2007).
Konsep bangsa yang telah dimiliki masyarakat sampai saat ini pada
dasarnya merupakan penerusan dari konsep bangsa menurut faham
Nasionalisme dari pendiri bangsa. Visi Nasionalisme Indonesia pada
masa pergerakan nasional dan perjuangan kemerdekaan secara jelas
dirumuskan oleh pendiri bangsa sebagai orientasi pemikiran
perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia dari
belenggu penjajahan Belanda dengan mendirikan negara kesatuan,
baik kesatuan tanah air, bangsa, maupun bahasa dan kebudayaannya.
Karena itu ciri dan jiwa nasionalisme pada masa pergerakan adalah
sifat anti kolonial dan semangat untuk membangun persatuan dan
kesatuan masyarakat tanah jajahannya dari kemajemukannya
menjadi kesatuan bangsa motto Bhineka Tunggal Ika dari masa
Majapahit diangkat sebagai semboyan dalam upaya untuk
mewujudkan terciptanya bangunan bangsa yang dicita-citakan
(Djoko Suryo, 2003:5).

22
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme

Soetjipto Wirosarjono (1998) menjelaskan bahwa kesadaran dan


semangat nasionalisme yang tumbuh dan berkembang di Indone-
sia berlatar belakang kolonialisme. Suku-suku bangsa yang ada di
Indonesia disatukan oleh pengalaman yang sama tatkala sama-sama
dijajah oleh bangsa Belanda. Tatkala Indonesia berdiri, suku-suku
bangsa itu kemudian menjadi bagian dari bangsa dan negara Indo-
nesia. Maka semua suku bangsa (daerah) yang ada di Nusantara
itu disatukan oleh nasib dan perjuangan yang sama untuk melawan
penjajahan.
Nasionalisme merupakan jawaban dari tirani bangsa asing atas
kehidupan masyarakat pada abad ke - 19 sampai dengan awal abad
ke – 20. Dalam bukunya Robert Edward Elson menyebutkan bahwa
pertumbuhan identitas pribumi di Hindia, dirangsang walau bukan
diciptakan oleh imperialisme Belanda(Elson, 2008:12). Pendapat ini
bukan tanpa alasan, karena dalam fakta sejarah sebelum kedatangan
dan kemudian penguasaan bangsa asing, terutama Belanda,
Nusantara kita adalah kumpulan kepulauan yang didalamnya
terdapat banyak negara-negara tradisional yang berdiri sendiri,
bahkan cenderung saling bermusuhan.
Sejalan dengan kenyataan tersebut kita dapat memahami bahwa
nasionalisme suatu bangsa dapat terbentuk apabila terdapat kriteria
pengikat yang kuat seperti dijelaskan oleh Hobsbawm(1990:5),
Attempts to establish objective criteria for nationhood, or to
explain why certain grouphs have become ‘nations’ and others
not, have often been made, based on single criteria such as
language or ethnicity or a combination of criteria such as language,
common territory, common history, cultural traits or whatever
else.

Realita historis telah memberikan petunjuk pada kita bahwa


salah satu kriteria pengikat seperti yang dikemukakan Hobsbawm
tersebut pada tataran ‘nations state’ adalah kolonialisme yang dapat
dianggap sebagai ‘pemersatu bangsa’ (Tulus Warsito & Wahyuni
Kartikasari, 2007: 62).
Elson (2009: 22-23) menjelaskan, yang memberi kekuatan
kepada gagasan Indonesia bukanlah kesatuan yang dibangun atas
solidaritas etnis atau ras, keterikatan keagamaan, atau bahkan

23
Heri Susanto

kedekatan geografis, melainkan rasa kesamaan pengalaman dan


solidaritas khusus yang mengalir darinya.
Sejarah membuktikan, nasionalisme politik Indonesia cukup mampu
merajut kepentingan masyarakat plural yang sulit menemukan
kehendak bersama. Akan tetapi, keampuhan nasionalisme politik
ini baru teruji sebagai kekuatan nasionalisme negatif-defensif, ketika
dihadapkan pada keburukan musuh bersama daru luar (penjajahan).
Padahal, dengan berlalunya kolonial, proyek kebangsaan Indonesia
yang berlandaskan pada penemuan “batas” dan “lawan” dengan
kolonial itu bersifat kadaluwarsa (Yudi Latif, 2011: 366).

Indonesia sendiri dari sisi istilah baru ada pada abad ke- 19 lebih
tepatnya pada 1850 ketika seorang pelancong dan pengamat sosial
asal Inggris, George Samuel Winsor Earl menggunakan kata “Indu-
nesians” (Elson, 2008:2) dalam tulisannya. Ini pun bukan berarti
dengan sendirinya bangsa Indonesia terbentuk secara otomatis
setelah nama Indonesia muncul. Semangat nasionalisme Indone-
sia dimulai justru ketika munculnya golongan terpelajar yang
menyadari betapa pentingnya rasa identitas bersama sebagai
landasan untuk melawan praktik kolonialisme dan imperialisme
bangsa asing.
Lebih lanjut Yudi Latif (2011:358) memaparkan;
Bangsa Indonesia tidak seperti kebanyakan bangsa yang mengambil
namanya dari kelompok etnik terdahulu: England dari Angles,
Finland dari Finns, France dari Franks, Rusia dari Rus, Vietnam
dari Viet, Thailand dari Thai, Malaysia dari Melayu, dan lain
sebagainya. Ditinjau dari sudut ini, kesadaran kebangsaan Indonesia
jelas bukanlah suatu perpanjangan dari kesadaran etno-kultural.

Fakta tersebut menjelaskan bahwa secara sadar Indonesia


adalah negara yang disepakati akan melindungi dan menempatkan
setiap suku, ras dan etnis yang terdapat didalamnya secara sejajar,
tidak memihak etnis tertentu. Sikap nasionalisme yang dikembang-
kan para pendiri bangsa tersebut tentu saja diantaranya didasari oleh
adanya persepsi positif terhadap keberagaman budaya bangsa. Para
pendiri bangsa menyadari bahwa keberagaman yang ada telah
menjadi kekuatan dalam perjuangan, terlebih pada masa revolusi.

24
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme

Oleh karena itu, untuk mengerti sifat nasionalisme Indonesia dan


gerakan revolusioner di mana isme itu berkembang, perlu diliki
suatu pengetahuan tentang ciri-ciri terpenting dari lingkungan sosial
yang melahirkannya. Lingkungan penjajahan abad keduapuluh yang
menentukan tahap nasionalisme Indonesia modern yang jelas dan
konkrit, adalah tahap yang menuntut analisis menyeluruh. Akan
tetapi, analisis semacam itupun tidak akan memuaskan tanpa adanya
pemahaman terlebih dahulu tetang proses historis sebelumnya dari
pembentukan ciri-ciri lingkungan yang lebih menonjol (Kahin, 1995:
1).

Sehubungan dengan latar belakang sejarah nasionalisme In-


donesia Sartono Kartodirjo (1998) menjelaskan, pertumbuhan
negara-nasion dalam abad ke-19 bersamaan dengan perkembangan
demokrasi, parlementarianisme dan konstitusionalisme, kesemuanya
memantapkan pembangunan civil society. Sejarah perkembangan
nasionalisme di dunia ketiga senantiasa sebagai counter-ideology
kolonialisme, sebagai ideologi yang bertujuan memperjuangkan
kebebasan untuk membangun negara nasion mencakup komunitas
multi etnis sebagai kesatuan.
Sebagaimana halnya dengan kebanyakan negara baru yang
berasal dari kancah perjuangan menentang kolonialisme lainnya,
Indonesia tidak tumbuh dari perpecahan negara yang multi etnis.
Secara simbolis dapat dikatakan bahwa kelahiran Indonesia sebagai
bangsa dan negara adalah hasil perjuangan kaum nasionalis untuk
menciptakan sebuah bangsa yang bisa menjawab tantangan zaman
modern(Taufik Abdullah, 1998).
Adanya intervensi dari kekuatan luar telah menunjukkan
bahwa kekuatan nasionalisme sebagai ideologi yang disepakati
menjadi penting untuk membawa bangsa menuju kemerdekaan
(Hobsbawm, 1990). Dengan demikian jelas bahwa nasionalisme
Indonesia merupakan nasionalisme yang terbentuk melalui suatu
proses perjuangan dan kesadaran. Bukan merupakan nasionalisme
yang tumbuh secara alami karena persamaan ras, suku, atau bahasa,
akan tetapi nasionalisme yang muncul karena adanya persamaan
nasib dan sekaligus merupakan jawaban atas keinginan memecah
belah dan menguasai yang dilakukan oleh bangsa asing.

25
Heri Susanto

Pada akhirnya, konsepsi negara-bangsa mengisyaratkan


perlunya keserasian (congruency) antara “unit kultural” (bangsa)
dengan “unit politik” (negara). Inti persoalannya adalah bagaimana
menemukan bangun dan jiwa kenegaraan yang cocok dengan
karakter kebangsaan (Yudi Latif, 2011: 357). Sehingga akan mampu
melahirkan sikap nasionalisme Indonesia sesuai yang diharapkan.
Sikap nasionalisme merupakan semangat kebangsaan yang
timbul sebagai wujud penghormatan terhadap sejarah perjuangan
bangsa Indonesia yang didalamnya terdapat jiwa patriotisme,
ketulusan berkorban untuk kepentingan bersama, kemerdekaan dan
persatuan bangsa. Ini berarti untuk memiliki sikap nasionalisme,
warga bangsa harus memahami terlebih dahulu sejarah bangsanya.
Kurangnya pemahaman dan penghormatan terhadap sejarah
akan mempunyai kontribusi terhadap pemahaman nasionalisme
yang benar, seperti dijelaskan oleh Sartono Kartodirdjo (dalam Cecep
Darmawan, 2009: 121); … it is the lost of historical knowledge to-
wards the history of nation, so that they do not understand the
meaning of nationalism correctly.
Sikap nasionalisme pada hakekatnya merupakan refleksi dari
adanya integrasi emosional nasional. Kochhar (2008: 471) menjelas-
kan; integrasi emosional tidak menyangkut geografi, ekonomi, sosial,
atau politik; ini adalah integrasi aspek intelektual yang diwujudkan
melalui pendidikan sebagai tahap pertama dan kemudian dilanjutkan
dengan integrasi fungsional. Aspek intelektual yang berfungsi dalam
integrasi nasional dapat diberi nama integrasi emosional.
Bila ditinjua dari teori sikap, maka sikap nasionalisme
merupakan semangat kebangsaan yang ditunjukkan dengan;
pengakuan terhadap identitas bangsa Indonesia, seperti bendera,
bahasa, lambang Negara dan lagu kebangsaan, penerimaan terhadap
prinsip kebhinekaan, penerimaan terhadap konsep Negara Kesatuan
Republik Indonesia, semangat anti kolonialisme dan imperialisme,
kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara,
mengamalkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

26
BAB II
MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
MELALUI PENDIDIKAN SEJARAH

A. Pendahuluan
Karakter menjadi kata yang semakin akrab di telinga kita akhir-
akhir ini. Berbagai tafsiran dan gagasan kemudian muncul menyer-
tainya, di antara tema pemikiran yang banyak diperbincangkan
adalah adanya keprihatinan bahwa bangsa ini mengalami gejala
kehilangan karakternya. Banyaknya kasus kekerasan, tindakan
intoleransi, disintegrasi, merebaknya kasus korupsi dan menggeja-
lanya ketidak jujuran di kalangan pemimpin adalah tema-tema berita
yang acapkali menghiasi pemberitaan di hampir semua stasiun
televisi di negeri ini dan sering disebut-sebut sebagai indikasi
menipisnya karakter bangsa.
Kondisi tersebut telah memunculkan berbagai macam
penafsiran, dalam dunia pendidikan banyak ahli pendidikan di negeri
ini mengemukakan bahwa praksis pendidikan yang dijalankan
sekarang ini belum mampu menanamkan nilai-nilai karakter dalam
kegiatan pembelajaran di sekolah. Sementara itu di sisi lain masya-
rakat juga seakan lupa untuk mempertahankan nilai-nilai karakter
dalam kehidupan berbangsa, kejujuran tidak lagi menjadi standar
utama dalam hubungan antar individu di masyarakat. Bagi dunia
pendidikan, dalam hal ini pendidikan sejarah, PR utamanya adalah
bagaimana disiplin ilmu ini mampu memberi kontribusi dalam upaya
membangun karakter bangsa melalui nilai-nilai yang terkandung
dalam sejarah bangsa.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah memperlihatkan
bahwa kegigihan, kemandirian, saling menghormati, dan semangat

27
Heri Susanto

persatuan merupakan karakter utama pembentuk bangsa ini.Dari


rangkaian peristiwa sejarah bangsa kita dapat mempelajari bahwa
nilai-nilai tersebut menjadi kekuatan bagi perjuangan bangsa Indo-
nesia dan sekaligus menentukan nasib bangsa Indonesia di kemudian
hari. Pertanyaan yang kamudian muncul adalah; masih adakah
nilai-nilai tersebut dalam hati sanubari setiap warga bangsa, masih
relevankah nilai-nilai tersebut untuk kondisi kekinian, dan jika
memang masih relevan upaya apa yang dapat dilakukan untuk
meneguhkannya kembali menjadi karakter bangsa.
Berangkat dari kondisi tersebut, pendidikan karakter menjadi
penting, sebagai upaya untuk memberikan penyadaran tentang
karakter bangsa dan menanamkannya dalam hati sanubari generasi
penerus bangsa. Perbincangan seputar pendidikan karakter juga
bukan hal yang baru, meskipun dalam praktiknya seringkali terdapat
kegamangan tentang bagaimana pola pendidikan karakter yang harus
ditetapkan, apakah terintegrasi menjadi bagian dari setiap mata
pelajaran dalam kurikulum persekolahan, ataukah berdiri sendiri
sebagai sebuah bidang studi. Salah satu inovasi yang dikembangkan
dalam praktik pembelajaran adalah memasukkan nilai-nilai karakter
dalam setiap mata pelajaran mulai dari penyusunan parangkat
pembelajaran seperti RPP berkarakter, meskipun dalam pelaksana-
annya pada saat pembelajaran berlangsung kadangkala nilai-nilai
karakter tersebut terlupakan oleh guru.
Mengikuti inovasi tersebut berarti pendidikan karakter menjadi
relevan untuk setiap bidang studi tidak terkecuali pendidikan sejarah.
Untuk dapat membentuk karakter pendidikan sejarah harus
diarahkan pada upaya rekonstruksi dan reaktualisasi nilai-nilai luhur
dalam setiap narasi sejarah sebagai upaya penanaman karakter
bangsa.Tinjauan ini berusaha mengulas bagaimana pendidikan
sejarah dapat membentuk karakter bangsa melalui aktualisasi nilai-
nilai luhur sejarah bangsa.

B. Nilai-nilai Karakter dalam Sejarah Bangsa


Indonesia adalah sebuah identitas yang diperjuangkan. Identitas
adalah kondisi seseorang atau komunitas yang pada prinsipnya dapat
dibentuk dalam konteks pembangunan karakter melalui pendidikan

28
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Sejarah

yang terencana (Susanto Zuhdi, 2010). Pendidikan pada dasarnya


adalah proses pembentukan karakter, dalam lingkup yang lebih kecil,
pembelajaran sejarah adalah upaya pembentukan karakter melalui
upaya pemahaman dan peneguhan kembali nilai-nilai unggul
perjalanan sebuah bangsa.
Melalui narasi sejarah peserta didik dapat diajak untuk
memahami bagaimana kegigihan, patriotisme, kerelaan berkorban
untuk kepentingan bangsa dan sikap nasionalisme. Mempelajari
sejarah berarti membangkitkan kembali memori masa lalu yang
akan mempengaruhi bagaimana kita memandang dunia pada masa
kini dan masa yang akan datang.
Ahli sejarah menyampaikan suatu cerita mengenai kolektivitas
manusia yang menembus pengalaman-pengalaman aktif dan pasif,
dan menyampaikan pula suatu cerita mengenai individu-individu
yang hidup dalam masyarakat mempengaruhi dan dipengaruhi
masyarakat (Renier, 1997: 205). Dari cerita tersebut pembaca sejarah
dapat mengetahui bagaimana sifat dasar manusia dari setiap zaman
yang terefleksi melalui keteguhan, semangat juang dan kerelaan
berkorban untuk mewujudkan cita-cita bangsa.
Identitas bangsa yang diperjuangkan oleh para tokoh yang
berasal dari berbagai daerah di kepulauan Nusantara mulai awal
abad ke-20 pada dasarnya adalah kemandirian (Susanto Zuhdi, 2010:
402). Kemandirian dalam tinjauan ini merupakan kebebasan dari
pengaruh bangsa lain, kemandirian secara politik, ekonomi dan peri
kehidupan lainnya. Nilai kemandirian ini dapat dikembangkan dalam
pembelajaran sejarah yang dilakukan, yaitu dengan menggunakan
cerita sejarah peserta didik diajak untuk memahami bagaimana
kemandirian ini terbentuk dan bagaimana kemandirian ini pada
akhirnya mampu membawa bangsa Indonesia pada suatu fase yang
disebut kemerdekaan.
Dalam perspektif sejarah juga terlihat bahwa identitas yang
dibangun oleh bangsa terjajah adalah sebuah representasi agar
mereka dapat duduk sama rendah berdiri sama tinggi (Susanto Zuhdi,
2010). Hal ini mengisyaratkan adanya sebuah karakter yang
dibangun para pejuang kemerdekaan yaitu kesetaraan.Nilai
kesetaraan ini bila kita perhatikan dalam banyak peristiwa sejarah

29
Heri Susanto

ternyata telah mampu menjadi kekuatan mental dalam perjuangan


bangsa Indonesia.Menjadi sangat relevan kiranya apabila nilai ini
dikembangkan kembali dalam pembelajaran sejarah, terlebih dalam
konteks kekinian ketika ketergantungan bangsa secara ekonomi kian
nyata terlihat.
Tidak kalah pentingnya dalam sejarah banyak terdapat ajaran
moral yang dapat dikembangkan menjadi nilai-nilai karakter. Mem-
baca tentang sejarah pergerakan nasional misalnya, kita dapat
melihat bagaimana peran generasi muda dalam perjuangan bangsa.
Generasi muda dalam perjuangan ini adalah generasi muda yang
memiliki kapabilitas, integritas dan moralitas yang tinggi. Keteguhan
untuk memperjuangkan kepentingan bersama dan keteguhan
mempertahankan idealisme juga menjadi nilai karakter yang
seharusnya dikembangkan kembali pada konteks kekinian sehingga
generasi muda memiliki sikap yang memperkuat kebangsaan dan
tidak mudah larut dalam euporia setiap tren kehidupan modern.
Sehubungan dengan karakter bangsa, dalam tinjauannya
Susanto Zuhdi(2010) menjelaskan; karakter bangsa memperlihatkan
semangat zaman (zeitgeist). Misalnya pada tahun 1962 Presiden
Soekarno menggagas betapa pentingnya bangsa-bangsa yang baru
keluar dari penjajahan bangsa asing untuk konsisten dalam
menghadapi bentuk-bentuk baru (neo-kolonialisme dan neo-impe-
rialisme). Bagi Soekarno karakter bangsa harus ditempa oleh karena
tantangan hebat yang sesungguhnya tidak pernah berhenti.
Tantangan itu adalah bentuk baru ancaman kolonialisme dan
imperialisme.
Salah satu nilai karakter yang dapat diambil dari perjuangan
Soekarno adalah konsistensinya sejak ia menulis “Nasionalisme, Is-
lam, dan Marxisme”. Apa yang ditulis Soekarno selalu terefleksi dalam
setiap tindakan dan kebijakannya pada saat memimpin negara. Jika
terminologi karakter digunakan (Doni Koesoema, 2010:90) bahwa;
“karakter adalah sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh intervensi
manusiawi” maka apa yang dilakukan Soekarno tersebut sangat
merepresentasikan kekuatan karakternya sebagai pemimpin bangsa.
Sementara itu Hatta dalam tinjauannya lebih menekankan
tentang pentingnya mempertahankan identitas diri bangsa yang

30
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Sejarah

sekaligus telah menjadi karakter ekonomi bangsa Indonesia yaitu


ekonomi kerakyatan.Hatta sebagai salah seorang “Founding Father”
Republik Indonesia, berusaha memasukkan rumusan perkoperasian
di dalam “konstitusi”.Apa yang diperjuangkan Hatta dalam pasal 33
tersebut sebenarnya berangkat dari kondisi kultural masyarakat
Indonesia yang telah berlangsung selama berabad-abad. Dalam
bukunya Hatta menjelaskan bahwa; dalam masyarakat Indonesia
terdapat kecenderungan kooperatif sosial, misalnya saja budaya
gotong royong dalam mendirikan rumah, menggarap sawah,
membangun jalan dan sebagainya. Ciri tersebut pada dasarnya
merupakan ciri masyarakat sosialis yang memegang teguh budaya
tolong-menolong dan bekerjasama (cooperative), sehingga sudah
selayaknya kalau perekonomian Indonesia juga mengikuti prinsip
yang dipakai dalam kooperatif sosial tersebut, yaitu kooperatif
ekonomi (Muhammad Hatta, t.th).
Renier (1997) dalam tinjauannya menjelaskan bahwa dalam
setiap sejarah selalu muncul “manusia luar biasa”, pandangan ini
nampaknya sangat tepat untuk menggambarkan para tokoh sentral
dalam perubahan sejarah. Selanjutnya Renier menjelaskan jika
manusia seperti ini mengikuti arah perjalanan manusia/masyarakat
tempat dia berada, dia dapat mempercepat perjalanan masyarakat
tersebut, dia dapat menyingkirkan halangan-halangan yang
merintangi perjalanan dan dia dapat membimbing orang-orang
semasanya.Apa yang dikemukakan Renier tersebut sudah barang
tentu tidak lepas dari kuatnya pengaruh karakter yang dimiliki oleh
sosok “manusia luar biasa tersebut”.
Pemaparan diatas memberikan penjelasan bahwa sejarah
mampu menjadi ukuran bertindak dalam kehidupan, seperti
dijelaskan oleh Dilthey; life only takes on a measure of transpar-
ency in the light of historical reason(Sartono Kartodirdjo,1959:60).
Berbagai perubahan dan keberlanjutan yang disajikan dalam
penjelasan sejarah akan memberikan gambaran tentang kehidupan
dan menunjukkan nilai-nilai penting yang selayaknya menjadi
ukuran dalam bertindak.

31
Heri Susanto

C. Pendidikan Karakter dan Pendidikan Sejarah


Pendidikan sebagaimana kita pahami merupakan proses
internalisasi gagasan, nilai, dan seperangkat pengetahuan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian pendidikan pada
dasarnya adalah proses pembudayaan. Melalui pendidikan terjadi
proses penanaman nilai yang akan menentukan bentuk dan tatanan
masyarakat pada masa yang akan datang. Dalam pengertian teoritis
secara sederhana dan umum, pendidikan bermakna sebagai usaha
untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi
bawaan, baik jasmani maupun rohani, sesuai dengan nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat dan kebudayaan (Choirul Mahfud, 2011: 32).
Terkait karakter, setiap proses pendidikan adalah pendidikan
karakter. Pendidikan karakter terjadi dengan lebih alamiah ketika
dilaksanakan secara natural dan informal. Oleh karena itu, tidak
perlu ada mata pelajaran khusus tentang pendidikan karakter.
Demikian juga, tidak perlu ada usaha-usaha terprogram untuk
mengembangkan pendidikan karakter yang nantinya malah terjatuh
pada formalisme, atau lebih parah lagi jatuh pada indoktrinasi (Doni
Koesoema, 2012: 9).
Pandangan tersebut memberikan petunjuk bahwa pendidikan
karakter dapat terjadi di dalam maupum di luar kelas. Pendidikan
karakter di dalam kelas sudah tentu melibatkan guru sebagai tokoh
sentral pembelajaran. Dalam hal ini kemampuan guru untuk
merancang pembelajaran dan manajemen materi pembelajaran
menjadi sangat penting. Meskipun pendidikan karakter selayaknya
bebas dari proses indoktrinasi, akan tetapi kemampuan guru dalam
merancang materi pembelajaran akan sangat menentukan apakah
siswa akan memiliki karakter yang diinginkan sebagai hasil proses
pendidikan.
Thomas Lickona (2006) menyebutkan ada tiga hal penting
dalam pendidikan karakter, yaitu; unsur pengetahuan tentang yang
baik (knowing the good), tindakan yang baik (doing the good), dan
unsur motivasi internal dalam melakukan yang baik (loving the
good). Jika ingin disimbolkan secara otomatis, ketiga hal tersebut
ingin mengatakan sebagai berikut. Pertama, pendidikan karakter
mesti mengembangkan otak manusia sebagai salah satu cara untuk

32
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Sejarah

mengolah informasi, memahami, dan memaknai realitas di dalam


diri dan di luar dirinya. Kedua, pendidikan karakter mesti memaksi-
malkan fungsi tangan dan kaki sebagai sebuah tindakan bermakna.
Ketiga, pendidikan karakter mesti menumbuhkan rasa indah,
nyaman, mantap dalam hati karena ia tahu bahwa apa yang dilaku-
kannya itu bermakna dan membuatnya bahagia (Doni Koesoema,
2012: 157). Dengan demikian domain pendidikan karakter menurut
Lickona menyangkut otak, tangan dan hati.
Pendidikan sebagai proses pembudayaan terus mengalami
perkembangan, baik dari segi sistem, pola, materi maupun strategi
paedagogik pembelajaran. Dalam perkembangan tersebut seringkali
terdapat banyak pengaruh dari berbagai tren yang berkembang di
masyarakat, bangsa dan Negara. Dalam konteks ini pendidikan
adalah proses bembudayaan yang sangat dinamis dan selalu
menyesuaikan diri dengan jiwa zamannya.
Fenomena pendidikan yang berkembang selalu mendapat banyak
pengaruh.Sejarah dalam ilmu pendidikan adalah serangkaian
peristiwa yang perlu dipahami, bahwa upaya mendidik masyarakat
adalah suatu peristiwa sejarah yang penting.Sejarah masyarakat
adalah sejarah kemanusiaan yang panjang, yang terjadi atas prakarsa
manusia untuk memperbaiki kualitas kehidupan mereka. Teori-teori
sejarah akan menggambarkan banyak sekali fenomena pendidikan
yang telah terjadi di masa lampau, lembaga-lembaga pendidikan
yang ada dan berusaha mencari titik acuan guna memperbaiki
perilaku di masa depan bagi peradaban manusia (Agus Salim, 2007:
18).

Jika kita amati dari perjalanan sejarah pendidikan bangsa-


bangsa di dunia sebenarnya kita dapat mengetahui bahwa kebijakan
dan praksis pendidikan yang dilakukan selalu berperan besar dalam
membentuk karakter bangsa tersebut. Kita dapat mengetahui
bagaimana pola pendidikan yang diterapkan pada masyarakat Sparta
telah membentuk karakter militer dalam diri pemudanya dan
mengantarkan Negara Kota tersebut menjadi sangat ditakuti.Kita
juga dapat mengetahui bagaimana pola pendidikan yang diterapkan
di Athena dapat membentuk para filsuf dan ilmuan terkemuka
sehingga Negara Kota tersebut menjadi sangat disegani.Sehingga

33
Heri Susanto

tidak berlebihan kiranya apabila Mc Clelan mengemukakan bahwa


pendidikan dapat membawa kemajuan peradaban dengan lebih cepat.
Pergulatan pokok yang dihadapi oleh setiap kebudayaan tentang
eksistensinya adalah berperang melawan risiko untuk dilupakan,
hilang dalam sejarah, dan tidak diingat lagi. Cara paling tradisional
untuk memberantas serangan atas ‘lupa’ ini adalah dengan bercerita.
Melalui cerita, masyarakat meneruskan cita-cita, idealisme, nilai-
nilai, adat istiadat, perilaku, tata cara, dan lain lain, yang menjadi
kekayaan budaya suatu masyarakat kepada generasi yang lebih muda
(Doni Koesoema, 2010: 10-11).
Dimanakah pendidikan sejarah berperan?Pendidikan sejarah
berusaha menjadi jembatan antara masa lalu yang tak mungkin
diamati secara langsung dengan masa kini yang melingkupi
kehidupan manusia, sehingga dengan demikian serangan ‘lupa’
tersebut dapat diminimalisir. Mempelajari sejarah berarti menghi-
dupkan kembali nilai-nilai tersebut, dan dengan menghidupkan nilai
tersebut juga berarti membentuk karakter bangsa.
Dengan mempelajari sejarah didapat suatu konstruksi berpikir
yang realities-empirik, sesuai dengan fenomena sejarah yang ada.
Dengan memahami sejarah setidaknya akan mendorong menjadi
pribadi yang terbuka (open-minded person) dan memiliki hati yang
bersih dari berbagai prasangka dan penghakiman dini (early judg-
ment) (Agus Salim, 2007: 18). Pendidikan sejarah yang baik akan
sangat menentukan apakah masyarakat yang akan datang memiliki
karakter yang lebih baik dari masyarakat yang ada sekarang dan di
masa lalu, ataukah sebaliknya.Dengan demikian terdapat hubungan
yang sangat kuat antara pendidikan karakter dengan pendidikan
sejarah.
Pendidikan sebagai sebuah sistem membutuhkan langkah
operasional untuk mencapai tujuan, dalam hal ini karakter bangsa.
Langkah operasional dalam hal ini adalah praksis pendidikan dan
lebih spesifik lagi pembelajaran. Pembelajaran menjadi jantung
pendidikan, keberhasilan pembelajaran sangat menentukan kualitas
pendidikan, dan proses pembelajaran yang dilakukan akan
menentukan apakah peserta didik memperoleh nilai dan makna dari
rangkaian proses pendidikan yang dialami.

34
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Sejarah

D. Pembelajaran Sejarah dalam Upaya Membangun


Karakter Bangsa
Sartono Kartodidjo (1988) berpendapat; bahwa dalam rangka
pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak semata-mata
berfungsi untuk memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan
informasi fakta sejarah tetapi juga bertujuan menyadarkan anak
didik atau membangkitkan kesadaran sejarahnya. Untuk mencapai
tujuan tersebut maka sejarah yang diajarkan haruslah sejarah yang
mengedepankan nilai-nilai kehidupan, bukan sejarah hapalan yang
hanya menyuguhkan nama, tempat, angka tahun dan peristiwa
semata. Kendatipun unsur-unsur tersebut tidak dapat ditinggalkan
dari pembelajaran sejarah, akan tetapi bukan berarti pembelajaran
yang dilakukan hanya memfokuskan pada hal-hal tersebut, yang
akan menjadikan pembelajaran sejarah menjadi kering dari makna
dan tidak memberikan penyadaran terhadap individu pembelajar.
Lebih luas lagi Hamid Hasan (2011: 3) dalam tinjauannya
menjelaskan;
Pendidikan Sejarah merupakan materi pendidikan yang teramat
penting untuk mencapai empat tujuan.Pertama pendidikan sejarah
memberikan materi pendidikan yang mendasar, mendalam dan
berdasarkan pengalaman nyata bangsa di masa lalu untuk
membangun kesadaran dan pemahaman tentang diri dan
bangsanya. Kedua, materi pendidikan sejarah merupakan materi
pendidikan yang khas dalam membangun kemempuan berpikir logis,
kritis, analitis, dan kreatif karena berkenaan dengan sesuatu yang
sudah pasti dalam kehidupan bangsa di masa lampau dan selalu
berkenaan dengan perilaku manusia yang dikendalikan oleh cara
berpikir logis, kritis, analitis dan kreatif yang sesuai dengan
tantangan kehidupan yang dihadapi pada masanya. Ketiga,
pendidikan sejarah menyajikan materi dan contoh keteladanan,
kepemimpinan, kepeloporan, sikap dan tindakan manusia dalam
kelompoknya yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
dalam kehidupan manusia tersebut. Keempat, kehidupan manusia
selalu terkait dengan masa lampau karena walau pun hasil tundakan
dalam menjawab tantangan bersifat final tetapi hasil dari tindakan
tersebut selalu memiliki pengaruh yang tidak berhenti hanya untuk
masanya tetapi berpengaruh terhadap masyarakat tadi dalam

35
Heri Susanto

menjalankan kehidupan barunya, dan oleh karenanya peristiwa


sejarah menjadi “bank of examples” untuk digunakan dan
disesuaikan sebagai tindakan dalam menghadapi tantangan
kehidupan masa kini.

Terkait dengan hal tersebut, I Gde Widja (1989), mengungkap-


kan bahwa bertolak dari pikiran tiga dimensi sejarah maka proses
pendidikan, khususnya pengajaran sejarah, ibarat mengajak peserta
didik menengok ke belakang dengan tujuan melihat ke depan. Makna
yang tertuang dari pendapat ahli tersebut adalah dengan mempelajari
nilai-nilai kehidupan masyarakat di masa lampau, diharapkan
peserta didik mencari atau mengadakan seleksi terhadap nilai-nilai
itu, mana yang relevan atau dapat dikembangkan dalam mengha-
dapi tantangan zaman yang kompleks di masa kini maupun yang
akan datang. Proses mencari atau proses seleksi jelas menekankan
pada pendekatan proses, serta menuntut untuk lebih diciptakan
aktivitas fisik-mental dan kreativitas siswa dalam belajar sejarah (I
Gde Widja dalam Ahmad Turmuzi, 2011).
Pembelajaran sejarah yang baik akan membentuk pemahaman
sejarah. Pemahaman sejarah merupakan kecenderungan berfikir
yang merefleksikan nilai-nilai positif dari peristiwa sejarah dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga kita menjadi lebih bijak dalam
melihat dan memberikan respon terhadap berbagai masalah kehi-
dupan. Pemahaman sejarah memberi petunjuk kepada kita untuk
melihat serangkaian peristiwa masa lalu sebagai sistem tindakan
masa lalu sesuai dengan jiwa jamannya, akan tetapi memiliki
sekumpulan nilai edukatif terhadap kehidupan sekarang dan akan
datang.
Sehubungan dengan pendidikan karakter maka pembelajaran
sejarah harus diarahkan untuk memahami dan menghayati nilai-
nilai karakter yang tercermin dalam setiap cerita sejarah.Bukankah
“membentuk watak” seperti yang telah dipaparkan dalam berbagai
fakta historis di atas merupakan karakter yang terbentuk di dalam
dinamika sejarah bangsa Indonesia (Susanto Zuhdi, 2010: 409).
Dengan demikian pada dasarnya perjalanan sejarah itu sendiri adalah
perjelanan membentuk karakter bangsa, sehingga pendidikan yang

36
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Sejarah

dilakukan haruslah memperhatikan nilai-nilai karakter dalam


sejarah bangsa.
Menurut Hamid Hasan (2012: 89-90) materi pendidikan sejarah
sangat potensial bahkan esensial untuk mengembangkan pendidikan
karakter bangsa. Untuk itu materi pendidikan sejarah harus berubah
dari materi yang kaya fakta tapi kering nilai menjadi materi yang
mencakup materi yang dapat menjelaskan kenyataan kehidupan
masa kini, arah perubahan yang sedang terjadi, tradisi, nilai, moral,
semangat perjuangan yang hidup di masyarakat ketika suatu
peristiwa sejarah terjadi dan masih diwariskan hingga masa kini.
Inovasi pembelajaran sejarah sangat diperlukan untuk menjadi-
kan mata pelajaran sejarah sebagai media yang efektif dalam
membentuk karakter peserta didik.Inovasi harus dilakukan secara
menyeluruh dan terpadu, dimulai dari perencanaan, strategi
pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Inovasi tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Pada tahap perencanaan, pengorganisasian materi harus lebih
ditekankan untuk penanaman nilai-nilai karakter sesuai dengan
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Pemilahan materi
ini akan menentukan seberapa banyak peserta didik memperoleh
informasi. Sesuai dengan semangat KTSP, guru mempunyai
kebebasan untuk mengatur materi ajar yang diperlukan asalkan
tidak bertentangan dengan standar isi. Dengan demikian guru
dapat memodifikasi materi dengan memasukkan unsur-unsur
lokal dan nasional dalam sejarah yang mempunyai nilai karakter.
Guru sebaiknya mengurangi keterpakuan pada buku pelajaran
yang dijual di pasaran. Seringkali buku yang dijual luas di pasaran
hanya menyajikan informasi faktual yang kering nilai.
2. Dalam strategi pembelajaran, sesuai dengan semangat Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan yang dijiwai oleh filsafat konstruk-
tivisme, maka pembelajaran sebaiknya lebih diarahkan untuk
rekonstruksi nilai-nilai karakter melalui cerita sejarah. Dalam
kegiatan pembelajaran fokus utama kegiatan pembelajaran
bukanlah ekspositori oleh guru akan tetapi sebisa mungkin lebih
ditekankan untuk inquiri. Peserta didik harus diarahkan untuk

37
Heri Susanto

menemukan nilai-nilai karakter, dan selanjutnya mengapli-


kasikannya dalam konteks kekinian.
3. Evaluasi pembelajaran sejarah menurut Aman (2012: 132-133)
menekankan pada penilaian proses dan hasil belajar siswa. Hasil
pembelajaran mencakup kecakapan akademik, kesadaran sejarah,
dan nasionalisme. Dengan demikian evaluasi tidak hanya
mencakup aspek kognitif, akan tetapi juga afektif.
Cara tersebut diharapkan menjadikan pembelajaran sejarah
dapat lebih memberikan makna dan kesan bagi peserta didik. Dengan
demikian pembelajaran yang dilakukan dapat berperan optimal
sebagai upaya penyadaran terhadap jatidiri bangsa dan pada akhirnya
membentuk karakter peserta didik.

E. Kesimpulan
Pendidikan sejarah dapat berfungsi sebagai media pendidikan
karakter bangsa. Untuk dapat menjalankan fungsinya tersebut,
pendidikan sejarah haruslah bersifat adaptif dan berorientasi pada
nilai-nilai karakter bangsa. Diperlukan serangkaian inovasi dalam
pembelajaran sejarah sebagai jantung pendidikan sejarah, inovasi
yang dilakukan haruslah bersifat menyeluruh dalam artian dimulai
dari perencanaan, dilanjutkan dengan proses pembelajaran dan
diakhiri dengan evaluasi pembelajaran. Selain itu, inovasi juga harus
terpadu, yaitu ketiga komponen tersebut saling berhubungan dan
dilaksanakan secara konsisten tidak hanya terlihat inovatif dalam
perencanaan misalnya RPP akan tetapi tidak dilakukan dalam
kegiatan pembelajaran.
Cara tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan potensi
pendidikan sejarah dalam upaya membentuk karakter bangsa.Narasi
sejarah yang sarat nilai diharapkan dapat menjadi sarana inter-
nalisasi karakter pada diri peserta didik melalui pembelajaran sejarah
yang dilakukan.Dengan demikian pendidikan sejarah tidak hanya
berperan sebagai subject matterakan tetapi lebih jauh dari itu
mampu memberi kontribusi dalam upaya perbaikan kehidupan
manusia dan menjaga eksistensi bangsa.

38
BAB III
PENANAMAN NASIONALISME
MELALUI PEMBELAJARAN SEJARAH
YANG ADAPTIF

A. Wacana
Penanaman nilai nasionalisme dalam pendidikan nasional erat
kaitannya dengan strategi paedagogis pembelajaran, dalam hal ini
pembelajaran sejarah dan arah kebijakan pendidikan nasional.
Kelemahan strategi peadagogis pembelajaran sejarah dalam
menanamkan nasionalisme berhubungan dengan pemahaman guru
sebagai pengajar dalam tugasnya untuk mentransfer ide nasiona-
lisme kepada peserta didiknya.
Sistem pembelajaran sejarah yang dikembangkan sebenarnya
tidak lepas dari pengaruh budaya yang telah mengakar. Model
pembelajaran yang bersifat satu arah dimana guru menjadi sumber
pengetahuan utama dalam kegiatan pembelajaran menjadi sangat
sulit untuk diubah. Pembelajaran sejarah saat ini mengakibatkan
peran siswa sebagai pelaku sejarah pada zamannya menjadi
terabaikan. Pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa
sebelumnya atau lingkungan sosialnya tidak dijadikan bahan
pelajaran di kelas, sehingga menempatkan siswa sebagai peserta
pembelajaran sejarah yang pasif (Siswo Dwi Martanto, 2009:10).
Dengan kata lain, kekurangcermatan pemilihan strategi mengajar
akan berakibat fatal bagi pencapaian tujuan pengajaran itu sendiri
(I Gde Widja, 1989:13).
Strategi pembelajaran yang kurang adaptif tersebut menyebab-
kan pembelajaran sejarah belum mampu menanamkan nasiona-
lisme kepada peserta didik, sementara berbagai tantangan dan
kendala dalam menanamkan nasionalisme semakin berkembang.

39
Heri Susanto

Kendala dalam menanamkan nasionalisme antara lain adalah


berkembangnya globalisasi yang selalu menyajikan berbagai tren
dunia yang lebih menarik, ketimbang mempelajari materi pelajaran
sejarah yang terkesan kuno dan kadangkala dianggap tidak memiliki
relevansi dengan kehidupan dimasa sekarang. Kecenderungan ini
bisa kita lihat misalnya, bagaimana anak-anak muda sangat
menggandrungi tren mode dunia, sementara mereka tidak mengenal
pakaian adat daerahnya. Berkaitan dengan sejarah, kita juga melihat
bagaimana generasi muda begitu menggemari cerita-cerita fiksi dan
tokoh jagoan dalam film kartun, sementara disisi lain mereka tidak
memahami bagaimana sikap patriotisme para pejuang kemerdekaan
Indonesia.
Dari kenyataan di atas seakan memunculkan konstruksi bahwa
kehidupan sekarang terlepas dari kenyataan masa lalu. Akibatnya
tidak ada proses penyadaran bahwa identitas ke-Indonesia-an yang
dimiliki merupakan sintesa dari kenyataan sejarah yang dialami
bangsa Indonesia pada masa sebelumnya.
Kita juga patut mempertanyakan strategi dan arah pendidikan
nasional. Selama ini, seolah-olah cukup Ilmu Pengetahuan dan Sains
ditanamkan pada para peserta didik – tanpa perlu mempertanyakan
korelasinya dengan potensi bangsa yang bisa diproses menjadi
keunggulan. Mungkin cukup banyak para siswa Indonesia yang
berprestasi dalam pelbagai Olimpiade Sains – tapi ke mana mereka
kemudian? Seolah tanpa bekas. Barangkali mereka memang menja-
di ilmuwan dan cendekiawan mumpuni, namun patut dipertanya-
kan bagaimana konstruksi spiritnya. Mungkin secara normatif
mereka masih memiliki nasionalisme, tapi tanpa kejelasan konstruksi
untuk apa mereka menjadi ilmuwan dalam konteks kebangsaan.
Lebih kekinian lagi kita sering disajikan berita tentang upaya
radikalisasi generasi muda yang siap menjadi ancaman serius dalam
kehidupan kebangsaan Indonesia. Keadaan ini bahkan sempat
menimbulkan ketakutan dikalangan para orang tua akan dampak
negatif dari upaya radikalisasi tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut dari perjalanan sejarah kita dapat
melihat bahwa konstruksi kebangsaan yang kita peroleh sekarang
merupakan salah satu dampak positif dari perjalanan sejarah yang

40
Penanaman Nasionalisme Melalui Pembelajaran Sejarah yang Adaptif

telah kita lalui. Konsep tersebut menjelaskan bahwa sejarah adalah


sebuah ilmu yang memiliki misi yang sangat besar untuk
memperbaiki peradaban umat manusia, sejarah banyak memberikan
pelajaran tentang konsep-konsep penting dalam menghadapi
kehidupan yang akan datang. Sejarah juga mengajarkan kita
bagaimana kita memahami manusia dalam konteks masa lalu untuk
membuat sejumlah keputusan di masa yang akan datang. Hal
tersebut menjelaskan bahwa sejarah tidaklah sesederhana hanya
sekedar nama, peristiwa, waktu dan tempat kejadian. Sejarah harus
dipandang sebagai upaya penyadaran individu dan masyarakat agar
mampu menjadi warga Negara yang baik.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, selayaknya sejarah bukan
hanya dipahami sebagai sebuah mata pelajaran(subject matter),
akan tetapi lebih jauh dari itu. Sejarah adalah jalan untuk menuju
pemahaman yang realistis terhadap keadaan masa sekarang, sebagai
hasil mempelajari masa lalu yang akan menjadikan manusia
menjadi lebih bijak dalam membuat keputusan-keputusan hidup
dalam bingkai sebuah nation.
Terlapas dari tendensi kebijakan pendidikan, sebagai praktisi
pendidikan sejarah perlu kiranya kita mencari sebuah formula jitu
untuk menanamkan nasionalisme dalam pembelajaran sejarah,
guna memperkuat konstruksi nasionalisme ditengah tantangan
zaman.

B. Kedudukan dan Peran Mata Pelajaran Sejarah


dalam Penanaman Nasionalisme
Kehidupan manusia berdasarkan dimensi sejarah selalu
berkaitan dengan waktu masa lampau, masa sekarang dan masa
yang akan datang. Keadaan masa sekarang adalah kenyataan hasil
masa lampau untuk menentukan masa yang akan datang.
Kemampuan manusia untuk memainkan perannya pada masa kini
dalam rangka mewujudkan masa depan yang dicita-citakan sangat
ditentukan pemahaman jiwa dan semangat masa lampau dengan
baik. Sejarah merupakan peristiwa yang dilakukan manusia pada
masa lampau (the past human event), terjadi hanya sekali (einmalig)
dan tidak terulang kembali menjadi sejarah yang harus diketahui

41
Heri Susanto

manusia pada masa berikutnya. Karena itu mempelajari sejarah


menjadi penting agar dapat menentukan tindakan yang tepat guna
melanjutkan masa depan yang sesuai dengan harapan masa lampau.
Sejarah mempunyai kedudukan sebagai pengingat umat
manusia untuk selalu sadar dan tidak terjebak ke dalam pengalaman
buruk masa lalu yang tercermin dalam cerita sejarah. Dalam konteks
nasionalisme sejarah memberi peringatan kepada kita tetang
pentingnya memahami identitas kebangsaan yang kita miliki dengan
cara menengok kembali pada masa lalu pada waktu identitas tersebut
terbentuk. Kedudukan sejarah sebagai subject matter telah ada sejak
lama, akan tetapi kedudukan sejarah sebagai pendefinisi jiwa zaman
belum banyak dipahami oleh pengajar sejarah terlebih peserta didik.
Toffler menjelaskan bahwa pendidikan sejarah pada dasarnya
adalah penanaman rasa waktu (time sense), yang tanpanya orang
akan kehilangan orientasi temporal (I Gde Widja, 2002). Dengan
konsep ini peserta didik akan memahami bagaimana gerak dan corak
jiwa kebangsaan pada tiap zaman dan akan menjadi lebih bijak untuk
melihat keberadaannya dalam sebuah konstruksi kebangsaan, dan
diharapkan akan menjadi generasi yang tidak mudah terprovokasi
oleh janji-janji menyesatkan.
Pemahaman sejarah perlu dimiliki setiap orang sejak dini agar
mengetahui dan memahami makna dari peristiwa masa lampau
sehingga dapat digunakan sebagai landasan sikap dalam menghadapi
kenyataan pada masa sekarang serta menentukan langkah terbaik
untuk masa yang akan datang. Artinya sejarah perlu dipelajari sejak
dini oleh setiap individu baik secara formal maupun nonformal,
Keterkaitan individu dengan masyarakat atau bangsanya memer-
lukan terbentuknya kesadaran pentingnya sejarah terhadap per-
soalan kehidupan bersama seperti: nasionalisme, persatuan,
solidaritas dan integritas nasional. Terwujudnya cita-cita suatu
masyarakat atau bangsa sangat ditentukan oleh generasi penerus
yang mampu memahami sejarah masyarakat atau bangsanya untuk
mendapatkan semangat integritas nasional.
Integrasi nasional dapat dipahami sebagai upaya untuk mem-
bawa berbagai perbedaan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya
yang terdapat di masyarakat ke dalam jangkauan yang dapat

42
Penanaman Nasionalisme Melalui Pembelajaran Sejarah yang Adaptif

ditoleransi. Esensinya adalah menyelamatkan masyarakat dari


prasangka kelompok dan kecurigaan yang tak mendasar. Integritas
nasional menciptakan dan memperkokoh dalam diri mereka simbol-
simbol patriotisme dan kebangaan nasional (Kochhar, 2008:471).
Pada konteks ini, sejarah berperan dalam menanamkan konsep-
konsep; nasionalisme, persatuan, solidaritas dan integritas nasional
tersebut. Bagi peserta didik tidak bisa dipungkiri bahwa pembelajaran
sejarah di sekolah adalah cara terbaik untuk menanamkan konsep-
konsep dan nilai tersebut.
Pembelajaran merupakan jantung dari proses pendidikan dalam
suatu institusi pendidikan. Kualitas pembelajaran bersifat kompleks
dan dinamis, dapat dipandang dari berbagai persepsi dan sudut
pandang melintasi garis waktu. Pada tingkat mikro, pencapaian
kualitas pembelajaran merupakan tanggungjawab profesional
seorang guru, misalnya melalui penciptaan pengalaman belajar yang
bermakna bagi siswa dan fasilitas yang didapat siswa untuk mencapai
hasil belajar yang maksimal.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran,
baik secara eksternal maupun internal diidentifikasikan sebagai
berikut. Faktor-faktor eksetrnal mencakup guru, materi, pola
interaksi, media dan teknologi, situasi belajar dan sistem. Masih ada
pendidik yang kurang menguasai materi dan dalam mengevaluasi
siswa menuntut jawaban yang persis seperti yang ia jelaskan.
Dengan kata lain siswa tidak diberi peluang untuk berfikir kreatif.
Guru juga mempunyai keterbatasan dalam mengakses informasi
baru yang memungkinkan ia mengetahui perkembangan terakhir
dibidangnya (state of the art) dan kemungkinan perkembangn yang
lebih jauh dari yang sudah dicapai sekarang (frontier of knowledge).
Sementara itu materi pembelajaran dipandang oleh siswa terlalu
teoritis, kurang memanfaatkan berbagai media secara optimal (Boyi
Anggara, 2007:100).
Pembelajaran sejarah seharusnya dapat menjadi suatu pem-
belajaran yang imajinatif yang akan mempunyai banyak manfaat
dalam kehidupan berbangsa. Pembelajaran sejarah seharusnya
mampu menjadi pengikat konstruksi nasionalisme bangsa Indone-
sia. Bukan sekedar menghapalkan fakta, pembelajaran sejarah pada

43
Heri Susanto

hakekatnya mempunyai beberapa manfaat dalam menanamkan


nasionalisme. Manfaat mempelajari sejarah tersebut adalah:

1. Manfaat Edukatif
Manfaat pembelajaran sejarah yang pertama adalah manfaat
edukatif atau pembelajaran tentang kahidupan. Belajar dari pengala-
man yang pernah terjadi, dalam konteks ini pengalaman tidak hanya
terbatas pada pengalaman yang dialami sendiri, melainkan juga dari
generasi sebelumnya. Dengan mempelajari pengalaman para tokoh
nasional generasi muda dapat mengembangkan potensinya.
Kesalahan-kesalahan pada masa lampau, baik kesalahan sendiri
maupun kesalahan orang lain harus dihindari. Sementara itu,
pengalaman yang baik justru harus ditiru dan dikembangkan.
Dengan demikian, manusia dalam menjalani kehidupannya tidak
berdasarkan coba-coba saja (trial and error), seperti yang dilakukan
oleh binatang. Manusia harus berusaha menghindari kesalahan yang
sama untuk kedua kalinya. Realita proses pembentukan bangsa yang
diwarnai dengan semangat patriotisme dan kecintaan mendalam
para pendiri bangsa terhadap eksistensi bangsanya, merupakan nilai
edukatif yang harus dipahami oleh generasi penerus bangsa.

2. Manfaat Inspiratif
Manfaat pembelajaran sejarah yang kedua adalah manfaat
inspiratif. Berbagai kisah sejarah dapat memberikan inspirasi pada
pembaca dan pendengarnya. Misalnya, belajar dari kebangkitan
nasional yang dipelopori oleh bedirinya organisasi perjuangan yang
modern di awal abad ke-20, kita dapat memahami bahwa persatuan
dan ditunjang dengan pendidikan yang baik akan mampu membawa
suatu bangsa menjadi bangsa yang lebih dipandang, dihargai, lepas
dari belenggu tirani bangsa lain. Semangat ini bila dikembangkan
akan menjadi sebuah permulaan, agar bangsa Indonesia dapat
bersaing dengan bangsa lain, menumbuhkan semangat kemandirian
yang tinggi dalam bidang ekonomi, memupuk kesadaran politik
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menginterpre-
tasikan secara positif keberagaman yang ada untuk mengembangkan
kerukunan sosial dalam kehidupan berbangsa dan pada akhirnya

44
Penanaman Nasionalisme Melalui Pembelajaran Sejarah yang Adaptif

mengembangkan budaya unggul sebagai sebuah bangsa yang


bermartabat.

3. Manfaat Rekreatif
Manfaat pembelajaran sejarah yang ketiga adalah manfaat
rekreatif. Narasi dalam cerita sejarah dapat menjadi cerita yang segar,
melalui penulisan kisah sejarah yang menarik pembaca dapat
terhibur. Gaya penulisan yang hidup dan komunikatif dari beberapa
sejarawan terasa mampu “menghipnotis” pembaca. Konsekuensi
rasa ketertarikan penulisan kisah sejarah tersebut membuat pembaca
menjadi senang, membaca cerita sejarahpun menjadi media hiburan
dan rekreasi. Hal ini menunjukkan bahwa penyampaian yang ringan
dalam narasi sejarah akan membuat penanaman nilai termasuk nilai
nasionalisme juga akan lebih mudah.
Selain manfaat-manfaat tersebut pembelajaran sejarah juga
mempunyai peran khusus, salah satunya ialah, membantu mengem-
bangkan pada anak-anak cinta tanah airnya, dan pengertian tetang
adat istiadat dan cara-cara hidupnya, bagaimana tanah airnya telah
menjadi bersatu atau bagaimana ia telah membebaskan dirinya dari
kekuasaan-kekuasaan asing, bagaimana sistem pemerintahannya
terjadi, apakah kebiasaan dan adat istiadatnya yang istimewa,
perubahan-perubahan apakah yang terjadi dalam kehidupan
ekonomis, dan sosialnya, dan seterusnya (Hill, 1956:10-11). Dengan
demikian pengajaran sejarah bukanlah hal sepele dan bisa dilakukan
oleh siapa saja, apalagi oleh guru yang tidak memiliki kompetensi
profesional sebagai guru sejarah. Bila ditilik lebih jauh, pada
hakekatnya pembelajaran sejarah sangat berkaitan langsung dengan
penanaman sikap nasionalisme, dan sikap nasionalisme warga
negara akan sangat mempengaruhi bagaimana eksistensi sebuah
bangsa di masa yang akan datang, dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pembelajaran sejarah mempunyai korelasi signifikan terhadap
eksistensi suatu bangsa.
Eksistensi bangsa termasuk bangsa Indonesia mutlak harus
dipertahankan dalam kehidupan masyarakat dunia. Pembangunan
karakter bangsa (nation character building) menjadi alternatif dalam
mewujudkan generasi bangsa yang memahami jati diri bangsanya
secara komprehensif. Salah satu upaya pembangunan karakter

45
Heri Susanto

bangsa dapat dilakukan melalui pendidikan sejarah yang mulai


diberikan sejak pendidikan dasar. Pendidikan sejarah diharapkan
dapat memberikan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa
dari berbagai periode dalam upaya pembentukan sikap dan perilaku
nasionalisme siswa.

C. Pengajaran Sejarah dengan Pendekatan Adaptif


dalam Menanamkan Nasionalisme
Sejarah yang diajarkan dengan baik dapat menolong manusia
menjadi kritis dan berperi-kemanusiaan, sebaliknya kalau diajarkan
secara salah, ia dapat mengubah manusia menjadi penganut-
penganut suatu aliran yang berlebih-lebihan dan orang fanatik(Hill,
1956:12). Adalah hal penting dalam pembelajaran sejarah untuk
memberikan pemahaman sejarah yang benar, dan untuk mewujud-
kan hal tersebut perlu kiranya merumuskan pendekatan khusus
dalam pembelajaran sejarah, mengingat karakteristik pembelajaran
sejarah berbeda dengan pelajaran lain.
Salah satu solusi dari permasalahan di atas dalam dunia
pendidikan sejarah adalah melalui pengajaran sejarah yang adaptif
dan sesuai dengan kondisi dan perkembangan peserta didik.
Pendekatan ini, bukan saja soal bagaimana materi sejarah disam-
paikan, akan tetapi juga apakah konten/isi materi pembelajaran
tersebut juga sudah menempatkan pembelajaran nilai dalam
pembelajaran sejarah yang harus disampaikan.
Konsep pembelajaran sejarah adaptif ini bila diuraikan, maka
ada beberapa hal pokok yang harus dipenuhi. Pertama masalah
pengorganisasian materi pembelajaran, sesuai dengan prinsip KTSP
sebenarnya Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar telah
memberi peluang kepada guru untuk mengembangkan materi
pembelajaran sesuai dengan kepentingan sekolah/daerah. Kochhar
(2008: 73 – 75) menguraikan bahwa salah satu cara tepat yang
dapat dipilih dalam mengorganisasi dan menentukan konten materi
pengajaran sejarah adalah teori psikologi, teori ini memiliki sasaran
pada seleksi materi yang mampu memenuhi kebutuhan anak sesuai
dengan tingkat perkembangan mentalnya. Dengan pendekatan ini
pada tahap paling awal, sejarah diajarkan melalui media tokoh, pada

46
Penanaman Nasionalisme Melalui Pembelajaran Sejarah yang Adaptif

tahap selanjutnya materi lebih diarahkan pada belajar sejarah melalui


peristiwa, sedangkan pada tahap sekolah menengah atas
pembelajaran sejarah lebih diarahkan melalui gagasan-gagasan
dalam sejarah. Pendekatan tersebut dapat digambarkan dalam spi-
ral belajar kumulatif sebagai berikut:

Spiral Belajar Kumulatif Melalui Tiga Tahap


(Kochhar, 2008:75)

Bila menggunakan konsep spiral belajar kumulatif, berarti guru


harus menyusun materi ajar sesuai pendekatan pada tiap jenjangnya.
Misalnya untuk mengajarkan materi sejarah tingkat sekolah dasar
guru dapat menyampaikan tiap topik pembelajaran melalui studi
ketokohan pada tiap peristiwa sejarah. Pendekatan ini bukan berarti
guru hanya mengajarkan tokoh dalam peristiwa sejarah saja, akan
tetapi menjadikan seorang tokoh sejarah sebagai pintu masuk untuk
memancing minat belajar siswa, sekaligus menjadi benang merah
untuk menguraikan materi pembelajaran. Pada tingkat SMP guru
harus menggunakan pendekatan peristiwa dalam mengajarkan
materi sejarah. Bagaimana siswa memahami sebuah peristiwa,

47
Heri Susanto

sebab-akibat dari sebuah peristiwa, konsep terpenting dari


pendekatan ini adalah prinsip kronologis dari peristiwa tersebut,
bagaimana korelasi satu peristiwa dengan peristiwa lainnya harus
dapat disampaikan oleh guru dalam proses pembelajaran. Dalam
proses ini tokoh sejarah tidak lagi di dewakan sebagai pusat cerita,
akan tetapi menjadi salah satu sebab peristiwa tersebut terjadi.
Selanjutnya pada tingkat SMA, guru harus memfokuskan
pembelajaran pada bagaimana peristiwa sejarah tersebut terjadi, ide-
ide apa yang mendasarinya, pengaruh-pengaruh apa saja yang
mendasarinya dan tujuan/gagasan apa yang ingin dicapai dalam
cerita sejarah tersebut.
Dengan model pengorganisasian spiral tersebut pembelajaran
sejarah akan dapat dipahami secara lebih mendalam, karena
penyampaian materi yang disesuaikan dengan tingkat perkem-
bangan siswa dan kemampuan siswa untuk menangkap nilai-nilai
sejarah yang diajarkan. Disamping itu dengan pendekatan model
ini diharapkan siswa tidak merasa terbebani dengan materi pelajaran
sejarah yang pada dasarnya lebih banyak yang bersifat abstrak,
dengan demikian sasaran pembelajaran sejarah akan tercapai.
Kedua, masalah konten atau isi materi, dalam kurikulum KTSP
secara tersurat pemerintah telah memberi kewenangan kepada guru
dan sekolah untuk menentukan konten pembelajaran yang sesuai
dengan kondisi dan kepentingan. Akan tetapi dalam kenyataannya
guru seringkali masih terkungkung dengan paradikma lama, yaitu
mengikuti buku teks yang ada tanpa mengadakan penyesuaian-
penyesuaian untuk memupuk nasionalisme siswa.
Berkaitan dengan masalah ini, Taufik Abdulah (2001)
mengatakan bahwa dalam kenyataannya materi pengajaran sejarah
seringkali diwarnai mitos-mitos sejarah yang justru akan meracuni
pola pikir peserta didik. Meskipun pada bagian lain dikatakan bahwa
semua ikatan sosial memerlukan mitos, karena mitos tersebut
mengajukan jawaban bagi kemungkinan terdapatnya ketimpangan
antara realita dan logika, akan tetapi menempatkan mitos yang tidak
pada tempatnya justru akan merusak kesadaran kritis kebangsaan
dan hanya menghasilkan integritas emosional yang rapuh.

48
Penanaman Nasionalisme Melalui Pembelajaran Sejarah yang Adaptif

Sebagai contoh misalnya, bagaimana buku-buku teks pendi-


dikan sejarah pada masa Orde Baru begitu menggebu-gebu dalam
menarasikan makna “kesaktian Pancasila”. Ketika realita politik
mengalami pergeseran, banyak kalangan kemudian mulai
meragukan dan bahkan bersikap skeptis terhadap Pancasila, dan
sebagai akibatnya seakan-akan ada kecenderungan untuk melupa-
kan Pancasila pada era setelahnya, yaitu era reformasi sekarang ini.
Penanaman nasionalisme pada hakekatnya memerlukan
integritas emosional untuk mencapai integritas nasional. Integritas
emosional ini hanya dapat dicapai apabila siswa merasa memiliki
dan merasa mempunyai kepentingan terhadap nilai-nilai yang
dipelajarinya. Untuk mencapai tahap ini, pembelajaran dengan
sistem hapalan atau hanya mengandalkan ingatan tekstual tidak
akan mempunyai kontribusi yang signifikan. Diperlukan adanya
upaya penggalian makna dari setiap tokoh dan peristiwa yang
dipelajari agar siswa memiliki absraksi keteladanan dari peristiwa
sejarah.
Makna terpenting dari peristiwa sejarah dalam menanamkan
nasionalisme adalah munculnya solidaritas organis (Osborn & Van
Loon, 2005) misalnya saja sebagai sesama bangsa terjajah dan dari
solidaritas inilah lahir integritas emosional sebagai suatu bangsa
karena persamaan nasib. Pemahaman ini harus ditanamkan kepada
peserta didik, sehingga mereka merasa bahwa indentitas ke-Indo-
nesia-an mereka tidaklah sempurna tanpa rasa persatuan dan saling
manghargai.
Ketiga, masalah pembelajaran nilai dalam pembelajaran
sejarah. Nilai merupakan inti dari pembelajaran, nilai menjadi sangat
penting karena dengan nilai inilah manusia akan dapat memandang
sesuatu dengan perspektif yang lebih benar dan terarah. Kenya-
taannya sebagian besar pembalajaran sejarah hanyalah berisi
hapalan peristiwa, nama tokoh, dan angka tahun. Kecenderungan
ini menyebabkan adanya disparitas antara pencapaian akademik/
standar akademik dengan performance standard. Ini terlihat
misalnya siswa yang baik tingkat hapalannya dan kemudian
dikatakan pintar oleh guru, akan tetapi sebagian besar dari mereka
tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari

49
Heri Susanto

dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan/


dimanfaatkan.
Pengajaran sejarah merupakan sumber nilai dan karena itu
memberikan “moral precepts” yang mengatur/mengikat kelakuan
kelompok sehingga integritas kelompok terjamin kelangsungannya
(I Gde Widja, 2002:56). Hal ini bukan berarti bahwa pembelajaran
sejarah dapat berubah menjadi proses indoktrinasi, akan tetapi
penyampaian nilai yang benar yang diharapkan setelahnya peserta
didik akan memiliki pemahaman dan acuan dalam mengembangkan
sikap nasionalisme.
Tidak salah kiranya apabila pelajaran sejarah dikatakan
pelajaran yang abstrak, karena meskipun peristiwa sejarah tersebut
benar-benar terjadi di masa lalu akan tetapi bagaimanapun tidak
dapat dilihat lagi dan diamati di masa sekarang saat sejarah tersebut
diajarkan. Keadaan ini memberi petunjuk bahwa sebenarnya belajar
sejarah tidak cukup hanya tahu dan hapal, akan tetapi seharusnya
lebih diarahkan pada tingkat pemahaman. Dari pemahaman inilah
akan terbentuk sekumpulan belief, dan dari belief inilah peserta didik
akan mendapatkan dan memahami nilai. Belief disini bukanlah
sekedar percaya akan suatu peristiwa, akan tetapi juga meyakini
bahwa dari peristiwa tersebut mereka dapat memperoleh sesuatu
yang berguna bagi kehidupannya di masa yang akan datang.
Penyampaian nilai ini akan berhasil apabila dilakukan sesuai
dengan kemampuan belajar peserta didik pada tiap jenjang
pendidikan. Konsep psikologi pertumbuhan sangat penting untuk
dipahami guru dalam pembelajaran sejarah, seringkali guru
memandang siswanya dengan perspektif guru sendiri, sehingga
muncul kalimat “masasih begitu saja tidak paham”. Penanaman nilai
pada siswa sekolah dasar, tidak bisa dilakukan dengan metode didaktis
satu arah (Winkel, 2004), melainkan harus melalui tahapan-tahapan
interaksi dengan alam pikiran mereka. Proses ini akan tidak mudah
apabila guru tidak memahami konsep psikologi peserta didik, karena
pada hakikatnya pembelajaran pada tingkat sekolah dasar ini adalah
bagaimana kita melibatkan diri dalam dunia mereka sehingga yang
kita pahami akan mudah mereka terima sebagai pemahaman juga.

50
Penanaman Nasionalisme Melalui Pembelajaran Sejarah yang Adaptif

Pada tingkat menengah pertama, tentu persoalannya akan lain


lagi. Peserta didik pada tingkat ini biasanya mulai mengembangkan
alam imajinasinya melebihi masa sebelumnya, dan seringkali apa
yang terdapat pada alam imajinasinya itulah yang menjadi standar
tindakannya. Mereka belum bisa melihat benar dan salah dari
perspektif orang lain, mereka masih meyakini bahwa kebenaran
sejati adalah yang hidup dalam alam utopia mereka. Dengan
demikian semakin tidak mudah untuk mengatakan suatu nilai itu
adalah benar dan akan mereka turuti.
Piaget menjelaskan bahwa pada tahap ini seorang anak berada
pada tahap formal operations, mereka mulai berfikir hipotetis, tidak
tergantung hanya hal-hal yang langsung dan riil (Hergenhahn dan
Olson, 2008). Cara berfikir hipotetis dini inilah yang menyebabkan
mereka sulit untuk menerima kritik. Kelebihannya adalah pada masa
ini peserta didik sudah mulai memahami sebuah hubungan sebagai
akibat dari hubungan lainnya, ini memberi celah pada guru untuk
memasuki alam pikiran peserta didik pada tingkat ini. Guru bisa
mengajak siswa untuk melihat sebuah peristiwa sejarah sebagai
bagian, sebab, atau bahkan akibat dari peristiwa lainnya untuk
selanjutnya mengatakan pada mereka bahwa nilai-nilai yang
dipahami pada peristiwa sebelumnya akan mempengaruhi nilai apa
yang akan digunakan untuk menentukan tindakan selanjutnya. Ini
berarti untuk menunjukkan suatu nilai itu berguna guru harus bisa
memberikan keyakinan bahwa nilai tersebut telah memberikan
dampak pada peristiwa sebelumnya.
Sementara itu, pada tingkat lanjutan atas, siswa sebenarnya
sangat haus dengan pengalaman dan ide baru diluar yang mereka
pikirkan, meskipun mereka juga belum bisa lepas dari kungkungan
super ego dalam diri mereka. Ini jelas artinya bahwa guru harus
menunjukkan nilai-nilai dalam tiap gagasan yang melatar belakangi
setiap peristiwa sejarah sehingga peristiwa tersebut mempunyai arti
untuk generasi setelahnya. Dengan cara seperti ini siswa akan
memahami bagaimana jiwa jaman pada saat peristiwa tersebut
berlangsung dan akan membuat sejumlah perbandingan dengan
keadaan mereka dimasa sekarang. Sehingga apa yang mereka
pelajari akan menjadi nasihat yang akan membantu mereka
mempersiapkan masa depan.

51
Heri Susanto

Model belajar observasional (Hergenhahn dan Olson, 2008)


merupakan cara yang tepat untuk menanamkan nilai pada peserta
didik pada tahap perkembangan ini. Dengan model ini siswa akan
mendapatkan dan memahami nilai dengan usaha mereka sendiri,
sehingga siswa tidak merasa terintervensi untuk belajar. Nasiona-
lisme sebagai sebuah nilai akan lebih mudah dipahami peserta didik,
jika kepada mereka disajikan sejumlah fakta tentang nasionalisme.
Alternatif pembelajaran dengan fakta tersebut misalnya dengan
melakukan studi dokumenter tentang nasionalisme.
Penggunaan konsep psikologis dalam penanaman nilai
nasionalisme ini berangkat dari kenyataan bahwa siswa dalam tiap
perkembangannya memerlukan perlakuan yang berbeda karena
adanya perbedaan tingkat kematangan psikologis. Satu hal yang
harus dipahami oleh guru adalah bahwa siswa-siswa kita adalah
entitas biologis yang melekat padanya komponen psikologis, spiri-
tual, dan emosional. Dengan demikian sangatlah penting juga untuk
mempertimbangkan berbagai faktor tersebut dalam pembelajaran.
Ide dan konsep di atas sebenarnya berangkat dari prinsip
pengembangan kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah dalam
Peraturan Mentri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 22 tahun
2006 tentang standar isi satuan pendidikan dasar dan menengah,
sebagai berikut:
a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannya
b. Beragam dan terpadu
c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni
d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
e. Menyeluruh dan berkesinambungan
f. Belajar sepanjang hayat
g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Harapan terbesar adalah pembelajaran sejarah mencapai
sasaran yang tepat, bukan sekedar pelengkap kurikulum perseko-
lahan yang diwujudkan dalam sebuah mata pelajaran baik IPS
atupun Sejarah. Sejarah merupakan mata pelajaran yang paling

52
Penanaman Nasionalisme Melalui Pembelajaran Sejarah yang Adaptif

penting untuk melahirkan perasaan yang kuat tentang nasionalisme


dan integritas Indonesia. Sejarah harus menginspirasi para siswanya
untuk mencintai tanah airnya (Kochhar, 2008).
Dari konsep tersebut menjelaskan kepada kita bahwa
penanaman nasionalisme dalam pembelajaran sejarah harus
diajarkan dengan pendekatan yang sesuai sehingga akan mampu
membentuk masyarakat yang mempunyai kesadaran yang benar
tentang siapa diri dan masyarakatnya di masa lalu, masa sekarang
dan masa yang akan datang, yang dengan itu semua akan mampu
memahami dan memiliki kesadaran untuk menjaga semangat
kebangsaan pada masa kini dan masa yang akan datang.

D. Simpulan
Ada tiga konsep penting dalam pemaparan di atas yang saling
berhubungan, pertama pengajaran sejarah sebagai jiwa pendidikan
sejarah sudah selayaknya mendapat perhatian yang lebih besar,
karena dengannya akan tercipta generasi-genersai yang memiliki
pemahaman sejarah yang baik, adaptable dan aplikatif dalam
kehidupan nyata. Kedua, pemahaman sejarah yang benar sebagai
dampak pengiring (nurturan effect) dari pengajaran sejarah yang
baik akan menumbuhkan kesadaran untuk menghargai dan
melestarikan semangat kebangsaan. Ketiga, pemahaman sejarah
yang baik akan diperoleh peserta didik apabila pembelajaran sejarah
disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa,
sesuai dengan keadaan lingkungan belajar baik lingkungan fisik
maupun non fisik.
Penanaman nilai nasionalisme dalam pembelajaran sejarah
dapat dilakukan dengan memahami kondisi psikologis peserta didik
pada tiap tahap perkembangannya. Strategi paedagogis yang dipilih
untuk menanamkan nilai nasionalisme tersebut haruslah sesuai
dengan kemampuan psikologis siswa untuk menerimanya. Dengan
demikian pemahaman guru sejarah terhadap psikologi peserta didik
akan sangat menentukan apakah pembelajaran sejarah dapat
berfungsi sebagai cara menanamkan nasionalisme atau hanya
merupakan pelengkap kurikulum persekolahan.

53
Heri Susanto

54
BAGIAN KEDUA
APLIKASI DIDAKTIK
SEJARAH

55
Heri Susanto

BAB IV
KONSEP DAN PRAKSIS
PEMBELAJARAN SEJARAH

Pembelajaran, seperti telah dikemukakan sebelumnya


merupakan jantung dari proses pendidikan. Pembelajaran menjadi
sangat penting karena dalam kegiatan inilah terdapat proses interaksi
antara guru sebagai pembawa pesan/ide dan siswa sebagai penerima
pesan/ide. Dengan pandangan ini nampaklah bahwa pembelajaran
merupakan wahana transformasi dan regenerasi budaya dari suatu
generasi ke generasi berikutnya.
Arti penting pembelajaran ini memberikan penjelasan bahwa
pembelajaran merupakan proses yang tidak bisa dianggap remeh
dalam proses kemajuan suatu bangsa. Dalam pembelajaran sejarah,
peran penting pembelajaran terlihat jelas bukan hanya sebagai proses
transfer ide, akan tetapi juga proses pendewasaan peserta didik untuk
memahami identitas, jati diri dan kepribadian bangsa melalui pema-
haman terhadap peristiwa sejarah. Dengan demikian pembelajaran
sejarah hendaknya memperhatikan beberapa prinsip:
1. Pembelajaran yang dilakukan haruslah adaptif terhadap perkem-
bangan peserta didik dan perkembangan zaman. Kendatipun
sejarah bercerita tentang kehidupan pada masa lalu, bukan berarti
sejarah tidak bisa diajarkan secara kontekstual. Banyak nilai dan
fakta sejarah yang bila disampaikan dengan benar dan sesuai
dengan alam fikiran peserta didik akan mampu membangkitkan
pemahaman dan kesadaran peserta didik terhadap nilai-nilai
nasionalisme, patriotisme dan persatuan.
2. Pembelajaran sejarah hendaklah berorientasi pada pendekatan
nilai. Menyampaikan fakta memang sangat penting dalam

56
pembelajaran sejarah, akan tetapi yang juga tidak kalah penting
adalah bagaimana mengupas fakta-fakta tersebut dan mengambil
intisari nilai yang terdapat di dalamnya sehingga si pembelajar
akan menjadi lebih mawas diri sebagai akibat dari pemahaman
nilai tersebut.
3. Strategi pembelajaran yang digunakan hendaklah tidak mema-
tikan kreatifitas dan memaksa peserta didik hanya untuk
menghafal fakta dalam buku teks. Sejarah sudah saatnya diajar-
kan dengan cara yang berbeda, kebekuan pembelajaran yang
terjadi seringkali dikarenakan rendahnya kreatifitas dalam
pembelajaran sejarah. Sebagai akibatnya kejenuhan seringkali
menjadi faktor utama yang dihadapi guru dalam mengajarkan
sejarah dan siswa dalam belajar sejarah.
Dari ketiga hal tersebut dapat dipahami bahwa tantangan guru
dalam mengajarkan sejarah menjadi tidak mudah. Pengajar harus
memahami betul apa tujuan, karakteristik dan sasaran pembelajaran
sejarah. Pengajar juga harus memahami visi dan misi pendidikan
sehingga sejarah yang diajarkan dapat memberi pencerahan dan
landasan berfikir dalam bersikap bagi peserta didik pada zamannya.

A. Tujuan Pembelajaran Sejarah


Menurut Moh. Ali (2005:351) pembelajaran sejarah nasional
mempunyai tujuan:
1. Membangkitkan, mengembangkan serta memelihara semangat
kebangsaan;
2. Membangkitkan hasrat mewujudkan cita-cita kebangsaan dalam
segala lapangan;
3. Membangkitkan hasrat-mempelajari sejarah kebangsaan dan
mempelajarinya sebagai bagian dari sejarah dunia;
4. Menyadarkan anak tentang cita-cita nasional (Pancasila dan
Undang-undang Pendidikan) serta perjuangan tersebut untuk
mewujudkan cita-cita itu sepanjang masa.
Sementara itu dalam Standar Isi tujuan pembelajaran sejarah
ditetapkan sebagai berikut:

57
Heri Susanto

1. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu


dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau,
masa kini, dan masa depan
2. Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah
secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan
metodologi keilmuan
3. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap
peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia
di masa lampau
4. Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses
terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan
masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang
5. Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian
dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah
air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang
kehidupan baik nasional maupun internasional.
Dari tujuan tersebut dapat kita ketahui bahwa aspek sikap
menjadi tujuan terpenting dalam pembelajaran sejarah. Aspek sikap
tersebut adalah:
1. Kesadaran waktu yang berimplikasi pada penghargaan terhadap
waktu yang dimulai dengan mengembangkan pemahaman
tentang hubungan kausalitas antara penyebab sebuah keadaan
dengan akibat pada masa kini dan bagaimana menghadapi masa
depan
2. Sikap kritis sebagai sintesa dari pemahaman terhadap peristiwa
masa lalu yang membentuk kepribadian budaya bangsa
3. Sikap menghargai peninggalan sejarah sebagai hasil perjuangan
manusia di masa lalu
4. Bangga sebagai bangsa Indonesia yang dapat diimplementasikan
pada setiap bidang kehidupan
5. Historical empati, puncak dari kesadaran bersikap dalam pem-
belajaran sejarah adalah lahirnya empati. Mampu menghayati
dan merasakan bagaimana situasi batin dari para pelaku sejarah
adalah kesadaran tertinggi yang dapat dicapai dari pembelajaran
sejarah terutama pada materi sejarah perjuangan.

58
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah

Sedangkan aspek kognitif terpenting dari tujuan pembelajaran


sejarah menurut Standar Isi tersebut adalah pemahaman terhadap
proses perkembangan bangsa. Lebih jauh lagi perkembangan bangsa
Indonesia dari masa awal kehidupan masa pra aksara sampai dengan
era kekinian dan masih terus berproses. Perkembangan inilah yang
pada akhirnya membentuk jatidiri bangsa dan mempengaruhi
bagaimana cara kita bertindak pada masa sekarang dan akan datang.

B. Karakteristik Pembelajaran Sejarah


Setiap disiplin ilmu memiliki karakteristiknya sendiri, begitu juga
ilmu sejarah. Dengan demikian dalam pembelajarannya pun
memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa karakteristik
pembelajaran sejarah adalah:
1. Pembelajaran sejarah mengajarkan tentang kesinambungan dan
perubahan.
Menurut Wineburg (2006:17-18), ‘berpikir sejarah mengharuskan
kita mempertemukan dua pandangan yang saling bertentangan;
pertama, cara berpikir yang kita gunakan sekarang ini adalah
warisan yang tidak dapat disingkirkan, dan, kedua jika kita tidak
berusaha menyingkirkan warisan itu mau tidak mau kita harus
menggunakan “presentisme”, yaitu melihat masa lalu dengan
kacamata masa kini’. Dengan demikian kita harus memahami
bahwa ada kesinambungan masa lalu yang membentuk masa
kini, dan adanya perubahan unsur-unsur, nilai dan tatanan
masyarakat sebagai bentuk dari reinterpretasi terhadap perubahan
zaman.
Setiap perubahan terjadi dalam waktu. Hidup manusia senantiasa
dikuasai oleh waktu. Keberadaan manusia di dunia senantiasa
memiliki saat awal dan saat akhir. Dalam jangka waktu antara
awal dan akhir keberadaannya itulah manusia mengarungi masa
hidupnya dengan menyejarah (Daliman, 2012: 41). Dalam proses
menyejarah itulah terjadi proses dialektika antara perubahan dan
keberlanjutan. Selanjutnya Daliman (2012) juga menjelaskan
bahwa, ‘konsep perubahan merupakan konsep yang paradoksal’.
Perubahan pada dasarnya memadukan pengertian mengenai

59
Heri Susanto

suatu perbedaan dan sesuatu yang tetap sama. Mempertemukan


keduanya akan mampu membangkitkan kesadaran akan waktu,
dan menghadirkannya dalam pembelajaran sejarah akan dapat
menjadi refleksi bagi tindakan kita di masa yang akan datang.
2. Pembelajaran sejarah mengajarkan tentang jiwa zaman.
Mempelajari sejarah secara tidak langsung berarti berusaha
memahami bagaimana pola dan tindakan manusia sesuai dengan
cara pandang dan tata nilai bermasyarakat manusia pada masa
lalu. Dengan demikian mempelajari sejarah berarti juga
mempelajari bagaimana semangat, ide dan semangat jiwa
manusia pada masanya.
3. Pembelajaran sejarah bersifat kronologis.
Materi sejarah tidak lepas dari periodesasi dan kronologi, perio-
desasi diciptakan sesuai kronologi peristiwa. Pembelajaran
kronologis ini mengajarkan siswa untuk berfikir sistematis, runut
dan memahami hukum kausalitas.
Menurut Kochhar (2008), pembelajaran kronologi adalah salah
satu tujuan yang penting dalam pembelajaran sejarah karena
urutan peristiwa menjadi kunci pokok dalam memahami masa
lampau dan masa sekarang. Sejarah sebagai mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah membantu siswa dalam perkembangan
konsep yang matang tentang waktu dan kronologi.
4. Pembelajaran sejarah pada hakekatnya adalah mengajarkan
tentang bagaimana perilaku manusia.
Menurut Renier (1997:205), ahli sejarah menyampaikan suatu
ceritera mengenai kolektivitas manusia yang menembus
pengalaman-pengalaman aktif dan pasif, dan menyampaikan
pula suatu ceritera mengenai individu-individu yang hidup dalam
masyarakat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat.
Sejarah bercerita tentang manusia, tentang masyarakat pada
suatu bangsa. Gerak sejarah ditentukan oleh bagaimana manusia
memberikan respon terhadap tantangan hidup yang dia alami
dalam bentuk perilaku. Memahami dan menghayati perilaku
manusia ini akan membuat kita mampu mengambil nilai-nilai
positif dan menerapkannya dalam kehidupan kita.

60
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah

5. Kulminasi dari pembelajaran sejarah adalah memberikan


pemahaman akan hukum-hukum sejarah.
Menurut Renier (1997) hukum-hukum tersebut adalah; (a)
hukum keadaan yang terulang, (b) proses kehidupan adalah wajar
(bagaimanapun bentuknya), (c) hukum perubahan, (d) waktu
yang ditetapkan (takdir sejarah), (e) kelompok/kelas sosial dan
revolusi, (f) adanya manusia luar biasa dalam sejarah.

C. Kompetensi Pembelajaran Sejarah


Kompetensi dalam pembelajaran erat kaitannya dengan
kurikulum.Sedangkan kurikulum dalam pengertian yang luas tidak
hanya berupa sekumpulan mata pelajaran, akan tetapi juga
merupakan produk turunan dari ideologi dan filosofi pendidikan
nasional. Lebih jauh lagi bila kita kaji ideologi dan filosofi pendidikan
sangat erat kaitannya dengan visi dan misi kehidupan berbangsa
dan bernegara, dengan demikian muatan kurikulum tidak bisa
dilepaskan dari kepentingan nasional suatu bangsa.
Dalam konteks pendidikan nasional kita bisa melihat bahwa
visi dan misi tersebut tersirat dalam Undang-undang Pendidikan
Nasional dan produk turunannya berupa Peraturan Menteri. Akan
tetapi pada dasarnya inti dari kompetensi dalam pendidikan tidak
bisa dilepaskan dari; ketaqwaan, sikap sosial, penguasaan materi dan
aplikasi penguasaan materi atau produk belajar. Tidak terkecuali
dalam pembelajaran sejarah, pembelajaran yang dilakukan
seharusnya tidak lepas dari keempat hal tersebut.
Lebih spesifik, dalam pembelajaran, pembelajaran yang
dilakukan termasuk pembelajaran sejarah hendaknya tidak lepas dari
nilai-nilai ketaqwaan. Mempelajari sejarah berarti berusaha
memahami bahwa dalam perjalanan kehidupan manusia selalu
terdapat kekuatan adi kodrati yang secara langsung maupun tidak
langsung sangat mempengaruhi gerak kehidupan manusia. Banyak
tokoh dalam sejarah mempunyai kecenderungan merupakan pribadi
yang selain memiliki kemampuan juga memiliki sikap taqwa. Apabila
nilai ini dapat tersampaikan dalam pembelajaran sejarah tentu
pembelajaran yang disampaikan akan sangat berguna bagi peserta
didik dalam memahami kehidupan.

61
Heri Susanto

Pembelajaran sejarah juga merupakan cara untuk membentuk


sikap sosial. Mempelajari sejarah terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia berarti berusaha memahami bahwa negara ini
terbentuk karena adanya sikap sosial yang baik dari para pendiri
bangsa. Sikap sosial tersebut antara lain; saling menghormati,
menghargai perbedaan, toleransi, dan kesediaan untuk hidup
berdampingan dalam nuansa multikulturalisme. Kesatuan yang
terbentuk di atas perbedaan dalam proses kebangkitan nasional pada
hakekatnya merupakan sikap sosial yang sangat patut diteladani.
Selanjutnya, pembelajaran tentu tidak dapat dilepaskan pada
penguasaan materi. Materi pembelajaran sejarah dalam pembe-
lajaran di sekolah mencakup:
1. Pengantar ilmu sejarah
2. Kehidupan awal masyarakat di nusantara
3. Perkembangan tradisi dan kepercayaan Hindu-Budha dalam
bidang politik, sosial maupun ekonomi di nusantara
4. Perkembangan agama dan tradisi Islam di nusantara dalam
bidang politik, soaial maupun ekonomi
5. Masuk dan berkembangnya pengaruh Barat dan perubahan
masyarakat pada masa kolonial di nusantara
6. Lahir dan berkembangannya kesadaran berbangsa, serta
perkembangan gerakan kebangsaan Indonesia
7. Masuknya kekuasaan Jepang ke nusantara dan perkembangan
nusantara pada masa pendudukan Jepang
8. Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan perkem-
bangan awal pasca proklamasi kemerdekaan
9. Dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa awal
Indonesia
10. Perkembangan kehidupan pada masa Orde Baru
11. Berakhirnya era Orde Baru dan lahirnya era Reformasi
Selain itu juga materi sejarah dunia yang berkorelasi terhadap
perkembangan Indonesia meliputi:
1. Perkembangan dunia internasional setelah Perang Dunia II dan
pengaruhnya bagi Indonesia

62
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah

2. Perkembangan mutakhir dunia dan berkembangnya globalisasi


3. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia
Permasalahan dalam materi pendidikan sejarah menyangkut
isu tentang ruang lingkup materi dan isi materi. Permasalahan materi
ini sering dibahas dan muncul di permukaan dibandingkan
permasalahan dalam tujuan (Hamid Hasan, 2012: 25). Kenyataanya
materi dan isi materi dalam pembelajaran lebih mendapat perhatian
dan seringkali melupakan apa tujuan sebenarnya dari pembelajaran
sejarah yang dilakukan. Akibatnya, yang terjadi dalam pembelajaran
sejarah adalah, materi tersampaikan akan tetapi tujuan pembe-
lajaran sejarah tidak tercapai.
Bagian terakhir dari kompetensi yang harus dicapai adalah
aplikasi dari pencapaian kompetensi itu sendiri. Pada tahap ini peserta
didik diharapkan mampu menerapkan ilmu yang mereka peroleh
dalam kehidupan sehari-hari. Bila pembelajaran sejarah dipahami
sebagai upaya menanamkan nilai-nilai kehidupan, maka hasil
belajar yang diharapkan adalah peserta didik mampu menerapkan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang telah
dikemukakan nilai tersebut antara lain; kesadaran waktu, menghar-
gai waktu, sikap kritis, menghargai peninggalan sejarah dan memiliki
sikap nasionalisme. Lebih praktis lagi aplikasi ini misalnya ketika
siswa mempelajari prinsip dasar ilmu sejarah siswa dapat mempe-
lajari silsilah keluarganya. Aplikasi sederhana ini selain memper-
mudah proses pemahaman siswa juga berguna bagi siswa untuk
mengenali identitas diri dan keluarganya.

D. Praksis Pembelajaran Sejarah


Praksis pembelajaran sejarah tidak dapat dilepaskan dari
beberapa hal pokok yaitu; implementasi kurikulum, kompetensi guru
sejarah, buku ajar dan desain instruksional.

1. Implementasi kurikulum pendidikan sejarah


Terkait implementasi kurikulum, seringkali terjadi kegagapan
guru ketika terjadi perubahan kurikulum. Kurikulum seringkali
hanya dipahami sebagai kumpulan mata pelajaran dan poin-poin
materi pembelajaran yang harus disampaikan. Tujuan, terlebih

63
Heri Susanto

filosofi kurikulum seringkali kurang dipahami pengajar, sehingga


meskipun kurikulum selalu berganti akan tetapi pembelajaran tidak
mengalami perkembangan.
Setiap kurikulum tentunya dilandasi sebuah filosofi besar yang
menjadi dasar pengembangannya. Filsafat Intelektualisme misalnya
yang menjiwai kurikulum 1968, Filsafat Behavioralisme yang
mendasari kurikulum 1975. Filsafat Humanisme yang menjiwai
kurikulum 1984, yang dikenal dengan peningkatan peran sejarah
sebagai pendorong patriotisme dan nasionalisme sehingga memun-
culkan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
(PSPB), kendatipun muncul kesan kemudian bahwa hal ini karena
mentri pendidikannya adalah orang sejarah. Filsafat Humanisme
juga masih menjiwai kurikulum 1994 meskipun PSPB dihapuskan.
Selanjutnya Filsafat Konstruktivisme yang mendasari Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Sumber: materi sosialisasi Kurikulum 2013 Kemendikbud

Kendatipun kurikulum menurut Oliva (1982) adalah produk


zaman dan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Akan tetapi perubahan kurikulum seringkali menimbulkan
kegagapan dikalangan pelaku pendidikan terutama guru. Kurang
efektifnya proses sosialisasi dan keengganan keluar dari “zona

64
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah

kenyamanan” kadangkala menjadikan perubahan kurikulum tidak


membawa hasil yang diinginkan.
Terkait kurikulum pendidikan sejarah, I Gde Widja (2002),
mempertanyakan; apakah pendidikan sejarah akan menjadi beban
atau kekuatan dalam kurikulum di masa depan?. Mengutip Kompas
edisi 30 April 1991, Widja menggarisbawahi anggapan yang
mengatakan bahwa arah pendidikan ke depan haruslah berorientasi
untuk menyiapkan generasi yang menguasai ilmu-ilmu eksak.
Pandangan ini cenderung meletakkan pendidikan sejarah khususnya,
pendidikan ilmu sosial dan humaniora pada umumnya dalam posisi
yang berseberangan dengan pendidikan eksakta dan teknologi (I Gde
Widja, 2002).
Pandangan tersebut bisa jadi menjadi legitimasi untuk
meletakkan pendidikan sejarah pada posisi yang tidak penting dan
cenderung hanya menjadi pelengkap kurikulum nasional. Faktanya
ada atau tidak pengaruh dari pandangan tersebut, dalam kurikulum
KBK dan KTSP, pendidikan sejarah seakan hanya menjadi subjek
minor yang dapat diajarkan oleh guru yang bahkan tidak memiliki
kompetensi sebagai pengajar sejarah.
Kehadiran pendidikan sejarah dalam kurikulum pendidikan for-
mal dilandasi oleh pertimbangan akademik. Wineburg (2006)
mengatakan bahwa; pengetahuan sejarah dapat berperan seperti
bank pengetahuan dalam melakukan kontemplasi atas masalah-
masalah kekinian. Cerita sejarah sangat iluminatif tentang upaya
manusia menjawab tantangan yang mereka hadapi dan media yang
sangat baik untuk mengembangkan inspirasi, kreativitas, inisiatif,
dan kemampuan berfikir antisipatif. Kemampuan sejarah sebagai
media pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan disebabkan
karena sejarah berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan
manusia di masa lampau yang terus berlanjut ke masa kini dan masa
mendatang (Hamid Hasan, 2012). Argumen tersebut menjelaskan
bahwa pendidikan sejarah dalam kurikulum nasional sangatlah
penting. Peran penting pendidikan sejarah tersebut akan dapat
mencapai fungsinya dengan maksimal apabila keberadaan
pendidikan sejarah dalam kurikulum nasional dapat menjadi sumber
inspirasi bagi peserta didik, yang dioperasionalkan dalam
pembelajaran sejarah.
65
Heri Susanto

2. Guru Sejarah
Setelah masalah kurikulum, kompetensi guru menjadi hal
pokok kedua yang berhubungan langsung dengan praksis
pembelajaran sejarah di sekolah. Seperti diketahui kompetensi guru
mencakup; kompetensi pedagogik, kompetensi profesional,
kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian. Terkait bidang studi,
kompetensi profesional merupakan kompetensi yang berhubungan
langsung dengan latar belakang pendidikan guru. Guru sejarah
profesional sudah barang tentu dituntut untuk memiliki modal
keilmuan bidang studi yang memadai yang diperoleh melalui proses
pendidikan dan disahkan dengan adanya pengakuan legal berupa
ijazah. Pada praktiknya masih banyak guru yang mengajar sejarah
dengan latar belakang bukan pendidikan sejarah. Bila sudut pandang
profesional ini dipakai maka sudah barang tentu guru tersebut tidak
profesional.
Guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang
dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran.
Kompetensi di sini meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan
profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial, maupun akademis.
Kompetensi profesional merupakan salah satu kemampuan dasar
yang harus dimiliki seseorang guru. Dalam Peraturan Pemerintah
No. 19 tahun 2005, pada pasal 28 ayat 3 yang dimaksud dengan
kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya
membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang
ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Sedangkan menurut
Mukhlas Samani (2008) yang dimaksud dengan kompetensi
profesional ialah kemampuan menguasai pengetahuan bidang ilmu,
teknologi dan atau seni yang diampunya meliputi penguasaan;
1) Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi
program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok
mata pelajaran yang diampunya.
2) Konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, dan/atau
seni yang relevan yang secara konseptual menaungi atau koheren
dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau
kelompok mata pelajaran yang akan diampunya.

66
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah

Kompetensi professional terkait bidang studi meliputi:


a) Penguasaan materi, struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang
mendukung mata pelajaran yang diampu.
b) Mengembangkan keprofesian melalui tindakan reflektif
c) Konsistensi penguasaan materi guru antara content dengan per-
formance:
- teks, konteks, & realitas
- fakta, prinsip, konsep dan prosedur
- ketuntasan tentang penguasaan filosofi, asal-usul, dan aplikasi
ilmu
Menurut Cooper ada 4 komponen kompetensi profesional, yaitu;
(1) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku
manusia, (2) mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi
yang dibinanya, (3) mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri,
sekolah, teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya, dan (4)
mempunyai keterampilan dalam teknikl mengajar. Menurut
(Johnson, 1980) kompetensi profesional mencakup: (1) penguasaan
materi pelajaran yang terdiri atas penguasaan bahan yang harus
diajarkan dan konsep-konsep dasar keilmuan yang diajarkan dari
bahan yang diajarkannya itu; (2) penguasaan dan penghayatan atas
landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan; dan (3)
penguasaan proses-proses kependidikan, keguruan pembelajaran
siswa. Menurut Depdikbud, (1980) ada 10 kemampuan dasar guru,
yaitu; (1) penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar
keilmuannya, (2) pengelolaan program belajar mengajar, (3)
pengelolaan kelas, (4) penggunaan media dan sumber pembelajaran,
(5) penguasaan landasan-landasan kependidikan, (6) pengelolaan
interaksi belajar mengajar, (7) penilaian prestasi siswa, (8)
pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan, (9)
pengenalan dan penyelenggaraan administrasi sekolah, serta (10)
pemahaman prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian
pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran
(Ahmad Sudrajat, 2012).
Berdasarkan uraian di atas, maka banyak kemampuan
profesional yang harus dimiliki guru antara lain adalah sebagai
berikut.

67
Heri Susanto

1) Kemampuan penguasaan materi/bahan bidang studi. Pengua-


saaan ini menjadi landasan pokok untuk keterampilan mengajar.
2) Kemampuan mengelola program pembelajaran yang mencakup
merumuskan standar kompetensi dan kompetensi dasar,
merumuskan silabus, tujuan pembelajaran, kemampuan
menggunakan metode/model mengajar, kemampuan menyusun
langkah-langkah kegiatan pembelajaran, kemampuan mengenal
potensi (entry behavior) peserta didik, serta kemampuan
merencanakan dan melaksanakan pengajaran remedial.
3) Kemampuan mengelola kelas. Kemampuan ini antara lain
adalah; a) mengatur tata ruang kelas, b) menciptakan iklim
belajar mengajar yang kondusif.
4) Kemampuan mengelola dan penggunaan media serta sumber
belajar. Kemampuan ini pada dasarnya merupakan kemampuan
menciptakan kondisi belajar yang merangsang agar proses belajar
mengajar dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Termasuk
dalam kemampuan ini adalah mampu membuat alat bantu
pembelajaran, menggunakan dan mengelola laboratorium,
menggunakan perpustakaan.
5) Kemampuan penguasaan tentang landasan kependidikan.
Kemampuan menguasai landasan-landasan kependidikan
berkaitan dengan kegiatan sebagai berikut; a) mempelajari
konsep, landasan dan asas kependidikan, b) mengenal fungsi
sekolah sebagai lembaga sosial, c) mengenali kemampuan dan
karakteristik fisik dan psikologis peserta didik.
6) Kemampuan menilai prestasi belajar peserta didik. Yang
dimaksud dengan kemampuan ini menilai prestasi belajar peserta
didik atau siswa adalah kemampuan mengukur perubahan
tingkah laku siswa dan kemampuan mengukur kemahiran
dirinya dalam mengajar dan dalam membuat program.
Selain kompetensi profesional, kompetensi guru yang berkaitan
langsung dengan praksis pembelajaran adalah kompetensi
paedagogik. Pedagogik berasal dari bahasa Yunani yakni paedos yang
artinya anak laki-laki, dan agogos yang artinya mengantar,
membimbing. Jadi pedagogik secara harfiah membantu anak laki-
laki zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantarkan anak

68
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah

majikannya pergi ke sekolah (Uyoh Sadullah dalam Ahmad Sudrajat,


2012). Menurut J. Hoogeveld (Belanda), pedagogik ialah ilmu yang
mempelajari masalah membimbing anak kearah tujuan tertentu,
yaitu supaya kelak ia mampu secara mandiri menyelesaikan tugas
hidupnya. Langeveld (1980) membedakan istilah pedagogik dengan
istilah pedagogi. Pedagogik diartikannya sebagai ilmu pendidikan
yang lebih menekankan pada pemikiran dan perenungan tentang
pendidikan. Sedangkan istilah pedagogi artinya pendidikan yang lebih
menekankan kepada praktek, yang menyangkut kegiatan mendidik,
membimbing anak. Pedagogik merupakan suatu teori yang secara
teliti, kritis dan objektif mengembangkan konsep-konsepnya
mengenai hakikat manusia, hakikat anak, hakikat tujuan pendidikan
serta hakikat proses pendidikan(Saudagar dan Idrus, 2009).
Secara umum istilah pedagogik (pedagogi) dapat beri makna
sebagai ilmu dan seni mengajar anak-anak. Sedangkan ilmu
mengajar untuk orang dewasa ialah andragogi. Dengan pengertian
itu maka pedagogik adalah sebuah pendekatan pendidikan
berdasarkan tinjauan psikologis anak. Pendekatan pedagogik
muaranya adalah membantu siswa melakukan kegiatan belajar.
Dalam perkembangannya, pelaksanaan pembelajaran itu dapat
menggunakan pendekatan kontinum, yaitu dimulai dari pendekatan
pedagogi yang diikuti oleh pendekatan andragogi, atau sebaliknya
yaitu dimulai dari pendekatan andragogi yang diikuti pedagogi,
demikian pula daur selanjutnya; andragogi-pedagogi-andragogi, dan
seterusnya (Ahmad Sudrajat, 2012).
Berdasarkan pengertian seperti tersebut di atas maka yang
dimaksud dengan pedagogik adalah ilmu tentang pendidikan anak
yang ruang lingkupnya terbatas pada interaksi edukatif antara
pendidik dengan siswa. Sedangkan kompetensi pedagaogik adalah
sejumlah kemampuan guru yang berkaitan dengan ilmu dan seni
mengajar siswa.
Standar kompetensi pedagogik sesuai dengan Penjelasan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, Tentang Standar
Nasional Pendidikan, pasal 28 ayat 3 bahwa kompetensi ialah
kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi:

69
Heri Susanto

a) Mengenal karakteristik dan potensi peserta didik


Proses belajar di kelas berlangsung dalam interaksi dan
komunikasi antara para siswa dan tenaga pengajar, juga dalam
kontak antara siswa satu dengan siswa yang lain. Melalui komunikasi
antar manusia ini siswa menghubungkan apa yang sudah
dipahaminya dan dilakukannya dengan apa yang diajarkan
kepadanya. Mengajarkan sesuatu tidak selalu guru melakukan secara
langsung, melainkan dapat juga sesame siswa, meskipun dengan
mendapat pendampingan dan pengawasan dari tenaga pengajar
(Winkel, 2009).
Proses interaksi tersebut akan dipengaruhi oleh beberapa fac-
tor, dalam pendidikan umumnya interaksi tersebut dipengaruhi oleh;
(1) perkembangan fisik anak, (2) perkembangan sosio emosional
anak (Muhammad Faiq Dzaki, 2013). Perkembangan fisik
merupakan perkembangan peserta didik yang ditandai dengan
perubahan bentuk dan fungsi biologis fisik peserta didik. Sedangkan
perkembangan sosio emosional merupakan perkembangan pola
interaksi dan respon individu peserta didik terhadap pola pergaulan
sebagai akibat perkembangan struktur dan fungsi biologis.
b) Menguasasi teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang efektif
Teori belajar menyatakan asumsi dasar tentang aspek-aspek
kunci dari proses belajar (atau perkembangan kognitif seperti dalam
teori perkembangan Piaget) dan mendefinisikan term-term utama
(Gredler, 2011). Teori belajar berbeda dengan model pengajaran yang
merupakan deskripsi lingkungan belajar (Joyce dan Weil, 2011).
Pembelajaran menyangkut tiga kriteria utama; pembelajaran
melibatkan perubahan, pembelajaran bertahan lama seiring dengan
waktu, dan pembelajaran terjadi melalui pengalaman (Schunk,
2012). Terdapat banyak teori pembelajaran, diantaranya adalah
behaviorisme, konstruktivisme dan kognitivisme.
Pembelajaran efektif menurut Muijs dan Renolds paling tidak
menyangkut; pelajaran yang distrukturisasikan dengan jelas,
presentasi yang terstruktur dan jelas, pacing (percepatan), model-
ing, penggunaan pemetaan konseptual, dan Tanya jawab interaktif
(Muijs dan Reynolds, 2008). Dengan demikian pembelajaran efektif

70
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah

minimal memiliki, struktur yang jelas, terjadi percepatan, ada upaya


modeling, konseptual dan interaktif.
c) Merencanakan dan mengembangkan kurikulum
Kurikulum Menurut Oemar Hamalik (2011) adalah program
pendidikan yang disediakan oleh lembaga pendidikan (sekolah) bagi
siswa. Oemar Hamalik mengutip dari Sistem Pendidikan Nasional
menyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar.
Menurut George A. Beaucham (1976), kurikulum sebagai
bidang studi membentuk suatu teori yaitu teori kurikulum. Selain
sebagai bidang studi kurikulum juga sebagai rencana pengajaran
dan sebagai suatu sistem (sistem kurikulum) yang merupakan bagian
dari sistem persekolahan. Sedangkan menurut Hilda Taba (1962),
Kurikulum sebagai a plan for learning, yakni sesuatu yang
direncanakan untuk dipelajari oleh siswa. Sementara itu, pandangan
lain mengatakan bahwa kurikulum sebagai dokumen tertulis yang
memuat rencana untuk peserta didik selama di sekolah (Oemar
Hamalik, 2011).
d) Melaksanakan pembelajaran yang efektif
Efektif adalah perubahan yang membawa pengaruh, makna
dan manfaat tertentu (Asrori Ardiansyah, 2011). Pembelajaran yang
efektif ditandai dengan sifatnya yang menekankan pada pember-
dayaan siswa secara aktif. Pembelajaran menekankan pada
penguasaan pengetahuan tentang apa yang dikerjakan, tetapi lebih
menekankan pada internalisasi, tentang apa yang dikerjakan
sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan hayati
serta dipraktekkan dalam kehidupan oleh siswa (Mulyasa, 2009).
Pembelajaran efektif juga akan melatih dan menanamkan sikap
demokratis bagi siswa. Lebih dari itu pembelajaran efektif menekan-
kan bagaimana agar siswa mampu belajar dengan cara belajarnya
sendiri. Melalui kreativitas guru, pembelajaran di kelas menjadi
sebuah aktivitas yang menyenangkan. Perwujudan pembelajaran
efektif dan memberikan kecakapan hidup kepada siswa.

71
Heri Susanto

e) Menilai dan mengevaluasi pembelajaran


Pengertian evaluasi pendidikan selalu dikaitkan dengan prestasi
belajar siswa. Definisi yang pertama dikembangkan oleh Ralp Tyler
(1950). Ahli ini mengatakan bahwa evaluasi merupakan sebuah
proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam
hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Jika
belum, bagaimana yang belum dan apa sebabnya. Definisi yang lebih
luas dikemukakan oleh dua orang ahli lain, yakni Cronbach dan
Stufflebeam. Tambahan definisi tersebut adalah bahwa proses
evaluasi bukan sekedar mengukur sejauh mana tujuan tercapai,
tetapi digunakan untuk membuat keputusan(Suharsimi Arikunto,
2009).
Evaluasi lajimnya meliputi proses pengukuran, dan penilaian.
Pengukuran merupakan proses membandingkan secara kuantitatif
dengan menggunakan alat ukur, sedangkan penilaian merupakan
proses judgment secara kualitatif. Dalam pendidikan objek yang
diukur biasanya adalah prestasi belajar melalui skor dari instrument
evaluasi.
Secara lebih khusus sesuai dengan kompetensi di atas guru
sejarah dituntut untuk menguasai bidang keilmuan sejarah, baik
berupa dalil, konsep, hukum dan teori keilmuan untuk kemudian
mengambil intisarinya untuk disampaikan kepada siswa dalam
pembelajaran sejarah di kelas. Dengan kedudukan ini seorang guru
sejarah pada hakikatnya adalah seorang messanger yang menyam-
paikan ide dan kearifan hidup umat manusia di masa lalu kepada
generasi masa kini.
Menurut Kochhar (2008), setidaknya guru sejarah harus
memiliki dua kualitas. Pertama, penguasaan materi, meskipun
hanya mengajar pada kelas dasar guru sejarah harus memiliki latar
belakang akademik yang relevan. Kedua, penguasaan teknik, guru
sejarah harus menguasai berbagai macam metode dan teknik
pembelajaran sejarah, mampu menciptakan suasana belajar yang
nyaman dan mampu menggunakan berbagai media pembelajaran.
Hal tersebut merupakan syarat utama agar guru sejarah dapat
menyampaikan materi dengan baik.

72
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah

3. Buku Teks Sejarah


Keberadaan buku teks dalam pembelajaran sangatlah penting.
Buku teks merupakan sumber belajar bagi peserta didik. Buku teks
seyogyanya mampu menyajikan informasi kepada peserta didik
untuk mendapatkan pengetahuan dan mempermudah memahami
konsep-konsep keilmuan. Pada prakteknya buku teks terkadang
masih memberikan informasi yang salah. Dalam pembelajaran
sejarah, kesalahan semacam ini akan berakibat fatal, karena
menyebabkan fakta sejarah yang tersampaikan menjadi salah juga.
Guru seringkali sangat terpaku pada satu buku teks dalam
proses pembelajaran, menjadi semacam kitab suci yang sangat
dipercayai kebenarannya. Terkait hal ini Ansary dan Babaii (dalam
Hieronymus Purwanta, 2012: 424-425) secara detail menjelaskan
unsur-unsur pendukung penggunaan buku teks sebagai berikut.
Pertama, buku teks merupakan kerangka kerja yang mengatur dan
menjadwalkan waktu kegiatan program pengajaran. Kedua, di mata
siswa, tidak ada buku teks berarti tidak ada tujuan. Ketiga, tanpa
buku teks, siswa mengira bahwa mereka tidak ditangani secara serius.
Keempat, dalam banyak situasi, buku teks dapat berperan sebagai
silabus. Kelima, buku teks menyediakan teks pengajaran dan tugas
pembelajaran yang siap pakai. Keenam, buku teks merupakan cara
yang paling mudah untuk menyediakan bahan pembelajaran.
Ketujuh, siswa tidak mempunyai fokus yang jelas tanpa adanya buku
teks dan ketergantungan pada guru menjadi tinggi. Kedelapan, bagi
guru baru yang kurang berpengalaman, buku teks berarti keamanan,
petunjuk, dan bantuan.
Keberadaan buku teks pembelajaran sejarah tidak dapat
dianggap remeh. Melalui buku teks inilah suatu bangsa dapat
membangun dan memperkokoh identitas kebangsaannya. Beberapa
negara justru dengan sengaja menciptakan buku teks sejarah yang
menggambarkan kehebatan bangsanya, meskipun harus
meninggalkan fakta-fakta penting yang kontroversial. Di Jepang
misalnya, dilakukan reformasi buku teks pelajaran sejarah. Tahun
1996 gerakan reformasi buku teks ini mengkritik buku teks pelajaran
sejarah yang beredar yang dinilai masochistic dan anti Jepang.
Hasilnya, buku teks sejarah baru yang digunakan di Jepang tidak
lagi memuat berbagai ekspansi dan perlakuan buruk tentara Jepang
73
Heri Susanto

selama PD II. Selanjutnya dengan tujuan yang sama akan tetapi


dengan cara yang berbeda Amerika Serikat juga menggunakan buku
teks sejarah untuk memperkuat identitas nasional. Secara
berkelanjutan negara-negara bagian menyusun buku teks yang isinya
menonjolkan sisi heroik dan mampu membangkitkan kebanggaan
generasi muda (Hieronymus Purwanta, 2012).
Kondisi serupa juga sebenarnya terjadi di Indonesia. Kita tentu
masih ingat bagaimana pemerintah Orde Baru menggunakan buku
teks sejarah untuk memperkuat kedudukannya. Munculnya mata
pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) adalah
salah satu contohnya. Memang terdapat perbedaan antara menggu-
nakan narasi sejarah untuk melanggengkan kekuasaan dengan
menggunakannya untuk kepentingan nasional. Kesamaannya
adalah sejarah tidak tersampaikan dengan apa adanya. Kecen-
derungan ini bahkan terus terulang pada pemerintahan era
Reformasi, ketika dalam kurun waktu tahun 2006-2007 Kejaksaan
Agung mengeluarkan dan mengedarkan keputusan yang melarang
penggunaan buku teks sejarah yang di dalamnya tidak mencan-
tumkan kata PKI pada bagian yang berisi materi pemberontakan
G30S (Gerakan 30 September).
Bambang Purwato (dalam Ketut Sedana Arta, 2012: 159)
‘menyatakan kontroversi dalam pembelajaran sejarah adalah sejarah
sebagai materi bahan ajar, atau kurikulum sebagai sebagai hasil
kebijakan birokratis-akademis untuk memandu perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran’. Kenyataanya memang terdapat perbe-
daan antara sejarah sebagai subjek akademik dengan sejarah sebagai
bagian kebijakan negara. Dalam konteks yang kedua ini, pendidikan
sejarah adalah cara untuk memperkuat identitas bangsa. Sebagai
upaya untuk memperkuat identitas bangsa, sejarah memang dalam
banyak kasus disampaikan berbeda dengan kenyataannya.
Penonjolan kepentingan kekuasaan yang bersifat sementara
menjadikan narasi buku teks pelajaran sejarah kurang mampu
menumbuhkembangkan identitas nasional yang visioner dalam diri
generasi muda. Kajian Nordholt menemukan bahwa historiografi
Indonesia terjebak pada narasi sejarah yang tidak memiliki
masyarakat, dan akibatnya masyarakat menjalani kehidupan dengan

74
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah

“tanpa berlandas sejarah”. Dari perspektif ini, menjadi wajar apabila


generasi muda Indonesia menjadi tidak lagi memiliki ikatan
emosional dengan tanah tumpah darahnya (Hieronymus Purwanta,
2012: 110).
Menurut Niels Mulder (2000), sehubungan dengan kecen-
derungan penulisan sejarah, buku teks sejarah dalam kepentingan
masa sekarang, sejarah seringkali “mendikte masa lampau”.
Pandangan Mulder ini menjelaskan bahwa masa lalu dalam buku
teks sejarah untuk sekolah seringkali dideskripsikan sesuai dengan
kepentingan masa sekarang. Akibatnya adalah kepentingan masa
sekaranglah yang diutamakan bukan kebenaran dari sejarah. Mulder
juga menemukan bahwa banyak narasi dalam buku teks sejarah
Indonesia untuk sekolah terdapat bagian-bagian yang kurang logis
dan bahkan tidak didukung bukti yang akurat. Sebagai gambaran
misalnya, berkali-kali dijelaskan terkait pembangunan Candi
Prambanan (Hindu) dan Candi Sewu (Budha) yang berada dalam
satu komplek, disebutkan bahwa pada masa Mataram lama terdapat
dua raja yang berbeda agama, akan tetapi sama-sama memerintah
dengan rukun. Penjelasan ini jelas tanpa bukti yang akurat dan
kurang masuk akal, karena dalam konsep kekuasaan Jawa tidak
mentoleri adanya “suryo kembar”. Narasi ini yang dalam pandangan
Nordholt di atas dikatakan “tidak memiliki masyarakat”, karena jelas
sekali tidak sesuai dengan latar budaya masyarakat Jawa.
Sikap kritis dalam menggunakan buku teks sejarah sangat
diperlukan. Dalam proses pembelajaran sejarah disekolah, guru
dituntut untuk memperluas wawasan keilmuan dan tidak
bergantung hanya pada satu buku teks. Kendatipun buku teks yang
disajikan seringkali sudah melewati proses telaah dan uji kelayakan,
akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekeliruan yang
terjadi.

4. Desain Instruksional
Pembelajaran sejarah di sekolah seringkali terdengar sangat
membosankan. Mengatasi masalah ini, guru sejarah dituntut untuk
lebih kreatif dalam pembelajaran sejarah. Kreatifitas guru dalam
pembelajaran dapat terlihat dari desain pembelajaran yang dibuat.
Pembelajaran melibatkan pemprosesan informasi, dalam

75
Heri Susanto

pemprosesan informasi tersebut diperlukan desain untuk mencapai


tujuan yang diinginkan.
Desain pembelajaran merupakan praktik pembuatan alat dan isi atau
materi agar proses belajar berlangsung seefektif mungkin. Proses
dimaksud secara garis besar meliputi penentuan kebutuhan belajar
siswa, menentukan tujuan pembelajaran, dan menciptakan kegiatan
atau “intervensi” dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
idealnya proses dimaksud didasarkan atas teori belajar yang valid.
Hasil pembelajaran dapat berupa perubahan perilaku siswa yang
secara langsung atau tidak langsung dapat diamati dan diukur
(Kruse, Kevin dan Moss. dalam Abdul Gafur, 2012: 2).

Mendesain pembelajaran untuk pemrosesan informasi harus


fokus pada pentransformasian makna logis dari pengetahuan ke
dalam makna psikologis. Makna logis adalah relasi simbol, konsep,
dan aturan dari area subjek (Gredler, 2011: 261). Dengan demikian
mempertimbangkan kemampuan dan kondisi siswa menjadi sangat
penting dalam proses ini. Desain pembelajaran akan dapat berfungsi
secara optimal apabila subjek belajar mampu memahami relasi
simbol, konsep dan aturan-aturan, sehingga makna belajar dapat
didapatkan.
Desain pembelajaran atau desain instruksional sering disama-
kan dengan perencanaan pembelajaran. Menurut Syaiful Sagala
(2009: 136), perencanaan pengajaran (Instructional Design) dapat
dilihat dari berbagai sudut pandang yaitu: (1) perencanaan pengaja-
ran sebagai sebuah proses adalah pengembangan pengajaran secara
sistematik dengan menggunakan teori-teori belajar secara khusus
untuk menjamin kualitas pembelajaran; (2) perencanaan pengajaran
sebagai sebuah disiplin adalah cabang dari pengetahuan yang
senantiasa memperhatikan hasil-hasil penelitian dan teori-teori
tentang strategi pengajaran; (3) perencanaan sebagai sains adalah
mengkreasi secara detail komponen pembelajaran dengan segala
kompleksitasnya; (4) perencanaan pengajaran sebagai realitas
adalah ide pengajaran yang dikembangkan dengan memperhatikan
hubungan pengajaran dari waktu ke waktu; (5) perencanaan
pengajaran sebagai sistem adalah susunan dari sumber-sumber dan
prosedur-prosedur untuk menggerakkan pembelajaran; (6)

76
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah

perencanaan pengajaran sebagai teknologi adalah suatu perencana-


an yang mendorong penggunaan teknik-teknik yang dapat
mengembangkan tingkah laku kognitif dan teori-teori konstruktif
terhadap solusi dan problem-problem pengajaran.
Terlepas dari berbagai sudut pandang tersebut, dalam pengertian
ini desain instruksional lebih dilihat sebagai upaya merencanakan
dan mengembangkan pembelajaran dengan cara melakukan
pengaturan-pengaturan terhadap komponen-komponen pembelaja-
ran. Fungsi dari perencanaan tersebut adalah sebagai pedoman atau
rambu-rambu dalam melakukan praksis pembelajaran di kelas.
Tujuan akhirnya adalah tercapainya tujuan pembelajaran yang
dibuat. Dengan demikian desain pembelajaran menyangkut
pengaturan materi pembelajaran, media pembelajaran, proses
memperoleh pengetahuan bagi siswa dan evaluasi ketercapaian
tujuan pembelajaran.
Lebih spesifik dalam pembelajaran sejarah pengaturan-
pengaturan tersebut harus mempertimbangkan karakteristik
pembelajaran sejarah. Jika tujuan pembelajaran sejarah adalah siswa
memahami dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam
setiap peristiwa sejarah, maka desain pembelajaran yang dibuat
harus mampu mengungkapkan nilai-nilai tersebut sehingga mudah
dipahami oleh peserta didik. Nilai-nilai persatuan, kerjasama,
kejuangan, kegigihan dan empati, tidak akan didapat siswa melalui
pembelajaran sejarah yang hanya bersifak kronikel dan hanya
mengutamakan hapalan.
Untuk mencapai tujuan tersebut guru dapat menggunakan
pendekatan pengajaran tiga tahap. Menurut Jacobsen, Eggen dan
Kauchak (2009: 20), langkah-langkah dasar dalam pendekatan
pengajaran tiga tahap ini adalah sebagai berikut:
a. Perencanaan (planning)
b. Penerapan (implementing)
c. Penilaian (assessing)
Pendekatan ini memberikan gambaran bahwa terdapat
hubungan sistemik antara perencanaan, penerapan dan penilaian.
Masing-masing tahap dalam pendekatan ini akan sangat
mempengaruhi tahap selanjutnya. Tiga tahap ini berurutan dan

77
Heri Susanto

saling berhubungan. Dengan kata lain seorang guru dalam


mengembangkan pembelajaran selalu dimulai dari perencanaan
kemudian implementasi dan yang terakhir adalah penilaian.
Pendekatan pengajaran tiga tahap ini dapat digambarkan dalam
bagan:

Sumber: adaptasi dari Jacobsen, Eggen dan Kauchak (2009: 23)

Terdapat interelasi dalam skema tiga tahap tersebut, jika


dicermati tiga tahap tersebut merupakan siklus yang saling
mempengaruhi. Siklus ini tidak berhenti pada penilaian, sebaliknya
penilaian sangat mempengaruhi dan menjadi pertimbangan dalam
menentukan tujuan pembelajaran selanjutnya. Pertanyaan awal
dalam proses ini adalah, apa tujuan pembelajaran sejarah. Tujuan
pembelajaran sejarah akan mempengaruhi strategi implementasi
dan prosedur penilaian.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam
membuat desain pembelajaran sejarah:

a. Tujuan pembelajaran sejarah


Tujuan pembelajaran berhubungan erat dengan tujuan
kurikulum pendidikan sejarah, selanjutnya tujuan pembelajaran
harus mengacu pada kompetensi dasar yang ingin dicapai dalam
pembelajaran. Dalam penyusunan rencana pembelajaran terdapat
hubungan erat antara tujuan pembelajaran dan indikator
pencapaian, indikator pencapaian merupakan penanda untuk
mengetahui apakah tujuan yang diinginkan sudah tercapai dalam
kegiatan pembelajaran atau belum.
Indikator pembelajaran dinyatakan dalam kalimat positif yang
menunjukkan perilaku belajar siswa dengan menggunakan kata kerja
operasional, kata kerja operasional dimaksud yaitu:

78
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah

Kata Kerja Operasional Ranah Kognitif

79
Heri Susanto

Kata Kerja Operasional Ranah Afektif

80
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah

Kata Kerja Operasional Ranah Psikomotorik

81
Heri Susanto

82
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah

b. Karakteristik materi ajar sejarah


Telah diuraikan sebelumnya bagaimana karakteristik pembe-
lajaran sejarah. Untuk melaksanakan pembelajaran sejarah perlu
dipahami juga bagaimana karakteristik materi sejarah. Terdapat
perbedaan karakteristik materi ajar sejarah sesuai dengan kompetensi
pembelajaran. Pada materi prasejarah Nusantara siswa akan
dihadapkan pada banyak istilah dan kata-kata asing yang susah
diingat. Materi ini ditujukan untuk memahami identitas bangsa In-
donesia, tujuan pembelajaran hendaklah tidak terfokus pada aspek
ingatan. Selanjutnya pada periode selanjutnya, masa klasik di
Nusantara siswa akan dihadapkan pada materi yang berisi
bagaimana terbentuk dan jatuh bangunnya sebuah imperium. Kurun
waktu ini merupakan periode panjang dalam perjalanan sejarah
Nusantara. Masalah utama yang biasanya dihadapai oleh guru
sejarah adalah materi yang terlalu banyak. Perlu diperhatikan bahwa
poin terpenting dari kurun waktu ini bukanlah bagaimana siswa
hapal sebanyak-banyaknya materi, akan tetapi bagaimana siswa
memahami pola kehidupan, mehami hukum perubahan dan
keberlanjutan, serta memahami adanya siklus kekuasaan.
Periode selanjutnya masa Indonesia moderen, siswa dihadapkan
pada materi yang berisi cerita-cerita perjuangan menuju satu bangsa.
Diawali dengan masuknya ide-ide dan faham kebangsaan, proses
menuju persatuan dan proses menuju kemerdekaan. Terpenting dari
periode ini adalah siswa memahami bagaimana terbentuknya bangsa
dan bagaimana mencapai cita-cita kemerdekaan. Bisa dikatakan
materi ini merupakan materi terpenting dalam sejarah Indonesia
dalam mencapai kemerdekaan dan mewujudkan cita-cita berbangsa.
Masa selanjutnya, pasca kemerdekaan siswa dihadapkan pada
upaya-upaya mengisi kemerdekaan. Materi pelajaran pada periode
ini sebenarnya sangat kontekstual dan sangat memungkinkan untuk
dikembangkan. Tekanan utamanya adalah bagaimana mengem-
bangkan kesadaran siswa untuk memahami dan melakukan hal-
hal positif dalam membangun bangsa. Siswa juga diajak untuk
melihat dan memahami kesalahan-kesalahan dari para pelaku
sejarah dan menumbuhkan kesadaran diri untuk berbuat lebih baik.

83
Heri Susanto

c. Ketersediaan sumberdaya pembelajaran sejarah


Selain kedua hal sebelumnya, dalam merancang desain pem-
belajaran perlu diperhatikan ketersediaan sumberdaya pembelajaran
sejarah. Sumberdaya dimaksud adalah ketersediaan buku teks sejarah,
media pembelajaran sejarah dan laboratorium pembelajaran sejarah.
Ketersediaan sumber daya tersebut akan mempermudah guru dalam
melaksanakan pembelajaran dan mempermudah siswa dalam
melakukan rekonsrtuksi. Sumberdaya minimal yang semestinya
tersedia adalah buku teks sejarah. Sedangkan media pembelajaran
sejarah menuntut kreativitas guru untuk merancang media
pembelajaran yang inovatif.
Media pembelajaran secara garis besar terbagi menjadi media
audio, visual dan audio-visual. Media audio dapat berupa rekaman,
misalnya rekaman pembacaan teks proklamasi. Media visual dapat
berupa media cetak dan elektronik, termasuk dalam media cetak
adalah arsip atau dokumen sejarah, dan dokumen berita seperti surat
kabar. Sedangkan media elektronik visual dapat berupa gambar
bergerak tanpa suara. Sedangkan media audio-visual berupa video
dan film dokumenter. Khusus untuk laboratorium pembelajaran
sejarah, memang masih sangat terbatas. Tidak banyak sekolah
bahkan perguruan tinggi yang memiliki laboratorium pembelajaran
sejarah.

84
BAB V
DESAIN, STRATEGI DAN EVALUASI
PEMBELAJARAN SEJARAH

Guru yang efektif menguasai materi pelajaran dan keahlian


atau keterampilan mengajar yang baik. Guru yang efektif memiliki
strategi pengajaran yang baik dan didukung oleh metode penetapan
tujuan, rancangan pengajaran, dan manajemen kelas(Santrock,
2010:7).
Proses pembelajaran dimulai dari perencanaan (penyusunan
perangkat pembelajaran), kegiatan pembelajaran dan evaluasi
pembelajaran. Ketiga proses ini berkesinambungan dan memiliki
keterkaitan antara satu dengan lainnya. Perencanaan yang baik akan
mempengaruhi kegiatan pembelajaran, sementara untuk mengeta-
hui kualitas pembelajaran harus dilakukan evaluasi pembelajaran
dan hasil evaluasi merupakan bahan pertimbangan untuk menyusun
perencanaan pembelajaran selanjutnya.

A. Perencanaan/Penyusunan Perangkat Pembelajaran


Perencanaan pembelajaran merupakan rancangan/desain tin-
dakan yang akan dilakukan dalam proses pembelajaran. Perenca-
naan pembelajaran setidaknya berisi target kompetensi, indikator
pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran,
sintak dan alokasi waktu pembelajaran, sumber dan media pembe-
lajaran serta evaluasi pembelajaran. Sebagai sebuah desain, perenca-
naan pembelajaran harus menunjukkan relevansi antar komponen
sehingga mejamin terlaksananya pembelajaran dan tercapainya
tujuan pembelajaran.

85
Heri Susanto

Untuk menjaga relevansi tersebut dapat digunakan prinsip


SMART dalam penyusunan perangkat pembelajaran, prinsip SMART
dimaksud merupakan akronim yaitu; Specific, Measurable, Attain-
able, Reasonable dan Time.
1. Specific
Perencanaan yang dibuat harus fokus pada tujuan yang akan
dicapai dan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan.
2. Measurable
Perencanaan juga harus terukur, jangan membuat perencanaan
yang sulit untuk dicapai atau sulit diukur apakah sudah tercapai
atau belum. Hal ini berkaitan dengan indikator yang ditetapkan,
setiap indikator harus benar-benar dapat diukur ketercapaiannya.
3. Attainable
Pastikan bahwa perencanaan yang dibuat benar-benar dapat
tercapai/dapat dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan keter-
sediaan sumber daya pembelajaran, seperti bahan ajar, media dan
alat yang dapat dipergunakan.
4. Raesonable
Perencanaan yang dibuat harus masuk akal. Tidak perlu ber-
lebihan, sederhana tapi dapat dilakukan dengan baik akan lebih
memungkinkan untuk tercapainya tujuan pembelajaran. Misal-
nya, jangan merencanakan untuk menggunakan kelas museum
jika memang tidak terdapat museum di sekitar sekolah.
5. Time
Perencanaan yang baik harus mencantumkan batasan waktu
pada tiap tahapan yang dilakukan. Batasan waktu tersebut
berguna sebagai pedoman untuk memastikan bahwa aktivitas
pembelajaran yang akan dilakukan memiliki cukup waktu untuk
dilaksanakan.
Selanjutnya dalam pengembangan perangkat pembelajaran
terdapat beberapa model yang dapat digunakan. Model pengem-
bangan perangkat pembelajaran memuat langkah-langkah yang
harus diikuti dalam pengembangan perangkat. Ada 3 macam model

86
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

pengembangan perangkat pembelajaran yaitu Model Kemp, Model


Four-D, dan Model Dick dan Carey (Ibrahim, 2003).

a. Model Kemp
Menurut Clarence Schaver (dalam Suparman, 1997) bahwa
pengembangan perangkat pembelajaran merupakan perencanaan
secara akal sehat untuk mengidentifikasi masalah belajar dan
mengusahakan pemecahan masalah tersebut dengan menggunakan
suatu rencana terhadap pelaksanaan, evaluasi, ujicoba, umpan balik
dan hasilnya. Sedangkan Hamreus (1971) dalam Suparman, (1997)
menyebutnya secara singkat sebagai proses yang sistematik untuk
meningkatkan kualitas kegiatan instruksional (pembelajaran). Dari
kedua pengertian tersebut menitikberatkan pengertian pengem-
bangan instruksional pada tujuan dan memecahkan masalah belajar,
meningkatkan kualitas kegiatan pembelajaran atau meningkatkan
kondisi-kondisi belajar. Perangkat pembelajaran menurut Kemp
adalah:

1) Problema pembelajaran dan analisis tujuan.


Pada tahap ini dilakukan analisis problem pembelajaran dan
analisis tujuan kurikulum yang berlaku untuk pokok bahasan yang
akan dikembangkan perangkatnya. Tahapan ini disebut juga analisis
ujung depan, analisis kebutuhan belajar, penilaian hasil belajar.
Tahapan ini penting dilakukan karena dengan mempelajari problema
pembelajaran pengajar akan menemukan cara terbaik untuk
mencapai tujuan pembelajaran.

2) Analisis karakteristik siswa


Pada awal perencanaan sangatlah perlu untuk memperhatikan
ciri, kemampuan dan pengalaman siswa, baik secara kelompok
maupun individu (Kemp, 1985: 62). Analisis siswa meliputi karakte-
ristik siswa antara lain: kemampuan akademik, usia dan tingkat
kedewasaan, motivasi terhadap pelajaran, pengalaman, keteram-
pilan mekanis, kemampuan bekerja sama dan ciri-ciri sosial yang
lain.
Analisis siswa bertujuan untuk mengetahui keadaan dan latar
belakang siswa yang secara langsung maupun tidak langsung dapat

87
Heri Susanto

mempengaruhi hasil belajar siswa. Hasil analisis ini dapat dijadikan


bahan pertimbangan dalam mengembangkan perangkat
pembelajaran.
Analisis siswa juga berguna untuk menentukan treathment
terbaik yang dapat dilakukan dalam pembelajaran, sehingga masalah
yang terjadi pada saat pembelajaran berlangsung dapat diminima-
lisir. Dengan demikian guru mempunyai bekal pengetahuan yang
cukup tentang siswanya dan memiliki gambaran untuk memper-
lakukan siswanya tersebut.

3) Isi mata ajar dan analisis tugas yang berkaitan dengan


penetapan tujuan pembelajaran
Analisis tugas adalah kumpulan prosedur untuk menentukan
isi satuan pelajaran. Dengan melakukan analisis tugas, guru dapat
menentukan fokus yang akan dicapai sesuai dengan tuntutan
kurikulum. Analisis tugas mencakup:
a) Analisis isi mata ajar
Analisis struktur isi adalah perincian isi materi ajar pokok bahasan
atau ketrampilan yang mencakup aspek kognitif, afektif dan
psikomotor(Kemp, 1994).
b) Analisis Prosedural.
Analisis prosedural digunakan untuk mengidentifikasi tahap-
tahap penyelesaian tugas sesuai dengan pokok bahasan.
c) Analisis Proses Informasi
Bertujuan untuk mengelompokkan tugas yang akan dilaksanakan
oleh siswa di dalam setiap kali pertemuan.
d) Analisis Konsep.
Analisis konsep adalah kegiatan mengidentifikasi konsep-konsep
utama dari pokok bahasan.

4) Perumusan Tujuan Pembelajaran.


Rumusan tujuan pembelajaran adalah rumusan tentang apa
yang dapat dilakukan oleh siswa setelah pembelajaran dilaksanakan.
Rumusan tersebut perlu dianalisis untuk memastikan apakah sesuai

88
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

dengan indikator yang dibuat dan mengetahui kondisi pencapaian


tujuan. Perumusan tujuan dapat dilakukan dengan rumus ABCD.
• A untuk audience, dalam hal ini adalah siswa
• B untuk behavior, dalam hal ini adalah kemampuan yang
dipersyaratkan
• C untuk condition, merupakan kondisi yang diinginkan setelah
proses yang dilakukan
• D untuk degre, merupakan level kemampuan yang diinginkan
Contoh: setelah kegiatan pembelajaran siswa dapat memahami
konsep dasar ilmu sejarah dengan tepat.
Menurut Kardi (2003) daftar rumusan tujuan pembelajaran
yang terlalu banyak akan cenderung menurunkan percaya diri siswa
untuk mencapainya. Tiga atau empat tujuan pembelajaran yang
dirumuskan secara umum, yang rumusannya menggunakan bahasa
yang dapat dipahami siswa dapat meningkatkan rasa percaya diri
siswa.

5) Penyusunan Instrumen Evaluasi.


Langkah selanjutnya dalam pengembangan perangkat adalah
penyusunan instrumen evaluasi. Tujuan penyusunan instrumen
evaluasi ini adalah untuk mengembangkan butir soal yang paling
cocok untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran dan
indikator.
Evaluasi merupakan suatu alat untuk mengukur terjadinya
perubahan tingkah laku pada diri siswa setelah pembelajaran ber-
langsung. Tes hasil belajar dapat digunakan untuk; (1) menentukan
urutan prestasi siswa, (2) menentukan sasaran belajar mana yang
telah atau belum dikuasai oleh siswa(Kardi, 2002).
Untuk mengatahui kemampuan dasar yang ditargetkan dapat
dikuasai oleh siswa digunakan metode evaluasi Prinsip Acuan Kriteria
(PAK). Dengan demikian butir soal harus mencerminkan indikator
(Depdiknas, 2002). Perlu diperhatikan bahwa hasil yang diperoleh
merupakan skor sebagai perbandingan antara kemampuan yang
seharusnya dikuasai dengan yang sebenarnya telah dikuasai.

89
Heri Susanto

6) Pemilihan Strategi atau langkah-langkah pembelajaran.


Kegiatan ini bertujuan untuk memilih dan merencanakan kegiatan
belajar berdasarkan bahan yang berkaitan dengan sasaran belajar agar
dapat dicapai hasil belajar yang maksimal. Setiap materi yang berbeda
dalam pembelajaran sejarah mungkin memerlukan treathment yang
berbeda dalam proses pembelajaran. Sehingga keunikan tiap materi
akan mempengaruhi strategi yang digunakan dan tentu saja
membedakan langkah pembelajaran yang dilakukan.

7) Pemilihan Media dan Sumber Belajar.


Keberhasilan kegiatan belajar mengajar bergantung juga pada
penggunaan sumber pembelajaran dan media pembelajaran yang
sesuai. Jika sumber-sumber pembelajaran dipilih dan disiapkan dengan
lebih hati- hati dapat memenuhi tujuan pembelajaran antara lain;
memotivasi siswa, melibatkan siswa, menjelaskan dan menggambarkan
isi subjek, dan memberi kesempatan menganalisis sendiri kinerja indi-
vidual (Kemp, 1994). Dengan demikian sebenarnya kedudukan media
dan sumber belajar dalam proses pembelajaran tidak dapat dianggap
sepele. Perlu diperhatikan pula bahwa materi ajar yang berbeda
memerlukan media dan sumber bejalar yang berbeda pula.
Menurut Rustaman (1997) ‘media digunakan sebagai perantara
untuk menyampaikan pesan dengan menggunakan alat penampil
dalam kegiatan pembelajaran, guna mempertinggi efektivitas dan
efesiensi pencapaian tujuan pendidikan.’ Dalam pembelajaran sejarah,
seringkali guru kebingungan untuk menentukan media pembelajaran
sejarah yang sesuai.

b. Model Four-D
Model pengembangan perangkat ini seperti yang disarankan oleh
Thiagarajan, Semmel dan Semmel. Model ini terdiri dari 4 tahap
pengembangan yaitu Define, Design, Develop, and Disseminate atau
diadaptasikan dalam bahasa Indonesia menjadi Model 4-P, yaitu
pendefinisian, perancangan, pengembangan, dan penyebaran (Ibrahim,
2003).
1) Tahap Pendefinisian (define), ada 5 langkah pokok di dalam tahap
ini, yaitu:

90
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

a) Analisis ujung depan, dengan mempertimbangkan kurikulum


yang berlaku. Langkah ini dilakukan untuk memahami apa yang
diinginkan oleh kurikulum dan bagaimana kurikulum dapat
diterapkan dalam pembelajaran.
b) Analisis siswa, dengan memperhatikan ciri, kemampuan,
pengalaman siswa. Analisis siswa berguna untuk merancang
pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa. Dengan analisis
ini pembelajaran akan dirancang agar menempatkan siswa sesuai
dengan kapasitasnya, sehingga pembelajaran yang dilakukan
tidak membuat siswa merasa terbebani atau terpaksa, melainkan
siswa merasa perlu untuk mengikuti pembelajaran.
c) Analisis tugas, mencakup: analisis struktur isi, analisis prosedural.
Kedua hal tersebut harus dirumuskan dengan jelas, agar siswa
dapat mengerjakan tugas dengan tepat sesuai yang diinginkan
guru.
d) Analisis konsep, mengidentifikasi konsep-konsep yang akan
diajarkan, menghasilkan peta konsep. Bisa dikatakan bahwa
menyampaikan konsep adalah salah satu bagian tersulit dalam
pembelajaran. Dalam banyak materi pembelajaran sejarah konsep
tidak dapat disampaikan secara langsung, melainkan harus
dibungkus dengan cerita/fakta yang terjadi.
e) Perumusan tujuan, untuk mengkonversikan hasil analisis tugas
dan analisis konsep menjadi tujuan pembelajaran. Dengan
demikian tujuan pembelajaran yang dibuat sebenarnya
merupakan hasil dari proses mempelajari dan menghayati tujuan
pendidikan nasional serta konsep keilmuan. Selanjutnya setelah
proses ini dilakukan perlu ditentukan indikator/penanda
tercapainya tujuan.
2) Tahap Perancangan (design), pada tahap ini dilakukan:
a) penyusunan tes, tes digunakan untuk mengetahui apakah tujuan
yang ditetapkan sudah tercapai. Tes merupakan penjabaran dari
indikator dalam bentuk pertanyaan atau pernyataan perintah.
b) pemilihan media, setelah tujuan dan indikator ditetapkan maka
harus ditentukan media apa yang cocok dan dapat digunakan
untuk mencapai tujuan yang dibuat.

91
Heri Susanto

c) pemilihan format, format harus diperhatikan karena seringkali


perubahan kebijakan atau kurikulum menuntut format yang
berbeda dalam perencanaan pembelajaran, meskipun pada
hakikatnya perencanaan tetaplah mempunyai fungsi yang sama.
d) rancangan awal perangkat, setelah semua langkah di atas
dilakukan selanjutnya dapat disusun rancangan awal perangkat
pembelajaran.
3) Tahap Pengembangan (develop), meliputi:
a) validasi perangkat oleh pakar diikuti dengan revisi, setelah
rancangan awal perangkat pembelajaran tersusun, selanjutnya
perangkat dikonsultasikan pada pakar untuk selanjutnya
dilakukan validasi.
b) simulasi, pada tahap ini penggunaan perangkat disimulasikan
c) ujicoba terbatas, uji coba ini merupakan uji coba awal untuk
mengetahui efektivitas perangkat
d) ujicoba lebih lanjut, uji coba lanjutan ini untuk memastikan bahwa
perangkat benar-benar dapat digunakan secara luas
4) Tahap Pendiseminasian (disseminate), tahap ini merupakan tahapan
penggunaan perangkat yang telah dikembangkan pada skala yang
lebih luas misalnya di kelas lain, di sekolah lain, oleh guru yang lain.
c. Model Dick dan Carey
Perancangan pengajaran menurut sistem pendekatan model Dick
dan Carey, yang dikembangkan oleh Walter Dick dan Lou Carey
(Ibrahim, 2003). Model ini sering disebut model pendekatan sistem.
Kardi (2003) menjelaskan ada sembilan langkah dasar untuk
menggambarkan prosedur yang dilakukan oleh seseorang apabila
menggunakan pendekatan sistem untuk merancang pembelajaran.
Komponen-komponen model pendekatan sistem itu akan diuraikan
sebagai berikut (Kardi, 2003):
1) Mengidentifikasi tujuan pembelajaran, untuk menentukan tujuan
pembelajaran ini berdasarkan materi kurikulum yang dipergunakan.
Tujuan pembelajaran dalam konteks ini juga terkait dengan tujuan
kurikulum.
2) Melakukan analisis pembelajaran, analisis pembelajaran dilakukan
untuk menentukan model pembelajaran apa yang perlu dilakukan
92
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

oleh siswa, untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut perlu


dilakukan:
a) Analisis tujuan, analisis tujuan ini untuk mengidentifikasi
ketrampilan-ketrampilan sub ordinat yang harus dipelajari oleh
siswa.
b) Langkah-langkah prosedural sub ordinat, adalah sesuatu yang
perlu diikuti oleh siswa untuk mempelajari suatu proses. Analisis
ini akan menghasilkan diagram atau charta yang berisi
ketrampilan-ketrampilan
3) Mengidentifikasi tingkah laku awal siswa dan karakteristik siswa
a) Mengidentifikasi tingkah laku awal siswa, digunakan untuk
mengidentifikasi ketrampilan khusus yang perlu dimiliki oleh siswa
sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Ketrampilan-
ketrampilan khusus ini harus dapat dilakukan oleh siswa agar
pembelajaran dapat dimulai dan berjalan secara efektif dan efisien.
b) Karakteristik siswa.
4) Menulis tujuan pembelajaran (performance objective), kegiatan ini
dilakukan berdasarkan pada analisis pembelajaran dan identifikasi
tingkah laku awal siswa. Merumuskan tujuan pembelajaran, berupa
pernyataan-pernyataan tentang apa yang dapat dilakukan oleh siswa
setelah selesai melakukan pembelajaran. Pernyataan-pernyataan ini
perlu dianalisis untuk menentukan ketrampilan-ketrampilan yang
perlu dipelajari, kondisi penerapannya dan kriteria keberhasilan
kinerja.
5) Mengembangkan butir soal beracuan kriteria, kegiatan ini untuk
mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran. Penekanannya pada
ketercapaian tingkah laku yang tersurat di dalam tujuan
pembelajaran.
6) Mengembangkan strategi pembelajaran, meliputi: kegiatan
prapembelajaran, presentasi informasi, latihan dan umpan balik, tes,
tugas.
7) Mengembangkan/memilih pembelajaran, bergantung pada macam
proses belajar-mengajar yang digunakan, tersedianya materi yang
diperlukan, dan sumber-sumber yang tersedia.

93
Heri Susanto

8) Merancang dan melaksanakan evaluasi formatif, tujuan untuk


mengumpulkan data yang akan dipergunakan sebagai dasar
memperbaiki program pembelajaran yang telah disusun.
9) Merevisi, tahap terakhir dan tahap pertama dari siklus ulang, ialah
merevisi program pembelajaran.
10) Evaluasi sumatif, merupakan evaluasi terakhir tentang keefektivan
suatu program pembelajaran, pada umumnya evaluasi sumatif ini
bukan merupakan bagian dari proses perancangan pembelajaran.

B. Strategi Pengajaran Sejarah


Konstruktivisme menekankan agar individu secara aktif menyu-
sun dan membangun (to construct) pengetahuan dan pemahaman
(Santrock, 2010:7). Strategi pengajaran dengan prinsip konstrutivisme
menghendaki guru untuk mampu merancang sebuah desain pembe-
lajaran yang memungkinkan siswa untuk mendapatkan, menyusun
dan membangun pengetahuannya sendiri dibawah bimbingan guru.
Secara holistik strategi dimulai dari perencanaan pengajaran (pra
instruksional), proses pembelajaran (instruksional) dan evaluasi
pembelajaran.
Reigeluth (dalam Rusmono, 2012: 21) mendefinisikan strategi
sebagai kebiasaan terintegrasi yang mengatur komponen antara lain;
pengaturan isi, penggunaan ulasan dan penjelasan, penggunaan contoh-
contoh, penggunaan latihan dan cara-cara memotivasi siswa. Dengan
demikian strategi mencakup segi teknis dan psikologis pembelajaran.
Strategi pembelajaran juga dapat diartikan sebagai perencanaan
yang dilakukan untuk mengatur kegiatan interaksi antara peserta didik,
pendidik, dan atau media/sumber belajar sehingga tujuan pembelajaran
yang ditetapkan dapat tercapai. Konsep tersebut menjelaskan bahwa
dalam strategi terdapat beberapa komponen yang terlibat dalam
pembelajaran, yaitu; peserta didik, pendidik, media dan sumber belajar.
Konsep dasar strategi belajar mengajar ini meliputi hal-hal: (1)
menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan perilaku belajar, (2)
menentukan pilihan berkenaan dengan pendekatan terhadap masalah
belajar mengajar, memilih prosedur, metode dan teknik belajar
mengajar, dan (3) norma dan kriteria keberhasilan kegiatan belajar

94
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

mengajar. Strategi dapat diartikan sebagai suatu garis-garis besar


haluan untuk bertindak dalam rangka mencapai sasaran yang telah
ditentukan. Dikaitkan dengan belajar mengajar, strategi bisa diartikan
sebagai pola-pola umum kegiatan guru, murid dalam perwujudan
kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan
(Saiful Sagala, 2009: 221-222).

Terdapat beberapa istilah yang erat kaitannya dengan istilah


strategi pembelajaran seperti model, pendekatan, teknik, metode, dan
cara. Istilah tersebut menggambarkan sifat dari umum ke khusus
(Abdul Gafur, 2012: 72). Dengan kata lain model berisi keseluruhan
aktivitas dalam proses pembelajaran, sementara metode merupakan
langkah spesifik dalam proses transfer informasi. Dalam banyak literatur
memang tidak ada kesepakatan tegas tentang bagaimana posisi antar
komponen tersebut, akan tetapi yang perlu digarisbawahi adalah, baik
model, pendekatan, teknik dan metode selalu ada dalam tahap
pembelajaran. Hubungan antara istilah-istilah tersebut dapat dilihat
pada bagan.

Sumber: adaptasi dari Abdul Majid, 2013:20

Secara garis besar strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai


serangkaian tindakan perencanaan yang mencakup pengaturan cara
penyampaian materi ajar, cara memaksimalkan kemampuan belajar

95
Heri Susanto

peserta didik, cara menggunakan sumberdaya yang tersedia,


pengaturan materi ajar dan evaluasi hasil belajar yang tersusun dalam
desain pembelajaran (instruksional). Dengan demikian terdapat
beberapa aspek dalam strategi pembelajaran yang harus direncanakan
dan diatur secara sistematis;
1. Pengaturan materi ajar yang akan disampaikan
Dalam menentukan materi ajar terdapat beberapa pertimbangan
yang harus diperhatikan, antara lain; kurikulum, kedalaman materi,
tingkat perkembangan pesera didik, waktu yang tersedia dan sumber
belajar yang ada. Sebagai kegiatan pembelajaran pengaturan materi
tentu tidak dapat lepas dari kurikulum yang berlaku, pilihan materi
harus sesuai dengan rumusan kompetensi yang telah ditetapkan dalam
kurikulum.
Tingkat kedalaman materi pembelajaran sejarah pada tiap jenjang
pendidikan tentu berbeda, jika pada tingkat dasar materi sejarah hanya
diarahkan pada pengetahuan fakta, pada tingkat yang lebih tinggi materi
pembelajaran sejarah sudah mulai dikembangkan pada pemahaman
konsep, dalil bahkan hukum keilmuan. Selanjutnya materi sejarah juga
tidak hanya dipahami sebagai sekumpulan fakta akan tetapi bagaimana
peserta didik dapat memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bagian terpenting dalam pengaturan materi pembelajaran sejarah
adalah kecenderungan untuk tidak menjejali peserta didik dengan
sebanyak-banyaknya fakta. Materi harus dikemas sedemikian rupa
sehingga ringan dan mudah dikuasai oleh siswa, materi juga hendaknya
dapat merangsang daya kritis siswa, sehingga siswa tertarik untuk
melakukan penyelidikan dan menemukan fakta-fakta lainnya secara
mandiri. Dengan cara seperti ini, siswa akan mampu melakukan
rekonstruksi pengetahuannya sendiri, sehingga proses pembelajaran
yang dilakukan kaya dengan pengalaman menemukan.
Seperti diketahui materi pembelajaran sejarah menyangkut
peristiwa, tokoh, waktu dan tempat. Pengaturan materi ajar sejarah
tidak dapat dilepaskan dari aspek kronologis, dengan demikian materi
harus disusun sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah urutan
cerita yang logis dan mudah dipahami oleh peserta didik. Guru harus
memahami bagian mana dari materi-materi tersebut yang harus

96
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

mendapat penekanan dan mana yang dapat sekedar disampaikan untuk


diketahui.

2. Cara penyampaian materi ajar (proses pembelajaran)


Cara penyampaian materi ajar erat hubungannya dengan
penggunaan model, metode dan teknik mengajar. Sebelumnya telah
diuraikan beberapa istilah terkait pembelajaran. Pada bagian ini
difokuskan pada penggunaan model pembelajaran sebagai desain
holistik dalam kegiatan pembelajaran. Selanjutnya diuraikan dan
disajikan contoh aplikasi model dari Joyce, Weil dan Calhoun (2011)
yang mengelompokkan model pembelajaran kedalam 4 kelompok besar,
yaitu:
- Kelompok model pembelajaran pemprosesan informasi
- Kelompok model pengajaran sosial
- Kelompok model pengajaran personal, dan
- Kelompok model pengajarah sistem perilaku
Tiap kelompok model pembelajaran beranggotakan model-model
pembelajaran yang dapat diaplikasikan sesuai dengan sasaran aspek
pembelajaran (kognitif, afektif dan psikomotor) dan tujuan instruksional.
Dalam pembelajaran sejarah kelompok model tersebut dapat
diklasifikasikan dan diaplikasikan sebagai berikut:
a. Klasifikasi model pemprosesan informasi berdasarkan
pencapaian domain

97
Heri Susanto

Contoh aplikasi model:


Fokus utama dari kelompok model ini adalah bagaimana siswa
mendapatkan informasi melalui kegiatan belajar yang dilakukan.
Meskipun kelompok model ini lebih memfokuskan sisi kognitif, bukan
berarti tidak terdapat kegiatan yang melatih sisi afektif. Hal terpenting
dari penggunaan model pembelajaran ini adalah bagaimana guru
memahami sintak dan menerjemahkannya dalam skenario aktivitas
pembelajaran. Beberapa model dalam kelompok model ini sangat
relevan digunakan dalam pembelajaran sejarah. Kelebihan model-
model tersebut antara lain:
a) Model Berfikir Induktif
Siswa dapat dilatih untuk membuat klasifikasi baik peristiwa
maupun fakta sejarah. Dengan membuat klasifikasi tersebut siswa
pada akhirnya akan membuat suatu kesimpulan umum dari setiap
peristiwa/fakta. Cara tersebut akan mengarahkan siswa untuk tidak
hanya menjadi pasip dalam pembelajaran, akan tetapi siswa akan
terlatih untuk melakukan rekonstruksi pengetahuannya sendiri.
Model ini sebenarnya sangat mudah diterapkan pada siswa dari
tingkat dasar sampai lanjutan atas. Struktur dan aplikasi model
berfikir induktif (Joyce, Weil dan Calhoun, 2011) yaitu:
- Langkah 1; Pembentukan konsep, dapat dilakukan dengan cara
membuat daftar, mengelompokkan dan membuat label kategori.
Aplikasi; siswa membuat daftar peristiwa-peristiwa yang terjadi
pasca Proklamasi Indonesia dari tahun 1950-1959, siswa
kemudian diminta untuk mengelompokkan peristiwa-peristiwa

98
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

tersebut menjadi (1) peristiwa yang memperkuat bangsa Indo-


nesia dan (2) peristiwa yang melemahkan bangsa Indonesia.
Selanjutnya tiap peristiwa tersebut diberi label positif dan negatif
sesuai sifat peristiwa.
- Langkah 2; Interpretasi data, dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi hubungan-hubungan penting dari peristiwa dan
membuat dugaan.
Aplikasi; setelah siswa melakukan langkah pembentukan konsep
di atas, siswa diminta untuk mencari tahu hubungan antar
peristiwa atau hubungan peristiwa dengan kondisi bangsa pada
masa sebelumnya. Selanjutnya siswa diarahkan untuk menyusun
dugaan dari peristiwa yang dia pelajari.
- Langkah 3; Penerapan prinsip, dilakukan dengan memprediksi
konsekuensi atau menguji kebenaran dari dugaan yang dibuat.
Aplikasi; Pada tahap ini siswa diarahkan untuk memperkirakan
konsekuensi dari peristiwa yang terjadi untuk selanjutnya
melakukan pembuktian melalui studi pustaka.
Cara tersebut selain melatih siswa untuk memahami logika
sejarah juga berguna untuk melatih kepekaan dan perhatian siswa
pada sifat pengetahuan.
b) Model Penemuan Konsep
Model ini menuntut aktivitas kognitif yang tinggi. Aktivitas
dalam model ini mengharuskan siswa untuk memahami sifat dari
kasus atau peristiwa yang disajikan. Struktur dan aplikasi model ini
dalam pembelajaran sejarah misalnya:
- Langkah 1; Penyajian data dan identifikasi konsep, guru menyaji-
kan contoh yang telah dilabeli (misalnya “ya” dan “tidak” atau
“relevan” dan “tidak”). Sementara siswa diminta untuk memban-
dingkan sifat/ciri sesuai label yang diberikan.
Aplikasi;Guru menyajikan isi pokok perundingan Linggarjati dan
memberikan label “ya” pada poin yang menguntungkan RI dan
“tidak” pada poin yang merugikan RI.
- Langkah 2; Pengujian pencapaian konsep, siswa diberikan kasus
atau peristiwa sejarah lainnya yang masih relevan dengan contoh
dan selanjutnya diminta untuk memberikan label sendiri.

99
Heri Susanto

Aplikasi; Dengan mengikuti pola pada contoh di atas, siswa


diminta untuk melakukan hal yang sama pada pokok-pokok
perjanjian Renville, Roem-Royen dan Konferensi Meja Bundar.
- Langkah 3; Analisis strategi berfikir, siswa diminta untuk
mendeskripsikan pemikirannya atas penilaian yang mereka
lakukan dan mendiskusikannya secara klasikal dibawah
bimbingan guru. Sasaran utama diskusi ini adalah siswa mampu
mendeskripsikan dasar penilaiannya terhadap suatu peristiwa.
Cara ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan pemi-
kiran sesuai fakta sejarah yang mereka pahami. Perlu diperhatikan
bahwa dalam aktivitas ini tidak ada jawaban siswa yang mutlak
benar ataupun salah. Yang terpenting adalah bagaimana guru dapat
mengeksplorasi kemampuan kognitif siswa dalam memahami
konsep. Tindak lanjut yang dapat dilakukan guru adalah merancang
kegiatan pembelajaran yang dapat memperkaya wawasan dan cara
pandang siswa terhadap sejarah, apabila hasil yang diharapkan tidak
tercapai.
c) Model Induktif Kata Bergambar
Model ini sangat memungkinkan untuk diterapkan pada banyak
materi pembelajaran sejarah. Kreativitas guru sangat diperlukan
dalam penerapan model ini, terlebih karena model ini menggunakan
kata dan gambar yang harus relevan dengan materi pelajaran.
Kelebihan model ini adalah penyampaian materi menjadi tidak
verbalis, model ini juga memungkinkan untuk diterapkan pada
multimedia. Model ini pada awalnya hanya digunakan untuk melatih
kemampuan bahasa anak pada tingkat dasar dengan menggunakan
visualisasi dari tiap kata. Akan tetapi model ini juga sangat
memungkinkan untuk diterapkan pada pembelajaran di tingkat yang
lebih tinggi. Contoh aplikasi model ini dalam pembelajaran sejarah:
- Langkah 1; Guru menyajikan gambar (satu atau beberapa), tiap
gambar dilengkapi dengan tema dan kata-kata yang menjadi
petunjuk.
Aplikasi; pada materi “Pusat-pusat Perdagangan dan Kekuasaan
serta Jalur Pelayaran di Nusantara Sebelum dan Setelah
Kejatuhan Malaka” disajikan dua gambar sebagai berikut:

100
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

Peta 1. Pelayaran dan perdagangan sebelum kejatuhan Malaka

Kata petunjuk:
I. Malaka III.Banten V. Banjar VII. Ternate & Tidore
II. Pasai IV. Demak VI. Makassar

Peta 2. Pelayaran dan perdagangan setelah kejatuhan Malaka

Kata petunjuk:
I. Pasai III. Demak V. Makassar
II. Banten IV. Banjar VI. Ternate & Tidore

101
Heri Susanto

- Langkah 2; membangun generalisasi dengan menggunakan kosa


kata
Aplikasi; siswa diminta untuk mempelajari sejarah tiap daerah,
kemudian membuat generalisasi dari tiap wilayah. Selanjutnya
siswa diminta untuk membandingkan kedua gambar dan diminta
untuk membuat generalisasi dari keduanya.
- Langkah 3; deskripsi
Aplikasi; siswa diminta untuk membuat paragraf sistematis
dengan berdasarkan pada analisa yang telah dibuat dan didukung
oleh literatur yang tersedia.
Model ini baik digunakan untuk melatih siswa dalam melakukan
analisa dan menuangkan pikiran dalam paragraf ilmiah.
d) Model Latihan Penelitian
Model ini merupakan penyederhanaan dari langkah penelitian
yang sebenarnya, tujuan utamanya adalah bagaimana siswa
memahami masalah dan memahami bagaimana mendapatkan
kebenaran ilmiah. Dalam pembelajaran sejarah sebenarnya model
ini memungkinkan untuk digunakan pada kelas museum, akan
tetapi jika tidak memungkinkan untuk menggunakan museum,
model ini juga dapat digunakan untuk latihan penelusuran sumber
dengan melakukan kajian pustaka. Model ini memungkinkan untuk
merancang latihan penelitian sesuai bidang ilmu yang dipelajari.
Aplikasi dalam pembelajaran sejarah:
- Langkah 1; berhadapan dengan masalah
Guru menyajikan permasalahan, misalnya; mengapa
Pemerintahan Orde Baru berakhir?
- Langkah 2; mengumpulkan data
Dalam tahap ini guru harus mengarahkan siswa untuk menemu-
kan data dari tema yang dipilih, guru dapat mengarahkan siswa
untuk mencari tahu mengapa terjadi krisis pada akhir masa orde
baru?. Guru harus memastikan bahwa sumber data tersedia.
Sumber data bisa dari koran, internet atau bahan pustaka.
- Langkah 3; mengolah, merumuskan penjelasan
Siswa dapat mengidentifikasi data yang diperoleh berdasarkan
kurun waktu dan akibat yang ditimbulkan. Sesuai langkah 2,
102
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

siswa diminta untuk mengidentifikasi dari beberapa faktor, faktor


manakah yang mempunyai akibat fatal bagi stabilitas ekonomi
dan politik pada akhir masa orde baru. Selanjutnya mengurai-
kannya dalam sebuah deskripsi singkat. Tahap ini juga dapat
disesuaikan dengan langkah kritik, interpretasi dan historiografi
dalam penelitian sejarah.
- Langkah 4; menganalisis proses penelitian
Siswa dibimbing untuk memahami dan mengevaluasi kembali
tahapan-tahapan yang dilalui, apakah sudah sesuai prosedur atau
belum.
Model ini memungkinkan siswa untuk mencari/meneliti fakta
sejarah secara mandiri dan mendapatkan pemahaman melalui
kegiatan menemukan. Model ini memiliki susunan dan kerangka
kerja yang cukup mudah, dan mendorong mekarnya iklim intelek-
tual dalam kelas (Joyce, Weil dan Calhoun, 2011: 199).
e) Model Pembelajaran Mnemonik
Model mnemonik disebut juga bantuan memori. Menurut
Joyce, Weil dan Calhoun (2011), model ini dirancang untuk mem-
bantu siswa dalam mengingat materi pembelajaran yang berupa
fakta, peristiwa atau nama. Cara yang dipakai adalah menggaris-
bawahi, membuat perumpamaan yang menarik, atau membuat
kata ganti, dalam istilah lain sering disebut “jembatan keledai”.
Mnemonik merupakan model pembelajaran yang menyenangkan,
akan tetapi model ini memang tidak melatih siswa untuk penguasaan
aspek kognitif tingkat tinggi. Contoh aplikasi dalam pembelajaran
sejarah:
- Langkah 1; mempersiapkan materi
Istilah-istilah sulit atau penting dalam materi dibuat daftar
- Langkah 2; mengembangkan hubungan-hubungan
Siswa diminta untuk membuat jembatan keledai; membuat
perumpamaan, singkatan, kata kunci atau kata ganti untuk
istilah-istilah tersebut. Misalnya untuk tokoh “Tiga Serangkai”
disingkat menjadi SuDoCi (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker
dan Cipto Mangoen Koesoemo).

103
Heri Susanto

- Langkah 3; memperluas gambaran sensorik


Bisa dilakukan dengan membuat/mencari gambar yang sesuai
dengan kata atau singkatan yang dibuat.
- Langkah 4; mengingat kembali
Dapat dilakukan dengan melafalkan singkatan yang dibuat dan
maknanya, sehingga materi dapat diingat.
Dalam bukunya Joyce, Weil dan Calhoun (2011), mengemuka-
kan bahwa sebaiknya prakarsa dalam kegiatan ini lebih ditekankan
pada siswa, sehingga siswa mampu membuat formulasi sendiri untuk
memudahkan mereka mengingat materi pelajaran.
f) Model Pembelajaran Sinektik
Model pembelajaran sinektik melatih siswa untuk berfikir kreatif
dan memudahkan siswa dalam mehami konsep-konsep. Model ini
banyak menggunakan analogi, dengan membuat analogi siswa akan
lebih mudah untuk memahami konsep, selain itu analogi yang dibuat
juga akan memudahkan siswa memahami hubungan antar konsep,
peristiwa atau fakta. Contoh penerapan model ini dalam pembela-
jaran sejarah:
- Langkah 1; Deskripsi kondisi saat ini
Aplikasi; guru meminta siswa mendeskripsikan fakta, situasi sesuai
tema pembelajaran, misalnya “Pentingnya Persatuan dalam
Perjuangan pada Masa Kemerdekaan”
- Langkah 2; Analogi langsung
Aplikasi; siswa membuat beberapa analogi tentang persatuan,
misalnya:
analogi pertama, persatuan dengan sapu lidi
analogi kedua, persatuan dengan sekelompok semut
analogi ketiga, persatuan dengan tali nylon
dan seterusnya
setelah membuat analogi tersesbut siswa memilih salah satu
analogi yang akan dideskripsikan
- Langkah 3; Analogi personal
Aplikasi; siswa yang telah memilih salah satu analogi kemudian
menganalogikan dirinya sesuai analogi yang dipilih, misalnya;
104
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

siswa memilih analogi sapu lidi. Siswa mengumpamakan diri


sebagai bilah lidi yang tidak mampu membersihkan kotoran jika
bekerja sendiri.
- Langkah 4; Konflik padat
Aplikasi; siswa menggunakan deskripsi yang mereka buat
terhadap diri mereka sendiri dan mengusulkan konflik (konflik
batin atau konflik sebenarnya). Misalnya; betapa tidak nyaman-
nya ketika menjadi sebilah lidi, di satu sisi ingin berguna dengan
cara membersihkan kotoran tapi disisi lain tidak mempunyai
kekuatan untuk malakukannya.
- Langkah 5; Analogi langsung
Aplikasi; siswa membuat dan memilih analogi lain sesuai konflik
padat yang dibuat, misalnya:
Bilah lidi Berjuang sendiri
Rapuh Mudah dikalahkan
Tidak berdaya Kurang kekuatan melawan penjajah
Banyak lidi menjadi sapu Berjuang bersama menjadi kuat
- Langkah 5; Pengujian kembali tugas awal
Aplikasi; siswa diminta untuk mendeskripsikan kembali sesuai
tema awal dengan menggunakan analogi terakhir atau semua
analogi yang telah dibuat dan kemudian mengambil makna atau
hikmah dari persatuan sebagai bangsa Indonesia.
Kelebihan model ini adalah, guru akan lebih mudah menyam-
paikan konsep kepada siswa dengan cara yang mudah dimengerti.
Akan tetapi model ini memang menuntut guru dan siswa untuk
berfikir kreatif dalam pembelajaran. Penggunaan model ini juga
dapat menghilangkan pandangan bahwa materi sejarah terlepas dari
realita kehidupan masa kini.
g) Model Pembelajaran Advance Organizer
Model ini melatih siswa untuk memahami struktur kognitif.
Inti dari model ini adalah presentasi-presentasi yang dilakukan siswa,
pengulangan presentasi dengan sasaran dan tujuan yang berbeda
pada setiap tahapnya membuat siswa memahami penekanan materi
dan struktur kognitif dalam pembelajaran.

105
Heri Susanto

Contoh penerapan model ini dalam pembelajaran sejarah:


- Langkah 1;presentasi Adavace Organizer
Aplikasi; guru menyampaikan tujuan pembelajaran, selanjutnya
guru menyampaikan organizer yang telah dibuat. Guru mem-
berikan contoh atau ilustrasi, sementara siswa diminta
mengidentifikasi sifat-sifat hubungan antar komponen dalam
organizer.
Contoh organizer:

Melalui organizer tersebut siswa diminta untuk mencari dan


mengemukakan alasan mengapa terdapat pembabakan zaman
batu dan zaman logam, selanjutnya siswa diminta untuk
mengidentifikasi ciri tiap zaman batu dan zaman logam.
- Langkah 2; Presentasi tugas atau materi pelajaran
Aplikasi; menyajikan materi oleh siswa sesuai urutan yang logis
dan menghubungkannya dengan organizer yang ada.

106
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

- Langkah 3; Memperkuat susunan kognitif


Aplikasi; membangkitkan pendekatan kritis siswa dengan cara
membuat pertanyaan, misalnya; apakah pergantian zaman
tersebut terjadi serentak di Indonesia? Mengapa?
Terpenting dari langkah 3 ini adalah siswa mempunyai gambaran
logis tentang fakta sejarah, dan memahami konsep periodesasi
dan kronologi.

b. Klasifikasi model pengajaran sosial berdasarkan


pencapaian domain

Contoh aplikasi model:


Fokus utama dari kelompok model ini adalah pengembangan
aspek afektif dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Joyce, Weil
dan Calhoun (2011: 34-35) ‘model-model sosial dalam pengajaran
telah dibangun untuk mendapatkan keuntungan dari fenomena ini

107
Heri Susanto

dengan cara membuat komunitas pembelajaran’. Kendatipun


demikian bukan berarti pencapaian aspek kognitif tidak dapat
dilakukan. Proses pembelajaran yang dilakukan melaui aktivitas
siswa juga akan mempermudah siswa dalam membangun
pengetahuan. Beberapa aplikasi model dari kelompok ini dapat
disusun sebagai berikut:
a) Investigasi Kelompok
Terdapat banyak literatur yang membahas tentang model ini.
Dari beberapa literatur yang membahas model ini terdapat beberapa
perbedaan dalam langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan.
Pada aplikasi ini penulis mengadopsi model yang diuraikan oleh
Joyce, Weil dan Calhoun (2011: 299-324)
- Langkah 1; menyajikan situasi yang rumit
Aplikasi; dalam pembelajaran sejarah guru dapat mengemukakan
materi-materi yang kontroversial. Misalnya guru mengemukakan
fakta yang bertentangan dengan pendapat umum bahwa Indo-
nesia tidak dijajah Belanda selama 350 tahun.
- Langkah 2; menjelaskan dan menguraikan reaksi terhadap situasi
Aplikasi; siswa diminta untuk mengidentifikasi setiap reaksi siswa
lain dan mencoba menjelaskanapa yang harus dilakukan untuk
kegiatan selanjutnya dalam rangka mendapatkan penjelasan yang
lebih lengkap.
- Langkah 3; merumuskan tugas dan mengaturnya dalam
pembelajaran (definisi masalah, peran, tugas dan lain-lain)
Aplikasi; berdasarkan fakta di atas, guru bersama siswa meru-
muskan tugas yang harus dikerjakan oleh siswa yaitu
mengumpulkan fakta/sumber tentang penjajahan di nusantara
melalui studi pustaka dan pencarian dengan internet. Selanjutnya
guru membagi kelompok dan memberikan tugas pada tiap
kelompok.
- Langkah 4; studi yang mandiri dan berkelompok
Aplikasi; tiap kelompok melakukan kerja mandiri untuk
mengumpulkan sumber untuk menjelaskan fakta bahwa Indo-
nesia tidak dijajah selama 350 tahun.

108
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

- Langkah 5; menganalisis perkembangan dan proses


Aplikasi; siswa pada tiap kelompok saling konfirmasi tentang
jawaban/fakta yang mereka peroleh.
- Langkah 6; mendaur ulang aktivitas
Aplikasi; setelah jawaban diperoleh tiap kelompok merumuskan
langkah yang lebih efektif atau mengatur kembali cara terbaik
untuk menyelesaikan tugas.
Model ini dapat dikembangkan untuk mengembangkan kelas
demokrasi. Model ini memungkinkan untuk eksplorasi aktivitas
siswa, dalam model ini siswa tidak dipaksa melakukan aktivitas
berdasarkan kehendak guru. Akan tetapi siswa dilibatkan untuk
menentukan cara yang akan digunakan dalam menyelesaikan
permasalahan. Sebelum menggunakan model ini guru harus
mempertimbangkan bahwa cukup tersedia sumberdaya bagi siswa
untuk menyelesaikan tugas yang dirumuskan.
b) Role Playing
Role Playing termasuk model yang sudah lama populer dalam
pembelajaran ilmu-ilmu sosial. Dalam pembelajaran sejarah sangat
memungkinkan menggunakan model ini. Titik poin dari aktivitas
dalam model ini adalah siswa memahami nilai dan memahami
konteks peristiwa yang terjadi dalam sejarah. Model tidaklah
sesederhana yang banyak dipraktikkan, model ini memiliki langkah
yang panjang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sebelum
memulai kegiatan role play, guru sebaiknya telah memerankan
skenario, sehingga jalan cerita mudah dipahami oleh siswa dan
kegiatan dapat lebih terarah.
Contoh penerapan model ini dalam pembelajaran sejarah:
- Langkah 1; menghangatkan situasi dengan cara, mengidentifikasi
dan memaparkan masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan
masalah dan menjelaskan role playing
Aplikasi; guru memaparkan topik yang akan diperankan,
menjelaskan masalah-masalah yang terjadi dengan topik tersebut.
Misalnya pada materi peristiwa Rengasdengklok.
- Langkah 2; memilih partisipan dengan cara, menganalisis peran
dan memilih pemain yang akan melakukan peran

109
Heri Susanto

Aplikasi; setelah memahami masalah dan peristiwa sejarahnya,


selanjutnya guru bersama siswa menganalisis peran dan memilih
pemeran pada tiap tokoh.
- Langkah 3; mengatur setting, mengatur sesi tindakan dan
menegaskan peran
Aplikasi; guru bersama siswa mengatur tindakan-tindakan yang
akan dilakukan oleh pemeran.
- Langkah 4; mempersiapkan peneliti, memutuskan apa yang
diamati dan membagi tugas pengamatan
Aplikasi; pada kegiatan ini harus dipersiapkan observer untuk
mengamati kegiatan role play yang dilakukan, siswa yang tidak
bertugas untuk memainkan peran bisa berperan sebagai observer.
Observasi akan lebih efektif lagi apabila sebelumnya telah
disiapkan lembar observasi yang akan digunakan siswa. Observer
tidak bertugas untuk menilai apakan pemeran tiap tokoh sudah
memerankan tikoh dengan baik atau belum, melainkan
mengamati bagaimana peran tiap tokoh dalam peristiwa sejarah,
mengapa tokoh tersebut bertindak dan apa atau bagaimana akibat
dari tindakan yang dilakukan.
- Langkah 5; pemeranan (kegiatan inti sosio drama)
Aplikasi; tiap pemeran yang ditugaskan untuk memerankan
masing-masing tokoh memerankan sesuai skenario yang dibuat.
Siswa yang berperan sebagai observer melakukan pengamatan
sesuai lembar observasi.
- Langkah 6; diskusi dan evaluasi, mereview drama, mendiskusikan
fokus utama dan mengembangkan peran
Aplikasi; setelah selesai kegiatan drama, siswa diminta untuk
mendiskusikan pemeranan yang telah dilakukan, menyangkut;
peran tiap tokoh, sebab dari tindakan yang dilakukan dan akibat
dari tindakan tersebut. Selanjutnya siswa diminta untuk
memperbaiki pemeranan dan bersiap untuk memerankan
kembali.
- Langkah 7; pemeranan kembali, memainkan kembali peran yang
telah diperbaiki sesuai dengan masukan siswa dalam kegiatan
diskusi sebelumnya

110
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

Aplikasi; siswa memerankan kembali drama yang telah diperbaiki,


tahap ini juga bisa dilakukan dengan mengganti pemeran dari
tiap tokoh.
- Langkah 8; diskusi dan evaluasi tahap kedua
Aplikasi; siswa kembali mendiskusikan pemeranan kedua
- Langkah 9; berbagi dan menggenarilasi pengalaman
Aplikasi; siswa diminta untuk menghubungkan situasi yang terjadi
dengan tindakan yang dilakukan oleh tiap tokoh. Siswa juga
diminta untuk mengidentifikasi nilai-nilai sosial-psikologis dari
peristiwa yang diperankan, misalnya mengapa terjadi perbedaan
pandangan antara golongan muda dan golongan tua, atau
mengapa terjadi perpecahan antara golongan tua dan golongan
muda.
Model ini dapat dikembangkan untuk membantu siswa
memahami nilai-nilai sosial dan psikologis dari suatu peristiwa.
c) Model Jurisprudensi
Model ini secara spesifik dimaksudkan agar siswa belajar
merespon kebijakan sosial maupun kebijakan politik yang mem-
punyai dampak sosial. Dalam materi pembelajaran sejarah banyak
terdapat kebijakan-kebijakan pemerintah yang bersifat kontroversial.
Materi ini misalnya;
1) Kebijakan Soekarno untuk melakukan berbagai pembangunan
infrastruktur menjelang penyelenggaraan Asian Games IV tahun
1962 dan Ganefo tahun 1963 yang mengakibatkan Indonesia
terpuruk dalam hyperinflasi yang mencapai 650%.
2) Diterbitkannya Undang-undang No. 86 tahun 1968 tentang
nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang
berakibat merosotnya pasar modal karena perginya para inves-
tor asing.
3) Kebijakan politik pintu terbuka pada masa pemerintahan Soeharto
yang menyebabkan Indonesia secara langsung masuk dalam
pusaran ekonomi liberal kapitalis.
4) Kebijakan dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru yang secara
tidak langsung menjadi legalitas ABRI untuk berpolitik.

111
Heri Susanto

5) Kebijakan pemerintahan masa Orde Baru yang cenderung


sentralistik menyebabkan kepentingan daerah di luar pulau Jawa
menjadi terabaikan.
6) Kebijakan pemilihan kepala daerah secara langsung pada masa
Reformasi yang menyebabkan seringnya pertikaian antara
pendukung calon kepala daerah dan pemborosan anggaran.
Materi-materi tersebut dapat diajarkan dengan menggunakan
model jurisprudensi. Contoh penggunaan model ini dalam
pembelajaran sejarah:
- Langkah 1; mengarahkan siswa pada kasus
Aplikasi; pada tahap ini guru memperkenalkan materi kasus atau
mereview fakta.
- Langkah 2; mengidentifikasi isu
Aplikasi; guru dan siswa mengidentifikasi isu (sesuai tema yang
dipilih) kemudian mengidentifikasi nilai dan konflik nilai.
Misalnya pada tema “kebijakan Soekarno menyambut Asian
Games dan Ganefo”, dari tema dapat dirumuskan beberapa fakta
dan nilai, misalnya:
- Kebanggan pada bangsa
- Orientasi kebijakan ekonomi
- Kesenjangan ekonomi
- Sikap nasionalisme yang berlebih dan sebagainya
Dari nilai dan fakta tersebut dapat dirumuskan adanya konflik
nilai antara kebijakan dengan meningkatnya inflasi yang
berakibat pada peningkatan angka penduduk miskin.
- Langkah 3; menentukan sikap (memposisikan diri)
Aplikasi; siswa diminta memilih berada pada posisi pro atau kontra,
kemudian mempertimbangkan dampak dari masing-masing
pilihan
- Langkah 4; mengesplorasi sikap; bentuk argumentasi
Aplikasi; siswa diminta menyusun argumentasi dan menjelaskan
mengapa pilihan yang mereka pilih menjadi prioritas untuk
dilakukan.

112
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

- Langkah 5; memperhalus dan mengkualifikasi posisi


Aplikasi; siswa diminta menyatakan alasan mengambil posisi
tersebut serta membuat perbandingan dengan beberapa situasi
yang mirip.
- Langkah 6; menguji asumsi-asumsi faktual
Aplikasi; siswa mengidentifikasi argumen yang dibuat dan
menganalisa apakah argumen tersebut relevan, selanjutnya
mempertimbangkan bagaimana kalau asumsi tersebut benar-
benar terjadi.
Model ini menarik untuk dikembangkan karena selain melatih
siswa untuk bersikap, lebih jauh model ini juga melatih sikap kritis
siswa atas suatu fakta sejarah.

C. Evaluasi Pembelajaran Sejarah


Evaluasi merupakan bagian dalam siklus pembelajaran, jika
dilihat dari fungsinya evaluasi bukan akhir dari proses pembelajaran
yang dilakukan oleh guru. Dalam pandangan umum seringkali
evaluasi dianggap sebagai akhir dari proses pembelajaran.
Pandangan ini menyebabkan munculnya kecenderungan untuk tidak
melakukan refleksi setelah evaluasi. Selanjutnya hampir bisa
dipastikan bahwa kualitas pembelajaran tidak akan bertambah baik,
bahkan cenderung menurun.
Terkait evaluasi terdapat dua istilah lainnya yang saling
berhubungan yaitu pengukuran dan penilaian. Evaluasi meliputi
kedua kegiatan tersebut. Melakukan evaluasi berarti menyatukan
dua kubu, yaitu pengukuran sebagai kegiatan kuantitatif dan
penilaian sebagai kegiatan kualitatif. Menurut Suharsimi Arikunto
(2009) pengukuran berarti membandingkan sesuatu yang diukur
dengan alat pembanding. Sementara penilaian merupakan proses
menafsirkan dan memberi simbol atau label pada hasil pengukuran.
Simbol atau label tersebut dalam evaluasi pembelajaran disebut
dengan nilai dan dinyatakan dengan angka atau huruf.
Jika evaluasi diartikan sebagai kegiatan tes, maka sebenarnya
kegiatan tersebut hanyalah pengukuran. Dengan demikian menjadi
jelas bahwa evaluasi tidak berhenti pada tes semata, evaluasi juga

113
Heri Susanto

berarti membuka kembali rekam jejak prestasi siswa selama proses


pembelajaran untuk selanjutnya digunakan sebagai pertimbangan
dalam penilaian. Kedua kegiatan ini harus dilakukan dengan objektif,
meskipun seringkali dalam proses menilai terdapat unsur subjektif
yang mempengaruhi, misalnya kesukaan pada individu yang dinilai,
keakraban dan sebagainya. Seyogyanya faktor-faktor tersebut tidak
merugikan siswa dan memunculkan kecemburuan antar siswa.
Perhatian utama pada banyak program adalah individu. Suatu
pendekatan pendidikan, misalnya menempatkan porsi besar pada
penekanan keunikan kebutuhan individu setiap anak (Patton, 2009).
Kenyataan tersebut menjelaskan bahwa individu-individu (siswa)
dalam pembelajaran haruslah menjadi perhatian utama dalam
proses pembelajaran, termasuk dalam evaluasi. Tujuan dilakukannya
evaluasi pada hakekatnya adalah mengetahui dan memahami
keunikan tiap individu dan merumuskan cara terbaik untuk
menanganinya, bukan sekedar untuk mendapatkan nilai kuantitatif
yang disimbolkan dengan angka atau huruf.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pembelajaran sejarah
evaluasi yang dilakukan hendaknya tidak hanya terfokus pada aspek
kognitif semata, melainkan juga afektif dan psikomotor.
Merencanakan evaluasi berarti memulai dengan menerjemahkan
indikator menjadi kisi-kisi evaluasi. Dari kisi-kisi tersebutlah soal/
instrumen evaluasi dapat disusun.

a. Aspek kognitif
Evaluasi kognitif lebih sering dilakukan dengan metode tes,
bentuk tes sangat beragam, antara lain; pilihan ganda, isian, essay,
benar-salah, menjodohkan dan sebagainya. Pengukuran kognitif
dapat disusun sesuai level kognitif yang diinginkan. Contoh
instrumen tes dalam bentuk essay pada tiap level:
1) Ingatan (C1)
Siswa hanya dituntut untuk mengingat kembali pelajaran yang
telah lalu
Contoh soal
Jelaskan proses perumusan teks proklamasi !

114
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

Atau
Sebutkan tokoh-tokoh yang terlibat dalam penyusunan teks
proklamasi
2) Pemahaman (C2)
Siswa diminta untuk membuktikan bahwa ia memahami
hubungan yang sederhana di antara fakta-fakta atau konsep
Contoh soal
Bila ditinjau dari kepentingan imperium, pihak manakah yang
diuntungkan dari perjanjian Helgoland 1890 ?
3) Penerapan/Aplikasi (C3)
Siswa dituntut untuk menyeleksi atau memilih suatu abstraksi
(konsep, hukum, dalil, teori, gagasan, ide dsb.) untuk diterapkan
dalam suatu situasi secara benar
Contoh soal
Salah satu akibat dari revolusi industri bagi Inggris adalah sur-
plus industrialisasi dan munculnya kapitalisme, dimana kaum
kapitalis menguasai keuangan negara. Dari keadaan tersebut
konsep imperialisme manakah yang berlaku di Inggris pada masa
tersebut?
4) Analisis (C4)
Siswa diminta untuk menganalisis suatu hubungan atau situasi
yang kompleks atas konsep-konsep dasar
Contoh soal
Pada awal pembukaannya wilayah New South Wales dimaksud-
kan untuk pembuangan narapidana, akan tetapi pada
pertengahan abad ke-18 kebijakan politik Inggris mulai ditujukan
untuk pengembangan kekuasaan Inggris di wilayah Asia. Apa
latar belakang perubahan kebijakan tersebut?
5) Sistesis (C5)
Siswa diminta untuk menggabungkan atau menyusun kembali
hal-hal yang spesifik agar dapat mengembangkan suatu struktur
baru (membuat generalisasi)

115
Heri Susanto

Contoh soal
Pada masa pergerakan nasional perjuangan banyak dilakukan
oleh berbagai organisasi baik sosial, politik, dan agama yang
dipimpin oleh kaum terpelajar. Jelaskan ciri umum perjuangan
pada masa pergerakan nasional?
6) Evaluasi (C6)
Siswa diminta untuk menilai suatu kasus yang menyangkut
benar/salah, tepat/tidak tepat
Contoh soal
Budi Utomo adalah organisasi pergerakan pertama yang menda-
sarkan aktivitas pada bidang pendidikan dan budaya untuk or-
ang-orang Jawa secara eksklusif. Dari kenyataan tersebut sudah
tepatkah apabila lahirnya Budi Utomo dijadikan tonggak
pergerakan Nasional?

b. Aspek Afektif
Evaluasi aspek afektif dilakukan untuk mengetahui kesadaran,
sikap, pandangan, pendapat, dan kecenderungan perilaku.
Pengukuran dan penilaian aspek afektif tidak dapat dilakukan dengan
menggunakan soal seperti halnya penilaian aspek kognitif. Perlu
dipahami bahwa dalam penilaian aspek afektif tidak ada benar atau
salah. Setiap respon yang diberikan adalah benar, pengukuran dan
penilaian yang dilakukan lebih ditekankan untuk mengetahui apakah
respon yang diinginkan dari proses pembelajaran sudah tercapai
sesuai dengan indikator yang ada. Misalnya, jika tujuan pembelajaran
sejarah adalah siswa menunjukkan sikap nasionalisme terhadap
bangsa dan negara maka evaluasi afektif harus dilakukan.
Seperti halnya evaluasi kognitif, pada evaluasi aspek afektif juga
harus memperhatikan level afektif, yaitu:
1. Penerimaan
Pada level ini siswa diminta untuk menunjukkan adanya kesa-
daran, kemauan dan perhatian, atau mengakui adanya perbedaan
dan kepentingan.

116
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah

2. Partisipasi
Pada level ini siswa diminta untuk mematuhi sesuatu, misalnya
peraturan, tuntutan dan perintah. Peran serta menjadi aspek
penting untuk diketahui dalam level ini. Tercapainya aspek ini
berarti siswa telah melewati dan menunjukkan penguasaan level
sebelumnya, yaitu penerimaan.
3. Penilaian/penentuan
Lebih tinggi dari level sebelumnya siswa diminta untuk
menentukan sikap yang menunjukkan apakah mereka menerima
suatu nilai, menyukai, menyepakati atau menghargai suatu
keadaan atau nilai.
4. Organisasi
Pada level ini kemampuan tingkat tinggi deperlukan. Siswa
diminta menunjukkan bahwa dia mampu membentuk sistem
nilai, menangkap relasi antar nilai, bertanggungjawab atau
mengintegralisir nilai.
5. Pembentukan pola
Pada level ini siswa diminta menunjukkan adanya kepercayaan
diri, disiplin pribadi, kesadaran diri dan pelibatan diri.
Instrumen yang dapat digunakan dalam evaluasi ranah ini
misalnya skala sikap dan lembar observasi.

c. Aspek Psikomotor
Aspek psikomotor merupakan aspek yang seringkali dinilai sukar
untuk dilakukan evaluasi pada disiplin sosial termasuk pendidikan
sejarah. Kendati begitu terdapat beberapa level pada aspek ini yang
dapat di evaluasi dalam pembelajaran sejarah.
1. Persepsi
Pada level ini siswa diminta untuk menafsirkan rangsangan, peka
terhadap rangsangan atau melakukan deskriminasi terhadap
rangsangan.
2. Kesiapan
Pada level ini siswa diminta menunjukkan bahwa dia mampu
berkonsentrasi dan menyiapkan diri untuk mengikuti proses
pembelajaran.

117
Heri Susanto

3. Kreativitas
Level ini merupakan level ke-7 dalam ranah psikomotor. Pada
level ini siswa dituntut untuk berani berinisiatif dalam proses
belajar mengajar.

118
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gafur. 2012. Desain Pembelajaran: Konsep, Model, dan


Aplikasinya dalam Perencanaan Pelaksanaan Pembe-
lajaran. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Abdul Majid. 2013. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Abdurrachman Surjomihardjo. 1979. Pembinaan Bangsa dan
Masalah Historiografi. Jakarta: Yayasan Idayu.
Abu Ahmadi. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Agus Salim. 2007. Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan
Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ahmad Ali Seman. 2010. “Multicultural and Ethnicity Approach in
History Towards National Integration in Malaysia” dalam
Historia: International Journal of History Education. Vol.
XI, No. 2 (December 2010). Bandung: the Associatio of
History Educators and Researchers.
Ahmad Sudrajat. 2012. 4 Kompetensi Guru. dalam http://
ahmad_sudrajat.guru-indonesia.net/artikel_detail-
18438.html (diakses pada 12 April 2013).
Ahmad Turmuzi. 2011. Peranan Pembelajaran Sejarah dalam
Pembangunan Bangsa dalam http://komunitaspendidikan.-
com/index.php/forum/peranan-pembelajaran-sejarah-
dalam-pembangunan-bangsa/146 (diakses pada Kamis, 21
Juni 2011).

119
Heri Susanto

Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta:


Penerbit Ombak.
Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities. Jogjakarta: In-
sist.
Andrik Purwasito. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Asrori Ardiansyah. 2011. Hakikat Pembelajaran Efektif. Dalam http:/
/www.majalahpendidikan.com/2011/03/hakikat-
pembelajaran-efektif.html (diakses pada 12 April 2013.)
Asvi Warman Adam. 2005. “Sejarah Politik dan Politik Sejarah”
dalam Frederick, William H. dan Soeri Soeroto (edt.). Pema-
haman Sejarah Indonesia: sebelum dan sesudah revolusi.
Jakarta: Pustaka LP3ES.
Atwi Suparman. 1997. Desain Instruksional. Jakarta: Dikti
Depdikbud.
Azyumardi Azra. 2011. “Jati Diri Indonesia: Pancasila dan
Multikulturalisme” dalam Jusuf Sutanto (edt.). The Danc-
ing Leader, Hening-Mengalir-Bertindak. Jakarta: Kompas
Media Nusantara.
Bambang Purwanto. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris.
Yogyakarta: Ombak
Baron, Robert A., dan Byrne, Donn. 2004. Psikologi Sosial. Jakarta:
Erlangga.
Beauchamp, B.A. 1976. Curriculum Theory. Wil Mette, Illinois, Kegg,
Press.
Bimo Walgito. 2003. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Andi.
Bloom, Benyamin S. (ed). 1956. Taxonomy of Educational Objec-
tives: The Classification of Educational Goal, Handbook one
Cognitive Domain. New York. David Mc. Kay Co. Inc.
Boyi Anggara. 2007. ‘Pembelajaran Sejarah yang Berorientasi pada
Masalah- Masalah Sosial Kontemporer’. Makalah.

120
Daftar Pustaka

Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan


Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI). Universi-
tas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007
Cecep Darmawan. 2009. “Strengthening Nationalism, Reinforcing
the Dignity of Nation” dalam Historia: International Jour-
nal of History Education. Vol. X, No. 2 (december 2009).
Bandung: the Associatio of History Educators and Research-
ers.
Choirul Mahfud. 2011. Pendidikan Multi Kultural. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Collingwood, R.G. 1985. Idea Sejarah. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
Daliman. 2012. Manusia dan Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Diamond, Larry dan Plattner, Mark. 1998. Nasionalisme, Konflik
Etnis, dan Demokrasi. Bandung: Penerbit ITB.
Djoko Suryo. 2003. “Pendidikan Sebagai Upaya Membangun Sikap
Kebangsaan Melalui Nilai-nilai Pluralitas Budaya Bangsa”,
Historika Volum 1, No. 1, Juli 2003. Surakarta: Program
Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret.
Doni Koesoema. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak
di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.
Edi Sedyawati. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan
Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Edi Sudrajat. 1998. “Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan
Nasional: Satu Tinjauan dari Segi Strategi Hankam”, dalam
Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional.
Jogjakarta: UGM Press.
Elson, R.E. 2008. The Idea of Indonesia, Sejarah Pemikiran dan
Gagasan. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus. 2009. Pengembangan
Profesionalitas Guru. Jakarta: Gaung Persada Press.

121
Heri Susanto

Frederick, William H. dan Soeri Soeroto. 2005. Pemahaman Sejarah


Indonesia: sebelum dan sesudah revolusi. Jakarta: LP3ES
Gredler, Margaret E. 2011. Learning and Instruction: Teori dan
Aplikasi. Jakarta: Kencana Predana Media Group
Hamid Hasan. 2011. “Pendidikan Sejarah: Orientasi dan Strategi
Pedagogis”. Makalah pada.Konferensi Nasional Sejarah IX.
Jakarta: 5-7 Juli 2011.
Hamid Hasan. 2012. “Pendidikan Sejarah Untuk Memperkuat
Pendidikan Karakter”. dalam Jurnal Paramita Vol. 22 No.
1 – Januari 2012, Jurusan Sejarah Universitas Negeri
Semarang.
Hamid Hasan. 2012. Pendidikan Sejarah Indonesia, Isu dalam Ide
dan Pembelajaran. Bandung: Rizqi Press.
Harsojo. 1967. Pengantar Antropologi. Bandung: Binacipta.
Hergenhahn, B.R. dan Olson, Matthew H. 2008. Theories of Learn-
ing. Jakarta: Kencana
Hieronymus Purwanta. 2012. ‘Evaluasi Isi Buku Teks Pelajaran
Sejarah pada Masa Orde Baru’. Dalam Jurnal Cakrawala
Pendidikan, November 2012, Th. XXXI, No. 3. Hlm. 424-
440
Hieronymus Purwanta. 2012. ‘Wacana Identitas Nasional: Analisis
Isi Buku Teks Pelajaran Sejarah SMA 1975-2008’. Dalam
Jurnal Paramita Vol. 22 No. 1-Januari 2012. Hlm. 108-121.
Hill, C.P. 1956. Saran-saran Tentang Mengajarkan Sejarah. Jakarta:
Perpustakaan Kementerian P&K
Hobsbawm, E.J. 1990. Nations and Nationalism Since 1780:
Programme, Myth, Reality. Cambridge: Cambridge Uni-
versity Press.
I Gde Semadi Astra. 2010. “Pluralitas dan Heterogenitas dalam
Konteks Pembinaan Kesatuan Bangsa” dalam Endang Sri
Hardiati dan Rr. Triwurjani (edt.). Pentas Ilmu di Ranah
Budaya, sembilan windu Prof. Dr. Edi Sedyawati.
Denpasar: Pustaka Larasan.

122
Daftar Pustaka

I Gde Widja. 1989. Dasar - Dasar Pengembangan Strategi Serta


Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta: Debdikbud
__________ 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah.
Jakarta: Lapera Pustaka Utama
Ibrahim Bafadal. 2003. Peningkatan Profesional Guru SD. Jakarta:
Bumi Aksara.
Jacobsen, David A. Eggen, Paul dan Kauchak, Donald. 2009. Meth-
ods for Teaching, Metode-metode Pengajaran
Meningkatkan Belajar Siswa TK-SMA. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Joyce, Weil dan Calhoun. 2011. Models of Teaching, Model-model
Pengajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kahin, George Mc Turnan. 1995. Refleksi Pergumulan Lahirnya
Repiblik, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia.
Surakarta: UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan.
Kaplan, David dan Manners, Robert A. 2002. Teori Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kardi, S dan Nur, M. 2004. Pengajaran Langsung. Surabaya: PSMS
Unesa.
Kemp, J.E. dan D.K. Dayton. 1985. Planing and Production Instruc-
tional Media. New York: Harper & Row Publishers.
Ketut Sedana Arta. 2012. ‘Kurikulum dan Kontroversi Buku Teks
Sejarah’ dalam KTSP. Dalam Jurnal Media Komunika FIS
Vol. 11 No. 1 April 2012. Hlm. 153-168. Singaraja: Jurusan
Pendidikan Sejarah FIS UNDIKSHA.
Kochar, S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah. Jakarta: Grasindo
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Antropologi. Jakarta: UI Press.
Kohn, Hans. 1961. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Terj. Sumantri
M. Jakarta: Pembangunan.
Kuntowojoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara
Wacana.

123
Heri Susanto

Langeveld, M.J. 1980. Pedagogil Teoritis dan Sistematis. Alih Bahasa


Firmansyah. Bandung: Jemmars.
Lickona, Thomas. 2012. Mendidik untuk Membentuk Karakter:
Bagaimana Sekolah Dapat Memberikan Pendidikan
Tentang Sikap Hormat dan Bertanggungjawab.
Penerjemah, Juma Abdu Wamaungo; editor, Uyu
Wahyudin dan Suryani. Jakarta: Bumi Aksara.
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah
Terpadu bagian I: Batas-batas Pembaratan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Moh. Ali. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta:
LkiS
Mohammad Hatta. t.th. Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia.
Jakarta: Penerbit Djambatan.
Muhammad Faiq Dzaki. 2013. Karakteristik Peserta Didik dalam
Proses Pembelajaran. dalam https://www.google.com/
search?q=karakteristik+peserta+didik&ie=utf-8&oe=utf-
8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a
(diakses pada 12 April 2013).
Muhammad Nuh. 2010. “Pembangunan Pendidikan Nasional 2010-
2014”, disampaikan pada Rembug Nasional Pendidikan
2010. Bogor. dalam http://dikti.kemdiknas.go.id/
dmdocuments/Rembuknas2010/REMBUK-MENDIKNAS-
2010-V-2.pdf (diakses Senin 25 April 2011)
Muijs, Daniel. Dan Renolds, David. 2008. Efektif Teaching: Teori
dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mukhlas Samani. 2008. Menyiapan Guru Masa Depan: Apa Peran
FIP & LPTK?. Tidak diterbitkan.
Mulyasa, E. 2009. Menjadi Guru Profesional, Menciptakan
Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Newcomb, Theodore M. 1985. Psikologi Sosial. Bandung: CV.
Diponegoro.

124
Daftar Pustaka

Niels Mulder. 2000. Individu, Masyarakat dan Sejarah. Yogyakarta:


Penerbit Kanisius.
Oemar Hamalik. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi
Aksara.
Oliva, Peter F. 1982. Developing the Curriculum. Toronto: Little,
Brown and Company.
Osborne, Richard & Van Loon, Borin. 2005. Sosiologi. Scientific Press.
Patton, Michael Quinn. 2009. Metode Evaluasi Kualitatif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006 tentang
Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
Perdanayudha. 2010. Sikap Nasionalisme Bagi Manusia. dalam http:/
/perdanayudha.wordpress.com/2010/05/27/sikap-
nasionalisme-bagi-manusia/ (diakses Kamis 15 September
2011)
Renier, G.J. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ruslie Mar’ie. 2005. Antropologi Sosial. Banjarmasin: Pustaka FISIP
Unlam – Pustaka Banua.
Rusmono. 2012. Strategi Pembelajaran dengan Problem Based
Learning Itu Perlu, Untuk Meningkatkan Profesionalitas
Guru. Bogor: Ghalia Indonesia.
Said Hamid Hasan. 2010. “The Development of Historical Thinking
and Skills in the Teaching of History in the Senior Second-
ary School Curriculum in Indonesia” dalam Historia: In-
ternational Journal of History Education. Vol. XI, No. 2
(December 2010). Bandung: the Associatio of History Edu-
cators and Researchers.
Saifuddin Azwar. 2000. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya.
Yogyakarta: Liberti
Saiful Sagala. 2009. Konsep dan Makna Pembelajaran, Untuk
Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan
Mengajar. Bandung: Alfabeta

125
Heri Susanto

Santrock, John W. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana


Predana Media Group.
Sartono Kartodirdjo. 1959. The Philosophy of History in Our Time.
New York: Doubleday Anchor Books Doubleday & Com-
pany, Inc.
________________. 1988. Fungsi Pengajaran Sejarah dalam
Pembangunan Nasional.Artikel dalam Harian Kompas, 26
September 1988.
Schunk, Dale H. 2012. Learning Theories an Educational Perspec-
tive, Teori-teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siswo Dwi Martanto. 2009. Pembelajaran Sejarah: Masalah dan
Solusinya (http://martanto.bloggaul.com)
Siti Ruhaimi Dzuhayatin. 2007. “Gender dan Pluralisme di Indone-
sia” dalam Robert W. Hefner (edt.): Politik
Multikulturalisme. Yogyakarta: Impuls-Kanisius.
Soedjatmoko. 1992. “Antara Filsafat dan Kesadaran Sejarah”, dalam
Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah
Revolusi. Jakarta: LP3ES.
Soemitro. 1994. “Tantangan dan Peluang Wawasan Kebangsaan”,
dalam Pendidikan Wawasan Kebangsaan, Tantangan dan
Dinamika Perjuangan Kaum Cendekiawan Indonesia.
Jakarta: LPSP dan Gramedia Widiasarana Indonesia.
Soetjipto Wirosarjono. 1998. “Budaya Daerah dan Ketahanan
Nasional” dalam Regionalisme, Nasionalisme, dan
Ketahanan Nasional. Jogjakarta: UGM Press.
Suharsimi Arikunto. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Susanto Zuhdi. 2010. “Identitas Bangsa, Sejarah, dan Pendidikan
Sejarah di Indonesia”. dalam Endang Sri Hardiati dan Rr.
Triwulan (Peny.). Pentas Ilmu di Ranah Budaya, Sembilan
Windu Prof. Dr. Edi Sedyawati. Denpasar: Pustaka Larasan.

126
Daftar Pustaka

Taba, Hilda. 1962. Curriculum development: theory and practice.


New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Taufik Abdullah & Abdurrachman Surjomihardjo. 1985. “Arah Gejala
dan Perspektif Studi Sejarah Indonesia”, dalam Ilmu Sejarah
dan Historiografi, Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia.
Taufik Abdullah. 1996 “Disekitar Pengajaran Sejarah yang Reflektif
dan Inspiratif”. Sejarah. No. 6 Februari 1996. Jakarta:
Gramedia.
_____________. 2001. Nasionalisme dan Sejarah. Bandung:
Satya Historika
_____________. 1998. “Dinamika Regionalisme dalam Konteks
Negara Nasional”, dalam Regionalisme, Nasionalisme, dan
Ketahanan Nasional. Jogjakarta: UGM Press.
Tayler, Ralph W. 1950. Basic Principles of Curriculum and Instruc-
tion. Chicago: The University of Chicago Publishing.
Taylor, Shelley., Peplau, Letitia Anne., dan Sears, David O. 2009.
Psikologi Sosial. Jakarta: Kencana.
Tulus Warsito dan Wahyuni Kartikasari. 2007. Diplomasi
Kebudayaan: Konsep dan Relevansi bagi Negara
Berkembang; studi kasus Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Uyoh Sadulloh. 2010. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung:
Alfabeta
Wineburg, Sam. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan,
Mengajarkan Masa Lalu. Jakarta: Yayasan Obor
Winkel, W.S. 2004. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi
Wiriatmadja, R. 2002. “Menyegarkan Kembali Model Pendekatan
Inquiri di Kalangan Pengajar Sejarah”, dalam Pendidikan
Sejarah di Indonesia Perspektif Lokal, Nasional, dan Glo-
bal. Bandung: Historia Utama Press.
Yudi Latif. 2011. Negara Peripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

127
Heri Susanto

128

Anda mungkin juga menyukai