Seputar
Pembelajaran Sejarah
(Isu, Gagasan dan Strategi
Pembelajaran)
2014
i
Heri Susanto
Penerbit:
Aswaja Pressindo
Anggota IKAPI No. 071/DIY/2011
Jl. Plosokuning V No. 73 Minomartani,
Ngaglik, Sleman Yogyakarta
Telp.: (0274) 4462377
e-mail: aswajapressindo@gmail.com
aswajapressindo@yahoo.com
Website: www.aswajapressindo.co.id
ii
Untuk para pembelajar,
yang selalu mencari makna dari setiap
perjalanan.
iii
Heri Susanto
iv
KATA PENGANTAR
v
Heri Susanto
vi
DAFTAR ISI
BAGIAN PERTAMA;
TELAAH KONSEPTUAL ......................................................... 1
BAB I SEJARAH, BUDAYA DAN NASIONALISME ..... 2
A. Pendahuluan ..................................................................... 2
B. Pemahaman Sejarah dan Persepsi terhadap
Keberagaman Budaya Sebagai Variabel
Penanaman Nasionalisme ................................................ 6
BAB II MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
MELALUI PENDIDIKAN SEJARAH ................. 27
A. Pendahuluan ................................................................... 27
B. Nilai-nilai Karakter dalam Sejarah Bangsa .................... 28
C. Pendidikan Karakter dan Pendidikan Sejarah ................ 32
D. Pembelajaran Sejarah dalam Upaya Membangun
Karakter Bangsa ............................................................. 35
E. Kesimpulan ..................................................................... 38
vii
Heri Susanto
BAGIAN KEDUA;
APLIKASI DIDAKTIK SEJARAH ...................................... 55
BAB IV KONSEP DAN PRAKSIS PEMBELAJARAN
SEJARAH ................................................................. 56
A. Tujuan Pembelajaran Sejarah ........................................ 57
B. Karakteristik Pembelajaran Sejarah ............................... 59
C. Kompetensi Pembelajaran Sejarah .................................. 61
D. Praksis Pembelajaran Sejarah ......................................... 63
BAB V DESAIN, STRATEGI DAN EVALUASI
PEMBELAJARAN SEJARAH ............................... 85
A. Perencanaan/Penyusunan Perangkat Pembelajaran ..... 85
B. Strategi Pengajaran Sejarah ........................................... 94
C. Evaluasi Pembelajaran Sejarah ..................................... 113
viii
BAGIAN PERTAMA
TELAAH KONSEPTUAL
1
Heri Susanto
BAB I
SEJARAH, BUDAYA DAN
NASIONALISME
A. Pendahuluan
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan
mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan
mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok
manusia. Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur:
Pertama; kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa In-
donesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua,
kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala
bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia.
Nasionalisme tiap bangsa di dunia tercipta melalui proses yang
berbeda-beda, sehingga pada saat Nasionalisme tersebut menam-
pakaan wujudnya juga mempunyai bentuk dan ciri yang berbeda.
Nasionalisme Indonesia terbentuk dengan cara yang unik, berbeda
dengan Nasionalisme Eropa atau Nasionalisme bangsa lain di Asia
yang kebanyakan terbentuk dari adanya persamaan ras, suku, nenek
moyang, atau hal lain yang melahirkan nuansa monokultural.
Nasionalisme Indonesia justru terlahir di tengah keberagaman ras,
suku, nenek moyang dan nuansa multikultural, dijelaskan oleh Elson
(2008:101) bahwa sifat nasionalisme Indonesia yang bertahan lama,
yakni karena kemampuannya menggugah pengabdian kepada satu
bangsa sambil menampung toleransi multikultural berikut
kepentingan daerah dan suku.
Lombard (2008: 1) dalam tinjauannya menyebutkan; sungguh
tak ada satu pun tempat di dunia ini – kecuali mungkin Asia Tengah
– yang, seperti halnya Nusantara, menjadi tempat kehadiran hampir
2
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme
4
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme
5
Heri Susanto
6
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme
7
Heri Susanto
8
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme
9
Heri Susanto
10
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme
yang membuat buntu kita pikiran itu, yang melihat masa lalu dengan
kacamata masa sekarang (Wineburg, 2006: 18).
11
Heri Susanto
12
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme
13
Heri Susanto
14
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme
15
Heri Susanto
16
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme
17
Heri Susanto
3. Sikap Nasionalisme
a. Sikap
Istilah sikap yang dalam bahasa Inggris disebut attitude
pertamakali digunakan oleh Herbert Spencer, yang menggunakan
kata ini untuk menunjuk suatu status mental seseorang (Abu Ahmadi,
2007:148). Menurut Chava, Bagardus, La Pierre, Mead dan Gordon
Allport yang dikutip oleh Saifuddin Azwar, bahwa sikap merupakan
semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan
cara-cara tertentu (Saifuddin Azwar, 2000:5). Kesiapan dimaksud
merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi terhadap suatu
keadaan sesuai dengan stimulus yang menghendaki respon tersebut.
Respon hanya akan timbul apabila individu tersebut dihadapkan
pada stimulus yang menghendaki timbulnya reaksi individu. Hal ini
18
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme
19
Heri Susanto
6) Faktor Emosional
Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang
didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran
frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
Dalam pergaulan hidup sehari-hari sikap akan sangat
menentukan bagaimana penilaian seorang individu terhadap suatu
hal, sikap merupakan pembentuk tingkah laku dan pandangan secara
psikologis. Karena sikap-sikap dilihat sebagai menentukan dalam
keseluruhan organisasi individu, beberapa konsekwensi sikap-sikap
terhadap tingkah laku adalah tidak langsung, karena diperantarai
oleh proses-proses psikologis lainnya(Newcomb, 1985:76), sikap
seringkali depengaruhi juga oleh proses belajar, persepsi, dan kognisi
seseorang. Sehingga wajar kiranya apabila kemudian suatu objek
yang sama akan disikapi berbeda oleh seseorang atau sekelompok
orang.
Psikologi sosial memandang sikap sebagai sesuatu yang penting
bukan karena sikap itu sulit untuk diubah, akan tetapi juga karena
sikap sangat mempengaruhi pemikiran sosial walaupun tidak selalu
direfleksikan dalam tingkah laku(Baron dan Byrne, 2004). Biasanya
seseorang tidak dapat mengukur sikap secara langsung, maka yang
diukur adalah sikap yang nampak, dan sikap yang nampak adalah
juga perilaku(Bimo Walgito, 2003:108).
Pada lingkup yang lebih luas, yaitu lingkup kebangsaan sikap
merupakan indikator tindakan yang mengarah pada tingkat
kesadaran nasional dan nasionalisme kebangsaan. Hal ini erat
kaitannya dengan sikap sebagai bentuk respon terhadap pemaknaan
kondisi kebangsaan sesuai dengan kondisi nyata, dalam bingkai
keindonesiaan sikap kebangsaan akan sangat dipengaruhi oleh
pemahaman terhadap berbagai faktor, misalnya; nilai-nilai ideal dan
realitas yang dipahami, harapan kondisi riil yang diharapkan dan
kecenderungan dalam menanggapi keadaan-keadaan yang kontra
idealis.
b. Nasionalisme
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan
mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris
20
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme
21
Heri Susanto
22
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme
23
Heri Susanto
Indonesia sendiri dari sisi istilah baru ada pada abad ke- 19 lebih
tepatnya pada 1850 ketika seorang pelancong dan pengamat sosial
asal Inggris, George Samuel Winsor Earl menggunakan kata “Indu-
nesians” (Elson, 2008:2) dalam tulisannya. Ini pun bukan berarti
dengan sendirinya bangsa Indonesia terbentuk secara otomatis
setelah nama Indonesia muncul. Semangat nasionalisme Indone-
sia dimulai justru ketika munculnya golongan terpelajar yang
menyadari betapa pentingnya rasa identitas bersama sebagai
landasan untuk melawan praktik kolonialisme dan imperialisme
bangsa asing.
Lebih lanjut Yudi Latif (2011:358) memaparkan;
Bangsa Indonesia tidak seperti kebanyakan bangsa yang mengambil
namanya dari kelompok etnik terdahulu: England dari Angles,
Finland dari Finns, France dari Franks, Rusia dari Rus, Vietnam
dari Viet, Thailand dari Thai, Malaysia dari Melayu, dan lain
sebagainya. Ditinjau dari sudut ini, kesadaran kebangsaan Indonesia
jelas bukanlah suatu perpanjangan dari kesadaran etno-kultural.
24
Sejarah, Budaya dan Nasionalisme
25
Heri Susanto
26
BAB II
MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
MELALUI PENDIDIKAN SEJARAH
A. Pendahuluan
Karakter menjadi kata yang semakin akrab di telinga kita akhir-
akhir ini. Berbagai tafsiran dan gagasan kemudian muncul menyer-
tainya, di antara tema pemikiran yang banyak diperbincangkan
adalah adanya keprihatinan bahwa bangsa ini mengalami gejala
kehilangan karakternya. Banyaknya kasus kekerasan, tindakan
intoleransi, disintegrasi, merebaknya kasus korupsi dan menggeja-
lanya ketidak jujuran di kalangan pemimpin adalah tema-tema berita
yang acapkali menghiasi pemberitaan di hampir semua stasiun
televisi di negeri ini dan sering disebut-sebut sebagai indikasi
menipisnya karakter bangsa.
Kondisi tersebut telah memunculkan berbagai macam
penafsiran, dalam dunia pendidikan banyak ahli pendidikan di negeri
ini mengemukakan bahwa praksis pendidikan yang dijalankan
sekarang ini belum mampu menanamkan nilai-nilai karakter dalam
kegiatan pembelajaran di sekolah. Sementara itu di sisi lain masya-
rakat juga seakan lupa untuk mempertahankan nilai-nilai karakter
dalam kehidupan berbangsa, kejujuran tidak lagi menjadi standar
utama dalam hubungan antar individu di masyarakat. Bagi dunia
pendidikan, dalam hal ini pendidikan sejarah, PR utamanya adalah
bagaimana disiplin ilmu ini mampu memberi kontribusi dalam upaya
membangun karakter bangsa melalui nilai-nilai yang terkandung
dalam sejarah bangsa.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah memperlihatkan
bahwa kegigihan, kemandirian, saling menghormati, dan semangat
27
Heri Susanto
28
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Sejarah
29
Heri Susanto
30
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Sejarah
31
Heri Susanto
32
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Sejarah
33
Heri Susanto
34
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Sejarah
35
Heri Susanto
36
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Sejarah
37
Heri Susanto
E. Kesimpulan
Pendidikan sejarah dapat berfungsi sebagai media pendidikan
karakter bangsa. Untuk dapat menjalankan fungsinya tersebut,
pendidikan sejarah haruslah bersifat adaptif dan berorientasi pada
nilai-nilai karakter bangsa. Diperlukan serangkaian inovasi dalam
pembelajaran sejarah sebagai jantung pendidikan sejarah, inovasi
yang dilakukan haruslah bersifat menyeluruh dalam artian dimulai
dari perencanaan, dilanjutkan dengan proses pembelajaran dan
diakhiri dengan evaluasi pembelajaran. Selain itu, inovasi juga harus
terpadu, yaitu ketiga komponen tersebut saling berhubungan dan
dilaksanakan secara konsisten tidak hanya terlihat inovatif dalam
perencanaan misalnya RPP akan tetapi tidak dilakukan dalam
kegiatan pembelajaran.
Cara tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan potensi
pendidikan sejarah dalam upaya membentuk karakter bangsa.Narasi
sejarah yang sarat nilai diharapkan dapat menjadi sarana inter-
nalisasi karakter pada diri peserta didik melalui pembelajaran sejarah
yang dilakukan.Dengan demikian pendidikan sejarah tidak hanya
berperan sebagai subject matterakan tetapi lebih jauh dari itu
mampu memberi kontribusi dalam upaya perbaikan kehidupan
manusia dan menjaga eksistensi bangsa.
38
BAB III
PENANAMAN NASIONALISME
MELALUI PEMBELAJARAN SEJARAH
YANG ADAPTIF
A. Wacana
Penanaman nilai nasionalisme dalam pendidikan nasional erat
kaitannya dengan strategi paedagogis pembelajaran, dalam hal ini
pembelajaran sejarah dan arah kebijakan pendidikan nasional.
Kelemahan strategi peadagogis pembelajaran sejarah dalam
menanamkan nasionalisme berhubungan dengan pemahaman guru
sebagai pengajar dalam tugasnya untuk mentransfer ide nasiona-
lisme kepada peserta didiknya.
Sistem pembelajaran sejarah yang dikembangkan sebenarnya
tidak lepas dari pengaruh budaya yang telah mengakar. Model
pembelajaran yang bersifat satu arah dimana guru menjadi sumber
pengetahuan utama dalam kegiatan pembelajaran menjadi sangat
sulit untuk diubah. Pembelajaran sejarah saat ini mengakibatkan
peran siswa sebagai pelaku sejarah pada zamannya menjadi
terabaikan. Pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa
sebelumnya atau lingkungan sosialnya tidak dijadikan bahan
pelajaran di kelas, sehingga menempatkan siswa sebagai peserta
pembelajaran sejarah yang pasif (Siswo Dwi Martanto, 2009:10).
Dengan kata lain, kekurangcermatan pemilihan strategi mengajar
akan berakibat fatal bagi pencapaian tujuan pengajaran itu sendiri
(I Gde Widja, 1989:13).
Strategi pembelajaran yang kurang adaptif tersebut menyebab-
kan pembelajaran sejarah belum mampu menanamkan nasiona-
lisme kepada peserta didik, sementara berbagai tantangan dan
kendala dalam menanamkan nasionalisme semakin berkembang.
39
Heri Susanto
40
Penanaman Nasionalisme Melalui Pembelajaran Sejarah yang Adaptif
41
Heri Susanto
42
Penanaman Nasionalisme Melalui Pembelajaran Sejarah yang Adaptif
43
Heri Susanto
1. Manfaat Edukatif
Manfaat pembelajaran sejarah yang pertama adalah manfaat
edukatif atau pembelajaran tentang kahidupan. Belajar dari pengala-
man yang pernah terjadi, dalam konteks ini pengalaman tidak hanya
terbatas pada pengalaman yang dialami sendiri, melainkan juga dari
generasi sebelumnya. Dengan mempelajari pengalaman para tokoh
nasional generasi muda dapat mengembangkan potensinya.
Kesalahan-kesalahan pada masa lampau, baik kesalahan sendiri
maupun kesalahan orang lain harus dihindari. Sementara itu,
pengalaman yang baik justru harus ditiru dan dikembangkan.
Dengan demikian, manusia dalam menjalani kehidupannya tidak
berdasarkan coba-coba saja (trial and error), seperti yang dilakukan
oleh binatang. Manusia harus berusaha menghindari kesalahan yang
sama untuk kedua kalinya. Realita proses pembentukan bangsa yang
diwarnai dengan semangat patriotisme dan kecintaan mendalam
para pendiri bangsa terhadap eksistensi bangsanya, merupakan nilai
edukatif yang harus dipahami oleh generasi penerus bangsa.
2. Manfaat Inspiratif
Manfaat pembelajaran sejarah yang kedua adalah manfaat
inspiratif. Berbagai kisah sejarah dapat memberikan inspirasi pada
pembaca dan pendengarnya. Misalnya, belajar dari kebangkitan
nasional yang dipelopori oleh bedirinya organisasi perjuangan yang
modern di awal abad ke-20, kita dapat memahami bahwa persatuan
dan ditunjang dengan pendidikan yang baik akan mampu membawa
suatu bangsa menjadi bangsa yang lebih dipandang, dihargai, lepas
dari belenggu tirani bangsa lain. Semangat ini bila dikembangkan
akan menjadi sebuah permulaan, agar bangsa Indonesia dapat
bersaing dengan bangsa lain, menumbuhkan semangat kemandirian
yang tinggi dalam bidang ekonomi, memupuk kesadaran politik
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menginterpre-
tasikan secara positif keberagaman yang ada untuk mengembangkan
kerukunan sosial dalam kehidupan berbangsa dan pada akhirnya
44
Penanaman Nasionalisme Melalui Pembelajaran Sejarah yang Adaptif
3. Manfaat Rekreatif
Manfaat pembelajaran sejarah yang ketiga adalah manfaat
rekreatif. Narasi dalam cerita sejarah dapat menjadi cerita yang segar,
melalui penulisan kisah sejarah yang menarik pembaca dapat
terhibur. Gaya penulisan yang hidup dan komunikatif dari beberapa
sejarawan terasa mampu “menghipnotis” pembaca. Konsekuensi
rasa ketertarikan penulisan kisah sejarah tersebut membuat pembaca
menjadi senang, membaca cerita sejarahpun menjadi media hiburan
dan rekreasi. Hal ini menunjukkan bahwa penyampaian yang ringan
dalam narasi sejarah akan membuat penanaman nilai termasuk nilai
nasionalisme juga akan lebih mudah.
Selain manfaat-manfaat tersebut pembelajaran sejarah juga
mempunyai peran khusus, salah satunya ialah, membantu mengem-
bangkan pada anak-anak cinta tanah airnya, dan pengertian tetang
adat istiadat dan cara-cara hidupnya, bagaimana tanah airnya telah
menjadi bersatu atau bagaimana ia telah membebaskan dirinya dari
kekuasaan-kekuasaan asing, bagaimana sistem pemerintahannya
terjadi, apakah kebiasaan dan adat istiadatnya yang istimewa,
perubahan-perubahan apakah yang terjadi dalam kehidupan
ekonomis, dan sosialnya, dan seterusnya (Hill, 1956:10-11). Dengan
demikian pengajaran sejarah bukanlah hal sepele dan bisa dilakukan
oleh siapa saja, apalagi oleh guru yang tidak memiliki kompetensi
profesional sebagai guru sejarah. Bila ditilik lebih jauh, pada
hakekatnya pembelajaran sejarah sangat berkaitan langsung dengan
penanaman sikap nasionalisme, dan sikap nasionalisme warga
negara akan sangat mempengaruhi bagaimana eksistensi sebuah
bangsa di masa yang akan datang, dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pembelajaran sejarah mempunyai korelasi signifikan terhadap
eksistensi suatu bangsa.
Eksistensi bangsa termasuk bangsa Indonesia mutlak harus
dipertahankan dalam kehidupan masyarakat dunia. Pembangunan
karakter bangsa (nation character building) menjadi alternatif dalam
mewujudkan generasi bangsa yang memahami jati diri bangsanya
secara komprehensif. Salah satu upaya pembangunan karakter
45
Heri Susanto
46
Penanaman Nasionalisme Melalui Pembelajaran Sejarah yang Adaptif
47
Heri Susanto
48
Penanaman Nasionalisme Melalui Pembelajaran Sejarah yang Adaptif
49
Heri Susanto
50
Penanaman Nasionalisme Melalui Pembelajaran Sejarah yang Adaptif
51
Heri Susanto
52
Penanaman Nasionalisme Melalui Pembelajaran Sejarah yang Adaptif
D. Simpulan
Ada tiga konsep penting dalam pemaparan di atas yang saling
berhubungan, pertama pengajaran sejarah sebagai jiwa pendidikan
sejarah sudah selayaknya mendapat perhatian yang lebih besar,
karena dengannya akan tercipta generasi-genersai yang memiliki
pemahaman sejarah yang baik, adaptable dan aplikatif dalam
kehidupan nyata. Kedua, pemahaman sejarah yang benar sebagai
dampak pengiring (nurturan effect) dari pengajaran sejarah yang
baik akan menumbuhkan kesadaran untuk menghargai dan
melestarikan semangat kebangsaan. Ketiga, pemahaman sejarah
yang baik akan diperoleh peserta didik apabila pembelajaran sejarah
disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa,
sesuai dengan keadaan lingkungan belajar baik lingkungan fisik
maupun non fisik.
Penanaman nilai nasionalisme dalam pembelajaran sejarah
dapat dilakukan dengan memahami kondisi psikologis peserta didik
pada tiap tahap perkembangannya. Strategi paedagogis yang dipilih
untuk menanamkan nilai nasionalisme tersebut haruslah sesuai
dengan kemampuan psikologis siswa untuk menerimanya. Dengan
demikian pemahaman guru sejarah terhadap psikologi peserta didik
akan sangat menentukan apakah pembelajaran sejarah dapat
berfungsi sebagai cara menanamkan nasionalisme atau hanya
merupakan pelengkap kurikulum persekolahan.
53
Heri Susanto
54
BAGIAN KEDUA
APLIKASI DIDAKTIK
SEJARAH
55
Heri Susanto
BAB IV
KONSEP DAN PRAKSIS
PEMBELAJARAN SEJARAH
56
pembelajaran sejarah, akan tetapi yang juga tidak kalah penting
adalah bagaimana mengupas fakta-fakta tersebut dan mengambil
intisari nilai yang terdapat di dalamnya sehingga si pembelajar
akan menjadi lebih mawas diri sebagai akibat dari pemahaman
nilai tersebut.
3. Strategi pembelajaran yang digunakan hendaklah tidak mema-
tikan kreatifitas dan memaksa peserta didik hanya untuk
menghafal fakta dalam buku teks. Sejarah sudah saatnya diajar-
kan dengan cara yang berbeda, kebekuan pembelajaran yang
terjadi seringkali dikarenakan rendahnya kreatifitas dalam
pembelajaran sejarah. Sebagai akibatnya kejenuhan seringkali
menjadi faktor utama yang dihadapi guru dalam mengajarkan
sejarah dan siswa dalam belajar sejarah.
Dari ketiga hal tersebut dapat dipahami bahwa tantangan guru
dalam mengajarkan sejarah menjadi tidak mudah. Pengajar harus
memahami betul apa tujuan, karakteristik dan sasaran pembelajaran
sejarah. Pengajar juga harus memahami visi dan misi pendidikan
sehingga sejarah yang diajarkan dapat memberi pencerahan dan
landasan berfikir dalam bersikap bagi peserta didik pada zamannya.
57
Heri Susanto
58
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah
59
Heri Susanto
60
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah
61
Heri Susanto
62
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah
63
Heri Susanto
64
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah
2. Guru Sejarah
Setelah masalah kurikulum, kompetensi guru menjadi hal
pokok kedua yang berhubungan langsung dengan praksis
pembelajaran sejarah di sekolah. Seperti diketahui kompetensi guru
mencakup; kompetensi pedagogik, kompetensi profesional,
kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian. Terkait bidang studi,
kompetensi profesional merupakan kompetensi yang berhubungan
langsung dengan latar belakang pendidikan guru. Guru sejarah
profesional sudah barang tentu dituntut untuk memiliki modal
keilmuan bidang studi yang memadai yang diperoleh melalui proses
pendidikan dan disahkan dengan adanya pengakuan legal berupa
ijazah. Pada praktiknya masih banyak guru yang mengajar sejarah
dengan latar belakang bukan pendidikan sejarah. Bila sudut pandang
profesional ini dipakai maka sudah barang tentu guru tersebut tidak
profesional.
Guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang
dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran.
Kompetensi di sini meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan
profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial, maupun akademis.
Kompetensi profesional merupakan salah satu kemampuan dasar
yang harus dimiliki seseorang guru. Dalam Peraturan Pemerintah
No. 19 tahun 2005, pada pasal 28 ayat 3 yang dimaksud dengan
kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya
membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang
ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Sedangkan menurut
Mukhlas Samani (2008) yang dimaksud dengan kompetensi
profesional ialah kemampuan menguasai pengetahuan bidang ilmu,
teknologi dan atau seni yang diampunya meliputi penguasaan;
1) Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi
program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok
mata pelajaran yang diampunya.
2) Konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, dan/atau
seni yang relevan yang secara konseptual menaungi atau koheren
dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau
kelompok mata pelajaran yang akan diampunya.
66
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah
67
Heri Susanto
68
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah
69
Heri Susanto
70
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah
71
Heri Susanto
72
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah
74
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah
4. Desain Instruksional
Pembelajaran sejarah di sekolah seringkali terdengar sangat
membosankan. Mengatasi masalah ini, guru sejarah dituntut untuk
lebih kreatif dalam pembelajaran sejarah. Kreatifitas guru dalam
pembelajaran dapat terlihat dari desain pembelajaran yang dibuat.
Pembelajaran melibatkan pemprosesan informasi, dalam
75
Heri Susanto
76
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah
77
Heri Susanto
78
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah
79
Heri Susanto
80
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah
81
Heri Susanto
82
Konsep dan Praksis Pembelajaran Sejarah
83
Heri Susanto
84
BAB V
DESAIN, STRATEGI DAN EVALUASI
PEMBELAJARAN SEJARAH
85
Heri Susanto
86
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah
a. Model Kemp
Menurut Clarence Schaver (dalam Suparman, 1997) bahwa
pengembangan perangkat pembelajaran merupakan perencanaan
secara akal sehat untuk mengidentifikasi masalah belajar dan
mengusahakan pemecahan masalah tersebut dengan menggunakan
suatu rencana terhadap pelaksanaan, evaluasi, ujicoba, umpan balik
dan hasilnya. Sedangkan Hamreus (1971) dalam Suparman, (1997)
menyebutnya secara singkat sebagai proses yang sistematik untuk
meningkatkan kualitas kegiatan instruksional (pembelajaran). Dari
kedua pengertian tersebut menitikberatkan pengertian pengem-
bangan instruksional pada tujuan dan memecahkan masalah belajar,
meningkatkan kualitas kegiatan pembelajaran atau meningkatkan
kondisi-kondisi belajar. Perangkat pembelajaran menurut Kemp
adalah:
87
Heri Susanto
88
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah
89
Heri Susanto
b. Model Four-D
Model pengembangan perangkat ini seperti yang disarankan oleh
Thiagarajan, Semmel dan Semmel. Model ini terdiri dari 4 tahap
pengembangan yaitu Define, Design, Develop, and Disseminate atau
diadaptasikan dalam bahasa Indonesia menjadi Model 4-P, yaitu
pendefinisian, perancangan, pengembangan, dan penyebaran (Ibrahim,
2003).
1) Tahap Pendefinisian (define), ada 5 langkah pokok di dalam tahap
ini, yaitu:
90
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah
91
Heri Susanto
93
Heri Susanto
94
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah
95
Heri Susanto
96
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah
97
Heri Susanto
98
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah
99
Heri Susanto
100
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah
Kata petunjuk:
I. Malaka III.Banten V. Banjar VII. Ternate & Tidore
II. Pasai IV. Demak VI. Makassar
Kata petunjuk:
I. Pasai III. Demak V. Makassar
II. Banten IV. Banjar VI. Ternate & Tidore
101
Heri Susanto
103
Heri Susanto
105
Heri Susanto
106
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah
107
Heri Susanto
108
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah
109
Heri Susanto
110
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah
111
Heri Susanto
112
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah
113
Heri Susanto
a. Aspek kognitif
Evaluasi kognitif lebih sering dilakukan dengan metode tes,
bentuk tes sangat beragam, antara lain; pilihan ganda, isian, essay,
benar-salah, menjodohkan dan sebagainya. Pengukuran kognitif
dapat disusun sesuai level kognitif yang diinginkan. Contoh
instrumen tes dalam bentuk essay pada tiap level:
1) Ingatan (C1)
Siswa hanya dituntut untuk mengingat kembali pelajaran yang
telah lalu
Contoh soal
Jelaskan proses perumusan teks proklamasi !
114
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah
Atau
Sebutkan tokoh-tokoh yang terlibat dalam penyusunan teks
proklamasi
2) Pemahaman (C2)
Siswa diminta untuk membuktikan bahwa ia memahami
hubungan yang sederhana di antara fakta-fakta atau konsep
Contoh soal
Bila ditinjau dari kepentingan imperium, pihak manakah yang
diuntungkan dari perjanjian Helgoland 1890 ?
3) Penerapan/Aplikasi (C3)
Siswa dituntut untuk menyeleksi atau memilih suatu abstraksi
(konsep, hukum, dalil, teori, gagasan, ide dsb.) untuk diterapkan
dalam suatu situasi secara benar
Contoh soal
Salah satu akibat dari revolusi industri bagi Inggris adalah sur-
plus industrialisasi dan munculnya kapitalisme, dimana kaum
kapitalis menguasai keuangan negara. Dari keadaan tersebut
konsep imperialisme manakah yang berlaku di Inggris pada masa
tersebut?
4) Analisis (C4)
Siswa diminta untuk menganalisis suatu hubungan atau situasi
yang kompleks atas konsep-konsep dasar
Contoh soal
Pada awal pembukaannya wilayah New South Wales dimaksud-
kan untuk pembuangan narapidana, akan tetapi pada
pertengahan abad ke-18 kebijakan politik Inggris mulai ditujukan
untuk pengembangan kekuasaan Inggris di wilayah Asia. Apa
latar belakang perubahan kebijakan tersebut?
5) Sistesis (C5)
Siswa diminta untuk menggabungkan atau menyusun kembali
hal-hal yang spesifik agar dapat mengembangkan suatu struktur
baru (membuat generalisasi)
115
Heri Susanto
Contoh soal
Pada masa pergerakan nasional perjuangan banyak dilakukan
oleh berbagai organisasi baik sosial, politik, dan agama yang
dipimpin oleh kaum terpelajar. Jelaskan ciri umum perjuangan
pada masa pergerakan nasional?
6) Evaluasi (C6)
Siswa diminta untuk menilai suatu kasus yang menyangkut
benar/salah, tepat/tidak tepat
Contoh soal
Budi Utomo adalah organisasi pergerakan pertama yang menda-
sarkan aktivitas pada bidang pendidikan dan budaya untuk or-
ang-orang Jawa secara eksklusif. Dari kenyataan tersebut sudah
tepatkah apabila lahirnya Budi Utomo dijadikan tonggak
pergerakan Nasional?
b. Aspek Afektif
Evaluasi aspek afektif dilakukan untuk mengetahui kesadaran,
sikap, pandangan, pendapat, dan kecenderungan perilaku.
Pengukuran dan penilaian aspek afektif tidak dapat dilakukan dengan
menggunakan soal seperti halnya penilaian aspek kognitif. Perlu
dipahami bahwa dalam penilaian aspek afektif tidak ada benar atau
salah. Setiap respon yang diberikan adalah benar, pengukuran dan
penilaian yang dilakukan lebih ditekankan untuk mengetahui apakah
respon yang diinginkan dari proses pembelajaran sudah tercapai
sesuai dengan indikator yang ada. Misalnya, jika tujuan pembelajaran
sejarah adalah siswa menunjukkan sikap nasionalisme terhadap
bangsa dan negara maka evaluasi afektif harus dilakukan.
Seperti halnya evaluasi kognitif, pada evaluasi aspek afektif juga
harus memperhatikan level afektif, yaitu:
1. Penerimaan
Pada level ini siswa diminta untuk menunjukkan adanya kesa-
daran, kemauan dan perhatian, atau mengakui adanya perbedaan
dan kepentingan.
116
Desain, Strategi dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah
2. Partisipasi
Pada level ini siswa diminta untuk mematuhi sesuatu, misalnya
peraturan, tuntutan dan perintah. Peran serta menjadi aspek
penting untuk diketahui dalam level ini. Tercapainya aspek ini
berarti siswa telah melewati dan menunjukkan penguasaan level
sebelumnya, yaitu penerimaan.
3. Penilaian/penentuan
Lebih tinggi dari level sebelumnya siswa diminta untuk
menentukan sikap yang menunjukkan apakah mereka menerima
suatu nilai, menyukai, menyepakati atau menghargai suatu
keadaan atau nilai.
4. Organisasi
Pada level ini kemampuan tingkat tinggi deperlukan. Siswa
diminta menunjukkan bahwa dia mampu membentuk sistem
nilai, menangkap relasi antar nilai, bertanggungjawab atau
mengintegralisir nilai.
5. Pembentukan pola
Pada level ini siswa diminta menunjukkan adanya kepercayaan
diri, disiplin pribadi, kesadaran diri dan pelibatan diri.
Instrumen yang dapat digunakan dalam evaluasi ranah ini
misalnya skala sikap dan lembar observasi.
c. Aspek Psikomotor
Aspek psikomotor merupakan aspek yang seringkali dinilai sukar
untuk dilakukan evaluasi pada disiplin sosial termasuk pendidikan
sejarah. Kendati begitu terdapat beberapa level pada aspek ini yang
dapat di evaluasi dalam pembelajaran sejarah.
1. Persepsi
Pada level ini siswa diminta untuk menafsirkan rangsangan, peka
terhadap rangsangan atau melakukan deskriminasi terhadap
rangsangan.
2. Kesiapan
Pada level ini siswa diminta menunjukkan bahwa dia mampu
berkonsentrasi dan menyiapkan diri untuk mengikuti proses
pembelajaran.
117
Heri Susanto
3. Kreativitas
Level ini merupakan level ke-7 dalam ranah psikomotor. Pada
level ini siswa dituntut untuk berani berinisiatif dalam proses
belajar mengajar.
118
DAFTAR PUSTAKA
119
Heri Susanto
120
Daftar Pustaka
121
Heri Susanto
122
Daftar Pustaka
123
Heri Susanto
124
Daftar Pustaka
125
Heri Susanto
126
Daftar Pustaka
127
Heri Susanto
128