Anda di halaman 1dari 3

Ka’bah sebelum Islam

Ka’bah ialah bangunan pertama di atas bumi dan tempat ibadah manusia
pertama yang terletak di Makkah.1 Ia pernah dijadikan tempat penyembahan
berhala. Kepercayaan kaum yang menyembah berhala ini disebut Paganisme.
Paganisme bermula dari kepercayaan kaum Saba, yang memiliki pengaruh
besar di Tanah Arab yang menyembah bintang sebagai bentuk mengagungkan
ciptaan Allah. Karena kurangnya pemahaman tauhid, maka bintang-bintang itu
disamakan dengan tuhan. Kemudian beberapa batu gunung dibayangkan
sebagai benda yang jatuh dari langit dan berasal dari bintang. Batu-batu itu
dianggap manifestasi dari tuhan dan disucikan, kemudian batu-batu itu
disembah. Penyembahan batu ini dianggap baik, sehingga tidak cukup bagi
orang Arab hanya menyembah hajar aswad.

Ada 360 patung berhala yang disembah dan diletakkan di sekitar


Ka’bah. Sebagian ada yang terbuat dari kayu, emas, perak, tembaga atau batu.
Amr bin Luhay menjadi orang pertama yang meletakkan patung Hubal yang
dibawa dari Syam. ia juga membuat dua patung lainnya, yaitu Nailah dan Asaf
yang diagungkan orang-orang yang tawaf.2

Ada beberapa patung berhala yang terkenal, diantaranya Hubal, Lata,


Uza dan Manat. Hubal adalah sesembahan yang paling besar dan dimuliakan
oleh kaum Quraisy. Bentuknya seperti manusia 3 yang tangan kanannya patah,
tetapi diperbaiki dengan bahan emas. Patung Lata terbuat dari batu putih
persegi. Patung Uza dibuat dari kayu pohon Samurah. Keduanya diletakkan di
rumah-rumah. Sedangkan Manat ialah patung yang bentuknya menyerupai
sosok perempuan.

1
Irfan L. Sarhindi, The Lost Story of Ka’bah Fakta-Fakta Mencengangkan Seputar
Baitullah, (Jakarta : QultumMedia, 2013), hlm. 8.
2
FE Peters, The Hajj The Muslim Pilgrimage to Mecca and the Holy Places, (UK :
Princeton University Press, 2021), hlm. 25.
3
Ibid.
Penyembahan berhala dilakukan dengan mengeluh, menangis, dan
memohon kepada berhala agar hajat mereka dikabulkan. Jika menggunakannya
sebagai tempat untuk melakukan haji, maka kaum musyrik akan tawaf
(mengelilingi berhala), menghambakan diri mereka, dan sujud di depan berhala
itu. Berhala dianggap sebagai bagian dari ibadah, mereka menyediakan
makanan dan minuman, menyisihkan hasil pertanian, dan berkurban untuk
patung-patung tersebut. 4
Beberapa persembahan yang diberikan kepada berhala antara lain,
Baḥīrah, air susu unta betina dan siapapun dilarang untuk meminum air
susunya. Saibah, unta yang dilepaskan dan tidak dibebani apapun, tidak boleh
dinaiki, dan tidak boleh digunakan apapun, unta itu memang khusus diberikan
atau dipersembahkan untuk berhala, Waṣīlah ialah unta yang dua kali
melahirkan anak betina. Unta ini juga dilepaskan begitu saja untuk berhala).
Ḥām adalah unta jantan yang digunakan dalam batas waktu tertentu, setelah
masa kerjanya habis, unta itu dilepaskan untuk berhala. Juga al-ḥāmī, yaitu
kuda yang melahirkan 10 anak betina berturut-turut, maka ia dilepaskan begitu
saja, tidak boleh dinaiki, atau diperas susunya.
Masa penyembahan berhala masih berlanjut seiring berkembangnya
kota Mekkah. Pada masa kekuasaan Jurhum oleh Mudhadh bin ‘Amr
memperingati penduduknya yang terlena dengan kemewahan dan berfoya-foya,
sehingga mereka lupa bahwa daerah yang mereka tinggali merupakan tanah
tandus. Usaha Muhdhadh tidak berhasil. Sumur Zamzam mengering, dan digali
kembali.5
Setelah suku Jurhum dikalahkan oleh suku Khuza’ah, dan keturunan
penguasa terakhirnya dinikahi Qushay bin Kilab dari bani Quraisy, maka
kekuasaan berpindah tangan ke Qushay pada 5 M. Ia membangun darunadwah
tempat untuk bermusyawarah serta mencetuskan beberapa jabatan penting.

4
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir Jilid 12 Aqidah, Syariah, Manhaj, (Depok : Gema
Insani, 2016), hlm. 116.
5
Syahruddin El-Fikri, SITUS-SITUS DALAM AL-QUR’AN Dari Banjir Nabi Nuh hingga
Bukit Thursina, (Jakarta : Penerbit Republika, 2010), hlm. 90.
Diantaranya, hijaba atau penjaga pintu ka’bah dan memegang kuncinya. Siqaya
yang menyediakan air tawar bagi para peziarah, Rifada yang memberikan
makanan. Nadwa pimpinan rapat tahunan. Qiyadah pimpinan pasukan perang.6

6
Mahmood Ibrahim, ”Social and Economic Conditions in Pre-Islamic Mecca”,
International Journal of Middle East Studies, Vol. 14, No. 3, (Aug., 1982), hlm. 344.

Anda mungkin juga menyukai