Anda di halaman 1dari 10

13

PENGENDALIAN HAMA KUMBANG TANDUK (ORYCTES


RHINOCEROS LINN.) MENGGUNAKAN PERANGKAP
FEROMON PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (ELAEIS
GUINEENSIS JACQ.) DI LAHAN GAMBUT PROVINSI RIAU
CONTROL OF HORN BEETLE (ORYCTES RHINOCEROS LINN.) USING FEROMON
TRAPS FOR OIL PALM (ELAEIS GUINEENSIS JACQ.) ON PEATLAND IN RIAU
Hery Widyanto, Suhendri Saputra, Suryati
Balai Pengkajian Teknologi (BPTP) Riau. Jl. Kaharuddin Nasution Km. 10 No. 341,
Pekanbaru 10210

Abstrak. Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae) atau kumbang


tanduk merupakan salah satu hama penting pada tanaman kelapa sawit.
Hama ini dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun
pertama menghasilkan hingga 69%, bahkan menyebabkan tanaman muda
mati mencapai 25%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari
model dan tinggi serta lamanya waktu aplikasi pemasangan perangkap
feromon yang efektif. Uuntuk mengendalikan kumbang tanduk. Penelitian
dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei Kijang,
Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan April 2014 sampai Juli 2014.
Penelitian meliputi 4 perlakuan dengan 3 ulangan, perlakuan yang diuji
yaitu: (a) perangkap dengan 4 sisi penahan dan tidak dicat, (b) perangkap
dengan 4 sisi penahan dan dicat kuning, (c) perangkap dengan 2 sisi
penahan dan tidak dicat, dan (d) perangkap dengan 2 sisi penahan dan dicat
kuning. Perlakuan tinggi pemasangan perangkap dilakukan pada ketinggian
4,5 m; 3 m; dan 1,5 meter dari permukaan tanah dengan 4 ulangan. Hasil
penelitian menunjukkan jumlah kumbang yang terbanyak terperangkap
didapatkan pada perlakuan A yaitu sebesar 4,3 ekor/bln, kemudian pada B,
D dan C sebesar 3,5 ekor/bln; 3,5 ekor/bln; dan 3,2 ekor/bln. Model
perangkap A dan B lebih baik dalam memerangkap kumbang tanduk
dibandingkan dengan perangkap C dan D (rata-rata 3,9 ekor/bln berbanding
3,35 ekor/bln) dikarenakan memiliki empat sisi penahan yang dapat
menahan datangnya kumbang tanduk dari segala arah. Perangkap dengan
tinggi 4,5 meter memerangkap kumbang tanduk terbanyak rata-rata 1,5
ekor/bln, diikuti dengan tinggi 1,5 meter dan 3 meter masing-masing 1 dan
0,5 ekor/bln. Hal ini dikarenakan pada ketinggian tersebut faktor
lingkungan seperti kecepatan angin dan suhu udara sesuai untuk
mempercepat penyebaran dan penguapan feromon yang dapat merangsang
kumbang tanduk untuk datang. Kemampuan perangkap feromon pada bulan
ketiga (Juni 2014) menurun secara signifikan yaitu 1 ekor/bln jika
dibandingkan pada bulan pertama dan kedua (April dan Mei 2014) yang
sebanyak 3,75 dan 3,5 ekor/bln. Penurunan ini disebabkan senyawa kimia
dari feromon yang mulai berkurang karena adanya penguapan dan
berangsur-angsur habis. Hasil ini menunjukkan model perangkap feromon
yang memiliki 4 sisi penahan dan dipasang pada ketinggian 4,5 meter

195
Hery Widyanto et al.

paling efektif untuk memerangkap hama kumbang tanduk dan lamanya


waktu yang efektif untuk pemasangan perangkap feromon adalah 3 bulan.

Kata kunci: Kumbang tanduk, feromon, kelapa sawit.

Abstract. Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae) or horn beetle is


one of the important oil palm pest. These pest can reduce 69% of fresh
fruit bunches (FFB) yield in the first year, even causing 25% death of
young plants. The purpose of this research are to study the model, height
position, and length of time of pheromone trapping application by which
effective in controlling horn beetle prevalence. The experiment was
conducted in the village of Lubuk Ogong, Sub District Bandar Sei Kijang,
District of Pelalawan, Riau from April 2014 to July 2014. Research trap
models includes 4 treatments with 3 replications, treatments were tested,
namely: (a) trap with 4 sides retaining and not painted, (b) trap with 4
sides retaining and yellow painting, (c) a trap with 2 side retaining and not
in paint, and (d) trap with 2 side retaining and painted with yellow. High
treatment trapping conducted at a high of 4.5 m; 3 m; and 1.5 meters from
the ground with 4 replications. The results showed that the highest number
of beetles found in A treatment was 4.3 beetles/month, then the B, D and C
at 3.5 beetles/month ; 3.5 beetles/month and 3.2 beetles/month. Models A
and B traps were better than the models C and D in trapping the horn
beetle (average value of 3.9 beetles/month versus 3.35 beetles/month) due
to having four side barriers that can withstand the arrival of beetle horns
from all directions. Traps with 4.5 meter high horn beetle trapeds the
highest average of 1.5 beetles/month, followed by 3 meters high and 1.5
respectively 1 and 0.5 beetles/month. This was because with that high,
environmental factors such as wind speed and air temperature were
deployment well and evaporation pheromone could stimulate the horn
beetle to come. The ability of pheromone traps in the third month (June
2014) significantly decreased by 1 beetle/month compared to the first and
second months (April and May 2014) that was about 3.75 and 3.5
beetle/month. The decrease was due to pheromone chemical compounds
which began to decrease because of evaporation and depleted gradually.
These results indicated that pheromone trap models which have 4 sides
retaining and mounted at a height of 4.5 meters was the most effective for
trapping beetle horns and the effective length of time for pheromone
trapping was 3 months.

Keywords: Horn beetle, pheromone, palm oil.

PENDAHULUAN

Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat pesat dalam


kurun waktu 20 tahun terakhir dari lahan seluas 1.126.677 ha pada tahun 1990 menjadi
4.158.077 ha pada tahun 2000, kemudian meningkat menjadi 7.824.623 ha pada tahun

196
Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros Linn.)

2010 (Ditjenbun, 2010). Dari total luas lahan kelapa sawit di atas, provinsi Riau memiliki
luas lahan kelapa sawit terbesar di Indonesia, yaitu sekitar 2.103.175 ha dengan produksi
CPO sebesar 6,2 juta ton (Disbun Prov Riau, 2011 dalam Syahza, 2012). Total produksi
CPO tersebut di atas, menjadikan kelapa sawit merupakan komoditas non migas yang
memiliki nilai ekspor tertinggi di Provinsi Riau, yaitu sekitar 66,6 % dari nilai total ekspor
non migas Riau periode Januari – September 2012 (BPS Provinsi Riau, 2012).

Tantangan dari peningkatan luas perkebunan kelapa sawit selain keterbatasan lahan
yang tersedia juga adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), khususnya
hama. Meningkatnya pemakaian lahan secara besar-besaran untuk penanaman kelapa
sawit di Indonesia menambah jumlah lahan monokultur yang menguntungkan bagi
perkembangan hama. Hal tersebut terjadi karena pakan terus menerus tersedia sehingga
menunjang keberlangsungan hidup hama (Siahaan, 2014). Kelapa sawit dapat diserang
oleh berbagai hama dan penyakit tanaman sejak di pembibitan hingga di kebun
pertanaman. Salah satu hama utama pada kelapa sawit adalah hama kumbang tanduk
(Oryctes rhinoceros).

Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae) atau kumbang tanduk merupakan


salah satu hama penting pada kelapa sawit dan dikenal sebagai hama pengerek pucuk
kelapa sawit. Daud (2007) menyatakan bahwa serangan hama ini dapat menyebabkan
kematian tanaman apabila menyerang titik tumbuh kelapa sawit. Hama kumbang tanduk
ini menyerang tanaman kelapa sawit yang ditanam di lapangan sampai umur 2,5 tahun
dengan merusak titik tumbuh sehingga terjadi kerusakan pada daun muda (Darmadi, 2008
dalam Herman, 2012). Kumbang tanduk pada umumnya menyerang tanaman kelapa sawit
muda dan menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun pertama
menghasilkan hingga 69%, bahkan menyebabkan 25% tanaman muda mati (PPKS,
2008).

Pengendalian kumbang tanduk dengan menggunakan perangkap feromon sebagai


insektisida alami, ramah lingkungan, dan lebih murah dibandingkan dengan pengendalian
secara konvensional. Feromon merupakan bahan yang mengantarkan serangga pada
pasangan seksualnya, sekaligus mangsa, tanaman inang, dan tempat berkembang biaknya.
Komponen utama feromon sintetis ini adalah etil-4 metil oktanoat. Penggunaan feromon
cukup murah karena biayanya hanya 20% dari biaya penggunaan insektisida (PPKS,
2008). Penggunaan perangkap feromon di perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu
alternatif yang sangat baik untuk mengendalikan kumbang tanduk.

Tujuan penelitian adalah mempelajari model bentuk dan tinggi pemasangan


perangkap feromon yang efektif serta lamanya waktu aplikasi perangkap feromon di
perkebunan kelapa sawit yang efektif dalam memerangkap kumbang tanduk.

197
Hery Widyanto et al.

BAHAN DAN METODE

Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei. Kijang,


Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan April 2014 sampai Juli 2014. Penelitian dilakukan
pada lahan petani menggunakan lahan petani yang ditanami kelapa sawit.

Perlakuan Model Perangkap

Perlakuan model perangkap yang diuji meliputi: (a) model perangkap yang
memiliki 4 sisi penahan dan tidak dicat, (b) model perangkap yang memiliki 4 sisi
penahan dan dicat kuning, (c) model perangkap yang memiliki 2 sisi penahan dan tidak di
cat, dan (d) model perangkap yang memiliki 2 sisi penahan dan dicat kuning (Gambar 1).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 1. Model perangkap kumbang tanduk yang diuji pada tanaman kelapa sawit.

Penelitian dilakukan sebanyak 3 (tiga) ulangan, dimana setiap ulangan diuji


cobakan pada lahan seluas masing-masing 3 ha yang telah ditanami kelapa sawit. Tata
letak perlakuan dalam setiap ulangan dapat dilihat pada Gambar 2. Pemasangan

198
Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros Linn.)

perangkap dilakukan dengan cara digantungkan pada tiang yang lebih tinggi dari tajuk
tanaman kelapa sawit (Gambar 3).

Perlakuan Tinggi Perangkap

Perlakuan tinggi perangkap dilakukan sebanyak 3 (tiga) perlakuan dengan 4


ulangan. Perlakuan tinggi perangkap yang diuji yaitu: pemasangan perangkap feromon
dengan tinggi 4,5; 3; dan 1,5 meter dari permukaan tanah. Pengamatan dilakukan setiap
satu minggu sekali dengan cara menghitung jumlah kumbang yang terperangkap. Seluruh
kumbang yang terperangkap kemudian dimusnahkan agar tidak kembali menyerang
tanaman kelapa sawit di sekitarnya.

Gambar 2. Layout pemasangan perlakuan perangkap pada setiap ulangan.

199
Hery Widyanto et al.

Gambar 3. Pemasangan perangkap feromon pada ketinggian 4,5 meter.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perlakuan Model Perangkap

Hasil pengamatan kumbang tanduk yang terperangkap dapat dilihat pada Gambar
4. Dari pengamatan selama 2 bulan (April s.d. Mei 2014) menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata diantara keempat perlakuan yang diuji, jumlah kumbang terperangkap yang
terbanyak didapatkan pada perlakuan model perangkap A yaitu sebesar 4,3 ekor/bln,
kemudian secara berturut-turut jumlah kumbang yang terperangkap pada perangkap
model B, D dan C sebesar 3,5; 3,5 dan 3,2 ekor/bln.

Gambar 4. Jumlah kumbang yang terperangkap pada setiap perlakuan.

200
Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros Linn.)

Model perangkap A dan B yang memiliki empat sisi penahan (lempengan seng)
lebih baik dalam memerangkap hama kumbang tanduk dibandingkan dengan perangkap C
dan D yang memiliki dua sisi penahan (dengan nilai rata-rata 3,9 berbanding 3,35), hal
ini dikarenakan model perangkap yang memiliki empat sisi penahan dapat menahan
datangnya kumbang tanduk dari segala arah yang menuju ke dalam perangkap sehingga
kumbang yang datang akan membentur lempengan seng dan masuk ke dalam ember
penampung, sedangkan perangkap yang hanya memiliki dua sisi penghalang hanya dapat
menahan kumbang yang datang dari dua arah yaitu depan dan belakang sisi penghalang.
Pemberian warna pada perangkap tidak berpengaruh pada banyaknya kumbang yang
terperangkap, hal ini dapat dilihat pada perangkap yang memiliki bentuk yang sama (A
dengan B dan C dengan D), pada perangkap A yang tidak di beri warna jumlah kumbang
yang terperangkap lebih besar daripada perangkap B yang diberi warna kuning (4,3
berbanding 3,5) sedangkan pada bentuk perangkap yang kedua menunjukkan hasil yang
sebaliknya dimana perangkap C yang tidak di beri warna, jumlah kumbang yang
terperangkap lebih sedikit dari perangkap D yang diberi warna (3,2 berbanding 3,5). Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Santi, et al., (2008) yang menyatakan bahwa
warna perangkap tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil tangkapan dan sex ratio O.
rhinoceros. Selain itu, sifat dari kumbang yang aktif pada saat senja sampai malam hari
menyebabkan tidak ada pengaruhnya pemberian warna terhadap jumlah kumbang yang
terperangkap, dimana pada saat itu pantulan dari cahaya matahari sudah tidak efektif
dalam memancing kumbang tanduk untuk mendekat. Siahaan (2014) mengatakan
kumbang O. rhinoceros terbang dari tempat persembunyiannya menjelang senja sampai
agak malam (sampai dengan pkl. 21.00 WIB), dan jarang dijumpai pada waktu larut
malam.

Perlakuan Tinggi Perangkap

Perlakuan tinggi perangkap dilakukan pada bulan Juni 2014. Hasil pengamatan
menunjukkan pada perangkap dengan tinggi 4,5 meter dapat memerangkap kumbang
tanduk terbanyak rata-rata 1,5 ekor/bln, kemudian diikuti berturut-turut pemasangan
perangkap dengan tinggi 1,5 dan 3 meter masing-masing 1 dan 0,5 ekor kumbang tanduk
per bulan Gambar 5.

201
Hery Widyanto et al.

Gambar 5. Jumlah kumbang yang terperangkap pada setiap perlakuan tinggi perangkap.

Pemasangan perangkap pada ketinggian 4,5 meter lebih baik dibandingkan pada
ketinggian 1,5 dan 3 meter dikarenakan pada ketinggian tersebut didukung oleh faktor
lingkungan yang lebih sesuai seperti angin dan suhu udara. Kecepatan angin yang sesuai
dan temperatur yang tinggi lebih mempercepat penguapan feromon untuk menyebar
sehingga lebih cepat untuk merangsang kumbang tanduk untuk mencari asal sumber
feromon tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Herman (2012) yang
menyatakan hasil pengamatan pada tinggi perangkap 4 meter dapat memerangkap O.
rhinoceros terbanyak dibandingkan dengan tinggi perangkap 2 dan 3 meter, faktor
lingkungan pada tinggi perangkap 4 sebaran bau feromon lebih cepat diterima oleh O.
rhinoceros karena dibantu oleh angin dan temperatur yang tinggi dapat mempercepat
terjadinya penguapan feromon serta cepat tersebar, sehingga merangsang O. rhinoceros
untuk mencari asal sumber bau tersebut.

Efektifitas feromon dalam mengendalikan hama kumbang tanduk berdasarkan


lamanya waktu pemasangan perangkap dapat dilihat pada Gambar 6. di bawah ini.

202
Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros Linn.)

Gambar 6. Jumlah kumbang yang terperangkap pada setiap bulan pengamatan.

Jumlah kumbang yang dapat terperangkap oleh feromon semakin lama semakin
berkurang. Pada bulan April yang merupakan bulan pertama pemasangan perangkap
feromon dapat memerangkap dengan jumlah tertinggi yaitu 3,75 ekor/bln kemudian
diikuti pengamatan pada bulan Mei, Juni, dan Juli masing-masing sebesar 3,5; 1; dan
0,083 ekor/bln. Penurunan jumlah kumbang yang terperangkap dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu dikarenakan populasi kumbang tanduk itu sendiri di areal
perkebunan yang sudah berkurang, sering terjadinya hujan pada malam hari yang
mengurangi aktivitas kumbang yang memang aktif pada malam hari dan senyawa kimia
dari feromon yang mulai berkurang karena adanya penguapan. Penurunan jumlah
kumbang yang terperangkap secara signifikan terjadi pada bulan Juni yang merupakan
bulan ketiga pengamatan yang mengindikasikan efektifitas aplikasi feromon di lapangan
mulai berkurang memasuki pada bulan ke tiga aplikasi, hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Rahutomo (2008) bahwa senyawa kimia Etil-4 metil oktanoat
(feromon agregasi) mampu bertahan selama 3 bulan di lapangan, jika disimpan terlalu
lama akan habis menguap.

KESIMPULAN

Pemasangan perangkap feromon dengan model perangkap A yang memiliki empat


sisi penghalang dan tidak diberi warna kuning memiliki kemampuan memerangkap hama
kumbang tanduk tertinggi. Pemasangan perangkap feromon pada ketinggian 4,5 meter
lebih baik dalam memerangkap kumbang tanduk (O. rhinoceros) di areal kebun kelapa

203
Hery Widyanto et al.

sawit. Efektifitas aplikasi perangkap feromon di lapangan dalam memerangkap kumbang


tanduk (O. rhinoceros) mulai berkurang memasuki bulan ke tiga setelah aplikasi
dikarenakan senyawa kimia dari feromon yang semakin berkurang karena adanya
penguapan.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Provinsi Riau. 2012. Berita Resmi Statistik : Berita Resmi Statistik Provinsi Riau
No. 58/12/14/Th. XIII. diakses 3 Desember 2012 .
Daud, I.T. 2007. Sebaran Serangan Hama Kumbang Kelapa Oryctes rhinoceros
(Coleoptera: Scarabaeidae) di Kecamatan Mattirobulu Kabupaten Pinrang.
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda
Sul-Sel: 306-318.
Ditjenbun. 2010. http: // ditjenbun.deptan.go.id. diakses 3 Desember 2012
Herman, J.H. Laoh, dan D. Salbiah. 2012. Uji Tingkat Ketinggian Perangkap Feromon
untuk Mengendalikan Kumbang Tanduk Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera:
Scarabaeidae) pada Tanaman Kelapa Sawit. Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Riau.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2008. Teknologi Pengendalian Hama dan Penyakit pada
Kelapa Sawit: Siap Pakai dan Ramah Lingkungan. Diunduh dari
http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr271058.pdf. diakses 14 Juli 2014.
Rahutomo, S. 2008. Feromonas Ampuh Basmi Hama Kumbang Sawit. Indonesia,
mapiptek. E-megazin, edisi 17 April 2008. Jakarta. Diakses 6 Agustus 2014.
Santi, I. S. dan B. Sumaryo. 2008. Pengaruh Warna Perangkap Feromon Terhadap Hasil
Tangkapan Imago Oryctes rhinoceros Di Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia. Vol.14 No. 2:76-79.
Siahaan, I.R.T.U dan Syahnen. 2014. Mengapa O. rhinoceros menjadi Hama pada
Tanaman Kelapa Sawit. ditjenbun.pertanian.go.id/.../berita-294-. diakses 6
Agustus 2014.
Syahza, A. 2012. Potensi Pengembangan Industri Kelapa sawit: Hasil penelitian MP3EI
tahun 2012 di Wilayah Riau. Pusat Pengkajian Koperasi dan Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Universitas Riau.

204

Anda mungkin juga menyukai