Anda di halaman 1dari 2

AKUPUN TAK MAU BEGINI

Oleh Karunia Putri

Aku seorang gadis kecil yang tidak mempunyai kekuasaan untuk membentuk fisikku sendiri.
Semau ku. Ya, setiap orang memang tidak. Tapi ini sungguh menyiksa.

Mereka meneriaki ku pendek dan gemuk. Aku diam karena memang begitu rupanya. Namun
makin lama ternyata itu menyakitkan juga, ya?

Aku bukan stunting, teman, aku mendapat gizi yang –menurutku- cukup diberikan oleh kedua
orang tuaku. “Ini faktor genetik.” itulah yang ayah terangkan padaku.

Orang-orang menjengkalkan keluarga kami karena kami hanyalah keluarga kecil. Tepat sekali,
kecil dalam nominal anggota, luas rumah, begitupun ekonomi. Tapi aku mensyukuri semua ini. Diberi
ayah yang hebat di segala hal dan ibu yang tegar, membuatku bangga terhadap bagaimana dan dimana
Tuhan menitipkanku.

Suatu hari ibu menyuruhku membeli garam di warung seberang rumah. Dengan patuh aku
mengambil uang pecahan seribu dua lembar itu dan menyebrangi jalan yang memisahkan rumahku dan
warung itu. Namun, belum sempat kaki ku mencapai tepi jalanan, tubuhku melayang dan terjatuh keras
di panasnya aspal. Aku terdiam beberapa saat, mencoba mencerna apa yang terjadi tadi. Yang kulihat
ibu pemilik warung terdiam memandangku yang kini malah berbaring di aspal. Lucunya keadaanku saat
itu dan lucunya mereka yang hanya diam menonton. Setelah itu aku merasa ada yang mengangkatku
dan seketika suara gaduhpun mulai menyahut histeris, khas ibu-ibu sekali. Singkatnya, pak udin tetangga
samping rumahku yang keluarganya sangat baik pada kami membawaku kerumah sakit dan
mengamankan pelaku. Dokter bilang kaki ku patah dan butuh perawatan yang lama, jadi aku cuti
sekolah cukup lama.

Kuberitahu kalian apa yang lucu dari kisahku tadi. Pertama, begitukah reaksi tetangga
masyarakat Indonesia yang selalu bangga setiap membaca pancasila. Khususnya sila kedua. Jujur saja ini
tidak seperti yang di ajarkan guru PPKN ku. Aku yang ditipu oleh guru atau guru yang tertipu makna
pancasila? aku bingung. Kedua, saat pihak pelaku datang untuk menjengukku, dia membawa seorang
tentara berseragam lengkap. Entah apa maksud tujuannya, yang jelas kasus ini tidak ada hubungannya
denganmu, Pak. Mereka pikir dengan membawa tentara berseragam akan menemukan ujung yang
tepat dengan persentase kemenangan dominan pada pihak pelaku? Indonesia sekali cara mereka. Tapi
Tuhan selalu sayang padaku. Dai menunjukkan sifat Ar-rahimNya. Tetangga ku yang seorang polisi
datang untuk coba membantuku menyelesaikan masalah ini. Tapi dia tidak beradu seragam dengan
bapak hijau itu. Dia hanya menggunakan celana pendek dan baju kaos. Untuk kasus ini aku baru
mengerti kata “rendah hati” yang di bicarakan guru agamaku.
Saat ini umurku sudah menginjak usia 16 tahun. Umurku bertambah setiap harinya, tapi tidak
dengan tinggi badanku. Begitupula sekolahku. Disaat teman sebayaku duduk di bangku SMA, aku masih
berada di kelas VII SMP. Kucoba kuat melewati semua ini, tapi dengarlah apa yang mereka lontarkan.

“hei gendut, mau kemana?”

“jangan main sama si pendek, dia itu jahat.”

“kau jangan main dengan kami, kau itu bodoh.”

“kau dari mana sih? Bau kali, sana menjauh.”

Jujur saja, aku sudah tidak tahan dengan apa yang mereka katakan. Kakak tetanggaku menyebut
mereka tukang bully. Hari ini aku berteriak. Menggunakan segala hak yang aku punya. Hak untuk
disayangi, hak untuk berbicara, hak untuk didengar.

Wahai teman-temanku. Aku pendek dan gendut bukan kuasaku, Tuhan yang memberinya dan
bantulah aku untuk mensyukuri ini. Aku akui, IQ –ku memang dibawah rata-rata, aku tidak naik kelas
karena kecelakaan yang menimpaku, tapi sungguh, ini semua bukan kehendakku.

Air mataku menetes.

Ini sungguh perih.

Aku tanya pada kalian semua, adakah diantara kalian yang ingin menjadi sepertiku? Si pendek
gendut dan bodoh ini? ADA TIDAK!?

Kepada kalian yang –katanya- seorang yang berintelektual, beginikah cara kalian
mengimplementasikan butir-butir pancasila? cara kalian menghargai hak orang lain. Suaraku tak pernah
di dengar oleh siapapun, hak-hakku seolah di tepikan. Bukankah kita sesama makhluk tuhan?

Aku hanya ingin mempunyai teman. Benar-benar seorang teman yang dapat membantuku
melewati ini semua, yang dapat menjadi tempatku bersandar, dan yang mengajariku arti sabar dan
ikhlas yang sempurna.

Karena sesungguhnya akupun tak mau begini.

Anda mungkin juga menyukai