Anda di halaman 1dari 6

Ciri-Ciri Kebijakan Publik

Menurut Suharno (2010: 22-24), ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan publik
bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan. Ciri-ciri kebijakan publik antara
lain:

1) Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai
perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan. Kebijakan-kebijakan publik dalam
system politik modern merupakan suatu tindakan yang direncanakan.

2) Kebijakan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola
yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan
bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri. Kebijakan tidak cukup mencakup
keputusan untuk membuat undang-undang dalam bidang tertentu, melainkan diikuti pula
dengan keputusan-keputusan yang bersangkut paut dengan implementasi dan pemaksaan
pemberlakuan.

3) Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam
bidang tertentu.

4) Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, munkin pula negatif, kemungkinan meliputi
keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan
tindakan apapun dalam masalahmasalah dimana justru campur tangan pemerintah
diperlukan

Model Kebijakan Publik

Ada beberapa model studi kebijakan menurut James Anderson, James P.Lester dan Joseph
Stewart, masing-masing model memiliki keunggulan dan kelemahan. Model-model tersebut
adalah :

a. Model Pluralis

Model ini berangkat dari dalil bahwa interaksi antara kelompok-kelompok merupakan titik
pusat kenyataan politik. Kelompok dipandang sebagai jembatan antara individu dan
pemerintah. Politik adalah arena perjuangan kelompok untuk memenangkan kebijakan
public.

Model pluralis memiliki keunggulan bahwa kebijakan yang diambil didasarkan pada
kepentingan kelompok dan tidak atas dasar kepentingan pribadi.
Kelemahan pada model ini adalah apabila kelompok tersebut tidak memikirkan
kepentingan kelompok lain, sehingga kebijakan yang diambil hanya akan menguntungkan
kelompok tertentu.

b. Model Elitis

Dalam hal ini kebijakan publik dapat di pandang sebagai preferensi dan nilai dari elite
penguasa.Teori elite menyatakan bahwa masyarakat bersifat apatis dan kekurangan
informasi mengenai kebijakan publik. Karena itu kelompok elite yang akan mempertajam
pendapat umum. Pejabat administrator hanyalah pelaksana kebijakan yang telah
ditentukan oleh kelompok elite tersebut.

Model elitis memiliki keunggulan bahwa proses pengambilan kebijakan tidak menyita
banyak waktu bisa dikatakan bahwa model elitis memiliki efektifitas waktu, mengingat
dalam pengambilan kebijakan hanya ditentukan oleh kelompok elit dan tidak terlalu
benyak melibatkan pribadi atau kelompok lain.

Kelemahan model elitis adalah apabila kelompok elit yang mengambil kebijakan hanya
didasarkan pada kepentingan pribadi tanpa memperhatikan kepentingan public, itu artinya
kebijakan yang diambil menurut kelompok elite merupakan kebijakan terbaik akan tetapi
bagi publik justru malah menimbulkan permasalahn yang lebih besar

c. Model Sistem

Model ini menganggap bahwa kebijakan sebagai keluaran dari suatu sistem (policy as
system output). Menurut model ini kebijaksanaan publik merupakan respons suatu sistem
politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (sosial, politik, ekonomi, kebudayaan,
geografis dan sebagainya) yang ada disekitarnya.

Model ini mencoba menggambarkan bahwa kebijakan publik sebagai suatu keluaran
(output) dari sistem politik. Model sistem dilihat dari proses pengambilan kebijakan, lebih
baik dibandingkan dua model terdahulu, mengingat dalam model sistem ini pengambilan
kebijakan merupakan respon dari berbagai kekuatan yang ada dalam sistem politik, yang
mana dasar-dasar pengambilan kebijakaan tentunya akan lebih luas dengan pertimbangan
dari berbagai aspek dan kekuatan yang ada.
d. Model Rasional

Model ini menyatakan bahwa kebijakan merupakan suatu pencapaian sasaran secara
efisien. Satu kebijakan rasional merupakan satu rancangan untuk memaksimalkan
pencapaian nilai. Model ini menekankan pada pembuatan keputusan yang rasional dengan
bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat keputusan.

e. Model Inskrementalis

Memandang kebijakan publik sebagai kelanjutan aktivitas pemerintah yang lalu dengan
modifikasi-modifikasi yang sepotong demi sepotong (bersifat inkremental). Penyaji model
: Charles E. Lobdblom sebagai kritik pembuatan keputusan tradisional – rasional.
Menurutnya pembuat keputusan tidak pernah melakukan evaluasi tahunan, menunjukkan
ketidakpastian pembuatan kebijakan dengan pendekatan rasional komprehensif sebagai
ganti menyajikan pembahasan program pembuatan keputusan secara lebih konsesuatif
sifatnya menonjol dalam pandangan menguasai program, kebijakan, pengeluaran yang ada

f. Model Institusional

Menurut Islami (1997) model ini biasanya menggambarkan tentang struktur organisasi,
tugas-tugas dan fungsi-fungsi pejabat organisasi, serta mekanisme organisasi, tetapi
sayangnya kurang membuat analisa tentang hubungan antara lembaga-lembagan
pemerintahan itu dengan kebijaksanaan negara. Padahal telah diakui bahwa kaitan dan
pengaruh seperti itu pasti ada.Kalau dilihat secara seksama, lembaga-lembaga
pemerintahan itu adalah sebenarnya merupakan pola-pola perilaku individu dan kelompok
yang terstruktur yang dapat berpengaruh terhadap isi kebijaksanaan negara.

Bentuk Kebijakan Publik

Kebijakan publik mempunyai bentuk yang dapat dijadikan sebagai pegangan dan
ketentuan bagi seluruh stakeholder dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Bentuk kebijakan adalah pedoman dan panduan untuk dilaksanakan
sebagaimana mestinya, jika tidak, maka akan ada sanksi yang mengikutinya. Bentuk
kebijakan dapat dijalankan sebagai hukum yang mengikat kepada seluruh warga
negaranya.
Riant Nugroho (2011:77-82) membagi bentuk kebijakan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :

1. Undang-undang

Undang-undang adalah bentuk akhir dari kebijakan publik yang dijadikan sebagai
pedoman dan hukum bagi seluruh lapisan masyaarkat. Ketentuan dalam undang-undang
mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalamnya terdapat
sanksi bagi yang melanggar dari ketentuan yang sudah tertulis dalam peraturan
perundang-undangan. Sebagai bentuk dari kebijakan publik, undang-undang harus
dijalankan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pembuatan undang-undang
melibatkan seluruh stakeholder yang berkaitan untuk dapat dijalankan sesuai dengan
tujuan yang diharapkan.

2. Paternalistik

Paternalistik adalah berperilaku seperti ayah yang dikaitkan dengan sikap


pemimpin kepada pegawainya. Pemimpin berperilaku seperti bapak dan pegawai
berperilaku seperti anak. Itu adalah bentuk kebijkaan yang melekat dan terjadi di semua
level kebijakan. Pemimpin sebagaimana seorang ayah memperlakukan pegawai seperti
anak-anaknya. Pemimpin melakukan apa pun yang diinginkan untuk kepentingan
individu maupun kelompoknya. Pegawai atau bawahannya berperilaku seperti anaknya
yang tidak dapat menolak segala perintah dari atasannya.

3. Perilaku pemimpin.

Perilaku atau sikap pemimpin menjadi kebijakan publik. Dalam ranah yang agak
vulgar pun hal itu dapat terjadai, bahwa kebijakan publik adalah sikap dari pemimpin
itu sendiri. Korupsi menjadi salah satu contoh yang masih marak terjadi dalam kaidah
bentuk kebijakan yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan, salah satunya
adalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pemimpin mengantarkannya
pada kasus korupsi.
Kawasan Tanpa Rokok

Kawasan tanpa rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang
untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan dan/atau
mempromosikan produk tembakau (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Setiap orang yang
berada di KTR dilarang melakukan kegiatan menggunakan atau mengkonsumsi rokok,
memproduksi atau membuat rokok, menjual rokok, menyelenggarakan iklan rokok atau
mempromosikan rokok.

Penetapan KTR merupakan upaya perlindungan untuk masyarakat terhadap risiko


ancaman gangguan kesehatan karena lingkungan tercamar asap rokok. Penetapan KTR ini
perlu diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar,
tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan
tempat lain yang ditetapkan, untuk melindungi masyarakat yang ada dari asap rokok
(Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Beberapa peraturan telah ditetapkan sebagai landasan hukum dalam pengembangan


KTR, yaitu sebagai berikut:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal
113 sampai 116, khusus pasal 115 yang terdiri dua ayat yang jelas sekali mengatakan
bahwa beberapa tempat yang menjadi tempat KTR adalah fasilitas pelayanan
kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah,
angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum serta tempat lain yang ditetapkan.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
pasal 29 pada poin (t) tentang kewajiban rumah sakut dalam memberlakukan seluruh
lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok.
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
d. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi
Kesehatan.
e. Peraturan Pemerintah (PP) nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara.
f. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan RI dan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun
2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.
g. Instruksi Menteri Kesehatan RI Nomor 161 Tahun 1990 tentang Lingkungan Kerja
Bebas Asap Rokok.

REFERENSI
Abdal. 2015. Kebijakan Publik (Memahami Konsep Kebijakan Publik) . Pusat Penelitian dan
Penerbitann Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UIN Sunan Gunung
Djati Bandung

Hayat. 2018. Buku Kebijakan Publik. Universitas Islam Malang

Bab II Tinjauan Pustaka. Diakses pada 8 Oktober 2021 dari


http://repositori.unsil.ac.id/770/3/3.%20BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai