Anda di halaman 1dari 2

Selagi kehidupan di panggung dunia ini masih berlangsung, persoalan pemimpin dan

kepemimpinan tidak akan pernah selesai untuk diperbincangkan. Hal itu adalah sebuah
keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan. Namun, yang menarik untuk didiskusikan dan
masih menjadi persoalan besar hari ini adalah mengapa sangat besar kecenderungan
orang untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin?. Persoalan ini bisa dijawab dengan
pendekatan yang kompleks tergantung dari dimensi mana kita melihatnya, apakah
dimensi politik, ekonomi, sosial atau agama.

Ironis memang ketika orientasi menjadi pemimpin hanya karena kepentingan


materialistis, pragmatis dan elitis. Bingkai kepentingan (interest) tertentu menjadi modal
dasar mencalonkan diri sebagai pemimpin. Apalah jadinya daerah yang dipimpin
seandainya orang yang terpilih hanya berhasrat untuk memuaskan nafsu kelompoknya
saja. Terkadang kita sangat ingin terjadi seleksi alam terlebih dahulu sebelum rakyat
memilih pemimpinnya. Maksudnya, Allah Swt. mempansiunkan dini calon-calon
pemimpin yang tidak memiliki niat ikhlash dalam membangun masyarakat menjadi adil,
makmur dan sejahtera.

Waktu terus bergulir ternyata orang-orang semakin bernafsu mengejar kursi kekuasaan.
Terkadang, tidak perduli dengan cara yang bagaimanapun. Kasihan sekali, hanya
karena mengejar jabatan yang sementara sampai hati mengorbankan harga diri, gelap
mata dan buta hati. Seyogyanya, mereka yang mencalonkan diri sebagai pemimpin
benar-benar capable, kompeten dan amanah. Kalau menyadari bahwa dirinya belum
layak menjadi pemimpin, jangan berani-berani mencalonkan diri. Susahnya, semua
calon mengaku sudah sangat layak menjadi pemimpin.

Solusinya adalah masyarakat yang harus cerdas dalam menentukan siapa


pemimpinnya. Artinya, memilih pemimpin didasarkan suara hati yang terdalam bukan
karena kepentingan tertentu yang temporer. Salah satu jalan untuk melihat karakter
pemimpin ideal adalah memiliki kepribadian ulul albab. Jadi, pemimpin yang layak
dipilih adalah pemimpin yang berkarakter ulul albab.

Pemimpin Berkarakter Ulul Albab

Kata “albab” adalah bentuk jama’ (plural) dari kata “lubbun” yang secara bahasa
(etimologi) artinya ‘aql (intellect/reason) atau intelektualitas yang bersumber dari hati
yang terdalam. (Lisanul Arab,I:729). Sedangkan secara istilah (terminology), dalam
Jami’ al-Bayan, Ibnu Jarir at-Thabari: “ashab al-‘uqul al-kabirah”, orang-orang yang
memiliki pemikiran yang besar (great minds). Dalam tafsir al-kabir, Ar-Razi: “dzu
al-‘uqul al-kamilah”, orang yang memiliki akal yang sempurna (complete intellects).
Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir al-qur’an al-karim: “al’uqul at-tammah az-zakiyah”,
akal yang sempurna dan suci (pure and consummate intellects). Dalam ruhul ma’ani,
Mahmud al-alusi al-Baghdadi: “al-‘uqul al-khalishah”, akal yang murni (unadulterated
intellects). Sedangkan menurut Asy-Syaukani dalam fath al-qadir: “al’uqul as-sahihah
al-khalishah”, akal yang benar dan murni (right and unadulterated/uncontaminated).
Hamka dalam tafsir al-Azhar: “orang-orang yang mempunyai inti pikiran/pikiran yang
dalam”. Jelas bahwa ulul albab adalah orang-orang yang berpikir dan bertindak dengan
didasarkan kepada kesucian dan kemurnian suara hatinya yang terdalam. Artinya,
orang yang ulul albab adalah mereka yang tidak pernah mendustai kata hatinya yang
terdalam. Pemimpin yang berkarakter ulul albab berarti orang yang memimpin dan
menjalankan roda kepemimpinannya didasarkan kepada kemurnian, ketulusan,
kesucian hatinya yang terdalam.

Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian
malam menjadi siang adalah tanda bagi orang yang ulul albab. (yaitu) mereka yang
ingat Allah baik di saat berdiri dan duduk dan berbaring dan mereka memikirkan dalam
penciptaan langit dan bumi, Tuhan kami: “tiada yang sia-sia terhadap apa yang telah
engkau ciptakan”, Mahasuci Engkau, maka jauhkanlah kami dari api neraka. (QS. Al-
Imran (3): 90-91)

Seorang pemimpin yang memiliki kepribadian ulul albab, memiliki indikasi melalui
penjelasan dalam ayat tersebut, yaitu: pertama, memiliki kecerdasan intelektual,
mempunyai kematangan emosional dan spiritual. Kedua, jujur dengan suara hatinya
yang terdalam. Ketiga, selalu ingat kepada Allah Swt. di saat bagaimanapun. Keempat,
mengambil pelajaran di balik apa yang ditetapkan Allah terhadap semua ciptaan-Nya.
Kelima, mensucikan Allah dan mengagungkan namanya. Keenam, membawa
kemaslahatan duniawiah dan ukhrawiyah.

Pemimpin yang berani melawan kata hatinya sudah pasti akan menjadi pengkhianat
terhadap amanah yang dibebankan kepadanya. Tapi sebaliknya, pemimpin yang
berpijak dari kesucian hatinya yang terdalam (lubbun) akan menjalankan amanah
kepemimpinan dengan sebaik-baiknya.

Contoh nyata pemimpin yang ulul albab sepanjang kehidupan di dunia ini adalah nabi
Muhammad Saw. Untuk itu, tugas kita adalah menauladaninya dengan membumikan
karakter ulul albab dalam diri dan aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Akhirnya,
pemimpin yang layak dipilih adalah mereka yang memiliki karakter ulul albab dan mau
menjadikan Rasulullah Muhammad Saw. sebagai tauladan untuk membangun umat
Islam. Wallahu a’lamu. ( Sugeng Wanto, MA. : Penulis adalah Dosen Fakultas
Ushuluddin IAIN Sumatera Utara dan Ketua Umum Pusat Ikatan Da’i dan Qari’ Muda
Cendikiawan IDAMAN Centre).

Anda mungkin juga menyukai