Anda di halaman 1dari 14

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI MEDIA FILM DALAM

PEMBELAJARAN

Pendahuluan:

Pendidikan karakter merupakan isu penting dalam dunia pendidikan yang dewasa ini
yang mana banyak mendapat perhatian berbagai kalangan. Pendidikan karakter merupakan
usaha menjadikan diri manusia agar berperilaku baik atau berkeutamaan. Oleh karena itu,
pendidikan karakter diharapkan dapat membangun kinerja budaya dan religius dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang di dalamnya bernaung insan-insan yang
berakhlak mulia, mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual
(Sadirman, 2010). Generasi muda mengalami krisis moralitas dan karakter yang luar biasa
seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Pendidikan karakter menopang
kehidupan berbangsa dan bernegara karena kemajuan bangsa tidak tergantung pada kualitas
kognitif ansich, melainkan juga sangat ditentukan oleh kualitas afektif masyarakat. Dengan
kata lain, bangsa yang maju tidak ditentukan oleh kecerdasan intelektual semata, tetapi juga
sangat dipengaruhi oleh kecerdasan sikap spiritual maupun sikap sosial. Sejak jaman dahulu,
masyarakat memandang institusi pendidikan tidak semata-mata untuk keperluan kecerdasan
ilmu pengetahuan, melainkan difungsikan pula untuk mendidik generasi yang memiliki
karakter, perilaku, dan budi pekerti yang baik dan mulia (Ridwan, 2018).
Bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai karakter ini dalam pembelajaran, sehingga
melahirkan generasi muda yang memiliki kepribadian yang mulia, adalah tantangan dunia
pendidikan saat ini. Maka diperlukan strategi yang efektif baik dalam proses penyampaian
pesan-pesan moralitas yang menggugah peserta didik maupun strategi lain yang berkaitan
dengan kebijakan pemerintah. Diperlukan pula pemanfaatan media yang efektif dalam
penyampaian informasi. Media berbasis teknologi informasi dapat dijadikan sebagai pilihan
untuk menyampaikan pesan kepada peserta didik. Jika dulu pesan-pesan disampaikan dengan
mengandalkan model ceramah dan hafalan, maka saat ini banyak fasilitas teknologi yang
dapat dimanfaatkan untuk memediasi guru dalam menyampaikan informasi salah satunya
adalah film. Film atau gambar hidup merupakan gambar-gambar dalam frame di mana
frame demi frame diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis, sehingga pada layar
terlihat gambar itu hidup. Film bergerak dengan cepat dan bergantian, sehingga memberikan
visual yang kontinu. Sudah banyak film yang banyak memuat pendidikan nilai-nilai karakter
dan dapat diimplementasikan di berbagai jenjang pendidikan terutama siswa sekolah dasar
yang di mana masih menjadi fokus utama seorang pendidik baik di lingkungan keluarga
maupun sekolah untuk membentuk karaktek yang baik. Salah satu gendre film utama yang
menjadi landasan utama media pembelajaran yang baik bagi anak sekolah dasar yang bisa
diambil nilai-nilai karakter nya itu biasa adalah film kartun dimana film tersebut terdapat
pembelajaran nilai-nilai akhlak yang sangat mendukung penanaman lima nilai pendidikan
karakter yang telah disusun oleh kementerian pendidikan nasional, yaitu: religius, nasionalis,
mandiri, gotong royong, dan integritas. Serta biasanya film kartun tidak mencontohkan hal-
hal yang kurang baik, akan tetapi membentuk karakter anak menjadi lebih baik. Maka dari itu
salah satu acuan untuk membentuk nilai-nilai karakter yang baik bagi anak sekolah dasar
adalah dengan cara menonton media berbasis film kartun.

Rumusan masalah:
1. Bagaimana perencanaan pendidikan karakter melalui media film dalam pembelajaran?
2. Bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter melalui media film dalam pembelajaran?
3. Bagaimana dampak pendidikan karakter melalui media film dalam pembelajaran?

Teori

A. Konsep Pendidikan Karakter


Pendidikan karakter secara historis sudah menjadi perhatian orang sejak zaman
dahulu. Dengan demikian, konsep tentang karakter anak didik telah menjadi perbincangan
lama. Pendidikan kemudian dipahami tidak hanya sebatas transfer of knowledge, tetapi juga
diartikulasikan sebagai wahana untuk menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai kebaikan.
I. Pengertian Pendidikan Karakter
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), karakter merupakan
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
dengan yang lain. Dengan demikian, karakter adalah nilai yang unik-baik yang
terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku (Kementrian
Pendidikan Nasional, 2010).
Definisi karakter menurut Scerenko (1997), karakter sebagai atribut
atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan
kompleksitas mental dari seseorang, suatu kelompok atau bangsa. American
Heretage Dictionary of the English Language 4th edition mendefinisikan
karakter sebagai gabungan antara kualitas dan ciri-ciri yang membedakan
seseorang, kelompok atau sesuatu dengan yang lain.
Karakter menjadi identitas atau jati diri suatu bangsa merupakan nilai
dasar perilaku yang menjadi acuan atau nilai interaksi antar manusia. Secara
universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama
berdasarkan atas pilar : kedamaian (peace), menghargai (respect), kerja sama
(cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan (happines), kejujuran
(honesty), kerendahan hati (humility), kasih sayang (love), tanggung jawab
(responsibility), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance), dan
persatuan (unity).
Dalam hal ini, karakter sering kali dipengaruhi oleh faktor hereditas.
Yaitu seorang anak sering kali tidak jauh dari perilaku ayah atau ibunya.
Dalam istilah jawa dikenal dengan "Kacang ora ninggal lanjaran" (Pohon
kacang panjang tidak pernah meninggalkan kayu atau bambu tempatnya
melilit dan menjalar). Kecuali itu lingkungan, baik lingkungan sosial maupun
lingkungan alam ikut membentuk karakter.
Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi karakter tersebut
diatas, serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi karakter, maka karakter
dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang,
terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang
membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Sederhananya, Pendidikan karakter merupakan hal positif apa saja
yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya.
Menurut Winton (2010), Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan
sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para
siswanya. Selain itu, Pendidikan karakter telah menjadi sebuah pergerakan
pendidikan yang mendukung pengembangan social, pengembangan
emosional, dan pengembangan etik para siswa merupakan suatu upaya
proaktif yang dilakukan baik oleh sekolah maupun pemerintah untuk
membantu siswa mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etik dan nilai-
nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, fairness, keuletan dan
ketabahan (fortitude), tanggung jawab, menghargai diri sendiri dan orang lain.
Pada sumber lain, Wikipedia (dalam modifikasi terakhir tanggal 27
januari 2011) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai istilah payung
(umbrella term) yang acap kali digunakan dalam mendeskripsikan
pembelajaran anak-anak dengan sesuatu cara yang dapat membantu mereka
mengembangkan berbagai hal terkait moral, kewargaan, sikap tidak suka
memalak, menunjukan kebaikan, sopan santun dan etika, perilaku, bersikap
sehat, kritis, keberhasilan, menjunjung nilai tradisional, serta menjadi makhluk
yang memenuhi norma-norma sosial dan dapat diterima secara sosial.
Menurut Lickona (1991) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai
upaya yang sungguh-sungguh untuk membantu seseorang memahami, peduli,
dan bertindak dengan landasan inti nilai-nilai etis. Sederhananya, Lickona
(2004) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang dirancang
secara sengaja untuk memperbaiki karakter para siswa. Sementara itu, Alfie
Kohn, dalam Noll (2006) menyatakan bahwa pada hakikatnya “pendidikan
karakter dapat didefinisikan secara luas atau secara sempit. Dalam makna
yang luas pendidikan karakter mencakup hamper seluruh usaha sekolah di luar
bidang akademis terutama yang bertujuan untuk membantu siswa tumbuh
menjadi seseorang yang memiliki karakter yang baik. Dalam makna yang
sempit pendidikan karakter dimaknai sebagai sejenis pelatihan moral yang
merefleksikan nilai tertentu”.
Menurut Scerenko (1997) pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai
upaya yang sungguh-sungguh dengan cara mana ciri kepribadian positif
dikembangkan, didorong, dan diberdayakan melalui keteladanan, kajian
(sejarah, dan biografi para bijak dan pemikir besar), serta praktik emulasi
(usaha yang maksimal untuk mewujudkan hikmah dari apa-apa yang diamati
dan dipelajari). Sementara itu, Arthur dalam makalahnya berjudul Traditional
Approaches to Character Education in Britain and America (Nucci and
Narvaez, 2008), mengutip Anne Lockwood (1997) mendefinisikan pendidikan
karakter sebagai aktivitas berbasis sekolah yang mengungkap secara sistematis
bentuk perilaku dari siswa seperti ternyata dalam perkataannya: Pendidikan
karakter didefinisikan sebagai setiap rencana sekolah, yang dirancang
Bersama Lembaga masyarakat yang lain, untuk membentuk secara langsung
dan sistematis perilaku orang muda dengan mempengaruhi secara eksplisit
nilai-nilai kepercayaan non-relativistik (diterima luas), yang dilakukan secara
langsung menerapkan nilai-nilai tersebut.
Selanjutnya juga ditulis oleh Arthur bahwa Anne Lockwood
memerinci ada tiga proposisi sentral dalam pendidikan karakter. “Pertama,
bahwa tujuan pendidikan moral dapat dikejar/dicapai, tidak semata-mata
membiarkannya sekadar sebagai kurikulum tersembunyi yang tidak terkontrol,
dan bahwa tujuan pendidikan karakter telah memiliki dukungan yang nyata
dari masyarakat dan telah menjadi konsesus Bersama. Kedua bahwa tujuan-
tujuan behavioural tersebut adalah bagian dari pendidikan karakter, dan
Ketiga, perilaku antisosial sebagai bagian kehidupan anak-anak adalah sebagai
hasil dari ketidakhadiran nilai-nilai dalam pendidikan”.
Jadi, pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada
peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam
dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat
dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral,
pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik
untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan
mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Pendidikan karakter dapat pula dimaknai sebagai upaya yang terencana untuk
menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai
sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Pendidikan karakter
juga dapat dimaknai sebagai suatu system penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan maupun kebangsaan
sehingga menjadi manusia insan kamil. Penanaman nilai kepada warga
sekolah maknanya bahwa pendidikan karakter baru akan efektif jika tidak
hanya siswa, tetapi juga para guru, kepala sekolah dan tenaga non-pendidik di
sekolah semua harus terlibat dalam pendidikan karakter.

1. Nilai-nilai Karakter
Nilai merupakan satu prinsip umum yang menyediakan anggota
masyarakat dengan satu ukuran atau standard untuk membuat penilaian dan
pemilihan mengenai tindakan dan cita-cita tertentu. Nilai adalah konsep, suatu
pembentukan mental yang dirumuskan dari tingkah laku manusia. Nilai adalah
persepsi yang sangat penting, baik dan dihargai.
Di samping itu, nilai juga melibatkan persoalan apakah suatu benda
dan tindakan itu diperlukan, dihargai atau sebaliknya. Pada umumnya nilai
adalah sesuatu yang sangat dikehendaki. Oleh sebab itu, nilai melibatkan
unsur keterlibatan (commitment). Nilai juga melibatkan pemilihan. Di
kalangan masyarakat, biasanya ada beberapa pilihan sewaktu seseorang
menghadapi suatu situasi. Pemilihan suatu pilihan tertentu biasanya ditentukan
oleh kesadaran seorang individu terhadap standard atau prinsip yang ada di
kalangan masyarakat itu. Kebanyakan tingkah laku yang dipilih melibatkan
nilai-nilai individu atau nilai-nilai kelompoknya.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai proses penanaman nilai-
nilai esensial pada diri anak melalui serangkaian kegiatan pembelajaran dan
pendampingan sehingga para siswa sebagai individu mampu memahami,
mengalami, dan mengintegrasikan nilai-nilai yang menjadi core values dalam
Pendidikan yang dijalaninya kedalam kepribadiannya. Dengan menempatkan
pendidikan karakter kerangka dinamika dan dialektika proses pembentukan
individu, para insan pendidik diha-rapkan emakin dapat menyadari pentingnya
pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman perilaku,
pembentukan akhlak, dan pengayaan nilai individu dengan cara menyediakan
ruang bagi figur keteladanan dan menciptakan sebuah lingkungan yang
kondusif bagi proses pertumbuhan, berupa kenyamanan dan keamanan yang
membantu suasana pengembangan diri satu sama lain dalam keseluruhan
dimensinya (teknis, intelektual, psikologis, moral, sosial, estetis, dan religius).
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai sebuah usaha untuk
mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan
memperaktekannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat
memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Adapun nilai yang
layak diajarkan kepada anak-anak, dirangkum Indonesia Heritage Fondation
(IHF) yang digagas oleh Ratna Megawangi menjadi sembilan pilar karakter
(Arismantono,2008: 29) yaitu;
a. Cinta tuhan dan Segenap Ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence,
loyalty)
b. Kemandirian dan Tanggug Jawab (responsibility, excellence, self
reliance, Discipline, orderliness)
c. Kejujuran dan Amanah, Bijaksana (trustworthiness,reliability,honesty)
d. Hormat dan Santun (respect, courtesy, obedience)
e. Dermawan, suka menolong dan Gotong Royong (love, compassion,
caring, empathy, generousity,moderation, cooperation)
f. Percaya Diri, Kreatif, dan Pekerja keras (confidence, assertiveness,
creativity, determination,and enthusiasm)
g. Kepemimpinan dan Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)
h. Baik dan Rendah Hati (kindness, friendliness, humality, modesty)
i. Toleransi dan Kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility,
peacefulness)
Dalam konteks Pendidikan Islam, karakter atau akhlak yang
ditanamkan pada anak harus berlandaskan pada dua dimensi kehidupan
manusia yaitu dimensi ke-Tuhanan dan dimensi kemanusiaan. (Nurcholis
Majid, 2000: 96). Kedua dimensi ini perlu ditanamkan ke dalam diri seorang
anak agar anak memiliki rasa ketakwaan kepada Allah swt dan rasa
kemanusiaan terhadap sesama manusia, sehingga hablumminallah dan
hablumminannas nya terpelihara dan terjaga.
Dimensi Ketuhanan atau yang dikenal dengan istilah nilai Robbaniyah
akan melahirkan nilai-nilai kegamaan yang mendasar bagi kehidupan manusia
yang amat penting ditanamkan pada anak. Nilai tersebut antara lain, iman,
ikhsan, takwa, tawakkal, syukur, ikhlas dan sabar. (Nurcholis Majid, 2000:
88),
Sedangkan dimensi kemanusiaan melahirkan nilai-nilai luhur (akhlakul
akrimah) yang diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Nilai
tersebut antara lain silaturrahmi, persamaan, keadilan, baik sangka, jujur dan
lain-lain. (Nurcholis Majid, 2000: 101).

2. Tujuan Pendidikan Karakter


Mengacu pada fungsi pendidikan Nasional. UU RI No 20 tahun 2003
pasal 3 menyebutkan Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan
membantu watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi, peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Beberapa tujuan dari Pendidikan karakter diantaranya, yaitu:
a. Mengembangkan potensi afektif peserta didik sebagai manusia dan Warga
Negara yang berbudaya dan karakter bangsa.
b. Mengembangkan Kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji.
c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab.
d. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang
mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan.
e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan
belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan
rasa kebangsaan yang tinggi.

3. Strategi Pembentukan Karakter


Ada beberapa strategi dalam pembentukan karakter anak di setiap sekolah
diantaranya, yaitu:
a. Pendidikan karakter cenderung tak akan pernah tersentuh secara nyata jika
ada hanya sebatas proses pemahaman tentang karakter atau hanya bersifat
informasi tanpa adanya tindakan.
b. Konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus
dan rencana pelaksanaan pembelajaran disekolah, namun harus lebih dari
itu, dijalankan dan dipraktekan.
c. Pendidikan karakter merupakan sebuah proses (step by step).
d. Kunci dari pendidikan karakter adalah disiplin, komitmen dan penerapan.
e. Pendidikan karakter tidak hanya diberikan secara teoritik di sekolah,
namun juga perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga akan
menjadi kebiasaan.

4. Macam-macam Karakter Anak


Menurut Julaiha pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran
bisa dilakukan dengan pengenalan nilai-nilai, pengintegrasian nilai-nilai ke
dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran
baik yang berlangsung di dalam ataupun luar kelas pada semua mata
pelajaran.
Pendidikan karakter perlu diajarkan di semua jenjang pendidikan,
terutama sekolah dasar. Anak sekolah dasar atau anak SD adalah mereka
yang berumur antara 6-12 tahun atau biasa disebut dengan proses
intelektual. Pengetahuan anak akan berkembang pesat seiring dengan
bertambahnya usia. Di samping itu keterampilan yang dikuasai juga akan
semakin beragam. Pada periode ini minat anak terfokus pada semua hal
yang bersifat dinamis bergerak. Implikasinya anak cenderung untuk
melakukan berbagai aktivitas yang berguna pada proses perkembangannya
nanti.
Ada beberapa karakteristik yang dapat diidentifikasi pada siswa
sekolah dasar berdasarkan kelas-kelas yang ada pada sekolah dasar. Yakni
karakteristik siswa sekolah dasar kelas rendah dan karakteristik siswa
sekolah dasar kelas tinggi.
Karakteristik Siswa Sekolah Dasar Kelas Rendah
Usia sekolah dasar juga disebut sebagai periode intelektualitas atau
periode keserasian bersekolah. Anak dengan usia 6-7 tahun dianggap
sudah matang untuk masuk sekolah. Menurut Notoatmodjo, siswa kelas
rendah sekolah dasar mempunyai beberapa karakteristik khusus, antara
lain:
1. Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan kesehatan
pertumbuhan jasmani dengan prestasi sekolah
2. Siswa memiliki kecenderungan memuji diri sendiri
3. Suka membanding-bandingkan diri dengan anak lain
4. Anak pada masa ini, terutama umur 6-8 tahun, menghendaki nilai yang
baik tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik
atau tidak
5. Tunduk pada peraturan-peraturan permainan yang ada di dalam
dunianya
6. Jika tidak bisa menyelesaikan suatu sola, maka soal itu tidak dianggap
penting.
Karakteristik Siswa Sekolah Dasar Kelas Tinggi
Siswa sekolah dasar kelas tinggi juga mempunyai beberapa karakteristik
yang berbeda dengan kelas rendah. Berikut adalah beberapa karakteristik
tersebut:
1. Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkrit
2. Realistik serta memiliki rasa ingin tahu dan ingin belajar
3. Menjelang akhir masa ini, siswa memiliki minat terhadap hal-hal atau
mata pelajaran khusus.
4. Pada umur 11 tahun anak memerlukan bantuan guru atau orang-orang
dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya dan memenuhi
keinginannya. Di umur ini umumnya anak mendapatkan tugas-tugas
dengan beban dan menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha
menyelesaikannya sendiri.
5. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi
sekolah
6. Anak-anak gemar membentuk kelompok sebaya. Biasanya untuk bisa
bermain bersama-sama. Dalam permainan biasanya anak tidak lagi terikat
pada aturan permainan tradisional, melainkan mereka membuat peraturan
sendiri.

5. Karakter Yang Baik


Karakter yang baik berarti dapat memahami dan membedakan antara
yang baik dan yang buruk. Mengetahui yang baik berarti mengembangkan
kemampuan untuk menyimpulkan atau meringkaskan suatu keadaan,
sengaja, memilih sesuatu yang baik untuk dilakukan, dan kemudian
melakukannya. Aristoteles menyebutnya dengan practical wisdom
(kebijakan praktis). Memiliki kebijakan praktis berarti mengetahui
keadaan apa yang diperlukan. Mengetahui, misalnya, siswa dapat
merencanakan kegiatan mereka, seperti bagaimana mereka mengerjakan
pekerjaan rumah mereka, menghabiskan waktu dengan keluarga dan
teman-teman mereka. Tetapi kebijakan praktis tidak semata-mata tentang
manajemen waktu, melainkan berkaitan pula dengan prioritas dan
pemilihan sesuatu yang baik dalam semua suasana kehidupan.
Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk membuat komitmen yang
bijak dan menjaganya (Kevin Ryan, 1999:5). Selanjutnya Aristoteles
mendefiniskan karakter yang baik sebagai tingkah laku yang benar tingkah
laku yang benar dalam hubungannya dengan orang lain dan juga dengan
diri sendiri. Di pihak lain, karakter, dalam pandangan filosof kontemporer
seperti Michael Novak, adalah campuran atau perpaduan dari semua
kebaikan yang berasal dari tradisi keagamaan, cerita, dan pendapat orang
bijak, yang sampai kepada kita melalui sejarah. Menurut Novak, tak
seorang pun yang memiliki semua kebajikan itu, karena setiap orang
memiliki kelemahan-kelemahan. Seseorang dengan karakter terpuji dapat
dibedakan dari yang lainnya (Lickona, 1991:50).

6. Faktor-Faktor Pembentukan Karakter


Beberapa faktor dalam pembentukan karakter, diantaranya yaitu:
1. Dorongan kekuatan spiritual.
Manusia adalah makhluk spiritual, makanya kekuatan spiritual itulah
sangat berpengaruh pada kepribadian dan watak seseorang. Manusia
sebelum lahir ke dunia sudah terikat perjanjian spiritual dengan Allah.
Pembentukan karakter anak dan seseorang, sangat dipengaruhi oleh
dorongan kekuatan spiritual melalui para guru, ustadz, kyai, ulama, dan
lainnya, termasuk lembaga spiritual seperti masjid, surau, atau pun
mushalla, lembaga pendidikan spiritual seperti Pondok Pesantren, dan lain-
lain.
2. Keluarga terdekat meliputi orang tua, saudara, dan lainnya.
Setiap anak lahir, diasuh, dan dibesarkan melalui sebuah keluarga.
Lingkungan terdekat inilah yang sangat berpengaruh pada pembentukan
karakternya.
3. Sahabat terdekat.
Pihak-pihak yang ikut andil berpengaruh dalam pembentukan sifat dan
karakter anak dan seseorang adalah sahabat terdekat, sahabat setia, apalagi
sahabat yang dianggap sebagai kekasih.
4.Lingkungan Sosial
Orang yang tinggal di suatu lingkungan sosial yang sudah terbiasa hidup
teratur, hidup bersih, hidup disiplin, hidup saling menghargai, maka ia
akan ikut dengan kebiasaan seperti itu, walau pun yang bersangkutan tidak
banyak tahu hukum agama, tidak tahu ayat dan hadis. Mereka seperti
dipaksa oleh situasi dan keadaan untuk harus ikut dengan lingkungan
sosialnya.
5. Lembaga pendidikan formal ataupun informal
Sebagaimana halnya keluarga dan lingkungan, maka lembaga pendidikan,
baik formal maupun informal pasti berpengaruh terhadap anak dan
seseorang dalam proses pertumbuhan kepribadian dan karakternya.
6. Media yang dinikmati
Keberadaan Media sudah menjadi keperluan dan keniscayaan. Akan tetapi
harus selektif dan kritis, sebab media juga berpengaruh terhadap
pembentukan karakter seseorang, terutama media yang dinikmati penuh
keseriusan. Bisa saja, ada orang yang sebelum aktif menggunakan media
sosial, tutur katanya baik dan lembut, sikapnya sopan dan santun. Akan
tetapi, setelah cukup lama dan setiap saat disuguhi berita yang isinya
hanya kejelekan orang, menjelek-jelekkan orang dan kelompok tertentu,
maka terjadi perubahan dalam dirinya, meniru-niru apa yang sering dibaca
dari media tersebut. Akhirnya, suka berpikiran negati kepada orang lain.
7. Masalah dan tekanan hidup
Masalah sekecil apa pun yang menimpa seseorang, apalagi sampai
hidupnya tertekan pasti berpengaruh pada proses pembentukan
kepribadian yang bersangkutan. Mereka yang selalu ditimpa masalah, akan
selalu berusaha mencari jalan keluarnya dengan segala upayanya. Mereka
yang terbiasa menghadapi masalah, proses pendewasaan dirinya biasanya
lebih cepat, lebih bagus, bahkan lebih matang kepribadiannya.
Dibandingkan dengan orang yang hidupnya terbiasa dengan kenyamanan,
tanpa masalah.

7. Tahap-tahap Pembentukan Karakter


Pembentukan karakter diklasifikasikan dalam 5 tahapan yang berurutan
dan sesuai usia, yaitu:
1. Tahap pertama adalah membentuk adab, antara usia 5 sampai 6 tahun.
Tahapan ini meliputi jujur, mengenal antara yang benar dan yang
salah, mengenal antara yang baik dan yang buruk serta mengenal mana
yang diperintahkan, misalnya dalam agama.
2. Tahap kedua adalah melatih tanggung jawab diri antara usia 7 sampai
8 tahun. Tahapan ini meliputi perintah menjalankan kewajiban shalat,
melatih melakukan hal yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi
secara mandiri, serta dididik untuk selalu tertib dan disiplin
sebagaimana yang telah tercermin dalam pelaksanaan shalat mereka.
3. Tahap ketiga adalah membentuk sikap kepedulian antara usia 9 sampai
10 tahun. Tahapan ini meliputi diajarkan untuk peduli terhadap orang
lain terutama teman-teman sebaya, dididik untuk menghargai dan
menghormati hak orang lain, mampu bekerjasama serta mau
membantu orang lain.
4. Tahap keempat adalah membentuk kemandirian, antara usia 11 sampai
12 tahun. Tahapan ini melatih anak untuk belajar menerima resiko
sebagai bentuk konsekuensi bilatidak mematuhi perintah, dididik untuk
membedakan yang baik dan yang buruk.
5. Tahap kelima adalah membentuk sikap bermasyarakat, pada usia 13
tahun ke atas. Tahapan ini melatih kesiapan bergaul di masyarakat
berbekal pada pengalaman sebelumnya. Bila mampu dilaksanakan
dengan baik, maka pada usia selanjutnya hanya diperlukan
penyempurnaan dan pengembangan secukupnya (Miya Nur Andina
dalam Chacha.blog, 2013).

B. Nilai-nilai Pendidikan Karakter


Perkembangan selanjutnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
merumuskan nilai-nilai karakter itu ke dalam lima nilai utama yang masuk dalam
program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang harus diintegrasikan ke dalam
proses pembelajaran di sekolah. Kelima nilai utama PPK itu adalah: (1) religius;
(2) nasionalis; (3) mandiri; (4) gotong royong; dan (5) integritas.
C. Peranan Film dalam Pendidikan
Film sebagai salah media audiovisual memiliki efektifitas yang sangat tinggi
dalam proses pembelajaran. Peranan film ini sejalan dengan teori modus belajar yang
dikemukakan oleh Bruner dalam Arsyad, sebagaimana dikutip Zainiyati. Pengalaman
belajar dapat terjadi dalam tiga proses, yaitu pengalaman langsung (enactive),
pengalaman piktorial atau melalui gambar (iconic), dan pengalaman abstrak
(symbolic).
Daftar Pustaka
Munawwir, AWQ. 1999. Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.

Sayadi, Wajidi. 2019. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Karakter”. Diakses


pada 14 Oktober 2021, dari https://wajidisayadi.com/2019/12/07/faktor-faktor-yang-
mempengaruhi-pembentukan-karakter/

Radesva, Kapa. 2020. Jurnal “Karakteristik Siswa SD Menurut Ahli”. Diakses pada 14 Oktober
2021, dari https://gurupengajar.com/karakteristik-siswa-sd.html#

Isnaini, Muhammad. 2013. “Internalisasi Nilai-nilai Pendidikan Karakter Di Madrasah”. Palembang: 6


: 445-450

http://fis.uny.ac.id/id/berita/pendidikan-karakter-melalui-media-film.html

Anda mungkin juga menyukai