Anda di halaman 1dari 34

TEORI PSIKOFARMAKOLOGI

Oleh :
Firman Hidayat
PSIKOFARMAKOLOGI
• Manajemen pengobatan adala isu yang krusial bagi banyak klien penderita gangguan jiwa,
dan manajemen ini sangat memengaruhi hasil terapi. Beberapa kategori obat untuk
mengatasi gangguan jiwa (obat psikotropik) akan didiskusikan: antipsikotik, antidepresan,
penstabil mood, antiansietas, dan stimulan. Penting bagi perawat untuk mengetahui cara
kerja, efek samping, kontra indikasi, interaksi obat tersebut, serta intervensi keperawatan
yang diperlukan untuk membantu klien menatalaksana program pengobatan.

• Beberapa istilah yang digunakan dalam menjelaskan obat dan terapi obat penting diketahui
perawat. Keefektifan mengacu pada efek terapeutik maksimal yang dapat dicapai oleh obat.
Potensi menjelaskan jumlah obat yang dibutuhkan untuk mencapai efek maksimal tersebut.
Obat yang berpotensi rendah perlu diberikan dalam dosis tinggi untuk mencapai keefektifan,
sedangkan obat yang berpotensi tinggi mencapai keefektifan pada pemberian dosis rendah.
Waktu paruh adalah waktu yang diperlukan ,untuk setengah jumlah obat keluar dari aliran
darah. Obat yang memiliki waktu paruh lebih pendek perlu diberikan tiga atau empat kali
sehari, tetapi obat yang memiliki waktu paruh lebih panjang dapat diberikan satu kali sehari.
Waktu yang diperlukan obat untuk meninggalkan tubuh sepenuhnya setelah pemberiannya
dihentikan ialah sekitar lima kali waktu paruhnya (Hyman, Arana, & Rosenbaum, 1995).
PRINSIP YANG MENJADI PEDOMAN TERAPI FARMAKOLOGI

• Berikut adalah beberapa prinsip yang menjadi pedoman penggunaan obat dalam menangani
gangguan psikiatri (Hyman, Arana, & Rosenbaum, 1995):
– Obat diseleksi berdasarkan efeknya pada gejala target klien, misalnya pikiran waham, serangan
panik, atau halusinasi. Keefektifan pengobatan dievaluasi sebagian besar oleh ke-
mampuanobat untuk mengurangi atau meng- hilangkan gejala target.
– Banyak obat psikotropika harus diberikan dalam dosis yang adekuat selama periode waktu
sebelum efek seutuhnya dicapai. Misalnya, antidepresan trisiklik dapat memerlukan empat
sampai enam minggu untuk memberikan manfaat terapeutik yang optimal.
– Dosis obat sering kali disertakan sampai dosis terendah yang efektif untuk klien. Kadang kala
dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk menstabilkan gejala target klien dan dosis yang lebih
rendah dapat digunakan untuk mempertahankan efek obat tersebut sepanjang waktu.
– Sesuai aturan, individu lansia memerlukan dosis obat yang lebih rendah untuk menghasilkan
efek terapeutik, dan obat dapat memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai efek
terapeutik sepenuhnya.
– Obat psikotropik sering dikurangi secara bertahap (berangsur-angsur), bukan secara mendadak
dihentikan. Hal ini dilakukan sehubungan dengan masalah potensial terjadinya rebound
(kembalinya gejala untuk sementara), kambuhnya gejala semula, atau putus obat (gejala baru
yang disebabkan penghentian obat).
– Perawatan tindak lanjut sangat penting untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap
program pengobatan, melakukan penyesuaian dosis obat, dan menatalaksana efek samping.
• Kepatuhan terhadap program pengobatan seringkali meningkat ketika program tersebut diberikan
sesederhana mungkin, baik dalam jumlah obat yang diprogramkan maupun jumlah dosis harian.
ANTIPSIKOTIK
• Antipsikotik, yang juga dikenal sebagai neuroleptik, digunakan
untuk mengobati gejala psikosis, misalnya waham dan halusinasi.
Antipsikotik bekerja dengan menyekat reseptor neurotransmiter
dopamine

• Antipsikotik digunakan secara klinis sejak tahun 1950-an.


Antipsikotik merupakan terapi medis utama untuk skizofrenia dan
juga digunakan dalam episode psikotik mania akut, depresi
psikotik, dan psikosis akibat penggunaan obat. Penderita demensia
yang mengalami gejala psikotik kadang kala berespons terhadap
dosis antipsikotik yang rendah. Terapi antipsikotikjangka
pendekbermanfaat.untuk mengobati gejala psikotik sementara,
misalnya gejala yang terlihat pada beberapa penderita gangguan
kepribadian ambang (Hyman, Arana, & Rosenbaum, 1995).
MEKANISME KERJA
• Kerja utama semua antipsikotik pada sistem saraf ialah menyekat reseptor neurotransmiter
dopamin. Akan tetapi, mekanisme kerja obat yang terapeutik hanyansebagian dipahami.
Reseptor dopamin diklasifikasikan ke dalam subkategori (Dl, D2, D3, D4, dan D5),dan D2, D3,
D4 dikaitkan dengan gangguan jiwa. Antipsikotik tipikal merupakan antagonis (bloker) yang
kuat D2, D3, dan D4. Hal ini membuat obat tersebut efektif dalam menangani gejala target
tetapi juga menimbulkan banyak efek samping ekstrapiramidal (didiskusikan di bawah)
karena penyekatan reseptor D2. Yang terbaru, antipsikotik atipikal, misalnya klozapin
(Clozaril), merupakan bloker D2 yang relatif lemah, yang menyebabkan insidensi efek
samping ekstrapiramidal yang rendah, Selain itu, antipsikotik atipikal menghambat reuptake
serotonin, seperti pada beberapa antidepresan sehingga antipsikotik ini menjadi lebih efektif
dalam mengobati aspek depresif skizofrenia.

• Dua antipsikotik tersedia dalam injeksi depot, suatu bentuk obat yang melepaskan zat aktif
secara bertahap untuk terapi rumatan. Media injeksi ini ialah minyak wijen sehingga obat
tersebut diabsorpsi dengan lambat. Peinberian obat ini yang tidak terlalu sering diperlukan
untuk mempertahankan efek terapeutik yang diinginkan (Keltaer, 1997). Flufenazin (Prolixin)
memiliki durasi 7 sampai 28 hari dan haloperidol (Haldol) memiliki durasi empat mingu.
Setelah kondisi klien stabil melalui pemberian dosis oral obat ini, pemberian melalui injeksi
depot perlu dilakukan setiap dua sampai empat minggu untuk mempertahankan efek
terapeutik.
Efek Samping Ekstrapiramidal
• Gejala Ekstrapiramidal (GEP) adalah ,gejala neurologi serius, yang merupakan efek samping
utama antipsikotik. Gejala tersebut mencakup distonia akut, pseudoparkinsonisme, dan
akatisia. Efek samping neurologi ini secara kolektif sering disebut GEP walaupun ada
perbedaan di antara berbagai reaksi obat tersebut. Seorang klien dapat mengalami semua
reaksi dalata rangkaian terapi yang sama. Hal ini membuat reaksi yang spesifik sulit
dibedakan. Penyekatan reseptor D2 pada bagian otak tengah batang otak bertanggung jawab
unbak terjadinya GEP.
• Terapi efek sampbtg neurologi distonia akut, pseudoparkinsonisme, dan akatisia sama dan
dila-kukan dengan mengurangi dosis antipsikotik, meng- ganti obat dengan antipsikotik yang
berbeda, atau memberi antikolinergik (Egan & Hyde, 2000).
• Distonia akut mencakup rigiditas otot akut dan kram, lidah kaku atau tebal disertai kesulitan
menelan, dan pada kasus berat teijadi laringospasme dan kesulitan bemapas. Distonia paling
banyak terjadi pada minggu pertama terapi dan pada klien berusia kurang dari 40 tahun,
pada pria, dan individu yang mendapat obat berpotensi tinggi, seperti halo- peridol dan
tiotiksen. Spasme atau kekakuan pada kelompok otot dapat menyebabkan tortikolis (kepala
dan leher terpuntir), opistotonus (ketegangan di selunrh tubuh dengan kepala ke belakang
dan leher melengkung), atau krisis okulogirik (mata berputar ke belakang dalam posisi
terkunci). Reaksi distonia akut dapat menimbulkan nyeri dan menakutkan bagi klien. Terapi
segera dengan antikolinergik, seperti benztropin mesilat intramuskular (Cogentin) atau
difenhidramin intramuskular atau difenhidramin intravena (Benadryl), biasanya meredakan
gejala dengan cepat.
Efek Samping Ekstrapiramidal
• Istilah parkinsonisme yang diinduksi obat, atau pseudoparkinsonisme, sering kali
digunakan unhrk menyebut nama umum GEP. Gejalanya menyerupai ge)ala
penyakit Parkinson dan meliputi postur yang birngkuk, kaku; wajah seperh topeng;
ayurran lengan berkurang; cara be^alan dengan kaki diseret danterburu-buru
(iangkah pendek-pendek); cogwheel rigidity (gerakan sendi seperti gerakan roda
gigi searah); mengeluarkan air liur; tremor; bradikardia; dan gerakan kasar
menggulung pil dengan menggunakan ibu jari dan jari lain ketika beristirahat.
Parkin- sonisme diobati dengap mengganti antipsikotik yang memiliki insidensi GEP
lebih rendah atau dengan menambah agens antikolinergik oral atau amantadin.
• Akatisia dilaporkan klien sebagai kebutuhan besar untuk bergerak. Klien tampak
gelisalr atau cemas dan teragitasi, sering kali disertai postur atau cara berjalan yang
kaku dan ukurannya gestur spontan. Perasaan gelisah di dalam diri dan
ketidakmampuan untuk duduk tenang atau beristirahat sering kali menyebabkan
klien berhenti menggunakan antipsikotik. Akatisia dapat diobati dengan mengganti
antipsikotik atau menambah agens oral seperti penyekat beta, antikolinergik, atau
benzodiazepin.
Syndrom Maligna Neuroleptik.
• Syndrom Maligna Neuroleptik (SMN) ialah reaksi idiosinkratik dan berpotensi fatal
terhadap antipsikotik (atau obat neuroleptik). Walaupun DSM-IV (1994) mencatat
bahwa dalam literatur angka kematian .akibat sindrom ini'dilaporkan sebesar 10%
sampai 2%, angka tersebut mungkin disebabkan oleh laporan yang bias; angka yang
dilaporkan saat ini menurun Gejala utama SMN ialah kekakuan, demam tinggi,
ketidakstabilan otonom, seperti tekanan darah tidak stabil, diaforesis, pucat,
delirium, dan peningkatan kadar enzim, terutama CPK. Klien yang mengalami SMN
biasanya bingung dan sering kali bisu. Mereka mengalami fluktuasi dari agitasi
sampai stupor. Semua antipsikotik tampaknya berpotensi menye- babkan SMN,
tetapi dosis tinggi obat-obatan ber- potensi tinggi meningkatkan risiko tersebut. SMN
paling sering terjadi pada dua minggu pertama terapi atau setelah dosis
ditingkatkan, tetapi SMN dapat terjadi setiap waktu.
• Dehidrasi, gizi buruk, dan penyakit medis yang terjadi secara bersamaan,
meningkatkan risiko SMN. Terapi SMN meliputi penghentian segera semua
antipsikotik dan penrberian perawatan medis pen- dukung seperti rehidrasi dan
hipotermia, sampai kondisi fisik klien stabil. Setelah SMN diatasi, keprr- trrsa.n untuk
mengobati klien dengan antipsrkotik lairr perlu didiskrtsikan sepenuhnya antara klien
dan dokter dengan menimbang risiko relatif dan manfaat potensialterapi.
DISKINESIA TARDIF
• Diskinesia Tardif (DT), suatu sindrom gerakan involunter dan permanen, paling sering
disebabkan oleh penggunaan antipsikotik tipikal jangka panjang. Setidaknya 20%
individn yang diobati dengan nenroleptik dalam jangka panjang mengalami DT.
Gejala DT meliputi gerakan involunter lidah, otot wajah dan leher, ekstremitas atas
dan bawah, dan otot trnnkus. Lidah yang masuk dan menjulur bibir yang mengerut,
mata berkedip-kedip, wajah menyeringai dan gerakan wajah lain yang berlebihan
dan tidak semestinya adalah karakteristik DT. Setelah terjadi, DT ireversibel walaupun
perkembangannya dapat dihentikan dengan mengurangi atau menghentikan
pemberian antipsikotik. Sayangnya, antipsikotik dapat menutupi gejala awal DT:
yakni, peningkatan dosis antipsikotik akan menyebabkan gejala awal hilang untuk
sementara. Akan tetapi, ketika gejala DT memburuk, gejala tersebut "menghentikan"
efek antipsikotik.
• Salah satu tujuan pemberian antipsikotik ialah mencegah terjadinya DT. Hal ini dapat
dilakukan dengan mempertahankan dosis rumatan serendah mungkin, mengganti
obat, dan memantau tanda awal DT pada klien secara periodik dengan menggunakan
alat pengkajian standar, seperti Skala Gerakan Involunter Abnormal, Individu yang
menunjukkan tanda DT tetapi masih perlu mengonsumsi antipsikotik, sering kali
diberi klozapin, yang belum terbukti menyebabkan atau memperburuk DT (Egan &
Hyde, 2000).
Efek Samping Antikolinergik.
• Efek kolinergik sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik dan meliputi hipotensi ortostatik,
mulut kering, konstipasi, retensi urine atau sulit berkemih, 'rabun dekat, mata kering, fotofobia,
kongesti nasal, dan berkurangnya ingatan. Efek samping ini biasanya berkurang dalam tiga sampai
empat minggu, tetapi tidak sepenuhnya hilang. Klien yang meng- gunakan agens antikolinergik
untuk mengobati GEP mungkin rpengalami masalah yang lebih berat akibat efek samping
antikolinergik, tetapi beberapa nutrisi atau obat yang dijual bebas dapat meredakan gejala
tersebut (lihat di bawah).

• Efek Samping Lain. Antipsikotik, kecuali klozapin, juga menyebabkan kadar prolaktin dalam darah
meningkat. Peningkatan prolaktin dapat menyebabkan pembesaran dan nyeri tekan payudara
pada pria dan wanita, penurunan libido, disfungsi ereksi dan orgasme, ketidakteraturan
menstruasi, dan pening katan risiko kanker payudara.

• Klozapin menimbulkan efek samping tradisional yang lebih sedikit daripada sebagian besar
antipsikotik, tetapi klozapin memiliki efek samping agra- nulositosis yang berpotensi fatal. Efek
samping teijadi secara tiba-tiba dan ditandai oleh demam, malaise, faringitis gangrenosa, dan
leukopenia. Efek samping ini mungkin tidak muncul segera dan dapat terjadi sampai 24 minggu
setelah terapi dimulai. Saat ini, individu yang menggunakan klozapin di Amerika Serikat diambil
sampel darahnya setiap minggu untuk memantau hitung sel darah putih. Mereka harus
menyerahkan hasll pemeriksaan tersebut ke apotek sehingga obat dapat kembali diresepkan. Obat
tersebut harus segera dihentikanjika hitung sel darah putih turun sebesar 50% atau kurang dari
3000 (julien, 1998).
PENYULUHAN KLIEN
• Klien yang menggunakan antipsikotik harus diberi informasi tentang tipe efek samping yang dapat terjadi
dan harus didorong untuk melaporkan efek samping tersebut kepada dokter, bukan menghentikan
pengobatan.
• Perawat harus mengajari klien metode menatalaksana atau menghindari efek samping yang tidak
menyenangkan dan mempertahankan program pengobatan.
• Meminum cairan bebas gula dan memakan permen bebas gula akan mengatasi mulut kering.
• Minuman dan permen berkalori harus dihindari karena keduanya meningkatkan karies gigi meningkatkan
berat badan, dan tidak banyak membantu mengatasi mulut kering. Konstipasi dapat dicegah atau dikurangi
dengan meningkatkan air dan makanan berserat dalam diet dan dengan olahraga. Pelunak feses boleh
digunakan, tetapi laksatif harus dihindari. Penggunaan tabir surya dianjurkan karena fotosensitivitas dapat
menyebabkan klien mudah terbakar.

• Klien harus memantau besarnya rasa kantuk yang mereka rasakan. Mereka harus menghindari mengemudi
dan melakukan aktivitas lain yang berpotensi berbahaya sampai waktu respons dan refleks mereka
menjadi normal.

• Apabila klien lupa minum satu dosis antipsikotik ia dapat meminum dosis obat tersebut hanya jika
terlambat tiga atau empat jam. Apabila terlambat lebih dari empat jam, atau dosis berikutaya sudah harus
diminum, dosis yang terlupa tersebut dapat diabaikan. Klien yang sulit mengingat untuk minum obat harus
didorong menggunakan catatan dosis, ataumenggunakan.kotak pil yangsebelumnya dapat diisi dengan
dosis yang akurat untuk beberapa hari atau minggu
Antidepresan
• Antidepresan terutama digunakan dalam terapi gangguan depresif
mayor, 'gangguan panik dan gangguan ansietas lain, depresi
bipolar, dan depresi psikotik. Walaupun mekanisme keranya tidak
sepenuhnya dipahami, antidepresan berinteraksi dengan dua
neurotransmiter, norepinefrin dan serotonin, yang mengalir mood,
keinginan, perhatian, proses sensori, dan nafsu makan.
• Antidepresan dibagi menjadi empat kelompok:
• Antidepresan trisiklik dan antidepresan siklik terkait
• Inhibitor reuptake serotonin selektif {selective serotonin reuptake
inhibitor, SSRI);
• Inhibitor mono amin oksidase {mono amine oxidase inhibitor,
MAOl)
• Antidepresan lain, misalnya venlafaksin (Effexor), bupropion
(Wellbutrin), trazodon (Desyrel), dan nefazodon (Serzone).
Antidepresan
• Senyawa siklik tersedia pada tahun I950٠an dan selama bertahun-tahun
menrupakan obat pilihan pertama untuk mengatasi depresi walaupun senyawa
tersebut menyebabkan berbagai derajat sedasi, .hipotensi ortostatik (penurunan
tekanan darah ketika.bangkit), dan elek samping antikolinergik. Selain itu,
antidepresansiklik berpotensi letal jika dikonsumsi dalam dosis berlebih.
• Selama periode waktu yang sama, MAOI diketahui memiliki efek positif pada
penderita depresi. Walaupun MAOI memiliki insidensi efek sedasi dan antikolinergik
yang rendah, MAOI harus digunakan dengan kewaspadaan besar untuk beberapa
alasan:
1. Efek samping yang mengancam jiwa, krisis hipertensi, dapat teq'adi )ika klien memakan
makanan yang mengandung tiramin (suatu asam amino) sementara ia mengonsumsi
MAOI.
2. Karena risiko interaksi obat yang berpotensi fatal, MAOI tidak dapat diberikan dalam
kombinasi dengan MAOI lain, antidepresan bisiklik, atau meperidin. (Demerol), depresan
SSP, antihipertensi, atau anestesi umum.
3. MAOI berpotensi letal dalam dosis berlebih dan memiliki risiko potensial untuk penderita
depresi yang mungkin memikirkan bunuh diri.
• SSRI, yang pertama kali tersedia pada tahun 1987 bersama keluarnya fluoksetin
(Prozac), telah mengganti obat siklik sebagai pilihan pertama dalam mengobati
depresi karena keefektifan keduajenis oba، tersebut setara dan efek samping yang
menyulitkan lebih sedikit. SSRI dan klomipramin juga efektif dalam terapi OCD
OBAT YANG DIPILIH UNTUK KLIEN
BERISIKO TINGGI BUNUH DIRI
• Bunuh diri selalu merupakan pertimbangan utama ketika
mengobad penderita depresi. SSRI, venlafaksin, nefazodon,
trazodon, dan bupropion sering kali merupakan piliban yang lebib
baik untuk individu yang berpotensi bunuh diri atau sangat
impulsif karena obat tersebut tida.k berisiko letal akibat overdosis.
Hal ini bertolak belakang dengan senyawa siklik dan MAOI.

• Evaluasi risiko bunuh diri harus dilanjutkan bahkan setelah terapi


dengan antidepresan dimulai. Klien mungkin merasa lebih
bertenaga tetapi mungkin masih memiliki pikiran bunub diri. Hal
ini meningkatkan kemungkinan upaya bunub diri. Karena obat ini
juga sering kali memerlukan wakhr berminggu-minggu unhrk
mencapai efek terapeutik penuh, klien mungkin berkecil hati dan
lelah menunggu unhrk mencapai kondisi yang lebib baik. Hal ini
menyebabkan perilaku bunuh diri.
MEKANISME KERJA
• Mekanisme yang tepat antidepresan menimbulkan efek terapeutik tidak diketabui, tetapi
banyak informasi yang diketahui tentang kerja obat ini pada SSP.

• Interaksi utamanya ialah dengan sistem neurotransmiter monoamin di otak, khususnya


norepinefin dan serotonin. Kedua neurotransmiter ini dilepas di seluruh otak dan membantu
mengatur keinginan, kewaspadaan, perhatian, mood, proses sensori, dan nafsu makan.

• Norepinefrin, serotonin, dan dopamin dikeluarkan dari sinaps setelah dilepas dengan
reuptake ke dalam neuron prasinaptik. Setelab reuptake, tiga neurotransmiter ini
dikumpulkan untuk pelepasan selanjutnya atau dimetabolisme oleh enzim MAO. SSRI
menyekat reuptake serotonin, antidepresan siklik dan venlafaksin terutama menyekat
reuptake norepinefrin dan serotonin sampai derajat tertentu, dan MAOI mengganggu
metabOlfsme enzim.

• Akan tetapi, hal ini bukan penjelasan yang lengkap: penyekatan reuptake serotonin dan
norepinefrin serta inhibisi MAO terjadi dalam hitungan jam, sementara antidepresan jarang
yang efektif sampai empat hingga enam minggu. Diyakini bahwa kerja obat-obatan ini
merupakan suatu “peristiwa awal" dan keefektifan terapeutik akhir terjadi ketika neuron
berespons lebih lambat, yang menyebabkan serotonin tersedia pada sinaps (Hyman, Arana, &
Rosenbaum, 1995).
EFEK SAMPING SSRI
• SSRI relatif memiiiki sedikit efek samping dibandingkan senyawa siklik.
Peningkatan transmisi serotonin dapat menimbulkan beberapa efek
samping umum seperti ansietas, agitasi, akatisia (kegelisahan motorik),
mual, insomnia, dan disfungsi seksual, khususnya penurunan dorongan
seksual atau kesulitan mencapai ereksi atau orgasme. Mual biasanya dapat
diminimalkan dengan mengonsumsi obat bersama makanan. Akatisia
biasanya diobati dengan penyekat beta, seperti propranolol (Inderal), atau
benzodiazepin. Insomnia dapat berlanjut menjadi masalah walaupun obat
dikonsumsi pada pagi hari; hipnotik-sedatif atau trazodon dosis rendah
mungkin diperlukan.
• Efek samping yang kurang umum meliputi sedasi (khususnya pada
penggunaan paroksetin [PaxilJ), berkeringat, diare, tremor tangan, dan
sakit kepala Diare dan sakit kepala biasanya dapat diatasi denganterapi
slmt.matik. Berkeringat dan sedasi yang ber- lanjut paling mnngkin
mengindikasikan kebutuhan untuk mengganti antidepresan lain.
EFEK SAMPING ANTIDEPRESAN SIKLIK
• Senyawa siklik memiliki lebih banyak efek samping daripada SSRI
dan senyawa lain yang lebih barn. Obat individual dalam kalegori
ini bervariasi intensitas efek sampingnya, tetapi umumnya efek
samping berada dalam kategori yang sama. Anti- depresan siklik
menyekat reseptor kolinergik, yang menimbulkan efek
antikolinergik seperti mulut kering, konstipasi, retensi urine atau
sulit berkemih, jalan napas kering, dan rabun dekat. Efek
antikolinergik yang lebih berat dapat te^adi, khususnya pada
lansia, seperti agitasi, delirium, dan ileus. Efek samping umum lain
meliputi hipotensi ortostatik, sedasi, kenaikan berat badan, dan
takikardia. Klien dapat menoleransi efek antikolinergik, tetapi efek
samping ini merupakan alasan umum klien menghentikan terapi
obat. Disfungsi seksual sering kali dilaporkan oleh klien yang
menggunakan senyawa siklik, sama dengan masalah yang dialami
pengguna SSRI.
EFEK SAMPING MAOI
• Efek samping MAOI yang paling sering muncul meliputi sedasi
pada siang hari, insomnia, kenaikan berat badan, mulut kering,
hipotensi ortostatik, dan disfungsi seksual. Sedasi dan insomnia
sulit diobati dan mungkin memerlukan penggantian obat.
• Masalah khusus pada penggunaan MAOI ialah potensi krisis
hipertensi yang mengancam jiwa jika klien mengonsumsi makanan
yang mengandung tiramin atau mengonsumsi obat
simpatomimetik. Gejala krisis ini ialah hipertensi berat,
hiperpireksia, takikardia, diaforesis, tremor, dan aritmia jantung.
• Obat-obatan yang dapat menyebabkan interaksi yang berpotensi
fatal dengan MAOI meliputi SSRI, senyawa siklik tertentu, buspiron
(BuSpar), dekstrometorfan, dan derivat opiat seperti meperidin.
• Klien harus mampu mematuhi diet bebas tiramin; Kotak 2-1
memuat daftar makanan yang harus dihindari.
INTERAKSI OBAT
• Interaksi obat yang tidak umum tetapi berpotensi serius
yang disebut sindrom .serotonin atau sindrom serotonergik
dapat terjadi akibat menggunakan MAOI dan SSRI pada saat
bersamaan.
• Hal ini juga dapat terjadi jika salah satu obat tersebut
dikonsumsi terlalu dekat dengan akhir terapi obat yang lain.
Dengan kata lain, suatu obat harus keluar dari sistem
individu sebelum terapi obat yang la.in dimulai.
• Gejala meliputi agitasi, berkeringat, demam, takikardia,
hipotensi, kekakuan, hiperrefleksia, dan bahkan pada reaksi
yang ekstrem terjadi koma dan kematian (Stembach, 1991).
• Gejala ini sama dengan gejala yang terjadi pada overdosis
SSRI.
EFEK SAMPING ANTIDEPRESAN LAIN
• Antidepresan lain atau yang baru, nefazodon, trazodon, dan
mirtazapin (Remeron) umumnya menyebabkan sedasi. Baik
nefazodon maupun trazodon umumnya menyebabkan sakit
kepala. Nefazodon juga dapat menyebabkan mulut kering
dan mual.
• Bupropion dan venlafaksin dapat menyebabkan nafsu
makan hilang, mual, agitasi, dan insomnia. Venlafaksin juga
dapat menyebabkan pusing, berkeringat, atau sedasi.
Disfungsi seksual lebih jarang terjadi pada penggunaan
antidepresan baru, dengan satu pengecualian yang perlu
diperhatikan: trazodon dapat menyebabkan priapisme
(ereksi yang nyeri dan terus-menerus, yang memerlukan
terapi segera dan penghentian obat). Priapisme juga dapat
menyebabkan impotensi.
Obat Penstabil Mood
• Obat penstabil mood digunakan untuk mengobati gangguan
afektif bipolar dengan menstabilkan mood klien,
menghindari atau meminimalkan tinggi rendah mood yang
mencirikan gangguan bipolar, dan mengobati episode akut
mania.
• Litium adalah penstabil mood yang paling baik; beberapa
antikonvulsan, terutama karbamazepin (Tegretol) dan asam
valproat (Depakote, Depakene), merupakan penstabil mood
yang efektif.
• Antikonvulsan lain, seperti gabapentin (Neurontin) dan
lamotrigin (Lamictal), digunakan berdasarkan percobaan
untuk stabilisasi mood. Kadang kala, klonazepam (Klonopin)
Juga dimakan untuk mengobati mania akut. Klonazepam
tercakup dalam diskusi tentang agens antiansietas.
MEKANISME KERJA
• Walanpun litium memiliki banyak efek neurobiologi,
mekanisme kerja yang menghasilkan efek terapeutik pada
gangguan bipolar sedikit dipahami.
• Litium menormalkan reuptake neurotransmiter tertentu,
seperti serotonin, norepinefrin, asetilkolin, dan dopamin.
• Litium juga mengurangi pelepasan norepinefrin melalui
kompetisi dengan kalsium.
• Litium menimbulkan efeknya di dalam sel, bukan di dalam
sbraps neuron, dengan bekerja secara langsung pada
protein G dan subsistem enzim tertentu, seperti adenosin
monofosfat siklik dan fosfatidilinositol (Hyman, Arana, &
Rosenbaum, 1995).
PENYULUHAN KLIEN
• Untuk klien yang mengonsumsi litium dan anti-
konvulsan, penting untuk memantau kadar darah
secara periodik.
• Waktu pemberian dosis terakhir harus akurat
sehingga kadar plasma dapat diperiksa 12 jam
setelah pemberian dosis terakhir.
• Mengonsums obat-obatan tersebut bersama
makanan akan meminimalkan mual.
• Mengemudi lidak boleh dilakukan sampai letargi,
pusing, keletihan, atau penglihatan kabur
berkurang (Julien, .1998).
Anti Ansietas (Ansiolifik)
• Antiansietas atau obat ansiolitik, digunakan untuk mengobati ansietas dan gangguan
ansietas, insomnia OCD, depresi, gangguan stres pascatrauma, dan putus alkohol.
• Antiansietas merupakan salah satu obat yang paling banyak diresepkan saat ini.
• Berbagai obat dari klasifikasi yang berbeda telah dimakan dalam terapi ansietas dan
insomnia.
• Benzodiazepin terbukti mempakan obat yang paling efektif dalam mengurangi
ansietas dan merupakan obat yang paling sering diresepkan.
• Benzodiazepin juga dapat diresepkan karena memiliki efek antikonvulsan dan
relaksan otot.
• Buspiron merupakan golongan nonbenzodiazepin yang sering digunakan untuk
mengurangi ansietas sehingga obat tersebut dibahas dalam''bagian ini.

• Obat lain yang dapat digunakan untuk mengurangi ansietas seperti propranolol,
klonidin (Catapres), atau hidroksizin (Vistaril) sangat kurang efektif dan tidak dibahas
dalam bagian ini.
MEKANlSME KERJA
• Benzodiazepin memperantarai keija asam amino GABA, neurofransmiter inhibisi utama di otak.
Karena saluran reseptor GABA dengan selektif memasukkan anion klorida ke dalam neuron,
aktivasi reseptor GABA menghiperpolarisasi neuron sehingga terjadi inhibisi.
• Benzodiazepin menimbulkan efeknya dengan terikat ke tempat khusus di reseptor GABA. Buspiron
dipercaya menimbulkan efek ansiolitiknya dengan- bekerja sebagai agonis parsial di reseptor
serotonin sehingga mengurangi pergantian serotonin (Hyman, Arana, & Rosenbaum, 1995).
• Waktu paruh benzodiazepin bervariasi, yakni cara benzodiazepin dimetabolisme dan
keefektifannya dalam mengobati ansietas dan insomnia.
• Frekuensi pemberian dosis obat dengan waktu paruh yang lebih panjang perlu dikurangi dan obat
ini menghasilkan efek re- bound yang lebih sedikit di antara pemberian dosis obat. Akan tetapi,
obat tersebut dapat berakumulasi di dalam tubuh dan menghasilkan efek "sedasi pada hari
berikutnya." Sebaliknya, obat yang rnemiliki waktu paruh yang lebih pendsk tidak berakumulasi di
dalam tubuh atau menyebabkan sedasi pada hari berikutnya, tetapi obat tersebut memang
memiliki efek rebound dan frekuensi pemberiannya perlu diting katkan.
• Temazepam (Restoril), triazolam (Halcion), dan flurazepam (Dalmane) merupakan obat yang paling
sering diresepkan unhrk tidur, bukan untuk mengurangi ansietas. Diazepam (Valium),
klordiazepoksid (Librium), dan klonazepam sering kali digunakan unhrk mengatasi putus alkohol,
juga diresepkan untuk mengurangi ansietas.
EFEK SAMPING
• Walaupun bukan efek samping dalam arti sebenar- nya, salah satu masalah utama yang ditemukan
pada penggunaan benzodiazepin ialah kecenderungan obat tersebut untuk menyebabkan
ketergantungan fisik. Apabila pemberian obat dihentikan, muncul gejala putus obat yang
signifikan. Gejala ini, sering kali menyerupai gejala awal yang menjadi alasan klien mencari terapi.
Hal ini terutama meirjadi masalah pada klien yang menggunakan benzodia- zepin dalam J'angka
panjang, misalnya penderita ganggan panik atau gangguan ansietas umum. Ketergantungan
psikologis pada benzodiazepin biasa te^adi: klien takut gejala ansietasnya muncul kembali atau
yakin bahwa diri mereka tidak mampu mengatasi ansietas tanpa obat. Hal ini dapat menyebabkan
penggunaan berlebihan atau penyalahguna- an obat tersebut. Buspiron tidak menyebabkan tipe
keterganhrngan fisik ini.

• Efek samping yang palingsering dilaporkan pada penggunaan benzodiazepin ialah efek samping
depresi SSP, seperti mengantuk, sedasi, koordinasi yang buruk, dan gangguan memori atau
gangguan sensorium. Apabila digunakan untuk tidur, klien dapat mengeluh sedasi pada hari
berikutoya atau efek rasa sakit pada pagi hari ketika bangun (hang- over). Klien sering menoleransi
gejala tersebut dan biasanya intensitas gejala berkurang. Efek samping umum penggunaan
buspiron meliputi pusing, sedasi, mual, dan sakit kepala (Hyman, Arana, & Rosenbaum, 1995).

• Klien lansia .mengalami lebih.banyak kesulitan mengatasi efek "depresi SSP. Mereka lebih rentan
jatuh akibat efek pada koordinasi dan sedasi. Mereka )riga mengalami defisit ffiemori yang lebih
berat dan masalah inkontinensia urine, terutama pada malam hari.
PENYULUHAN KLIEN
• Penting bagi kiien untuk mengetahui bahwa agens antiansietas
ditujukan untuk mengurangi gejala, seperti ansietas atau
insomnia, tetapi tidak mengobati penyebab dasar ansietas.
Benzodiazepin menguatkan efek alkohol: satu kali minum memiliki
efek tiga kali minum. Oleh karena itu, klien tidak boleh minum
alkohol ketika mengonsumsi benzo- diazepin. Klien harus
menyadari Penurunan waktu respons, refleks lebih lambat,. dan
kemungkinan efek sedatif obat ini ketika melakukan aktivitas
seperti mengemudi atauberangkat keija.
• Berhenti menggunakan benzodiazepin dapat berakibat fatal:
setelah suahi terapi mulai diberikan, benzodiazepin janganpernah
dilrentikan secara tiba- tiba atau tanpa supervisi dokter ‫؛‬Julien,
1998).
• Penyuluhan Klien unhik Penatalaksanaan Peng- obatan: Ansiolitik
meringkas poin-poin penyuluhan klien.
STIMULAN
• Obat stimulan, khususnya amfetamin, pertanaa kali digunakan dalam mengobati gangguan
psikiatri pada tahun I930_an karena efek nyata shmulasi SSP. Di masa lalu, obat ini digunakan
unhrk mengatasi depresi dan obesitas, tetapi penggunaan obat tersebut hdak umum dalam
praktik saat ini. Dekshoamfe- tamin (Dexedrine) telah disalahgunakan secara luas untuk
menimbulkan rasa melayang ( high ) atau untuk tetap terjaga selama periode waktu yang lama.
Saat ini, penggunaan utama stimulan ialah untuk mengatasl gangguan hiperaktivitas/defisit
perhatian attention disorder, MB') pada anak-anak dan remaja, ganger an defislt perhatian sisa
pada dewasa, dan narkolepsi (serangan rasa kanhrk pada siang hari yang tidak diinginkan, tetapi
tldak dapat diatasi, yang mengganggu kehi- dupan individu).

• Obat-obatan utama yang digunakan untuk meng- atasi ADHD ialah stimulan SSP metilfenidat
(Ritalin), pemolin (Cylert), dan dekstroamfetamin. Di antara obat-obatan ini, metilfenidat
merupakan 90% obat yang diberikan kepada anak-anak pen- derita ADHD .ulien, 1998). Sekitar
10% sampai 50% penderita ADHD tidak berespons dengan adekuat terhadap obat-obatan stimulan
dan dianggap resisten terhadap pengobatan. Individu ini diobati dengan antidepresan. Nortriptilin
(Pamelor) mem- berikan hasil yang paling baik: sekitar 76% individu yang diselidiki, melaporkan
respons yang positif. Fluoksetin dan bupropion tidak seefektif nortriptilin atau obat-obatan
stimulan (Julien, 1998).
MEKANISME KERJA
• Amfetamin dan metilfenidat secara tidak langsung sering disebut
amina aktif karena obat tersebut bekerja dengan melepaskan
neurotransmiter (norepinefrin, dopamin, dan serotonin) dari
terminal saraf.pra- sinaptik, kebalikan dari efek agonis langsung
pada reseptor pascasinaptik. Obat tersebutjuga menyekat
reuptake neurofransmiter ini.

• Metilfenidat menimbulkan stmulasi yang lebih ringan daripada


amfetamin; pemolin terutama memengaruhi dopamin sehingga
kurang berefek pada sistem saraf simpatis.
Sebelumnyadidugabahwa penggunaanmetilfenidat dan pemolin
unhik mengobati ADHD, pada anak- anak menimbulkan efek
kebalikan sebagian besar stimulan—aktivitas otak menurun atau
melambat. Akan tetapi, yang tejadi tidak demikian: stimulan tidak
menimbulkan efek penurunan aktivitas otak pada anak-anak yang
tidak menderita ADHD.
DOSIS
• Untuk terapi narkolepsi pada orang dewasa, baik
dekstroamfetamin maupun metilfenidat diberikan dalam dosis
yang terbagi dengan total 20 sampai 200 mg/hari. Dosis yang lebih
tinggi dibutuhkan karena penderita- narkolepsi dewasa
menoleransi stimulan sehingga memerlukan lebih banyak obat
untuk mendukung penyembuhan. Toleransi tidak teijadi pada
penderita ADHD.

• Dosis yang digunakan untuk mengobati ADHD pada anak-anak


sangat bervariasi, bergantung pada dokter; usia, berat badan, dan
perilaku anak; dan toleransi keluarga terhadap perilaku anak.
Tabel 2-7 memuat daftar rentang dosis stimulan yang biasa
digunakan. Rencana harus dibuat agar perawat sekolah atau
individu dewasa yang berwenang lain- nya memberikan stimulan
kepada anak di sekolah.
EFEK SAMPING
• Efek samping stimulan yang paling umum teijadi adalah
anoreksia,' penurunan berat badan, mual, dan iritabiiitas.
Kafein, gula, dan cokelat hanrs dihmdari karena zat tersebut
dapat memperburuk gejala- gejala ini. Efek samping yang
lebih jarang teijadi meliputi pusing, mulut kering,
penglihatan kabur, dan palpitasi. Masalah jangka panjang
yang paling umum muncul akibat penggunaan stimulan
ialah supresi pertumbuhan dan berat badan yang teijadi
pada beberapa anak, Hal ini biasanya dapat dicegah dengan
melakukan "libur obat" pada akhir minggu, hari libur, atau
selama liburan musim panas, yang membantu
mengembalikan pola makan dan pola pertumbuhan
n'ormal.
PENYULUHAN KLIEN
• Potensi penyalahgunaan menyertai penggunaan stimulan,
tetapi hal ini jarang menjadi masalah pada anak-anak.

• Mengonsumsi dosis stimulan setelab makan dapat


meminimalkan anoreksia dan mual. Minuman bebas kafein
dianjurkan; cokelat dan gula berlebihan harus dihindari.

• Hal yang paling penting ialah menyimpan obat jauh dari


jangkauan anak karena suplai untuk 10 hari saja dapat
berakibat fatal. Penyuluhan Klien dan Keluarga untuk
Penatalak- sanaan Pengobatan: Stimulan meringkas
poin-poin penyuluhan unhrk klien dan keluarga.
Disulfiram (Antabuse)
• Disulfiram ialah agens sensitisasi yang menyebabkan reaksi merugikan ketika.dicampur dengan
alkohol di dalam tubuh. Satu-sahmya manfaat agens ini ialah mencegah individu minum alkohol
ketika ia mendapat terapi alkoholisme. 'Agens ini bermanfaat bagi individu yang termorivasi, untuk
berhenti minum dan tidak impulsif. Lima sampai sepuluh menit setelah seseorang yang
mengonsumsi disulfiram minum akohol, gejala muiai muncul: wajah dan tubuh kemerahan akibat
vasodilatasi, sakit kepala berdenyut, berkeringat, mulut kering, mual, muntah, pusing, dan
kelemahan. Pada kasus yang berat, te^adi nyeri dada, dispnea, hipotensi berat, kebingungan.dan
bahkan kematian. Gejala berkembang dengan cepat dan berlangsung 30 menit sampai dua jam.
Karena disulfiram dimetabolisme oleh hat'i, agens ini beke^a paling efektif pada individu yang
kadar enzim hatinya dalam atau mendekati rentang normal.

• Disulfiram menghamlaat enzim aldehid dehidro- genase yang terlibat dalam metabolisme etanol.
Kadar asetaldehid kemudian meningkat5 sampai 10 kali lebih tinggi dari normal, yang
menyebabkan reaksi disulfiram-alkohol. Reaksi ini menguat akibat penurun- an kadar epinefrin
dan norepinefrin pada sistem sarat simpatis yang disebabkan oleh inhibisi dopamin beta-
hidroksilase (Hyman, Arana, & Rosenbaum, 1995).

Penkes
• Pendidikan sangat penting untuk klien yang menggunakan
disulfiram. Banyak produk umum, misalnya krim cukur, losion
setelali bercukur, kolonye, dan deodoran, serta obat-obatan yang
dijual bebas seperti obat batuk mengandung alkohol; ketika
digunakan oleh klien yang mengonsumsi disulfiram, produk
tersebut dapat menimbulkan reaksi yang sama seperti minum
alkohol. Klien harus membaca label produk dengan cermat dan
memilih produk yang tida.k mengandung alkohol.
• Efek samping lain yang dilaporkan oleh individu yang
mengonsumsi disulfiram meliputi keletihan, mengantuk, halitosis,
tremor, atau impotensi. Obat ini juga dapat mengganggu
metabolisme obat lain yang dikonsumsi klien, .seperti fenitoin
(Dilantin), isorUazid .(INH), warfarin (Coumadin), barbiturat, dan
•benzodiazepin kerja lambat seperti diazepam dan
klordiazepoksid.

Anda mungkin juga menyukai