Anda di halaman 1dari 48

BIOTEKNOLOGI KEDOKTERAN

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas matakuliah Pengantar Bioteknologi

Oleh :
Alvin Noerin Rahayu
Ika Oktaviana
Khairul Umam A.

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Februari 2013

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Kata Pengantar

Abad ke 21 saat ini sering disebut abad bioteknologi dan biomolekuler. Seiring
dengan berkembangnya ilmu pengetahun dan teknologi memudahkan manusia dalam
berkreativitas dalam berbagai hal, tak terkecuali pada bidang kajian biologi.
Penerapan prinsip-prinsip biologi dalam bioteknologi dalam aplikasinya diharapkan
dapat memecahkan berbagai masalah berkaitan dengan kesejahteraan manusia.
Bioteknologi saat ini memang dirasakan membawa dampak diberbagai bidang
kehidupan manusia. Manfaat bioteknologi dapat dirasakan dalam berbagai bidang
saat ini, dimulai dari bidang pertanian, pertambangan, pengolahan limbah, sosial
budaya, dan masih banyak lagi.
Tidak hanya memberikan manfaat dari segi pragmatis saja namun mampu
memberikan solusi pada manusia dalam membrikan pelayanan jasa kesehatan demi
kehidupan yang lebih berkualitas. Apabila dalam bidang farmasi, agen biologi
digunakan sebagai “bahan baku” penghasil produk farmasi, maka lain halnya di
bidang kedokteran yang memposisikan agen biologis tersebut sebagai “pelaksana”
dalam kegiatan pengobatan. jasa “agen” biologis dimanfaatkan dengan manipulasi
sedemikian rupa sehingga mampu mendukung proses pengobatan yang lebih baik
dan efisien. Tidak salah jika diramalkan bahwa era biologi akan mengantikan
kepopuleran era fisika dan kimia, mengetahui berbagai manfaat yang dapat diberikan
oleh bioteknologi saat ini dalam menjawab berbagai permasalahan di era globalisasi
saat ini.
Untuk itu baik bagi kami untuk memberikan sedikit ulasan mengenai
pemanfaatan bioteknologi dalam bidang kedokteran melalui makalah kami yang jauh
dari kesempurnaan ini. Adapun hal-hal yang kami ulas sebagai batasan pada makalah
kami meliputi sejarah pengertian bioteknologi kedokteran, sejarah serta beberapa
contoh aplikasinya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Bioteknologi Kedokteran

Tahun 2011 menjadi penanda satu decade dimulaimya human genome


project (HGP) pasca diumumkannya hasil HGP pada 2001 silam. Inilah dekade post-
genome: sebuah era ketika informasi urutan gen dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan manusia, mulai dari kesehatan, pangan hingga energi. Dan pada era ini
pula, gelombang bioteknologi berkembang jauh lebih maju daripada sekedar
memanfaatkan, misalnya, mikroorganisme untuk proses fermentasi (sebagaimana
pemahaman bioteknologi secara populer selama ini, yaitu penerapan teknik-teknik
yang sesuai untuk mendayagunakan organisme dalam rangka memperoleh hasil yang
diinginkan). Mari kita ingat kembali perkembangan bioteknologi dari awal hingga
saat ini. Gelombang bioteknologi:
Pra-Pasteur.
Gelombang pertama bioteknologi ditandai dengan praktik bioteknologi yang
paling sederhana, yaitu pemanfaatan berbagai jenis mikroorganisme (bakteri, kapang,
khamir) untuk pengawetan dan/atau pembuatan makanan atau minuman lewat proses
fermentasi. Gelombang ini dikenal dengan nama pra-Pasteur. Produk-produk dari era
ini sudah sangat populer di masyarakat, mulai dari sake (arak Jepang), bir, anggur,
keju, yoghurt, atau berbagai jenis makanan tradisional di Indonesia (tempe, oncom
kecap). Dalam gelombang ini pula, mikroorganisme dimanfaatkan untuk
menghasilkan produk-produk metabolit sekunder (aseton, butanol, asam sitrat)
termasuk juga biomassa.
Era Antibiotika
Tahun 1929, Sir Alexander Fleming (1881–1955), ahli biologi dan
farmakologi Skotlandia, berhasil memanfaatkan mikroorganisme untuk membuat
antibiotika, penisilin. Ini merupakan dorongan bagi bioteknologi untuk melompat ke
titik yang baru. Antibiotika ini memasuki dunia industri pada 1944. Gelombang ini
dikenal dengan nama era antibiotika. Sampai sekarang, bioteknologi dijadikan „alat‟

2
untuk mengeksplorasi dan memproduksi berbagai jenis antibiotika dari banyak
organisme, selain juga komponen lainnya seperti vitamin dan asam organik.

Era Rekayasa Genetika


Pada 1970-an, perkembangan bioteknologi semakin pesat dengan adanya
pengembangan teknik manipulasi urutan gen untuk memperbaiki sifat organisme.
Inilah era rekayasa genetika. Sejatinya, manipulasi yang dilakukan masih sebatas
teknik DNA (deoxyribo nucleic acid) rekombinan, dimana gen asing dimasukkan ke
dalam suatu organisme sehingga ia mampu mengekspresikan gen tersebut. Teknik ini
menghasilkan produk yang terkenal, yaitu insulin yang diproduksi lewat bakteri pada
1984. Pada era ini pula, organisme transgenik (genetically modified organism) mulai
dimanfaatkan, baik untuk keperluan farmasi maupun keperluan pemuliaan (breeding)
tanaman atau hewan. Selain itu, teknik ini juga menghasilkan produk-produk farmasi
kedokteran, misalnya interferon, hormon, dan vaksin.

Era Rekayasa Protein


Gelombang bioteknologi yang ke-4 ditandai dengan perekayasaan struktur
enzim atau protein lewat teknik rekayasa protein (protein engineering). Teknik
rekayasa ini tidak lepas dari peranan enzim sebagai biokatalis yang banyak
dimanfaatkan di industri-industri bioteknologi. Di dunia farmasi, teknik ini
dimanfaatkan untuk memecahkan mekanisme katalisis yang berkaitan dengan
penyakit pada manusia. Hasilnya kemudian dimanfaatkan untuk merancang obat-
obatan yang penting bagi manusia. Pada era ini pula, bioteknologi dikawinkan
dengan teknik analisis lain, misalnya X-ray crystallography (fisika), Nuclear
Magnetic Resonance/NMR(kimia), dan informatika dan komputasi (bioinformatika).
Sejumlah besar obat-obatan berbasis bioteknologi kini tersedia untuk mengobati
penyakit. Sebagai contoh, insulin yang dalam dunia kedokteran digunakan untuk
mengobati penyakit diabetes, antibiotik untuk mengobati berbagai penyakit infeksi,
dan masih banyak lagi.

3
B. Aplikasi Bioteknologi Pada Bidang Kedokteran
Bioteknologi bak mesin ajaib, yang mampu melakukan berbagai proses
penting dalam dunia industri dibeberapa bidang antara lain kesehatan, pangan,
pertanian, industri lainnya serta lingkungan. Di bidang kesehatan, penerapan
bioteknologi menghasilkan produk-produk penting berupa senyawa-senyawa yang
mempunyai fungsi terapeutik seperti antibiotik, vaksin, hormon, kit diagnostika atau
memperbaiki gen rusak/tidak fungsional (terapi gen), steam cell dan produk
kesehatan lainnya. Oleh karena itu, dalam makalah ini dibahas mengenai beberapa
produk kedokteran hasil bioteknologi dan penerapannya di dunia kesehatan:
1. Pembuatan Antibiotik
Antibiotik adalah produk metabolisme yang dihasilkan oleh mikroorganisme
tertentu yang mempunyai sifat menghambat pertumbuhan atau merusak
mikroorganisme lain. Antibiotik pertama yang digunakan untuk mengobati penyakit
pada manusia adalah tirotrisin. Antibiotik ini diisolasi dari bakteri Bacillus brevis
(suatu bakteri tanah) oleh Rene Dubois. Penelitian tentang antibiotik pertama kali
dilakukan oleh A. Gratia dan S. Dath pada tahun 1924. Dari hasil penelitian ini
dihasilkan Actinomisetin dari Actinomycetes.
Pada tahun 1928 Alexander flemming menemukan antibiotik penisilin dari
jamur Penicillium notatum. Antibiotik ini mampu menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus. Beberapa jenis mikroorganisme dan antibiotik yang
dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 1.1. dibawah ini.
Tabel 1.1. Beberapa jenis mikroorganisme dan antibiotik yang dihasilkan

Antibiotik digunakan untuk melawan berbagai infeksi mikroorganisme


patogen. Mikroorganisme patogen adalah mikroorganisme yang menyebabkan

4
penyakit. Antibiotik dibuat dengan cara tertentu. Tahap-tahap pembuatan antibiotik
adalah sebagai berikut.
1. Mikroorganisme penghasil antibiotik dikembangbiakkan
2. Mikroorganisme dipindahkan ke dalam bejana fermentasi yang berisi media
cair. Pada bejana fermentasi ini mikroorganisme dipacu untuk berkembang
biak dengan cepat.
3. Dari cairan biakan mikroorganisme tersebut, antibiotik diekstraksi dan
dimurnikan, kemudian dilakukan pengujian pertama kali dengan cara diuji di
dalam laboratorium menggunakan cawan petri, apakah antibiotik tersebut
dapat mematikan kuman atau tidak. Kedua, antibiotik diujikan pada hewan
percobaan. Ketiga, apabila hasil pengujian pada hewan percobaan ternyata
aman, maka antibiotik ini dapat diujikan pada sekelompok orang dengan
pengawasan ketat dari para ahli.

2. Pembuatan Insulin
Insulin adalah protein yang berperan untuk mengontrol metabolisme gula
dalam tubuh manusia. Apabila tubuh seseorang tidak mampu membentuk insulin
dalam jumlah yang dibutuhkan maka akan menderita diabetes. Perkembangan
bioteknologi telah berhasil membuat insulin manusia secara cepat dengan
memanfaatkan sel bakteri melalui teknik rekombinasi gen.
Berikut penjelasan gambar tahap rekayasa genetika pada bakteria guna
menghasilkan hormon insulin yang penting untuk pengendalian gula darah pada
penderita diabetes. Adapun tahap-tahap dihasilkannya insulin adalah sebagai berikut:
1. Tahap pertama dalam membuat bakteria yang bisa menghasilkan insulin adalah
dengan mengisolasi plasmid pada bakteri tersebut yang akan direkayasa. Plasmid
adalah materi genetik berupa DNA yang terdapat pada bakteria namun tidak
tergantung pada kromosom karena tidak berada di dalam kromosom.
2. Kemudian plasmid tersebut dipotong dengan menggunakan enzim di tempat
tertentu sebagai calon tempat gen baru yang nantinya dapat membuat insulin.
3. Gen yang dapat mengatur sekresi (pembuatan) insulin diambil dari kromosom
yang berasal dari sel manusia.

5
4. Gen yang telah dipotong dari kromosom sel manusia itu kemudian „direkatkan‟
di plasmid tadi tepatnya di tempat bolong yang tersedia setelah dipotong tadi.
5. Plasmid yang sudah disisipi gen manusia itu kemudian dimasukkan kembali ke
dalam bakteria.
6. Bakteria yang telah mengandung gen manusia itu selanjutnya berkembang biak
dan menghasilkan insulin yang dibutuhkan. Dengan begitu diharapkan insulin
dapat diproduksi dalam jumlah yang tidak terbatas dalam skala industri.
3. Pembuatan Vaksin
Vaksin digunakan untuk melindungi atau mencegah tubuh dari serangan
penyakit. Secara konvensional vaksin dibuat dari mikroorganisme (bakteri atau
virus) yang dilemahkan atau toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut.
Akan tetapi vaksin yang dihasilkan kurang aman dan dapat menimbulkan efek yang
merugikan, misalnya:
a. Mikroorganisme yang digunakan untuk membuat vaksin kemungkinan masih
melanjutkan proses reproduksi
b. Mikroorganisme yang digunakan untuk membuat vaksin kemungkinan masih
memiliki kemampuan menyebabkan penyakit
c. Ada sebagian orang yang alergi terhadap sisa-sisa sel dari produksi vaksin
meskipun sudah dilakukan proses pemurnian
Perkembangan bioteknologi yang semakin pesat dapat mengurangi berbagai
resiko yang tidak diinginkan tersebut. Vaksin dibuat secara bioteknologi melalui
teknik rekayasa genetika, yaitu dengan menyisipkan gen-gen penghasil antibodi ke
dalam DNA mikroorganisme. Keuntungan lain pembuatan vaksin dengan rekayasa
genetika selain lebih aman, juga dapat diproduksi dalam jumlah besar. Dengan kata
lain vaksin secara konvensional adalah pelemahan kuman yang dilakukan dengan
pemanasan atau pemberian bahan kimia. Dengan bioteknologi dilakukan fusi atau
transplantasi gen.

6
Gambar 1. Proses pembuatan vaksin dalam skala industri
Contoh vaksin antara lain vaksin poliomielitis, cacar air, rabies, rubella, dan
gondong. Proses pembuatan vaksin-vaksin tersebut adalah dengan cara
menumbuhkan virus di dalam kultur sel, seperti sel embrio ayam atau ginjal monyet.
Kemudian virus-virus tersebut diekstraksi dengan penyaringan. Hasil ekstraksi
digunakan untuk mematikan virus tersebut. Selanjutnya vaksin tersebut dapat
dilemahkan dan disimpan pada suhu rendah dan dapat digunakan jika diperlukan.
Apabila vaksin disuntikkan ke dalam tubuh seseorang, maka memungkinkan tubuh
membangun sistem kekebalan tubuh dengan membentuk antibodi.

7
Gambar 2. Tahapan sintesis vaksin yang direkayasa secara genetika

4. Pengembangan Sel Punca (Stem Cell)


Tepat seabad lalu, tahun 1908, istilah “stem cell” pertama kali diusulkan ahli
histologi Rusia, Alexander Maksimov pada kongres hematologi di Berlin. Ia
mempostulatkan adanya sel induk yang membentuk sel-sel darah (haematopoietic
stem cells). Tahun 1978, terbukti teori ini betul dengan ditemukannya sel-sel punca
didaerah sumsum tulang belakang manusia. Perkembangan riset sel punca melaju
cepat dalam 10 tahun terakhir. Tahun 1998, James Thomson berhasil membiakkan
untuk pertama kali sel-sel punca embrionik manusia di Universitas Wisconsin-
Madison. Pada Oktober 2007, Mario Capecchi, Martin Evans, dan Oliver Smithies
memperoleh hadiah Nobel Kedokteran untuk riset mereka mengubah gen-gen
tertentu pada mencit menggunakan sel punca embrionik hewan ini. November 2007
dua ilmuwan Jepang, Shinya Yamanaka dan Kazutoshi Takahashi, serta James
Thomson secara terpisah mengumumkan keberhasilan mereka menciptakan aneka
jenis sel somatik dari sel punca hasil reprogram sel somatik (induced pluripotent
cells) yang berasal dari sel-sel kulit manusia.

8
Temuan ini merupakan kesempatan untuk terapi regeneratif tanpa dibebani
persoalan etik karena tidak memanfaatkan sel-sel punca dari pembiakan embrio. Di
dalam tubuh manusia dan hewan pada umumnya terdapat dua jenis sel, yaitu sel
somatik (tubuh) dan sel seksual (sperma dan sel telur). Dalam perkembangannya ada
lebih dari 200 jenis sel manusia yang berbeda, misalnya sel saraf, kulit, darah, ginjal,
hati, otot, jantung, usus hingga tulang. Setiap jenis sel pada tubuh manusia ini dapat
dirunut balik dari sel telur yang difertilisasi oleh sel sperma membentuk morilla dan
dalam lima hari menjadi blástula, yang kemudian membentuk sekumpulan sel punca.
Selain sel-sel punca embrionik, ada sel-sel punca dewasa yang ditemukan di jaringan
otak, mata, darah, hati, sumsum tulang, otot, dan kulit. Jadi definisi sel punca adalah
sebuah sel tunggal yang dapat bereplikasi sendiri menjadi sel serupa atau
berdiferensiasi menjadi aneka jenis sel yang sama sekali berbeda (pluripoten).
Karena sifat-sifatnya inilah maka sel punca diyakini dapat digunakan untuk
meregenerasi sel-sel tubuh manusia yang rusak. Misalnya memperbaiki bagian
jaringan jantung yang mati pada pasien serangan jantung, atau menumbuhkan
jaringan otak/saraf dan pembuluh darah baru pada pasien stroke sehingga yang
tadinya lumpuh dapat berjalan lagi. Diyakini pula sel punca dapat meregenerasi
organ ginjal yang rusak, mengganti kulit pada pasien luka bakar, menyembuhkan
pasien diabetes dan komplikasinya, Parkinson dan Alzheimer, artritis, cedera tulang
belakang, dan sebgainya. Sel Punca atau stem cell adalah sel yang tidak/belum
terspesialisasi dan mempunyai kemampuan/potensi untuk berkembang menjadi
berbagai jenis sel-sel yang spesifik yang membentuk berbagai jaringan tubuh.

Gambar 3. Sifat/karakter sel punca yaitu differentiate dan self regenerate/renew

9
Sel Punca mempunyai 2 sifat yang khas yaitu
 Differentiate yaitu kemampuan untuk berdifferensiasi menjadi sel lain. Sel
Punca mampu berkembang menjadi berbagai jenis sel yang khas (spesifik)
misalnya sel saraf, sel otot jantung, sel otot rangka, sel pankreas dan lain-lain.
 Self regenerate/self renew yaitu kemampuan tuk memperbaharui atau
meregenerasi dirinya sendiri. Stem cells mampu membuat salinan sel yang
persis sama dengan dirinya melalui pembelahan sel.
Berdasarkan pada kemampuannya untuk berdifferensiasi sel punca
dikelompokkan menjadi:
1. Totipoten yaitu sel punca yang dapat berdifferensiasi menjadi semua jenis sel.
Yang termasuk dalam sel punca totipoten adalah zigot dan morula. Sel-sel ini
merupakan sel embrionik awal yang mempunyai kemampuan untuk
membentuk berbagai jenis sel termasuk sel-sel yang menyusun plasenta dan
tali pusat. Karenanya sel punca kelompok ini mempunyai kemampuan untuk
membentuk satu individu yang utuh.

Gambar 4. Sel Punca totipoten dan pluripoten


2. Pluripoten yaitu sel punca yang dapat berdifferensiasi menjadi 3 lapisan
germinal (ektoderm, mesoderm, dan endoderm) tetapi tidak dapat menjadi
jaringan ekstraembrionik seperti plasenta dan tali pusat. Yang termasuk sel
punca pluripoten adalah sel punca embrionik (embryonic stem cells).

10
3. Multipoten yaitu sel punca yang dapat berdifferensiasi menjadi berbagai jenis
sel misalnya sel punca hemopoetik (hemopoetic stem cells) yang terdapat
pada sumsum tulang yang mempunyai kemampuan untuk berdifferensiasi
menjadi berbagai jenis sel yang terdapat di dalam darah seperti eritrosit,
lekosit dan trombosit. Contoh lain adalah sel punca saraf (neural stem cells)
yang mempunyai kemampuan berdifferensiasi menjadi sel saraf dan sel glia.
4. Unipotent yaitu sel punca yang hanya dapat berdifferensiasi menjadi 1 jenis
sel. Berbeda dengan non sel punca, sel punca mempunyai sifat masih dapat
memperbaharui atau meregenerasi diri (self-regenerate/self-renew) Contoh:
erythroid progenitor cells hanya mampu berdifferensiasi menjadi eritrosit.

Gambar 5. Multipotent dan unipotent stem cells pada sumsum tulang

 Aspek Biomedik Sel Punca Mesenchimal (Mesenchymal Stem Cells)


Penemuan tim UCLA tentu amat menarik mengingat sumber stem sel selama
ini amat terbatas. Sebenarnya saat ini penelitian-penelitian untuk menemukan sumber
stem sel terus dilakukan. Sebelum ditemukan prosedur program ulang, banyak
negara sudah menggunakan Mesenchymal stem cells (MSCs). Dr Vijay Sharma,
peneliti dari Stempeutics, di Bangalore, India, mengatakan bahwa penemuan MSC
sebagai sumber stem sel mengundang perhatian karena sepertinya amat menjanjikan
untuk strategi terapi. "MSC dengan cepat diterima sebagai sumber stem sel karena

11
sel seperti ini menunjukkan efikasi untuk pengobatan termasuk aplikasi untuk
serangan jantung, cedera saraf tulang belakang, regenerasi jaringan tulang, dan pada
anak untuk osteogenesis imperfecta," jelas Vijay di Konferensi Anti-aging dan
Kedokteran Regeneratif ke-7 se Asia Pasifik, di Bali, 10-12 Oktober 2008.
MSC manusia tersedia dalam jumlah amat terbatas di sel-sel sum-sum tulang,
hanya sekitar 0,001-0,01% dari keseluruhan sel yang berinti. Bila dikultur, sel ini
bisa tumbuh dengan cepat tanpa kehilangan sifat induknya. Human Mesenchymal
stem cells (hMSC) bisa diklon dan dikembangkan secara in vitro hingga 1 juta kali
lipat dengan kemampuan mendiferensiasi menjadi beberapa mesenchymal yang bisa
dipertahankan.
MSC memiliki keunggulan di antaranya:
1. Mudah diisolasi
2. Potensi tinggi untuk dikembangkan
3. Secara genetik stabil
4. Reproduktif dan
5. Mampu mengganti jaringan tubuh yang rusak.
hMSC tidak mengeskpresikan molekul B7, B7-2, CD40 dan ligan C40 dan
juga tidak mengtifkan sel-sel T sehingga kecil kemungkinan ditolak tubuh. MSC
dewasa tidak mengeksperesikan antigen HLA kelas II dari sel permukaan dan gagal
mendatangkan respon proliferatif dari limfosit alogenik, sehingga dipercaya sel ini
tidak menurunkan imunogenik dan lari dari sistem imun. Dengan demikian MSC
amat mungkin diterapkan untuk berbagai tujuan transplantasi. Beberapa studi
menggunakan allo-hMSC in vivo menunjukkan tidak ada penolakan dari tubuh.

 Aspek Biomedik Sel Punca Embrionik (Embryonic Stem Cells)


Sel punca embrionik (embryonic stem cells) adalah sel yang diambil dari
inner cell mass (suatu kumpulan sel yang terletak di satu sisi blastokista) embrio
berumur 5 hari dan terdiri dari 100 sel. Sel ini mempunyai sifat dapat berkembang
biak secara terus menerus dalam media kultur optimal dan dalam keadaan tertentu
dapat diarahkan untuk berdifferensiasi menjadi berbagai sel yang terdifferensiasi
seperti sel jantung, sel kulit, neuron, hepatosit dan sebagainya, sehingga dapat
dipakai untuk transplantasi jaringan yang rusak.

12
Gambar 6. Embryonic Stem Cells
Inner cell mass ini mempunyai kemampuan untuk menjadi berbagai jaringan
embrio dan tubuh kecuali membentuk plasenta. Inner cell mass ini disebut sel
pluripotent karena dapat berkembang lebih lanjut menjadi berbagai jaringan dan
organ tubuh. Secara alami sel pluripotent yang telah berkembang dan melakukan
spesialisasi dikenal sebagai sel multipoten dan merupakan sel punca dewasa. Sel
punca dewasa ini dapat berkembang menjadi berbagai sel dan jaringan. Tantangan
bagi peneliti sebenarnya adalah cara memanipulasi sel punca dewasa ini sehingga
berkembang menjadi sel atau produk yang diinginkan yang dapat digunakan untuk
pengobatan.
Sel punca embrionik (Embryonic Stem Cell) mempunyai sifat sebagai berikut:
 Pluripoten, artinya sel punca ini mempunyai kemampuan berdifferensiasi menjadi
sel-sel yang merupakan turunan dari 3 lapis germinal, tetapi tidak dapat
membentuk membran embrio (tali pusat dan plasenta)
 Immortal artinya dapat berumur panjang sehingga dapat memperbanyak diri
ratusan kali pada media kultur. Mereka merupakan sumber sel-sel yang belum
berdifferensiasi. Sel punca embrionik diperkirakan memperbanyak diri secara tak
terbatas, tetapi kini diketahui bahwa usia dan perbanyakan diri juga ada batasnya.

13
Hal ini disebabkan karena terjadinya mutasi pada gen-gen pada sel stem yang
diakibatkan karena pengaruh nutrisi dalam medium kultur.
 Dapat bersifat tumorigenik artinya setiap kontaminasi dengan sel yang tak
berdifferensiasi dapat menimbulkan kanker
 Selalu bersifat allogenik sehingga berpotensi menimbulkan terjadinya rejeksi
imunitas. Untuk mencegah terjadinya reaksi penolakan jaringan dapat digunakan
metoda somatic cell nuclear transfer atau terapi kloning.

Gambar 7. Metoda Somatic Cell Nuclear Transfer


Therapeutic cloning atau disebut Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT)
adalah suatu teknik yang bertujuan untuk menghindari resiko penolakan atau rejeksi.
Pada teknik ini inti sel telur donor dikeluarkan dan diganti dengan inti sel resipien.
Sel yang telah dimanipulasi ini kemudian akan membelah diri dan setelah menjadi
blastokista maka inner cell massnya akan diambil sebagai embryonic stem cells.
Stem cells ini kemudian akan dimasukkan kembali kedalam tubuh resipien dan stem
cells ini kemudian akan berdifferensiasi menjadi sel organ (sel beta pankreas, sel otot
jantung dan lain-lain). Tanpa reaksi penolakan karena sel tersebut mengandung
materi genetik resipien.

14
Gambar 9. Terapi Kloning (Therapeutic Cloning)
Aplikasi / Penggunaan Kultur Stem Cells
Stem cells dapat digunakan untuk keperluan baik dalam bidang riset maupun
pengobatan. Adapun penggunaan kultur stem cells adalah sebagai berikut:
Terapi gen
Stem cells khususnya hematopoetic stem cells digunakan sebagai pembawa
transgen kedalam tubuh pasien dan selanjutnya dilacak apakah jejak stem cells ini
berhasil mengekspresikan gen tertentu dalam tubuh pasien. Adanya sifat self
renewing pada stem cell menyebabkan pemberian stem cells yang mengandung
transgen tidak perlu dilakukan berulang-ulang. Selain itu hematopoetic stem cells
juga dapat berdifferensiasi menjadi bermacam-macam sel sehingga transgen tersebut
dapat menetap diberbagai macam sel. Penelitian dilakukan untuk mempelajari
proses-proses biologis pada organisme termasuk perkembangan organisme dan
perkembangan kanker. Penelitian untuk menemukan dan mengembangkan obat-obat
baru terutama untuk mengetahui efek obat terhadap berbagai jaringan.
Terapi sel (cell based therapy)
Stem cell dapat hidup diluar tubuh manusia, misalnya di cawan Petri. Sifat ini
dapat digunakan untuk melakukan manipulasi pada stem cells yang akan

15
ditransplantasikan ke dalam organ tubuh untuk menangani penyakit-penyakit tertentu
tanpa mengganggu organ tubuh.

Gambar 9. Berbagai peran Stem Cells


Ada 3 golongan penyakit yang dapat diatasi oleh stem cell:
a. Penyakit autoimun. Misalnya lupus, artritis reumatoid dan diabetes tipe 1.
Setelah diinduksi oleh growth factor agar hematopoietic stem cell banyak
dilepaskan dari sumsum tulang ke darah tepi, hematopoietic stem cell
dikeluarkan dari dalam tubuh untuk dimurnikan dari sel imun matur. Lalu
tubuh diberi agen sitotoksik atau terapi radiasi untuk membunuh sel-sel imun
matur yang tidak mengenal self antigen (dianggap sebagai foreign antigen).
Setelah itu hematopoietic stem cell dimasukkan kembali ke tubuh,
bersirkulasi dan bermigrasi ke sumsum tulang untuk berdiferensiasi menjadi
sel imun matur sehingga sistem imun tubuh kembali seperti semula.
b. Penyakit degeneratif. Pada penyakit degeneratif seperti stroke, Parkinson,
Alzheimer, terdapat beberapa kerusakan atau kematian sel-sel tertentu
sehingga bermanifestasi klinis sebagai suatu penyakit. Pada keadaan ini stem
cell setelah dimanipulasi ditransplantasi ke dalam tubuh pasien agar stem cell
tersebut dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel organ tertentu yang
menggantikan sel-sel yang telah rusak atau mati akibat penyakit degeneratif.
c. Penyakit keganasan. Prinsip terapi stem cell pada keganasan sama dengan
penyakit autoimun. Hematopoietic stem cell yang diperoleh baik dari
sumsum tulang atau darah tali pusat telah lama dipakai dalam terapi leukemia
dan penyakit darah lainnya.

16
Alasan mengapa stem cell merupakan calon yang bagus dalam cell-based therapy:
1. Stem cell tersebut dapat diperoleh dari pasien itu sendiri. Artinya
transplantasi dapat bersifat autolog sehingga menghindari potensi rejeksi.
Berbeda dengan transplantasi organ yang membutuhkan organ donor yang
sesuai, transplantasi stem cell dapat dilakukan tanpa organ donor yang sesuai.
2. Mempunyai kapasitas proliferasi yang besar sehingga dapat diperoleh sel
dalam jumlah besar dari sumber yang terbatas. Misalnya pada luka bakar
luas, jaringan kulit yang tersisa tidak cukup untuk menutupi lesi luka bakar
yang luas. Dalam hal ini terapi stem cell sangat berguna.
3. Mudah dimanipulasi untuk mengganti gen yang sudah tidak berfungsi lagi
melalui metode transfer gen. Hal ini telah dijelaskan dalam penjelasan
mengenai terapi gen di atas.
4. Dapat bermigrasi ke jaringan target dan dapat berintegrasi ke dalam jaringan
dan berinteraksi dengan jaringan sekitarnya.
Penggunaan Stem Cells Dalam Pengobatan Penyakit
Para ahli saat ini sedang giat melakukan berbagai penelitian untuk
menggunakan stem cell dalam mengobati berbagai penyakit. Penggunaan stem cells
untuk mengobati penyakit dikenal sebagai Cell Based Therapy. Prinsip terapi adalah
dengan melakukan transplantasi stem cells pada organ yang rusak. Tujuan dari
transplantasi stem cells ini adalah Mendapatkan pertumbuhan dan perkembangan sel-
sel baru yang sehat pada jaringan atau organ tubuh pasien. Menggantikan sel-sel
spesifik yang rusak akibat penyakit atau cidera tertentu dengan sel-sel baru yang
ditranspalantasikan. Sel stem embryonic sangat plastik dan mempunyai kemampuan
untuk dikembangkan menjadi berbagai macam jaringan sel seperti neuron,
kardiomiosit, osteoblast, fibroblast, sel-sel darah dan sebagainya, sehingga dapat
dipakai untuk menggantikan jaringan yang rusak. Sel stem dewasa juga dapat
digunakan untuk mengobati berbagai penyakit degeneratif, tetapi kemampuan
plastisitasnya sudah berkurang.
Keuntungan dari penggunaan sel stem dewasa yaitu tidak atau kurang
menimbulkan masalah dan kontroversi etika. Penggunaan sel punca embrionik untuk
mengobati cidera pada medula spinalis (spinal cord) Cidera pada medula spinalis
disertai demielinisasi menyebabkan hilangnya fungsi neuron. Sel punca dapat

17
mengembalikan fungsi yang hilang dengan cara melakukan remielinisasi. Percobaan
dengan sel punca embrionik tikus dapat menghasilkan oligodendrosit yang kemudian
dapat menyebabkan remielinisasi akson yang rusak Penggunaan sel punca pada
penyakit stroke Pada penyakit stroke dicoba untuk menggunakan sel punca
mesenkim (mesenchymal stem cells (MSC) dari sumsum tulang autolog. Penelitian
ini didasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Mesenchymal
stem cells diperoleh dari aspirasi sumsum tulang. Setelah disuntikkan perifer MSC
akan melintas sawar darah otak pada daerah otak yang rusak. Pemberian MSC
intravenous akan mengurangi terjadinya apoptosis dan menyebabkan proliferasi sel
endogen setelah terjadinya stroke. Penggunaan sel punca pada infark miokardium
Bartinek telah melakukan intracoronary infusion bone marrow stem cells otolog pada
22 pasien dengan AMI dan mendapatkan hasil yang baik. Penelitian terkini
menunjukkan bukti awal bahwa adult stem cells dan embryonic stem cells dapat
menggantikan sel otot jantung yang rusak dan memberikan pembuluh darah baru.
Strauer et al. mencangkok mononuclear bone marrow cell autolog ke dalam arteri
yang menimbulkan infark pada saat PTCA 6 hari setelah infark miokard. Sepuluh
pasien yang diberi stem cells area infarkya menjadi lebih kecil dan indeks volume
stoke, left ventricular end systolic volume, kontraktilitas area infark dan perfusi
miokard menunjukkan perbaikan dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Penerapan stem sel pada beberapa penyakit:
a. Stem Cell untuk Diabetes
Pada diabetes, terjadi kekurangan insulin atau kurangnya kepekaan terhadap insulin.
Dalam hal ini transplantasi sel pulau Langerhans diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan insulin. Pada awalnya, kira-kira 10 tahun yang lalu, hanya 8%
transplantasi sel pulau Langerhans yang berhasil. Hal ini terjadi karena reaksi
penolakannya besar sehingga diperlukan sejumlah besar steroid; padahal makin besar
steroid yang dibutuhkan, makin besar pula kebutuhan metabolik pada sel penghasil
insulin. Namun, baru-baru ini penelitian yang dilakukan oleh James Shapiro dkk. di
Kanada, berhasil membuat protokol transplantasi sel pulau Langerhans dalam jumlah
banyak dengan metode imunosupresi yang berbeda dengan yang sebelumnya. Pada
penelitian tersebut, 100% pasien yang diterapi transplantasi sel pulau Langerhans
pankreas tidak memerlukan injeksi insulin lagi dan gula darahnya tetap normal

18
setahun setelah transplantasi. Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan untuk
diabetes ini mengambil sumber stem cell dari kadaver, fetus, dan dari embryonic
stem cell. Selanjutnya, masih dibutuhkan penelitian untuk menemukan cara membuat
kondisi yang optimal dalam produksi insulin, sehingga dapat menggantikan injeksi
insulin secara permanen.
b. Stem Cell untuk Stroke
Dahulu dianggap bahwa sekali terjadi kematian sel pada stroke, maka akan
menimbulkan kecacatan tetap karena sel otak tidak mempunyai kemampuan
regenerasi. Tapi anggapan berubah setelah para pakar mengetahui adanya plastisitas
pada sel-sel otak dan pengetahuan mengenai stem cell yang berkembang pesat
belakangan ini. Beberapa penelitian dengan menggunakan stem cell dari darah tali
pusat manusia yang diberikan intravena kepada tikus yang arteri serebri medianya
dioklusi menunjukkan hasil yang menggembirakan. Ada pengurangan volume lesi
sebanyak 40% dan adanya kemampuan kembali ke 70% fungsi normal. Terdapat
pemulihan fungsional pada kelompok yang ditransplantasi stem cell dari darah tali
pusat dibandingkan dengan kelompok kontrol dan tampak stem cell dari darah tali
pusat bermigrasi masuk ke otak. Penelitian dengan menggunakan mesenchymal stem
cell (MSC) dari sumsum tulang autolog yang diberikan intravena pada 30 penderita
stroke juga memperbaiki outcome yang dinilai dari parameter Barthel Index dan
modified Rankin Scale.

19
5. Terapi Gen
Beberapa penyakit genetik manusia dapat dikaitkan terhadap suatu mutasi di
suatu gen tunggal, atau mungkin juga lebih kompleks, yaitu terhadap sejumlah gen-
gen berbeda yang bermutasi. Terapi gen melibatkan penyisipan gen ke dalam sel-sel
individu dan jaringan untuk mengobati penyakit kronis dan kelainan genetik di mana
suatu gangguan gen mutan diganti dengan gen fungsional. Sebuah definisi yang lebih
luas dari terapi gen mencakup semua aplikasi teknologi DNA untuk mengobati
penyakit. Walaupun teknologi ini masih dalam tahap percobaan, ia memegang janji
besar untuk mengobati penyakit Warisan dan tidak dapat disembuhkan.
Manfaat terapi gen
Terapi gen memegang harapan besar untuk pasien yang menderita hemofilia,
kanker, Muscular Dystrophy dan AIDS.
Terapi Gen untuk Kanker:
Para peneliti sedang mempelajari beberapa cara untuk mengobati kanker
menggunakan terapi gen. Beberapa pendekatan target sel sehat untuk meningkatkan
kemampuan mereka untuk melawan kanker. Pendekatan-pendekatan lain sasaran sel-
sel kanker, untuk menghancurkan mereka. Terapi gen merupakan pendekatan baru
dalam pengobatan kanker, yang saat ini masih bersifat eksperimental. Sejak
mengetahui bahwa kanker merupakan penyakit akibat mutasi gen, para ahli mulai
berpikir bahwa terapi gen tentu efektif untuk mengobatinya. Apalagi kanker jauh
lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan penyakit keturunan akibat kelainan
genetis yang selama ini diobati dengan terapi gen. Saat ini para ilmuwan sedang
mencoba beberapa cara kerja terapi gen untuk pengobatan kanker:
1. Menambahkan gen sehat pada sel yang memiliki gen cacat atau tidak lengkap.
Contohnya, sel sehat memiliki “gen penekan tumor” seperti p53 yang mencegah
terjadinya kanker. Setelah diteliti, ternyata pada kebanyakan sel kanker gen p53
rusak atau bahkan tidak ada. Dengan memasukkan gen p53 yang normal ke dalam
sel kanker, diharapkan sel tersebut akan normal dan sehat kembali.
2. Menghentikan aktivitas “gen kanker” (oncogenes). “Gen kanker” merupakan hasil
mutasi dari sel normal, yang menyebabkan sel tersebut membelah secara liar
menjadi kanker. Ada juga gen yang menyebabkan sel kanker bermetastase

20
(menjalar) ke bagian tubuh lain. Menghentikan aktivitas gen ini atau protein yang
dibentuknya, dapat mencegah kanker membesar maupun menyebar.
3. Menambahkan gen tertentu pada sel kanker sehingga lebih peka pada kemoterapi
maupun radiasi, atau menghalangi kerja gen yang dapat membuat sel kanker kebal
terhadap obat-obat kemoterapi. Juga dicoba cara lain, membuat sel sehat lebih
kebal pada kemoterapi dosis tinggi, sehingga tidak menimbulkan efek samping.
4. Menambahkan gen tertentu sehingga sel-sel tumor/kanker lebih mudah dikenali
dan dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh. Atau sebaliknya, menambahkan
gen pada sel-sel kekebalan tubuh sehingga lebih mudah mendeteksi dan
menghancurkan sel-sel kanker.
5. Menghentikan gen yang berperan dalam pembentukan jaringan pembuluh darah
baru (angiogenesis) atau menambahkan gen yang bisa mencegah angiogenesis.
Jika suplai darah dan makanannya terhenti, kanker akan berhenti tumbuh, atau
bahkan mengecil lalu mati.
6. Memberikan gen yang mengaktifkan protein toksik tertentu pada sel kanker,
sehingga sel tersebut melakukan aksi “bunuh diri” (apoptosis).
Jasa Virus
Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana cara memasukkan gen yang
dikehendaki ke dalam sel yang dituju. Karena sejauh ini pekerjaan menyelipkan
langsung sebuah gen ke dalam sel masih belum mungkin. Harus menggunakan jasa
perantara (vektor), yaitu virus. Virus memiliki kemampuan lebih untuk mengenali sel
tertentu, menembus masuk dan mentransfer material genetik ke dalamnya (begitulah
cara kerja virus dalam menjangkitkan penyakit ke dalam tubuh seseorang).
Secara garis besar ada dua macam cara yang biasa digunakan untuk
memasukkan gen baru ke dalam sel. Yang pertama, secara ex vivo. Sebagian sel
darah atau sumsum tulang penderita diambil untuk dibiakkan di laboratorium. Sel itu
diberi virus pembawa gen baru. Virus masuk ke dalam sel dan “menembakkan” gen
baru tersebut ke dalam rantai DNA sel yang dituju. Sel tersebut masih dibiakkan
beberapa saat lagi di laboratorium. Setelah gen benar-benar menyatu dengan selnya,
kemudian sel tersebut dikembalikan dalam tubuh penderita dengan cara disuntikkan
ke dalam pembuluh darah.

21
Kedua secara in vivo. Virus pembawa gen disuntikkan ke dalam tubuh
penderita. Virus yang telah diprogram tersebut akan mencari dan menyerang sel yang
dituju (kanker) dengan cara menembakkan gen baru yang dibawanya ke dalam sel.
Peran virus ini kadang digantikan oleh liposom atau plasmid sebagai vektor buatan.
Ada beragam jenis virus yang digunakan untuk ujicoba terapi gen, antara lain
retrovirus, adenovirus, virus herpes, cacar, dan lain-lain. Masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Sebelum digunakan semuanya direkayasa terlebih dahulu
sehingga tidak mampu menjangkitkan penyakit, sekaligus ditingkatkan
kemampuannya untuk mengenali dan memasuki sel target, juga mentransfer gen.
Sekalipun memberi harapan besar, bahkan beberapa RS kanker telah berani
menjadikannya terapi unggulan, terapi ini juga bisa menimbulkan masalah. Karena
virus bisa menyerang lebih dari satu jenis sel, jika disuntikkan ke dalam tubuh bisa
saja virus tersebut memasuki sel tubuh yang lain, bukan hanya sel kanker seperti
yang diharapkan. Atau, kalau gen yang ditransfer menempel pada lokasi salah dalam
rantai DNA, hal ini bisa menimbulkan mutasi yang berbahaya, bahkan kanker jenis
baru. Jika gen tersebut “salah sasaran” mengenai sel reproduksi, maka mutasi ini
akan diturunkan juga pada keturunan penderita, jika kelak si penderita punya anak.
Ada juga kemungkinan gen yang ditransfer tersebut bereaksi berlebihan di
lingkungan barunya (sel kanker) sehingga malah menimbulkan peradangan, atau
memicu reaksi pertahanan/perlawanan dari sel kankernya. Bagaimana juga kalau
virus yang telah direkayasa itu malah menular kepada orang lain yang sehat? Para
ilmuwan terus mencari cara yang aman dan memberikan hasil paling optimal sesuai
dengan kondisi penderita yang berbeda-beda.
Bahaya terapi gen:
Seorang pasien yang menerima terapi gen mungkin menghadapi masalah
jumlah potensial. Salah satu risiko besar adalah potensi untuk infeksi atau reaksi
sistem kekebalan. Virus vektor, cara memberikan terapi gen untuk sel, dapat
menyebabkan infeksi dan / atau peradangan dari jaringan, dan pengenalan buatan
virus ke dalam tubuh dapat memulai proses penyakit lain.
Risiko lain adalah bahwa gen baru mungkin diperkenalkan di posisi yang salah
dalam DNA, mungkin menyebabkan mutasi genetik merusak DNA atau bahkan
kanker. Selain itu, ketika vektor digunakan untuk memberikan sel-sel DNA ada

22
sedikit kesempatan bahwa DNA ini dapat secara tidak sengaja diperkenalkan ke
dalam sel-sel reproduksi pasien. Jika hal ini terjadi, ada kemungkinan bahwa
perubahan mungkin akan diteruskan kepada-Nya / keturunannya itu setelah
perawatan.
• Dasar pemikiran terapi gen:
Jika versi normal dari gen untuk penyakit manusia telah berhasil diklon, maka
sangat berbuna untuk memperbaiki kecacatan/mutasi gen tersebut. Target adalah
human somatic cell: sel yang dapat berkembang biak. Sebuah gen dapat didefinisikan
sebagai daerah DNA yang mengontrol karakteristik genetik seseorang. Gen
mengandung informasi untuk membangun dan memelihara sel-sel mereka dan lulus
atribut genetik untuk keturunan. Gen juga menentukan jenis kelamin seseorang, sifat
fisik dan IQ. Para ilmuwan percaya bahwa setiap individu memiliki sekitar 25.000
gen per sel. Mutasi genetis, atau perubahan, dalam salah satu dari gen ini dapat
mengakibatkan penyakit keturunan, cacat fisik, atau rentang hidup singkat. Mutasi
genetik ini dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Oleh gen terapi yang
dapat menghilangkan perubahan-perubahan ini dengan mengganti gen yang rusak
oleh gen rekayasa genetika.
Terapi gen juga memiliki peluang untuk orang dengan HIV-AIDS, kanker,
berotot dystrophies, hemofilia A, dan kelainan neurologis tertentu seperti penyakit
Parkinson dan penyakit Alzheimer. Penelitian yang paling aktif yang dilakukan
dalam terapi gen untuk anak-anak telah kelainan genetik seperti cystic fibrosis dan
adenosin deaminase defisiensi (kelainan genetik yang langka yang membuat anak
rentan terhadap infeksi serius), dan orang-orang dengan hiperkolesterolemia (sangat
tinggi kolesterol serum).
Untuk menyembuhkan penyakit genetik, ilmuwan harus terlebih dahulu
mengetahui gen atau sekumpulan gen menyebabkan penyakit tersebut. Proyek
Genom Manusia di Amerika Serikat dan upaya-upaya internasional lainnya telah
menyelesaikan pekerjaan awal pengurutan dan pemetaan dari semua 25.000 hingga
35.000 gen dalam sel manusia. Diharapkan bahwa dalam 15 tahun waktu ilmuwan
akan dapat mengidentifikasi, mendiagnosis, merawat dan menyembuhkan segala
penyakit yang rentan manusia. Penelitian ini akan merevolusi pengobatan modern

23
dan mudah-mudahan memperbaiki kualitas kehidupan semua manusia menderita
hemofilia.
Ex vivo gene therapy
Sel diambil dari orang penderita penyakit (pasien)

Perbaiki cacat genetik dengan cara transfer gen

Seleksi dan tumbuhkan sel-sel yang telah dikoreksi


secara genetik (remedial cell)

Infuskan atau transplantasikan kembali ke pasien


Gen remedial diintroduksi ke sel oleh suatu retrovirus mencit yang sesudah
direkayasa sehingga tidak mampu mengkonversi sel normal menjadi sel kanker.
Retrovirus (rekombinan) menginfeksi sel manusia sehingga gen remedial masuk.
In vivo gene therapy
Menggunakan adenovirus : ds DNA low pathogenicity in human Gen remedial

Konstruksi pada vektor virus di bawah promotor khusus yang spesifik menginfeksi
sel khusus (sel target)
Antisense therapy
Dirancang untuk pencegahan;
- penurunan ekspresi gen tertentu,
- bekerja pada tahap translasi (mRNA)
Ada 2 cara:
A.Menggunakan antisense oligonukleotida (satu utas)
B.Menggunakan gen antisense yang diklon Antisense adalah utas asam nukleat DNA
yang tidak ditranskripsikan, merupakan utas pasangan dari utas yang ditranskripsikan
(utas sense).
6. Teknik Diagnostik
Dasar diagnosis dan pengobatan suatu penyakit bergantung pada pemahaman
tentang patofisiologisnya. teknik diaknostik merupakan teknik yang digunakan untuk
mendiagnosa penyakit yang timbul akibat suatu penyakit, dan cara mengetahui.

24
Penyakit sisitem endokrin, yang umumnya disebabkan kelebihan atau kekurangan
produksi hormon, merupakan contoh baik untuk menerapkan ilmu kedokteran dasar
tingkat molekul ke dalam klinik. Deteksi mutasi gen dan menghubungkannya dengan
berbagai penyakit merupakan jantung dari ledakan informasi saat ini dalam dunia
kedokteran dan banyak aplikasi dalam diagnosis molekuler. Salah satu dampak
penting diantaranya adaUUlah revolusi dalam genetika molekuler, dimana kita
mampu melokalisasi gen yang berperan untuk terjadinya penyakit tanpa harus
mengetahui protein yang mengalami perubahan, yang dikenal dengan positional
cloning. Diagnosis molekuler memiliki potensi untuk meningkatkan peran
pemeriksaan laboratorium dalam menegakkan diagnosis penyakit.
Membuat diagnosa sama seperti halnya menyusun potongan-potongan
bergambar pada mainan "puzzle". Menghubungkan satu bagian gambar dengan
bagian gambar yang lain dilakukan untuk mendapatkan satu gambaran yang jelas
yaitu "suatu diagnosa". Hampir semua khasus memerlukan diagnosa yang tepat,
sehingga dapat diperlukan untuk pedoman pengobatan atau untuk pedoman
melakukan tindakan pencegahan (sehingga khasus tidak terulang kembali pada
kelompok ayam yang akan datang).
Teknik-teknik dalam biologi molekuler ternyata menjadi sangat berarti untuk
mendeteksi banyak penyakit genetik dan kegiatan medis lainnya. Teknik diagnostik
merupakan tes yang dilakukan untuk mengetahui suatu jenis kelainan tertentu,
dimana tes itu bisa dilakukan dengan teknik mikroskop elektron, biokimia molekuler,
serologi, asam nukleat (bisa dengan PCR), rt PCR, atau bisa dengan cara ELISA.
Ada berbagai macam teknik diagnostik antara lain yang banyak digunakan
untuk endokrinologi, penyakit menular, pemeriksaan bayi baru lahir dan kemudian
lebih lanjut penanda tumor, imunoglobulin manusia, biogenik amina, penyelidikan
set dan Iso-kalibrator, agen kembali untuk kit, ditandai ligan dan banyak lain yaitu
dengan kit RIA (Radio Immuno Assay), IFA (Immuno Fluoresence Assay), LIA
(Luminescence Immuno Assay) dan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent
Assay).
Salah satu contoh penggunaan teknik ini adalah untuk assay hormon.
Terdapat banyak teknik yang digunakan untuk assay hormon diawali dari teknik
yang paling sederhana sampai dengan penggunaan teknik fluoresensi. Teknik

25
penyelidikan klasik yang digunakan adalah (1) pengambilan kelenjar (extirpation),
(2) observasi terhadap efek pengambilan kelenjaran, (3) memindahkan kelenjar
untuk diimplantasi pada individu lain sejenis, (4) membandingkan hasil pemindahan
atau implantasi dengan kondisi normal.
Perkembangan lebih lanjut tentang perkembangan hormon pada saat ini
sering disebut Bioassay. Bioassay adalah suatu cara penyelidikan berdasarkan pada
perubahan biologis yang relatif khas yang ditimbulkan oleh suatu hormon dalam
kondisi tertentu. Macam-macam assay hormon yang menggunakan prinsip antigen-
antibodi antara lain adalah Radio Immuno Assay (RIA) dan Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA).
1. Assay Hormon dengan cara RIA (Radio Immuno Assay)
Untuk kepentingan assay hormon dengan cara RIA, diperlukan pemisahan
plasma darah dengan sentrifugasi. Langkahnya yaitu :
 Pemisahan Plasma Darah
Pengambilan plasma dilakukan dengan cara sentrifugasi selama 10 menit
dengan kecepatan 2000-3000 rpm. Selanjutnya plasma yang diperoleh disimpan di
dalam lemari es (Freezer) sebelum dilakukan assay hormon T3 dan T4.

 Pengukuran Kadar Hormon T3 dan T4


Pengukuran kadar hormon dilakukan dengan cara Solid Phase Immunoassay
(SPI) yang merupakan jenis lain dari RIA. SPI dibuat berdasarkan fakta bahwa
beberapa protein termasuk antibodi sangat kuat diabsorsi oleh plastik tertentu seperti
polystyrene dan polytylene. Tabung plastik tersebut sudah dilapisibagian dalamnya
dengan antibodi yang diperlukan atau serum dengan antibodi yang sudah
ditambahkan pada tabung absorsi antibodi akan terjadi selama waktu inkubasi.
Selanjutnya sesudah terjadi reaksi antibodi dan antigen yang dikombinasikan akan
tersisa bekasnya melekat dengan kuat pada dinding tabung dan material yang tidak
terikat akan dipisahkan dengan cara menuangkan secara perlahan-lahan dan mencuci
tabung dengan cepat memakai cairan pencuci khusus. Jadi pada SPI pemisahan
dilakukan dengan cara penuangan, sedangkan dengan RIA adalah dengan
sentrifugasi.

26
Pengukuran T3 dan T4 dengan metode RIA berdasarkan petunjuk dari kit
CAC total T3 dan T4 diuraikan seperti dibawah ini :
o Pengukuran Kadar Hormon T3
1) Plasma darah dan kit CAC total T3 dikeluarkan dari lemari es dan
diadaptasikan dengan suhu kamar
2) Pada setiap tabung yang akan dipakai diberi nomor kode yang telah
ditentukan, yaitu :
 Tabung Toroid (Total Count) dan Tabung NBS (Non Spesific binding),
keduanya diisi dengan kalibrator A sebanyak 100 µl. Untuk tabung Tiroid
dan NBS tidak memakai tabung polypropilene.
 Tabung A sampai dengan tabung fisiologis diisi dengan kalibrato T3 yang
telah ditentukan, masing-masing 100 µl.
 Tabung polypropilene yang digunakan diisi dengan sampel plasma darah
yang belum diketahui kadarnya, masing-masing 100 µl plasma sesuai
dengan nomor urut yang telah ditentukan.
3) Pada masing-masing tabung diisi 1 ml Buffer T3, kemudian dikocok dengan
vortexselama 10 detik.
4) Selanjutnya seluruh tabung diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 2 jam
5) Mengisi tabung kemudian menuangkan dan dihisap dengan kertas hisap secar
cepat sampai sampai kering.
6) Tabung dimasukkan ke dalam Gamma Counter selama 1 menit dan dihitung
jumlah cacah pendarnya.
o Pengukuran Kadar Hormon T4
Pengukuran kadar hormon T4 dilakukan dengan :
1) Plasma darah dan kit CAC total T4 dikeluarkan dari lemari es dan
diadaptasikan dengan suhu kamar.
2) Pada setiap tabung yang akan dipakai diberi nomor kode yang telah
ditentukan, yaitu :
 Tabung Toroid (Total Count) dan Tabung NBS (Non Spesific binding),
keduanya diisi dengan kalibrator A sebanyak 25 µl. Untuk tabung Tiroid
dan NBS tidak memakai tabung polypropilene.

27
 Tabung A sampai dengan tabung fisiologis diisi dengan kalibrato T3 yang
telah ditentukan, masing-masing 25 µl.
 Tabung polypropilene yang digunakan diisi dengan sampel plasma darah
yang belum diketahui kadarnya, masing-masing 25 µl plasma sesuai
dengan nomor urut yang telah ditentukan.
3) Pada masing-masing tabung diisi 1 ml Buffer T4, kemudian dikocok dengan
vortexselama 10 detik.
4) Selanjutnya seluruh tabung diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 1 jam,
kecuali tabung tiroid, setelah divortek kemudian dimasukkan ke Gamma
Counter.
5) Mengisi tabung kemudian menuangkan dan dihisap dengan kertas hisap secar
cepat sampai sampai kering.
6) Tabung dimasukkan ke dalam Gamma Counter selama 1 menit dan dihitung
jumlah cacah pendarnya (Anonima. 2009)

RIA (Radio Immuno Assay), untuk mengetahui petanda tumor (tumor marker).
Penanda tumor (PT) atau tumor marker ialah molekul protein berupa enzim
atau hormon yang dalam keadaan normal tidak atau sedikit sekali diproduksi oleh sel
tubuh. PT merupakan salah satu penunjang pemeriksaan kanker tertentu, baik untuk
screening, menegakkan diagnosis, prognosis, pemantauan hasil pengobatan dan juga
deteksi kekambuhan. Untuk tujuan screening, diagnosis, maupun untuk menilai hasil
pengobatan, maka harus dipilih penanda tumor yang memiliki sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi. Tetapi perlu diingat bahwa hingga saat ini belum ditemukan
PT tunggal yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Pemeriksaan
kombinasi PT berupa panel pemeriksaan tertentu, untuk jenis tumor tertentu, dapat
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas diagnostik. Beberapa tes yang dipakai
adalah CEA (Carcinoma Embryonic Antigen ), NSE (Neuron-spesific enolase), Cyfta
21-1 (Cytokeratin fragments 19) (Anonimb, 2009).
2. Assay Hormon dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
 Teknologi ELISA untuk Assay Hormon
Ciri utama dari teknik ini adalah memakai indikator enzim untuk reaksi
imunologi. Penggunaan reaksi antigen-antibodi sebagai alat analisis telah

28
menimbulkan revolusi dalam berbagai ilmu-ilmu biomedis. Reaksi ini tidak hanya
bermanfaat mendiagnosis penyakit infeksi dengan cara mendeteksi respons antibodi,
tetapi telah digunakan pula secara meluas untuk mendeteksi antigen seperti hormon.
Pemahaman mengenai proses reproduksi telah meningkat secara nyata pada
kurun waktu 20 tahun terakhir, sebagian besar karena teknik analisis tersebut telah
memungkinkan pengukuran kadar hormon dalam cairan tubuh hewan dalam berbagai
kondisi fisiologis. Akhir-akhir ini telah diselidiki berbagai penanda seperti enzim,
ko-enzim, zat warna flourosen, substrat flurogenik, senyawa penghasil
kemiluminesen, bakteriofag, dan manik – manik polistiren.
ELISA telah terbukti cocok untuk menggantikan teknik Radio Immuno Assay
(RIA) yang memiliki berbagai kelemahan. Pendekatan ELISA ini memiliki berbagai
keunggulan dibandingkan RIA antara lain: tidak perlu menggunakan bahan
radioaktif, label yang stabil sehingga dapat disimpan lebih lama, deteksi aktivitas
enzim hanya memerlukan alat fotometri, sensitivitas merupakan fungsi penanda serta
sering kali dapat menghindari tahap pemisahan (Entwistle dan Ridd, 1995). Flynn et
al. (1981) menyatakan bahwa teknik ELISA dapat digunakan untuk menggantikan
teknik RIA dalam analisis hormon insulin. Penggunaan sistem ELISA dalam
penelitian analisis hormon baik dalam riset maupun dalam penerapan klinis sekarang
sedang mengalami peningkatan. Keunggulan yang dimiliki teknik ELISA
mengakibatkan teknik ini cepat populer. Di negara berkembang teknik ELISA lebih
memungkinkan untuk dilakukan karena tidak membutuhkan pemakaian radioisotop.
Teknologi ELISA yang digunakan untuk assay hormon dalam cairan tubuh
adalah sistem competitive enzyme immunoassay yang analog dengan teknik RIA.
Antigen yang berlabel dan antigen yang tidak berlabel saling bersaing untuk
berikatan dengan tapak pengikatan antibodi yang terdapat dalam jumlah terbatas.
Saturasi antibodi terjadi secara simultan bila semua reaktan diinkubasikan bersama –
sama. Contoh reaksi seperti ini adalah ELISA untuk mengukur progesteron,
estradiol, dan kortisol. Pengukuran hormon kortisol dalam saliva menggunakan
teknik ELISA dapat mengetahui tingkat stres yang di alami oleh organisme
(Haussmann et al., 2007).
Sistem ELISA berikutnya yang paling umum digunakan untuk mengukur kadar
hormon adalah metode sandwich. Vaysse et al. (1998) menggunakan teknik ini untuk

29
menganalisa hormon kelamin atau Sex Hormon Binding Globulin (SHGB). Langkah
untuk menganalisa SHGB diantaranya :
1. menyelubungi dengan antibodi SHGB
2. saturasi dengan BSA
3. pengkondisian untuk pencucian dan inkubasi
4. analisis data.
Teknik sandwich juga telah digunakan untuk asai Luteinizing Hormone (LH)
dan Human Chorionic Gonadotrophin (HCG). Kebanyakan ELISA sandwich
digunakan untuk antigen yang menggunakan antibodi monoklonal. Oda et al. (2002)
menggunakan ELISA sandwich dengan antibodi monoklonal (MAbs) untuk
menganalisa sekresi lipocalin-type prostaglandin D synthase (L-PGDS) yang
meningkat pada pasien yang terkena gagal ginjal.
Hormon–hormon reproduksi estrogen, progesteron, kortisol, merupkan
hormon yang tersusun dari steroid. Steroid tidak bersifat imunogenik secara alami
karena senyawa ini mempunyai berat molekul yang rendah sehingga untuk dapat
menghasilkan respons imun steroid harus diikatkan pada senyawa dengan berat
molekul yang lebih tinggi. Banyak molekul besar yang telah dianjurkan tetapi
antiserum paling lazim diproduksi dengan imunisasi melawan konjugat steroid-BSA
(bovine serum albumin). Karena antiserum cenderung tak dapat membedakan
perubahan di sekitar tapak konjugasi, antiserum spesifik yang dapat membedakan
steroid – steroid yang sangat mirip hanya dapat dibuat jika tapak konjugasi letaknya
distal terhadap gugus fungsional (Entwistle dan Ridd, 1995). Sebagai contoh pada
analisis kortisol, antiserum handal hanya dapat diperoleh dengan menggunakan
kortisol yang dikonjugasikan dengan BSA melalui cincin A
Sejak teknik assay hormon dengan menggunakan ELISA ditemukan,
perkembangan analisis hormon yang berpengaruh dalam fisiologis tubuh
berkembang pesat. Berbagai jenis hormon dianalisis termasuk hormon pertumbuhan
(Growth Hormone : GH). Davis et al., (1994) melaporkan prosedur assay untuk
analisis serum growth hormon binding-protein (GHBP) dengan prosedur kuantitatif
ELISA yang dapat digunakan untuk asai GH pada babi, sapi, atau kuda.
Sejalan dengan perkembangan teknik ELISA, maka penggunaan teknik –
teknik analisa kuantitatif dalam biokimiawi semakin berkembang. Lovendahl et al.

30
(2003) mengembangkan teknik analisa hormon pertumbuhan (GH) pada ruminansia
dengan menggunakan metode time-resolved immunofluorometric assay. Kelemahan
yang ada pada prosedur assay dengan menggunakan ELISA yaitu lamanya waktu
inkubasi dapat dipecahkan dengan teknik ini. Teknik ini dalaporkan lebih sensitive,
akurat, cepat, dan lebih ramah lingkungan. Time-resolved immunofluorometric assay
sebenarnya hasil perkembangan dari teknik ELISA. Teknik ini menggunkan
pewarnaan fluorescents yang telah sukses untuk menganalisis hormon insulin
(Lovendahl and Purup, 2002).
Perkembangan lain dari teknik ELISA yaitu ditemukannya teknik micro-
ELISA assay. Prosedur micro-ELISA dapat mengatasi permasalahan keterbatasan
sample yang sering ditemukan dalam analisa kuantitatif di laboratorium (Wiese et
al., 2001). Teknik ini menggunakan microarray platform yang dikembangkan
berdasarkan metode sandwich ELISA.
Perkembangan teknik ELISA sangat bermanfaat dalam ilmu kedokteran
secara umum. Selain dapat mengidentifikasi penyakit-penyakit dan sistem imun,
teknik ELISA juga dapat menganalisa penyakit karena gangguan fungsi hormonal
tubuh. Seperti untuk menganalisa adiponectin yang merupakan hormon yang dapat
digunakan sebagai biomarker untuk memonitor kemajuan dari pengobatan penyakit
diabetes dan penyakit kardiovaskular (Sinha et al., 2007).
 Penerapan Teknologi ELISA dalam Analisis Hormon Reproduksi
Teknologi ELISA semakin tersebar penerapannya dalam baik bidang riset
maupun penerapan komersial. Ada dua masalah dalam manajemen reproduksi sapi
yaitu masalah deteksi estrus dan diagnosis kehamilah awal, keduanya dapat
ditanggulangi dengan pengukuran kadar progesteron dalam darah maupun air susu.
Pada awalnya penelitian pada bidang ini menggunakan teknik RIA, tetapi
kebutuhan akan kecepatan penanganan sampel menyebabkan berkembangnya teknik
ELISA. Kebanyakan penerapan teknik ELISA ini untuk mengukur kadar progesteron
dalam air susu pada peternakan sapi perah sebagai petunjuk diagnosis kebuntingan
awal (Entwistle dan Ridd, 1995). Keberhasilan uji progesteron dalam air susu
tergantung pada pengambilan satu sampel yang tepat waktu yaitu antara 21 dan 24
hari setelah inseminasi. Banyak hasil penelitian telah menunjukkan bahwa satu
sampel susu telah terbukti tepat 100 % untuk menguji hasil tes negatif (tidak bunting)

31
dan 85 % untuk hasil tes positif (bunting). Penerapan dalam penelitian lainnya adalah
dalam uji mortalitas embrio sapi dan penelitian endokrinologi siklus estrus dalam
kebuntingan.
Prinsip ELISA secara umum sebagai berikut :

Antigen Kompleks Ag-Ab Konjugat enzim pada Ag-Ab

Antibodi Substrat
Reaksi enzimatik
Produk warna
Pemeriksaan Serologi HIV
Berdasarkan pengamatan atas penderita AIDS secara terus menerus selama
sakitnya maka dapat dibuat suatu hipotesa mengenai lama dan relatif konsentrasi
antigen (HIV) dan antibodi dalam darah penderita. Pada bulan pertama setelah terjadi
infeksi, dalam darah penderita masih ditemukan virus HIV (viremia pertama).
Pemeriksaan untuk isolasi HIV pada periode ini sangat jarang berhasil, karena sulit
mengetahui kapan infeksi terjadi, lagi pula viremia hanya berlangsung sebentar,
sekitar 2 bulan. Pada akhir bulan ke 2 tubuh mulai membentuk antibodi terhadap
envelope dan disusul dengan pembentukan antibodi terhadap core (inti).
Pada saat itu pemeriksaan antibodi HIV mulai menjadi positif untuk jangka
waktu lama, kecuali pada antibodi terhadap core yang dapat menurun setelah
beberapa tahun kemudian, tergantung dari frekuensi infeksi ulang. Ini berarti bahwa
selama paling sedikit 2 bulan penderita tampak sehat dan dalam darahnya antibodi
HIV tidak terdeteksi oleh pemeriksaan serologi; periode ini disebut window period.
Setelah 510 tahun HIV mulai ditemukan dalam darah untuk kedua kalinya (viremia
kedua), di samping itu juga ditemukan antibodi terhadap envelope. Tampak bahwa
antibodi terhadap envelope selalu dapat ditemukan dalam darah dibanding dengan
antibodi terhadap core.
Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak menggunakan metoda ELISA/EIA.
ELISA pada mulanya digunakan untuk skrening darah donor dan pemeriksan darah
kelompok risiko tinggi/tersangka AIDS. Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan
hasil positif 2 kali (re-aktif) dari 3 test yang dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan

32
pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan memakai metoda Western Blot. Test
konfirmasi lain yang jarang dipakai lagi adalah RIPA (Radioimmunoprecipitation
Assay), IFA (Im-munofluorescence Antibody Technique). Test konfirmasi tersebut
tidak lebih sensitif dari ELISA, sulit dikerjakan, mahal, lama dan masih dapat
memberi hasil tidak benar, false positive, false negative, indeterminate.
Penggabungan test ELISA yang sangat sensitif dan Western Blot yang sangat spesifik
mutlak dilakukan untuk menentukan apakah seseorang positif AIDS (Anonime.
Tanpa tahun).
Pemeriksaan ELISA/EIA
ELISA berbagai macam kit di pasaran mempunyai cara kerja hampir sama.
Pada dasarnya, diambil virus HIV yang ditumbuhkan pada biakan sel, kemudian
dirusak dan dilekatkan pada biji-biji polistiren atau sumur microplate. Serum atau
plasma yang akan diperiksa, diinkubasikan dengan antigen tersebut selama 30 menit
-2 jam kemudian dicuci. Ella terdapat IgG (immunoglobulin G) yang menempel pada
bijibiji atau sumur microplate tadi maka akan terjadi reaksi pengikatan antigen dan
antibodi. Antibodi anti-IgG tersebut terlebih dulu sudah diberi label dengan enzim
(alkali fosfatase, horseradish peroxidase) sehingga setelah kelebihan enzim dicuci
habis maka enzim yang tinggal akan bereaksi sesuai dengankadar IgG yang ada,
kemudian akan berwarna bila ditambah dengan suatu substrat.
Sekarang ada test EIA yang menggunakan ikatan dari heavy dan light chain
dari Human Immunoglobulin sehingga reaksi dengan antibodi dapat lebih spesifik,
yaitu mampu mendeteksi IgM maupun IgG. Pada setiap tes selalu diikutkan kontrol
positif dan negatif untuk dipakai sebagai pedoman, sehingga kadardi atas cut-off
value atau di atasabsorbance level spesimen akan dinyatakan positif. Biasanya lama
pemeriksaan adalah 4 jam. Pemeriksaan ELISA hanya menunjukkan suatu infeksi
HIV di masa lampau. Tes ELISA mulai menunjukkan hasil positif pada bulan ke 23
masa sakit. Selama fase permulaan penyakit (fase akut) dalam darah penderita dapat
ditemukan virus HIV/partikel HIV dan penurunan jumlah sel T4 (Gratik).
Setelah beberapa hari terkena infeksi AIDS, IgM dapat dideteksi, kemudian
setelah 3 bulan IgG mulai ditemukan. Pada fase berikutnya yaitu pada waktu gejala
major AIDS menghilang (karena sebagian besar HIV telah masuk ke dalam sel
tubuh) HIV sudah tidak dapat ditemukan lagi dari peredaran darah dan jumlah $el T4

33
akan kembali ke normal. Hasil pemeriksan ELISA harus diinterpretasi dengan hati-
hati, karena tergantung dari fase penyakit. Pada umumnya, hasil akan positifpada
lase timbul gejalapertama AIDS (AIDS phase) dan sebagian kecil akan negatif pada
fase dini AIDS (Pre AIDS phase). Beberapa hal tentang kebaikan test ELISA adalah
nilai sensitivitas yang tinggi : 98,1% 100%, Western Blot memberi nilai spesifik
99,6% 100%. Walaupun begitu, predictive value hasil test positif tergantung dari
prevalensi HIV di masyarakat. Pada kelompokpenderita AIDS,predictive positive
value adalah 100% sedangkan pada donor darah dapat antara 5% 100%. Predictive
value dari hasil negatif. ELISA pada masyarakat sekitar 99,99% sampai 76,9% pada
kelompok risiko tinggi. Di samping keunggulan, beberapa kendala path test ELISA
yang perlu diperhatikan adalah :
1. Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibodi, bukan antigen (akhir-akhir ini
sudah ditemukan test ELISA untuk antigen). Oleh karena itu test uji baru akan
positif bila penderita telah mengalami serokonversi yang lamanya 23 bulan sejak
terinfeksi HIV, bahkan ada yang 5 bulan atau lebih (pada keadaan
immunocompromised). Kasus dengan infeksi HIV laten dapat temp negatif
selama 34 bulan.
2. Pemeriksaan ELISA hanya terhadap antigen jenis IgG. Penderita AIDS pada
taraf permulaan hanya mengandung IgM, sehingga tidak akan terdeteksi.
Perubahan dari IgM ke IgG membutuhkan waktu sampai 41 minggu.
3. Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV. Bila test ini
digunakan pada penderita HIV-2, nilai positifnya hanya 24%. Tetapi HIV2
paling banyak ditemukan hanya di Afrika.
4. Masalah false positive pada test ELISA. Hasil ini sering ditemukan pada
keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal ini disebabkan
karena morfologi HIV hasil biakan jaringan yang digunakan dalam test
kemurniannya berbeda dengan HIV di alam. Oleh karena itu test ELISA harus
dikorfirmasi dengan test lain.
Tes ELISA mempunyai sensitifitas dan spesifisitas cukup tinggi walaupun hasil
negatif tes ini tidak dapa tmenjamin bahwa seseorang bebas 100% dari HIV1
terutama pada kelompok resiko tinggi. Akhir-akhir ini test ELISA telah
menggunakan recombinant antigen yang sangat spesifik terhadap envelope dan

34
core. Antibodi terhadap envelope ditemukan pada setiap penderita HIV stadium apa
saja (Graf k). Sedangkan antibodi terhadap p24 (proten dari core) bila positif berarti
penderita sedang mengalami kemunduran/deteriorasi.
Penerapan ELISA pada Penyakit Filariasis
ELISA merupakan cara pemeriksaan untuk mendeteksi adanya antibodi atau
antigen dengan menggunakan suatu enzim dan substrat sebaga indikator. Teknik
ELISA ini pertama kali dikembangkanoleh Engvall dan Perlman. ELISA merupakan
tes yang sangat sensitif dan dapat digunakan di lapangan karena tidak memerlukan
peralatan yang rumit. Dengan digunakan enzim maka penggunaan zat radio aktif
seperti pada cara R.I.A. (Radio Immuno Assay) dapat dihindarkan. Pada cara ELISA
ini pengukuran dapat dilakukandengan menggunakan spektrofotometer, sedangkan
reagens yang dipakai mempunyai shelf life yang panjang. ELISA menunjukkan
sensitifitas yang sama dengan Radio Immuno Assay.
Aplikasi klinik dengan cara ELISA dapat digunakan untuk diagnosis serologi
penyakit infeksi, misalnya penetapan antibodi terhadap mikoorganisme, virus,
parasit, maupun untuk menunjang diagnosis penyakit non infeksi. Sebagai contoh
mendeteksi antibodi terhadap filariasis dengan menggunakan ekstrak Brugia malayi
sebagai antigen. Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Brugia
malayi, tersebar di berbagai daerah di Indonesia, antara lain di daerah Sulawesi
Tenggara. Penularan penyakit ini terjadi melalui gigitan nyamuk yang mengandung
larva infektif. Penyakit filaria merupakan penyakit menahun, yang dapat
mengakibatkan kesakitan dan juga cacit tubuh. Penduduk yang tinggal di darah
endemis filariasis dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok.
Kelompok pertama adalah penduduk yang amikrofilaremik, yang dapat
disertai dengan gejala klinis seperti: limphangitis, limfadenitis. Sebagian dari
kelompok amikrofilaremik dapat tidak disertai dengan gejala klinis sama sekali.
Kelompok yang kedua adalah penduduk yang mikrofilaremik yang sebagian dapat
disertai dengan gejala, sedangkan sebagian lagi tidak disertai dengan gejala klinis. -
Disamping kedua kelompok tersebut terdapat kelompok penduduk yang
menunjukkan gejala klinis elefantiasis, dimana dalam fase kronis ini biasanya
amikrofilaremik.

35
Di Sulawesi Tenggara terdapat suatu daerah endemis filariasis Brugia malayi.
Sebagian penduduk pada daerah berasal dari daerah non endemis yang selanjutnya
tinggal di daerah endemis tersebut. Pendatang yang tinggal di daerah endemis ini
mengalami pemaparan dengan antigen Brugia malayi, oleh karena tu penduduk pada
daerah tersebut akan membentuk antibodi terhadap antigen Brugia malayi. Maka
telah dikembangkan tes ELISA untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap filaria
pada penduduk tersebut.
Antigen: Merupakan larutan ekstrak mikrofilaria Brugia malayi yang dibiakkan pada
gerbil. Cacing mikrofilaria digerus dengan menggunakan tissue grinder, kemudian
disonikasi selama 3 detik (3 kali). Mikrofilaria yang telah hancur disuspensikan
dengan PBS pH 7,2; kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1(1.000 RPM selama
5 menit, dan supernatannya dikumpulkan. Setelah itu diukur kadar protein dari
larutan ekstrak tadi dengan menggunakan Spektrofotometer dengan panjang
gelombang 280.
Sera: Untuk tes pendahuluan kontrol positif berasal dari seseorang yang
mikrofilaremik. Contoh dikumpulkan dari 17 orang dari daerah non endemik sebagai
kelola negatip, 10 penduduk asli yang mikrofilaremik dan 8 orang amikrofilaremik.
Dikumpulkan sera dari 10 pendatang pada masa tinggal 8, 13, 26 dan 39 bulan.
Kesepuluh pendatang ini sampai saat masa tinggal 39 bulan belum menunjukkan
adanya mikrofilaremik.
Konjugasi: Alkalin fosfat anti human IgG dan IgM Miles Yeda LTD, dengan
konsentrasi 1 : 1000. Substrasi: Dipakai substrat p-nitrofenil.alkalin fosfat. Buffers
Coating buffer pH 9,6 untuk dilusi antigen. Phosphate Buffered Saline-Tween (PBS-
T), pH 7,4 untuk peneucian dan dilusi sera serta konjugasi 0,5% Bovine Serum
Albumin. (BSA) dilarutkan dalam coating buffer digunakan untuk Blokade.
Diethanolamine (DEA) pH 9,8 untuk melarutkan substrat p-nitrofenil alkalin fosfat,
(1 tablet substrat dalam 5ccDEA). Prinsip tes ELISA untuk tes pendahuluan
digunakan ekstrak mikrofilaria Brugia malayi sebaga antigen ditempelkan pada
lempeng. Mikro Elisa dengan konsentrasi 8, 4, 2 dan 1 mg/ml masing-masing
sebanyak 50 p di inkubasi selama 24 jam pada suhu 4°C kemudian dilakukan
pencucian 3 x 5 menit. Masukan pada masing-masing sumur 200 pl 0,5% Bovine
serum albumin, diamkan 'selama 30 menit pada suhu 37°C dan cuci 3 x 5 menit.

36
Tambahkan sera yang telah diifncerkan dengan PBST dalam konsentrasi 1/50, 1/100,
1/200 dan 1/400 masing-masing sebanyak 50 pl, diinkubasikan se-lama 1 jam pada
suhu 37°C. Setelah itu dilakukan pencucian 3 x 5 menit. Tambahkan konjugasi
alkalin fosfat anti human IgG dan IgM (produksi MILES YEDA LTD) dengan
konsentrasi 1 : 100 masing-masing sebanyak 50 p1, inlcubasikan selama 1 jam pada
suhu 37°C dan cuci 3 x 5 menit. Terakhir dimasukkan 50 pl substrate dan
diinkubasikan selam 30 menit. Hasil dibaca pada Elisa reader dengan menggunakan
panjang gelombang 405 nm (Anonimd. tanpa tahun)

Teknik PCR
Teknik yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi suatu penyakit
adalah dengan PCR. Uji ini sangat sensitive dalam mendeteksi virus, spesifik dalam
menentukan serotype dari virus dan tidak mengkonsumsi biaya yang besar dan waktu
yang lama. Selain digunakan dalam laboratorium diagnositik, PCR juga digunakan
dalam lembaga penelitian dan pengembangan dibidang mikrobiologik, genetic,
epidemiologi, klinik dan forensic serta di rumah sakit. Hal ini disebabkan oleh
pengaplikasiannya yang mudah, karena hanya membutuhkan beberapa zat pereaksi,
dan peralatan yang mudah dioperasikanserta metode kerja yang singkat.
Prinsip dari kerja PCR adalah memperbanyak (amplifikasi) potongan materi
genetic dengan menggunakan bantuan enzim sehingga mudah untuk dideteksi
jenisnya. Karena jenis materi genetic dari virus adalah RNA maka sebelumnya
dilakukan dulu proses pembalikan dari RNA menjadi DNA sebelum dilakukan
proses amplifikasi. Proses pembalikan ini dapat dilakukan dalam satu reaksi bersama
proses amplifikasi bersama mesin thermal cycler, sehingga proses ini dinamakan
reverse transcriptase PCR.
PCR disebut sebagai metode deteksi yang paling sensitive, karena dengan
hanya sedikit sampel sudah dapat mendeteksi penyakit. Dengan hanya 200 mikroliter
sampel serum darah suatu hewan sudah cukup untuk mendeteksi ada atau tidaknya
agen pentakit. Sementara itu salah satu bbahan yang digunakan dalam uji yang
berperandalam pembuatan PCR menjadi uji yang paling sensitif adalah dengan
menggunakan primer. Primer adalah DNA yang digunakan untuk memicu terjadinya
amplifikasi DNA, sehingga hanya spesifik untuk uji tertentu. Sebagai contoh, kita

37
hendak melakukan pendeteksian terhadap virus flu babi maka yang harus kita
gunakan adalah primer spesifik flu babi. Jika dalam sampel hewan terdapat virus flu
babi maka primer tersbut hanyalah akan menempel pada DNA virus flu babi
sehingga yang teramplifikasi menjadi jutaan copy hanyalah DNA virus flu babi.
Selain itu, dengan PCR kita dapat menjalankan banyak sampel sekaligus
dalam satu waktu sehingga sangat menghemat waktu dan biaya. Kemudahan aplikasi
dan waktu pendeteksian yang cepat inilah yang menjadi keunggulan utama dari
proses PCR.
Dalam proses PCR ini terdapat kelemahan diantaranya adalah harus
dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian Karena menggunakan beberapa zat kimia
yang berbahaya serta reagen yang digunakan cukup mahal. Namun kelemahan
tersebut tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan kegunaannya yang sangat
luas. Karena itu sangat tepat jika pendeteksian virus H1N1 pada hewan-hewan yang
melalui lalu lintas Karantina Hewan dilakukan dengan metode PCR, karena dengan
pengaplikasian PCR sebagai alat deteksi yang cepat, sensitive, spesifik dan tidak
terlalu mahal, akan meminimalisasi kemungkinan masuknya virus flu babi ke
Indonesia (Anonimf, Tanpa tahun).

7. Identifikasi Forensik
Seperti diketahui bersama dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dewasa ini, perkembangan di segala bidang kehidupan yang membawa kesejahteraan
bagi umat manusia, pada kenyataannya juga menimbulkan berbagai akibat yang tidak
diharapkan.Salah satu diantara akibat yang tidak diharapkan tersebut adalah
meningkatnya kuantitas maupun kualitas mengenai cara atau teknik pelaksanaan
tindak pidana, khusunya yang berkaitan dengan upaya pelaku tindak pidana dalam
usaha meniadakan sarana bukti, sehingga tidak jarang dijumpai kesulitan bagi para
petugas hukum untuk mengetahui korban dan atau pelakunya.
Selain itu kemajuan teknologi yang dijumpai pada sarana-sarana angkutan
baik udara, laut maupun darat yang menggunakan mesin-mesin modern dan canggih
sehingga mampu menempuh dalam ruang dan waktu dengan kecepatan yang sangat
tinggi dan daya angkut yang besar, disamping itu juga pembangunan gedung-gedung
besar dan bertingkat di kota-kota besar, seperti perkantoran, pasar dan kompleks

38
pertokoan, gedung-gedung pertunjukan dan hiburan, hotel-hotel, pabrik-pabrik dan
sebagainya; yang semuanya mempunyai resiko terhadap adanya kemungkinan
terjadinya musibah kecelakaan massal atau kebakaran, demikian pula persenjataan
perang dan bencana alam yang akan dapat menghancurkan semua benda dan manusia
yang menjadi korbannya sehingga sulit atau bahkan tidak dapat dikenali lagi.
Identifikasi forensik adalah usaha untuk mengetahui identitas seseorang yang
ditujukan untuk kepentingan forensik, yaitu kepentingan untuk proses peradilan.
Identifikasi forensik mempunyai arti yang besar, khususnya untuk membantu
penyidik dalam usahanya untuk membuktikan bahwa seseorang adalah korban atau
pelaku suatu tindak pidana yang telah terjadi(Anonim, 2009).
Teknik Sidik DNA
Sebagaimana diketahui bahwa teknologi DNA mengalami kemajuan pesat
mulai tiga dasawarsa terakhir. Teknologi biologi molekuler ini telah mampu
membuat terobosan-terobosan baru yang bermanfaat untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia di berbagai bidang. Di bidang pertanian, kita jumpai
penciptaan formulasi bibit-bibit unggul transgenik untuk meningkatkan kuantitas dan
kualitas produksi pangan. Di bidang kesehatan dapat dijumpai berbagai cara
pemeriksaan biomolekuler untuk diagnosis dan terapi penyakit, di bidang lingkungan
serta tidak ketinggalan di bidang forensikpun manfaatnya dapat diambil. Salah satu
teknologi DNA tersebut adalah “Teknik Sidik DNA”. Ada beberapa macam istilah
teknik yang digunakan yaitu:
1. DNA Fingerprinting, Sebenarnya tidak ada hubungannya dengan sidik jari. Istilah
fingerprinting dimaksudkan untuk mensejajarkan kemampuan DNA seperti
halnya pendahulunya yaitu sidik jari sebagai sarana identifikasi yang sangat
individual.
2. DNA Profiling (profil struktur/ susunan DNA)
3. DNA Typing (tipe struktur/ susunan DNA)
4. DNA Sequencing (urutan struktur/ susunan DNA)(Anonim, 2009).
Sejak diketahuinya sifat polimorfisme DNA yang sangat variatif pada genom
manusia, maka di bidang forensik dalam hal ini dapat digunakan sebagai sarana yang
sangat potensial untuk kepentingan identifikasi, yaitu bagi kasus-kasus baik kasus
pembunuhan (menyangkut korban atau pelaku tak dikenal) maupun berbagai kasus

39
paternitas misalnya: perkosaan, klamasi seorang ibu dengan anaknya terhadap laki-
laki sebagai ayah anak tersebut, bayi tertukar, abortus kriminalis, infantisid dll.
Pada kasus paternitas terdapat sebagaian kasus yang dengan pemeriksaan
golongan darah berbagai sistem, dari ABO sampai HLA, maupun polimorfisme
protein yang lain belum dapat menghasilkan pembuktian negatif (mengeksklusikan/
menyingkirkan yang bukan/ non paternitas) yang meyakinkan maka dengan
pemeriksaan polimorfisme DNA diharapkan dapat diperoleh hasil pembuktian positif
(mencoba menentukan yang paternitas) dengan lebih memuaskan.
Pada umumnya kegunaan pemeriksaan golongan darah berbagai sistem dan
lain-lain bentuk pemeriksaan selain sidik DNA adalah untuk menyingkirkan pihak-
pihak yang tidak bersalah, terlibat, tersangkut, non paternal, non maternal, non
parental dan sebagainya. Jadi untuk mengeksklusi saja, sedangkan sidik DNA
menentukan tersangka. Disebutkan bahwa pembuktian positif dengan polimorfisme
DNA kemungkinan salah adalah satu dalam 10 pangkat 19(Anonim, 2009).
Teknik sidik DNA merupakan suatu analisis identifikasi secara biomolekuler
yang struktur penyusun materinya mempunyai variasi pola yang berkarakter genetis.
Pada tahun 1944, oleh Roswald Avery dikemukakan bahwa DNA (Deoxyribo
Nucleic Acid) adalah suatu unsur biologi pada tingkat molekuler yang membawa
informasi genetik. Kemudian pada tahun 1953, Watson dan Crick menemukan
bahwa struktur molekul DNA berbentuk rantai ganda (Double helix). Tiap rantai
tersusun dari milyaran nukloetida, tiap nukleotida tersusun atas 3 molekul, yaitu
molekul gula (deoksiribosa), molekul fosfat dan molekul basa nitrogen. Basa
nitrogen ada 4 macam, yaitu A (Adenin), G (Guanin), C (Cytosin) dan T (Timin).
Kedua rantai dihubungkan dengan ikatan hidrogen antara basa-basa pasangannya.
Adenin selalu berikatan dengan Timin dan Guanin selalu berikatan dengan Cytosin.
Oleh pengaruh suhu/ senyawa kimia, rantai dapat menjadi terpisah (denaturasi) dan
berpasangan kembali (hibridasi).
Dasar penerapan sidik DNA untuk sarana identifikasi di bidang forensik yaitu
bahwa urutan susunan basa pada rantai DNA ini tidak sama pada setiap individu,
namun sama pada seluruh jaringan dalam satu individu. Jelasnya urutan susunan basa
DNA rambut si A tidak sama dengan urutan susunan basa pada rambut si B, tetapi

40
urutan susunan basa DNA rambut si A sama dengan susunan basa DNA sperma
maupun jaringan lainnya, misalnya otot, tulang, ataupun gigi milik si A.
Teknik sidik DNA diperkenalkan oleh Jefrey pada tahun 1983. Saat itu ada
masalah klaim seorang anak yang ibunya menjadi warga negara lain (warga negara
Inggris). Untuk Jefrey dengan tes sidik DNA kemungkinan salahnya 1 dalam 10
pangkat 19, padahal penduduk dunia pada waktu itu berjumlah sekitar 4 milyar
sehingga dapat dipastikan bahwa tes sidik DNA dapat membuktikan benar tidaknya
hubungan anak dengan ibunya tersebut. Pada tahun 1987, Leicestershire
Constabulary (kelembagaan seperti polisi atau pengadilan di Inggris) mulai
menerapkannya untuk melakukan suatu penyidikan pembunuhan. Sedangkan pada
tahun 1989, FBI mulai menggunakan teknik ini untuk penyidikan kasus-kasus
pembunuhan maupun penyelesaian kasus-kasus paternitas.
Dalam genom manusia yang terbagi dalam 23 pasang kromosom, terdiri atas
3 milyar nukleotida, tersimpan sandi untuk sekitar 100.000 macam gen karakter
suatu produk, yaitu protein termasuk enzim. Ini merupakan 5 persen bagian urutan
susunan basa DNA yang menyamdi (coding) yang disebut exon. Dalam exon, gen
yang menyandi suatu produk atau suatu ciri yang sama akan mempunyai urutan basa
yang sama, sebagai contoh, gen yang menyandi insulin urutan basanya sama untuk
setiap manusia. Urutan basa DNA selebihnya yang 95 persen ini tidak menyandi
(non-coding) atau belum diketahui fungsinya dan ternyata bagian ini sangat
bervariasi sehingga bagian inilah yang terutama dipergunakan untuk sarana
identifikasi karena berbeda-beda antara individu yang satu dengan yang lain. Bagian
non-coding ini disebut intron.
Polimorfisme yang terdapat pada susunan DNA, pertama disebebkan oleh
karena ada atau tidaknya sisi pengenal terhadap enzim restriksi, ini disebut
“Restriction Fragment Length Polymorfism” (RFLP). RFLP dengan demikian
merupakan potongan-potongan DNA yang berlainan panjangnya yang dihasilkan
dari pemotongan oleh enzim restriksi pada sisi polimorfismenya. Polimorfisme DNA
yang kedua adalah bahwa pada bagian tertentu terdapat sejumlah basa yang diulang-
ulang seperti mini satelit disebut “Variabel Number of Random Repeat” (VNTR).
Jumlah dan pengulangan ini sangat bervariasi sehingga tidak sama untuk setiap
individu. Selain RFLP dan VNTF, polimorfisme DNA terdapat pula pada lokus

41
HLA-DG alfa yang terletak pada lengan pendek kromosom 6. Lokus ini merupakan
bagian yang mengatur sistem imun. Polimorfisme DNA pada lokus ini adalah
sekuennya yang berbeda, asrtinya urutan basanya yang berbeda tetapi dalam
potonganrantai yang sama panjangnya.
Gambaran RFLP dan VNTR serta HLA-DQ alfa sangat spesifik untuk setiap
individu. Untuk mengetahui gambaran tersebut dapat dilacak dengan suatu pelacak
DNA atau disebut “probe”. Probe mempunyai urutan basa yang merupakan pasangan
urutan basa potongan DNA yang dilacak. Probe dibuat dengan menggunakan enzim
polimerase DNA. Agar DNA yang dilacak dan probe dapat berpasangan maka
keduanya maka keduanya harus berupa rantai tunggal. Probe biasanya dibuatkan
tanda (dilabel) dengan bantuan unsur radioaktif adar dapat divisualisasikan melalui
cara autoradiografi sehingga gambaran berupa pita-pita RFLP atau VNTR tersebut
dapat dilihat dan dibaca pada film sinar X.
Pelacak DNA atau probe ada dua macam, yaitu: Multi Locus Probe (MLP)
dan Single Locus Probe (SLP). MLP dapat berpasangan pada banyak tempat pada
DNA, sedangkan SLP hanya berpasangan pada satu tempat pada molekul DNA.
MLP memerlukan cukup banyak molekul DNA. Untuk sampal yang segar – pada
kasus barang bukti hidup, hal ini tidak masalah karena akan memberikan gambaran
yang spesifikasinya lebih tinggi walaupun sedikit tidak mudah membacanya. Hal ini
disebabkan karena gambar pitanya banyak. SLP tidak memerlukan jumlah DNA
yang banyak. Ini sesuai untuk sampel forensik yang jumlahnya sedikit apalagi sudah
mengalami kerusakan (pembusukan) pada kasus barang bukti mati. SLP memberikan
gambaran 2 buah pita, tetapi tingkat spesifikasnya lebih rendah daripada MLP.

Metode analisis DNA fingerprint


Asam deoksiribonukleat (DNA) adalah salah satu jenis asam nukleat. Asam
nukleat merupakan senyawa-senyawa polimer yang menyimpan semua informasi
tentang genetika. Penemuan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR) menyebabkan
perubahan yang cukup revolusioner di berbagai bidang. Hasil aplikasi dari tehnik
PCR ini disebut dengan DNA fingerprint yang merupakan gambaran pola potongan
DNA dari setiap individu. Karena setiap individu mempunyai DNA fingerprint yang

42
berbeda maka dalam kasus forensik, informasi ini bisa digunakan sebagai bukti kuat
kejahatan di pengadilan.
DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah DNA mitokondria dan DNA inti
sel. DNA yang paling akurat untuk tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa
berubah sedangkan DNA dalam mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis
keturunan ibu, yang dapat berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Dalam
kasus-kasus kriminal, penggunaan kedua tes DNA diatas, bergantung pada barang
bukti apa yang ditemukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Seperti jika ditemukan
puntung rokok, maka yang diperiksa adalah DNA inti sel yang terdapat dalam epitel
bibir karena ketika rokok dihisap dalam mulut, epitel dalam bibir ada yang tertinggal
di puntung rokok. Epitel ini masih menggandung unsur DNA yang dapat dilacak.
Untuk kasus pemerkosaan diperiksa spermanya tetapi yang lebih utama
adalah kepala spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel didalamnya. Sedangkan
jika di TKP ditemukan satu helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal ada
akarnya. Namun untuk DNA mitokondria tidak harus ada akar, cukup potongan
rambut karena diketahui bahwa pada ujung rambut terdapat DNA mitokondria
sedangkan akar rambut terdapat DNA inti sel. Bagian-bagian tubuh lainnya yang
dapat diperiksa selain epitel bibir, sperma dan rambut adalah darah, daging, tulang
dan kuku. Sistematika analisis DNA fingerprint sama dengan metode analisis ilmiah
yang biasa dilakukan di laboratorium kimia. Sistematika ini dimulai dari proses
pengambilan sampel sampai ke analisis dengan PCR. Pada pengambilan sampel
dibutuhkan kehati-hatian dan kesterilan peralatan yang digunakan. Setelah didapat
sampel dari bagian tubuh tertentu, maka dilakukan isolasi untuk mendapatkan sampel
DNA. Bahan kimia yang digunakan untuk isolasi adalah Phenolchloroform dan
Chilex. Phenolchloroform biasa digunakan untuk isolasi darah yang berbentuk cairan
sedangkan Chilex digunakan untuk mengisolasi barang bukti berupa rambut. Lama
waktu proses tergantung dari kemudahan suatu sampel di isolasi, bisa saja hanya
beberapa hari atau bahkan bisa berbulan-bulan.
Tahapan selanjutnya adalah sampel DNA dimasukkan kedalam mesin PCR.
Langkah dasar penyusunan DNA fingerprint dengan PCR yaitu dengan amplifikasi
(pembesaran) sebuah set potongan DNA yang urutannya belum diketahui. Prosedur
ini dimulai dengan mencampur sebuah primer amplifikasi dengan sampel genomik

43
DNA. Satu nanogram DNA sudah cukup untuk membuat plate reaksi. Jumlah
sebesar itu dapat diperoleh dari isolasi satu tetes darah kering, dari sel-sel yang
melekat pada pangkal rambut atau dari sampel jaringan apa saja yang ditemukan di
TKP. Kemudian primer amplifikasi tersebut digunakan untuk penjiplakan pada
sampel DNA yang mempunyai urutan basa yang cocok. Hasil akhirnya berupa kopi
urutan DNA lengkap hasil amplifikasi dari DNA Sampel.
Selanjutnya kopi urutan DNA akan dikarakterisasi dengan elektroforesis
untuk melihat pola pitanya. Karena urutan DNA setiap orang berbeda maka jumlah
dan lokasi pita DNA (pola elektroforesis) setiap individu juga berbeda. Pola pita
inilah yang dimaksud DNA fingerprint. Adanya kesalahan bahwa kemiripan pola pita
bisa terjadi secara random (kebetulan) sangat kecil kemungkinannya, mungkin satu
diantara satu juta. Finishing dari metode ini adalah mencocokkan tipe-tipe DNA
fingerprint dengan pemilik sampel jaringan (tersangka pelaku kejahatan).

44
BAB III
PENUTUP

Peran bioteknologi pada bidang kedokteran sangatlah banyak. Penggunaan


agen biologi dari makhluk hidup telah memberikan banyak manfaat dalam
mendiagnosa dan membantu penyembuhan penyakit. Beberapa penyakit yang sulit
disembuhkan oleh pengobatan tradisional, beberapa diantaranya mampu dijawab
oleh bioteknolgi kedokteran. kenyataan ini memberikan harapan bagi masadepan
kesehatan umat manusia yang lebih berkualitas. Maka penting bagi kita untuk
memberikan sumbangsih pikiran setidaknya informasi kepada khalayak dalam
rangka mendukung (sikap positif) terhadap perkembangan sains. Dalam rangka
menciptakan masyarakat yang edukatif dan berfikir ilmiah, yang nantinya diharapkan
tidak hanya mendukung tapi ikut berpartisipasi dalam perkembangan bioteknologi di
masa depan.

45
DAFTAR RUJUKAN

Saputra, Virgi. 2006. Dasar-dasar Stem Cell dan Potensi Aplikasinya dalam Ilmu
Kedokteran. (online).
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/153_12Dasarstemcelldanpotensiaplikasinya.pd
f/153_12Dasarstemcelldanpotensiaplikasinya.html, diakses 28 Februari 2013)

Anonim. 1999. DNA fingerprint, Metode Analisis Kejahatan pada Forensik. (Online)
(http://www.biotek.lipi.go.id/index.php?option=com_content&view=article
&id=315:DNA%20fingerprint,%20Metode%20Analisis%20Kejahatan%20p
ada%20Forensik&catid=8&Itemid=53, diakses tanggal 24 Februari 2013).

Anonim. 2009. Identifikasi Forensik. (Online),


(http://yukiicettea.blogspot.com/2009/10/forensik-identifikasi-forensik.html,
diakses tanggal 26 Februari 2013).

Anonim. 2009. SIDIK DNA(Online), (http://yukiicettea.blogspot.com/2009/12/sidik-


dna.html, diakses tanggal 26 Februari 2013).

Anonima. 2009. RIA Diagnosis. (Online),


http://www.total.or.id/info.php?kk=Diagnostic%20Routine, diakses tanggal 16
Februari 2010.

Anonimb, 2009. Diagnosis Tumor. (Online), http://www.naturindonesia.com/artikel-


kanker/546-diagnosis-tumor.html. diakses 1 april 2013.

Anonimc. 2007. Teknik Membuat Diagnosa. (Online),


http://chickaholic.wordpress.com/2007/10/23/teknik-membuat-diagnosa/,
diakses 26 Februari 2013.

Anonimd. Tanpa tahun. Fakta mengenai inveksi virus HIV. (Online),


http://hnz11.wordpress.com/2009/05/11/10-fakta-mengenai-infeksi-hiv/,
diakses 25 februari 2013.

Anonime. tanpa tahun. Pengembangan ELISA pemeriksaan filariasis. (Online),


http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_PengembanganELISAPemeriksaanFil
ariasis.pdf/18_PengembanganELISAPemeriksaanFilariasis.html, diakses 25
februari 2013.

Anonimf. tanpa tahun. Kesehatan hewan. (Onlione),


http://www.deptan.go.id/bpsdm/bbpkh_cinagara/index.php?option=com_conte
nt&view=article&id=81:teknis-diagnosa-flu-babi&catid=27:kesehatan-
hewan&Itemid=44 diakses 2 april 2013.

46
Susilowati. 2003. Pengantar Endokrinologi. Malang : UM Press.
Yayat. 2008. Teknik ELISA untuk Assay Hormon. (Online), http://suyat-
reproter.blogspot.com/2008/12/teknik-elisa-untuk-asai-hormon.html, diakses
26 Februari 2013.

47

Anda mungkin juga menyukai