Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

MANFAAT, EFEKTIVITAS DAN EFEK NEGATIF PENGGUNAAN


HORMONAL UNTUK PENUNDA HAID

DISUSUN OLEH:

Muhammad Deni Kurniawan

NIM I4061192024

DOKTER PEMBIMBING:

dr. Khaidir Anwar, Sp.OG(K)OBSOS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN OBSTETRI DAN


GINEKOLOGI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD DR SOEDARSO PONTIANAK
2021
ii

LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui referat dengan judul:

MANFAAT, EFEKTIVITAS DAN EFEK NEGATIF PENGGUNAAN


HORMONAL UNTUK PENUNDA HAID

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kesehatan Obstetri dan Ginekologi

Pontianak, Desember 2021


Pembimbing

dr. Khaidir Anwar, Sp. OG(K)OBSOS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN OBSTETRI DAN


GINEKOLOGI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD DR SOEDARSO PONTIANAK
2021
iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas berkat karunia dan rahmat-Nya
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Manfaat, efektivitas dan efek negatif penggunaan hormonal untuk penunda
haid”. Tugas referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura di RSUD dr. Soedarso Pontianak, serta diharapkan dapat
menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembacanya.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Khaidir
Anwar, Sp.OG(K)OBSOS, selaku pembimbing referat. Atas bantuan, masukan,
bimbingan, dan kerjasama beliau, maka tugas referat ini dapat diselesaikan
dengan sebaik-baiknya.
Penulis menyadari bahwa referat yang disusun ini juga tidak luput dari
kekurangan karena kemampuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga
tugas referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Akhir kata, atas segala perhatian dan dukungannya, penulis mengucapkan
terima kasih.

Pontianak, Desember 2021

Penulis

Muhammad Deni Kurniawan


iv

DAFTAR ISI

Lembar Cover i

Lembar Persetujuan ii

Kata Pengantar iii

Daftar Isi iv

BAB I PENDAHULUAN 5

1.1 Latar Belakang 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1 Siklus Haid 7

2.2 Penundaan dan Pengaturan Siklus Haid 16

2.2.1. Progesteron Tiruan 16

2.2.1. Pil Kombinasi 17

2.2.1. Analog GnRH 18

BAB III KESIMPULAN 20

DAFTAR PUSTAKA 21
5

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menstruasi atau haid atau datang bulan adalah perdarahan secara
periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium
yang dimulai sekitar 14 hari setelah ovulasi. Hubungan yang dinamis antara
hormon hipofisis dan gonad serta sifat siklik terdapat pada proses reproduksi
yang normal. Seorang wanita sebetulnya dapat mengkontrol kapan ia
mengalami menstruasi. Manipulasi menstruasi dilakukan dengan berbagai
alasan di antaranya adalah untuk menghindari menstruasi pada waktu-waktu
tertentu yang dianggap penting seperti waktu pernikahan, naik haji, saat ada
pekerjaan yang penting seperti ujian atau mengikuti kompetisi olahraga.
Salah satu cara dalam memanipulasi menstruasi yaitu dengan menggunakan
kontrasepsi hormonal (Hanafiah, 1997).
Kontrasepsi hormonal adalah alat atau obat kontrasepsi yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya kehamilan dimana bahan bakunya mengandung
preparat estrogen dan progesteron. Pemahaman mengenai siklus menstruasi
sangat erat kaitannya dengan penggunaan kontrasepsi hormonal disebabkan
kontrasepsi hormonal mempengaruhi “keseimbangan” dari siklus menstruasi
yang normal. Dengan menggunakan kontrasepsi maka angka kelahiran dapat
diturunkan. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) yang diperoleh dari Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) menunjukkan angka kelahiran di Indonesia masih cukup
tinggi yaitu tahun 1971 nilai angka kelahiran atau total fertility rate (TFR)
mencapai 5,61, tahun 1980 sebesar 4,68, tahun 1987 sebesar 3,39, tahun 1990
sebesar 3,02, tahun 1994 sebesar 2,86, tahun 1997 sebesar 2,78, dan 2002
sebesar 2,6. Dibandingkan dengan Amerika Serikat yang pada tahun 2003
sebesar 2,07 dan tahun 2010 sebesar 2,05 (BKKBN, 2008).
Penggunaan alat dan obat kontrasepsi selain memberikan keuntungan
berupa dapat memanipulasi pengaturan menstruasi, juga mempunyai
beberapa efek samping. Para wanita yang akan menggunakan kontrasepsi

5
6

hormonal untuk mengatur siklus menstruasinya diharapkan untuk


mempertimbangkan efek samping dari penggunaan kontrasepsi hormonal.
Selain itu juga diharapkan untuk mengetahui indikasi dan kontraindikasi
dalam pemakaian kontrasepsi hormonal sehingga dapat menggunakan
kontrasepsi hormonal secara aman.

B. Tujuan
1. Mengetahui siklus menstruasi yang normal.
2. Mengetahui cara untuk mengatur menstruasi dengan kontrasepsi
hormonal.

6
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Siklus Haid


Menstruasi atau haid atau datang bulan adalah perdarahan secara
periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium
yang dimulai sekitar 14 hari setelah ovulasi (Hanafiah, 1997).
1. Fisiologi Menstruasi
a. Profil Hormonal Selama Siklus Menstruasi
Sekarang diketahui bahwa dalam proses ovulasi harus ada
kerja sama antara korteks serebri, hipotalamus, hipofisis, ovarium,
glandula tiroidea, glandula suprarenalis, dan kelenjar-kelenjar
endrokrin lainnya. Yang memegang peranan penting dalam proses
tersebut adalah hubungan hipotalamus, hipofisis, dan ovarium
(hypothalamic-pituitary-ovarian axis). Menurut teori neurohumoral
yang dianut sekarang, hipotalamus mengawasi sekresi hormon
gonadotropin oleh adenohipofisis melalui sekresi neurohormon yang
disalurkan ke sel-sel adenohipofisis lewat sirkulasi portal yang
khusus. Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi
dan disebut Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) karena dapat
merangsang pelepasan Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle
Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis (Ganong, 2008; Guyton,
2008).
Siklus menstruasi normal dapat dipahami dengan baik dengan
membaginya atas fase folikuler, saat ovulasi, dan fase luteal.
Perubahan-perubahan kadar hormon sepanjang siklus menstruasi
disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara hormon
steroid dan hormon gonadotropin. Estrogen menyebabkan umpan
balik negatif terhadap FSH, sedangkan terhadap LH estrogen
menyebabkan umpan balik negatif jika kadarnya rendah, dan umpan
balik positif jika kadarnya tinggi. Tempat utama umpan balik

7
8

terhadap hormon gonadotropin ini mungkin pada hipotalamus


(Ganong, 2008; Guyton, 2008; Sloane, 2004).
Tidak lama setelah menstruasi mulai, pada fase folikuler dini,
beberapa folikel berkembang oleh pengaruh FSH yang meningkat.
Meningkatnya FSH ini disebabkan oleh regresi korpus luteum,
sehingga hormon steroid berkurang. Dengan berkembangnya folikel,
produksi estrogen meningkat, ini menekan produksi FSH. Folikel
yang akan berovulasi melindungi dirinya sendiri terhadap atresia,
sedangkan folikel-folikel lain mengalami atresia. Pada waktu ini LH
juga meningkat, namun peranannya pada tingkat ini hanya
membantu pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel
yang cepat pada fase folikel akhir ketika FSH mulai menurun,
menunjukkan bahwa folikel yang telah masak itu bertambah peka
terhadap FSH. Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen
dalam plasma jelas meninggi. Estrogen pada mulanya meninggi
secara berangsur-angsur, kemudian dengan cepat mencapai
puncaknya. Ini memberikan umpan balik positif terhadap pusat
siklik, dan dengan lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus,
mengakibatkan terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu menetap
kira-kira 24 jam dan menurun pada fase luteal.
Mekanisme turunnya LH tersebut belum jelas. Dalam beberapa
jam setelah LH meningkat, estrogen menurun dan mungkin inilah
yang menyebabkan LH itu menurun. Menurunnya estrogen mungkin
disebabkan oleh perubahan morfologik pada folikel. Mungkin pula
menurunnya LH itu disebabkan oleh umpan balik negatif yang
pendek dari LH terhadap hipotalamus. Lonjakan LH yang cukup saja
tidak menjamin terjadinya ovulasi; folikel hendaknya pada tingkat
yang matang, agar ia dapat dirangsang untuk berovulasi. Pecahnya
folikel terjadi 16-24 jam setelah lonjakan LH. Pada manusia
biasanya hanya satu folikel yang matang. Mekanisme terjadinya
ovulasi agaknya bukan oleh karena meningkatnya tekanan dalam
folikel, tetapi oleh perubahan-perubahan degeneratif kolagen pada

8
9

dinding folikel, sehingga ia menjadi tipis. Mungkin juga


prostaglandin F2 memegang peranan dalam peristiwa itu (Ganong,
2008; Guyton, 2008; Sloane, 2004).
Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel granulosa membesar,
membentuk vakuola dan bertumpuk pigmen kuning (lutein); folikel
menjadi korpus luteum. Vaskularisasi dalam lapisan granulosa juga
bertambah dan mencapai puncaknya pada 8-9 hari setelah ovulasi
(Ganong, 2008; Guyton, 2008; Sloane, 2004).
Luteinized granulosa cells dalam korpus luteum itu membuat
progesteron banyak, dan luteinized theca cells membuat pula
estrogen yang banyak, sehingga kedua hormon itu meningkat tinggi
pada fase luteal. Mulai 10-12 hari setelah ovulasi, korpus luteum
mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya
kapiler-kapiler dan diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan
estrogen. Masa hidup korpus luteum pada manusia tidak bergantung
pada hormon gonadotropin, dan sekali terbentuk ia berfungsi sendiri
(autonom). Namun, akhir-akhir ini diketahui untuk berfungsinya
korpus luteum, diperlukan sedikit LH terus-menerus. Steroidegenesis
pada ovarium tidak mungkin tanpa LH. Mekanisme degenerasi
korpus luteum jika tidak terjadi kehamilan belum diketahui. Empat
belas hari sesudah ovulasi, terjadi menstruasi. Pada siklus menstruasi
normal umumnya terjadi variasi dalam panjangnya siklus disebabkan
oleh variasi dalam fase folikuler (Ganong, 2008; Guyton, 2008;
Sloane, 2004).
Pada kehamilan, hidupnya korpus luteum diperpanjang oleh
adanya rangsangan dari Human Chorionic Gonadotrophin (HCG),
yang dibuat oleh sinsisiotrofoblast. Rangsangan ini dimulai pada
puncak perkembangan korpus luteum (8 hari pasca ovulasi), waktu
yang tepat untuk mencegah terjadinya regresi luteal. HCG
memelihara steroidogenesis pada korpus luteum hingga 9-10 minggu
kehamilan. Kemudian, fungsi itu diambil alih oleh plasenta (Ganong,
2008; Guyton, 2008).

9
10

Dari uraian di atas jelaslah bahwa kunci siklus menstruasi


tergantung dari perubahan-perubahan kadar estrogen. Pada
permulaan siklus menstruasi meningkatnya FSH disebabkan oleh
menurunnya estrogen pada fase luteal sebelumnya. Berhasilnya
perkembangan folikel tanpa terjadinya atresia tergantung pada
cukupnya produksi estrogen oleh folikel yang berkembang. Ovulasi
terjadi oleh cepatnya estrogen meningkat pada pertengahan siklus
yang menyebabkan lonjakan LH. Hidupnya korpus luteum
tergantung pula pada kadar minimum LH yang terus menerus. Jadi,
hubungan antara folikel dan hipotalamus bergantung pada fungsi
estrogen, yang menyampaikan pesan-pesan berupa umpan balik
positif atau negatif. Segala keadaan yang menghambat produksi
estrogen dengan sendirinya akan mempengaruhi siklus reproduksi
yang normal (Ganong, 2008; Guyton, 2008).

Gambar 1. Siklus hormonal

10
11

Gambar 2. Siklus menstruasi

b. Siklus Ovarium
Siklus ovarium terdiri dari 2 fase, yaitu fase folikular dan fase
luteal. Siklus menstruasi mempunyai hipotesis berlangsung selama
28 hari, fase folikuler dan luteal kira-kira 14 hari lamanya dari siklus
menstruasi.
1) Fase folikular
Pada fase ini hormon reproduksi bekerja mematangkan sel
telur yang berasal dari 1 folikel kemudian matang pada
pertengahan siklus dan siap untuk proses ovulasi (pengeluaran
sel telur dari indung telur). Waktu rata-rata fase folikular pada
manusia berkisar 10-14 hari, dan variabilitasnya mempengaruhi

11
12

panjang siklus menstruasi keseluruhan (Wiknjosastro, 1984;


Guyton, 2008).
Pada setiap siklus menstruasi, FSH yang dikeluarkan oleh
hipofisis merangsang perkembangan folikel-folikel di dalam
ovarium (indung telur). Pada umumnya hanya 1 folikel yang
terangsang namun dapat perkembangan dapat menjadi lebih dari
1, dan folikel tersebut berkembang menjadi folikel de graaf yang
membuat estrogen. Estrogen ini menekan produksi FSH,
sehingga hipofisis mengeluarkan hormon yang kedua yaitu LH.
Produksi hormon LH maupun FSH berada di bawah pengaruh
releasing hormones yang disalurkan hipotalamus ke hipofisis.
Penyaluran RH dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik
estrogen terhadap hipotalamus. Produksi hormon gonadotropin
(FSH dan LH) yang baik akan menyebabkan pematangan dari
folikel de graaf yang mengandung estrogen. Estrogen
mempengaruhi pertumbuhan dari endometrium. Di bawah
pengaruh LH, folikel de graaf menjadi matang sampai terjadi
ovulasi (Wiknjosastro, 1984; Guyton, 2008).
2) Fase luteal
Fase luteal adalah fase dari ovulasi hingga menstruasi
dengan jangka waktu rata-rata 14 hari. Setelah ovulasi terjadi,
dibentuklah korpus rubrum yang akan menjadi korpus luteum, di
bawah pengaruh hormon LH dan LTH (luteotrophic hormones,
suatu hormon gonadotropik). Korpus luteum menghasilkan
progesteron yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kelenjar
endometrium. Bila tidak ada pembuahan maka korpus luteum
berdegenerasi dan mengakibatkan penurunan kadar estrogen dan
progesteron. Penurunan kadar hormon ini menyebabkan
degenerasi, perdarahan, dan pelepasan dari endometrium. Proses
ini disebut haid atau menstruasi. Apabila terdapat pembuahan
dalam masa ovulasi, maka korpus luteum tersebut dipertahankan
(Wiknjosastro, 1984; Guyton, 2008).

12
13

Gambar 3. Ovarium dan folikel-folikel dalam berbagai tingkat


perkembangan

c. Siklus Endometrium
Siklus endometrium dapat dibedakan menjadi 3 fase utama,
yaitu fase proliferasi, sekresi, dan menstruasi (Hanafiah, 1997).
1) Fase proliferasi
Fase proliferasi dimulai ketika darah menstruasi berhenti
sampai hari ke-14. Pada fase proliferasi terjadi pertumbuhan dari
desidua fungsionalis untuk mempersiapkan rahim untuk
perlekatan janin. Pada fase ini endometrium tumbuh kembali.
Antara hari ke-12 sampai 14 dapat terjadi pelepasan sel telur
dari indung telur (disebut ovulasi).
Pada awal fase proliferasi, kelenjar-kelenjar umumnya
masih lurus, pendek dan sempit. Epitel kelenjar memperlihatkan
peningkatan aktivitas mitotik. Epitel dan komponen-komponen
stroma terus bertumbuh cepat sepanjang fase proliferasi. Dan
pada akhir fase proliferasi ini, permukaan endometrium menjadi
agak bergelombang (Heffner dan Schust, 2008; Hanafiah, 1997).
2) Fase sekresi

13
14

Fase sekresi adalah masa sesudah terjadinya ovulasi.


Hormon progesteron dikeluarkan dan mempengaruhi
pertumbuhan endometrium untuk membuat kondisi uterus siap
untuk implantasi (perlekatan janin ke rahim). Jika implantasi
blastokis berhasil, maka kadar hCG serum dan progesteron akan
mulai meningkat 7-10 hari sesudah ovulasi (yaitu hari ke-21-24
dari siklus menstruasi). Peningkatan kadar progesteron
menimbulkan perubahan pada endometrium yang dikenal
sebagai desidualisasi. Desidua kehamilan terutama terdiri dari
sel-sel stroma eosinofilik yang sembab, yang memiliki tampilan
mirip jalan setapak (Heffner dan Schust, 2008; Hanafiah, 1997).
3) Fase menstruasi
Fase menstruasi berlangsung selama 2-8 hari. Pada saat itu
endometrium dilepaskan sehingga timbul perdarahan dan
hormon-hormon ovarium berada dalam kadar paling rendah.
Bila tidak terjadi kehamilan, maka akan diamati perubahan-
perubahan endometrium sekunder dari penurunan produksi
hormon oleh korpus luteum pada hari ke-24. Lapisan fungsional
dari stroma akan mulai menciut, dan kelenjar-kelenjar
endometrium menjadi lebih berkelok-kelok dan tampak
bergerigi. Konstriksi intermiten dari arteria spiralis
menyebabkan stasis kapiler-kapiler lapisan fungsional, iskemia
jaringan, dan ekstravasasi darah ke dalam stroma dan
pembentukan hematom-hematom kecil. Akhirnya terjadi
deskuamasi dan pengelupasan seluruh lapisan endometrium
fungsional (Heffner dan Schust, 2008; Hanafiah, 1997).
2. Gambaran Klinis Menstruasi
Panjang siklus menstruasi ialah jarak antara tanggal mulainya
menstruasi yang lalu dan mulainya menstruasi berikutnya. Hari mulainya
perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Karena jam mulainya
menstruasi tidak diperhitungkan dan tepatnya waktu keluar menstruasi
dari ostium uteri eksternum tidak dapat diketahui, maka panjang siklus

14
15

mengandung kesalahan 1 hari. Panjang siklus menstruasi yang normal


atau dianggap sebagai siklus menstruasi yang klasik ialah 28 hari, tetapi
variasinya cukup luas, bukan saja antara beberapa wanita tetapi juga pada
wanita yang sama. Sebagian besar wanita pertengahan usia reproduktif,
perdarahan menstruasi terjadi setiap 25-35 hari dengan median panjang
siklus adalah 28 hari. Selang waktu antara ovulasi dan hingga awitan
perdarahan menstruasi relatif spontan dengan rata-rata 14 ± 2 hari pada
kebanyakan wanita. Rata-rata panjang siklus menstruasi pada gadis usia
12 tahun ialah 25,1 hari, pada wanita usia 43 tahun 27,1 hari, dan pada
wanita usia 55 tahun 51,9 hari. Jadi, sebenarnya panjang siklus
menstruasi 28 hari itu tidak sering dijumpai. Dari pengamatan Hartman
pada kera ternyata bahwa hanya 20% saja panjang siklus menstruasi 28
hari (Hanafiah, 1997; Guyton, 2008; Price dan Lorraine, 2005).
Lama keluarnya darah menstruasi juga bervariasi. Pada umumnya
lamanya 4 sampai 6 hari, tetapi antara 2 sampai 8 hari masih dapat
dianggap normal. Pengeluaran darah menstruasi terdiri dari fragmen-
fragmen kelupasan endrometrium yang bercampur dengan darah yang
banyaknya tidak tentu. Biasanya darahnya cair, tetapi apabila kecepatan
aliran darahnya terlalu besar, bekuan dengan berbagai ukuran sangat
mungkin ditemukan. Ketidakbekuan darah menstruasi yang biasa ini
disebabkan oleh suatu sistem fibrinolitik lokal yang aktif di dalam
endometrium (Hanafiah, 1997; Guyton, 2008; Price dan Lorraine, 2005).
Rata-rata banyaknya darah yang hilang pada wanita normal selama
satu periode menstruasi telah ditentukan oleh beberapa kelompok
peneliti, yaitu 25-60 ml. Konsentrasi Hb normal 14 gr per dl dan
kandungan besi Hb 3,4 mg per g, volume darah ini mengandung 12-29
mg besi dan menggambarkan kehilangan darah yang sama dengan 0,4
sampai 1,0 mg besi untuk setiap hari siklus tersebut atau 150 sampai 400
mg per tahun (Hanafiah, 1997; Guyton, 2008; Price dan Lorraine, 2005).

15
16

2.2. Penundaan dan Pengaturan Menstruasi


Pengaturan menstruasi atau manipulasi/supresi menstruasi adalah suatu
usaha untuk mengatur siklus menstruasi seorang wanita dengan
mempergunakan preparat hormonal, sehingga memungkinkan seorang wanita
lebih jarang mengalami siklus menstruasi atau menghindari menstruasi pada
waktu tertentu. Preparat hormonal tersebut mengandung kombinasi hormon
estrogen dan progesteron atau hanya mengandung progesteron saja.
Pengaturan menstruasi dapat dilakukan cara mengundurkan
(penundaan) atau mempercepat menstruasi. Proses penundaan menstruasi
hendaknya hanya dilakukan bila memang benar-benar dianggap perlu sekali,
misalnya pada saat melakukan ibadah haji, atlit yang akan berkompetisi,
wanita yang hendak berbulan madu.
Preparat hormonal yang sering digunakan dalam pengaturan menstruasi
adalah:
1. Progesteron Tiruan
Berbagai progesteron tiruan dapat digunakan untuk pengaturan
menstruasi seperti turunan progesteron maupun turunan testosteron. Jenis
progesteron tiruan yang banyak digunakan adalah medroksiprogesteron
asetat, nomogestrol asetat, noretisteron, linestrenol dan levonorgestrel.
a. Penundaan Menstruasi
Cara menunda menstruasi adalah dengan memberikan tablet
progesteron tiruan jenis apapun, paling lambat 14 hari sebelum
menstruasi yang berikutnya datang dan dihentikan pemakaiannya 3
hari sebelum menstruasi yang diinginkan. Menstruasi biasanya akan
datang 2-3 hari setelah penghentian progesteron tiruan. Progesteron
tiruan  dimulai penggunaannya pada hari ke-5 siklus menstruasi.
Progesteron tiruan diminum setiap hari, dengan waktu yang sama.
Progesteron tiruan ini dapat diberikan berbulan-bulan. Efek samping
yang timbul biasanya jarang.
b. Memajukan Menstruasi
Cara ini jarang sekali digunakan karena lazimnya wanita
sebagian besar ingin menunda masa menstruasinya. Tetapi bila

16
17

seorang wanita ingin memajukan menstruasinya 6 hari lebih awal


dari menstruasi yang akan datang, maka dapat memulai memakai
progesteron tiruan tablet hari ke-5 sampai hari ke-19 dari siklus
menstruasi.

Gambar 7. Sediaan progesteron tiruan


2. Pil Kombinasi
Pil kombinasi dapat juga digunakan untuk pengaturan menstruasi.
Cara penggunaannya sama dengan penggunaan tablet progesteron. Pada
pil kombinasi yang mengandung tablet plasebo, maka plasebo tersebut
harus dibuang. Penggunaan pil kombinasi untuk pengaturan menstruasi
sangat saedikit menimbulkan perdarahan bercak. Bila terjadi perdarahan
bercak, cara penanganannya adalah dengan penambahan 1 tablet pil
serupa pada saat perdarahan bercak itu terjadi. Bla berhenti, maka tidak
perlu ditambah lagi untuk hari berikutnya, bila setelah pemberian 1 tablet
masih mengalami perdarahan bercak, jangan ditambahkan lagi untuk hari
berikutnya.

3. Analog GnRH

17
18

GnRH alamiah merupakan hormon peptida pendek yang terdiri


dari rangkaian 10 asam amino. GnRH ini memiliki waktu paruh yang
singkat, ikatan reseptor yang lemah dan sangat mudah di hancurkan oleh
enzim peptidase . Untuk mendapatkan analog GnRH, maka susunan asam
amino pada GnRH alami diganti dengan asam amino lain pada rantai 6
dan 10. Menurut cara kerjanya analog GnRH di bagi dalam dua bentuk,
yaitu agonis GnRH dan antagonis GnRH.
Analog GnRH pada umumnya banyak digunakan sebagai
pengobatan endometriosis dan perdarahan uterus disfungsional.
Pemberian analog GnRH sangat efektif dalam menghentikan perdarahan.
Selama pemberian, pada umumnya menstruasi seorang wanita akan
berhenti total. Cara pemberian analog GnRH sebaiknya diberikan antara
hari pertama sampai hari ke-5 pada siklus menstruasi. Pemberian
dilakukan 1 bulan sekali. Untuk keperluan ibadah haji cukup diberikan 2
kali saja. Analog GnRH hanya boleh diberikan sampai 6 kali.
Kekurangan dari pemberian analog GnRH adalah harganya yang mahal.
GnRH dapat diberikan secara intravena atau subkutaneus,
sedangkan GnRH agonis dapat diberikan secara subkutan, intramuskular,
atau nasal spray. Waktu paruh GnRH yang diberikan secara intravena
adalah 4 menit, sedangkan waktu paruh pemberian GnRH agonis secara
intramuskular dan intranasal adalah 3 jam. Degradasi GnRH terjadi di
hipotalamus dan kelenjar hipofisis. GnRH agonis mempunyai afinitas
yang tinggi terhadap reseptor GnRH yang menyebabkan penurunan
kemungkinan proses degradasi GnRH di dalam tubuh.
Pada pemberian agonis GnRH secara kontinyu (nonpulsatil), maka
agonis GnRH tersebut akan menduduki reseptor di hipofisis anterior,
dengan cara mengurangi sensitifitas hipofisis terhadap rangsangan agonis
GnRH sehingga terjadi penurunan sekresi LH dan FSH. Akibatnya
produksi estrogen dan progesteron pun oleh ovarium akan berkurang
(receptor down-regulation). Long-acting GnRH agonis ini (leuprolide,
nafarelin, goserelin) mengakibatkan keadaan hipogonadal
hipogonadotropik yang disebut pseudomenopause, tetapi stilah itu kurang

18
19

tepat karena pada menopause ovarium tidak memproduksi estrogen


karena tidak ada folikel. Pada keadaan tersebut terjadi kenaikan kadar
gonadotropin yang bermakna. Sebaliknya perempuan yang mendapat
terapi agonis GnRH tidak memproduksi estrogen karena kedua ovarium
tidak mendapatkan rangsang gonadotropin yang adekuat, akibatnya kadar
FSH dan LH sangat rendah.
Pada awal pemberian terjadi stimulasi reseptor dan dengan
sendirinya terjadi pengeluaran LH dan FSH dalam jumlah besar,
sehingga terjadi pemicuan sintesis estrogen dan progesteron di ovarium
(flare up). Ikatan reseptor agonis GnRH ini sangat kuat (slow
reversibility), sehingga meskipun pemberiannya telah dihentikan namun
efeknya terhadap tubuh manusia masih ada berbulan-bulan. Karena cara
kerjanya yang menimbulkan flare up, dan mengurangi sensitivitas
hipofisis anterior.

BAB III

19
20

KESIMPULAN

1. Menstruasi atau menstruasi atau datang bulan adalah perdarahan secara


periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium
yang dimulai sekitar 14 hari setelah ovulasi
2. Kontrasepsi hormonal merupakan alat atau obat kontrasepsi yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya kehamilan yang bahan bakunya mengandung
preparat estrogen dan progesteron.
3. Kontrasepsi hormonal dapat memanipulasi atau mengatur siklus menstruasi,
tetapi harus memperhatikan indikasi dan kontraindikasinya.
4. Mekanisme kerja kontrasepsi dalam pengaturan siklus menstruasi sesuai
dengan kerja hormon estrogen dan progesteron.
5. Pengaturan menstruasi dapat dilakukan dengan cara memajukan dan
memundurkan siklus menstruasi dengan menggunakan progesteron tiruan, pil
kombinasi, dan analog GnRH.

DAFTAR PUSTAKA

20
21

Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,


Departemen Kesehatan RI dan Macro Internasional. 2008. Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta.
Cunningham, F. G., Gant, N. F., Levono, K. J., et all. 2006. Obstetri Williams
Volume 2. Edisi 21. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1696-1747.
(hormon, kontrasepsi)
Ganong, W. F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Glasier, Anna. 2002. Historical Perspective Contraception - past and future.
Nature Cell Biology & Nature Medicine.
Graziottin, Alessandra. 2006. A Review of Transdermal Hormonal Contraception.
Treat Endrocinol. 5 (6), 359-365.
Guyton, A. C. dan Jhon, E. H. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC Medical Publisher, 1065-1078.
Hanafiah, M. J. 1997. Haid dan Siklusnya. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB,
Sumapraja S. Ilmu Kandungan. Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo, 103-124.
Handayani, Sri. 2010. Buku Ajar Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta:
Pustaka Rihama.
Hartanto, Hanafi. 2010. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Heffner, L. J. dan Schust, D. J. 2008. At a Glance Sistem Reproduksi. Edisi
Kedua. Jakarta: Erlangga, 38-39, 58.
Hillard, P. A. 2002. Menstruation in young girls: A Clinical perspective. Am J
Obstet Gynecol, No 4, 655-662.
Proverawati, A., dkk. 2010. Panduan Memilih Kontrasepsi. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Saifuddin, A. B, dkk. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sloane, E. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 345-363.
Pinem, Saroha. 2009. Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi. Jakarta: TIM.

21
22

Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC Medical Publisher, 1277-
1289.
Wiknjosastro, H. 1984. Fisiologi Haid. Dalam: Prawirohardjo S, Wiknjosastro H,
Sumapraja S, Saifuddin AB. Ilmu Kebidanan. Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 37-43.

22

Anda mungkin juga menyukai