Anda di halaman 1dari 88

KEMISKINAN

EKSTREM DESA

FISIP UB dan Pusdatin


Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi
Kemiskinan Ekstrem Desa

2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
KATA PENGANTAR ix

BAB I
PENDAHULUAN 11
1.1.
LATAR BELAKANG 11
1.2. MAKSUD, TUJUAN, DAN SASARAN 16
A.
Maksud 16
B.
Tujuan 17
C.
Sasaran 17
1.3.
RUANG LINGKUP 18
1.3.1 Ruang Lingkup Pekerjaan 18
1.3.2 Ruang Lingkup Wilayah 19
1.4.
DASAR HUKUM 20
1.5. SISTEMATIKA PEMBAHASAN 22

BAB II
METODOLOGI 24
2.1. Metode Pengumpulan Data 24
2.1.1
Survei Primer 24
2.1.2 Pengumpulan Data Sekunder 25
2.2.
Metode Analisis 28
2.2.1 Analisis Data Lapangan 28
2.2.2
Analisis ROCCIPI 29
2.3. Konsep Kemiskinan Ekstrim 38

BAB III
LANGKAH KERJA 44
3.1. STRUKTUR ORGANISASI KERJA 44
3.1.1
Tenaga Ahli 44
3.1.2
Tenaga Pendukung 45
3.2. Tahapan Pekerjaan dan Jadwal Kegiatan 45
A.
Persiapan Penyusunan 45
B. Tahapan Pengumpulan Data 46
C. Identifikasi dan Analisis 47
D. Perumusan Rekomendasi Kebijakan 47
3.3.
SISTEMATIKA LAPORAN 49
1.
Laporan Pendahuluan 49
2.
Laporan Akhir 50
3. Buku Deluxe Executive Summary. 51
4.
Softcopy 52

BAB IV
ANALISIS DATA KEMISKINAN EKSTREM 38
4.1. INDEKS KEPARAHAN KEMISKINAN
VERSUS STANDAR KEMISKINAN EKSTREM 53
4.2. DATA KEMISKINAN EKSTREM
DI KABUPATEN LAMONGAN.................................... 58
4.3. DATA KEMISKINAN EKSTREM
DI KABUPATEN PROBOLINGGO.............................. 69
4.4. DATA KEMISKINAN EKSTREM
DI KABUPATEN BOJONEGORO................................ 76
4.5. DATA KEMISKINAN EKSTREM
DI KABUPATEN BANGKALAN................................... 84

BAB V
ANALISIS ROCCIPI................................... 94
5.1. Analisis ROCCIPI................................................. 94
5.2. Faktor Obyektif Dalam ROCCIPI..................... 96
5.3. Faktor Subyektif Dalam Penentuan
Data Kemiskinan............................................................. 111

BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ......... 119
6.1. KESIMPULAN........................................................ 119
6.2. REKOMENDASI.................................................... 123

DAFTAR PUSTAKA........................................................ 124


DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Data Bappenas Persentase Penduduk Miskin
2019 – 2021............................................................................ 12

Tabel 2.1 Karakter Penduduk Miskin Kronis.................. 43

Tabel 3.1 Komposisi Tenaga Ahli...................................... 44

Tabel 3.2 Komposisi Tenaga Pendukung....................... 45

Tabel 3.3 Jadwal Kegiatan Konsolidasi Data Kemiskinan


Ekstrim Provinsi Jawa Timur............................................... 48

Tabel 4.1 Data Garis Kemiskinan dan Jumlah Penduduk


Miskin 4 Kabupaten............................................................... 54

Tabel 4.2 Perbandingan Jumlah Penduduk Miskin dan


Miskin Ekstrem........................................................................ 55

Tabel 4.3 Data Kemiskinan Ekstrem di Kabupaten


Lamongan................................................................................. 60

Tabel 4.4 Jumlah data miskin ekstrem berdasarkan SK


Bupati dan perubahannya................................................... 70

Tabel 4.5 Jumlah data penduduk miskin di SK Bupati dan


Perubahannya......................................................................... 77

Tabel 4.6 Jumlah penduduk miskin ekstrem dan


perubahannya di Kabupaten Bangkalan......................... 85
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Program Kemendes...................................... 14

Gambar 4.1 Foto seorang kakek tinggal sebatangkara di


Desa Gunungrejo................................................................... 61

Gambar 4.2 Foto bu Saemah, janda miskin di Desa Jrejeg


Kecamatan Modo................................................................... 65

Gambar 4.3 Foto relawan survey bersama Nenek Mutiam


(Kiri) dan Aron (Kanan) tinggal sebatang kara di Desa Curah
Tulis............................................................................................ 72

Gambar 4.4 Foto ibu Siti Isnur Azizah, warga miskin


ekstrem di desa Kedungsumur, Pakuniran.................... 73

Gambar 4.5 Foto rumah warga miskin

di desa Kendung.................................................................... 82

Gambar 4.6 Warga miskin ekstrem di Desa Sekar,


Kecamatan Sekar................................................................... 83

Gambar 4.7 Kondisi fasilitas jalan di desa Galis Kecamatan


Galis........................................................................................... 87

Gambar 4.8 Foto relawan dan warga miskin ekstrem di


desa Galis Daya..................................................................... 89

Gambar 4.9 Foto warga miskin ekstrem dengan kondisi


rumah rusak di desa Alas Kokon, Kec Modung............ 90
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
Laporan Akhir Kegiatan ini dapat diselesaikan
dengan baik. Tidak lupa juga kami memberikan
ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu dan berkontribusi dalam
penyusunan laporan kegiatan terkait “Konsolidasi
Data Penanganan Kemiskinan Ekstrem Desa”.
Adapun maksud dalam penyusunan Laporan
Akhir ini adalah untuk memberikan masukan
atau rekomendasi kepada pemerintah, khususnya
Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah
Tertinggal, dalam mengaplikasikan kebijakan
verifikasi dan validasi data kemiskinan ekstrem di
Provinsi Jawa Timur yang ditetapkan melalui SK
Bupati.
Kemiskinan ekstrem merupakan program
pemerintah yang ditetapkan pada tahun 2021.
Program ini mengacu pada peraturan Menteri
Keuangan No 162 tahun 2021 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan nomor
17/PMK.07/2021 tentang Pengelolaan Transfer
ke Daerah dan Dana Desa Tahun Anggaran 2021
dalam rangka Mendukung Penanganan Pandemi
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan
Dampaknya. Program penanganan kemiskinan
ekstrem ini juga merupakan target dari pemerintah
untuk mengentaskan kemiskinan pada tahun
2024 hingga mencapai level mendekati 0 persen.
Penyelesaian Laporan Akhir ini tentu tak lepas
dari kesalahan. Oleh karena itu masukan dan
saran dari berbagai pihak agar dalam penyusunan
laporan akhir kegiatan ini sangat diharapkan agar
kegiatan serupa dapat dilakukan dengan lebih
baik. Semoga laporan akhir ini dapat memberikan
informasi yang cukup dalam membantu
pemerintah menangani kemiskinan ekstrem di
wilayah perdesaan di Provinsi Jawa Timur dan
secara nasional berkontribusi dalam pencapaian
target Sustainable Development Goals (SDGs).

Malang, Desember 2021

Penyusun
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

Kajian ini akan berfokus pada konsolidasi data


penanganan kemiskinan ekstrim di Provinsi Jawa
Timur. Berdasarkan data yang tersedia di Badan
Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, data tingkat
kemiskinan di Provinsi yang terletak di bagian
timur pulau Jawa ini hanya tersedia hingga tahun
2019 (BPS Jawa Timur, 2019). Namun pada
tanggal 30 September 2021 lalu, Pemerintah
Provinsi Jawa Timur melalui Gubernur Khofifah
Indar Parawansa mengumumkan data terbaru
tentang angka Kemiskinan Ekstrem di provinsi
ini adalah sebesar 4,4 persen dari total penduduk
atau sekitar 1,746.990 juta jiwa.
Berkaitan dengan penanganan kemiskinan
Ekstrim di Jawa Timur, Wakil Presiden K.H.
Ma’ruf Amin, memaparkan bahwa terdapat lima
kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang menjadi
prioritas penanggulangan kemiskinan ekstrem
2021. Lima kabupaten tersebut terdiri dari
Kabupaten Probolinggo dengan tingkat kemiskinan
ekstrem 9,74 persen dan jumlah penduduk miskin
ekstrem 114.250 jiwa; Kabupaten Bojonegoro
dengan tingkat kemiskinan ekstrem 6,05 persen
dan jumlah penduduk miskin ekstrem 50.200 jiwa;
Kabupaten Lamongan dengan tingkat kemiskinan
ekstrem 7,37 persen jumlah dan penduduk miskin
ekstrem 87.620 jiwa; Kabupaten Bangkalan
dengan tingkat kemiskinan ekstrem 12,44 persen
dan jumlah penduduk miskin ekstrem 123.490
jiwa; serta Kabupaten Sumenep dengan tingkat
kemiskinan ekstrem 11,98 persen dan jumlah

15
Kemiskinan Ekstrem Desa

penduduk miskin ekstrem 130.750 jiwa. Secara


keseluruhan jumlah penduduk miskin ekstrem di
Jawa Timur mencapai 508.571 jiwa dengan total
jumlah rumah tangga miskin ekstrem 265.180
rumah tangga (Sekretariat Kabinet RI, 2021).
Oleh karena itu, sebagaimana yang disampaikan
oleh Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin terkait
pentingnya konsolidasi data kemiskinan ekstrem
dalam rangka penurunan angka kemiskinan
ekstrem, perlu juga dilakukan konsolidasi
data penanggulangan kemiskinan ekstrem
agar dapat mengukur ketercapaian program.
Harapannya kajian ini dapat menjadi alat ukur
dalam mengevaluasi dan menguatkan kebijakan
Kemendes PDTT dalam penanggulangan
kemiskinan ekstrem.

1.2. MAKSUD, TUJUAN, DAN SASARAN


Berikut adalah maksud, tujuan, dan sasaran
dari penelitian konsolidasi data kemiskinan
ekstrem di Jawa Timur.
A. Maksud
Maksud dilakukannya kajian ini adalah
sebagai upaya untuk melakukan konsolidasi data
penanganan kemisknan ekstrim Desa di Provinsi
Jawa Timur.

B. Tujuan

16
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

Ada beberapa tujuan dari kegiatan Konsolidasi


data penanganan kemisknan ekstrim desa di
Provinsi Jawa Timur, antara lain adalah:
1. Konsolidasi data kemiskinan ekstrem desa
di Jawa Timur
2. Mengukur ketercapaian program
penanganan kemiskinan ekstrim desa di Jawa
Timur.
3. Melakukan upaya konsolidasi data
penanganan kemiskinan ekstrem desa di Jawa
Timur.
4. Merumuskan rekomendasi dan arah
kebijakan penanganan kemiskinan ekstrem desa
di Jawa Timur.

C. Sasaran
Adapun sasaran dari kegiatan konsolidasi data
penanganan kisknan ekstrim Desa di Provinsi
Jawa Timur adalah:
1. Adanya identifikasi data penanganan
kemisknan ekstrim Desa di Provinsi Jawa Timur;
2. Adanya identifikasi ketercapaian program
penanganan kemiskinan ekstrim desa di Jawa
Timur;
3. Adanya data penanganan kemiskinan
ekstrem desa di Jawa Timur
4. Tersusunya rekomendasi dan arah

17
Kemiskinan Ekstrem Desa

kebijakan berdasarkan hasil evaluasi penanganan


kemiskinan ekstrem desa di Jawa Timur.

1.3.RUANG LINGKUP
1.3.1 Ruang Lingkup Pekerjaan
Ruang Lingkup kegiatan Konsolidasi data
penanganan kemisknan ekstrim desa di Provinsi
Jawa Timur adalah sebagai berikut:
1. Pemantapan metode pelaksanaan
kegiatan, dimana tenaga ahli membuat
suatu metode kajian yang terukur dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
2. Identifikasi dan pengumpulan dokumen
dan data sekunder, dimana kegiatan ini dilakukan
untuk pengumpulan dokumen sebagai dasar
dalam melakukan evaluasi. Data yang dibutuhkan
berupa dokumentasi, laporan, dan data sejenisnya.
3. Pengumpulan data primer melalui indept
interview kepada sasaran dari program yang
dimaksud untuk memperoleh data dan informasi
yang relevan.
4. Melakukan analisis evaluasi program
penanganan kemisknan ekstrim desa di Provinsi
Jawa Timur
5. Melakukan perumusan kebijakan
berdasarkan data dan hasil analisis.
6. Mempresentasikan dan memaparkan hasil

18
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

Transmigrasi;
• Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Pedoman Umum Pembangunan Desa dan
Pemberdayaan Masyarakat Desa (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
1633);
• Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 166 Tahun 2014 tentang Program
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
• Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 96 Tahun 2015 tentang Perubahan
atas Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010
tentang Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan
• RPJMN 2015-2019 Bidang Sosial
Budaya, Sarpras, dan Wilayah Tata Ruang,
dengan Penekanan pada Substansi Kemiskinan
oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional Tahun 2014
• Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 3
Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan
Gubernur Nomor 51 Tahun 2017 tentang
Pedoman Umum Penyaluran Beras Bersubsidi
Dalam Program Percepatan dan Perluasan
Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Jawa Timur

21
Kemiskinan Ekstrem Desa

• Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor


188/ 119 /Kpts/013/2019 Tentang Tim Pembina
Program Anti Kemiskinan (Anti-Poverty Program)
Provinsi Jawa Timur Tahun 2019
• Nota Kesepahaman antara Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi dengan Universitas Brawijaya
Nomor: 08/M/HK.07.01/IX/2021 dan Nomor:
121.1/ UN 10/KS/2021 tentang Pendidikan,
Penelitian, dan Pengabdian pada Masyarakat di
Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

1.5. SISTEMATIKA PEMBAHASAN


Laporan penelitian konsolidasi data
penanganan kemiskinan di Jawa Timur ini disusun
dalam sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini berisi latar


belakang, tujuan, sasaran, ruang lingkup kegiatan
dan wilayah, dasar hukum serta sistematika
pembahasan dalam dokumen Laporan Akhir
Konsolidasi Data Penanganan Kemiskinan di
Jawa Timur.

BAB II METODOLOGI Pada bab ini berisi


tentang metode dan pendekatan pelaksanaan
kegiatan yang meliputi metode pengumpulan data
dan informasi. Serta untuk analisa serta metode

22
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

yang digunakan untuk penyusunan dokumen


Laporan Akhir Konsolidasi Data Penanganan
Kemiskinan di Jawa Timur.

BAB III LANGKAH KERJA Pada bab ini berisi


tentang tahapan pelaksanaan kerja, jangka waktu
pelaksanaan, komposisi tenaga ahli yang terlibat
serta sistematika pelaporan dalam kegiatan
penyusunan dokumen Laporan Akhir Konsolidasi
Data Penanganan Kemiskinan di Jawa Timur.

BAB IV LAPORAN HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada bab ini berisi tentang laporan konsolidasi
dan anaslisa data penanganan kemiskinan
ekstrem di Jawa Timur, khususnya di Kabupaten
Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Kabupaten
Bangkalan, dan Kabupaten Probolinggo.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab


ini berisi kesimpulan dari keseluruhan Laporan
Akhir Konsolidasi Data Penanganan Kemiskinan di
Jawa Timur dan ditambah saran dan rekomendasi
kebijakan terkait tema penelitian.

23
Kemiskinan Ekstrem Desa

BAB II
METODOLOGI

2.1. Metode Pengumpulan Data


Terkait dengan metode pengumpulan data
dalam kegiatan kegiatan Konsolidasi data
penanganan kemisknan ekstrim desa di Provinsi
Jawa Timur terbagi menjadi 2 (dua) yaitu terkait
dengan survei primer dan survei sekunder. Terkait
dengan penjelasan keduanya akan dibahas
sebagai berikut.

2.1.1 Survei Primer


Pengumpulan data primer merupakan metode
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
pengamatan langsung ke lokasi penelitian. Teknik
atau metode yang termasuk dalam metode
pengumpulan data primer yaitu, sebagai berikut:
1. Teknik observasi lapangan Pengamatan
yang melibatkan semua indera ( penglihatan,
pendengaran, penciuman, pembau, perasa).
Observasi lapangan merupakan pengamatan
secara langsung dan pencatatan yang sistematis
tentang hal-hal yang berhubungan dengan
kegiatan penelitian yang dilakukan.
2. Wawancara Pengambilan data secara
lisan langsung pada sumber data, baik melalui
tatap muka maupun telepon. Wawancara

24
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

dilakukan kepada stakeholder yang terlibat


dalam kegiatan Konsolidasi Data Penanganan
Kemiskinan Ekstrim di Provinsi Jawa Timur.
Kegiatan ini melibatkan beberapa pemangku
kepentingan yaitu diantaranya:
a. Aparatur desa yang tersebar di 100 desa
di Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Bojonegoro,
Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten
Probolinggo.
b. Pemangku kepentingan lain yang terlibat
adalah Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa (DPMD) Kabupaten Bangkalan, Kabupaten
Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, dan
Kabupaten Probolinggo.

2.1.2 Pengumpulan Data Sekunder


Metode pengumpulan data secara sekunder
merupakan metode pengumpulan data dengan
mempelajari karya ilmiah, literatur-literatur,
laporan-laporan serta pustaka lain yang
berhubungan dengan masalah yang dibahas.
Pengumpulan data sekunder dilakukan dari studi
pustaka dan instansi terkait.
1. Studi literatur Studi literatur yaitu
pengumpulan data yang diperoleh dari buku-
buku, jurnal, dan studi-studi yang memiliki
keterkaitan dengan objek penelitian di Kabupaten
Sumenep.

25
Kemiskinan Ekstrem Desa

2. Instansi terkait Pengumpulan data dari


instansi terkait yaitu berupa dokumen-dokumen
yang terdapat di instansi-instansi pemerintahan
terkait yang berhubungan dengan objek yang
diteliti. Terkait dengan kebutuhan data sekunder
untuk melengkapi kegiatan konsolidasi data
kemiskinan ekstrim ini antara lain adalah sebagai
berikut:
• Perpres Nomor 18 Tahun 2020 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2020-2024;
• Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 158,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5336);
• Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5495);
• Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun
2020 tentang Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 2020 Nomor
192);
• Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang

26
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

Organisasi dan Tata Kerja Kementerian


Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi;
• Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Pedoman Umum Pembangunan Desa dan
Pemberdayaan Masyarakat Desa (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
1633);
• Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 166 Tahun 2014 tentang Program
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
• Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 96 Tahun 2015 tentang Perubahan
atas Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010
tentang Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan
• RPJMN 2015-2019 Bidang Sosial
Budaya, Sarpras, dan Wilayah Tata Ruang,
dengan Penekanan pada Substansi Kemiskinan
oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional Tahun 2014
• Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 3
Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan
Gubernur Nomor 51 Tahun 2017 tentang
Pedoman Umum Penyaluran Beras Bersubsidi
Dalam Program Percepatan dan Perluasan

27
Kemiskinan Ekstrem Desa

Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Jawa Timur


• Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor
188/ 119 /Kpts/013/2019 Tentang Tim Pembina
Program Anti Kemiskinan (Anti-Poverty Program)
Provinsi Jawa Timur Tahun 2019
• Nota Kesepahaman antara Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi dengan Universitas Brawijaya
Nomor: 08/M/HK.07.01/IX/2021 dan Nomor:
121.1/ UN 10/KS/2021 tentang Pendidikan,
Penelitian, dan Pengabdian pada Masyarakat di
Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

2.2. Metode Analisis


Kegiatan konsolidasi data kemiskrinan
ekstrim Provinsi Jawa Timur ini menggunakan
Analisis Data Lapangan dan Analisis ROCCIPI.

2.2.1 Analisis Data Lapangan


Analisis data lapangan merupakan
kegiatan yang dilakukan paska survey lapangan
di 4 Kabupaten, 20 Kecamatan, dan 100 Desa.
Analisi data lapangan ini memiliki karakteristik
deskriptif dan naratif. Penjabaran data-data
di lapangan ditambahkan dengan data-data
sekunder berupa gambar, tabel, dan grafik untuk
mempertajam analisis kemiskinan ekstrem.
Selain itu data-data sekunder dari jurnal-

28
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

jurnal bertemakan kemiskinan juga disertakan


agar diperoleh penggambaran utuh terhadap
kemiskinan ekstrem di Lamongan, Probolinggo,
Bojonegoro, dan Bangkalan.

2.2.2 Analisis ROCCIPI


Analisis ROCCIPI dikenal secara luas sebagai
metode penyelesaian masalah berbasis pada
lima faktor yaitu (1) Rules, (2) Opportunity, (3)
Capacity, (4) Communication, (5) Interest, (6)
Process, dan (7) Ideology. Metode ini dikenal luas
sebagai cara untuk menjelaskan perilaku atau
keadaan yang terus berulang, repetitive, dalam
rangka memahami dan menyelesaikan masalah
dari sebuah objek. Dengan cara memahami pola
perilaku tersebut, seorang peneliti atau pengambil
kebijakan dapat mengusulkan respon kebijakan
yang tepat untuk mengubah perilaku tersebut.
ROCCIPI merupakan akronim dari 7 (tujuh)
kategori atau faktor-faktor yang menjadi
bagian dari perilaku problematis. Setiap factor
berfokus pada satu aspek dari sebuah perilaku
dan menjabarkan pertanyaan-pertanyaan yang
mengarah pada jawaban-jawaban pemecahan
masalah daripada sebuah objek atau aktor.

29
Kemiskinan Ekstrem Desa

Menurut versi Bahasa Indonesia elemen-


elemen dari ROCCIPI disebut juga sebagai
Metode Pemecahan Masalah PKKKPKI. PKKKPKI
merupakan akronim daripada beberapa factor
yaitu:
P Peraturan (faktor obyektif)
K Kesempatan (faktor obyektif)
K Kemampuan (faktor obyektif)
K Komunikasi (faktor obyektif)
P
Proses (faktor obyektif)
K Kepentingan (faktor subyektif)
I Ideologi (faktor subyektif)

Pada tahapan berikutnya akan dijabarkan


perbedaan-perbedaan antara faktor obyektif
dan faktor subyektif dan dielaborasi setiap faktor
daripada metode penyelesaian masalah PKKPKKI
tersebut.

(a) Faktor Obyektif


Terdapat sebanyak 5 (lima) faktor dalam
agenda pemecahan masalah berbasis PKKPKKI
yang dikategorikan sebagai faktor obyektif –
yaitu yang disebut sebagai faktor yang mungkin
bisa diukur atau diperbandingkan dalam sebuah
standar atau dengan cara kuantitatif maupun

30
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

kualitatif. Dengan mengelaborasi faktor obyektif


ini dalam upayanya untuk menjelaskan sebuah
perilaku dapat mengarahkan peneliti atau
pengambil kebijakan pada penjelasan yang
tajam, subtle, dan kuat, powerful, tentang sebuah
perilaku. Kelima faktor tersebut adalah Peraturan
(Rule), Kesempatan (Opportunity), Kemampuan
(Capacity), Proses (Process), dan Komunikasi
(Communication).

(1) Peraturan
Konsep peraturan atau rule paling banyak
mengacu pada aturan, hukum, atau norma sosial
yang mempengaruhi perilaku daripada aktor atau
stakeholder dan berkontribusi pada permasalahan
yang problematik.
Beberapa contoh dimana peraturan
berpengaruh kuat pada permasalahan adalah (1)
adanya aturan yang ambigu, (2) adanya aturan
yang membolehkan atau membutuhkan adanya
perilaku problematis, (3) adanya aturan yang
tidak menyelesaikan akar penyebab dari perilaku
problematis, (4) adanya aturan yang tidak
akuntabel atau transparan dalam penerapannya,
dan (5) adanya aturan yang terlalu luas ruang
lingkup penerapannya atau mungkin juga
tidak luwes dan terlalu membatasi munculnya
kebijaksanaan yang baru.

31
Kemiskinan Ekstrem Desa

(2) Kesempatan
Konsep kesempatan atau opportunity
mengacu pada kondisi situasional, peluang, atau
probabilitas dimana sebuah peran atau seorang
pelaku (atau pemangku kepentingan) terlibat
dalam perilaku problematis atau dihadapkan
pada pilihan mematuhi atau melanggar sebuah
peraturan, hukum, atau norma sosial. Contoh
lainnya untuk menggambarkan hal ini adalah
bahwa munculnya tindak kejahatan kriminal secara
probabilitas muncul karena adanya kesempatan,
bukan sekedar adanya niat dari pelaku. Perilaku
koruptif dalam pengelolaan dana sosial tertentu
bisa muncul karena adanya kesempatan untuk
penggelembungan anggaran atau kesempatan
untuk melakukan pemotongan anggaran.

(3) Kemampuan
Konsep kemampuan mengacu pada skill,
kecakapan (atau ketidakcakapan) atau kapabilitas
pelaku (atau stakeholder) dimana harus mereka
terlibat dalam permasalahan sosial tertentu atau
kecakapan mematuhi atau melanggar sebuah
aturan, hukum, dan norma sosial. Kemampuan
juga meliputi adanya hambatan-hambatan
yang mungkin merintangi atau menghalangi
kecakapan seorang pelaku untuk terlibat dalam
perilaku sosial yang problematis. Sebagai contoh

32
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

misalnya perilaku koruptif dalam birokrasi bisa


muncul karena kemampuan seorang pelaku dalam
mengelola anggaran pemerintah.

(4) Komunikasi
Terma komunikasi mengacu pada
efektifitas sebuah aturan, hukum, dan norma
sosial terkomunikasikan atau tersampaikan pada
seorang pelaku (atau stakeholder) yang menjadi
obyek hukum dari aturan, hukum, dan norma
sosial tersebut. Jika seseorang atau masyarakat
tidak mengetahui perilaku yang diperbolehkan
atau dilarang maka bagaimana mungkin juga
mereka diharapkan akan bertindak sesuai dengan
aturan hukum tersebut? Sebagai contoh adanya
peraturan untuk menggunakan masker selama
pandemi tidak akan dipatuhi oleh masyarakat
jika aturan tersebut tidak disosialisasikan secara
masif kepada khalayak luas.

(5) Proses
Terma proses mengacu pada kriteria dan
prosedur (atau aspek-aspek pragmatik dan
logistik) yang (1) menjelaskan sebuah siklus
atau tahapan dimana seorang pelaku akan
memutuskan untuk mematuhi atau melanggar
aturan, dan (2) menganjurkan atau mencoba
menghalangi seorang pelaku (atau stakeholder)
melakukan perilaku sosial problematis. Faktor

33
Kemiskinan Ekstrem Desa

ini secara khusus penting bagi sebuah institusi


(seperti pemerintah, korporasi, partai politik,
dan lembaga sosial) dimana sebuah proses
pengambilan keputusan tidak diberikan hanya
pada satu orang individu. Dalam sebuah instansi
pemerintahan, biasanya terdapat manual
prosedur yang mengatur seorang pegawai
pemerintah untuk melakukan tindakan sesuai
dengan tahapan-tahapan tertentu. Di instansi
perusahaan, ketersediaan manual prosedur
biasanya menentukan kualitas output/produk
yang dihasilkan. Contoh mudahnya, ketika
seseorang membeli sebuah gadget baru biasanya
dia membutuhkan buku panduan, guidebook,
yang menuntun pembeli memahami bagian-
bagian dan fungsi-fungsi dalam gadget tersebut.

(b) Faktor Subyektif


Faktor subyektif adalah elemen-elemen yang
tidak mampu diukur dengan cara obyektif atau
kuantitatif. Elemen ini juga sering berkelindan
dengan lima faktor obyektif ketika menjelaskan
perilaku sosial problematik. Kedua faktor subyektif
yang ada dalam metode pemecahan masalah
ROCCIPI atau PKKKPKI ini adalah (1) Kepentingan
dan (2) Ideologi.

34
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

(6) Kepentingan
Konsep kepentingan mengacu pada motifasi
psikologis terhadap hal berupa materi atau non
materi yang dianggap penting bagi pelaku (atau
stakeholder) untuk terlibat dalam perilaku sosial
menyimpang. Bagi pelaku, hal ini dianggap
sebagai kalkulasi untung-rugi untuk mematuhi
atau melanggar aturan, hukum, dan norma
sosial. Terdapat banyak macam motifasi pribadi
masuk sebagai kepentingan yang cukup untuk
mempengaruhi atau berkontribusi terhadap
perilaku sosial menyimpang. Faktor ini juga
termasuk ‘disinsentif’ yang menghalangi perilaku
baik.

(7) Ideologi
Konsep ideologi merujuk kepada nilai-nilai
dan sikap yang membentuk pandangan terhadap
dunia dan karena itu membentuk keputusan
individu. Ideologi juga mencakup motivasi
subyektif apa pun yang bukan merupakan
‘kepentingan’. Hal ini merupakan latar belakang
dan nilai-nilai pribadi setiap orang yang menuntun
orang tersebut dalam setiap rangkaian keadaan
dan mempengaruhi bagaimana orang tersebut
menyikapi setiap keadaan. Ideologi adalah konsep
yang lebih praktis ( practical) daripada agama.
Misalnya begini, dalam agama perilaku koruptif
adalah norma terlarang dan konsekuensinya
berakibat pada dosa. Namun beberapa orang

35
Kemiskinan Ekstrem Desa

penganut agama tertentu menjabarkan lebih


lanjut norma agama tersebut ke dalam kategori-
kategori perilaku koruptif dan tidak koruptif
sehingga ditemukan alasan pembenar untuk
melakukan tindakan korupsi.

(c) Penjelasan berlapis dan tumpang tindih dari


perilaku menyimpang
Seringkali, lebih dari satu faktor bisa berinteraksi
untuk mempengaruhi atau berkontribusi pada
lahirnya perilaku menyimpang. Misalnya, sebuah
peraturan mempengaruhi seorang pelaku agar
pelaku tersebut melakukan tindakan menyimpang
dengan melibatkan orang lain karena sang pelaku
tidak memiliki kapasitas untuk melakukannya.
Contohnya adalah ketika seorang Pejabat
Negara pembutuhkan peran dari perusahaan
rekanan ( pihak ketiga) dalam melakukan tindak
pidana korupsi. Tindakanseorang pejabat negara
tersebut dilakukan untuk menghindari aturan
yang menghalangi dia untuk secara langsung
melakukan tindak pidana korupsi. Keterlibatan
pihak ketiga atau perusahaan rekanan disini
sebagai pelengkap dari sisi faktor kemampuan
dari pihaknya untuk melakukan tindakan korupsi.
Pada konteks ini faktor aturan berkelindan dengan
faktor kemampuan.
Dalam contoh lain seorang pelaku tindakan
menyimpang bisa saja tidak peduli terhadap

36
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

aturan karena kegagalannya untuk menerima


informasi (aspek komunikasi) secara cukup. Pada
konteks ini faktor peraturan berkombinasi dengan
faktor komunikasi.

(c) Penjelasan perilaku menyimpang menentukan


solusi
Penting untuk diketahui bahwa analisis
ROCCIPI tidak hanya merupakan faktor yang
mempengaruhi atau berkontribusi terhadap
perilaku sosial yang problematis, namun juga
sebagai faktor penimbang keberhasilan sebuah
kebijakan yaitu untuk merubah perilaku sosial
problematis.
Sebagai contoh, jika pengambil kebijakan
menentukan bahwa seorang pelaku (atau
stakeholder) gagal untuk bertindak dalam cara
yang tertuang pada hukum karena seorang
pelaku tersebut tidak peduli terhadap aturan
hukum – atau dengan kata lain bahwa tidak cukup
adanya komunikasi hukum – maka solusi logisnya
adalah untuk mengambil kebijakan yang mampu
mengkomunikasikan hukum pada pihak yang
bersangkutan. Atau solusinya adalah memberi
penjelasan hukum terhadap subjek pelaku.
Sebaliknya, sebuah solusi berupa sanksi
terhadap pelaku hukum karena telah melanggar
hukum akan menghasilkan efek yang tidak
diinginkan, karena hal itu tidak menjawab

37
Kemiskinan Ekstrem Desa

persoalan yang telah ditentukan sebelumnya


yaitu kurangnya komunikasi aturan hukum.
Adanya sanksi tidak membantu sang pelaku untuk
mencari tahu tentang aturan hukum sehingga
mereka dapat mematuhinya. Jadi dalam hal ini,
sanksi adalah sebuah solusi yang tidak logis. Cara
yang lebih baik adalah dengan menghasilkan
solusi yang mana mereka dapat menyelesaikan
penjelasan perilaku yang telah ditentukan dengan
menggunakan metode penyelesaian masalah
berbasis ROCCIPI atau metode PKKKPKI.

2.3. Konsep Kemiskinan Ekstrim


Komitmen dan upaya pemerintah
Indonesia dalam menurunkan jumlah dan
persentase kemiskinan sangatlah kuat. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya program-program
pembangunan ekonomi dan penyaluran bantuan
sosial untuk memberantas kemiskinan. Namun
pada dasarnya komitmen dan upaya pemerintah
tersebut harus diiringi dengan pemahaman
yang baik tentang apa definisi kemiskinan dan
bagaimana tingkat kemiskinan itu diukur. Jika
terdapat jarak pemahaman (gap) antara kebijakan
untuk memberantas kemiskinan dan pemahaman
yang benar tentang ukurannya secara makro
ekonomi dan mikro ekonomi, maka sangat
mungkin hasil yang diperoleh dari kebijakan-
kebijakan pembangunan dan penyaluran bantuan
sosial pemerintah akan menghasilkan luaran yang

38
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

mengecewakan. Memahami siapa orang miskin


sangat terhubung dengan bagaimana kemiskinan
dan karakteristiknya dapat diukur secara tepat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS)
tidak menyediakan formulanya sendiri untuk
mengukur kemiskinan. Selama ini Pemerintah
RI menggunakan konsep dan standar yang
digunakan di banyak negara di seluruh dunia untuk
mengukur jumlah dan persentase kemiskinan di
Indonesia.
Konsep yang digunakan selama ini
umumnya menyandarkan kemiskinan dengan
skala moneter – kemiskinan adalah kurangnya
pendapatan dalam bentuk uang cash untuk
menunjang pengeluaran rumah tangga
(UNESCAP, 2017). Mengapa ukuran yang
ada didasarkan pada skala moneter? Hal ini
dikarenakan definisi pendapatan berupa uang
sudah cukup jelas dan mudah diukur. Berbagai
studi telah menunjukkan bagaimana level
pendapatan untuk pengeluaran rumah tangga
berkorelasi secara positif dengan variabel kunci
kemiskinan, seperti status sosial, deprivasi
sosial dengan berbagai variabel turunannya,
dan akses terhadap berbagai kesempatan (kerja,
sumber daya air, sumber daya makanan, dan lain
sebagainya).
Berdasarkan data divisi statistik dari
United Nations Economic and Social Commission
for Asia and the Pacific, dari sebanyak 84 negara

39
Kemiskinan Ekstrem Desa

berkembang lebih dari 50 persen negara di dunia


menggunakan pendekatan pengeluaran rumah
tangga untuk konsumsi dalam data kemiskinan,
sementara itu 30 persen negara lainnya
menggunakan pendekatan pendapatan (uang),
dan sisanya (20%) menggunakan kombinasi
keduanya (UNESCAP, 2017).
Dalam menentukan seseorang itu miskin
atau tidak, selama ini ukuran yang digunakan
adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk
membeli makanan dengan standar kalori minimum
yaitu 2100 kilo kalori per hari ditambah dengan
kebutuhan dasar non-makanan lainnya. Sejumlah
uang ini kemudian digunakan untuk menetapkan
standar garis kemikinan. Jika seseorang telah
mengeluarkan sejumlah uang di atas standar
tersebut maka diklasifikasikan sebagai bukan
penduduk miskin, sementara jika sejumlah uang
yang dikeluarkan di bawah standar tersebut maka
dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Kesepakatan mengenai definisi dan
metode penetapan garis kemiskinan tersebut
didasarkan pada rekomendasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) di pertemuan antara FAO
dan WHO bertajuk Human Energy Requirement:
Expert Consultation di Roma, Italia, pada tahun
2001 dan 2005. Namun perlu dicatat bahwa
bahkan sebelum pertemuan tersebut kebanyakan
negara berkembang telah mengadopsi konsep

40
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

dan operasionalisasinya. Hingga kini definisi dan


metode untuk mengukur garis kemiskinan ini
digunakan di banyak negara, meskipun terdapat
perbedaan kecil antar beberapa negara dalam
hal jumlah minimum kalori per hari yang harus
dikonsumsi seseorang.
Sementara itu berdasarkan data resmi
United Nations Development Programme (UNDP),
pemerintah menetapkan definisi kemiskinan
adalah kemampuan seorang individu memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs approach).
Kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang
secara finansial memenuhi kebutuhan dasar
berupa makanan dan non-makanan yang diukur
dari tingkat pengeluaran rumah tangga (Modjo,
2017).
Kementerian PPN / Bappenas mengungkapkan
konsep yang disebut kemiskinan ekstrim atau
disebut juga kemiskinan kronis. Sama dengan
data dari UNESCAP, standar kemiskinan yang
ditetapkan adalah tingkat pengeluaran uang untuk
membeli makanan yang setara 2100 Kkal per hari
dan pengeluaran minimal lainnya (BAPPENAS,
2021). Dengan asumsi itu maka Kementerian
PPN / Bappenas menetapkan standar kemiskinan
ekstrim dengan mendasarkan diri pada standar
paritas daya beli atau purchasing power parity
(PPP) yang ditetapkan oleh Bank Dunia untuk
Indonesia ialah sebesar USD 1,9 per kapita per hari.

41
Kemiskinan Ekstrem Desa

Berdasarkan hal itu maka jika kurs dollar adalah


USD 1 = Rp 14.370 ( per tanggal 12 Desember
2021), maka seseorang bisa dikategorikan miskin
ekstrim jika memiliki pendapatan sehari kurang
dari 27.303 Rupiah per hari.
Kemudian Kementerian PPN / Bappenas
menjelaskan bahwa tingkat kemiskinan kronis
sebelum pandemi (2015-2019) mengalami tren
penurunan. Rata-rata penurunannya adalah
sekitar 800 ribu orang per tahun. Dengan asumsi
itu, Bappenas menargetkan kemiskinan ekstrim
atau kronis akan turun signifikan pada akhir 2024
dengan kisaran penurunan yaitu pada rentang 0 –
1 % atau ditaksir sekitar 3 juta penduduk miskin
ekstrim pada tahun tersebut. Data terakhir yang
disampaikan oleh Kepala Badan Pusat Statistik,
Margo Yuwono, penduduk yang dikategorikan
berada di bawah garis kemiskinan ekstrim di
Indonesia mencapai 10,41% dari total penduduk
Indonesia atau sebanyak 27,5 juta orang
penduduk (Berita Satu, 2021).

42
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

3.3. SISTEMATIKA LAPORAN


Sistematika dalam pelaporan kegiatan
Konsolidasi Data Kemiskinan Ekstrim Provinsi
Jawa Timur terbagi menjadi 4 bagian yaitu
Laporan Pendahuluan, Laporan Akhir, Buku
Deluxe Executive Summary, dan Softcopy. Terkait
dengan detail dan spesifikasinya adalah sebagai
berikut:

1. Laporan Pendahuluan
Laporan Pendahuluan memuat tentang
gambaran umum wilayah studi, rencana kegiatan,
metodologi pelaksanaan, jenis-jenis pekerjaan,
cara penyelesaian masing-masing jenis pekerjaan
serta perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk
penyelesaiannya serta cara kerja yang akan
diterapkan berdasarkan waktu studi yang
akan dilaksanakan, Ruang lingkup kegiatan
dan keterlibatan tenaga ahli maupun tenaga
pendukung yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
pekerjaan tersebut serta fakta-fakta yang
diperoleh dari data sekunder untuk selanjutnya
dikaji dan dianalisa yang dilengkapi dengan peta/
gambar, tabel dan lampiran pendukung lainnya.

Spesifikasi Dokumen

49
Kemiskinan Ekstrem Desa

Nama Laporan Pendahuluan


Jenis Dokumen Buku Laporan
Judul Konsolidasi Data Kemiskinan
Ekstrim Provinsi Jawa Timur
Jenis Kertas A4 (29.7 cm x 21.5cm)
warna putih polos
Spasi Pengetikan 1,5 Spasi
Jenis Kertas HVS 80 gram
Sampul Buku Glosy Paper ( menarik dan
komunikatif)
Jumlah laporan Laporan ini diperbanyak
dengan jumlah 10 (sepuluh) eksemplar.
Diserahkan paling lambat 1 (satu) bulan
atau 30 (tiga puluh) hari setelah diterbitkannya
SPMK.

2. Laporan Akhir
Laporan akhir memuat seluruh hasil kajian yang
dilengkapi dengan gambar, tabel, dan lampiran
lainnya. Laporan ini memuat deskripsi pekerjaan
dari awal hingga akhir setelah dilakukan revisi
dan penyempurnaan laporan sebelumnya.

Spesifikasi Dokumen

50
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

Nama Laporan Akhir


Jenis Dokumen Buku Laporan
Judul Konsolidasi Data Kemiskinan
Ekstrim Provinsi Jawa Timur
Jenis Kertas A4 (29.7 cm x 21.5cm)
warna putih polos
Spasi Pengetikan 1,5 Spasi
Jenis Kertas HVS 80 gram
Sampul Buku Glosy Paper ( menarik dan
komunikatif)
Jumlah laporan Laporan ini diperbanyak
dengan jumlah 10 (sepuluh) eksemplar.
Diserahkan paling lambat 45 hari setelah
diterbitkannya SPMK.

3. Buku Deluxe Executive Summary.


Buku ini memuat rangkuman dari point-point
penting dalam pelaksanaan kegiatan ini.

Spesifikasi Dokumen
Nama Executive Summary
Jenis Dokumen Buku Ringkasan
Judul Konsolidasi Data Kemiskinan
Ekstrim Provinsi Jawa Timur

51
Kemiskinan Ekstrem Desa

Jenis Kertas A5 (14,8 cm x 21 cm)


warna putih polos
Spasi Pengetikan 1 spasi
Jenis Kertas HVS 80 gram
Sampul Buku Glosy Paper ( menarik dan
komunikatif)
Jumlah laporan Laporan ini diperbanyak
dengan jumlah 2 (dua) eksemplar.
Diserahkan paling lambat 45 hari setelah
diterbitkannya SPMK.

4. Softcopy
Soft Copy dalam bentuk Flashdisk 8GB
sebanyak1(satu) buah yang berisi semua hasil
yang telah dicetak termasuk gambar lainnya
diserahkan paling lambat 45 (empat puluh
lima) hari kalender terhitung mulai tanggal
penandatanganan Surat Perintah Mulai Kerja
(SPMK)

52
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

Sementara kemiskinan ekstrem lebih


berorientasi pada tingkat pendapatan minimal per
hari yang harus dipenuhi oleh penduduk untuk
hidup dengan layak. Kemiskinan ekstrem adalah
mereka yang memiliki pendapatan di bawah
standar paritas daya beli yang ditetapkan sebesar
1,91 Dolar Amerika Serikat per hari atau Rp.
27.303, dengan kurs rata-rata satu dolar sama
dengan 14.300 rupiah di bulan Desember tahun
2021. Dengan perbandingan tersebut maka kita
bisa menyimpulkan bahwa antara standar garis
kemiskinan per kabupaten hanya setengah kali
lebih kecil daripada standar paritas daya beli yang
menjadi acuan kemiskinan ekstrem.
Sehingga sebenarnya jika kita merujuk pada
standar garis kemiskinan dengan berdasar pada
indeks FGT, dapat pula disimpulkan bahwa seluruh
data jumlah penduduk miskin di tiap kabupaten/
kota pada hakikatnya tergolong sebagai
miskin ekstrem. Hanya saja permasalahannya
adalah bahwasanya tingkat pengeluaran tidak
merepresentasikan tingkat pendapatan. Sangat
mungkin terdapat fakta bahwa seorang individu
memperoleh pendapatan di atas garis kemiskinan
(indeks FGT), namun individu tersebut memilih
untuk menabung dan berinvestasi, atau justru
mengalokasikan pendapatan sisanya untuk hal
lain.

57
Kemiskinan Ekstrem Desa

4.2. DATA KEMISKINAN EKSTREM DI


KABUPATEN LAMONGAN
Lamongan merupakan daerah kabupaten
yang terletak di pesisir utara pulau Jawa. Kota
ini dilalui jalur pantura yang merupakan jalur
perjalanan antar provinsi dan antar Kabupaten.
Pencatatan penduduk di Kabupaten Lamongan
menetapkan jumlah penduduk tahun 2020
adalah sebesar 1.373.390 jiwa. Dengan proyeksi
laju pertumbuhan penduduk ada di angka
minus 0,010 per tahun diperkirakan akan terjadi
penurunan penduduk sebesar 1.189.106 pada
tahun 2021 hingga tahun 2022 (BPS, 2020).
Lamongan memiliki karakteristik penduduk
agraris dan pesisir dimana profesi masyarakat
didominasi oleh penduduk bekerja di sektor
pertanian dan sektor kemaritiman. Berdasarkan
catatan statistik BPS, pada kisaran sepuluh
tahun terakhir ini marak terjadi perpindahan
industri dari kota-kota besar seperti Surabaya
dan Gresik menuju Lamongan. Pertumbuhan
industri ini menyerap sektor tenaga kerja industri
di Lamongan, dimana catatan statistik BPS
menyebutkan bahwa jumlah tenaga industri
mengalami kenaikan 24 ribu orang, dari data awal
sejumlah 42 ribu berubah menjadi 66 ribu orang.
Data BPS Kabupaten Lamongan juga
mencatat angka kemiskinan di wilayah tersebut
berada pada angka persentase sebesar 14,42 %
di tahun 2017. Persentase kemisikinan menurun

58
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

memilkiki lantai ruanganya terbuat dari tanah,


bambu, maupun kayu yang harganya relatif murah
3. Dinding bangunan yang terbuat dari
bambu, rumbia, ataupun kayu yang memiliki
kualitas rendah, begitupun dengan tembok tanpa
diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas yang layak untuk
buang air besar ataupun harus berbagi dengan
tetangga sekitarnya untuk menggunakan jamban.
5. Sumber penerangan yang tidak memakai
listrik sama sekali.
6. Air yang diminum berasal dari sumur
ataupun mata air yang tidak terlindungi seperti
sungai dan air hujan.
7. Menggunakan bahan bakar masak sehari-
hari menggunakan kayu bakar, arang, dan minyak
tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging, susu,
ataupun ayam hanya satu kali dalam seminggu.
9. Frekuensi makan satu atau dua kali
dalam sehari dan tidak sesuai dengan gizi yang
dibutuhkan.
10. Hanya mampu membeli pakian satu kalli
dalam setahun.
11. Tidak sanggup dalam membayar
pengobatan di klinik, puskesmas, dan rumah sakit.
12. Sumber penghasilan utama kepala rumah
tangga adalah, petani dengan luas sawah hanya
63
Kemiskinan Ekstrem Desa

0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan,


buruh perkebunan, atau pekerjaan lainya dengan
pendapatan dibawah Rp 600.000,- per bulannya.
13. Pendidikan terakhir kepala rumah tangga
yaitu tidak sekolah ataupun tidak tamat sekolah
dasar ( SD ) ataupun hanya lulusan SD.
14. Tidak mempunyai tabungan atau barang
yang mudah dijual dengan nilai minimal sebsar
Rp500.000,- seperti sepedah montor (kredit/
tunai), emas, hewan ternak, kapal montor ataupun
barang modal lainya.
Dengan menggunakan kriteria tersebut Dinas
Sosial pun hanya berhasil mengelompokkan
penduduk sebagai miskin ekstrem dalam jumlah
sedikit. Misalnya di Desa Jrejeg, Kecamatan Modo,
dimana di desa itu berdasarkan hasil verifikasi
dan validasi data diperoleh hanya sebanyak 53
penduduk yang tergolong sebagai penduduk
miskin ekstrem. Lain halnya di Desa Sambeng
Kecamatan Kreterangon juga terdapat beberapa
rumah yang tidak layak huni dan beberapa
penduduknya merupakan janda tua yang tidak
memiliki pekerjaan maka disana juga termasuk
dalam penduduk miskin ekstrim.

64
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

terpaksa menjual hasisl panenya dengan harga


yang relatif murah dan jauh dari harga standard
pasar yang lainya.
Menurut beberapa kepala desa pandemic
Covid-19 meningkatkan kerentanan masyarakat
untuk jatuh di lubang kemiskinan, banyaknya
keluarga yang kehilangan kepala keluarga serta
kehilangan pekerjaan membuat masyarakat
tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok.
Disaat banyak masyarakat yang positif covid,
pemerintah mengeluarkan kebijakan beraktifitas
di dalam rumah saja, dengan bekerja ataupun
belajar dirumah untuk memutuskan penyebaran
wabah covid ini. Tetapi disisi lain pengisolasian
ini memberi dampak yang cukup signifikan
bagi masyarakat yang mencari nafkah di luar
rumah, terutama pekerja di sector informal yang
merupakan kelompok marginal paling besar
tekena dampaknya. Tidak hanya sector informal
saja melainkan sector rumah tangga juga sangat
terdampak, karena tidak dapat melakukan
kegiatan ekonomi sama sekali dengan begitu
semua kegiatan ekonomi terhenti untuk beberapa
waktu sehingga tidak mendapatan penghasilan
untuk menghidupi keluarganya , akibat dari
daya beli masyarakat yang menurun, kegiataan
pendidikan menurun, kesehatan juga menurun,
sehingga bertambah pula masyarakat miskin
ekstrem.

67
Kemiskinan Ekstrem Desa

Beberapa kepala desa seperti Kepala Desa


Jubel Lor, Jubel Kidul, Bedingin, Pangkatrejo, di
Kecamatan Sugio menyebutkan bahwa data
yang diberikan pada pihaknya untuk menentukan
penduduk miskin ekstrim adalah data dari
program Bedah Rumah Perkim, sehingga
cakupannya adalah rumah tidak layak seperti
rumah bambu. Sementara data yang dimasukkan
oleh pihak desa adalah para orang tua lanjut usia,
warga berkebutuhan khusus, warga yang tinggal
sebatang kara, janda tua, dan para keluarga yang
tertimpa bencana. Program bedah rumah ini
memang diprioritaskan untuk menyasar kepada
masyakat miskin yang benar-benar tidak mampu,
himpitan ekonomi yang teramat berat bagi
penduduk miskin membuat mereka tidak memliki
tempat tinggal.
Kepala Desa Gunungrejo menyebut bahwa
diperlukan pemahaman lebih lanjut tentang
definisi penduduk miskin ekstrem, khususnya bagi
aparatur desa. Beberapa Kepala desa enggan
menambah atau menghapus data penduduk
miskin ekstrem, dan menunjukkan sikap malu
dengan tugasnya sebagai kepala desa dengan
data penduduk miskin ekstrem itu.

4.3. DATA KEMISKINAN EKSTREM DI


KABUPATEN PROBOLINGGO
Kabupaten Probolinggo merupakan wilayah
administrasi pemerintahan yang terletak di pesisir

68
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

ekonomi, keamanan, hokum dan politik. Bahkan


juga dapat berpengaruh pada eksistensi sebuah
pemerintahan pada skala baik lokal, regional, dan
internasional.
Pandemi Covid-19 menyebabkan kemiskinan
di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup
signifikan sejak pada tahun 2020 baik secara
nasional maupun regional. Hal tersebut dirasakan
diberbagai daerah, salah satunya Kabupaten
Probolinggo. Namun secara kelembagaan,
sesuai pada peraturan menteri dalam negeri
nomor 42 tahun 2010, Kabupaten Probolinggo
telah membentuk TKPK (Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan). Melalui Surat
Keputusan Bupati Probolinggo Kabupaten
Probolinggo Nomor 460/414/426.12/2016.
Sesuai dalam amanat Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN)
tahun 2005-2025, selanjutnya dituangkan pada
pada Peraturan Presiden Republik Indonesia
nomor 15 tahun 2010 dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 42 tahun 2010 (Hanafie,
2015).
Dalam rangka menaikkan taraf kehidupan sosial
ekonomi masyarakat dan pemerintah daerah
pada khususnya Kabupaten Probolinggo memiliki
banyak potensi yang dapat dikembangkan.
Meskipun pada realitas di lapangan sebagian
masyarakat pada golongan menengah kebawah
atau miskin yang paling rentan terhadap

75
Kemiskinan Ekstrem Desa

keadaan perekonomian yang cenderung


fluktuatif merupakan masyarakat berada pada
mata pencaharian sebagai buruh tani. Disisi lain
program-program yang dicanangkan pemerintah
daerah untuk memberantas kemiskinan tidak
berdampak secara signifikan.

4.4. DATA KEMISKINAN EKSTREM DI


KABUPATEN BOJONEGORO
Kabupaten Bojonegoro terletak di ujung
barat wilayah Jawa Timur dan berada di pantai
utara pulau Jawa. Menurut data Kabupaten
Bojonegoro dalam angka tahun 2021 yang
dikeluarkan oleh BPS, penduduk total yang
terdata dalam wilayah administratif ini pada
angka 1.301.635 jiwa.
Pemerintah Kabupaten Bojonegoro
menetapkan sebanyak 7162 jiwa penduduk
ke dalam data kemiskinan ekstrem melalui
keputusan bupati Bojonegoro no 188/4545/
KEP/412.302/2021 tentang penetapan sasaran
penanganan kemiskinan ekstrem Kabupaten
Bojonegoro tahun 2021 (lihat data kemiskinan
ekstrem pada grafik). Angka itu diperoleh dari
5 kecamatan dan 25 desa yang tersebar di
Bojonegoro. Berdasarkan penelusuran peta
administratif Bojonegoro, mayoritas kecamatan
yang masuk ke dalam data kemiskinan ekstrem
terletak di kawasan selatan dari Bojonegoro.

76
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

pendapatan masyarakat Bojonegoro.


Namun tidak lama setelah proyek
pertambangan minyak ini berjalan banyak pekerja
buruh kasar ini diberhentikan ataupun di putus
kontrak dan mengakibatkan mereka kembali ke
pekerjaan awal seperti buruhh tani, kuli bangunan,
dan lain sebagainya. Setelah kembali di pekerjaan
mereka masing-masing banyak sekali buruh tani
yang kehilangan lahan garapnya karena beberapa
lahan pertanian didekat pengeboran minyak
menjadi tandus, akhirnya merek terjun dilobang
kemiskinan karena tidak mampu menghasilkan
pendapatan yang layak bagi keluarganya.
Banyaknya lahan pertanian yang
berubah fungsinya menjadi lahan pertambangan
menjadikan sektor pertanian di Kabupaten
Bojonegoro semakin menurun. Selain berubah
menjadi lahan pertambangan lahan petanian
juga beralih fungsi menjadi lahan perumahan.
Semenjak banyak pedatang baru di Bojonegoro
banyak juga perumahan elit yang di bangun
dipinggiran kecamatan Bojonegoro. Dengan
banyaknya pendatang di Bojonegoro semakin
tinggi pula angka konsumsi masyarakat di
Bojonegoro, sehingga banyak resto mauapun
makanan cepat saji lainya yang buka. Selain itu
juga berkembang pula pembangunan investasi di
sektor penginapan seperti perhotelan.
Kimiskinan di Bojonegoro menurut data
sekunder yang ada di SK Bupati mengenai

79
Kemiskinan Ekstrem Desa

masyarakat miskin ekstrim di Bojonegoro, semua


kecamatan yang tercantum dalam data tersebut
merupakan kecamatan pinggiran kabupaten
bojonegoro yang aksesnya jauh dari pusat
administrasi Kabupaten Bojonegoro.
Menurut pernyataan Kepala Desa Sekar,
Kecamatan Sekar, bahwa untuk mengukur
kemiskinan ekstrem di Bojonegoro cukup sulit
jika dikontekskan dengan standar gaji Rp 27.300
sehari. Karena untuk seorang petani saja biasanya
upah di daerahnya gajinya minimal 40.000 sehari.
Selain itu para petani memiliki aset masa depan
berupa lahan pohon jati. Untuk menilai seseorang
itu miskin ekstrem jika dilihat dari standar rumah
tinggal tidak bisa jadi ukuran. Tetapi biasanya
menilai kondisi kemiskinan ekstrem dilihat dari
‘akses’ ke wilayah Kota Bojonegoro. Akses
kewiliayah pusat Kabupaten Bojoengoro sulit
dijangkau karena disebabkan oleh beberapa hal
berikut ini;
1. Akses jalan yang tidak mewadahi atau
jalan yang tidak beraspal bahkan jalan berupa
tanah sehingga kalau musim hujan susah untuk
diakses.
2. Penerangan yang tidak ada di sepanjang
jalan yang menimbulkan tindakan kejehatan
disana bebas melakukan aksinya.
3. Jarak tempuh yang jauh bahkan memakan
waktu yang berjam jam untuk menempuh
perjalanan kepusat kota.

80
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

Covid 19. Pada pasal 7 disebutkan salah


satunya di ketentuannya adalah menyebutkan
tentang penanganan Kemiskinan Ekstrem di
Kabupaten Bangkalan. Atas dasar itu pemerintah
Kabupaten Bangkalan menerbitkan SK Bupati
nomor 188.45/278/Kpts/433.013/2021 tentang
penetapan data jumlah keluarga miskin program
percepatan penanganan kemiskinan ekstrem di
Kabupaten Bangkalan tahun 2021. Bangkalan
mencatatkan angka kemiskinan ekstrem terbanyak
dibandingkan 4 Kabupaten lain yang diriset dalam
penelitian ini dan tercatat ada sejumlah 10.617
orang yang tersebar di 5 Kecamatan dan 25 desa
di kota itu.
Jumlah yang cukup signifikan tersebut Sebagian
disebabkan oleh pandemi covid-19 melanda
Indonesia sejak tahun 2020, yang tidak hanya
dirasakan pada bidang sektor kesehatan saja,
namun juga sangat berpengaruh pada penurunan
peningkatan kemiskinan yang mengakibatkan
tingkat kemiskinan ekstrem terus meningkat sejak
tahun 2020 baik di perkotaan, perdesaan, maupun
nasional. Pemecatan massal yang terjadi akibat
menurunnya aktifitas industri di kota-kota di pulau
jawa menyebabkan banyak penduduk harus
kembali ke desa dan tidak memiliki pekerjaan.
Berdasarkan data Bappenas tahun 2019, 2020,
dan 2021 angka penduduk miskin meningkat 1
hingga 2 persen per tahunnya di hampir seluruh
kota. Di Jawa Timur angka kemiskinan meningkat
menjadi Provinsi Jawa Timur (10,20%).

85
Kemiskinan Ekstrem Desa

Kemiskinan ekstrem di Kabupaten Bangkalan


adalah persoalan yang serius jika dilihat dari segi
kuantitas. Verifikasi dan validasi data di lapangan
menunjukkan tingkat kedalaman (severity)
kemiskinan ekstrem di wilayah ini. Data lapangan
berubah dengan penambahan sebesar 963 orang
miskin ekstrem baru dan penghapusan sebesar
590 orang. Penghapusan dilakuka dengan
berbagai macam alasan, baik sudah meninggal
maupun sudah dianggap mampu secara indikator
perekonomian. Jumlah data yang keluar bukan
hanya sebuah angka yang merepresentasikan
permasalahan kemanusiaan dan ekonomi saja,
namun juga berdampak destruktif pada berbagai
dimensi, seperti instabilitas sosial, ekonomi,
keamanan, hukum dan politik. Bahkan juga
dapat berpengaruh pada eksistensi sebuah
pemerintahan pada skala baik lokal, regional, dan
internasional.
Kepelikan data kemiskinan ekstrem ini
sebagian disebabkan oleh ketidakmampuan para
apparatur desa mengelola transfer dana desa dari
pemerintah pusat. Mayoritas kepala desa pada
saat wawancara mengaku tidak paham dengan
standar kemiskinan ekstrem yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat, dan mereka menilai keputusan
berdasar SK Bupati jauh dari kenyataan riil di
lapangan. Faktor lain adalah pengalokasian dana
desa yang tidak merata dirasakan oleh penduduk.
Sebagian porsi dana desa dialokasikan ke bidang
infrastruktur namun obyek penerima manfaat

86
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

menghadapi situasi yang ada di lingkungannya


karena ketidakberdayaan tersebut kemudian akan
mendorong sikap masa bodoh atau tidak peduli,
tidak percaya diri, serta mengandalkan bantuan
pihak luar untuk mengatasi berbagai persoalan
yang dihadapi.
Pada standar kemiskinan ekstream berdasarkan
Kementerian PPN / Bappenas menetapkan
standar kemiskinan ekstrim berdasarkan paritas
daya beli atau purchasing power parity (PPP) yang
ditetapkan oleh Bank Dunia untuk Indonesia ialah
sebesar USD 1,91 per kapita per hari. Berdasarkan
hal itu maka jika kurs dollar adalah USD 1 = Rp
14.370 ( per tanggal 12 Desember 2021), maka
seseorang bisa dikategorikan miskin ekstrim jika
memiliki pendapatan sehari kurang dari 27.303
Rupiah per hari atau Rp. 820.000 / Bulan. Asumsi
tersebut dapat di dasari pada kebutuhan seorang
individu untuk membeli makanan dengan standar
kalori minimum yaitu 2100 kilo kalori per hari di
tambah dengan kebutuhan dasar non makanan
lainnya. Hal itu di sepakati oleh hampir seluruh
negara di dunia dalam pertemuan FAO dan
WHO “Human Energy Requirement: Expert
Consultation” di Roma, Italia, pada tahun 2001
dan 2005.

91
Kemiskinan Ekstrem Desa

Menindaklanjuti Peraturan Presiden dalam


Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia (Permendagri) Nomor 42 Tahun
2010 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang
menyatakan bahwa penanggulangan kemiskinan
merupakan kebijakan dan program pemerintah
dan pemerintah daerah yang dilakukan secara
sistematis, terencana, dan bersinergi dengan dunia
usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah
penduduk miskin dalam rangka meningkatkan
derajat kesejahteraan rakyat. Sedangkan program
penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan
yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah
daerah, dunia usaha, serta masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan
masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan kecil,
serta program lain dalam rangka meningkatkan
kegiatan ekonomi (Patiung, 2016).

92
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

BAB V
ANALISIS ROCCIPI

5.1. Analisis ROCCIPI


Pada bagian ini, data-data hasil verifikasi
dan validasi lapangan akan dianalisis dengan
menggunakan Analisis ROCCIPI. Analisis
ROCCIPI ini merupakan cara untuk melakukan
assessment terhadap sebuah kebijakan, atau
yang selama ini dikenal luas sebagai regulatory
impact analysis.
Analisis ROCCIPI dikenal secara luas sebagai
alat ukur untuk mengidentifikasi masalah sosial
dan penyelesaian masalah atau solusi terhadap
permasalahan sosial tersebut. Model analisis ini
dikembangkan oleh Ann, Robert Siedman dan
Nalin Abeysekere (Ann, Seidman, & Abeyserkere,
2001). ROCCIPI berbasis pada tujuh faktor
yaitu (1) Rules, (2) Opportunity, (3) Capacity, (4)
Communication, (5) Interest, (6) Process, dan (7)
Ideology.
Metode ini dikenal luas sebagai cara untuk
menjelaskan kondisi sosial seperti kemiskinan
yang terus berulang terjadi, repetitive. Ini ditujukan
dalam rangka memahami dan menyelesaikan
masalah atau memberikan solusi terhadap
sebuah objek. Dengan cara memahami pola
perilaku tersebut, seorang peneliti atau pengambil
kebijakan dapat mengusulkan respon kebijakan

93
Kemiskinan Ekstrem Desa

yang tepat untuk mengubah perilaku tersebut.


ROCCIPI memiliki dua tahapan dalam analisis.
Tahapan pertama adalah mengidentifikasi
masalah-masalah sosial yang ada seperti
kemiskinan dan korupsi. Dan tahapan kedua
adalah menemukan solusi dari permasalahan
yang sudah dipahami.
ROCCIPI merupakan akronim dari 7 (tujuh)
kategori atau faktor-faktor yang menjadi
bagian dari perilaku problematis. Setiap faktor
berfokus pada satu aspek dari sebuah perilaku
dan menjabarkan pertanyaan-pertanyaan yang
mengarah pada jawaban-jawaban pemecahan
masalah daripada sebuah objek atau aktor.
Menurut versi Bahasa Indonesia, elemen-
elemen dari ROCCIPI disebut juga sebagai
Metode Pemecahan Masalah PKKKPKI. PKKKPKI
merupakan akronim daripada beberapa faktor
yaitu diantaranya:
P Peraturan (faktor obyektif)
K Kesempatan (faktor obyektif)
K Kemampuan (faktor obyektif)
K Komunikasi (faktor obyektif)
P
Proses (faktor obyektif)
K Kepentingan (faktor subyektif)
I Ideologi (faktor subyektif)

94
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

Pada tahapan berikutnya akan dijabarkan


perbedaan-perbedaan antara faktor obyektif
dan faktor subyektif dan dielaborasi setiap faktor
daripada metode penyelesaian masalah PKKPKKI
tersebut.

5.2. Faktor Obyektif Dalam ROCCIPI


Terdapat sebanyak 5 (lima) faktor dalam
agenda pemecahan masalah berbasis PKKPKKI
yang dikategorikan sebagai faktor obyektif –
yaitu yang disebut sebagai faktor yang mungkin
bisa diukur atau diperbandingkan dalam sebuah
standar atau dengan cara kuantitatif maupun
kualitatif. Dengan mengelaborasi faktor obyektif
ini dalam upayanya untuk menjelaskan sebuah
perilaku dapat mengarahkan peneliti atau
pengambil kebijakan pada penjelasan yang
tajam, subtle, dan kuat, powerful, tentang sebuah
perilaku. Kelima faktor tersebut adalah Peraturan
(Rule), Kesempatan (Opportunity), Kemampuan
(Capacity), Proses (Process), dan Komunikasi
(Communication).
Sub bab ini akan membahas kelima faktor
tersebut dari sisi bagaimana persoalan kemiskinan
ekstrem dapat dipahami dari faktor aturan,
kesempatan, kapasitas, proses, dan komunikasi.

95
Kemiskinan Ekstrem Desa

(1) Rangkaian peraturan dalam kebijakan


penanganan kemiskinan ekstrem
Konsep peraturan atau rule paling banyak
mengacu pada aturan, hukum, atau norma
sosial yang mempengaruhi perilaku daripada
aktor atau stakeholder dan berkontribusi pada
permasalahan yang problematik. Disini faktor
yang dibicarakan adalah bagaimana faktor aturan
dapat berpengaruh terhadap kebijakan data
penanganan ekstrem.
Kemiskinan ekstrem merupakan kebijakan
Pemerintah Pusat yang diimplementasikan
secara multi-lembaga dan multi dimensi. Inisiatif
awal pemerintah hadir dalam bentuk peraturan
Menteri Keuangan nomor 162 tentang Transfer
Dana Desa Ke Daerah Untuk Penanganan
Pandemi Covid 19 dan dampaknya. Kebijakan
ini muncul disebabkan oleh terjadinya pandemi
namun perencanaannya sebenarnya telah diawali
dulu dengan adanya penetapan agenda besar
Pemerintah dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2019
– 2024.
Beberapa contoh dimana peraturan
berpengaruh kuat pada permasalahan kemiskinan
ekstrem adalah (1) adanya aturan yang ambigu, (2)
adanya aturan yang permissive terhadap kondisi
kemiskinan ekstrem, (3) adanya aturan yang tidak
menyelesaikan akar masalah dari kemiskinan
ekstrem, (4) adanya aturan yang tidak akuntabel

96
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

atau transparan dalam penerapannya, dan (5)


adanya aturan yang terlalu luas ruang lingkup
penerapannya atau mungkin juga tidak luwes dan
terlalu membatasi munculnya kebijaksanaan yang
baru.
Pada penelitian konsolidasi data kemiskinan
ekstrem di empat Kabupaten di Jawa Timur
(Kabupten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan,
Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten
Probolinggo), kami melihat beberapa fakta relevan
terkait aspek peraturan yang dijadikan dasar dalam
proses penentuan daftar penduduk yang masuk
kategori miskin ekstrem. Data awal kemiskinan
yang ditetapkan Bupati masing-masing daerah
mengacu pada beberapa ketentuan perundang-
undangan dan peraturan daerah seperti;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun
2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan
Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 450)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri 123
Tahun 2018 (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 15); dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2020 tentang
Percepatan Penanganan Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) di Lingkungan Pemerintah
Daerah; Peraturan Menteri Sosial Nomor 3
tahun 2021 tentang pengelolaan data terpadu
kesejahteraan sosial Berita Negara Republik

97
Kemiskinan Ekstrem Desa

Indonesia Tahun 2021 Nomor 578), dan masing-


masing Perda daerah terkait.
Dalam rujukan Surat Keputusan (SK) Bupati
tentang penetapan daftar keluarga penerima
manfaat kemiskinan ekstrem, kesamaan rujukan
hukum Peraturan Menteri Sosial Nomor 3
tahun 2021 tentang pengelolaan data terpadu
kesejahteraan sosial. Menurut Kemensos,
Permensos Nomor 3 diharapkan dapat menjawab
kebutuhan akan data terpadu kesejahteraan
sosial yang dapat menjadi dasar acuan dalam
melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan
sosial. Caranya dengan upaya kondolidasi dan
validasi data dikelola dengan baik, akuntabel,
dan berkelanjutan. Data Terpadu Kesejahteraan
Sosial adalah data induk yang berisi data pemerlu
pelayanan kesejahteraan sosial, penerima
bantuan dan pemberdayaan sosial, serta potensi
dan sumber kesejahteraan sosial.
Dalam SK Kabupaten tersebut belum
memasukkan rujukan hukum dari Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi yang secara spesifik mengatur
tentang penanganan pendataan kemiskinan
ekstrem di pedesaan. Sehingga dalam kegiatan
penelitian konsolidasi data kemiskinan ekstrem
ini semata merujuk pada data utama dari SK
Kabupaten yang berdasarkan Permensos
Nomor 3 tahun 2021 dan ketentuan hukum
lain sebagaimana terdapat dalam dasar hukum
penetapan SK Bupati tentang data Kemiskinan.

98
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

Tugas pembaruan data kemiskinan merupakan


tugas Pemerintah Daerah (Pemda). Hal tersebut
sesuai ketentuan peraturan Undang-undang (UU)
Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin, bawa tugas dan kewenangan verifikasi
serta validasi data (verivali). Pasal 8, 9, dan 10
UU Nomor 13 Tahun 2011 menyebutkan bahwa
tahapan pemutakhiran data merupakan proses
berjenjang yang ditugaskan kepada pemerintah
kabupaten dan kota. Aturan penugasan tersebut,
salah satunya terdapat pada Pasal 8 Ayat 4 bahwa
Verifikasi Dilaksanakan Oleh Potensi Dan Sumber
Kesejahteraan Sosial Yang Ada di Kecamatan,
Kelurahan Atau Desa.
Dengan demikian, dalam menyusun dan
menetapkan daftar kemiskinan dan penerima
mafaatnya tidak dilakukan oleh Kementerian
secara langsung. Akan tetapi, Kemensos hanya
menetapkan data yang berasal dari proses
pemutakhiran Pemda. Namun masalahnya,
masih ada pemerintah kabupaten dan kota yang
kurang atau bahkan tidak aktif melaksanakan
pemutakhiran. Padahal, tugas penetapan data
diatur Pasal 11 UU Nomor 13 Tahun 2011
dengan tahapan, pertama, data fakir miskin yang
telah melalui verifikasi dan validasi disampaikan
kepada Mensos. Hal ini sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 Ayat (9) dan Pasal 9 Ayat (4)
dari ketetapan menteri. Untuk itu, seharusnya
pemda dan jajarannya aktif dan mengawal proses
pemutakhiran data dengan sungguh-sungguh.

99
Kemiskinan Ekstrem Desa

Diantara penyebab sulitnya pemerataan


pembangunan dan pengentasan kemiskinan
ekstrem di desa adalah karena persoalan data
yang tidak valid. Penanganan kemiskinan dan
pembangunan desa sebagaimana disampaikan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim
Iskandar, harus didasarkan pada kebutuhan dan
aspirasi masyarakat bawah, tidak semata aspirasi
dan kepentinggan elit masyarakat. Sehingga
dibutuhkan konsolidasi, validasi, dan verifikasi
data mikro, agar upaya pengentasan kemiskinan
ekstrem dapat berjalan secara efektif, efisien dan
tepat sasaran (Kompas Online, 2021). Banyak
laporan tentang bantuan sosial (bansos) yang
kurang tepat sasaran, terkendala, atau tidak
tersalurkan ke penerima manfaat. Salah satunya
di Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara
(Sulut) ada kepala desa (kades) yang memasukkan
sendiri namanya sebagai penerima bantuan
(Kompas Online, 2021). Hal tersebut mungkin
terjadi di daerah lain, termasuk di Kabupaten pilot
project pengentasan kemiskinan ekstrem di Jawa
Timur.
Proses verifikasi mikro dalam temuan
kami dilapangan sangat dibutuhkan untuk
mendapatkan hasil data yang konsolidatif dan
valid. Upaya tersebut perlu didukung lebih aktif
oleh Kemendes PDTT dengan penerbitan payung
hukum yang lebih kuat dan mudah dipahami
seluruh stakeholders hingga tinggal RT/RW.

100
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

Dengan demikian, data kemiskinan yang dimiliki


oleh Kemensos akan memiliki akurasi lebih tinggi
dengan sokongan struktur Kemendes PDTT yang
meliputi perangkat aparatur desa dan tenaga
pendamping professional lainnya.
Kasus lapangan yang kami temui di kabupaten
Lamongan, perangkat desa di Kecamatan Sugio
dan Kedungpring menyatakan bahwa data
kemiskinan ekstrem yang diajukan berdasarkan
basis data program bedah rumah dari Dinas
Perumahan dan Pemukiman (PUPR) yang
tentu saja dasar hukum dan instrumennya
berbeda. PUPR menggunakan acuan kemiskinan
disadarkan pada kondisi rumah yang tidak layak
seperti terbuat dari bambu. Asumsinya, Program
bedah rumah ini memang diprioritaskan untuk
menyasar kepada masyakat miskin yang benar-
benar tidak mampu, himpitan ekonomi yang
teramat berat bagi penduduk miskin membuat
mereka tidak memliki tempat tinggal.
Selain itu, perangkat desa juga mengalami
kebingungan dengan adanya berbagai instrument
yang berbeda. Kemensos menggunakan 15
indikator untuk mengukur seseorang masuk
kategori miskin ekstrem, dimana indikator itu
berbeda dengan indikator yang digunakan
dalam program Bedah Rumah Dinas Perkim dan
juga ukuran World Bank yang membatasi garis
kemiskinan ekstrim pada penghasilan masyarakat
di bawah $1,9 (kurang lebih Rp. 27,500) atau
setara Rp. 840.000,- yang digunakan dalam

101
Kemiskinan Ekstrem Desa

program standar Sustainable Development Goals


(SDGs) di Kemendes PDTT.

(2) Kesempatan
Konsep kesempatan atau opportunity
mengacu pada kondisi situasional, peluang, atau
probabilitas dimana sebuah peran atau seorang
pelaku (atau pemangku kepentingan) terlibat
dalam perilaku problematis atau dihadapkan
pada pilihan mematuhi atau melanggar sebuah
peraturan, hukum, atau norma sosial. Contoh
lainnya untuk menggambarkan hal ini adalah
bahwa munculnya tindak kejahatan kriminal secara
probabilitas muncul karena adanya kesempatan,
bukan sekedar adanya niat dari pelaku. Perilaku
koruptif dalam pengelolaan dana sosial tertentu
bisa muncul karena adanya kesempatan untuk
penggelembungan anggaran atau kesempatan
untuk melakukan pemotongan anggaran.
Kondisi di lapangan menunjukkan
ketidakseragaman dalam penggunaan aturan
hukum untuk menentukan daftar kemiskinan
ekstrem penerima manfaat yang di SK kan oleh
Pemerintah Daerah. Ketidakseragaman tersebut
membuat kualitas hasil daftar penerima manfaat
dapat berbeda beda karena didasarkan atas
indikator yang berbeda-beda.
Pada kasus di Kecamatan Sugio, Kabupaten
Lamongan (Desa Jubel Lor, Jubel Kidul, Bedingin,

102
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

Pangkatrejo) yang menggunakan basis data


Dinas Perumahan dan Pemukiman (Perkim), data
kemiskinan ekstrem diambil dari masyarakat yang
menjadi sasaran bedah rumah. Meskipun indikator
penerima manfaat bedah rumah memiliki indikasi
ekonomi lemah di dasarkan kondisi rumah yang
tidak layak, namun masih banyak potensi warga
lain yang tidak masuk dalam daftar kemiskinan
ekstrem karena jika mengacu kepada kriteria yang
digunakan oleh Kemensos dan kriteria Purchasing
Power Parity (PPP) oleh World Bank yang menjadi
dasar program SDGS, maka masih banyak yang
layak masuk dalam daftar miskin ekstrem.
Hal lainnya yang kami temukan di lapangan
dalam penentuan daftar kemiskinan ekstrem
semata subjektif ditentukan oleh perangkat
desa. Hal itu nyaris kami temukan di kesulurahan
desa di empat Kabupaten sasaran penelitian.
Meskipun perangkat desa diasumsikan memiliki
pengetahuan terkait kondisi riil warganya, namun
dengan proses penentuan yang dilakukan tanpa
proses musyawarah atau prosedur baku lainnya,
berpotensi membawa bias kepentingan dalam
penentuan daftar kemiskinan ekstrem.
Jika mengacu pada ketentuan Pasal 8, 9, dan
10 UU Nomor 13 Tahun 2011 menyatakan bahwa
tahapan pemutakhiran data merupakan proses
berjenjang yang ditugaskan kepada pemerintah
kabupaten dan kota. Aturan penugasan tersebut,
salah satunya terdapat pada Pasal 8 Ayat 4 bahwa

103
Kemiskinan Ekstrem Desa

Verifikasi Dilaksanakan Oleh Potensi Dan Sumber


Kesejahteraan Sosial Yang Ada di Kecamatan,
Kelurahan Atau Desa. Dengan tahapan ini,
pendataan tidak semata dilakukan sepihak oleh
beberapa perangkat desa, bahkan hanya kepala
desa, namun dapat dilakukan dengan proses
musyawarah desa dan melibatkan seluruh
kelembagaan yang ada di tingkat desa. Semakin
banyak yang terlibat dalam musyawarah, baik
dari pihak perangkat desa dan tokoh masyarakat
lainnya, akan didapatkan data yang lebih baik.
Sayangnya, tradisi ini belum dimanfaatkan dengan
baik dan masih dianggap proses sederhana yang
tidak memerlukan keseriusan.

(3) Kemampuan
Konsep kemampuan mengacu pada skill,
kecakapan (atau ketidakcakapan) atau kapabilitas
pelaku (atau stakeholder) dimana harus mereka
terlibat dalam permasalahan sosial tertentu atau
kecakapan mematuhi atau melanggar sebuah
aturan, hukum, dan norma sosial. Kemampuan
juga meliputi adanya hambatan-hambatan
yang mungkin merintangi atau menghalangi
kecakapan seorang pelaku untuk terlibat dalam
perilaku sosial yang problematis. Sebagai contoh
misalnya perilaku koruptif dalam birokrasi bisa
muncul karena kemampuan seorang pelaku dalam
mengelola anggaran pemerintah.

104
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

Sebagai target penting yang masuk dalam


Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 dan diberikan
penekanan oleh Presiden agar kemiskinan ekstrem
di Indonesia dapat dihilangkan penuh pada tahun
2024, maka upaya tersebut harus dilakukan
dengan sungguh-sungguh dengan pola kerja yang
terukur. Segala upaya lintas sektor kelembagaan
akan menghasilkan target maksimal manakala
didukung dengan perencanaan konsolidatif dalam
menentukan data tunggal kemiskinan ekstrem.
Empat tahapan strategi yang telah
disampaikan oleh Menteri Desa PDTT terkait
pengentasan kemiskinan esktrem, pertama adalah
menggunakan pendekatan mikro berbasis desa,
desa yang menjadi ujung tombak konsolidasi data
dan basis penanganan kemiskinan ekstrem. Kedua,
strategi “satu nama satu alamat” diperkuat dengan
melakukan metode sensus sehingga program bisa
menyasar seluruh warga miskin ekstrem. Ketiga,
melaksanakan program sekali selesai dalam batas
waktu yang ditentukan. Keempat, pelaksanaan
dan tindak lanjut penanganan diusulkan melalui
Posyandu Kesejahteraan yang dikembangkan di
kantong lokasi permukiman warga miskin ekstrem
(Kompas Online, 2021).
Sedangkan lima rencana aksi pengentasan
kemiskinan ekstrem yang direncanakan
Kemendes PDTT antara lain, pertama, mengurangi
pengeluaran dengan program seperti Gerakan
Asupan Kalori Harian, bedah rumah, dan subsidi

105
Kemiskinan Ekstrem Desa

listrik. Kedua, meningkatkan pendapatan dengan


program BST, Kartu Pra Kerja, BLT Dana Desa, dan
program pemberdayaan. Ketiga, pembangunan
kewilayahan. Beberapa bentuk programnya
adalah upaya perbaikan sanitasi permukiman
keluarga miskin ekstrem dan memperbaiki sarana
prasarana transportasi. Keempat, pendampingan
desa, bentuknya adalah memfokuskan RKPDes
dan APBDes untuk penanganan warga miskin dan
miskin ekstrem. Kelima, perbaikan kelembagaan
dengan cara menguatkan posyandu kesejahteraan
untuk warga miskin ekstrem.
Rencana-rencana tersebut membutuhkan
tingkat komitmen dan kompetensi yang sama
dari pemerintah pusat hingga tingkat desa
untuk target pengentasan kemiskinan ekstrem.
Diantaranya dengan upaya penguatan Sumber
Daya Manusia (SDM) dan implementasi ketat
dalam penyusunan data kemiskinan ekstrem.
Jika hal tersebut tidak dilaksanakan dengan baik,
maka upaya pananganan kemiskinan ekstrem
ini akan terjebak dalam lingkaran setan, karena
upaya penanganan tidak tepat sasaran akibat
basis data yang tidak akurat.
Sementara ini, kondisi riil yang dijumpai oleh
enumerator kami di lapangan, seperti beberapa
desa di Kabupaten Bangkalan, kantor desa
beserta perangkatnya jarang terlihat di desa,
sehingga fungsi pelayanan dan tugas tugas
lainnya terabaikan, termasuk terkait pendataan
kemiskinan warga.

106
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

(4) Komunikasi
Terma komunikasi mengacu pada
efektifitas sebuah aturan, hukum, dan norma
sosial terkomunikasikan atau tersampaikan pada
seorang pelaku (atau stakeholder) yang menjadi
obyek hukum dari aturan, hukum, dan norma
sosial tersebut. Jika seseorang atau masyarakat
tidak mengetahui perilaku yang diperbolehkan
atau dilarang maka bagaimana mungkin juga
mereka diharapkan akan bertindak sesuai dengan
aturan hukum tersebut? Sebagai contoh adanya
peraturan untuk menggunakan masker selama
pandemi tidak akan dipatuhi oleh masyarakat
jika aturan tersebut tidak disosialisasikan secara
masif kepada khalayak luas.
Kebingungan perangkat desa yang kami
temui di lapangan terkait indikator penentuan
daftar miskin ekstrem menunjukkan pemerintah
desa beserta perangkatnya belum sepenuhnya
memahami aturan yang menjadi dasar
pelaksanaan penanganan kemiskinan esktrem dan
metode vervali data kemiskinan ekstrem. Untuk
itu, sekuat apapun aturan dan prosedur yang
telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, jika tidak
dibarengi dengan proses komunikasi (sosialiasi)
yang baik, maka sulit untuk mendapatkan hasil
yang maksimal.
Perbedaan indikator kemiskinan yang saat
ini digunakan dalam penyusunan daftar miskin
ekstrem di desa antara lain, pertama, 14 indikator

107
Kemiskinan Ekstrem Desa

penduduk tergolong sebagai miskin ekstrim yang


digunakan oleh Kemensos. Kedua, indikator rumah
tidak layak huni dari Perkim, dan ketiga, indikator
Purchasing Power Parity (PPP) yang digunakan
oleh Kemendes PDTT. Perbedaan penggunaan
dasar variable penentuan daftar penduduk miskin
ekstrem di tingkat kabupaten, kecamatan, dan
desa, menjadi persoalan tidak hanya karena
binggung dengan banyaknya variable/indikator,
tetapi juga karena kebanyakan dari kepala
desa dan perangkat sebagaimana ditemui oleh
enumerator di lapangan, tidak memahami dengan
baik berbagai indikator tersebut.
Upaya komunikasi (sosialiasi) yang baik terkait
aturan dan prosedur validasi data kepada stake
holder paling bawah dapat berimplikasi pada
proses yang lebih baik dan akurat. Ujung akhirnya
adalag output data yang lebih baik.

(5) Proses
Terma proses mengacu pada kriteria
dan prosedur (atau aspek-aspek pragmatik dan
logistik) yang (1) menjelaskan sebuah siklus
atau tahapan dimana seorang pelaku akan
memutuskan untuk mematuhi atau melanggar
aturan, dan (2) menganjurkan atau mencoba
menghalangi seorang pelaku (atau stakeholder)
melakukan perilaku sosial problematis. Faktor
ini secara khusus penting bagi sebuah institusi
(seperti pemerintah, korporasi, partai politik,

108
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

dan lembaga sosial) dimana sebuah proses


pengambilan keputusan tidak diberikan hanya
pada satu orang individu. Dalam sebuah instansi
pemerintahan, biasanya terdapat manual
prosedur yang mengatur seorang pegawai
pemerintah untuk melakukan tindakan sesuai
dengan tahapan-tahapan tertentu. Di instansi
perusahaan, ketersediaan manual prosedur
biasanya menentukan kualitas output/produk
yang dihasilkan. Contoh mudahnya, ketika
seseorang membeli sebuah gadget baru biasanya
dia membutuhkan buku panduan, guidebook,
yang menuntun pembeli memahami bagian-
bagian dan fungsi-fungsi dalam gadget tersebut.
Data yang kami dapati di penelitian lapangan,
tidak ada keseragaman proses dalam penyusunan
daftar kemiskinan ekstrem. Pemerintah desa
sebagai penanggungjawab sumber data yang
di akumulasikan menjadi SK Bupati melakukan
pendaftaran berbasis pengetahuan subjektif,
tanpa melakukan verifikasi ulang pada individu
yang dimasukkan atau tidak pada daftar. Hal
tersebut kami temukan di semua desa di empat
kabupaten yang kami teliti. Perangkat desa
menentukan penduduk dalam daftar semata atas
pertimbangan indikator umum seperti orang tua
lanjut usia, warga berkebutuhan khusus, warga
yang tinggal sebatang kara, janda tua, dan para
keluarga yang tertimpa bencana.

109
Kemiskinan Ekstrem Desa

Fakta lainnya, proses penyusunan daftar


kemiskinan ekstrem juga diindikasikan semata di
ambil prosentase dari data kemiskinan yang ada.
Sehingga wajar jika konsolidasi data yang kami
lakukan berdampak pada perubahan data, baik
adanya penambahan atau penurunan database.

5.3. Faktor Subyektif Dalam Penentuan


Data Kemiskinan
Faktor subyektif adalah elemen-elemen yang
tidak mampu diukur dengan cara obyektif atau
kuantitatif. Elemen ini juga sering berkelindan
dengan lima faktor obyektif ketika menjelaskan
perilaku sosial problematik. Kedua faktor subyektif
yang ada dalam metode pemecahan masalah
ROCCIPI atau PKKKPKI ini adalah (1) Kepentingan
dan (2) Ideologi.
Faktor kepentingan dan ideologi ini banyak
diwarnai oleh kepentingan-kepentingan
para stakeholder kebijakan. Dalam konteks
penanganan kemiskinan ekstrem ini para
stakeholder kebijakan yang terlibat terdiri dari tiga
lapis. Lapis pertama dalam kebijakan penanganan
kemiskinan ekstrem ini adalah Kementerian Desa
dan PDTT sebagai instrument pengelola transfer
dana desa dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah
Daerah. Lapis stakeholder kedua dalam
kebijakan ini adalah Pemerintah Kabupaten,
dimana mereka merupakan pihak yang memiliki
kewenangan untuk menetapkan data penduduk

110
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

miskin. Sementara lapis ketiga atau terbawah


dari kebijakan ini adalah Pemerintah Desa yang
memiliki peran untuk mengelola dana desa
dan melakukan pendataan penduduk miskin di
wilayah perdesaan.

(6) Kepentingan
Konsep kepentingan mengacu pada motifasi
psikologis terhadap hal berupa materi atau non
materi yang dianggap penting bagi pelaku (atau
stakeholder) untuk terlibat dalam perilaku sosial
menyimpang. Bagi pelaku, hal ini dianggap
sebagai kalkulasi untung-rugi untuk mematuhi
atau melanggar aturan, hukum, dan norma
sosial. Terdapat banyak macam motifasi pribadi
masuk sebagai kepentingan yang cukup untuk
mempengaruhi atau berkontribusi terhadap
perilaku sosial menyimpang. Faktor ini juga
termasuk ‘disinsentif’ yang menghalangi perilaku
baik.
Dalam konteks penelitian ini, meskipun
minor, namun dapat dilaporkan tentang adanya
kepentingan stakeholder dalam penyusunan
daftar kemiskinan ekstrem. Hal ini kami temukan di
Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Bangkalan.
Kepentingan yang pertama adalah dugaan
pemilihan nama yang masuk daftar diprioritaskan
nama-nama yang memiliki hubungan kekerabatan
atau hubungan lainnya dengan perangkat desa,
meskipun nama-nama tersebut saat dilakukan

111
Kemiskinan Ekstrem Desa

verifikasi lapangan memiliki kondisi ekonomi


yang baik dan tidak layak masuk kategori miskin
ekstrem.
Kepentingan kedua adalah terkait kredibilitas
pemerintah desa (image) yang harus dijaga.
Jika jumlah banyak penduduk miskin esktrem
di desanya yang masuk daftar, dianggap
merusak nama baik kepala desa yang tidak
mampu menghadirkan kesejahteraan warganya.
Sehingga dengan terbatasnya jumlah warganya
yang masuk daftar miskin ekstrem, kepala desa
dianggap berprestasi dan berhasil mengentas
kemiskinan di desanya.
Fakta itu terbukti saat di desa yang sama di
Kabupaten Bangkalan dan Lamongan, data yang
kami kroscek di tingkatan kepala dusun (kasun)
membenarkan bahwa sebetulnya masih banyak
penduduk yang berhak masuk dalam daftar
miskin ekstrem yang telah masuk SK, namun tidak
semuanya dapat dimasukkan atas pertimbangan
gengsi kepala desanya.
Yang menarik, fakta dilapangan ketika
enumerator melakukam observasi di Desa
Pamatan, Curah Tulis, Tongas Kulon yang masuk
ke wilayah administrasi Kecamatan Tongas.
Tiga kepala desa mengungkap adanya budaya
‘malu’ di tengah masyarakat untuk dikategorikan
sebagai penduduk miskin, apalagi bagi mereka
yang masih berada pada usia produktif bekerja.
Alhasil ketika diminta untuk menambah data

112
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

penduduk yang tergolong miskin ekstrim, tiga


kepala desa tersebut malah memilih untuk
melakukan penghapusan data penduduk miskin
ekstrim yang terdata oleh data SK Bupati. Alasan
umum yang disampaikan adalah bahwa dari data-
data individu yang dihapus dari daftar penduduk
miskin ekstrim sudah terkategori mampu secara
ekonomi.

(7) Ideologi
Konsep ideologi merujuk kepada nilai-nilai
dan sikap yang membentuk pandangan terhadap
dunia dan karena itu membentuk keputusan
individu. Ideologi juga mencakup motivasi
subyektif apa pun yang bukan merupakan
‘kepentingan’. Hal ini merupakan latar belakang
dan nilai-nilai pribadi setiap orang yang menuntun
orang tersebut dalam setiap rangkaian keadaan
dan mempengaruhi bagaimana orang tersebut
menyikapi setiap keadaan. Ideologi adalah konsep
yang lebih praktis ( practical) daripada agama.
Misalnya begini, dalam agama perilaku koruptif
adalah norma terlarang dan konsekuensinya
berakibat pada dosa. Namun beberapa orang
penganut agama tertentu menjabarkan lebih
lanjut norma agama tersebut ke dalam kategori-
kategori perilaku koruptif dan tidak koruptif
sehingga ditemukan alasan pembenar untuk
melakukan tindakan korupsi.
Di butuhkan komitmen yang kuat dari

113
Kemiskinan Ekstrem Desa

pemerintah desa untuk mendukung upaya


pemerintah dalam konsolidasi data kemiskinan
ekstrem. Target pengentasan kemiskinan ekstrem
secara nasional pada tahun 2024 hendaknya
dipahami dan juga menjadi prioritas bagi
seluruh jajaran stakeholder yang berkepetingan.
Pemahaman yang sama terkait visi tersebut
akan menjadi daya pendorong dalam suksesnya
langkah yang dimulai dengan data tunggal
kemiskinan ekstrem di seluruh Indonesia.

(8) Penjelasan berlapis dan tumpang


tindih dari perilaku menyimpang dan
penentuan solusi
Seringkali, lebih dari satu faktor bisa berinteraksi
untuk mempengaruhi atau berkontribusi pada
lahirnya perilaku menyimpang. Misalnya, sebuah
peraturan mempengaruhi seorang pelaku agar
pelaku tersebut melakukan tindakan menyimpang
dengan melibatkan orang lain karena sang pelaku
tidak memiliki kapasitas untuk melakukannya.
Secara faktual dapat kami ambil kesimpulan
bahwa beberapa persoalan yang terjadi di
lapangan terkait penyusunan daftar kemiskinan
ekstrem di daerah adalah karena adanya
perbedaan metode dan dasar pelaksanaan.
Padahal jika mengacu pada peraturan yang ada,
baik Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011
dan Permensos Nomor 3 tahun 2021 tentang
pengelolaan data terpadu kesejahteraan sosial

114
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021


Nomor 578), sudah ada mekanisme baku yang
dapat diterapkan agar data yang dihasilkan
memiliki kualitas yang lebih akurat. Diantara faktor
yang menyebabkan adalah lemahnya komunikasi
(sosialiasi) ketentuan serta pengawasan dalam
proses penyusunan data kemiskinan ekstrem.
Konsolidasi penggunaan aturan yang digunakan
dalam program pengentasan kemiskinan ekstrem
juga diperlukan, agar upaya yang dilakukan oleh
actor yang sama di tingkatan pemerintah daerah,
pemerintah kecamatan dan desa tidak mengalami
kebingungan karena bisa jadi masing-masing
Kementerian/lembaga membuat daftar sendiri-
sendiri, sesuai indikatornya sendiri-sendiri, dan
untuk programnya sendiri-sendiri. Padahal bisa
jadi sasaran penerima hak dari upaya pengentasan
kemiskinan ekstrem sama.
Penting juga untuk diketahui bahwa analisis
ROCCIPI tidak hanya merupakan faktor yang
mempengaruhi atau berkontribusi terhadap
perilaku sosial yang problematis, namun juga
sebagai faktor penimbang keberhasilan sebuah
kebijakan yaitu untuk merubah perilaku sosial
problematis dengan pendekatan solusi.
Solusi pertama selain persoalan regulasi
sebagaimana telah kami elaborasi di atas, adalah
terkait penguatan SDM pelaksana program
pengentasan ekstrem. SDM yang berkualitas
yang menangani proses awal, validasi data, kami
rasa sangat mendesak, karena dengan data yang

115
Kemiskinan Ekstrem Desa

kuat, berbagai macam kebijakan yang bertujuan


sama, akan efektif dapat terlaksana. Problematika
program pengentasan kemiskinan ataupun
program pengembangan desa sering kali jalan
ditempat, dikarenakan program-program tersebut
tidak mengenai sasaran seharusnya.
Solusi kedua, penguatan mekanisme
penyusunan daftar kemiskinan ekstrem yang
disusun oleh Kemendes PDTT sebagai leading
sector. Argumentasinya adalah, Kemendes PDTT
memiliki struktur lengkap hingga tingkat desa,
baik pemerintah desa maupun tenaga relawan
lain hingga tingkat desa. Dengan program yang
dimiliki saat ini, seperti survey SDGS yang
berlangsung beberapa waktu yang lalu, upaya
penyusunan data tunggal (big data) terkait data
kemiskinan, termasuk dalam bentuk “one name
one address” dapat mungkin diwujudkan.
Solusi ketiga, upaya sosialisasi hukum yang
memadai kepada stakeholdres, dapat memperkuat
upaya penanganan dan pengentasan miskin
ekstrem. Jika SDM yang ada memiliki kualitas yang
baik dan diberikan sosialisasi yang memadahi
terkait upaya penyusunan daftar kemiskinan
ekstrem, maka persoalan data kemiskinan yang
lengkap dan tunggal dapat diselesaikan.

116
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. KESIMPULAN
Seirama dengan penyataan Menteri
Desa PDT tentang urgensi validitas data dalam
pembangunan desa, kebijakan Kementerian Desa
PDT sangat instrumentalis dalam upaya konsolidasi
data tunggal kemiskinan dan kemiskinan ekstrem
yang vocal point penananganannya saat ini
bersifat multi-kementerian dan lintas lembaga.
Basis data kemiskinan ekstrem yang disusun
oleh Pemerintah Daerah melalui penetapan
surat keputusan tentang daftar masyarakat
penerima manfaat kemiskinan ekstrem belum
mengakomodasi ketentuan hukum yang
bersumber dari Kemendes PDT, sehingga perlu
kebijakan khusus tambahan yang didukung
instrument sistem Kementerian Desa dan PDT
hingga struktur terbawah, agar verifikasi serta
validasi data (verivali) lebih efektif.
Survei ini mengkonfirmasi gagasan
dan kebijakan Menteri Desa dan PDT terkait
pendekatan verivali (verifikasi dan validasi) yang
dilakukan dengan pendekatan mikro, yaitu bottom
up, berbasis pada kebutuhan dan kondisi faktual
masyarakat di bawah, tidak semata kepentingan
elit desa. Observasi lapangan terhadap 100
kepala desa di kabupaten Lamongan, Probolinggo,
Bojonegoro dan Lamongan dalam rangka

117
Kemiskinan Ekstrem Desa

melakukan cross check kebenaran data SK Bupati


yang ditetapkan per November 2021 menemukan
bahwa usulan nama-nama penduduk miskin
ekstrem yang terdaftar bukanlah usulan dari
kepala desa. Penetapan SK Bupati tersebut murni
merupakan kebijakan dari Pemerintah Kabupaten/
Kota dengan melihat data yang tersedia pada
DTKS, data penerima Bantuan Sosial PKH, data
penerima Bantuan Sosial BPNT, dan bahkan
bantuan rumah Perkim. Hal ini menjadi problem
sendiri bagi pemerintah desa yang notabene lebih
memiliki ketepatan akurasi data penduduk yang
tergolong miskin ekstrem.
Lebih dari itu, konsep kemiskinan ekstrem
yang berdasar pada standar SDGs, yaitu orang-
orang yang memiliki paritas daya beli di bawah
1,91 US Dolar per hari, perlu disosialisasikan lebih
lanjut pada Pemerintah Desa. Realitas di lapangan
menunjukkan bahwa terdapat disparitas antara
standar kemiskinan ekstrem dan kondisi riil
kemiskinan di masyarakat. Beberapa perbedaan
mendasar itu antara lain adalah:
1. Pendataan penduduk miskin di tingkat
Kabupaten/Kota sebagaimana yang dilakukan
oleh BPS tiap kabupaten/kota selama ini
menggunakan rumus Foster-Greer-Thorbecke
(FGT Indeks). Indeks FGT menetapkan angka
garis kemiskinan, tingkat kedalaman kemiskinan
( poverty gap) dan tingkat keparahan kemiskinan
( poverty severity) dengan acuan utama adalah
tingkat pengeluaran masing-masing penduduk.

118
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

Berdasarkan data yang ada, garis kemiskinan


di masing-masing kabupaten tercatat berada
di bawah Rp. 450 ribu per kapita per bulan. Ini
tentunya berbeda dengan standar kemiskinan
ekstrim dengan acuan paritas daya beli sebesar
Rp 820 ribu – 840 ribu per kapita per bulan.
2. Dengan acuan angka garis kemiskinan
tersebut seharusnya seluruh data penduduk
miskin di tiap kabupaten/kota masuk sebagai
kategori kemiskinan ekstrem. Namun angka
tersebut tentunya berbeda acuan dimana garis
kemiskinan lebih berorientasi pada pengeluaran
sementara paritas daya beli lebih mengacu pada
tingkat pendapatan minimal individu per kapita
per hari.
3. Standar kemiskinan di masing-masing
kabupaten/kota memiliki perbedaan yang
disebabkan oleh lokalitas masyarakat setempat.
Lokalitas masyarakat setempat ini meliputi
beberapa variabel seperti adanya budaya malu,
budaya gengsi, standar upah harian buruh
dan petani di masing-masing daerah, hingga
ketersediaan dan kelayakan infrastuktur yang
mendukung pembangunan ekonomi dan sumber
daya manusia.
4. Ukuran paling jitu untuk menetapkan
standar kemiskinan ekstrem adalah standar atau
penilaian dari pemerintah desa. Pemerintah desa
memiliki informasi tentang penduduk miskin
di desanya, perubahan data penduduk yang

119
Kemiskinan Ekstrem Desa

disebabkan oleh kematian dan migrasi, serta


peningkatan ekonomi yang disebabkan oleh
pembangunan lokal tertentu.
5. Meski standar kemiskinan ekstrem
pemerintah desa paling akurat dan aktual, dalam
penerapannya unsur obyektifitas dari kepala desa
dan aparatur desa masih sangat kuat. Sehingga
ukuran kemiskinan ekstrem perlu disosialisasikan
pada pemerintah desa dan perlu dilakukan
pengawasan silang oleh pihak lain seperti Badan
Perwakilan Desa (BPD) atau pihak lain yang
bisa terlibat dalam Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) Desa.
6. Data penduduk miskin ekstrem yang
ada pada SK Bupati hanya memiliki persentase
sebesar 1 hingga 5 persen jika dihitung dari
total penduduk miskin di tiap kabupaten/kota.
Sehingga data yang disediakan dalam SK Bupati
tidak bisa mewakili kondisi riil kemiskinan ekstrem
di tiap kabupaten/kota.
7. Variabel pandemi Covid-19 juga turut
berkontribusi dalam peningkatan kemiskinan
ekstrem di tiap Kabupaten/Kota. Sehingga perlu
dilakukan lebih lanjut tentang dampak pandemi
covid-19 terhadap peningkatan data kemiskinan
ekstrem di wilayah pedesaan.

120
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

6.2. REKOMENDASI
Penelitian ini merekomendasikan beberapa
kebijakan jangka pendek dan jangka menengah
untuk Kementerian Desa dan PDTT:
1. Kebijakan konsolidasi data dengan metode
verifikasi dan validasi (verivali) perlu dilakukan
lebih lanjut dengan melibatkan lebih banyak
desa di kecamatan dan kabupaten lain. Hal ini
untuk mengetahui lebih lanjut kondisi kemiskinan
ekstrem dan kebijakan penanganan yang bisa
dilakukan untuk menurunkan laju peningkatan
penduduk miskin dalam rangka pencapaian target
SDGs dan RPJMN pada tahun 2024.
2. Standar kemiskinan ekstrem perlu diubah
dengan menambahkan variabel lain selain tingkat
paritas daya beli sebagaimana yang selama ini
ditetapkan dalam SDGs. Variabel lain yang bisa
diikutkan dalam standar kemiskinan ekstrem
adalah tingkat upah buruh dan petani di masing-
masing daerah, pandangan hidup masyarakat
tentang kondisi kemiskinan, serta ketersediaan
infrastruktur publik yang mendukung
pembangunan sumber daya manusia.
3. Petani dan buruh menempati posisi
mayoritas dalam data kemiskinan ekstrem
di tingkat desa. Sehingga pemerintah dapat
memanfaatkan hal ini untuk membuat sebuah
kebijakan populis seperti penetapan upah
minimum petani dan buruh lokal. Kebijakan
ubah minimum buruh dan petani lokal ini dapat

121
Kemiskinan Ekstrem Desa

disesuaikan dengan standar paritas daya beli.


Sehingga kebijakan tersebut dapat mendukung
program pemerintah untuk mengentaskan
kemiskinan ekstrem dan pencapaian SDGs.

DAFTAR PUSTAKA

Ann, S., Seidman, R. B., & Abeyserkere, N.


(2001). Penyusunan Rancangan Undang Dalam
Perubahan Masyarakat Yang Demokrtis: Sebuah
Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang
Undang. Jakarta: Indonesia dan USAID: Elips II.
BPS. (2021). Jawa Timur Dalam Angka 2021.
Jawa Timur: Badan Pusat Statistik Jawa Timur
BPS. (2021). Kabupaten Bangkalan Dalam
Angka 2021. Bangkalan: Badan Pusat Statistik
Bangkalan.
BPS. (2021). Kabupaten Bojonegoro Dalam
Angka 2021. Bojonegoro: Badan Pusat Statistik
Bojonegoro.
BPS. (2021). Kabupaten Lamongan Dalam
Angka 2021. Lamongan: Badan Pusat Statistik
Lamongan.
BPS. (2020). Kabupaten Lamongan Dalam
Angka 2020. Lamongan: Badan Pusat Statistik
Lamongan.

122
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

BPS. (2020). Kabupaten Probolinggo Dalam


Angka 2020. Probolinggo: Badan Pusat Statistik
Probolinggo.
Hanafie, S. R. (2015). STRATEGI
PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH.
Fakultas Pertanian Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya, Vol 16 No 2.
Irawan, S. (2002). Ekonomi Pembangunan.
Yokyakarta: UPP STIM YKPN.
Kompas Online. (2021, 10 06). 4 Strategi
Mendes Mnghapus Kemiskinan Ekstrem Hingga
2024. Retrieved from Kompas.com: https://www.
republika.co.id/berita/r0jznd428/4-strategi-
mendes-menghapus-kemiskinan-ekstrem-
hingga-2024
Kompas Online. (2021, 09 08). Agar Bantuan
Tepat Sasaran Mensos Risma Minta Pemda
Perbarui Data Kemiskinan. Retrieved from
Kompas.com: https://nasional.kompas.com/
read/2021/09/08/19311301/agar-bantuan-
tepat-sasaran-mensos-risma-minta-pemda-
perbarui-data-kemiskinan?page=all.
Kompas Online. (2021, 08 12). Mendes
Ingatkan Pentingnya Pemutakhiran Data
Dalam Pebangunan Desa. Retrieved from
Kompas.com: https://nasional.kompas.com/
read/2021/08/12/13551201/mendes-ingatkan-
pentingnya-pemutakhiran-data-dalam-
pembangunan-desa

123
Kemiskinan Ekstrem Desa

Patiung, M. (2016). STRATEGI


PENGANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH
KABUPATEN. Fakultas Pertanian Universita
Wijaya Kusuma Surabaya, Vol 16 No 2.
JPNN. (2021, 10 15). Kemnaker Siapkan
Strategi Atasi Kemiskinan Ekstrem di 7 Provinsi.
Retrieved from JPNN.COM: https://www.jpnn.
com/news/kemnaker-siapkan-strategi-atasi-
kemiskinan-ekstrem-di-7-provinsi
Pramana, D. W., Soeyono, & Sunlip Wibisono.
(2014). Analisis Faktor Penyebab Kemiskinan
di Desa Prasi Kecamatan Gading. (Analysis of
Factors Affecting Poverty in Prasi Village District
Gading Probolinggo. Artikel Ilmiah Mahasiswa
2014, 1.
Purwantini, T. B., & Rusastra, I. W. ( n.d.).
DINAMIKA KEMISKINAN RUMAH TANGGA.
Panel Petani Nasional: Rekonstruksi Agenda
Peningkatan Kesejahteraan Petani, 238-263.
Sekretariat Kabinet. (2021, 11 18). Pemerintah
Targetkan Nol Persen Kemiskinan Ekstrem
di Tahun 2024. Retrieved from ppid.setkab.
go.id: https://ppid.setkab.go.id/2021/11/18/
pemerintah-targetkan-nol-persen-kemiskinan-
ekstrem-di-tahun-2024/
Tarigan, H., Sinaga, J. H., & Rachmawati, R.
R. (2020). Dampak Pandemi Covid-19 terhadap
Kemiskinan di Indonesia. Pus Sos Ekon dan
Kebijak Pertanian, 3, 457-79.

124
FISIP UB dan Pusdatin Kementrian Desa dan Transmigrasi

125
Kemiskinan Ekstrem Desa

126

Anda mungkin juga menyukai