Anda di halaman 1dari 158

BAB I

LUAS GEOTEKTONIK INDONESIA

A. LUAS GEOTEKTONIK INDONESIA


Wilayah Indonesia jika ditinjau dari geotektonik, bukan merupakan suatu unit geologi yang
berdiri sendiri, melainkan merupakan pusat (sentral) geologis yang membentang di antara Asia
Tenggara dan Australia serta di antara Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia. Oleh sebab
itu satuan unit geologi Kepulauan Indonesia mencakup daerah-daerah Indonesia (secara politis),
Kepulauan Philipina, Kalimantan utara (Malaysia Timur, Serawak, dan Brunai), Papua Nugini,
Kepulauan Christmas, Kepulauan Andaman, dan Kepulauan Nicober. Hal ini berarti mencakup
wilayah yang terletak antara garis lintang 21 015’ BT – 150048’ BT. Wilayah terserut meliputi
wilayah seluas lebih kurang 2.832.161 Km2, rinciannya adalah sebagai berikut :

Gambar 1.1 : Lokasi Geotektonik Indonesia

Tabel 1. Luas Geotektonik Indonesia


Satuan Politis/Kepulauan Luas Wilayah
(Km2)
1 Indonesia (termasuk Timor Timur) 1.920.000
2 Papua Nugini 412.000
3 Philipina 296.000
4 Kalimantan (Malaysia Timur dan 196.000
Brunai
5 Andaman dan Nicobar 8.000
6 Christmas 161
Total 2.832.161
Sumber : Bemmelen, 1970 : 1

1
B. TEORI TEKTONIK INDONESIA
Indonesia merupakan wilayah yang belum stabil, yaitu pembentukan pegunungan,
peristiwa vulkanisme, getaran gempa bumi dan sebagainya masih masih terjadi sampai
sekarang. Bahkan Indonesia merupakan satu-satunya daerah yang memiliki gunung api paling
banyak di dunia. Tidak kurang dari 128 gunung api aktif tersebar di Indonesia, dengan rincian di
Sumatera 30 buah, Jawa 35 buah, Bali 2 buah, Nusa Tenggara 26 buah, Laut Banda 9 buah,
Sulawesi 13 buah, Halmahera 8 buah, dan Sangihe-Talaud 5 buah.
Apabila diteliti peta dunia, ternyata gunung api itu hanya ditemukan di beberapa tempat
tertentu, yaitu pada tempat yang dinamakan jalur (sabuk) penyebaran gunung api (Ring of Fire).
Dua jalur gunung api besar yang bertemu di Indonesia yaitu jalur gunung api Mediterania dan
jalur gunung api Pasifik. Jalur Gunung Mediteran masuk ke Indonesia melalui Sumatera, Jawa,
Bali, Nusa Tenggara, dan kemudian melingkar ke Laut Banda.
Jalur Gunung Mediteran yang terdiri dari busur dalam bergunung api, dan busur luar tak
bergunung tetapi bersifat seismic. Kedua busur tersebut terletak sejajar, dan busur luarnya
merupakan pegunungan lepas pantai Sumatera bagian barat, dan bersambung dengan rentang
pegunungan di Jawa bagian selatan, pegunungan Nusa Tenggara bagian selatan melingkar ke
Laut Banda. Busur luar yang tak bergunung api ini dibentuk oleh lapisan batuan endapan yang
terangkat dan terlipat, yang sebagian masih merupakan pegunungan di bawah permukaan air
laut. Jalur gunung api Mediteran ini di Indonesia bersamaan dengan jalur gempa bumi.
Gunung api terbentuk karena magma mampu keluar ke permukaan bumi melalui retakan,
sesar atau bagian yang lemah pada lapisan kerak bumi. Ada kalanya magma keluar di
permukaan bumi tidak membentuk suatu kerucut gunung api, tetapi hanya menimbulkan aliran
lava yang sudah dingin dapat membeku dank eras menjadi batu. Apabila lava keluar berkali-kali
dan disertai bahan muntahan lepas karena letusan, akan terbentuksuatu tubuh yang berbentuk
kerucut dan berlapis-lapis yang disebut gunung api Strabo.
Retakan, sesar atau bagian lemah yang ada dalam kerak bumi ditimbulkan oleh kegiatan
yang mengganggu kerak bumi itu sendiri. Untuk menjelaskan adanya kegiatan yang mengganggu
kerak bumi kepulauan Indonesia, sehingga terjadi sesar, retakan dan sebagiannya yang disertai
gejala-gejala aktifitas vulkanik, gempa bumi dikemukakan dua teori geotektonik yaitu teori
Undasi dan teori mutakhir tektonik lempeng.
1. Teori Undasi
Teori ini disusun oleh RW Van Bemmelen, yang didasarkan pada pengamatannya di
lapangan. Menurut dia bahwa ada hubungan yang erat antara aktifitas dan jenis magma dengan
struktur geologi. Hubungan aktifitas magma dan orogenesa (struktur pegunungan) adalah di
daerah muka suatu pegunungan (batuan praorogen) mempunyai susunan suit (provinsi

2
petrografi) Atlantis, di daerah geosinklin terdapat suit ophiolit (batuan ophiolit), di daerah
geantiklin terdapat suit pasifik, di daerah orogen muda terdapat suit alkalin (Mediteran), dan di
daerah belakang pegunungan (post orogeny) terdapat batuan olivine (basalt).
Van Bemmelen membagi kerak bumi menjadi 3 lapisan kerak bumi menjadi 3 bagian yaitu :
lapisan Sial (silisium-aluminium), Salsima (Silisium-Aluminium-Magnesium), dan lapisan Sima
(Silisium-Magnesium). Lapisan Salsima dianggap sebagai tempat magma asal. Oleh suatu proses
hypo-diferensiasi magma yang bersusun Salsima, maka akan berpisah menjadi magma yang
bersifat ultra basa dan yang bersifat asam. Magma yang bersifat asam akan berkumpul di bagian
atas Salsima, dan magma yang bersifat basa berkumpul di bagian bawah dari Salsima.
Pengelompokkan magma asam di bagian atas Salsima ini disebut asthenolith.
Proses akumulasi magma diikuti pula pembentukan batholith dan diapirisma. Hasil
akumulasi dari hypo-diferensiasi mempunyai perbedaan massa jenis kurang lebih 10 %
dibanding magma asal. Akibatnya akan timbul penyimpangan pada keseimbangan hydrostatis
dan akumulasi ini akan menyebar ke arah lateral dengan lambat.
Pada permukaan bumi gerakan ini dipantulkan sebagai gelombang-gelombang deformasi
yang disebut undasi. Undasi ini akan menyebabkan perpindahan massa yang meliputi batas
kedalaman sejauh 100-200 km dari kulit bumi, yang disebut testosphere (Bemmelen, 1970 : 281-
283). Evolusi tektonik ini menghasilkan beberapa pusat gangguan orogeny dari mana
deformasi-deformasi selanjutnya akan menyebar (menjalar) ke sampingnya.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa daur geologi ini akan diawali dengan
pembentukan geosinklin, dimana terjadi sedimentasi. Sesudah pembentukan geosinklin pada
lapisan Salsima terjadi differensiasi magma, sehingga magma bersusunan asam naik
(asthenolith) dan menimbulkan pembumbungan di atas muka bumi. Akibat tarikan gaya berat,
lapisan batuan yang terangkat akan mulai longsor ke dalam cekungan di sebelahnya sehingga
terjadi pelipatan dan gejala sesar lainnya. Tempat inilah yang dianggap sebagai pusat gangguan
orogenesa pada kerak bumi, yang selanjutnya menyebar ke sampingnya.
Di Indonesia sistem orogeny juga dipengaruhi oleh pusat-pusat undasi. Sistem orogeny itu
adalah : (1) sistema Birma-Sunda-Banda, (2) sistem busur tepi Asia Timur (rangkaian Kepulauan
Pasifik bagian barat) dan (3) sistem sirkum Australia, yang ketiganya bertemu satu sama lain.
Sistem orogeny ini terbentuk oleh sejumlah pusat gangguan dari mana diluncurkan proses-
proses orogen.
Sistem sunda terdiri dari 5 busur yang terbentuk dari pusat-pusat gangguan Shan, Mergui,
Anambas, Laut Flores, dan Laut Banda. Sistem busur teoi Asia Timur mempunyai 2 (dua) pusat
gangguan yaitu palung Sulawesi dan palung Makasar (Pulau Laut). Dari pusat palung Sulawesi
ke jurusan utara terbentuklah pegunungan Kepulauan Sulu, ke timur pegunungan Sangihe-

3
Minahasa, ke selatan pegunungan Sulawesi Utara (bagian tengah lengan utara dan lengan
timur). Dari pusat Pulau Laut bergerak ke barat Pegunungan Meratus dan ke timur pegunungan
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Halmahera, kepala burung irian, dan pegunungan
pemisah pada tubuh Irian termasuk sistem orogeny yang berkembang dari perisai tang telah
tenggelam dari Melanesia Utara ke jurusan barat dan selatan. Sistem orogeny ini menjalar ke
timur sampai ke Bismarck. Sistem orogeny Australia berupa pegunungan salju di tengah-tengah
Irian yang timbul dari daerah orogen Papua yang mengelilingi Benua Australia pada sebelah
utaranya. Sistem pegunungan Irian Tengah ini masih sangat muda.
2. Teori Tektonik Lempeng
Pada permulaan tahun 1963 seorang ilmuwan Kanada bernama J. Tuzo Wilson menulis
kertas kerja yang isinya membuka pemikiran dalam ilmu geologi, dan menghasilkan suatu
tulisan mutakhir yang disebut teori “tektonik lempeng”. Teori ini didasarkan pada hasil
penelitian geofisika di daerah samudera. Konsep ini mengatakan bahwa kerak bumi atau litosfer
terdiri atas 6 atau 7 buah lempeng raksasa (besar), dengan ketebalan antara 75-125 km, dan
ditambah lebih kurang 20 buah lempeng yang lebih kecil. Satuan ini dinamakan lempeng, karena
ukuran lateralnya jauh lebih besar bila disbanding dengan tebalnya. Keadaan ini dapat
diperagakan dengan membayangkan bumi sebagai sebuah telur besar yang kulitnya telah retak
ke dalam 6 dan 7 bagian besar dengan lebih 20 bagian kecil, tetapi belum hancur dan terpisah-
pisah. Lempeng-lempeng besar tersebut adalah lempeng Eurasia, Afrika, Amerika, Pasifik, Indo-
Australia, dan lempeng Antartika. Lempeng-lempeng yang lain yang lebih kecil dapat dilihat
pada gambar 1.2.

4
Gambar 1.2 : Lempeng-Lempeng Dunia
Semua lempeng litosfer ini bergerak, mengapung di atas lapisan kenyal yang disebut
Astenosfer, dengan kecepatan paling sedikit 10 cm per tahunnya. Sampai sekarang masih
banyak dugaan mengenao tenaga penyebab gerakan lempeng-lempeng, namun dugaan utama
sebagai penyebabnya adalah aliran dalam bahan plastic (kenyal) yang panas, dan magma cair
yang bergerak ke atas dank e arah luar di dalam Astenosfer (aliran/arus konveksi) dan keluar di
mid-oceanic ridge yang kemudia menyebar ke kedua sisinya.
Batas antara lempeng-lempeng itu merupakan tempat di mana terdapat daerah-daerah
bergema, orogenik, dan tektonik yang paling akftif. Batas-batas tersebut dapat berupa :
a. Pematang samudera (mid oceanic ridges), di mana merupakan daerah pusat penyebaran
(divergent). Di sini terjadi pembentukan lempeng-lempeng baru dan kemudian masing-
masing bergerak saling menjauh dari poros pematang ke arah yang berlawanan.

Gambar 1.3 : Pergerakan Lempeng Secara Divergen dan Konvergen

5
Gambar 1.4 : Pergerakan Lempeng Secara Divergen yang Membentuk Pematang (Punggungan) Tengah
Samudera (mid oceanic ridges)

b. Sesar-sesar mendatar (transform faults), di mana dua lempeng saling berpapasan (shear);
dan
c. Palung-palung laut dalam, dimana dua lempeng saling bertemu atau bertumbukan
(convergent) yang disertai oleh gejala-gejala penghancuran lempeng (terjadinya patahan).

Gambar 1.5 : Pergerakan Lempeng Secara Konvergen

6
Pada bentuk batas convergent, bila dua lempeng yang sifatnya berbeda saling bertumbukan,
maka salah satu lempeng akan ditekuk dan didesak ke bawah dan masuk menuju ke dalam
melalui suatu jalur bergempa yang arahnya miring. Jalur bergempa disebut “zona Beniof”,
sedangkan batas dimana lempeng ini bergerak ke bawah tepi benua disebut jalur “subduksi”
(subduction) atau jalur penunjaman.

Gambar 1.6 : Batas Lempeng Konvergen di Belakang Kepulauan Mentawai yang Memicu Gempa

7
Gambar 1.7 : Penampang Tektonik Lempeng Pada Zona Penunjaman (Subduksi)
Kepulauan Mentawai dan Sumatera
Di daerah subduksi di samping pusat gempa bumi juga merupakan pusat aktifitas gunung
api. Gempa bumi terjadi akibat dari tekanan yang ditimbulkan karena lempengan tektonik
menjadi melengkung dan arahnya dibelokkan ketika berjalan ke bawah. Apabila sebagian dari
lempengan tiba-tiba patah atau hancur pada kedalaman antara 100-700 km di bawah
permukaan Bumi, juga dapat menyebabkan terjadi gempa bumi. Sedangkan aktifitas gunung api
disebabkan oleh karena adanya tenaga yang dihasilkan ketika batu-batuan dari lempeng

8
samudera mencair. Cairan ini kemudian melepaskan tekanan yang begitu besar, sehingga dapat
mendorong batuan yang mencair ini ke atas.
Ada beberapa tempat dimana lempeng benua saling bertumbukan, sehingga membentuk
pegunungan. Contohnya gerakan ke utara sub benua India bertumbukan dengan Benua Asia dan
terbentuk pegunungan Himalaya.
Dengan demikian daerah convergent adalah merupakan suatu jalur dimana terdapat
kegiatan orogeny yang antara lain meliputi gejala-gejala : (1) konsumsi lempeng, (2)
pertumbukan benua, (3) pengerutan lapisan-lapisan, dan (4) penebalan kerak bumi dan
pembubungan isostasi, bersama-sama dengan kegiatan magmatic (Sukendar Asikin, 1976 : 89).
Oleh sebab itu kegiatan gunung api terjadinya sesar, gempa bumi, dan pembentukan
pegunungan merupakan gejala yang kait mengkait.
Kepulauan Indonesia berdasarkan teori tektonik lempeng merupakan pertemuan tiga buah
lempeng yaitu lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dari arah selatan, dan lempeng pasifik
dari arah timur. Kedua lempeng tadi bertemu dengan lempeng Eurasia di Indonesia. Akibat
pertemuan ketiga lempeng tersebutt timbul gangguan pada kerak bumi berupa patahan, sesar,
retakan dan lain-lain. Di bagian kerak bumi yang rusak, memungkinkan magma mengalir masuk
menerobos lapisan kerak bumi, akan terbentuk suatu gunung api. Penyebaran gunung api di
Indonesia terletak pada satu jalur, yang mempunyai kaitan dengan gerakan lempeng tersebut di
atas.
Di Indonesia terdapat 3 jalur gunung api yaitu : (1) jalur yang menyebar dari ujung
Sumatera Utara, lewat Jawa, beberapa Pulau Nusa Tenggara, menuju Pulau Banda; (2) jalur yang
meliputi ujung utara Sulawesu dan Kepulauan Sangihe; (3) jalur yang meliputi beberapa pulau
sebelah barat Halmahera dan Pulau Halmahera. Gunung Una-Unan di Teluk Gorontalo
merupakan gunung yang terisolir letaknya. Dengan demikian tidak mengherankan apabila
Kepulauan Indonesia merupakan daerah gunung api yang teraktif di dunia, dan di samping itu
juga merupakan daerah gempa serta daerah pembentukan pegunungan.
C. KEUNIKAN GEOLOGI INDONESIA
Gugusan kepulauan Indonesia merupakan bagian permukaan yang paling ruwet. Sejak
perulaan sejarahnya, tenaga endogen sangat aktif di daerah ini. Oleh sebab itu, kepulauan
Indonesia merupakan objek ekstrim yang menarik perhatian geology untuk mempelajari
tektogenesis dalam hubungannya dengan gejala-gejala endogen seperti pergeseran litosfer,
aktifitas vulkanisme, gempa bumi, dan penyimpangan keseimbangan isostatik. Bahkan Closs
dalam bukunya berjudul Einfuhrung in die Geologie tahun 1936 telah menyebutkan bahwa
Indonesia merupakan salah satu daerah penting di planet bumi untuk mempelajari evolusi

9
geologis yang fundamental (Bemmelen, 1970:4). Menurut Stauffer selama satu abad kurang
1.000 ahli geologi telah mengunjungi Indonesia.
Keunikan geologi yang dijumpai di Kepulauan Indonesia adalah :
1) Di gugusan Kepulauan Indonesia terdapat jalinan sistem pegunungan Thetys dengan
rangkaian pegunungan Pasifik bagian barat (busur tepi Asia Timur) yang dikenal keduanya
sebagai sistem pegunungan sirkum sunda dan sistem pegunungan sirkum Australia.
Gugusan kepulauan ini juga merupakan darrah batas antara Benua Asia dan tanah besar
Gondwana, yang terjadi proses-prose yang aktif dari pembentukan pegunungan. Sistem
pegunungan sunda panjangnya kurang lebih 7.000 km, yang memanjang dari Arakan Yoma
(di Birma) melalui Kepulauan Andaman dan Nicobar, Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara
sampai lengkungan pulau-pulau Banda di Maluku. Pegunungan ini terdiri dari 2 jalur busur
pegunungan yang sejajar, yaitu rangkaian kepulauan (busur dalam) bersifat vulkanis dan
pegunungan bawah laut (busur luar) yang tidak vulkanis tapi bersifat seismik. Sistem
pegunungan Sirkum Australia terbentak sepanjang sumbu sentral Uruan, Australia bagian
timur sampai Selandia Baru.
2) Indonesia merupakan daerah yang sangat tidak stabil, gerak-gerik orogenetik pembentuk
pegunungan masih terjadi sampai sekarang.
3) Indonesia merupakan daerah seismic (daerah gempa). Jalur-jalur pegunungan yang
membatasi dangkalan Sunda dan dangkalan Sahul termasuk daerah yang paling goyah.
Gempa bumi terjadi rata-rata 500 kali tiap tahunnya. Bahkan pada tahun 1985 hampir
20.000 kali selama satu tahun (rata-rata 50 kali per hari) (Soewarno Darsoprajitno,
1986:61).
4) Busur dalam di Indonesia ditandai oleh aktifitas vulkanisme. Jumlah gunung api tidak
kurang dari 500 buah, dan 128 buah diantaranya masih aktif termasuk sekitar 70 buah yang
sering meletus (Soewarno Darsoprajitno, 1986:57).
5) Adanya penyimpangan-penyimpangan gaya berat yang sangat besar yaitu penyimpangan
negative Maluku (antara Sulawesi dan Halmahera) sebesar-204 milidine menurut metode
reduksi isostatis regional dari Vening Mainez (Bemmelen, 1970:3)
6) Indonesia dikitari oleh cekungan-cekungan atau basin-basin laut yang dalam. Basin-basin
laut itu adalah basin Laut Cina Selatan, basin Sulawesi, basin Mindanau (Philipina), basin
Carolina, dan basin Indo-Australia (tepi Samudera Indonesia).
7) Keadaan relief mempunyai perbedaan tinggi yang besar yaitu antara rangkaian pegunungan
dan lbuk-lubuk laut dalam. Pincak (5.030 m) di pegunungan Jayawijaya dan palung laut
terdalam Samudera Pasifik yang bergerak ke barat

10
8) Ditinjau dari segi teori tektonik lempeng, Indonesia merupakan titik pertempuan lempeng
Aurasi dan lempeng samudera Indo-Australia yang bergerak ke utara dan juga dengan
lempeng Samudera Pasifik yang bergerak ke barat.
9) Stratigrafi dan paleontologi di Indonesia akan memberikan sumbangan yang besar dalam
pengembangan pengetahuan geologi. Semua jenis fasies dijumpai dari endapan kontinen
sampai endapan abisal (laut dalam). Perubahan fasies cepat terjadi baik dalam penyebaran
vertical maupun horizontal. Sedimen dalam geosinklin tersier mencapai tebal lebih dari
10.000 m. fosil flora dan fauna diketemukan di berbagai tempat seperti fosil forminifera,
vertebrata dan sebagainya.
10) Ditinjau dari geologi ekonomi menunjukkan bahwa perkembangan dan penyebaran
cekungan-cekungan minyak serta daerah mineral sangat erat hubungannya dengan
mempelajari sifat-sifat struktur geologi dalam menentukan tempat-tempat dan pencarian
daerah yang mempinyai potensi pertambangan.

11
BAB II
PERKEMBANGAN GEOLOGI INDONESIA

A. ZAMAN PRA-KAMBRIUM
Batuan yang dianggap paling tua di Indonesia adalah di Indonesia adalah sekis kristalin.
Batuan sekis kristalin yang terkena metamorfosa letaknya di bawah batuan yang tidak
terpengaruh metamorfosa dan umurnya lebih muda (prinsip superposisi). Taraf metamorfosa
batuan digunakan untuk mempersamakan umur relative batuan. Batuan sekis metamorfosanya
lebih tinggi disbanding dengan sedimen yang secara stratigrafi terletak di atasnya, sehingga
kesimpulan yang diperoleh bahwa batuan sekis kristalin relatif lebih tua dari batuan sedimen
tersebut. Batuan sekis kristalin diendapkan di dalam cekungan sedimentasi yang lebih tua dari
cekungan sedimentasi batuan sedimen yang lebih muda.
Batuan sedimen di Indonesia yang tertua berdasarkan fosil (secara paleontologis) adalah
silur. Oleh sebab itu batuan sekis kristalin diperkirakan berusia pra-silur, atau batuan itu
diendapkan dalam cekungan yang berumur pra-Kambrium atau kambrium. Karena orogenesa di
zaman itu dan diikuti oleh proses-proses dynamo metamorfosa maka sedimen umur pra-
kambrium terangkat dan berubah menjadi sekis kristalin, sehingga membentuk daratan sekis
kristalin.
Batuan sekis kristalin tersebar luas hamper tiap penjuru. Hal ini menunjukkan bahwa pada
zaman pra-Kambrium di Indonesia berupa daratan besar atau kecil yang terdiri dari batuan
sekis kristalin. Batas masing-masing daratan tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan
batas penyebaran batuan sekis kristalin merupakan batas umum dari daratan. Batas-batas yang
mencakup suatu wilayah luas ini oleh Abendanon dinamakan Aequinoctia (Wisaksono,
1952:302).
B. MASA PALEOZOIKUM
1. Zaman Kambrium
Indonesia sampai sekarang belum diketahui endapan-endapan yang berumur Kambrium.
Oleh sebab itu diperkirakan bahwa Indonesia merupakan suatu daratan seperti pada zaman Pra-
Kambrium yaitu daratan Aequinoctia. Daratan ini terkena proses-prose erosi dan denudasi yang
berlangsun paling tidak selama zaman Kambrium.
Sungai Karien (daerah Digul, Irian) diketemukan batuan lempung berbutir halus dan
berlapis tipis serta berwarna kelabu tua sampai hitam. Di beberapa tempat batuan ini
mengandung mineral Pyrit. Di samping itu juga diketemukan batu lempung gampingan yanmg
berlapis-lapis, dolomit lempungan, dolomit yang sedikit selingan-selingan tipis batu rijang dan

12
retas diabas kwarsa. Batuan ini semua mempunyai ketebalan kira-kira 1.600 m, yang dinamakan
formasi Karien.
Daerah bagian selatan Irian (Merauke, Aripu, dan Jausakar) diketemukan batuan yang mirip
dengan formasi Karien. Di bawah formasi Karien dijumpai formasi Awigatoh yang terdiri dari
basalt, breksi vulkanik, batu gamping kehitam-hitaman yang bersifat kersikan (SiO2). Tebal
formasi Awigatoh kira-kira 600 m.
Sifat litologi dari batuan formasi Karien berbeda dari semua batuan yang pernah
diketemukan di Irian. Batu-batuan yang mempunyai sifat litologi mirip dengan batuan formasi
Kariendan Awigatoh terdapat di Australia Utara (seri Georgina dan seri Templeton) yang berupa
endapan berbutir halus dan berlapis tipis yang mengandung dolerite kwarsa, lakolit, batuan
vulkanik basa. Seri Georgina dan seri Templeton di Australia Utara berumur Kambrium atas.
Berdasarkan persamaan litologi batua kedua seri tersebut dengan batuan formasi Karien dan
Awigatoh di Irian, maka menunjukkan bahwa kemungkinan besar umur batuan di Australia
Utara dan Irian adalah sama yaitu Kambrium Atas.
Atas dasar formasi Karien dan Awigatoh berumur Kambrium atas, maka di Irian paling
tidak zaman Kambrium Atas telah ada cekungan yang terjadi di tepi Aequinoctia. Cekungan ini
dari Australia Utara (seri Georgina dan seri Templeton diketemukan), meluas ke utara ke arah
Irian sampai daerah daratan sebelah selatan pegunungan Jayawijaya (endapan formasi Karien
dan Awigatoh diketemukan), yang dinamakan cekungan Tasmania
GAMBAR 7
Daerah yang terkena proses peneplanisasi (yang berupa daratan) pada zaman Kambrium
diperkirakan adalah daratan Aequinoctia yang terdiri dari batuan sekis kristalin.
2. Zaman Silur
Di Indonesia fosil tertua yang pernah diketemukan adalah berumur Silur yaitu di Irian.
Hubungan stratigrafi antara endapan Silur dengan batuan yang lebih tua (batuan Kambrium dan
sekis kristalian) tidak diketahui dengan jelas. Cekungan yang diperkirakan sudah terbentuk
pada zaman Kambrium di tepi tenggara daratan Aequinoctia mungkin meluas di zaman Silur
karena trangesi. Cekungan ini di zaman Kambrium membentang dari Australia utara sampai
bagian selatan Irian dan masih merupakan cekungan dangkal. Namun pada zaman Silur meluas
kea rah pegunungan Jayawijya. Hal ini terbukti adanya fosil berumur Silur di pegunungan
Jayawijaya. Bahkan diperkirakan cekuangan tersebut meluas sampai ke kepala burung Irian,
dengan tanda-tanda adanya batuan Silur di sana. Cekungan Irian ini dinamakan palung Papua
yang bersifat geosinklin Tasmania yang membujur sepanjang pantai timur Australia yaitu dari
Pulau Tasmania sampai Jazirah York di Australia Utara.

13
Batuan sedimen di Palung Papua berumur Silur atas, yang berupa batu gamping hijau dan
mengandung fosil halysites wallichi reed. Di sepanjang anak Sungai Sint Laurentz yang mengalir
di lereng selatan pegunungan Jayawijaya diketemukan batu guling.
Di Kepala Burung bagian tengah diketemukan formasi kemum dengan fasies geosinklin,
yang terdiri dari lempungan sampai pasiran, batu pasir, sedikit konglomerat, batu lempung
mengandung zat arang dan greauwache. Di Sungai Roef (anak Sungai Aifat) diketemukan
formasi kemum yang mengandung fosil Monograptus Turriculatus Berrande dan Monograptus
Marri Pernner. Di bagian barat wilayah Indonesia sampai sekarang belum ditemukan tanda-
tanda adanya cekungan pada zaman Silur yang merupakan sedimentasi batuan yang berumur
Silur
GAMBAR 8
3. Zaman Devon
Di Irian endapan Devon diketemukan di bagian barat daya Irian Jaya yaitu di Sungai
Noordweistriver yang berupa batu pasir coklat, kelabu dan putih yang mengandung fosil
Favosites, Cystiphyllum dan Cyathophyllum Douvillei. Di lereng pegunungan Jayawijaya endapan
Devon bawah dan Devon tengah terdiri dari batu gamping pasiran kelabu dengan fosil
Cystiphyllum Sp. Favosites Reticulatus, Heliothes Barrendei dan Brachiopoda. Endapan Devon atas
terdiri dari batu pasir putih dan coklat mengandung fosil Goniophora, Spirifer, Wilsonia, dan
Retzia.
Di sepanjang pantai barat Australia pada zaman Devon terjadi geosinklin westralia yang
memanjang dari ujung selatan pantai barat Asutralia sampai pantai yang berhadapan dengan
Pulau Timor.
Di Indonesia barat endapan Devon diketemukan di Kalimantan Timur (tepi Sungai Telen
anak Sungai Mahakam) berupa batu gamping dalam fasies danau, dengan fosil heliothes porosus
goldfuss dan chlatridictyon spatiosum boehnke yang diperkirakan berumur Devon bawah dan
Devon tengah. Diperkirakan batu gamping tersebut diendapkan dalam palung Anambas.
Pada zaman Devon Aequinoctia mulai terbagi-bagi dengan melebarnya geosinklin di
daratan Asia dan Australia. Geosinklin Tasmania bersambung dengan Palung papua ke arah
barat laut dan bahkan diperkirakan bersambung dengan geosinklin Annam melalui suatu lautan
yang terdapat di anatara Philipina, Kalimantan dan Sulawesi. Palung Anambas diperkirakan
bersambung ke arah barat daya laut dengan geosinklin Paleocathaysia melalui suatu lautan
yang terdapat di antara Malaka dan Sumatera
Gambar 9

14
4. Zaman Karbon
Endapan Karbon di Indonesia relative tidak luas, hanya diketahui di sumatera, Kalimantan
dan Irian. Dalam beberapa hal sangat sukar dibedakan antara endapan yang berumur Karbon
dan Perm. Oleh sebab itu digunakan Istilah Permokarbon.
Endapan Permokarbon di Sumatera dijumpai di daerah Jambi. Bagian bawah Perkarbon
yang dikenal denga formasi Karing yang terdiri dari serpih, batu pasir, tufa, konglomerat, batu
gamping yang mengandung fosil fusulina dan flora Karbon. Bagian tengah yaitu formasi
Salamuku, umunya terdiri dari batuan klastika kasar, seperti breksi, konglomerat, batu gamping
yang fosil Fusulina dan batuan vulkanik antara lain dasit, andesit, liparit, tufa. Bagian atas
dinamakan formasi Air Kuning yang terdiri dari batuan vulkanik seperti tuva, lava, tufa dasitik,
batu pasir, batu gamping yang fosil Fusulina dan fosil flora.
Di Kalimantan Barat endapan Permokarbon dikelompokkan menjadi fasies vulkanik dan
fasies sedimen. Fasies vulkanik terdiri dari batuan efusiva basa yang mirip dengan batuan breksi
di Pulau Melayu dari fasies danau. Di beberapa tempat dalam fasies ini ditemukan selingan batu
rijang dari fasies sedimen yang mengandung fudilinidae. Fasies sedimen ini terdiri dari jasper,
rijang, batu sabak kersikan, batu sabak, pilit, batu lempung, napal, batu gamping dan marmer.
Dalam batu gamping terdapat fosil Fusulina yang menunjukkan umur Permorkarbon, dan flora
Karbon seperti Calamites dan Pecipteris menunjukkan umur karbon.
Di bagian barat pegunungan Schwanner ditemukan batu pasir dan skali, napal serta batu
gamping yang tanpa fosil. Endapan ini dianggap berumur Permokarbon, atas dasar persamaan
litologi dengan batuan di sebelah utara Pegunungan Scwhaner. Di Pegunungan Kembayan
batuan Permokarbon mirip seperti di Pegunungan Schwaner tapi mengandung Fusulinidae.
Di serawak batuan kersikan seperti jasper dan batuan rijang diselingi oleh batu gamping
yang kaya akan Fusulinidae berumur Permokarbon. Di Sabangan diketemukan shale dan batuan
sabak yang mengandung flora Karbon seperti pecopteris dan Calamites.
Di Irian (Pegunungan Jayawijaya) endapan Karbon diketemukan Karbon atas. Batuannya
terdiri dari batu pasir gampingan yang mengandung mika dengan fosil Chonete dan Proetes, batu
gamping mengandung flora Cathaysia. Di samping itu didapatkan pula batuan lempungan,
pasiran dan konglomerat dengan fosil Brachiopoda.
Dari endapan-endapan yang diketemukan di Sumatera (jambi), Kalimantan dan Irian
(Pegunungan Jayawijaya) menunjukkan bahwa pada zaman Karbon di Indonesia terjadi susut
laut. Hal ini karena endapan-endapan pada umumnya mempunyai sifat-sifat daratam, vulkanis
dan lautan. Hanya di Kalimantan Barat diketemukan sifat geosinklin. Palung Papau, geosinklin
Tasmania dan Westralia lama kelamaan tidak menunjukkan sifat geosinklin. Tetapi palung

15
Anambas ke arah barat laut melebar dan berhubungan dengan geosinklin Himalaya (India),
melalui Malaya, Indocina dan Birma
GAMBAR 10
5. Zaman Perm
Batuan Perm menunjukkan adanya genang laut selama zaman Perm. Tanda-tandanya dapat
dilihat di Sumatera, Kalimantan, pulau-pulau di bagian tenggara Indonesia dan Irian. Genang laut
dapat dilihat dengan jelas di Indonesia Timur yaitu bagian tenggara Indonesia yang berhadapan
dengan Australia. Genang laut terjadi sesudah orogenesa variscia pada akhir zaman karbon.
Di Sumatera endapan Perm diketemukan di Pegunungan Bukit Barisan yaitu sekitar Danau
Singkarak. Batuan umur Perm di daerah tersebut di bagian bawah berupa fasies vulkanik seperti
andesit, dasit, tufa, selingan-selingan skali, batu pasir, batu gamping dan sebagai dasarnya
lapisan arkose. Bagian atas berfasies marine yang ditandai batu gamping dan sebagai dasarnya
lapisan arkose. Bagian atas berfasies marine ditandai batu gamping fusulina dengan fosil
Verboekina Verbeeki, Pseudofusulina, Sumatrina dan Parafusulina yang menunjukkan umur Perm
Tengah-Atas. Di Jambi endapannya berkembang sebagai sistem Permokarbon dengan di bagian
bawah berupa fesies Karbon dan bagian atas berkembang sabagai fasies marine. Di daerah
antara Danau Singkarak dengan Danau Toba, endapannya diperkirakan berumur Permokarbon
yang tersebar di banyak tempat dan dikenal sebagai formasi batu sabak tua. Formasi ini terdiri
batuan yang sedikit mengalami metamorfosa seperti kwarsit, serpih, serpih filitik, diabas,
porfirit, batu gamping koral dengan struktur bioherm. Fosil dalam batu sabak tua adalah
Lophophylidae, Pseudoch Wagerina, Fanestella, Stromatopara, dan Orthoceras.
Di Aceh dan Tapanuli tidak banyak diketahui adanya endapan Perm, kecuali di beberapa
tempat terdapat batu gamping yang kadang-kadang berselingan dengan greauwacke dan
mengandung fosil Brachiopoda seperti Spirifer, Productus, dan Syringopora sebagai petunjuk
zaman perm.
Di Kalimantan Timur dan Serawak lapisan Perm sebagai batu gamping fusulina, skali,
rinjang dan jasper. Di pegunungan Jayawijaya (Irian) endapan Perm terdiri dari batu gamping
yang mengandung prodcutus dan beyozoa, batu gamping koral dengan fosil Lonsdaleia Fliegeli
dan batu pasir napalan.
Di Timor endapan Perm mengandung fosil paling kaya dan tersimpan sangat banyak,
sehingga merupakan contoh yang terbaik untuk Indonesia maupun dunia. Batuannya tersebar
luas di pulau ini, tetapi karena tektonik yang kompleks dengan banyaknya kelopak dan tidak
teraturnya urutan dan susunannya, maka batuan Perm di Timor sukar sekali diselidiki. Batuan
Perm di Timor secara stratigrafi dari bawah ke atas dapat dibedakan :

16
a. Fasies kokneno terdiri dari fasies flysch, di antaranya breksi, konglomerat, greauwacke,
serpih, batu pasir mika yang mengandung fragmen sekis, fosil tanaman, konkresi rijang,
konkresi besi napal, batu gamping napalan dan radiolit.
b. Fasies sonnebait umumnya merupakan fasies laut dan vulkanik. Batuan-batuannya terdiri
dari batu gamping napal, napal tufaan, tufa, serpih, rijang, radiolarit, konkresi besi, nodul
magan, batu lempung merah batuan beku trachit, rhyolite, spilit dan basal. Fosil yang
terdapat di dalam fasies ini adalah koral, bryozoan, Crionoida, Blastoida, Chepalopoda,
Brachiopoda, fusulina, Radiolaria, Blobortuncana, Globigerina, Idan Aucella, dan gigi ikan hiu.
Fosil-fosil tersebut kebanyakan terdapat dalam batuan napal sehingga tersimpan dengan
baik.
c. Fasies fatu merupakan fasies marine neritic, terdiri dari batu gamping tidak berlapir dengan
struktur bioherm, batu gamping karang, batu gamping trachit dan batu gang diabas. Fosil
yang diketemukan dalam fasies ini adalah Brachiopoda dan Crinoida.
d. Fasies Palelo diketemukan bersama dengan batuan sekis kristalin. Berdasarkan perbedaan
fasiesnya dapat dibedakan fasies Palelo bawah dan fasies Palelo atas. Fasies Palelo atas
terletak tidak selaras di atas Palelo bawah dan sikis kristalin. Palelo bawah terdiri dari
radiolarit, breksi dengan fragmen greauwacke, batu pasir, napal, tufan, serpih lava,
konglomerat dengan fragmen sekis kristalin dan mengandung fosil Inoceramus dan
Globotruncana.
Fauna laut zaman Perm di Timor yang terpenting bagi stratigrafi adalah amminot yang
terdapat dalam jumlah sangat banyak pada fasies Sonnebait. Berdasarkan fauna amminot
endapan Perm di Timor dapat dibedakan menjadi 5 jenjang dan 1 anak jenjang. Urutan
stratigrafinya dari bawah (tua) ke atas (muda) adalah :
a. Jenjang Somohole dengan fosil : Marathonites, Papanoceras, Pronorites, Grasticoceras, dan
Paralagoceras.
b. Anak jenjang Lidak dengan fosil : Papnoceras dan Perrinites
c. Jenjang Bitauni dengan fosil : Parrinites, Pronorites, Paralegonorites, Propinacoceras,
Medlicottia, dan Agathiceras Sundaicum.
d. Jenjang Tae Wei dengan fosil : Daraelites Submeeki, Parapronorites Timorensis,
Propinacoceres Affine, Artinsria Simile, Metalogocere Sundaicum, Agathiceras Martini,
Agathiceras Sundaicum, Adianites Cancellatus, epadrianites Involutes, Maratoniceras,
Stacheoceras Arthaberi, Agathiceras Brouweri, dan Paralegoceras.
e. Jenjang Basleo dengan fosil : Waagenoceras dan Nieleceras
f. Jenjang Amarassi dengan fosil : Cyclolobus.

17
Di punggung geantiklinal Sermata-Leti batuan berumur Perm juga diketemukan. Penentuan
umur batuan Perm di Pulau Leti dan Luang berdasarkan fosil, tetapi di Pulau Sermata dan Moa
umur batuan Perm ditentukan berdasarkan persamaan litologi batuan Perm Timor. Di Pulau Leti
batuan paleozoikum mirip dengan fasies Sonnebait di Timor, dan dapat dibedakan menjadi 3
jalur yaitu :
a. Jalur utara yang terdiri dari serpetin, batu gamping kristalin, sekis kristalin dan gneiss
(umurnya belum diketahui dengan pasti).
b. Jalur tengah berupa batuan dengan tahap metamorfosa tidak kuat yang terdiri dari kwarsit,
phylit, batu gamping crinoida dan batuan basa.
c. Jalur selatan batuan berumur Perm, terdiri dari batu pasir, skali dan batu gamping yang
mengandung koral, gastropoda, fusulina, trilobite, brachiopoda dan ammonit.
Di Pulau Luang batuan Perm terlipat kuat yang terdiri dari batu gamping crionida dan napal
mengandung bryozoan dan brachiopoda. Di Pulau Babar endapan Perm mirip dengan fasies Fatu
di Timor dan terdiri dari batu gamping crinoida. Pulau Ambon diketemukan batu gamping
brachiopoda yang mengandung cetakan-cetakan bitumina dari fosil tumbuhan dan merupakan
sisipan dalam lapisan Trias.Batu gamping brachiopoda ditemukan pula di pegunungan Tokala
(jazirah timur Sulawesi), dengan sisipan skali (serpih) bitumina yang mengandung fosil
Steptorhyches, Productus dan Oxytoma, dan kesemuanya berumur permokarbon.
Pulau Sawu (pantai utara dekat Meba) diketemukan bongkah-bongkah batuan yang
mengandung fosil Zaphtrentis Bayrichi dan Ampexus Corraloides yang menunjukkan umur Perm.
Pulau Roti (termasuk geantiklinal Timor-Roti) diketemukan batu gamping Perm yang
berselingan dengan skali tufaan dan lapisan diabas. Fasies Perm di pulai ini mirip dengan fasies
Sonnebait di Timor, sehingga endapan Perm kedua pulau tersebut merupakan perpanjangan
satu sama lain.
Menjelang berakhirnya masa Paleozoikum terjadi suatu siklus orogenesa variscia, yaitu
akhir Karbon sampai Perm tua. Siklus Variscia menyebabkan endapan paleozoikum di beberapa
tempat terdiri dari lapisan yang terbentuk dalam air dangkal sampai fasies daratan. Sesudah
orogenesa berakhir maka dijumpai siklus sedimentasi sebagai akibat dari penurunan kembali
daratan yang terangkat dari siklus orogenesa tersebut hingga terjadi keseimbangan. Siklus
sedimentasi dimulai dengan pembentukan endapan Perm, dan berlangsung hingga Mesozoikum.
Dari pembentukkan endapan ini menunjukkan terjadinya transgresi.
Transgesi yang dimulai dari zaman Perm menyebabkan daratan Gondwana dipisahkan oleh
suatu geosinklin dari daratan Eurasia yang dinamakan geosinklin Tethys. Oleh karena transgesi
ujung timur geosinklin tersebut melebar dan menggenangi daratan Indonesia yang berumur

18
Paleozoikum serta memotong menjadi bagian-bagian seperti pada gambar/peta 11 dari peta 10
terlihat bahwa daratan Australia sudah mulai terjadi.
C. MASA MESOZOIKUM
1. Zaman Trias
Pada masa Mesozoikum fauna marine Indonesia menunjukkan kemiripan dengan fauna
marine Mediterania di Eropa Selatan (bagian geosinklin Thetys). Hal ini menunjukkan pada
kita bahwa kedua daerah tersebut dalam satu sistem geosinklin besar yaitu geosinklin Tethys.
Selama Mesozoikum di Indoensia diketemukan cekungan-cekungan yang sempit dan
memanjang. Dalam cekungan tersebut diendapkan sedimen dengan fasies yang bermacam-
macam mulai dari fasies daratan, marine sampai geosinklin.
Di beberapa tempat endapan Trias terletak langsung di atas endapan Perm. Secara
stratigrafi kedua lapisan ini sukar untuk dipisahkan, oleh sebab itu sering disebut lapisan
PermoTrias. Pemisahan dilakukan berdasarkan biofasies yaitu dengan pertolongan fosil-fosil :
Ceratites, Arcetes, Phylloceratites, Rhynchonella, Orthoceras, Halobia, Monotis, Daonella, dan Koral
Tabulata.
Indonesia Barat (Sumatera, Kalimantan, Malaya, dan pulau-pulau kecil di antara ketiga
daerah tersebut) terdapat bermacam-macam fasies seperti paralik, vulkanik, klastik dan batu
gamping. Di Indonesia Timur (Pulau Roti, Timor, Leti, Tanimbar, Kai, Seram, Buru, Buton,
Sulawesi Timur, dan Tenggara) fasiesnya hamper sama dengan di Indonesia barat yaitu
gampingan, sedikit fasies klastik dan paralik.
Di Kalimantan fasies vulkanik terdiri dari batuan effusive asam sampai pertengahan seperti
keratofir dan keratofir kwarsa. Di Bangka dan Belitung berupa intrusi granit. Malaya (seri
vulkanik Pahang) terdiri dari tufa, lava, lahar, porfir, kwarsa, dan porfir granit.
Endapan Trias di Kalimantan Barat dibedakan dalam dua fasies yaitu fasies sedimen dan
vulkanik. Fasies sedimen yang berumur Trias atas terdiri dari konglomerat, batu pasir, batu
pasir lempungan dan skali (serpih). Fragmen-fragmen konglomerat terdiri dari batuan beku
asam, sekis kristalin dan Permokarbon. Hal ini menunjukkan bahwa daratan sekis kristalin dan
Perkarbon terkena proses erosi dan diendapkan sebagai lapisan Trias Atas. Umur lapisan Trias
Atas diperkuat adanya fosil Steinmannites, Pseudomonotis Ockotia, Holobia, dan Monotis. Fasies
vulkanik terdiri dari batuan effusive asam sampai pertengahan dan keratofir kwarsa.
Kalimantan Tengah lapisan Permokarbon dan Trias Atas terlipat kuat, sehinga sukar untuk
dibedakan. Lapisan ini disebut formasi danau, yang terdiri dari breksi, diabas, diabas serpentin,
skali, batu sabak, serpentin, diabas porfirit, tufa diabas dan kwarsit. Formasi danau diperkirakan
diendapkan dalam palung laut dalam, karena diketemukan radiolarit bersamaan dengan ofiolit,
rijang berisi bulatan-bulatan mangan, gigi ikan hiu yang tidak mengandung zat kapur. Formasi

19
danau yang memanjang dari Kalimantan Barat ke Kalimantan Timur sampai Teluk Dervel dan
pulau-pulau kecil di mukanya dianggap endapan dalam geosinklin.
Geosinkilin danau ke arah barat meluas sampai Malaya. Endapan Permokarbon dan Trias di
Malaya terdiri dari skali, batu gamping dan batuan vulkanik (fasiesnya mirip dengan di
Kalimantan). Di Sumatera endapan Trias diketemukan di daerah bukit Rokan, Danau Toba,
Danau Singkarak, Jambi, Bangka, Belitung, dan Kepulauan Lingga. Sekitar Danau Toba (dekat
Prapat) endapan Trias terdiri dari skali, batu gamping, dengan fosil halobia dan clionites yang
menunjukkan umur Trias Atas.
Di sekitar Danau Singkarak (Sawahlunto, Pegunungan Karikir, Air Katialo, kolok, Sungai
Lurah Tambang, Bukit Besi dan Bukit Panjang) endapan Trias terdiri dari batu gamping, batu
lempung, skali, batu pasir dan batuan vulkanik. Di bagian bawah dari lapisan ini diketemukan
rijang dan radiolarian. Fosil yang lain berupa Halobia, Pectan, Pinna, Myophoria, Cardita, dan
Gonodon. Di Jambi (Sungai Batanghari dan Batangsangir) terdiri dari batuan yang mengalami
metamorfosa rendah, dan sebagian dari batuan gamping koral dengan fosil Cardita, Pentacrinus,
Montlivaultia, dan Belenmit. Di Bukit Besi batuannya terdiri dari skali, batu gamping, radiolarit,
dan batuan vulkanik asam. Bangka dan Belitung endapan Trias terdiri lapisan yang terlipat kuat
dengan bahan pilit, hornfels, dan intrusi granit (cebakan-cebakan timah). Di Malaya endapan
Perm dan Trias disebut seri vulkanik Pahang yang terdiri dari tufa, lava, profir kwarsa, porfir
granit, lahar dan rijang mengandung radiolarian.
Di Indonesia timur endapan Trias menunjukkan adanya genangan laut. Di bagian bawah
Trias umumnya terdiri dari lapisan yang berbutir kasar seperti breksi, konglomerat, batu pasir
dan skali bitumina. Hal ini menunjukkan bahwa cekuang Trias masih dangkal. Di bagian atas
dari lapisan Trias umumnya terdiri dari napal dan gamping.
Di pulau Timor endapan Trias merupakan contoh yang paling baik, dan dapat dibedakan
menjadi 5 (lima) fasies yaitu :
a. Fasies Cephalopoda, terdiri dari napal dan batuan gamping. Bagian bawah tebalnya kurang
lebih 2 mete dan kaya akan ammonit. Berdasarkan fosil ammonit dapat dibedakan menjadi :
(1) jenjang mecoceras, mirip dengan fauna amminot di Salt Range (India utara); (2) jenjang
orvinetes, mirip dengan fauna hedostroenia di Himalaya dan fauna ceratites di Amerika
Utara; (3) jenjang siberites, kaya akan cephaloda, crinoida, ammonit (orthoceras dan
visunites). Bagian atas secara berurutan terdiri dari : (1) batu gamping yang kaya
brachiopda, gasthropoda, dan ammonite (ceratites); (2) tufa dan bola-bola mangaan dengan
fosil spirifer, anicula, daonella, joanites, orthoceras dan ammonit (arcester).

20
b. Fasies Flysh, terdiri dari : (1) sedimen yang berbutir kasar (besi oksida, napal, breksi)
dengan Daonella, Globigerinidae dan Isocrinus; dan (3) batuan beku basa 9gabro, peridotit),
batuan lelehan, dan tufa.
c. Fasies Halobia (palcypoda), terdiri dari batu gamping rijangan berwarna coklat, radiolarit,
rijang dan batuan basa dengan Daonella, Radiolaria, dan Halobia
d. Fasies Fatu, terdiri batu gamping koral dengan struktur bioherm yang mengandung fosil
Daonella dan Ammonit.
Adanya bermacam-macam fasies Timor, menunjukkan bahwa lingkungan pendendapan
berbeda. Ini berarti dalam masa tertentu relief pulau juga berbeda, atau terjadi perubahan relief
karena pengaruh gerak epirogenesa.
Sulawesi endapan Trias diketemukan di jazirah tangan timur, tangan tenggara, Buton dan
Sulawesi bagian timur. Sulawesi Tengah terdiri dari batuan gamping napalan dengan fosil
Cassianella, batuan radiolarit, rijang berwarna hitam, dan batu gamping kristalin. Di jazirah
tangan timur berupa batu gamping napalan dan pasiran, batu pasir lempungan, batu ga,ping
koral kristalin dengan fosil Brachiopoda (Rhynchonella Arpadica, Misolina, Spiriferina, Cassiana,
dan Cruratula Subeudora). Di tangan tenggara terdiri dari batu sabak dan batu pasir. Pulau
Buton mempunyai fasies flysch dengan pilit dan bitumina berbau minyak bumi. Melihat
fasiesnya endapan ini diperkirakan terjadi dalam cekungan yang tertutup. Teluk Lawele
dijumpai batu gamping dengan sisipan rijang, yang mirip dengan fasies Halobia di Timur.
Pulau Seram (Seram Timur dan Seram Tengah) endapan Trias Atas dijumpai dalam keadaan
tersebar di seluruh pulau karena proses erosi dan denudasi. Seram Timur terdiri dari sekis yang
beraneka ragam, batu lempung hitam, napal, batu gamping pasiran, lensa-lensa batubara dengan
fosil Ammonit dan Monotisi Salinaria. Seram Tengah terdiri dari flysch seperti greauwacke,
konglomerat dan breksi. Endapan ini kearah atas berubah menjadi batu sabak manusela dengan
fosil Halobia dan Joanites.
Di Pulau Roti, zaman Trias Atas berupa batu pasir, napal, batu gamping dengan fosil Halobia
dan Monotis. Pulau Sawu dan Ranjua berupa batu gamping Halobia. Di Pulau Leti, Moa, Babar,
Tanimbar endapan Trias Atas mirip dengan Trias di Timor.
Pulau Misool endapan-endapan mesozoikum tidak terkena lipatan-lipatan kuat, sehingga
lapisannya hanya miring sedikit dan kaya akan fosil, maka stratigrafinya mudah dipelajari. Seri
Karinian dan seri Kadinian ditandai oleh Halobia dan Daonella yang berkembang sebagai batu
pasir, serpih, batu gamping pasiran, greauwacke, dan batu sabak (yang disebut lapisan keskalin).
Di atas lapisan keskalin ditemukan seri Norian bawah yang berupa napal kelabu, serpih hitam,
dan batu gamping dengan fosil Cephalopoda, Crinoida, dan Mollusca (Genus Nucula). Oleh sebab
itu seri norian bawah disebut lapisan napal nucula. Di atas napal nucula berupa batu gamping

21
koral dengan fosil Coelenterata seperti micolia dan athyrid, yang dinamakan seri norian atas
(lapisan batu gamping athyrid).
Berdasarkan kesamaan fasies batuan Trias di pulau-pulau di Indonesia Timur,
menunjukkan bahwa pulau-pulau tersebut pada zaman Trias atas termasuk dalam satu
lingkungan sedimentasi yang mengalami penurunan. Leingkungan sedimentasi yang mengalami
penurunan ini disebut cekungan geosinklin Banda. Pada zaman Yura dan Kapur, geosinklin
Banda terus mendalam. Dan memanjang kea rah daya bersambung dengan geosinklin Westralia
dan ke arah barat bersambung dengan geosinklin Danau.
Gambar 12
Di Indonesia Barat (Kalimantan, Sumatera, Malaya, dan pulau-pula kecil di antaranya)
endapan Trias menunjukkan adanya cekungan sedimentasi yang berbeda dengan geosinklin
Banda yaitu dipengaruhi oleh kegiatan vulkanisme. Cekungan sedimentasi ini menunjukkan sifat
geosinklim dan dinamakan geosinklin Danau.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa di Indonesia pada zaman Trias terdapat cekungan
sedimentasi yaitu geosinklin Banda dan Geosinklin Danau, yang keduanya termasuk dalam satu
sistem geosinklin Tethys.
2. Zaman Yura
Indonesia Barat endapan Yura tak banyak diketemukan. Hanya di Jambi diketemukan batu
pasir, batu lempung, dan batu gamping dengan fosil Asterte dan Cypricardia. Hal ini
menunjukkan bahwa kemungkinan bahwa pada zaman itu Indonesia Barat (Sumatera,
Kalimantan, Malaya, dan kepulauan di antara keduanya)berupa daratan, sehingga tidak
memungkinkan terbentuknya sedimentasi.
Kalimantan endapan Yura diketemukan di Kalimantan Barat, Serawak, Kalimantan
Tenggara (Pegunungan Meratus). Kalimantan Barat endapan Yura ditandai dengan dengan fosil
Perisphinetes, Protocardia, Exelissa. Kalimantan Tenggara endapan Yura dapat dibedakan
menjadi 2 formasi yaitu : (1) formasi alino dengan litologi asosiasi radiolarit-ofiolit, batuan skali,
napal dan batu gamping, (2) formasi paniungan yang terdiri dari batu lempung, batu pasir
mengandung cylindrites, napal dan batu gamping dengan fosil Bryozoa, Radiolaria, dan
foraminifera. Di Kalimantan endapan Yura menunjukkan usia Yura Atas, sedang Yura bawah
tidak diketemukan. Oleh sebab itu antara zaman Trias dan Yura diperkirakan ada suatu
orogenas yang disebut orogenesa Kimeria Muda selama Yura bawah.
Di Indonesia timur endapan Yura diketemukan dengan baik dan menunjukkan adanya
genangan laut (transgesi). Berdasarkan penyebaran endapan Yura dapat diketahui bahwa
geosinklin Banda pertumbuhan Yura sejak Yura Bawah (Lias) sampai Yura atas (Malm).
Endapan pada Yura Bawah berfasies yang beraneka ragam dan menunjukkan cekunagn

22
sedimentasi yang masih dangkal. Endapan Yura Tengah (dogger) berupa napal dan batu
gamping, sedangkan Yura Atas ditandai dengan batu gamping. Fosil yang mencirikan lapisan
Yura tersebut adalah Ammonit, Belemit, Aucella, Duvalia, Inocerasmu, dan Radiolaria.
Di Sulawesi endapan Yura terdapat di jazirah tangan timur, tangan tenggara dan Sulawesi
bagian timur. Endapan berkembang sebagai batu gamping dengan fosil Arnioceras, yang
menunjukkan umur Malm. Pulau Buton berkembang sebagai formasi ogena dengan litologi yang
terdiri dari batu gamping, napal dengan fosil Phylloceras dan Arietes dan menunjukkan umur
Lias.
Seram Timur dicirikan batu gamping oolit, batu gampning pasiran yang mengandung fosil
Ammonit dan menunjukkan umur Lias. Pulau Buru dikenal sebagai formasi Mefa yang terdiri
dari tufa, lapilli, dan gampingan dengan fosil Herpoceras Trimarginatum, Pherisphinete Burui,
Oppelia Flexuosa Disca, Phylloceras Galoi, Rhynchonella dan Terebratula.
Kepulauan Tanimbar berupa gampingan dengan fosil Belemnit¸ sedangkan di Pulau Babar
dicirikan fosil Grammoceras. Pulau Timor endapan Yura dalam keadaan lengkap. Umur Yura
Bawah bercirikan litologi batu lempung dengan fosil Ammonit, Plecypoda, Braciopoda dan
Gashtropoda. Umur Yura Tengah ditandai dengan fosil Ammonit (Stephanoceros, Belemnopsi dan
Prodicoelites) dengan litologi terdiri dari serpih dengan konkresi yang mengandung besi oksida.
Umur Yura atas ditandai adanya fosil Aucella, Rhynchonella dan Inoceramus Canaliculata dalam
batuan yang berfasies gampingan, batu lempung, seroih, tufa dan radiolit.
Pulau Roti endapan Yura terdiri dari 3 (tiga) fasies yaitu : (1) fasies napal batu gamping, (2)
fasies napal kelabu dan (3) fasies batu rinjangan yang mengandung ammonit. Pulau Sula
endapan Trias tidak diketemukan, tetapi endapan Yura dalam keadaan lengkap, yang terletak
secara tidak selaras di atas batuan sikis kristalin dan batuan metamorfosa yang tidak diketahui
usianya. Endapan Lias terdiri dari konglomerat, batu pasir kwarsa, napal dan batu gamping.
Endapan Dogger berupa gamping dengan fosil Hammatoceras dan Ammonit. Endapan Malm
dikenal sebagai formasi Wei galo yang terdiri dari batu gamping dengan fosil Perishipinetes,
Belmenopsis, dan Inoceramus,
Pulau Obi berupa serpih lempungan dengan konkresi yang mengandung fosil Ammonit
(Phylloceras dan Stephanoceras). Pulau Misool endapan Yura terletak selaras di atas endapan
Trias, karena adanya orogenesa Kimeria tua. Endapan Yura di Misool dapat dibedakan : (1)
bagian bawah menunjukkan umur Lias Atas dan Dogger berupa konglomerat dasar, batu pasir
berbutir kasar, serpih napalan, dan batu gamping mengandung fosil Mollusca, Ammonit, dan
Belemnit; (2) bagian atas (formasi lilinta) menunjukkan umur Malm yang dari bawah ke atas
terdiri dari batu pasir dengan fosil Aucella, Bellemnit, Inoceramus Galoi dan Pecten, batu gamping
dan serpih.

23
Pulau Irian (lereng selatan pegunungan Jayawijaya) endapan Yura dibedakan ; (1) bagian
bawah berupa serpih lempungan dan serpih falitik dengan fosil Coeloceras Moermani (2)bagian
tengah berupa batu gamping hitam dengan fosil Belemnit dan Coeloceras; dan (3) bagian atas
terdiri dari batu pasir yang mengandung Inoceramus Belemnitdan ammonit.
Berdasarkan tempat-tempat diketemukan endapan Yura, menunjukkan bahwa selama
zaman Yura terjadi genangan laut sehingga Indonesia seolah-olah terbagi menjadi 3 (tiga)
bagian yaitu : daratan sunda, Philipina termasuk Irian Utara dan daratan Australia oleh palung
Anambas, geosinklin Banda dan geosinklin Papua
Gambar 13
3. Zaman Kapur
Indonesia Barat sistem kapur ditandai oleh endapan klastik dengan fosil orbitolina. Di
Sumatera (bukit Garba) diketemukan lapisan batuan bagian bawah terdiri dari napal tufaan,
tufam, pilit, dan marmer. Bagian atas terdiri dari rijang yang mengandung fosil radiolarian. Bukit
Gumai (Sumatera Selatan) terdapat lapisan yang disebut formasi saling, terdiri dari tufa, breksi
vulkanik, lava, batu hijau, batu gamping dan retas-retas batuan beku basa. Tidak jauh dari
formasi saling terdapat formasi lingsing yang terdiri dari serpih gampingan radiolarit, basal,
ofiolit, andesit, lava dan batu gamping yang mengandung fosil orbitolina. Di Jambi didapatkan
sedimen klastis dengan fosil neoconites.
Kalimantan Barat (hulu Sungai Kapuas) endapan kapur terdapat di daerah Seberuang. Fosil
yang dijumpai adalah neocomites dan trochholina. Formasi di pegunungan Meratus dinamakan
formasi Manunggal dengan fosil Nerinea dan Orbitolina. Yang masing-masing menunjukkan
umur kapur atas dan kapur tengah. Kalimantan Tengah endapan kapur ditandai sekumpulan
litologi yang dikenal dengan kelompok si beruang. Kelompok endapan ini dari bawah ke atas
dapat dibagi menjadi :
a. Formasi Bendungan : (1) bagian bawah terdiri dari serpih, napal, batu pasir polimik,
konglomerat dengan fosil Phylloceras, Hoplites Neocomiensis, Pecten Cowperi dan
Schleonbachia yang menunjukkan umur Kapur Bawah ; (2) bagian atas terdiri dari batu
lempung, serpih gampingan dengan fosil Lamellaptichus Borneensis, Thurmania
Roubaudiana, Echinoida, Pelecypoda, dan Radiolaria yang menunjukkan umur Kapur Bawah.
b. Formasi Selangkai : (1) bagian bawah terdiri napal dengan fosil Pecten Cowperi, Ammonit,
Orbitolina, Haploceras, Belemnit. Echinoida, Trigonia, Vola, Lima, Anatina, Pachydiscus, dan
Turrilites serta fosil tumbuhan ; (2) bagian tengah terdiri dari konglomerat dengan fragmen
batu gamping, pregmatit, granit, sekis, napal pasiran, arkose, batu pasir lempungan dengan
fosil trogonia, orbitolina, avicula dan amonit; dan (3) bagian atas terdiri dari konglomerat

24
dengan fragmen batu gamping, hornfels keratophys kwarsa, dan batu pasir lempungan
dengan fosil Globotruncana.
Endapan kapur di Sulawesi berumur kapur tengah-kapur atas dan mempunyai fasies yang
beraneka ragam serta terdiri dari batu gamping, batu gamping napalan, serpih dengan fosil
globotruncana, dan batu pasir. Di jazirah tangan selatan diketemukan seri serpih lempungan,
greauwacke, dan arkose. Di jazirah tangan timur endapan berumur kapur berupa batu pasir
mika, serpih, batu pasir gampingan dengan fosil Foraminifera di antaranya Gumbelina Globulosa,
Globotruncana Rosetta, dan Pseudotextularia Frusticosa. Di Sulawesi Tengah pengetahuan
endapan kapur sangat kurang, karena strukturnya kompleks sehingga stratigrafi dan
penyebarannya sangat terganggu. Pada umumnya batuan terdiri atas : diabas, tufa, greawacke,
napal, batu gamping yang mengandung fosil Astrarera (berumut kapur atas), Amonit(berumur
Yura), Radiolaria (berumur kapur) dan Foraminifera (berumur eosin).
Pulau Jawa endapan kapur diketahui dalam bentuk lensa-lensa batu gaming yang
mengandung fosil Orbitolina (terdapat antara lempung dan serpih). Endapan yang berumur
kapur tersebut di Luk Ulo, Karangsambung (Selatan Banjarnegara, Jawa Tengah). Di Pegunungan
Jiwo (Selatan Klaten, Jawa Tengah) terdapat batuan gamping dengan fosil Orbitolina dalam
konglomerat eosin. Di tempat ini endapan kapur bertalian dengan batuan metamorf.
Pulau Buru endapan kapur atas dikenal dengan nama formasi Miting, yang terdiri dari batu
gamping merah, batu gamping kelabu, dan napal. Fosil yang diketemukan adalah foraminifera
kecil yang diantaranya Pseudotextularia Globulosa, Globigerina Cretacea, dan Globotruncana
Canalicuta. Formasi ini ditutupi secara tidak selara oleh endapan eosen.
Pulau Seram dikenal dengan formasi Neif, yang sebagian berumur Yura atas (malm) dan
sebagian berumur Kapur Atas. Formasi Neif yang berumur kapur terdiri dari batu gamping,
napal dengan fosil seperti di Pulau Buru. Formasi Neif yang berumur malm dan kapur atas sukar
untuk dibedakan, karena pengaruh tektonik yang kompleks.Di Pulau Misool endapan kapur
terdiri dari batu gamping rijang, dan napal dengan fosil Inoceramus, Rudiste, Echinoida,
Globotruncana dan Belemnit.
Di Kepala Burung Irian (sekitar daerah Muturi) diketemukan endapan yang berumur Yura-
Kapur, yang terdiri dari batu sabak, serpih, batu pasir, kwarsit, batu gamping, konglomerat, serta
batuan beku seperti : porfirit diabas, breksi vulkanik, basalt, tufa andesit, tufa basalt dengan fosil
Belemnit, Pontacrinus, Ammonit, dan Forminifera kecil. Di atas lapisan Yura-Kapur terdapat
batuan lempung, serpih, batu gamping, batu pasir dengan fosil Belemnit, Inoceramus, dan
Foraminifera kecil di antaranya Pseudotextularia, Globotruncana, Gumbelina, Bolivinoides,
Planoglobulina, Reachakina, dan Eouvigerina yang menunjukkan umur kapur atas. Bagian utara
Irian (Warenai dan Waipoga) terdapat endapan kapur atas dengan fosil Inoceramus.

25
Oleh karena genangan Laut Cenomian, maka Lautan Indonesia menjadi lebih luas bila
dibandingkan dengan zaman Yura. Daratan Philipina yang menjadi satu dengan daratan Papua
pada zaman Yura, dengan adanya genangan laut terbagi menjadi 2 (dua) daratan yaitu daratan
Philipina dan daratan Papua. Bagian tenggara Indonesia lautan menggenangi bagian utara
Australia, sehingga teluk-teluk masuk ke daratan. Demikian pula geosinklin Tasmania meluas ke
arah utara.
Gambar 14
Cekungan Sedimentasi Zaman Kapur

D. MASA KENOZOIKUM
Pada zaman Tersier sebagian besar Indonesia merupakan daratan atau jembatan yang
menghubungkan antara daratan Australia dan Asia. Pada tempat tertentu pengendapan terus
berlangsung dari masa mesozoikum ke zaman tersier, tanpa terganggu oleh orogenesa Lamiri.
Di tempat yang terganggu oleh orogenesa, cekungan sedimentasi di zaman tersier (kala eosin)
masih dangkal (menunjukkan litoral).
Orogenesa Lamiri (siklus orogenesa akhir zaman kapur), menyebabkan berakhirnya
transgesi (genang laut) masa Mesozoikum. Orogenesa ini menyebabkan terjadinya pegunungan
yang tinggi dan luas (khususnya di daerah Geosinklin Tethys dan Sirkum Pasifik), serta
mengakibatkan terjadinya susut laut (ingresi) di banyak bagian dunia. Pada waktu itu beberapa
jenis fauna marine zaman kapur musnah, misalnya : Rudist, Belemnit, Ammonit, Sauria dan lain-
lain.
Pengetahuan tentang masa Kenozoikum di Indonesia lebih banyak bila dibandingkan
dengan pengetahuan pra-Tersier. Hal ini karena sebagian besar (75 %) dari permukaan daratan
Indonesia terdiri dari endapan-endapan yang berumur Kenozoikum.
Endapan Tersier pada umumnya berfasies laut, walaupun di pulau besar dijumpai pula
fasies daratan, paralik, dan fasies laut dalam. Batuan yang terdiri dari endapan-endapan klastis
seperti konglomerat, batu pasir breksi, batu lempung, napal dan gamping dengan fosil fauna
marine dari zona neritic dan litoral. Selain itu diketemukan pula endapan-endapan dari aktifitas
gunung api yang berselingan dengan lapisan Kenozoikum seperti lava, lahar, breksi vulkanik,
dan tufa yang kesemuanya dapat terbentuk di darat maupun di laut.
Lapisan tersier bersifat geosinklin dan diendapkan pada geosinklin yang memanjang dan
sempit serta terpisah-pisah oleh punggung-punggung bawah laut. Dasar geosinklin diperkirakan
mengalami penurunan akibat gaya-gaya endogen, bukan karena berat beban oleh akumulasi
endapan di dalamnya.

26
Pada zaman Tersier dikenal dus siklus sedimentasi yaitu Paleogen dan Neogen. Akibat
genang laut dan susut laut siklus sedimentasi ini dapat dibagi menjadi kala Eosen, Oligosen,
Miosen, Pliosen.
Secara garis besar Indonesia terletak pada pertemuan dua sistem geosinklin Tethys dan
geosinklin sirkum Pasifik. Kedua geosinklin ini mempunyai pengaruh yang penting terhadap
morfologi Kepulauan Indonesia pada zaman-zaman berikutnya serta mengakibatkan Indonesia
mempunyai struktur geologi yang kompleks.
Cekungan-cekungan sedimentasi masa kenozoikum di Indonesia dapat dibedakan :
1. Cekungan epikontinen (tepi daratan); meliputi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
paparan Sunda, Jawa bagian tengah dan Paparan Sahul.
2. Cekungan antar gunung; meliputi daerah-daerah Umbilin, cekungan Paleogen sepanjang
Bukit Barisan, cekungan Timor bagian tengah, terban-terban Poso dan Tawaela di Sulawesi
Tengah
3. Miogeosinklin; meliputi daerah Aceh, Jambi, Palembang, Jawa utara dan Selatan, Nusa
Tenggara, Irian bagian utara dan barat, Kalimantan bagian utara dan timur serta tenggara
4. Eugeosinklin; yang telah mengalami pelipatan dan sesar sungkup seperti di Timor dan
Seram.
Pada zaman tersier cekungan sedimentasi meliputi daerah: (1) geosinklin Sumatera-Jawa
yang meliputi Aceh, Jambi, Palembang, Mentawai, Sumatera Barat, Jawa utara-selatan, Sumba,
Timor dan Tanimbar; (2) geosinklin Sunda yang menutupi Kalimantan Utara dan tengah serta
Kalimantan Timur dan Buru.
Geosinklin Sumatera-Jawa dan geosinklin Sunda dipisahkan oleh daratan Sunda. Ujung
timur geosinklin Sunda kira-kira menempati Maluku tengah dan bersambung ke arah utara
melalui Pulau Halmahera dengan geosinklin Philipina dan ke arah timur laut melaui Pulau
Misool dan Raja Ampat bersambung dengan geosinklin Mariana, serta ke arah timur melalui
Kepala Burung Irian bersambung denga geosinklin Papua. Geosinklin Papua memisahkan
daratan Australia dan daratan Papua, sedangkan daratan Philipina memisahkan geosinklin
Philipina dan geosinklin Sunda.
Geosinklin yang menutupi Indonesia pada zaman Pra Tersier adalah ujung timur dari
geosinklin Tethys. Geosinklin ini pada zaman mesozoikum memanjang tanpa terputus sejak dari
Spanyol-Pegunungan Pyrenea-Yura-Alpina-Karpati-Kaukasus-Himalaya-Birma-Indonesia. Oleh
karena itu peristiwa orogenesa Lamiri di akhir zaman Kapur maka geosinklin menjadi
cekungan-cekungan yang terpisah oleh daratan atau punggung-punggung bawah laut.

27
Sesudah berakhirnya orogenesa Lamiri, Indonesia termasuk daerah yang dikenal dengan
nama Indo-Pasifik. Daerah ini merupakan cekungan sedimentasi tersendiri yang terjadi dari
geosinklin Tethys karena pengaruh orogenesa Lamiri.
Pada masa Mesozoikum fauna marine geosinklin Tethys mempunyai arah evolusi yang
mirip antara satu dengan yang lainnya, tetapi sesudah orogenesa Lamiri fauna tersebut
mempunyai arah evolusi sendiri-sendiri dalam cekungan yang terpisah. Dengan kata lain pada
masa Mesozoikum fauna Indonesia dapat disamakan dengan fauna Eropa dalam geosinklin
Tethys, tetapi sesudah orogenesa Lamiri tidak dapat disamakan.
Endapan tersier umumnya memiliki fasies klastika dan terdiri dari batu pasir, batu
lempung, dan napal yang berulang kali berselingan satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu
untuk mengadakan persamaan dari cekungan sedimen satu dengan yang lainnya mengalami
kesulitan.
Berdasarkan kenyataan bahwa fauna marine di daerah Indo-Pasifik mempunyai arah
evolusi tersendiri, dan penasabahan (korelasi) lapisan tersier mengalami kesulitan karena
ketebalan lapisan serta sering kali berselingan satu sama lainnya; maka penasabahan dan
penentuan umur lapisan Tersier di Indonesia dilakukan dengan cara-cara tersendiri.
Dasar-dasar paleontologi pembagian stratigrafi Indonesia untuk penasabahan dan
penentuan umur lapisan tersier adalah :
1. Berdasarkan Fosil Foraminifera Besar
Cara ini pertama kali diajukan oleh Van Der Vlerk dan Umbgrove (1927), yang dikenal
sebagai klasifikasi huruf tersier. Klasisifikasi ini disempurnakan tahun 1930 oleh Leupod dan
Van Der Vlerk, dan tahun 1947/1948 oleh MG Ruten dan Van Der Vlerk. Klasifikasi huruf tersier
disebut “sistem terbuka” artinya sistem yang berbeda dengan sistem yang digunakan untuk
klasifikasi tersier di Eropa yaitu eosin, oligiesn, miosen dan pliosen.
Pembagian huruf lapisan tersier di Indonesia dimulai dari huruf “a” untuk lapisan yang
tertua sampai huruf “h” untuk lapisan termuda. Adapun pembagiannya seperti table berikut.
Tabel Pembagian Huruf Tersier
Dari table dapat dibaca bahwa pembagian Tersier Indonesia secara garis besar adalah :
(Bemmelen, 1970:86).
a. Tersier “a” bercirikan fosil assilina, flosculina, camerina, discolyna, dan pallatispira.
b. Tersier “b” bercirikan fosil sama dengan tersier “a” tanpa assilina dan flosculina, tetapi
ditambahkan biplanispira, pellatispira.
c. Tersier “c” bercirikan fosil Camerina, Camerina Fichteli-Intermedia, sedangkan Forminifera
tersier “a” dan “b” sudah punah.

28
d. Tersier “d” bercirikan fosil Camerina (sama dengan Tersier C), Cycloclypeus Opperneerthi
dan Lepidocyclina
e. Tersier “e” bercirikan fosil Lepidocyclina, Miogypsina dan Spiroclypeus, sedangkan
Camerina tidak ditemukan. Pada mulanya Leupol dan Van der Vlerk membagi tersier “e”
menjadi lima jenjang, tetapi akhirnya ditentukan bahwa tersier “e” 1-4 menjadi sebuah
jenjang, sedangkan Tersier “e” 5 bercirikan fosil Flosculinella Globulosa.
f. Tersier “f” bercirikan Cycloclypeus, Myogypsina, Lepidocyclina, sedangkan Spiroclypeus
tidak ada lagi. Adanya pembagian Tersier “f1” dan Tersier “f2.3” adalah karena fosil
Flosculinella Bontangesis. Lebih lanjut adanya pembagian Tersier “e5” dan tersier “F1”
orang kerapkali menyebut kedua jenjang tersebut satu.
g. Tersier “g” dan “h” bercirikan tidak jelas Foraminifera. Pembagiannya berdasarkan pada
punahnya Miogypsina dan Lepidocyclina, tetapi Cycloclypeus masih hidup sampai sekarang.

Dalam banyak hal sukar membedakan antara Tersier “a” dan Tersier “b”. oleh sebab itu
orang menyebutnya Tersier “ab”. Berdasarkan pembagian Tersier di Indonesia, maka dapat
dikorelasikan dengan pembagian Eropa, walaupun cara ini dianggap kurang teliti yaitu :
Tersier “ab” sama dengan Eosen, Tersier “c” dan “d” sama dengan Oligosen, Tersier “e” dan
“f” sama dengan Meosen, dan Tersier “g” dan “h” sama dengan Pliosen.
2. Berdasarkan persentase fosil Moluska
Cara ini pertama kali diajukan oleh K. Martin tahun 1931, dengan membandingkan jumlah
fosil yang didapatkan pada saat itu denganhidup di zaman sekarang. Makin tua lapisan batuan
tersebut makin kecil angka persentasenya. Hasil penyeledikan disimpulkan pada table 3.
Tabel 3. Pembagian Lapisan Kenozoikum Indonesia
Berdasarkan Persentase Fosil Molluska
Umur Persentase Spesies Sekarang

Kwarter Lebih dari 70


Pliosen 50 – 70
Miosen Muda 20 – 50
Miosen Tua 8 – 20
Eosen 0

Lebih lanjut Ootingh tahun 1938 berdasarkan fosil Mollusca membagi Tersier
Indonesia seperti table 4.

29
3. Berdasarkan angka persentase fosil koral
Cara ini diajukan oleh Gerth (1931) dengan titik seperti yang digunakan K. Martin. Hasil
penyelidikannya dapat disimpulkan seperti table 5.
4. Berdasarkan Fosil Foraminifera Kecil
Cara ini diajukan oleh Glaesner tahun 1943 dengan bertitik tolak seperti yang dilakukan K.
Martin (fosil Molluska) dan Gerth (fosil Koral). Hasil yang diperoleh seperti table.
Tabel 4. Pembagian Tersier Indonesia Berdasarkan
Fosil Molluska Menurut Oostingh
Umur Jenjang Fosil Petunjuk

Pleistosen Bantamian Turritella Angulata Bantamensis


Clavusmalingpingensi
Pliosen atas Sondean Turritella Angulate Cicumpeie-Nsis,
Terrebra Verbeeki, Terebra
Insulinidae, dan Conus sondeia-nus
Turritella Angulata Acutacarinata
Pliosen bawah Cheribonean Turritella Angulata Cramatensis
Miosen atas Ciodeng Turritella Angulata Angulata,
Sphocypraea Caput-Viperae, Vicarva
Verneuili Callosa
Miosen tengah Preangerian
Turritella Subulata
Miosen bawah Rembangian

Tabel 5. Pembagian Kenozoikum Indonesia


Berdasarkan Persentase Fosil Koral
Umur Fosil Petunjuk

Pleistosen – rasen 70 – 100


Pliosen, tersier h 50 – 7
Miosen, tersier g 30 – 50
Miosen, tersier f 10 – 30
Miosen, tersier e ? – 10
Oligosen, tersier c dan d 0-?
Eosen, tersier a – b 0

Tabel 6. Pembagian Endapan Kenozoikum


Berdasarkan Persentase Fosil Foraminifera Kecil
Umur Fosil Petunjuk

Pliosen 70
Miosen atas 60 – 70

30
Miosen bawah 60

Dewasa ini hasil penyelidikan foraminifer kecil masih sangat sedikit, antara lain karena
spesies tertentu belum diketahui secara pasti penyebaran vertikalnya. Oleh sebab itu
penggunaan cara ini harus lebih berhati-hati. Penggunaan yang penting fauna foraminifera kecil
adalah untuk mempersamakan jalur Paleontologi tertentu dalam pencarian minyak bumi.
Seperti daerah lain di dunia Kenozoikum Indonesia dibagi dalam 2 (dua) zaman yaitu :
1. Zaman tersier yang dibagi Sub zaman Paleogen (termasuk di dalamnya kala Eosen dan
oligosen; dan zub zaman Neogen (termasuk di dalamnya Kala Miosen dan Pliosen).
2. Zaman Kwarter yang dibagi menjadi 2 kala yaitu kala Pleistosen dan kala Holosen.
1. Zaman Tersier
a. Sub Zaman Paleogen (kala Eosen dan Oligosen)
Pulau jawa endapan Eosen diketemukan di Pegunungan Selatan, Pegunungan Serayu,
Pegunungan Menoreh, daerah Tagoapu, Saringan, dan Pulau Kangean. Cimandiri (selatan
Sukabumi) endapan Eosen berupa batu pasir, napal dengan fosil Camerina. Cikosan berupa
serpih, dan batu pasir kwarsa. Teluk Ciletu (Sebelah timur Pelabuhan Ratu), secara tidak selaras
terletak di atas batua Pra tersier dan di atasnya ditutupi endapan Miosen yang disebut formasi
Ciletu. Formasi ini bagian bawah terdiri dari breksi, batu pasir, dan greauwacke yang
mengandung fragmen-fragmen sekis, basalt, trachit, dan andesit yang berasal dari batuan Pra
Tersier serta batuan beku hasil kegiatan vulkanisme Tersier Tua. Bagian atas dari formasi Ciletu
terdiri dari batu pasir kwarsa, konglomerat, batu lempung yang mengandung fosil tumbuhan
dan batu bara.
Bajah (Banten Selatan) endapan Eosen ditandai adanya fosil Assilina, Pellatispira,
Discocyclina, dan Camerina; sedangkan yang menunjukkan umur Oligosen berupas fosil
Cycloclypeus dan Lepidocyclinae. Formasi Bajar yang berumur Eosen tua dapat dibedakan
menjadi 2 fasies yaitu bagian utara dan selatan. Fasies bagian utara terdiri dari endapan-
endapan marine seperti batu lempung, napal, batu pasir kwarsa, dan batu gamping foraminifera.
Fasies bagian selatan berupa endapan-endapan klastika yang terdiri dari batu pasir kwarsa,
konglomerat serpih, betu lempung hitam, tufa, dan lensa-lensa batu bara. Adanya perbedaan
kedua fasies tersebut menunjukkan pada kita bahwa di bagian selatan cekungan sedimentasi
lebih dangkal bila dibandingkan dengan bagian utara yang berupa laut. Kemungkinan pula
bahwa di barat daya Banten pada kala Eosen berupa daratan, yang merupakan perpanjangan
tangan dari Bukit Barisan. Luas daratan ini tidak mencapai Pulau Christmas, karena batuan
Eosen di pulau ini berupa batu gamping foraminifera.

31
Daerah Bayat (selatan Klaten, Jawa Tengah) batuan Eosen terdiri dari 2 formasi yaitu : (1)
bagian bawah (formasi Wungkal) terdiri dari batu gamping dan batu pasir dengan fosil
discocyclina, Camerina, dan Assilina; (2) bagian bawah (formasi gamping) terdiri dari napal dan
batu gamping dengan fosil Camerina dan Discocyclina.
Daerah Gamping (sebelah barat Yogyakarta) endapan Eosen ditandai batu gamping dengan
fosil Koral, Molluska, dan Foraminifera. Pegunungan Serayu bagian utara, diketemukan
konglomerat, batu pasir yang mengandung fragmen-fragmen sekis kristalin dan granit yang
diperkirakan berasal dari daratan Pra-Tersier, serta serpih lempungan dengan fosil Globigerina,
batu gamping dengan fosil Camerina, Discocyclina, Pellatispira, dan Assilina.
Di Pegunungan Serayu Selatan (daerah Naggulan), endapan Eosen Tua merupakan endapan
yang paling kaya fosil Indo-Pasifik. Endapan ini dapat dibedakan : (1) bagian bawah (lapisan
Axinea) ; (2) bagian tengah terdiri dari napal pasiran dan lempung mengandung Molluska,
Camerina, dan Discoclyna Jogjkarte ; (3) bagian atas tersusun atas batu pasir tufan andesitic,
batu lempung, dan arkosa yang mengandung Molluska, Camerina, dan Pellatispira.
Pada Pegunungan Menoreh endapan Eosen berupa batu pasir, serpih lensa-lensa batu bara
dan batu gamping Camerina. Daerah Lok Ulo (pegunungan Menoreh) diketemukan batu pasir
kwarsa, napal, konglomerat, batu lempung, dan batu gamping yang mengandung Camerina,
Discocyclina, dan Assilina. Daerah Sangiran diketemukan bongkah-bongkah batu gamping
dengan fosil Camerina, Discocyclina dan Pellatispira yang menunjukkan umur Eosen.
Atas dasar penyebaran endapan Eosen di Pulau Jawa, dapat diperkirakan bahwa Jawa
bagian selatan berupa cekungan, sedangkan bagian utara berupa daratan sunda. Di Aceh
(pegunungan tengah) endapan Eosen dapat dibedakan menjadi : (1) bagian bawah terdiri dari
konglomerat, batu pasir kwarsa, serpih, selingan-selingan batu gamping dengan fosil tumbuhan
dan Molluska; (2) bagian atas berupa batu gamping yang mengandung koral dan serpih
mengandung fosil tumbuhan.
Sekitar Danau Singkarak endapan Paleogen terdiri dari serpih napalan dengan sisipan
breksi, konglomerat, arkosa yang disebut formasi breksi napal dengan fosil fauna ikan dan
Gastropodha. Sumatera Selatan sampai sekarang belum diketemukan endapan Paleogen.
Diperkirakan bagian selatan Pulau Sumatera merupakan bagian dari daratan Sunda.
Kalimantan bagian barat dan tengah pada waktu itu berupa daratan, sedangkan di tenggara,
timur, dan utara digenangi oleh laut. Hal ini dibuktikan adanya endapan-endapan yang terdiri :
(1) di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah berupa batuan vulkani, konglomerat arkosa,
batu pasir, dan batu lempung. Ke arah Kalimantan Tengah diketemukan sisipan napal dan batu
gamping dengan fosil foraminifera besar (Assilina, Camerina, dan Discocyclina).

32
Di Kalimantan Timur dan Tenggara berubah menjadi fasies marine. Endapan marine
Paleogen di Kalimantan Tenggara diketemukan cekungan Kutai-Pasir-Barito-Bulungan, dan
punggungan-punggungan bawah laut Mangkaliat. Sifat endapannya menunjukkan genang laut
yaitu di bagian bawah terdiri dari batuan-batuan kasar (konglomerat) dan ke atas berupa batu
pasir, lempung dengan lensa-lensa batu bara, napal dan batuan gamping. Kalimantan Timur laut
dijumpai di cekungan Berau-Latung-Tidung, dengan urutan lapisan kasar di bagian bawah dank
e atas berubah menjadi bahan-bahan halus seperti napal dan batu gamping. Kalimantan Utara
dan Serawak endapan eosin berupa serpih, batu pasir batu lempung dengan fosil tumbuhan, dan
napal, batu gamping yang mengandung Cammerina dan Discocyclina.
Daerah Sulawesi endapan Paleogen, hubungan stratigrafinya tidak begitu jelas karena
pengaruh tektonik. Lengan utara terdiri dari batu lempung dan batu gamping dengan fosil
Assilina, Camerina, dan Discoclyna, yang selanjutnya disebut formasi Tinombo. Di lengan Timur
berupa batu pasir kwarsa dan batu gamping yang mengandung Discoclyna, Pellatispira dan
Lepidocyclina. Sulawesi Tengah (Pegunungan Maroro) berupa serpih, konglomerat, batu pasir,
napal dan gamping. Pada lengan selatan berupa konglomerat, kwarsit, rijang, batu lempung
lensa-lensa batu bara, napal dan batu gamping dengan fosil Discocyclina, Pellatispira,
Lepidocyclina dan Spiroclypeus, dan Miogypsina. Daerah Buton (Pegunungan Tobelo) yang
dinamakan formasi Wani, endapan Paleogen terdiri dari batu pasir, konglomerat denga
komponen-komponen yang berisi Globotruncana.
Daerah Maluku Selatan endapan Paleogen diketemukan di pulau-pulau Seram, Manokwari,
Kur, Fadoh, Babar, Sermata, Leti dan Kaisar. Daerah Seram batuan Eosen terdiri dari dua fasies
yaitu : (1) fasies bathyal yang terletak sejajar dengan batuan kapur atas dengan fosil
Globotruncana; (2) fasies litoral yang terdiri dari konglomerat dan batu gamping mengandung
Discocyclina, Pellatispira dan Lepidocyclina, Alveolina, Cammerina, dan Globigerina Eocanea.
Bagian barat Pulau Buru berupa batu gamping dengan Discocyclina, Lacazinae dan
Lepidocyclina. Di bagian barat laut Kepulauan Tanimbar terdiri dari batu pasir kwarsa, batu
gamping mengandung Cammerina dan Discocyclina.
Nusa Tenggara batuan paleogen terdapat di Timor, Roti, dan Raijua serta Pulau Sumba.
Timor tersusun oleh batu pasir, batu lempung, konglomerat, serpih, tufa, lensa-lensa batu bara,
napal, batu gamping mengandung Cammerina dan Discocyclina. Roti dan Raijua berupa batuan
napal dan batu gamping Cammerina dan Discocyclina. Pulau Sumba terdiri dari Arkosa,
Greauwacke, konglomerat, napal, batu gamping karang, dan batu gamping dengan fosil Assilina
dan Discocyclina.
Daerah Irian Jaya batuan eosin dibedakan 2 fasies yaitu : (1) fasies batu gamping
foraminifera di wilayah pegunungan Jaya Wiajaya mulai dari Kepala Burung sampai ujung timur

33
Irian (Port Moresby); (2) fasies Klastika gampingan di pegunungan sepanjang pantai utara. Di
Irian Timur (di sekitar Port Moresby) batuan eosin terdiri dari batu gamping koral, tufa pasiran,
dan batu pasir.
Berdasarjan penyebaran batuan Paleogen dapat dibaut gambaran sebagai berikut :
Pada zaman kala Eosen ada suatu daratan yang menutupi Sumatera Tengah dan Selatan,
Malaya, Kalimantan Barat dan Tengah, Jawa bagian utara dan Kepulauan Nusa Tenggara (kecuali
Sumba, Roti, dan Timor). Daratan ini dinamakan daratan Sunda. Kalimantan timur laut, Sulawesi
Utara, Kepulauan Banggai, dan Sula juga berupa daratan yang dinamakan daratan Philipina.
Bagian tenggara Indonesia, Kepulauan Aru bersama Merauke bergabung dengan darata
Australia. Pulau Yapen dan sebagian timur laut Irian merupakan daratan Papua. Daratan-
daratan ini dipisahkan oleh cekungan sedimentasi yaitu : (1) daratan Papua dan Australia
dipisahkan geosinklin Papua; (2) daratan Sunda dan Philipina dipisahkan oleh geosinklin Sunda;
(3) daratan Philipina dan Papau dipisahkan oleh geosinklin Philipina dan geosinklin Mariana. Di
sebelah barat Sumatera dan selatan Jawa berupa cekuang geosinklin Sumatera-Jawa.
Selanjutnya pada kala Oligosen (Paleogen Atas) terjadi transgresi, sehingga cekuang di kala
Eosen menjadi bertambah luas. Oleh sebab itu daratan Sunda menjadi lebih sempit, tetapi masih
memisahkan antara geosinklin Sumatera-Jawa dengan laut Sunda. Di Maluku daratan Philipina
terbenam sama sekali, sehingga geosinklin Philipina bertambah luas. Sebaliknya daratan
Australia bertambah luas kea rah utara yang meliputi Kepulauan Aru sampai pegunungan
Jayawijaya. Laut antara daratan Australia dan Pulau Timor di kala Eosen berganti sifat menjadi
egosinklin Westralia.
b. Sub Zaman Neogen
Endapan Neogern di Sumatera barat diketemukan di daerah Meulaboh, Sinkel, Bengkulen
dan Kepulauan Mentawai. Lapisannya tidak tebal dan tidak mengandung minyak bumi seperti
sepanjang pantai timur (cekuangan minyak Aceh, Jambi, dan Palembang), serta terlipat tidak
begitu kuat dan tertutup secara diskordan batuan Plio-Pleistosen. Di Sumatera Timur
diketemukan dua cekungan yaitu cekungan Aceh dan cekungan Jambi-Palembang, yang
lapisannya sangat tebal sampai ribuan meter.
Pulau Jawa cekungan Neogen terdapat di sepanjang pantai utara dan selatan yang
dipisahkan oleh suatu geantiklinal (kira-kira meliputi Ciletu – Lok ulo – Bayat dan Pegunungan
Andesit Tua). Jadi keadaan Jawa pada waktu itu mirip dengan Sumatera yaitu cekungan minyak
Aceh, Jambi, Palembang dipisahkan oleh geantiklinal Proto-Barisan dengan cekungan Meulaboh
– Sinkel – Bengkulen – Mentawai.
Endapan Neogen di sepanjang pantai utara dan pantai selatan berfasies marine nearitik
yang dicirikan oleh batu gamping yang tebal. Cekungan selatan nampaknya bersambung dengan

34
cekungan pantai barat Sumatera, sedangkan cekungan utara bersambung dengan cekungan
Jambi – Palembang – Aceh.
Akhir kala Miosen daerah fasies utara dan selatan Jawa terangkat dari tempat-tempat
tertentu diikuti dengan adanya pelipatan dan patahan dengan arah barat timur. Pengangkatan
bagian Jawa ini diikuti pula adanya kegiatan-kegiatan vulkanisme. Kegiatan ini sejak kal oligosen
dengan terbentuknya formasi Andesit Tuas sampai Plio-Pleistosen dengan terbentuknya formasi
Andesit Muda.
Kalimantan Tengah dan Barat, karena orogenesa akhir Eosen fasies air dangkal berubah
menjadi daratan. Fasies selatan dan utara karena orogenesa antara Paleogen dan Neogen terbagi
menjadi cekungan –cekungan kecil dengan batas punggungan-punggungan. Cekungan dan
punggungan tersebut dari utara ke selatan adalah : cekungan Kinibatang-Punggung Simporna-
Cekungan Tidung-Punggungan Latong – Cekungan Bulungan Berau – Punggungan Mangkalihat –
Cekungan Kutai Pasir – Punggungan Meratus – Cekungan Barito. Adanya bentuk cekungan dan
punggungan menyebabkan terjadinya dua fasies yang berbeda yaitu : (1) di atas puncak
punggungan terdapat batu gamping dan batu gamping koral dengan tebal beberapa ratus meter
dan (2) di dalam cekungan terdapat batu pasir, lempung, dan batubara. Antara Kalimantan Barat
(fasies barat) dan Kalimantan Timur, Kalimantan Tenggara (fasies laut) terdapat fasies
peralihan, yang diketemukan di hulu Sungai Mahakam.
Endapan Endogen di Sulawesi terdapat dalam cekungan-cekungan kecil yang tersusun dari
konglomerat, batu pasir, batu lempung, napal dan batu gamping. Cekungan-cekungan itu adalah
cekungan Mamuju (pantai barat Sulawesi Tengah), cekungan Luwak (pantai selatan Lengan
Timur), cekungan Singkang (pantai timur Lengan Selatan), cekungan Molasse (Lengan Timur
Sulawesi). Tebal sedimen hanya beberapa ribu meter saja.
Endapan Neogen di Maluku diketemukan di pulau-pulau tertentu. Di Misool terdiri dari
napal, batu pasir, batu gamping, dengan fosil Flosculinella bontangensis, Lepidocyclina,
Miogypsina, Trilina howchini, dan Foraminifera kecil.
Endapan Neogen di Timor terdapat di cekungan tengah sebagai terban sepanjang poros
barat-timur, terdiri dari konglomerat, batu gamping konglomerat, batu gamping berlapis, napal
Globigerina, dan tufa. Di Sumba berupa batu gamping, batu gamping karang, serpih, anglomerat,
tufa, dan napal. Di Bali batuan neogen terdiri dari batu gamping sedangkan di Lombok selain
batu gamping juga bahan vulkanik seperti aglomerat, tufa dan batu pasir tufa. Batuan semacam
terdapat di Jawa bagian selatan, sehingga kedua fasies di pulau tersebut merupakan
perpanjangan dari fasies Jawa bagian selatan.
Irian Jaya akhir kala Oligosen, proses pengangkatan mulai bekerja, sehingga sedimentasi
berupa bahan-bahan klastik. Pengangkatan disusul genang laut di kala Miosen, dengan ditandai

35
adanya endapan batu gamping di atas endapan klastik. Tanda-tanda genang laut ini dapat dilihat
jelas di daerah-daerah Maluku, Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan (Tenggara, Timur,
dan Utara), geosinklin Papua dan Philipina. Pada kala Plio-Pleistosen intensitas proses
pengangkatan mulai bertambah, sehingga terjadi patahan-patahan dan lipatan-lipatan, seperti
terjadinya undak-undak sungai di Irian.
Berdasarkan penyebaran batu-batuan di wilayah Indonesia dapat diketahui bahwa sesudah
kala Oligosen (antara Paleogen dan Neogen) yaitu sesudah proses pengangkatan, mulailah
peristiwa transgesi (genang laut) di zaman Neogen yang mencapai puncaknya pada kala Miosen.
Kala itu laut di Indonesia mencapai maksimum pelebarannya selama zaman tersier. Berakhir
transgesi di zaman Neogen, kemudian disusul oleh peristiwa regresi yang menyebabkan
menyempitnya laut-laut Pliosen, sehingga terbentuklah daratan-daratan Sulawesi, Irian, Jawa
timur bagian Selatan, dan meebarnya Selat Sunda. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar
berikut
Gambar 17 dan 18

2. Zaman Kwarter
Sesudah zaman tersier, menyusul zaman Kwarter yang diawali dengan kala Pleistosen dan
berakhir pada kala Holosen. Pada kala Pleistosen banyak bagian dunia yang dilanda oleh lapisan
es yang tebal. Oleh karena itu zaman ini disebut zaman es (zaman Diluvium).
Es di puncak-puncak gunung yang tinggi meluas ke lereng dan lembah-lembah sekitarnya.
Akibatnya adalah flora dan fauna yang berada di daerah tersebut akan musnah atau terpaksa
berpindah ke daerah yang bebas es. Flora dam fauna yang tak dapat menghindar dari
kedinginan es akan musnah. Lenyapnya flora dan faunatertentu, kemudian disusul munculnya
evolusi kehidupan yang menyesuaikan terhadap pergantian lingkungan. Sebagai contoh fauna
vertebrata dari India Utara berpindah kea rah timur kira-kira jalan yang ditempuh sejajar
dengan lereng selatan pegunungan Himalaya, sehingga sampai di Birma. Dari Birma jalan
migrasi menuju arah timur dan timur laut yang akhirnya sampai di daratan Tiongkok dan
jazirah Korea. Daerah terakhir ini jalan migrasi bercabang 2 yaitu yang pertama melewati
jembatan daratan menyeberangi Selat Bering sampai di Alaska, yang selanjutnya menyebar ke
Amerika Utara dan juga Amerika Selatan. Jalan migrasi yang kedua dari Korea melewati
jembatan daratan sampai ke Jepang, Taiwan, Philipina, dan akhirnya sampai pula di Sulawesi
dan Kalimantan. Jalan migrasi dari Birma yang menuju selatan dan tenggara melalui Malaya
sampai di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

36
Daerah iklum dingin dapat dibedakan 4 zaman es besar (glasial), yang diselingi 3 zaman
yang relative panas (interglasial). Keempat zaman Glasial itu adalah Gunz, Mindel, Riss, dan
Wurm. Zaman Es ini di Indonesia pengaruhnya sangat jelas, yaitu adanya tanda-tanda ;
a. Adanya laut-laut dengan kedalaman dasarnya hamper merata di semua tempat meliputi
puluhan meter, yang sesuai dengan pendirian peneplain terendam. Laut-laut itu adalah :
Laut Jawa dan Laut China Selatan yang menghubungkan Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan
Malaya; sedangkan Laut Arafuru menghubungkan Irian dengan Australia.
b. Muara-muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan Bangka adalahbentuk estuaria, yang
menunjukkan gerakan turun pantai laut.
c. Adanya terumbu-terumbu koral yang terdapat di tepi laut-laut dangkal (paparan) yang
tebal. Koral yang hidupnya terbatas pada garis-garis pantai sampai kedalaman maksimum
40 meter, maka menunjukkan bahwa dahulu terumbu koral tumbuh pada garis pantai
paparan. Sesudah paparan tergenang air pada zaman glasial, maka terumbu koral tumbuh
ke atas menuruti naiknya permukaan air laut.
d. Adanya spesies ikan di sungai Kalimantan Barat yang sama dengan sungai Sumatera Timur,
dan di Jawa sama dengan di Kalimantan Selatan, sehingga timbul dugaan bahwa sungai-
sungai tersebut dulunya termasuk dalam satu sungai.
e. Di dasar laut Jawa dan laut Cina Selatan terdapat lembah-lembah submarine, yang dianggap
sebagai suatu jaringan sungai yang melepas peneplain. Jaringan sungai tersebut adalah :
yang bermuara ke Laut Cina Selatan (sekitar Anambas) berasal dari Sumatera Timur dan
Kalimantan Barat, sedangkan yang bermuara di sekitar Kepulauan Kangean berasal dari
Jawa dan Kalimantan Selatan. Di Laut Arafuru sistem sungai paparan Sahul berjalan dari
pegunungan Jayawijaya lereng selatan menuju arah barat daya ke Pulau Aru.
f. Adanya endapan timah sekunder di lepas pantai Bangka dan Belitung di muka muara-muara
sungai sekarang. Tempat endapan timah seolah-olah merupakan perpanjangan sekarang
pada zaman Glasial.
Pengaruh zaman es mengakibatkan terjadinya pulau-pulau (daratan) yang relatif lebih luas
bila disbanding dengan zaman sebelumnya. Pada kala Pleistosen wilayah Indonesia dibedakan
menjadi 3 bagian yaitu : di barat merupakan paparan Sunda, di timur merupakan paparan Sahul,
dan di tengahnya berupa laut dalam. Batas barat dari laut dalam bagian tengah ini adalah antara
Philipina dan Kepulauan Talaud, antara Sulawesi dan Kalimantan, terus ke selatan sampai
sebelah timur kepulauan Kangean, dan akhirnya ke Selat Lombok. Garis pantai timur paparan
sunda ini, kira-kira bersamaan dengan garis batas zoogeografi yang disebut Wallace.
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa garis Wallacea hanya berlaku bagi kala Holosen,
tetapi tidak menjadi batas provinsi fauna Pleistosen. Hal ini terbukti diketemukannya: (1) fosil

37
Stegodon Trigonocephalus Florensisi Hooijer di Flores tahun 1957, (2) fosil Stegodon
Timorensis Sartono di Timor tahun 1964, (3) fosil rahang bawah Stegodon di Sumba tahun
1978, (4) fosil gigi Stegodon di Sulawesi Selatan tahun 1978. Dengan diketemukan fosil
Stegodon menunjukkan bahwa binatang tersebut yang asalnya dari India Utara (daerah Siwalik)
semula diperkirakan bermigrasi melalui Birma dan Malaya dan berhenti di Jawa. Bahkan
binatang tersebut yang melalui jembatan Birma, Tiongkok, Korea, Jepang, Taiwan, Philipina, dan
berhenti di Kalimantan; ternyata terus sampai di Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kala Diluvium, kemudian memasuki kala Holosen (kala Post-Glasial), yaitu
zaman selama manusia hidup sekarang merupakan sebagian dari kala Holosen. Tanda-tanda
yang ditinggalkan zaman es terakhir yaitu Wurm, paling jelas dapat dilihat adanya undak-undak
sepanjang Sungai Bengawan Solo pada tempat penerobosan pegunungan Sungai Kendeng.
Dalam undak-undak tersebut diketemukan fauna Vertebrata Ngandong dan manusia Purba
Homo Soloensis. Undak-undak sungai terjadi waktu penurunan permukaan air laut, bersamaan
dengan pengunduran pantai laut. Kejadian mengakibatkan pula pengikisan lebih lanjut pada
paparan Sunda dan paparan Sahul.
Dalam kala post-Glasial Es mencair kembali dan mengakibatkan permukaan air laut naik,
termasuk laut Indonesia. Hal ini mengakibatkan pula tergenangnya kembali paparan Sunda oleh
Laut Jawa dan Laut Cina Selatan, dan juga terbenamnya paparan Sahul oleh Laut arafuru, serta
semakin dalamnya laut di daerah Maluku. Dengan demikian daratan-daratan di Indonesia pada
kala Pleistosen terpecah-pecah oleh laut pada kala post-Glasial sehingga penyebaran dan bentuk
wilayah Indonesia seperti sekarang ini.
Perubahan-perubahan batas pantai dan bentuknya pulau-pulau Indonesia sampai saat ini
masih berlangsung. Perubahan ini karena bertambahnya daratan muara-muara sungai oleh hasil
kikisan darata yang kemudian diendapkan di muara sungai; atau oleh akumulasi batuan yang
dihasilkan oleh gunung api. Di samping itu juga karena semakin dangkalnya selat dan laut oleh
kekuatan endogen, atau karena pengaruh tenaga-tenaga geologi yang lain sehingga selalu
merubah bentuk permukaan bumi di Indonesia.

BAB III
PEMBAGIAN WILAYAH GEOLOGI INDONESIA

Pembagian wilayah geologi kepulauan yang terbentang antara Asia Tenggara dan Australia
serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia adalah : (1) daerah Sunda (dangkalan

38
Sunda, pulau-pulau yang lebih kecil di dangkalan Sunda, Kalimantan, dan Semenanjung Malaka,
(2) sistem orogen Sirkum Sunda (Philipina, Maluku Utara, Sulawesi, Maluku Selatan, Nusa
Tenggara, Jawa, Sumatera dan pulau-pulau di sebelah baratnya Andaman dan Nicobar), (3)
sisten orogen sirkum Australia (Irian dan Pulau Christmas) dan (4) daerah Sahul (dangkalan
Sahul dan Kepulauan Aru)
A. Daerah Sunda
1. Dangkalan Sunda
Dangkalan Sunda merupakan daerah dangkalan terluas di Asia, bahkan di dunia (luasnya
kurang lebih 1.850.000 km2). Daerah dangkalan ini dicirikan oleh laut yang dalamnya tidak
melebihi 200 meter. Laut-laut di dangkalan Sunda umumnya dalamnya kurang dari 100 meter,
yang terdiri dari Teluk Thailand, Selat Malaka, bagian barat daya Laut Cina Selatan, Laut Jawa,
dan bagian barat daya Selat Makassar. Pulau-pulau yang tersumbul dari laut tingginya kurang
dari 1.000 meter.
Dari kenampakan-kenampakan yang ada, dangkalan Sunda sebagian besar dianggap
sebagai suatu peneplain tua yang tenggelam akibat transgesi sesudah zaman es. Sebagian bukti
adanya peneplain tersebut Molengraaf menggambarkan adanya bekas-bekas alur sungai lama,
yang ternyata mempunyai hubungan dengan muara-muara sungai sekarang di Sumatera timur,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Jawa utara. Pulau-pula yang tersembul di atas
permukaan air laut dianggap sebagai monadnock – monadnock.
Alur sungai purba tersebut dapat dibagi menjadi 2 sistem aliran yaitu : (1) North Sunda
River System, berasal dari Sumatera dan bermuara di Laut Cina Selatan dengan cabang-
cabangnya dari Semenanjung Malaka dan Kalimantan Barat dan (2) South Sunda River, yang
sebagian berasal dari Sumatera Selatan dan mengalir ke timur serta bermuara di Selat Makassar
sekarang, dengan cabang-cabangnya dari Kalimantan Selatan dan Jawa
2. Pulau – Pulau di Dangkalan Sunda
Pulau-pulau Natuna, Anambas di utara dan Bangka, Belitung di Selatan merupakan sisa dari
tanah Sunda (Sunda land). Dalam satuan tektonik kepulauan ini merupakan unsur-unsur positif
yang disebut pematang-pematang Anambas-Natuna dan Bangka-Belitung. Kepulauan ini
terutama terdiri dari batuan sedimen Pra-Tersier yang mengalami metamorfosa dan batuan
beku dengan usia yang beragam. Bagian yang mantap ini dianggap sebagai inti dari Indonesia
dengan tertutup sedimen-sedimen Tersier yang tipis.
3. Kalimantan
Pulau Kalimantan mempunyai relief yang bergunung-gung dan berbukit-bukit luas, dengan
ketinggian tidak lebih dari 1.500 meter. Sistem pegunungan yang lebar melintasi pulau ini yaitu

39
pegunungan Kinabalu, melalui pegunungan Iran dan Muller ke arah pegunungan Schawner di
bagian barat daya. Pegunungan ini bercabang dua itu ke arah barat dan timur.
Cabang yang ke arah barat adalah : (1) pegunungan Kapuas Hulu di antara Lembah Rejang
di bagian utara dan basin Kapuas Hulu, lembah batang lupar di bagian selatan dan (2) plato Madi
di antara basin Kapuas Hulu dan Sungai Melawi.
Cabang yang ke arah timur adalah : (1) sistem pegunungan di Kalimantan Utara yang
berakhir pada kedua tanjung sisi Teluk Darvel dan (2) sistem pegunungan yang berakhir pada
Semenanjung Mangkaliat.
Pegunungan Meratus yang membujur dengan arah utara-selatan di bagian tenggara Pulau
Kalimantan merupakan pegunungan yang terisolir. Pegunungan Kinibalu yang membujur
dengan arah timur laut-barat daya, terdiri dari lapisan Pra-Tersier yang terlipat dan lapisan
Tersier yang terganggu oleh granodiroit dari massive Kinibalu. Secara geologi Kalimantan Utara
mempunyai hubungan dengan Kepulauan Philipina dan dipisahkan dari daratan utama
Kalimantan oleh batuan Neogen yang membentang dari basin Sulawesi di bagian timur sampai
teluk Labuhan di pantai barat laut. Endapan batuan Neogen ini terbentuk pada cekungan
geosinklin yang dikenal dengan geosinklin Kalimantan Utara.
Kalimantan Barat yang dibentuk oleh pegunungan Muller-ujung Datuk-Ujung Sambar
merupakan massa kontinen (inti benua) yaitu bagian yang paling timur dari daratan sunda.
Daerah ini membentuk suatu bangun segitiga yang dibatasi oleh basin Tersier Serawak, basin
Tersier bagian selatan dan timur Kalimantan. Bagian sisi timur berupa basin Melawi dengan
fasies air payau.
Initi benua sambungan dari Natuna ke selatan di Kalimantan dikenal sebagai Chines District,
yang merupakan batuan alas daerah Sunda. Massa kontinen Sunda. Massa kontinen Sunda ini
bagian utara berupa kelompok pegunungan yang membentang dari Ujung datuk, Gunung Niut,
Plato Madi, dan ke arah pegunungan Muller. Bagian selatan berupa pegunungan Schawner dan
pegunungan rendah yang sampai ke pantai selatan. Kedua jalur batuan tepi tanah Sunda di
tandai adanya intrusi dan ekstrusi Tersier. Jalur vulkan bertemu di pegunungan Muller dan
selanjutnya membentang kea rah timur laut melalui Batuayan, kongkemal, dan pegunungan
Datong (sebelah barat Tarakan).
Bagian barat laut Kalimantan berupa pegunungan Kapuas dan pegunungan Irian yang
terdiri dari batuan marine Pra-Tersier dan Tersier Bawah yang terlipat dan menekan kea rah
barat laut. Rangkaian pegunungan ini dipisahkan oleh Lembah Rejang dengan Punggungan
Ularbulu dan punggungan rendah dengan pantai Serawak-Brunei.
Bagian tenggara dan timur berupa basin-basin yang terisi oleh sedimen Tersier dengan
tebal beberapa ribu meter. Pada tepi basin ini terdapat punggungan yang membujur kea rah

40
barat daya – timur laut. Punggungan ini mulai dari pegunungan Meratus di bagian selatan dan
berhubungan dengan antiklonorium Samarinda. Rangkaian pegunungan Meratus-antiklinorium
Samarinda merupakan hasil orogenesa tersier pada sisi tenggara Pulau Kalimantan.
Ada tiga sungai besar yang mengalir di Kalimantan yaitu :
a. Sungai Kapuas, bermata air di Cimur (bagian tengah Pulau Kalimantan), mengalir ke arah
barat dan bermuara ke laut Sunda (dekat Pontianak). Sungai ini sampai sekarang masih
membentuk delta.
b. Sungai Barito, bermata air di Pegunungan Muller mengalir ke selatan melalui basin Barito
yang berawa-rawa. Basin ini sebelah timur berbatasan dengan pegunungan Meratus dan
sebelah barat dengan pegunungan Sschawner. Bagian barat basin Barito tertutup oleh
lapisan Tersier dan Kwarter.
c. Sungai Mahakam, bermata air di Cimuru dan alirannya menuju basin Tersier Kutai. Sungai
Mahakam memotong anticlinorium Samarinda dan mencapai delta aluvialnya di dekat
Sanga-Sanga.
B. Sistem Orogen Sirkum Sunda
1. Sumatera
Pulau Sumatera bentuknya memanjang dengan ukuran panjang kurang lebih 1.650 km dan
lebar antara 100-200 km di bagian utara serta 350 km di bagian selatan. Ujung selatan bagian
Pulau Sumatera terdapat dua teluk yang menjorok ke daratan yaitu Teluk Lampung dan Teluk
Semangko. Di pantai timur banyak sungai-sungai besar yang mengendapkan lumpur, sehingga
mempercepat perluasan daratan. Di sebelah timur Sumatera terdapat pulau-pulau yang berawa-
rawa seperti Rupat, Bengkalis, Padang, Tebing Tinggi, Rangsang. Pulau-pulau tersebut dengan
Sumatera dipisahkan oleh selat yang sempit dan dangkal.
Fisiografis Sumatera dibentuk oleh rangkaian pegunungan Barisan di sepanjang sisi
baratnya, yang memisahkan antara pantai barat dan pantai timur. Lereng ke arah Samudera
Indonesia pada umumnya curam, kecuali di Sumatera Utara (Meulaboh dan Singkel) berupa
daratan rendah yang lebarnya sekitar 20 km. sisi timur dari Pulau Sumatera berupas lapisan
tersier yang luas dan berbukit-bukit serta tanah rendah alluvial.
Bukit Barisan panjangnya kurang lebih 1.650 km, lebarnya kurang lebih 100 km, dan
puncaknya tertinggi 3.800 meter (Gunung Kerinci). Di Aceh Utara sistem pegunungan ini ada
kecenderungan melengkung dari arah barat laut-tenggara menjadi arah barat-timur.
Pegunungan ini membatasi ujung selatan basin Andaman, yang stratigrafi dan struktur
tektoniknya lebih berhubungan dengan bagian utara sistem pegunungan Sunda.
Kerangka utama pegunungan Barisan di Sumatera dimulai dari pegunungan Van Daelen
yang membujur arah utara-selatan. Adanya 2 jalur pegunungan yang arahnya menunjukkan

41
adanya pengaruh dua aktifitas orogeny yang pusatnya berbeda, yaitu yang satu pusat Mergi dan
yang lain pusat Anambas.
Aceh selatan sistem barisan membujur arah barat laut-tenggara. Antara sungai Wampu dan
Barumun puncak Bukit Barisan bercorak empat segi panjang, dengan ukuran panjang (arah
barat laut-tenggara) kira-kira 275 km dan lebarnya lebih 150 km. Puncak ini disebut Batak
Tumor. Pada puncaknya terdapat kawah Toba yang panjangnya 100 km, lebar 31 km, dan luas
2.269 km2, dengan Danau Toba di dalamnya mempunya ukuran luasnya 1.778,5 km 2.
Sumatera Tengah Bukit Barisan berupa pegunungan blok (pegunungan berbongkah-
bongkah). Dekat Padang Sidempuan lebarnya kurang lebih 75 km, kemudian ke arah tenggara
melebar sampai 175 km di daerah Padang. Jalur pegunungan ini di bagian barat daya mencapai
tinggi lebih dari 2.000 meter, tetapi lebih rendah ke arah daratan rendah Sumatera Timur, yaitu
berkisar antara 500 – 1.000 meter.
Sumatera Tengah dan Selatan dengan arah barat daya – timur Laut Toblor membedakan
satuan-satuan tektonis dan morfologis sebagai berikut : (1) daratan alluvial pantai barat, (2)
barisan tinggi dengan vulkan-vulkan muda, (3) schiefer barisan dengan lipatan-lipatan yang
hebat dan mengandung batuan metamorf pra-Tersier, (4) barisan depan dengan massa lipatan
berlebih-lebih, (5) depresi sub barisan, (6) tanah depan Tersier (peneplain) dengan Pegunungan
Tigapuluh dan (7) daratan alluvial pantai timur.
Pegunungan Tigapuluh letaknya terpencil pada tanah rendah di sebelah timur, yang
membentuk sebuah horst dengan panjang sekitar 90 km, lebar sekitar 40 km, dan puncak
tertinggi Gunung Cengeembun 722 km. barisan depan mulai dari Ombilin (sebelah timur Danau
Singkarak) bercabang dua yang satu menuju pegunungan Lisun-Kuantan Lalo dan yang lainnya
berupa Schiefer Barisan. Ke arah tenggara pegunungan ini merosot ke bawah endapan Tersier
dan basin Sumatera Timur.
Schiefer Barisan dapat diikuti sepanjang pulau. Barisan Tinggi berkembang di bagian
selatan (sebelah selatan Padang). Pada ujung selatan Bukit Barisan lebarnya sekitar 150 km,
yang dapat dibedakan menjadi blok Bengkule (blok Lampung) pada sisi barat, dan blok
Sekampung pada sisi timur.
Pada puncak geantiklinal Barisan terdapat deretan lembah-lembah yang sempit dan
cekungan vulkano-tektonik yang berupa jalur sesar dan membentuk jalur bongkah Semangko
(Semangko Fault Zone). Sistem sesar ini merupakan graben jalur Semangko yang membujur
sepanjang pulau, mulai dari teluk (Sumatera Selatan) sampai ke Trog Lembah Aceh. Di beberapa
bagian jalur ini terisi dan tertutup oleh vulkan muda.
Ada beberapa pendapat tentang graben Semangko yaitu : (1) Van Bemmelen menganggap
bahwa garaben tersebut sebagi hasil tarikan yang berlangsung di bagian puncak geantiklinal

42
barisan, (2) Westerveld adalah akibat dari gaya tekanan yang bekerja terus menerus pada pola
lipatan dan (3) Swierzyeki menganggap sebagai akibat dari gejala sesar sungkup.
Sebelah timur Bukit Barisan terdapat jalur yang terisi oleh sedimen-sedimen Neogen yang
terlipat pada Pli-Pleistosen. Jalur ini merupakan back deep (cekungan belakang) dari sistem
pegunungan Sunda. Back deep ini sekarang berupa dataran rendah Sumatera. Sedangkan back
deep yang proses sedimentasinya kurang cepat masih berupa basin-basin laut seperti basin
Andaman di sebelah utara Sumatera.
Sebelah barat Bukit Barisan terbentang basin laut antara Sumatera dan rangkaian
kepulauan di sebelah barat Sumatera. Jalur basin laut ini disebut cekungan antara (interdeep)
untuk pegunungan Sunda. Sejajar dengan Cekungan Antara terdapat rangkaian-rangkain pulau-
pulau di Samudera Indonesia. Jalur kepulauan ini dikelompokkan busur luar yang tidak vulkanis.
2. Jawa dan Madura
Pulau Jawa sangat dipengaruhi oleh gunung-gunung api. Tulang punggung Pulau Jawa
dibentuk oleh rangkaian gunung api. Gunung-gunung apu di Jawa banyak yang mempunyai
bentuk tidak teratur, karena sifat pipa kepundan (titik erupsi) yang berpindah-pindah dan
adanya kerucut-kerucut parasiter.
Daerah utara menunjukkan perbedaan yang menyolok dengan daerah sebelah selatan.
Pantai utara secara berangsur-angsur berbentuk landau, kecali Gunung Muria di Jawa Tengah,
tetapi di sebelah selatan pantai yang curam.
Unsur-unsur struktur utama Pulau Jawa adalah geantiklinal Jawa Selatan dan Geantiklinal
Jawa Utara. Geosinklinal Jawa Utara menjadi semakin lebar kea rah timur dan mulai dari
Semarang terpecah menjadi 2 yaitu cabang ke utara dan cabang ke selatan ditempati oleh
Punggungan Kendeng dan Selat Madura.
Bagian puncak geantiklinal Jawa telah runtuh melalui sesar-sesar, dan sekarang berwujud
lekukan-lekuakn dengan di dalamnya penonjolan-penonjolan setempat. Sayap selatan
geantiklinal Jawa sekarang membentuk Pegunungan Selatan yang merupakan bongkah-bongkah
yang mengalami pemiringan ke arah selatan. Di Jawa Tengah, Pegunungan Selatan tidak tampak,
diduga telah merosot di bawah permukaan air laut.
a. Jawa Barat
Batas barat dari tipe Jawa dimulai dari sebelah timur garis penghubung antara Kepulauan
Seribu dengan Teluk Pelabuhan Ratu. Sebelah barat garis ini (daerah Banten) mempunyai
hubungan lebih erat dengan daerah Selat Sunda Sumatera. Di Banten Barat Laut terdepat
kelompok vulkan seperti Gunung Gede, Gunung Karang, dan Gunung Pulasari. Daerah Banten
tertutup oleh Tuff, yang terdiri dari tuff asam dan tuff batu apung. Daratan rendah Banten Timur

43
Laut terdiri dari lapisan Tersier Muda yang mengalami pelipatan lemah, dan tertutup oleh tuff
Kwarter serta endapan-endapan alluvial.
Bagian Jawa Barat terletak antara garis penghubung Kepulauan Seribu-Teluk Pelabuhan
Ratu sampai garis penghubung antara Cirebon-Pulau Nusakambangan (selatan Segara Anakan).
Jawa Barat dari utara sampai selatan dapat dibedakan :
1) Daratan alluvial utara (daratan Jakarta), lebarnya kurang lebih 40 km, yang terbentang dari
Serang (Banten) sampai ke Cirebon. Daerah ini sebagian besar terdiri dari endapan alluvial
sungai dan lahar vulkan-vulkan di pedalaman.
2) Zona Bogor, yaitu di sebelah selatan darata alluvial dengan ditandai adanya bukit-bukit dan
pegunungan yang lebarnya sekitar 40 km. Perbukitan ini merupakan sebuah anticlinorium
dari lapisan Neogen yang terlipat kuat dengan disertai intrusi-intrusi vulkanis. Bagian timur
jalur ini tertutup oleh vulkan muda seperti Bukit Tunggul, Tampiomas, dan Cireme.
3) Zona Bandung, yaitu merupakan jalur memanjang dari depresi antarpegunungan. Jalur ini
membentang dari Teluk Pelabuhan Ratu melalui Lembah Cimandiri, dataran tinggi Cianjur,
Bandung, Garut, Lembah Citandui, dan berakhir di Segara Anakan, dengan lebar antara 20-
40 km. Zona ini merupakan puncak geantiklinal Jawa yang telah hancur selama
pelengkungan akhir Tersier. Batas antara zona Bogor dan zona Bandung terdapat sederet
vulkan-vulkan Kwarter seperti gunung Kendeng, Gegak, Salak, Pangrongo, Gedeh,
Burangrang, Tangkubanperahu, bukit Tunggul, Calancang, dan Cakrabuwana. Sedangkan
batas zona Bandung dengan pegunungan selatan ditandai adanya vulkan-vulkan Kendeng,
Patuha, Tilu, Malabar, Papandayan, dan Cikorai. Di Garut terdapat dua busur vulkan yaitu
kelompok Guntur, Mandalawangi dan kelompok Telaga Bodas, Sedakeling. Sedangkan
Gunung Sawal merupakan vulkan padam yang terisolir pada lembah Citandui. Zona
Bandung sebagian terisi oleh endapan-endapan vulkanis muda dan endapan alluvial yang
terpotong oleh bukit-bukit batuan Tersier. Di tanah rendah Citandui terdapat Gunung
Sangkur di bagian barat, dan punggungan pegunungan rendah di bagian timur laut dan
membujur arah tenggara sejak dari Wanareja sampai Maos (Sungai Serayu). Punggungan ini
terdiri dari lapisan Neogen Bawah dan batuan vulkanis.
4) Pegunungan Priangan Selatan (pegunungan Selatan), yang membentang dari Teluk
Pelabuhan Ratu sampai Pulau Nusakambangan (selatan Segara Anakan) dengan lebar rata-
rata 50 km. seluruh daerah ini merupakan sisi selatan geantiklinal Jawa. Jalur ini dapat
dibedakan menjadi 3 seksi yaitu : (1) bagian barat seksi Jampang, mengalami erosi
permukaan dengan sisa-sisa yang resisten berupa volcanic neck, (2) bagian tengah seksi
Pangalengan, yang ditutupi oleh beberapa vulkan pada yang hancur akibat patahan dan (3)
bagian timur seksi Karangnunggal, yang berupa pegunungan rendah.

44
b. Jawa Tengah
Jawa tengah yang terbentang dari garis Cirebon-Pulau Nusakambangan sampai garis
Semarang-Yogyakarta dengan lebar antara 100-120 km. Jawa Tengah dari utara ke selatan
secara berurut dapat dibedakan :
1) Dataran pantai utara, dengan lebar maksimum sekitar 40 km (di Brebes), ke timur
menyempit sampai sekitar 20 km ( diTegal dan Pekalongan) dan menghilang di timur
Pekalongan, karena pegunungan mencapai pantai. Antara Eleri-Kaliwungu dataran alluvial
ini dibentuk oleh delta Kali Bodri sekitar 16 km, sedangkan timur (Semarang) lebarnya
antara 3 – 4 km.
2) Rangkaian pegunungan Serayu Utara dan Serayu Selatan, merupakan cekungan geantiklinal.
Pegunungan Serayu Utara membentuk rantai penghubung antara zona Bogor di Jawa Barat
dengan pegunungan Kendeng di Jawa Timur. Pegunungan Serayu Selatan merupakan
kelanjutan dari depresi Bandung di Jawa Barat. Lebar pegunungan Serayu Utara antara 30-
50 km, dengan ditandai adanya vulkan-vulkan muda seperti vulkan Slamer,
Rogojembangan, Kelompok Dieng, dan Vulkan Ungaran.
3) Antara pegunungan Serayu Utara dan Serayu Selatan dipisahkan oleh sebuah depresi yang
memanjang membentang dari Majenang – Wonosobo, dan disebut zona serayu. Di senelah
timur Wonosobo depresi ini terisi oleh vulkan-vulkan muda Sundoro, Sumbing. Pegunungan
Serayu Selatan merupakan hasil pengangkatan (di bagian barat) dan sebuah geantiklinal di
bagian timur pada depresi Bandung. Ujung timur pegunungan Serayu Selatan dibentuk oleh
dome pegunungan Kulon Progo.
4) Daratan pantai selatan, lebarnya antara 10 – 25 km pantai selatan Jawa Tengah
menunjukkan perbedaan yang jelas dengan Jawa Barat dan Jawa Timur. Di sini pegunungan
Selatan telah merosot di bawah permukaan air laut antara Nusakambangan dan Muara
Sungai Opak, dan sisanya adalah pegunungan Karangbolong yang menunjukkan kesamaan
dengan pegunungan selatan di Jawa Barat dan Jawa Timur. Bagian selatan dari daratan
pantai selatan tertutup oleh bukit-bukit pasir yang sejajar dengan pantai.
c. Jawa Timur
Jawa Timur terletak di sebelah timur garis Semarang-Yogyakarta, yang secara fisiografis
dibedakan :
1) Jalur utara dari Jawa Timur ditutupi oleh vulkan Muria, vulkan Lasem, dan perbukitan
Rembang (antiklinorium Rembang). Vulkan Muria terdiri dari batuan leucite dan vulkan
Lasem bersifat andesitis. Vulkan ini menunjukkan perbedaan dengan seri vulkan-vulkan di
Jawa. Gunung Muria dulunya (awal Holosen) letaknya terpisah dari Jawa, tetapi sekarang
dihubungkan oleh dataran alluvial Semarang – Demak – Kudusu – Pati – Juwono – Rembang

45
yang sampai sekarang proses pengendapannya masih terjadi. Antiklinorium Rembang
berupa lebar rata – rata 50 km dan ketinggian rata – rata 500 meter, yang diselingi oleh
daratan alluvial Blora dan Jojogan. Bukit – bukit ini kebanyakan mencapai pantai utara dan
hanya dipisahkan pesisir sempit dengan bukit-bukit pasir. Puncak punggungan yang datar
dekat Tuban berupa kapur karang.
2) Zona Randublatung, yaitu sebuha jalur sinklinal yang berupa daratan alluvial membentang
dari semarang melalui Purwodadi, Randublatung, Ngimbang sampai Wonokromo. Jalur ini
memisahkan bukit-bukit Rembang dengan Punggungan Kendeng. Bagian tersempit terdapat
di Randublatung (kira-kira 5 km), tetapi ke arah timur dan barat menjadi bertambah lebar.
3) Antiklinorium Kendeng, yaitu lanjutan dari Pegunungan Serayu Utara di Jawa Tengah.
Pegunungan Kendeng merupakan bukit-bukit lipatan yang terdiri dari batuan kapur dan
mergel. Lebar rata-rata 40 km dan ketinggian rata-rata 500 meter. Ke arah timur
Pungungan Kendeng berangsur berkurang, bahkan mendekato Mojokerto antiklinalnya
menghilang dan tertutup oleh endapan-endapan alluvial delta Brantas.
4) Zona depresi yang memanjang di Jawa Timur sebagian tertutup oleh sederetan vulkan
muda. Jalur ini dibedakan menjadi 3 bagian yaitu : (1) sub zona Ngawi, depresi sinklinal
kelanjutan dari zona Serayu melalui Sragen, Ngawi, sampai dataran alluvial delta Brantas di
Jombang, (2) zona Solo yang dibentuk oleh sederatan vulkan-vulkan Kwarter dengan
dataran Intermountaint / antar pegunungan (vulkan Sundoro, Sumbing – dataran Magelang
– vulkan Merbabu Merapi – dataran Surakarta – vulkan Lawu – dataran Madiun – Gunung
Willis – dataran Brantas – Vulkan Kelud, Kawi, Butak, Anjasmoro, Welirang, Arjuno –
dataran Malang) dan (3) sub zona Blitar, suatu jalur di sebelah selatan zona vulkan Kwarter
yang terletak antara Wonogiri – Bulong – Tulungagung – Blitar
5) Pegunungan Selatan, merupkan pegunungan blok yang miring ke selatan dan utaranya
berupa escarpment (tebing patahan). Lebar pegunungan Selatan antara 25 – 55 km. Antara
Opak dan Pacitan terdiri dari kapur dengan topografi karst. Antara Opak dan Pacitan Popoh
bagian utara terdiri dari batuan vulkanik sedangkan bagian selatan tertutup oleh kapur.
d. Jazirah Jawa Timur dan Madura
Pulau Madura merupakan perluasan ke arah timur dari bukit – bukit Rembang. Sedangkan
Selat Madura merupakan lanjutan dari pegunungan Kendeng yang ujung timurnya tenggelam di
bawah delta Brantas. Selat ini ke arah timur masuk ke Laut Bali dan termasuk Back deep dari
Nusa Tenggara.
Pantai utara jazirah Jawa Timur merupakan lanjutan tepi selatan antiklinorium Kendeng.
Jalur ini berupa endapan Pilo – Pleistosen yang terlipat dan tertutup oleh vulkan – vulkan kecil.

46
Dari barat ke timur berupa antikliborum Bangi, bukit tuff Semangkrong, Bukit Pegunungan
Proboliggo, pegunungan Ringgit Besar dan vulkan Bondowoso.
Zona Solo yang terdiri dari kelompok vulkan dandataran antarpegunungan (kelompo
Tengger, Semeru – dataran Klakah – vulkan Lamongan – dataran Jember, Bondowoso –
Kelompok Ijen – dataran Banyuwangi). Sub zona Blitar, mulai dari Kepanjer dan Turen sampai
Pasirian.
Pegunungan Selatan di bagian timur Jawa Timur terdiri dari bagian-bagian yang terpencil.
Bagian barat (selatan Turen) dengan lebar kurang lebih 25 km, berhubungan dengan
pegunungan selatan Jawa Timur. Antara Pasirian dan Puger pegunungan selatan terpotong oleh
dataran rendah Lumajang, tetapi Pulau Nusabarung (selatan Puger ) merupakan penghubung
selatan antara Puger dan Betiri. Kemudian terpotong oleh dataran rendah Rogojampi yang
mencapai pantai Selatan. Akhirnya bagian paling timur dari pegunungan Selatan di Jawa muncul
di Semenanjung Blambangan, dan berkelanjutan di Bali dan Lombok.
3. Nusa Tenggara
Nusa Tenggara dibentuk oleh dua jalur geantiklinal, yang merupakan perluasan ke barat
dari busur Banda. Kedua geantiklinal ini adalah bagian utara berupa busur dalam yang vulkanis,
dan bagian selatan berupa busur luar yang tak vulkanis. Busur dalam membujur dari barat ke
timur terdiri dari pulau-pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Komodo, Rinca, Flores, Adonara, Solor,
Lomblen, Pantar, Alor, Kambing, Wetar dan Romang. Busur luar dibentuk oleh punggungan
bawah laut selatan Jawa, pulau-pulau Dana, Raiujua, Sawu, Roti dan Timor. Sedangkan Pulau
Sumba merupakan penghubung antara busur luar dan busur dalam.
Secara rinci keadaan fisiografi Nusa Tenggara adalah :
a. Palung Belakang
Termasuk jalur ini adalah Laut Bali (sebelah utara Bali dan Lombok, Laut Flores (utara
Flores dan Sumbawa), dan bagian barat basin Banda Selatan (sebelah timur Flores). Laut
Bali lebarnya kira-kira 100 km dan dalamnya 1.500 meter. Ke arah barat berangsur-angsur
dangkal dan bersambung dengan Selat Madura yang dalamnya sekitar 100 meter. Laut
Flores dibedakan menjadi 3 bagian yaitu :
1) Bagian barat laut berupa dataran yang luas dan dangkal menghbungkan lengan selatan
Sulawesi dengan dangkalan Sunda.
2) Bagian tengah, yang berbentuk segitiga dengan puncak di sebelah selatan vulkan
Lompobatang, dan diduga ada hubungan dengan depresi Walenea (di lengan selatan
Sulawesi), sedangkan dasarnya terletak di sepanjang pantai utara Flores.
3) Bagian timur, terdiri dari punggungan – punggungan dan palung-palung, serta
menghubungkan lengan selatan Sulawesi dengan pegunungan bawah laut Batu Tara.

47
b. Busur Dalam
Busur dalam di Nusa Tenggara menghubungkan busur dalam Jawa dengan busur dalam
Banda. Busur dalam ini berupa punggungan geantiklinal yang lebarnya pada ujung barat
sekitar 100 km, dan ke arah timur berangsur-angsur berkurang hinga mencapai 40 km di
Flores Timur. Jadi berupa jalur panjang pulau-pulau vulkanis, dengan dipisahkan selat-selat
di antara pulau-pulau tersebut. Selat-selat ini di bagian barat dangkal tetapi ke arah timur
menjadi lebih dalam. Pulau-pulau pada busur dalam ini adalah :
1) Bali
Bagian Pulau Bali terdiri dari vulkan Kwarter yang masih aktif dan menunjukkan
kelanjutan kompleks vulkan muda dari zona Solo di Jawa. Dataran Denpasar yang
terletak di kaki Vulkan, termasuk sub zona Blitar di Jawa. Dataran ini dihubungkan oleh
tanah sempit dengan bukit-bukit kapur Tersier, yang dapat disamakan dengan
pegunungan Selatan Semenanjung Blambangan (Jawa0. Pulau Nusa Penida antara Bali
dan Lombok juga terdiri dari kapur Tersier.
2) Lombok
Bagian utara terdapat zona vulkanis (zona Solo) dengan Vulkan Rinjani. Di sebelah
selatannya berupa dataran rendah Mataram (sub zona Blitar). Sedangkan bagian
selatan berupa pegunungan Selatan yang terdiri dari kapur Tersier dan breksi vulkanis.
3) Sumbawa
Pulau Sumbawa terbagi menjadi bagian barat dan bagian timur oleh Teluk Soleh. Teluk
tersebut dipisahkan dengan laut oleh Pulau Moyo, dan memberikan sifat khusus dari
depresi antar pegunungan pada puncak geantiklinal. Bagian utara pulau Sumba
ditempati oleh beberapa vulkan alkali dari sub zona Ngawi di Jawa ; sedangkan zona
Solo hanya mencapai tidak jauh di sebelah timur Lombok. Bagian selatan tertutup oleh
sedimen tersier dan batu kapur alkali, seperti pegunungan Selatan di Jawa.
4) Flores
Pulau Flores dan Sumbawa dipisahkan oleh selat sempit Sape dengan kedalaman lebih
dari 200 meter. Pulau Komodo dan Rinca termasuk puncak geantiklinal Flores Barat
dan Tengah. Jalur ini terdiri dari batuan vulkanis dan intrusi-intrusi magmatis, yang
dapat disamakan dengan pegunungan Selatan Jawa. Di sepanjang pantai selatan Flores
Barat tumbuh vulkan-vulkan muda, sedangkan di Flores Tengah vulkan muda terdapat
di sepanjang pantai selatan di sepanjang sisi utara pulau ini. Di Flores Timur puncak-
puncak geantiklinal tenggelam dan ditumbuhi oleh vulkan-vulkan muda.
Geantiklinal berkelanjutan di Solor, Adonara, Lombok dan Pantar yang ditempati oleh
vulkan – vulkan muda yang aktif. Sedangkan geantiklinal Alor, Kambing, Wetar, dan

48
Romang aktif tidak ada. Pulau-pulau ini terdiri dari endapan vulkanis zaman Tersier
Atas.
5) Palung Antara
Palung antara busur dalam dari Jawa-Bali-Lombok dengan punggungan bawah laut
sebelah selatan Jawa lebarnya sekitar 175 km. bagian yang terdalam sebelah selatan
Lombok sekitar 5.160 meter. Di dekat Sumba palung ini bercabang dua yaitu utara dan
selatan Pulau Sumba (Selat Sumba dan Selat Sewu). Cabang-cabang ini merupakan
penghubung antara palung sebelah selatan Jawa dengan basin Sawu. Lebar terbesar
sekitar 200 km antara Flores Timur dan Roti dan menyempit ke arah timur sekitar 25
km antara Pulau Kambing dan Timor yang memisahkan palung Wetar dengan Basin
Sawu. Palung Wetar mempunyai lebar sekitar 60 km dengan kedalaman maksimum
3.460 meter dan dibatasi oleh Pulau Kisar di sebelah timurnya. Lereng curam dari
Wetar dan basin Sawu menggambarkan penurunan kulit bumi, dengan dibatasi oleh
pengangkatan di bagian barat (Pulau Sumba) dan bagian timur (Pulau Kisar). Pulau
Sumba yang merupakan penghubung antara busur dalam dan busur luar tidak dijumpai
adanya vulkan muda.
6) Busur Luar
Termasuk busur luar di Nusa Tenggara adalah Pulau Dana, Raijau, Sawu, Roti, Semau,
dan Timor. Punggung bawah laut selatan Jawa mencapai 1.200 meter di bawah
permukaan air laut, tetapi menurun ke arah timur sampai sedalam 4.000 meter.
Selanjutnya puncak geantiklinal itu naik lagi di Pulau Dana, Raijau dan Sawu.
Pulau Sawu terdiri dari batuan Pra – Tersier yang dikelilingi oleh karang Koral dengan
ketinggian sampai 300 meter di atas permukaan air laut. Pulau Roti terdiri dari
sedimen yang terlipat kuat dan tertutup oleh batu karang Kwarter dengan ketinggian
sekitar 430 meter di atas permukaan air laut. Pulau Timor merupakan pengangkatan
geantiklinal yang lebar, di mana terdapat depresi pada bagian puncaknya. Depresi ini
mulai dari Teluk Kupang sampai pada Sungai Lois.
7) Palung Depan
Antara punggungan bawah laut sebelah Jawa dengan Pulau Christmas terdapat parit
dalam yang membujur dengan arah barat timur dan dalamnya sekitar 7.450 meter.
Parit ini dinamakan palung depan dari sistem pegunungan Sunda. Di pulau Sumba
dalamnya berkurang, dan di sebelah selatan Sawu melengkung dengan arah timur –
laut sejajar dengan Pulau Timor. Palung depan di selatan Jawa di sebelah selatannya
dibatasi oleh pengangkatan dasar laut dengan batas yang kurang jelas. Sedangkan

49
bagian timur dari palung Timor dibatasi oleh dangkalan Sahul. Untuk memperjelas
gambaran fisiografi Nusa Tenggara, lihat gambar berikut
Gambar XX. Fisiografi Nusa Tenggara
4. Maluku
Kepulauan Maluku adalah kelompok pulau-pulau yang batas-batas sebelah utara Kepulauan
Philipina, timur Irian, Tenggara Australia, Barat daya Nusa Tenggara, dan sebelah barat
Sulawesi. Daerah-daerah ini reliefnya beraneka ragam dengan basin-basin dan pungungan-
punggungan. Proses pembentukan pegunungan masih berlangsung aktif sampai sekarang.
Maluku Utara sebagian berhubungan dengan rangkaian pulau-pulau Asia Timur, dan sebagian
dengan sistem Melanesia. Maluku Selatan merupakanbagian dari sistem pegunungan Sunda.
Batas antara Maluku Utara dan Maluku Selatan adalah sebuah punggungan dengan arah
barat-timur yang membujur dari lengan timur Sulawesi sampai kepala burung Irian, melalui
kepulauan Banggai, Sula, Gomumu, sebagian Obi, dan Misool. Jalur ini dikenal dengan nama Sula
Spur, yang panjangnya kurang lebih 1.000 m dan lebarnya sekitar 100 km. Dipandang dari segi
geotektonik Sula Spur merupakan batas pemisah antara sistem Orogen Pasifik barat dengan
sistem orogen Sunda. Batuan dasarnya terdiri dari pilit dan sekis dengan intrusi granit.
a. Maluku Utara
Maluku utara merupakan rantai penghubung antara Philipina di bagian utara, Irian di
bagian timur, Sulawesi di bagian barat. Daerah ini tersusun dari punggungan-punggungan
bawah laut dan daratan yang kompleks, yaitu rangkaian pulau-pulau yang dipisahkan oleh
basin-basin kecil dan palung-palung. Dalamnya palung antara 2.000 – 4.000 m, sedangkan
ketinggian daratan rata-rata sekitar 1.500 m. Palung-palung dalam membatasi Maluku Utara
adalah palung Philipina sedalam 6.000 – 9.000 m di sepanjang pantai timur laut, Laut Seram
sedalam 5.319 m dan basin Banda barat laut sedalam 5.800 m di sepanjang sisi barat laut.
Di Maluku Utara ada 2 sistem punggungan yang memusat, yaitu satu buah membatasi basin
Sulawesi yang cembung ke timur dan satu buah lagi membatasi tengah kelompok Halmahera
yang cembung ke barat. Dua sistem Sangihe dan sistem Ternate.
1) Sistem Sangihe
Sistem Sangihe membentuk mata rantai antara busur Samar di Philipina dan lengan utara,
timur Sulawesi yang terdiri dari satuan-satuan :
a) Palung Belakang, berupa basin Sulawesi
b) Busur dalam yang vulkanis, berupa Punggungan Sangihe. Punggungan bawah laut ini
menghubungkan ujung selatan Mindanau (Philipina) dengan lengan utara Sulawesi
(Minahasa) dan terdiri dari pulau-pulau vulkanis Sarangani, Kawio, dan Pulau Sangihe.

50
c) Palung antara, berupa palung-palung Sangihe – Gorontalo. Palung antaraini adalah suatu
zona depresi yang membentang dari Teluk Davau di Mindanau ke arah selatan melalui
palung Sangihe yang dalamnya sekitar 3.800 meter, parit sempit dalamnya antara 2.500 –
3.000 m, basin Gorontalo dalamnya sekitar 3.800 m dan membelok ke barat masuk Teluk
Tomini.
d) Busur luar yang tidak vulkanis, berupa punggungan Talaud-Mayu. Satuan ini merupakan
kulit bumi yang terangkat dan reliefnya agak kompleks. Zona ini dapat diikuti dari Pulau
Mindanau Timur yang tenggelam ke arah selatan masuk palung Sangihe. Selanjutnya zona
ini menghubungkan oleh punggungan sempit terdiri dari pulau-pulau Palmas dengan Pulau
Talaud bersambung dengan daerah terangkat pada daerah dasar laut Maluku sebagai
sebuah antiklinorium yang disebut punggungan Mayu. Di sini ada 2 depresi yang satunya di
sebelah selatan Pulau Talaud (antara basin Sangihe dan basin Morotai), dan yang lain antara
basin Gorontalo dan basin Bacan. Punggungan Mayu ini ke arah selatan tenggelam menuju
sebuah depresi yang dalamnya 2.000 m. ke arah selatan dasar laut naik lagi dengan
puncaknya 1.500 m di bawah permukaan air laut. Ujung selatan punggungan Mayu dibatasi
oleh basin Mangole yang dalamnya 3.510 m dengan arah barat-timur. Di bagian selatan
punggungan Matu ada dua cabang yaitu : (1) ambang antara basin Mangole dengan basin
Gorontalo yang membujur ke arah barat daya dan menghubungkan dengan lengan timur
Sulawesi dan (2) ambang antara basin Mangole dengan basin Bacan yang menghubungkan
dengan kelompok obi.
Cabang di bagian timur laut punggungan Talaud – Mayu adalah punggungan Snellius.
Punggungan ini merupakan bagian kerak bumi yang terangkat di sepanjang tepi selatan palung
Philipina. Punggungan Snellius dari Pulau Talaud dipisahkan oleh palung Philipina. Punggungan
Snellius dari Pulau Talaud dipisahkan oleh palung Talaud (3.410 m), dari Morotai dan
Halmahera dipisahkan basin Morotai (3.890). Punggungan Snellius dihubungkan dengan
punggungan Talaud – Mayu oleh ambang yang terletak antara palung Talaud dengan basin
Morotai dan dalamnya lebih dari 2.000 m.
2) Sistem Ternate
Sistem Ternater terdiri dari satuan – satuan :
a) Busur luar (outer arc) yang tak vulkanis, berupa punggungan Snellius – Mayu – Obi.
Punggungan Mayu di tengah Laut Maluku merupakan busur luar yang berimpit antara
kedua sistema punggungan (sistem Sangihe dan sistem Ternate).
b) Palung antara (interdeep), berupa palung Morotai, palung Ternate, dan palung Bacan.
Palung-palung ini merupakan pemerosotan kerak bumi dengan kedalaman 3.890 m basin

51
Morotai, 3.450 m basin Ternate, dan 4.810 m basin Bacan. Ke arah timur basin Bacan
mempunyai kedalaman antara 1.000 – 2.000 m (antara Bacan – Obi).
c) Busur dalam (inner arc) yang vulkanis, yaitu zona Ternate. Terdiri dari Pulau Halmahera
yang disebut kumpulan Halmahera. Bagian ini terletak antara Laut Maluku dengan basin
Karolina dan bersambung dengan kepala burung Irian. Beberapa pulau yang termasuk
kumpulan Halmahera adalah :
(1) Morotai, terletak pada ujung utara yang sebagian besar tersusun dari batuan vulkanis
Neogen.
(2) Halmahera, adalah pulau terbesar di Maluku (luasnya 1.800 km 2). Bentuk dari
Halmahera adalah konvek ke arah barat, dan mirip dengan Sulawesi. Pulau ini
mempunyai 4 lengan dan teluk-teluk di antara lengan-lengan tersebut. Teluk-teluk itu
adalah Teluk Kau, Buli, dan Teluk Weda. Vulkan aktif terdapat pada ujung utara
Halmahera, seperti gunung Gamkonora (1.653 m) dan Dokuno (1.335 m). Rangkaian
gunung api muda ini dilanjutkan ke pulau-pulau kecil di sepanjang pantai barat
Halmahera yaitu pulau Hiri, Ternater, Tidore, More, Moti, dan Pulau Makian. Zona
vulkanis membentang ke arah timur sampai pantai utara kepala burung Irian melalui
Salawati Utara. Jalur vulkanis dari kumpulan Halmahera terdapat pada sisi barat dan
sisi selatan.
d) Palung belakang (back deep), terdiri dari bagian umum kumpulan Halmahera dan sebagian
tenggelam yaitu basin Halmahera. Basin Halmahera adalah pusat kumpulan Halmahera
yaitu kumpulan perosotan daerah yang luas sampai mencapai dalam lebih dari 2.000 m.
Jalur ini berupa suatu depresi yang tidak bersambungan yaitu depresi Teluk Kau, Teluk
Pajahe, Selat Patintin (-2.048 m), selat antara Jef Doif dan Kofiau, dan berakhir pada Selat
Sagewin (lebih dari 200 meter) antara Batanta dan Salawati atau selat Dampier di antara
Batanta dan Weigeo.
Satuan daratan dari palung belakang adalah lengan-lengan Halmahera sebelah timur dan
selatan, pulau-pulau Gebe, Weigeo, dan pulau Batanta. Batuan utama dari satuan ini berupa
batuan basa sampai ultra basa dan tertutup oleh endapan mariner Tersier yang kaya
fragmen-fragmen batuan beku.
Pulau Ayu kecil dan pulau-pulau Asia yang membentang pada basin Karolina juga termasuk
kumpulan Halmahera. Lebih jelasnya untuk mengikuti uraian satuan-satuan fisiografis
Maluku Utara, lihat gambar berikut.
b. Maluku Selatan
Maluku Selatan hampir setengahnya ditempati oleh Basin Banda. Basin Banda terdiri dari
Basin Banda Utara bagian utara dan Basin Banda Selatan bagian selatan. Basin Banda Utara

52
terletak antara Sulawesi dan Buru, sedangkan Basin Banda Selatan terletak antara Tara dan
Manuk. Basin Banda Utara garis tengahnya kira-kira 400 km dan dalamnya maksimum 5.800 m.
Basin Banda Selatan terbagi menjadi bagian barat dan bagian timur oleh vulkan api (282 m)
yang muncul dari laut yang dalamnya kira-kira 4.500 m. pada bagian barat basin Banda Selatan
terdapat dua cabang parit yang ke arah barat dan barat laut. Parit yang menuju ke barat arahnya
sejajar dengan busur dari Alor, kemudian di sebelah utara Flores dan akhirnya masuk ke Teluk
Bone. Cabang – cabang parit kecil yang lain menuju ke Palung Buton (-4.180 m), dan yang
terletak antara Tukangbesi dan Punggungan Luymes. Parit ini sebagai penghubung antara Banda
Selatan dan Banda Utara, dengan arah barat laut – tenggara.
Banda Selatan bagian timur disebut pula basin Banda Tengah. Basin Banda Tengah terletak
antara Damar – Buru (arah tenggara – barat laut) dan antara Api Banda (arah barat daya – timur
laut), dengan garis tengahnya sekitar 400 km. pada bagian utara basin Banda Tengah terdapat
beberapa punggungan Luymes dan Siboga. Beberapa pulau karang yang muncul di atas
permukaan laut seperti Pulau Sipara dan Schilpad. Dalamnya laut antara punggungan –
punggungan itu sekitar 3.330 m (antara punggungan Luymes dan Buru) sampai 5.400 m (di
sebelah barat Damar).
Basin Banda di sebelah timurnya dibatasi oleh 2 busur yang terdiri dari pulau-pulau, yaitu
busur dalam yang bergunung api (vulkanis), dan busur luar yang tidak vulkanis. Busur dalam
terdiri dari pulau-pulau kecil, yang beberapa daripadanya masih menunjukkan kegiatan gunung
api sedangkan yang lain berupa pulau-pulau karang. Busur luar adalah hasil pengangkatan
geantiklinal yang lebarnya antara 100-200 km, dan terdiri dari lapisan-lapisan sedimen yang
terlipat serta ada yang merupakan sesar. Hal yang menarik perhatian pada busur luar ini adalah
adanya bentuk belokan yang tajam, dan terlihatnya batuan gamping koral pada tempat – tempat
yang tinggi, sehingga dapat dikatakan daerah yang sedang mengalami pengangkatan. Anomali
negatif yang besar berimpit dengan daerah ini.
Antara busur dalam dan busur luar terdapat sebuah palung antara yang berbentuk sabit
cembung ke arah timur, yang dalamnya 7.440 m dan lebarnya sekitar 150 km. Palung antara ini
dinamakan palung Weber (Weber Deep). Weber Deep ke arah barat laut semakin dangkal sampai
punggungan Uliassers dan Ambon, ke arah barat daya juga semakin dangkal sampai punggungan
antara Damar dan Moa.
Busur luar Banda bagian selatan merupakan lanjutan busur luar Nusa Tenggara, yang
dimulai dari sebelah timur Timor (punggunagn sempit Leti–Sermata, kemudian dome Babar dan
Tanimbar). Bagian timur terdiri dari pulau-pulau Tanimbar – Kai, yang mempunyai lereng
curam ke arah palung Weber. Lebar geantiklinal ini sekitar 100 km di kelompok Tanimbar,
sekitar 200 km pada pulau-pulau Kai, arahnya tenggara – barat laut. Punggungan ini merupakan

53
rantai penghubung dengan Seram. Bagian utara busur luar banda terdiri dari pulau – pulau
Seram, Boano, Kellang, Manipa, dan Buru.
Busur luar Banda ini dibatasi oleh sebuah palung depan yang dimulai dari sebelah tenggara
Kepulauan Tanimbar (palung sempit dengan lebar 30 km dan dalam 1.690 m). membujur ke
arah utara dan masuk ke Palung Aru (berbentuk bundar dan dalamnya 3.680 m). palung depan
bagian timur laut dan utara dibentuk oleh Laut Seram (berupa geosingklin yang lebarnya 80 km
dan lebih dari 2.000 m) dan palung Buru (5.139 m).
5. Sulawesi
Geologi Sulawesi sangat kompleks, karena merupakan perpaduan antara 2 rangkaian
orogeny (busur Kepulauan Asia Timur dan Sistem Pegunungan Sunda). Hampir seluruhnya
terdiri dari pegunungan, sehingga merupakan daerah paling berpegunungan di antara pulau
pulau besar di Indonesia. Pulau ini terdiri dari 4 cabang yang dipisahkan teluk-teluk dalam dan
dipersatukan di tengahnya. Penyebaran batuan vulkanis jenis pasifis terdapat pada bagian barat
dan utara, sedangkan batuan vulkanis ophiolit basa dan ultra basa tersebar di bagian timur.
Sulawesi dikelilingi oleh basin – basin dan palung laut dalam, yaitu di sebelah baratr palung
Makasar dalamnya 2.000 – 2.500 m, sebelah utara basin Sulawesi dalamnya 5.000 – 5.500 m,
sebelah timur ada laut Maluku dalamnya lebih dari 4.000 m, sebelah timur dengan Maluku
Selatan ada basin Banda Utara dalamnya antara 4.500 – 5.000 m, sebelah selatan ada basin
Banda Selatan dan Laut Flores dalamnya masing-masing 4.500 m dan 5.000 m. rangkaian
pegunungan mencapai tinggi lebih dari 3.000 m, sehingga perbedaan relief di Pulau Sulawesi
dan sekitarnya sangat besar yaitu 7.000 – 8.000 m.
a. Lengan Utara Sulawesi
1) Seksi Minahasa
Seksi Minahasa merupakan ujung timur dari lengan utara Sulawesi dengan arah timur laut
barat daya. Bagian ini bersambung dengan punggungan Sangihe (Sangihe Ridge), dicirikan oleh
aktifitas vulkanis, sehingga merupakan volcanic inner arc. Batuannya, terutama endapan gunung
api Kwarter sedangkan endapan marine hanya berupa endapan pantai Post – Tersier dan koral
yang terangkat. Ke arah selatan vulkanik dan marine Neogen, tetapi sedikit vulkanik muda.
Bagian selatan merupakan peralihan ke seksi Gorontalo.
2) Seksi Gorontalo
Seksi Gorontalo adalah bagian tengah dari lengan utara Sulawesi dengan arah timur – barat.
Vulkanisme pada seksi ini sudah padam, lebar Gorontalo sekitar 35 – 110 km, tapi bagian barat
menyempit 30 km (antara Teluk Dondo di pantai utara dan Tinombolo di pantai selatan). Di sini
arah utama berubah dari timur – barat melalui arah timur laut – barat daya menjadi utara –
selatan. Gorontalo dilintasi sebuah depresi menengah yang memanjang yaitu sebuah jalur antara

54
rangkaian pegunungan di pantai utara dan pegunungan di pantai selatan. Depresi ini disebut
zona Limboto yang dibentuk oleh lembah – lembah dari Sungai Panguat, Randangan,
Paguyaman, danau Limboto, Bone dan Ongkang Dumoga. Lapisan batuan tua yang tersingkap
adalah batuan sekis kristalin, batuan sedimen merine (Mesozoikum Muda dan Tersier Bawah),
granit dan tonalit (lebih muda dari Eosen) dan batuan vulkanis (lebih tua dari Meosen).
3) Jenjang Sulawesi Utara
Jenjang Sulawesi Utara adalah lengan utara Sulawesi yang arah utara – selatan. Daerah ini
terdapat depresi (lanjutan zona Limboto di Gorontalo), yang sebagian besar tertutup oleh
vulkan – vulkan muda. Batuan terutama terdiri dari batuan metamorf seperti sekis kristalin dan
phylit.
Antara lengan utara dan lengan timur dipisahkan oleh Teluk Tomini dengan lebar 100 km di
bagian timur dan sampai 200 km di bagian barat. Dasar teluk semakin dangkal kea rah barat
(kurang dari 2.000 m) di bagian tengah Teluk Tomini terdapat punggungan di bawah
permukaan air laut dengan bagian tinggi berupa Kepulauan Togian. Punggungan ini sekarang
terbentuk atoll dan karang penghalang pada puncaknya. Bukit-bukit pada bagian tengah
kepulauan ini berupa vulkan – vulkan padam, tetapi di luar punggungan Tongian terdapat
vulkan aktif Una – Una yang muncul dari dasar laut.
b. Lengan Timur Sulawesi
Lengan timur Sulawesi arahnya timur laut – barat daya, yang dapat dibedakan menjadi 3
bagian. Bagian timu ; Semenanjung Bualemo dipisahkan dengan bagian tengah oleh tanah
genting antara Teluk Poh dan Teluk Besama. Bagian tengah berangsur bertambah lebar 20 km di
timur sampai 80 km di utara Bunku. Bagian tengah dibentuk oleh pegunungan Batui dengan
Gunung Bulutumpu yang arahnya timur laut – barat daya. Bagian barat membujur antara garis
Ujung Api sampai Teluk Tomini di barat. Lebarnya 75 – 100 km, merupakan daerah yang
berpegunungan tinggi.
Secara keseluruhan lengan timur Sulawesi terdiri dari batuan ultra basa (gabbro, peridotit,
dan serpentin), sedimen marine yang mengalami metamorphosis lemah. Batuan di dilipat kuat,
bahkan diketemukan struktur kelopak.
Apabaila dikaitkan antara lengan utara dan timur Sulawesi, mungkin dapat disebutkan
bahwa lengan utara dan merupakan busur dalam yang vulkanis, sedangkan lengan timur
merupakan busur luar yang tidak vulkanis. Minahasa bersambung dengan Sangihe, sedang yang
tidak vulkanis sebagian berupa punggungan Talaud – Mayu yang tenggelam.
c. Lengan Tenggara Sulawesi
Batas lengan tenggara dengan bagian tengah Sulawesi adalah berupa tanah genting antara
Teluk Usu dengan Teluk Tomori lebarnya 100 km. Lengan tenggara Sulawesi dapat dibedakan

55
menjadi 3 bagian. Sebelah utara terletak antara teluk Palopo (ujung utara teluk Bone) dengan
Teluk Tolo, berupa masif – masif. Peridotit dari pegunungan Verbeek. Bagian tengahnya
terdapat 2 graben yaitu Danau Matana (dalamnya 590 m) dan danau Towuni (dalamnya 203 m).
Bagian tengah lengan tenggara Sulawesi, sebelah barat berupa Sekis Kristalin di pegunungan
Mekongga dan sebelah timur terdapat sedimen peridotit. Batas kedua daerah tersebut adalah
pegunungan Tangeasinua yang arahnya barat laut – tenggara. Bagian tertinggi pegunungan ini
pada sisi barat laut tapi arah tenggara tenggelam sampai Kendari. Antara pegunungan Mekongga
dan pegunungan Tangeasinua terdapat basin yang dialiri oleh Sungai Konaweha. Pantai timur
bagian barat laut – tenggara. Ke arah tenggara jalur ini tenggelam dan membentuk teluk-teluk
dan pulau kecil, serta berkelanjutan pada relief dasar laut melalui Pulau Salabang sampai
Kepulauan Manui.
Bagian Selatan lengan tenggara Sulawesi dipisahkan dengan bagian tengah depresi
membujur arah barat–timur yang membentang antara Kendari dan Kolaka. Depresi ini ditandai
dengan dataran aluvial yang berawa. Bagian selatan lengan tenggara Sulawesi berupa
pegunungan dan bukit–bukit yang teratur dengan arah barat–timur. Lengan tenggara Sulawesi
merupakan lanjutan dari Sulawesi Tengah zona timur (Kolonode). Hal ini dapat dilihat dari
urutan stratigrafi. Tetapi bagian paling selatan menunjukkan persamaan dengan perkembangan
geologi Buton dan Maluku Selatan.
d. Lengan Selatan Sulawesi
Batas utara selatan Sulawesi garis timur laut – barat daya dari Palopo sampai Teluk Mandar.
Tetapi secara geologis bagian barat daya Sulawesi Tengah termasuk pegunungan Quarles lebih
dekat hubungannya dengan lengan selatan. Oleh sebab itu bagian Sulawesi Selatan adalah
daerah yang dibatasi oleh garis tenggara – barat laut dari muara Sungai Karama sampai palopo.
Antara Majene dan Mamuju terdapat pegunungan arah utara – selatan dengan batuan usia
Tersier, dan batuan vulkanis leucit. Pegunungan Quarles berupa massif granit di bagian barat,
sedangkan bagian timur sebagian besar dari batuan vulkanis tersier dengan susunan andesit
yang diterobos oleh intrusi diorite dan granodiorit. Pegunungan Quarles dengan pegunungan
Latimojong dipisahkan oleh Lembah Sadang. Di antara Lembah Sadang dan Teluk Bone,
pegunungan Latimojong membujur arah utara – selatan dengan ketinggian 3.000 meter.
Bagian utara dan selatan lengan selatan Sulawesi dipisahkan oleh depresi dengan arah
barat laut – tenggara. Depresi ini dulunya sebuah selat, karena di sekeliling Danau Tempe
terdapat lempung muda dan karang – karang laut. Pada depresi ini terdapat danau-danau :
Tempe, Sindereng dan Buaya.
Bagian selatan lengan selatan Sulawesi mempunyai ketinggian yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan bagian utara. Di daerah ini ada 2 jalur pegunungan; bagian barat dengan

56
ketinggian 800 meter, yang dipisahkan oleh lembah Sungai Walanae. Kedua jalur pegunungan
tersebut di sebelah selatan Pegunungan Bontorilni bersatu dengan Gunung Bohong Langieng.
Kompleks pegunungan selatan ini sebagai hulu Sungai Walanae yang mengalir ke utara, tertutup
oleh vulkan besar Lompobatang.
Di luar pantai Makasar terdapat dangkalan Spermonde dengan rangkaian karang, dan di
luar pantai Watampone terdapat dangkalan dengan rangkaian karang. Laut dangkal sebelah
barat akhirnya menurun sampai Palung Bone. Lengan selatan Sulawesi secara stratigrafi dapat
dianggap sebagai kelanjutan dari Sulawesi Utara dan bagian barat Sulawesi Tengah (zona Palu).
Tetapi bagian paling selatan menunjukkan persamaan geologi dengan Jawa dan Sumatera.
e. Sulawesi Tengah
Keempat lengan dari Sulawesi bertemu di bagian tengah. Bagian ini dibatasi oleh garis yang
melalui Donggala – Parigi – Lemoro – Teluk Tomini dari lengan utara dan timur; garis dari
Majene – Palopo – Dongi sampai Teluk Tomori membatasi dengan lengan selatan dan tenggara.
Ada 3 zona di Sulawesi Tengah yang mempunyai perkembangan geologi yang berbeda dan
mengarah utara – selatan. Ketiga zona ini adalah : (1) zona timur (Kolonodale), (2) zona tengah
(Poso) dan (3) zona barat (Palu).
Zona Palu merupakan busur dalam yang vulkanis, tetapi sesudah padam. Zona ini bersatu
ke utara dengan Sulawesi Utara dan ke selatan dengan Sulawesi Selatan. Batuan utam zona Palu
berasal dari vulkanis seperti granit, granodiorit, dan batuan sekis kristalin serta endapan
sedimen pantai. Antara zona Palu dan zona Poso dipisahkan oleh sesar dan graben.
Zona Poso merupakan palung antaranya yang umumnya terdiri dari batuan metamorf
dengan endapan konglomerat, batu pasir, dan lempung yang letaknya tidak selaras di atas
batuan metamorf (batuan kristalin). Kemungkinan pada neogen zona Poso ini merupakan selat
antara zona barat dan zona timur. Zona kolonodale dapat dianggap sebagai busur luar dengan
dicirikan oleh batuan ultra basa, batuan sedimen yang terdiri dari gamping dan batu api usia
Mesozoikum.
C. Sistem Orogen Sirkum Australia
1. Irian
Secara fisiografi Irian dapat dibedakan menjadi: (1) kepala burung dan leher yang sempit,
(2) daratan utara Irian dan (3) bagian timur termasuk ekor Irian, bagian timur dan ekor Irian
termasuk Papua Nugini. Uraian fisiografi kepala burung dan leher Irian, serta daratan utama
Irian adalah sebagai berikut
a. Kepala Burung
Di antara Salawati dan Manokwari terdapat rangkaian pegunungan sejajar dengan pantai
utara dari kepala burung dengan arah barat – timur. Rangkaian pegunungan ini terbagi menjadi

57
dua oleh sebuah depresi memanjang yaitu bagian utara dan bagian selatan. Pada depresi ini
terdapat lembah-lembah dan daratan-daratan.
Rangkaian pegunungan bagian utara terdiri dari dari batuan vulkanis Neogen dan Kwarter.
Vulkan pada jalur ini diduga masih aktif, seperti vulkan Umsini yang saat ini pada tingkat
solfatar.
Rangkaian pegunungan bagian selatan terdiri dari sedimen-sedimen Tersier Bawah dan
Pra-Tersier yang terlipat kuat. Jalur pegunungan ini dengan arah barat – timur (Gunung
Togwermeri) kemudian melengkung ke arah selatan sampai pegunungan Lima, dan akhirnya
pada tanah genting antara kepala burung dan Bombarai, pulau-pulau Rumberpon, Mios Waar,
Room, dan pegunungan yang menjorok ke laut, dan pegunungan Mondiwai.
Pada leher Irian jalur pegunungan arahnya berubah menjadi ke tenggara dan ke arah timur.
Di tanah genting leher Irian terdapat sumbu depresi yang ditandai oleh lembah melintang Ombai
dan Danau Yamur.
Antara bagian utara kepala burung dan Semenanjung Bombarai dipisahkan oleh Teluk
Berau. Teluk ini merupakan tipe relief bawah laut dengan sedimentasi yang besar. Hal ini karena
ditandai adanya dangkalan yang berisi banyak pulau, parit-parit, dan bukit-bukit terpisah.
Semenanjung Bombai merupakan pegunungan yang menjorok ke laut pada leher kepala
burung. Di bagian barat laut semenanjung pegunungan bertipe topografi karst dengan
ketinggian sekitar 1.450 m. Jalur pegunungan ini mungkin merupakan sambungan dari zona
Misool. Pulau Pisang, sampai tepi barat Bombarai, lebih lanjut dari tipe Bombarai perluasannya
di sepanjang pulau-pulau kecil Adi sampai Kepulauan Aru.
b. Daratan Utama Irian
Daratan utama Irian ditunjukkan adanya zona-zona yang sejajar dengan arah barat laut –
tenggara. Zona – zona itu dari utara ke selatan adalah :
1) Depresi Memberamo – Bewani, sebuah zona memanjang di bagian utara yang berupa tanah
rendah dengan perbukitan. Sebagian depresi terjalin dengan jalur pantai utara. Depresi
membujur dari pantai timur Teluk Cendrawasih di sepanjanga Danau Rambebai, Santani
sampai ke Pantai Aitape.
2) Rangkaian pembagi utara, rangkaian pegunungan kompleks yang terletak di sebelah selatan
depresi Memberamo – Bewani. Rangkaian pegunungan pembagi utara adalah deretan
pegunungan dan punggungan di antara Teluk Irian Barat (Papua Barat) dan muara Sungai
Sepik Timur. Di barat berupa dome dengan ketinggian 1.340 m, arah timur terdapat
pegunungan Van Rees yang dipotong secara melintang oleh Sungai Memberamo,
pegunungan Gauttier, pegunungan Foyu, pegunungan Karamoor dan pegunungan Bonggo.
Antara rangkaian pegunungan pembagi utara dengan rangkaian yang tidak vulkanis di

58
kepala burung, mungkin ada hubungan fisiografi. Hubungan ini dapat dilihat di sekitar batas
selatan Teluk Cendrawasih tanah genting pada leher Irian.
3) Di sebelah selatan rangkaian pegunungan pembagi utara terdapat suatu depresi memanjang
dengan basin-basin yang lebar dari Sungai Tariku, Sungai Taritatu dan Sungai Sepik. Pada
depresi terdapat meander-meander yang terpencil dari sungai besar dengan ketinggian
sekitar 50 m di atas permukaan air laut. Kadang – kadang daerah tersebut dilanda banjir
pada musim penghujan. Di barat dari depresi yaitu antara Waipoga dan Sungai Tariku
diketemukan karang koral pada ketinggian 500 m. hal ini menunjukkan bahwa
kemungkinan ada hubungan laut antara Teluk Cenderawasih dengan depresi tersebut.
4) Zona sumbu utama Irian, yaitu sistem kompleks dari rangkaian pegunungan tengah. Pada
territorial Indonesia bagian tertinggi rangkaian pegunungan salju, karena puncak yang
tinggi mencapai ketinggian batas salju abadi di daerah tropis yaitu 4.300 m.
Penampang melintang pegunungan salju sekitar 150 km bagian barat pegunungan salju
dimulai dari Charles Louis dan pegunungan Weyland (3.700 m), ke arah timur pegunungan
Nassau (pegunungan Sudirman) dengan puncak Derabaro (4.800 m) dan puncak Jaya
Wijaya (5.030 m), dan akhirnya peguungan Jaya Wijaya dengan puncak Mandala (4.700 m).
puncak tertinggi dan terjal dari rangkaian pegunungan salju terdapat pada sisi selatan.
Sedangkan ke arah utara tingginya sedikit demi sedikit berkurang. Puncak tertinggi adalah
pegunungan Doorman (4.050 m) dan Gunung Angemuk (3.950 m). puncak terjal pad sisi
selatan, karena pegunungan tersebut terpecah-pecah, sehingga membentuk topografi yang
curam.
5) Zona sebelah selatan rangkaian pegunungan Tengah berupa depresi Digul – Fly. Dataran
rendah ini mempunyai lebar antara 200 – 300 km, dan menunjukkan rawa – rawa yang luas,
danau – danau, kanal-kanal dan sebagainya. Rawa utama membentang dari hilir Sungai
Eilanden (Pulau) sampai Digul.
6) Zona Merauke, merupakan sisi benua Australia, dibentuk oleh pegunungan rendah dengan
ketinggian puluhan meter. Jalur ini dimulai dari Kepulauan Aru, melintasi sebuah
pengangkatan yang tidak jelas di dasar dangkalan Sahul (dalamnya -50 m), Pulau Kolepom
(Yos Sudarso), punggungan Merauke sepanjang pantai selatan, dan berakhir pada
punggungan di dekat Mabaduan dan Pulau Daru. Barangkali jalur ini dapat diikuti ke arah
selatan melintasi Selat Torres sampai Semenanjung Torres Benua Australia.
D. Daerah Sahul
Daerah Sahul meliputi dangkalan Sahul dan Kepulauan Aru. Dangkalan sahul yang
dimaksud adalah dangkalan yang tertutup oleh Laut Arafuru. Laut dangkal inimerupakan
dataran bawah laut Australia. Kedalaman kurang dari 20 m di sekitar Kepulauan Aru, tetapi di

59
sebelah barat (30 km dari Kepulauan Aru) dalamnya sampai 1.000 m, bahkan masuk ke basin
Aru dalamnya 3.650 m. di dangkalan Sahul terdapat pulau-pulau yang lain yang lebih bersifat
Australis.
Kepulauan Aru terdiri dari 4 buah pulau besar dan pulau – pulau kecil dengan jumlah
seluruhnya sekitar 85 buah, dengan luas seluruhnya kira-kira 8.600 km 2. Panjang kelompok
pulau – pulau itu (arah timur laut – barat daya) adalah 183 km dan lebar 92 km. Tiga pulau
besar itu adalah Trangan, Maikoor, dan Pulau Woham.
Kepulauan Aru mempunyai permukaan datar dengan ketinggian maksimum 240 meter.
Letak lapisan-lapisannya mendatar, maka dapat dianggap sebagai suatu plato rendah dengan
agak berombak. Di antara pulau-pulau yang besar dipisahkan oleh selat yang sempit dan dalam
yang disebut “sungi”. Menurut Verstappen Sungi ini terjadi akibat dari peristiwa pelarutan di
sepanjang rekahan. Rekahan ini terbentuk ketika terjadinya pengangkatan Kepulauan Aru.
Terusan – terusan ini dalamnya sekitar 70 m di Terusan Wanumbai dan 100 m di Terusan
Workai. Jadi terusan (selat) ini lebih dalam daripada laut sekitarnya.
Pulau – pulau besar membentuk pulau induk atau tanah besar. Di sebelah timurnya
terdapat sebuah igir yang terdiri dari pulau-pulau kecil. Bagian melengkung dari Kepulauan Aru
adalah sebagian dari igir Merauke yang mengarah ke timur sebagai igir bawah laut sampai ujung
selatan Irian, sedangkan bagian yang melengkung dari Kepulauan Aru menurut Brouwer karena
terpengaruh orogeny Banda (Verstappen, 1960:1).
Susunan batuan Kepulauan Aru, menurut Verbeek terdiri dari beting-beting karang yang
terangkat sesuai dengan beting karang yang terdapat di bagian barat, di mana peristiwa
pengangkatan terjadi. Pendapat lain menyatakan bahwa pulau itu terdiri dari batu napal Neogen
Kwarter dan batu gamping. Pulau-pulau itu dianggap sebagai pelenturan ke atas geantiklinal igir
Merauke.

60
BAB IV
KAPITA SELEKTA GEOLOGI SUMATERA

A. Fisiografi dan Morfologi


Pulau Sumatra memiliki orientasi baratlaut yang terbentang pada ekstensi dari Lempeng
Benua Eurasia. Pulau Sumatra memiliki luas area sekitar 435.000 km 2, dihitung dari 1650 km
dari Kota Radja Banda Aceh pada bagian utara menuju Tanjungkarang pada bagian selatan.
Lebarnya mencapai 100-200 km pada bagian utara dan sekitar 350 km pada bagian selatan serta
terdapat beberapa lekukan sepanjang garis pantai. Trendline utama dari pulau ini cukup
sederhana. Bagian belakangnya dibentuk oleh Pegunungan Barisan yang berada sepanjang
bagian barat. Daerah ini membagi pantai barat dan timur. Lereng yang menuju Samudera Hindia
biasanya curam yang menyebabkan sabuk bagian barat biasanya berupa pegunungan dengan
pengecualian 2 embayment pada Sumatra Utara yang memiliki lebar 20 km. Sabuk bagian timur
pada pulau ini ditutupi oleh perbukitan besar dari Formasi Tersier dan dataran rendah aluvial.
Pada diamond point di daerah Aceh, sabuk rendah bagian timur memiliki lebar sekitar 30 km,
lebarnya bertambah hingga 150-200 km pada Sumatra Tengah dan Selatan.
Pulau Sumatera terletak di sebelah barat daya Kontinen Paparan Sunda dan merupakan
jalur konvergensi antara Lempeng Hindia – Australia yang menyusup di sebelah barat Lempeng
Sundaland/Lempeng Eurasia. Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi sepanjang Palung
Sunda dan pergerakan lateral menganan dari sistem Sesar Sumatra.
Van Bemmelen membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu:
1. Zona Jajaran Barisan
2. Zona Semangko
3. Zona Pegunungan Tiga Puluh

61
4. Zona Kepulauan Busur Luar
5. Zona Paparan Sunda
6. Zona Dataran Rendah dan Berbukit

62
Gambar 2.1 Zona Fisiografi Pulau Sumatera (Van Bemmelen, 1949).

Berdasarkan posisi geografisnya, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Fisiografi


Dataran Rendah dan Berbukit (Gambar 2.1). Zona ini dicirikan oleh morfologi perbukitan
homoklin dengan elevasi 40 – 80 m di atas permukaan laut dan tersebar luas di pantai timur
Pulau Sumatera.
Daerah penelitian termasuk ke dalam Cekungan Sumatera Selatan. Cekungan Sumatera
Selatan merupakan cekungan belakang busur berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat
adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan
Lempeng Samudra Hinida. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km 2 yang
secara geografis terletak di bagian selatan Pulau Sumatera, menempati posisi dalam arah
relatif baratlaut – tenggara (Gambar 2.2). Batas-batas cekungan ini adalah Paparan Sunda di
sebelah timur, Bukit Barisan di sebelah barat, Tinggian Lampung di sebelah selatan, dan
Pegunungan Tiga Puluh di sebelah utara (Koesoemadinata, dkk., 1976)

63
Gambar 2.2 Posisi Geografis Cekungan Sumatera Selatan
(Koesoemadinata dkk., 1976)

B. Stratigrafi Regional
Secara umum, sedimentasi di Cekungan Sumatera Selatan merupakan suatu daur lengkap
yang terdiri dari seri transgresi dan regresi (Jackson, 1961 op. cit. Koesoemadinata, dkk.,
1976). Penjelasan dari fase-fase tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fase Transgresi, ditandai dengan pengendapan kelompok Telisa secara tidak selaras di
atas batuan dasar berumur Pra Tersier. Selama pengendapan ynag terjadi pada fase
transgresi, penurunan dasar cekungan lebih cepat daripada proses sedimentasi,
sehingga terbentuk urutan fasies non marin, transisi, laut dangkal, dan laut dalam
(Pulunggono, 1969; De Coster, 1974; Koesoemadinata, dkk., 1976).
2. Fase Regresi, ditandai dengan pengendapan kelompok Palembang. Pada fase ini,
pengendapan lebih cepat daripada penurunan dasar cekungan, sehingga terbentuk
urutan yang berkebalikan dengan fase transgresi, yaitu fasies laut dangkal, transisi, dan
non marin (Pulunggono, 1969; De Coster, 1974; Koesoemadinata, dkk., 1976).
Urutan stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dari tua ke muda adalah Batuan Dasar,
Formasi Lahat, Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air
64
Benakat, Formasi Muara Enim, Formasi Kasai, dan Endapan Kuarter (Bishop, 2000)
(Gambar 2.3).
C. Batuan Dasar

Batuan dasar yang tersingkap di Pegunungan Gumai terdiri dari dua unit batuan yang
hubungan satu dengan yang lainnya tidak jelas. Kedua unit tersebut adalah Formasi Saling
dan Formasi Lingsing. Formasi Saling terdiri dari breksi vulkanik berlapis buruk, tuf, dan lava
basaltik-andesitik, mempunyai sisipan batugamping dengan fosil berumur Mesozoikum
(Pulunggono, 1976). Formasi Lingsing terdiri dari serpih dan sabak abu-abu hitam dengan
sisipan batuan andesitik-basaltik, rijang, dan batugamping Orbitulina berumur Kapur Awal.
Kedua formasi tersebut diterobos oleh intrusi granodiorit berumur Kapur Akhir atau Tersier
Awal (Pulunggono, 1976).
2. Formasi Lahat
Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar, merupakan lapisan
tebal (mencapai 3350 m) yang terdiri dari breksi vulkanik andesitik, tuf, endapan lahar, dan
aliran lava, di bagian tengah terdapat batupasir kuarsa. Formasi ini terdiri dari 3 anggota,
yaitu (Pulunggono, 1976):
 Anggota Tuf Kikim Bawah, terdiri dari tuf andesitik, breksi, dan lapisan lava. Ketebalan
anggota ini bervariasi, antara 0 – 800 m.
 Anggota Batupasir Kuarsa, diendapkan secara selaras diatas anggota pertama. Terdiri
dari konglomerat dan batupasir berstruktur crossbedding. Butiran didominasi oleh
kuarsa.
 Anggota Tuf Kikim Atas, diendapkan secara selaras dan bergradasi di atas Anggota
Batupasir Kuarsa, terdiri dari tuf dan batulempung tufan berselingan dengan endapan
mirip lahar.Formasi Lahat berumur Paleosen hingga Oligosen Awal (Pulunggono, 1976).

65
Gambar 2.3 Kolom Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan, menunjukkan
Cekungan Sumatera Selatan terdiri dari fase transgresi dan fase regresi dan
dipengaruhi oleh 3 orogenesa utama (Bishop, 2000).
3. Formasi Talang Akar
Formasi Talang Akar diendapkan secara selaras di atas Formasi Lahat (Pulunggono,
1976), berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal. Bagian bawah formasi ini terdiri dari
batupasir kasar, serpih, batulempung, batulanau, dan sisipan batubara. Bagian atasnya berupa
perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan formasi ini mencapai 400 – 850 meter.
Formasi Talang Akar diendapkan pada lingkungan laut dangkal hingga fluvial (Pulunggono,
1976).
Sumber sedimen Formasi Talang Akar bagian bawah pada umur Oligosen Akhir ini
berasal dari dua daerah yaitu sebelah timur (Sundaland Mass) dan sebelah barat (deretan
Pegunungan Barisan dan areal tinggian dekat Bukit Barisan).
Sedimen Formasi Talang Akar ini umumnya berubah dari lingkungan fluvial pada bagian
bawah, berangsur ke arah atas menjadi lingkungan deltaik dan laut dangkal. Sedimen ini
terdiri dari butiran yang berukuran halus sampai kasar, kadang-kadang dijumpai
66
konglomerat, pemilahan bagus relatif bersih, berlapis tebal dan memiliki porositas baik.
Formasi Talang Akar bagian bawah merupakan reservoir dengan kualitas paling baik di
Cekungan Sumatra Selatan
Dengan pengisian yang terus berlanjut pada topografi yang umumnya mengalami
penurunan, lingkungan pengendapan secara perlahan berangsur menjadi lingkungan laut,
kemudian diendapkan Formasi Talang Akar bagian atas. Formasi ini diendapkan pada
lingkungan deltaik sampai lingkungan laut dalam yang dicirikan oleh litologi batupasir dan
serpih serta berselingan dengan batubara. Batupasir umumnya berukuran sangat halus
sampai kasar, argillaceous hingga calcareous dengan porositas dan permeabilitas yang buruk
hingga baik.
Pengendapan Formasi Talang Akar sangat dipengaruhi oleh relief topografi, memiliki
ketebalan hingga 300 kaki. Pengendapan Formasi Talang Akar berakhir pada masa transgresi
maksimum dengan munculnya endapan laut pada cekungan selama Miosen Awal
(Pulunggono, 1976).
1. Formasi Baturaja

Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar dengan ketebalan
antara 200 – 250 meter. Litologi terdiri dari batugamping, batugamping pasiran,
batugamping serpihan, serpih gampingan dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral-neritik dan berumur Miosen Awal
(Pulunggono, 1976).
2. Formasi Gumai

Formasi Gumai menandai terjadinya transgresi maksimum di Cekungan Sumatera


Selatan, diendapkan secara selaras di atas Formasi Baturaja pada lingkungan laut dalam.
Ketebalan formasi ini secara umum tidak kurang dari 1500 meter, terdiri dari batupasir
gampingan dan sisipan batugamping, serpih gampingan kaya foraminifera, napal, dan
batulanau pada bagian bawahnya. Di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan
serpih. Formasi Gumai berumur Miosen Awal – Miosen Tengah (Pulunggono, 1976).
3. Formasi Air Benakat
Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai dan karakter
litologinya mencirikan awal terjadinya fase regresi di Cekungan Sumatera Selatan. Ketebalan
Formasi Air Benakat bervariasi antara 100 – 1300 meter dan berumur Miosen Tengah –
Miosen Akhir, lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (Pulunggono, 1976).
Formasi ini terdiri atas perselingan batulempung dengan batupasir dan sisipan
batulanau. Batulempung berwarna abu-abu sampai coklat dan abu-abu kebiruan, berlapis
baik dengan tebal lapisan berkisar antara 15 dan 40 cm, umumnya gampingan dan karbonan.

67
Batupasir berwarna abu-abu kehijauan sampai hijau tua, kompak, berlapis baik dengan tebal
lapisan 10-30 cm, berbutir halus sampai sedang, mengandung glaukonit dan sisa tumbuhan
terutama pada bidang perlapisan. Konglomerat terdapat pada puncak formasi secara lokal,
berwarna abu-abu tua, disusun oleh komponen berukuran 2 – 25 mm. Komponennya terdiri
dari batupasir, batuan beku dan cangkang moluska. Tebal lapisan konglomerat sampai 1,5 m.
Formasi diendapkan di lingkungan laut dangkal dan diendapkan selaras di atas Formasi
Gumai (Pulunggono, 1976).
4. Formasi Muara Enim

Formasi Muara Enim diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada
lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non-marin. Bagian top dan bottom
dicirikan oleh munculnya lapisan batubara yang menerus secara lateral. Litologi terdiri dari
batupasir, batulanau, batulempung berfosil berwarna kuning kelabu dengan sisipan batubara
mengandung oksida besi berupa kongkresi dan lapisan tipis. Batupasir pada formasi ini dapat
mengandung glaukonit dan debris volkanik (Pulunggono, 1976).
Batubara di formasi ini hampir seluruhnya berupa lignit low grade. Hanya pada bagian
tertentu saja (di dekat intrusi andesit muda) lignit tersebut berubah menjadi batubara high
grade. Bagian atas lapisan batubara dapat tersilisifikasi, terutama yang mengalami kontak
dengan lapisan tuf. Di bagian bawah lapisan batubara secara insitu terdapat sisa-sisa akar,
sehingga diduga batubara ini merupakan batubara autochtonous (Pulunggono, 1976).
Ketebalan Formasi Muara Enim mencapai 500 – 1000 meter. Formasi Muara Enim berumur
Miosen Akhir – Pliosen Awal (Pulunggono, 1976).

5. Formasi Kasai

Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Muara Enim, berumur
Pliosen Akhir – Plistosen. Formasi Kasai memiliki ketebalan 850 – 1200 meter, terdiri dari
batupasir tufan dan tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri dari tuf pumice kaya
kuarsa, batupasir, dan konglomerat, banyak dijumpai sisa tumbuhan dan lapisan tipis lignit
dan kayu tersilisifikasi (Pulunggono, 1976).
Litologi Formasi Kasai merupakan hasil erosi dan formasi yang lebih tua. Sebagian besar
merupakan endapan synorogenic, terbentuk terutama di bagian sinklin. Formasi Kasai
diendapkan pada lingkungan fluvial dan alluvial fan (Pulunggono, 1976).
6. Endapan Kuarter

Litologi termuda yang tidak terpengaruh oleh orogenesa Plio – Plistosen digolongkan
dalam Sedimen Kuarter. Golongan ini diendapkan secara tidak selaras di atas formasi yang
lebih tua, dicirikan oleh kehadiran batuan volkanik andesitik – basaltik berwarna gelap
(Pulunggono, 1976).

68
D. Struktur Geologi Regional

Struktur geologi Cekungan Sumatera Selatan tidak dapat dipisahkan dari tatanan
tektonik regional Pulau Sumatera dengan unsur utama subduksi oblique Lempeng Indo-
Australia terhadap Kontinen Sunda dengan kecepatan 6 - 7 cm/tahun (Gambar 2.4).
Secara umum, Sumatera dapat dibagi menjadi 5 bagian (Gambar 2.5), yaitu:

 Busur Luar Sunda, berupa busur non-volkanik yang terletak di luar pantai barat Pulau
Sumatera, yaitu sepanjang Pulau Singkil, Nias, Kepulauan Mentawai, dan enggano,
menerus ke selatan Pulau Jawa. Busur ini memisahkan cekungan depan busur dengan
palung tempat menunjamnya Lempeng Indo-Australia ke Kontinen Sunda.
 Cekungan Depan Busur, terletak di anatar busur luar non-volkanik dan busur volkanik
Sumatera.
 Cekungan Belakang Busur, termasuk Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan
Sumatera Tengah. Cekungan-cekungan ini terbentuk oleh depresi batuan dasar di kaki
Pegunungan Barisan.
 Jalur Pegunungan Barisan, dan memanjang arah baratlaut – tenggara, sejajar dengan
Pulau Sumatera.
 Cekungan intermontane, atau intra-arc basin.

Cekungan Sumatera Selatan mulai terbentuk pada Pra-Tersier Akhir melalui proses
ekstensi berarah barat – timur (Daly et.al., 1987 op. cit. Darman dan Sidi, 2000). Aktivitas
orogenesa selanjutnya yang berlangsung hingga Eosen membentuk 4 sub-cekungan dalam
cekungan ini, berupa konfigurasi half graben, horst, dan fault block.

Gambar 2.4 Penampang Skematik Pulau Sumatera Bagian Selatan


(Eubank dan Makki,1981 op. cit. Darman dan Sidi,2000)

69
Pola struktur yang terdapat di Cekungan Sumatera Selatan merupakan hasil dari 3
orogonesa utama (De Coster, 1974). Orogonesa pertama terjadi pada Mesozoikum Tengah,
mengakibatkan batuan berumur Paleozoikum dan Mesozoikum Awal mengalami perlipatan,
pensesaran, metamorfisme, dan penerobosan oleh tubuh-tubuh granit. Orogenesa pertama ini
menghasilkan pola struktur berarah barat laut tenggara, sejajar dengan batas penyebaran
batuan Pra- Tersier.
Orogenesa kedua terjadi pada Kapur Akhir – Eosen, menghasilkan pola struktur berarah
utara – selatan yang berkaitan dengan transform fault. Pola struktur yang dihasilkan oleh
orogenesa pertama dan kedua ini membentuk konfigurasi batuan dasar yang berupa half
graben, horst, dan fault block (; De Coster, 1974; Pulunggono et. al., 1992 op. cit. Darman dan
Sidi, 2000). Orogenesa ketiga terjadi pada Plio – Plistosen, menghasilkan pola struktur
berarah baratlaut – tenggara dan depresi ke arah timur laut (Gambar 2.6) (De Coster, 1974).

Gambar 2.5 Tatanan Tektonik Regional Pulau Sumatera.

Pola struktur Plio – Pleistosen ini dibentuk oleh:


o Semangko Wrench Fault yang merupakan hasil dari subduksi oblique Lempeng Indo-
Australia terhadap Kontinen Sunda yang menimbulkan gerak rotasi right lateral.
o Perlipatan-perlipatan dengan arah baratlaut – tenggara sebagai akibat dari
70
Semangko Wrenching.
o Patahan yang berasosiasi dengan perlipatan dan juga peremajaan sesar-sesar Pra-
Tersier.

Gambar 2.6 Kenampakan Struktur Gambar 2.7 Pengelompokkan


antiklinorium
Plio - Pleistosen di Cekungan Di Cekungan Sumatera Selatan
Sumatera Selatan (Bishop, 2000) (Shell, 1978 op. cit. Zuhri, 1990)

Shell (1978, op. cit. Zuhri, 1990) mengelompokkan lipatan-lipatan sebagai akibat
orogenesa Plio – Pleistosen di Cekungan Sumatera Selatan menjadi 3 buah antiklinorium
(Gambar 2.7), yaitu Antiklinorium Muara Enim, Antiklinorium Pendopo, dan Antiklinorium
Palembang.

71
BAB V
STRUKTUR GEOLOGI DAN TOPOGRAFI
PULAU JAWA BAGIAN BARAT

A. GEOLOGI PULAU JAWA SECARA UMUM


Secara tektonik, pulau Jawa merupakan pulau yang dekat dengan zona subduksi dimana
lempeng Indo-Australia menujam ke bawah Lempeng Eurasia.Penujaman terjadi mulai dari
selatan busur Sunda berupa palung yang dikenal dengan palung Jawa, sekitar 200 km lepas
pantai Jawa dengan kecepatan gerak lempeng 7 cm pertahun.

Gambar 5.1. Lokasi sesar yang ada di Jawa dan


historis gempa yang pernah terjadi.

Dari gambar 1 di atas, nampak 5 sesar utama yang terletak di Jawa, antara lain :
1. Sesar Lembang
2. Sesar Cimandiri
3. Sesar Baribis
4. Sesar Opak
5. Sesar Porong
Dalam study kasus yang lain, bila kita mengacu pada hasil analisa struktur Pulau Jawa
Madura oleh M. Untung dan Hasegawa (1975), berdasar data gaya berat, tampak bahwa di
daerah Jawa Barat, dijumpai system sistem patahan (sesar) anjak” yang berjejer sangat rapat,
serta seringkali berimbikasi. Arah umum sesar anjak dan lipatan, adalah barat laut tenggara.
Memanjang dari Banyumas,Kadipaten, Subang, Purwakarta terus ke arah barat.. Sedangkan di
daerah Jawa Tengah sampai Jawa Timur, arah umum struktur patahan dan lipatan, adalah
utara-timur laut.Memanjang dariKebumen, Magelang, Ungaran, Kudus. Bukti lapangan
sekarang adalah diketemukannya batuan mélange, yaitu batuan endapan Palung hasil

72
tumbukan lempeng benua-samudera, di daerah Karangsambung, Kebumen utara dan di
daerah Bayat, Klaten selatan. Di daerah Bantul diperkirakan terdapat graben bahkan di
daerah sebelah timur Malang diperkirakan adanya graben relatif besar.
Mengacu pada bukti lapangan di atas, maka dapat disimpulkan sementara bahwa zona
tunjaman/tubrukan lempeng samudera-samudera jaman pra-Kapur, membentang mulai dari
Kebumen utara, Klatenselatan, menerus ke arah timur laut arah Rembang. Zona tersebut
diperkirakan berada pada kedalaman sekitar 17 km di bawah muka tanah dan melibatkan
batuan dasar (basement rock), (lihat gambar 3: Paleogeografi pulau Jawa, M. Untung, 1982).
Hal ini ternyata sesuai dengan hasil penelitian Koesmadinata dan Pulunggono(1975), yang
menyebutkan bahwa kerangka tektonik cekungan sediment tersier sepenuhnya dikontrol oleh
“basement faulting”, dan tidak selalu “basement faulting” tersebut tampak dipermukaan, hanya
arah-arah perlipatan yang mencerminkan arah “basement faulting” tersebut (lihat gambar 2).

Gambar 5.2. Arah lipatan atau basemant fault di daerah Jawa

1
Berdasarkan konsep ini, maka dapat disimpulkan bahwa di daerah Jawa Barat patahan
Baribis sesuai letaknya dengan Cirebon-Banyumas Through, dimana secara genetic
merupakan patahan sangat dalam dan mengikutsertakan batuan dasar, bagian barat daya
73
relative naik terhadap bagian timur lautnya. Diperkirakan patahan ini menerus ke pulau
Sumatera, nantinya berkembang menjadi patahan Semangko yang membelah pula Sumatera
menjadi bagian barat dan timur.
1. Kondisi Tektonik Setting Secara Umum
a. Seismisitas
1) Potensi Gempa Bumi Di Jawa
Potensi gempabumi dan tsunami untuk wilayah Pulau Jawa belum banyak diketahui.
Berdasarkan pemetaan regional di daratan Jawa terdapat banyak sesar-sesar aktif yang
berpotensi menghasilkan gempa merusak[Natawidjaja, 2006]. Sesar aktif yang sudah cukup
dikenal adalah Sesar Cimandiri – Lembang dan Sesar Baribis, meskipun demikian tidak
banyak mendapat perhatian serius dan belum dipelajari dan dipetakan secara detil seperti
halnya Sesar Sumatra. Sesar aktif lainnya, diantaranya adalah Sesar naik di wilayah Semarang
– Brebes dan Sesar di sebelah Timur Gunung Muria dimana akan dibangun reaktor nuklir
pembangkit listrik. Kemudian, semburan lumpur di Porong yang banyak memakan korban
lokasinya terjadi di ujung timur jalur lipatan Kendeng yang aktif pada zaman Kuarter dan
mungkin masih aktif sampai sekarang.
Gempa Bantul pada bulan Mei 2006 (Mw 6.2) yang memakan korban ~5000 jiwa terjadi
di sesar aktif Opak [Natawidjaja, 2007]. Sebelumnya, pernah terjadi gempa di lokasi sama
pada tahun 1867 yang memkan korban lebih dari 500 jiwa dan memporakporanda-kan
wilayah Jogyakarta pada waktu itu. Catatan sejarah menunjukan bahwa penguasa dan
masyaakat pada waktu itu tidak memahami bahwa bencana serupa pasti akan terjadi lagi di
masa datang karena proses gempa bumi adalah siklus alam. Sekarang kita harus bertindak
agar bencana yang terjadi karena ketidak tahuan dan kelalaian manusia ini tidak terjadi lagi
di masa datang. Gempa dan tsunami Pangandaran yang tejadi pada bulan Juli 2006
(Mw7.7),hanya dua bulan setelah gempa di Bantul, sumbernya adalah pelepasan energi
regangan pada megathrust di zona subduksi Jawa (Gambar.4). Gempa yang disertai tsunami
serupa juga pernah terjadi di wilayah Pancer, Jawa Timur tahun 1994 (Mw7.6). Secara umum,
dapat dikatakan bahwa segmen zona subduksi Jawa yang belum melepaskan akumulasi
regangan tektonik merupakan sumber gempa dan tsunami yang potensial di masa datang,
yakni merupakan zona seismic gap dan mungkin zona subduksi yang terkunci (locked zone).
Diperlukan studi geologi, GPS, dan seismik lebih lajut untuk mengetahui potensi gempa dan
tsunami do Selatan Jawa ini secara lebih akurat.

74
Gambar 5.3. Paleografi Pulau Jawa (Untung, 1982)

2) Sejarah Kegempaan Di Sekitar Pantai Pulau Jawa


Bila melihat sejarah, menurut Dani Hilman (Geotek LIPI), zona subduksi Jawa memiliki
potensi magnitude kegempaan lebih rendah dibandingkan dengan zona subduksi Sumatera
yang rata-rata di atas 8 skala Richter (SR). Sedangkan waktu terjadinya gempa pun di Jawa
lebih kecil dibandingkan Sumatera.”Selain itu lempeng Jawa pun sudah tua, berusia di atas
150 juta tahun. Gerakan tektoniknya pun berat sehingga tidak terlalu menekan ke arah Pulau
Jawa.

75
Pada 20 Oktober 1859 terjadi gempa di Pacitan dengan perkiraan di atas 7 SR. Sedangkan 10
Juni 1867 terjadi gempa di Yogyakarta yang menewaskan 500 orang lebih. Pusat gempa
diperkirakan sama dengan gempa yang terjadi di Yogyakarta, Mei 2006 lalu, namun
magnitude pada 1867 lebih besar dengan perkiraan 8 SR dibandingkan pada 2006 yang hanya
6,3 SR. Sementara itu pada 11 September 1921 terjadi gempa yang pusatnya berdekatan
dengan pusat gempa di Pangandaran pada bulan juli 2006.

Menurut Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Dr Heri Harjono, sejarah kegempaan
yang menimbulkan tsunami di Selatan Jawa tidak “terekam” secara alami, seperti halnya di
pantai barat Sumatera. Periode naik dan turunnya permukaan pesisir pantai barat Sumatera
dalam periode ratusan tahun terekam pada terumbu karang yang hidup disana. Ketika gempa
akibat sesar naik maka pesisir pantai akan naik, yang menyebabkan terumbu karang yang
naik ke permukaan akan mati. Namun ketika pesisir itu tenggelam karena proses geologis
turun, maka terumbu karang tersebut akan tumbuh kembali. Dengan mengetahui sejarah
terjadinya gempa besar yang disertai tsunami berdasarkan catatan itu, penduduk paling tidak
dapat mengantisipasi periode pengulangan, dan berwaspada pada bahaya itu.

Sedangkan di pesisir selatan Jawa tidak ditemukan koloni terumbu karang. Di sekitar
daerah ini memiliki topografi yang berbeda, tidak ditemukan jajaran kepulauan dan perairan
yang dangkal diantaranya. Padahal perairan dangkal memungkinkan tumbuhnya terumbu
karang. Sejarah kegempaan dan tsunami di Jawa pernah dilaporkan Fisher, peneliti dari
Belanda pada tahun 1920an. Laporannya antara lain menyebutkan daerah Pacitan pernah
dilanda tsunami.
Dengan melihat fakta informasi yang minim mengenai kegempaan dan tsunami yang
terjadi disekitar pantai selatan Jawa, maka wajar saja apabila kita tidak dapat menduga
dengan baik potensi gempa yang diiringi tsunami di daerah ini, dan bahkan muncul
kontradiksi yang menyatakan pantai selatan Jawa aman dari tsunami, atau adanya pernyataan
yang mengungkapkan kecilnya peluang untuk terjadi gempa yang diiringi tsunami di daerah
ini.
Untuk mendapatkan jawaban yang lebih pasti, maka sudah seharusnya penelitian yang
lebih intensif dilakukan di sekitar pantai selatan Jawa, untuk melihat karakteristik potensi
kegempaan dan tsunami di daerah ini.  Salah satu kajian yang menarik setelah terjadinya
gempa pangandaran 17 juli 2006 yaitu dengan melakukan penelitian mekanisme gempa yang
terjadi di tahun 2006 tersebut dengan menerapkan berbagai metode dan teknologi yang ada.
b. Sejarah Tektonik Pulau Jawa
Pulau Jawa belum terbentuk, tidak pernah menemukan batuan yg berumur lebih tua dari
50juta tahun lalu, artinya Pulau Jawa pada waktu itu belum ada
76
Pulau Sulawesi masih hanya lengan bawahnya yang
terlihat di peta ini.Berati Pulau Sulawesi pada waktu itu
masih berbentuk huruf “i” belum membentuk huruf “k”
seperti sekarang ini. Indonesia 70 juta tahun yang
lalu.garis-garis itu adalah patahan-patahan atau sesar-
sesar yg terbentuk pada kala itu.Pulau Sumatra di
cacah-cacah patahan yang berarah utara selatan.Jadi,
menurut penelitian ini patahan di Pulau Sumatra
terbentuk lebih tua dari Jawa.

Menurut para ahli bumi, batuan dasar (atau dikenal


dengan nama Basement) di Pulau Jawa terbentuk antara
tahun 70-35 juta tahun lalu. Batuan ini tersusun oleh
batuan malihan (matamorfik), serta batuan beku.
 Jawa Barat usia batuan dasarnya lebih tua dari
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mengapa ? Karena
basement (batuan dasar) di
Jawa Timur tebentuk pada
tahap-tahap akhir setelah
ditubruk lempeng Australia dan
membentuk basement di Jawa

Pada waktu ini, Jawa Tengah dan Jawa Timur berupa lautan. Selatan Pulau Jawa banyak
dijumpai gunung gamping maka ahli kebumian
ini tahu bahwa pegunungan selatan Jawa,
termasuk Batugamping di Wonosari itu,
dahulunya adalah lautan.

Pada 5 juta tahun yang lalu, Jawa dan Bali sudah terbentuk
seperti keadaan saat ini.

2. Vulkanologi

Gambar 5.6. Jalur Gunung Api di Indonesia


77
Berdasarkan peta jalur vulkanik Indonesia di atas, terlihat bahwa Pulau Jawa
mendominasi keberadaan gunung aktif di Indonesia. Dari puluhan gunung api yang ada di
Jawa dan Bali, gunung-gunung yang masih tetap menunjukkan aktivitasnya sampai sekarang
antara lain :
1. Gunung Agung adalah gunung tertinggi di pulau Bali dengan ketinggian 3.142 mdpl.
Gunung ini terletak di kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem - Bali.

Ketinggian 3.031 meter (9.944 kaki) Garis Lintang 8° 342′ LS Garis Bujur 115° 508′ BT
LokasiBali, IndonesiaJenisstratovolcanoLetusan terakhir1964

2. Gunung Argapura mempunyai ketinggian setinggi 3.088 meter. Gunung ini sering juga
disebut dengan Argopuro. Gunung Argapura merupakan bekas gunung berapi yang
sudah tidak aktif lagi. Gunung ini termasuk bagian dari pegunungan Iyang yang terletak
di kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Berada pada posisi di antara Gunung Semeru dan
Gunung Raung. Ada beberapa puncak yang dimiliki oleh gunung ini. Puncak yang
terkenal bernama Puncak Rengganis/gunung Welirang(topografichen Dienst 1928).
Sedangkan puncak tertingginya berada pada jarak ± 200 m di arah selatan puncak
Rengganis. Puncak tertinggi ini bernama Argapoera dan ditandai dengan sebuah tugu
ketinggian (triangulasi).

3. Gunung Arjuno (atau Gunung Arjuna, dalam nama kuna) terletak di Malang, Jawa Timur,
bertipe Strato dengan ketinggian 3.339 m dpl. Gunung Arjuno bersebelahan dengan
Gunung Welirang. Puncak Gunung Arjuno terletak pada satu punggungan yang sama
dengan puncak gunung Welirang. Ketinggian 3.339 m (10.955 ft) (Arjuno) 3156 m
(Welirang) Ketinggian topografi 2.812 m (9.226 ft)JenisstratovolcanoLetusan terakhir
1952
4. Gunung Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut itu berada
dalam empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan
Kabupaten Malang. Bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai
dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi.
5. Gunung Kelud (sering disalahtuliskan menjadi Kelut yang berarti "sapu" dalam bahasa
Jawa; dalam bahasa Belanda disebut Klut, Cloot, Kloet, atau Kloete) adalah sebuah gunung
berapi di Provinsi Jawa Timur, Indonesia, yang masih aktif. Gunung ini berada di
perbatasan antara Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar, kira-kira 27 km sebelah timur
pusat Kota Kediri. Ketinggian 1,731 m (5.679 kaki) Lokasi Jawa Timur, Indonesia.
Koordinat7°55′48″S112°18′29″E / 7.93°LS

78
112.308°BTKoordinatStratovolcanoBusur/sabuk vulkanik Cincin Api PasifikLetusan
terakhir 2007.
B. JAWA BAGIAN BARAT
1. Sejarah Sedimentasi Jawa Barat
Menurut Van Bemmelen (1970) secara garis besar daerah Jawa Barat dan sekitarnya
menurut struktur geologinya dapat dibagi atas empat bagian, yaitu:
a. Coastal Plain of Batavia
Merupakan dataran rendah Jakarta yang mempunyai lebar sekitar 40 km dan memanjang
dari Serang dan Rangkasbitung di banten sampai ke Cirebon. Sebagian besar terdiri dari
endapan aluvial dan sungai dan lahar gunung api pedalaman. Kadang – kadang nampak
marine sediment tertier (endapan laut pada masa Tersier).

b. Bogor Zone
Terletak di bagian selatan Coastal Plain of Batavia yang terdiri dari jalur bukit dan
pegunungan yang lebarnya sekitar 40 km dan memanjang dari Jasinga dekat perbatasan
Banten terus ke Sungai Pemali dan Bumiayu (Jawa Tengah). Daerah ini merupakan
anticlinorium dari pelipatan lapisan neogen dengan banyak intrusi vulkanik. Di sebelah
timur banyak gunung api muda.

c. Bandung Zone
Merupakan jalur longitudinal dari depresi dengan lebar 20 – 40 km dan memanjang dari
Pelabuhan ratu melalui lembah cimandiri (Sukabumi), Cianjur, Bandung, Garut, Lembah
Citanduy (Tasikmalaya) dan berakhir di Sesar Arakan. Menurut bentuknya merupakan
bagian atas dari Geantiklinal Jawa Api terjadi patahan pada masa akhir Tersier. Sebagian
besar dari Bandung Zone terdiri dari endapan vulkanik muda dan endapan aluvial serta
diselingi bukit batuan Tersier.

d. Daerah pegunungan
Merupakan pegunungan di sebelah selatan Jawa Barat yang memanjang dari Pelabuhan
Ratu sampai Nusakambangan di sebelah selatan Cilacap dengan lebar sekitar 50 km.
Daerah ini dapat dibagi tiga bagian :

 Daerah Jampang di sebelah barat yang ketinggian rata – rata 1000 meter dengan
volcanic neck Gunung Malang (1305 m).
 Daerah Pangalengan di tengah dengan gunung tertinggi adalah Gunung Kencana
(2182 m).
 Daerah Karang Nunggal di sebelah timur dengan ketinggian rata – rata 1000 m dan
gunung tertinggi hanya Gunung Bongkok.
79
Cekungan Bogor merupakan penamaan bagi suatu mandala sedimentasi yang melampar
dari utara ke selatan di daerah Jawa Barat, posisi tektonik dari Cekungan Bogor  ini sendiri
dari zaman Tersier hingga Kuarter terus mengalami perubahan (Martodjojo,1984). Batuan
tertua pada Mandala Cekungan Bogor berumur Eosen Awal yaitu Formasi Ciletuh (Gambar1).
Di bawah formasi ini diendapkan kompleks Mélange Ciletuh yang merupakan olisostrom.
Formasi ini terdiri dari lempung, pasir dengan sisipan breksi, diendapkan dalam kondisi laut
dalam, berupa endapan lereng palung bawah (Martodjojo, 1984 dalam Argapadmi, 2009).
Pada Kala Oligo-Miosen diendapkan Formasi Bayah yang dicirikan dengan lingkungan
berupa sungai teranyam dan kelok lemah. Formasi ini merupakan perselingan pasir
konglomeratan dan lempung dengan sisipan batubara (Martodjojo, 1984 dalam Argapadmi,
2009). Lalu di atasnya diendapkan secara tidak selaras Formasi Batu Asih dan Formasi
Rajamandala yang merupakan endapan laut dangkal. Formasi Batuasih terdiri dari lempung
laut dengan sisipan pasir gampingan sedangkan Formasi Rajamandala merupakan endapan
khas tepi selatan Cekungan Bogor yang terdiri dari batugamping. Kedudukan Cekungan Bogor
pada kala ini tidak dapat diidentifikasikan dengan jelas. Hadirnya komponen kuarsa yang
dominan pada Formasi Bayah memberikan indikasi bahwa sumber sedimentasi pada kala
tersebut berasal dari daerah yang bersifat granitis, kemungkinan besar berasal dari Daratan
Sunda yang berada di utara
Pada Kala Miosen Awal berlangsung aktivitas gunung api dengan batuan bersifat basalt
sampai andesit yang berasal dari selatan dan terendapkan dalam Cekungan Bogor yang pada
kala ini merupakan cekungan belakang busur Cepatnya penyebaran dan pengendapan
rombakan deratan gunung api ini telah mematikan pertumbuhan terumbu Formasi
Rajamandala sehingga endapan volkanik yang dikenal dengan nama Formasi Jampang dan
Formasi Citarum mulai diendapkan pada lingkungan marin. Formasi Jampang yang berciri
lebih kasar daripada Formasi Citarum diendapkan di bagin dalam dari sistem kipas laut
sedangkan Formasi Citarum diendapkan di bagian luar dari sistem kipas laut.
Pada Kala Miosen Tengah status Cekungan Bogor masih merupakan cekungan belakang
busur dengan diendapkannya Formasi Saguling pada lingkungan laut dalam dengan
mekanisme arus gravitasi. Ciri umum dari formasi ini memiliki banyak sisipan breksi atau
breksi konglomeratan. Formasi Cimandiri yang juga berumur Miosen Tengah menutupi
Formasi Jampang. Formasi ini terdiri dari lempung gamping yang konglomeratan yang
dikenal sebagai Nyalindung Beds, tetapi peneliti yang lainnya (Effendi et al, 1998 dalam
Argapadmi, 2009) menamakan Formasi Cimandiri di beberapa daerah sebagai Formasi
Nyalindung yang terdiri atas batupasir glaukonit gampingan hijau, batulempung, napal
pasiran, konglomerat, breksi, dan batugamping. Formasi Bojonglopang yang memiliki
hubungan menjemari dengan Formasi Cimandiri juga diendapkan pada Miosen Tengah.

80
Peneliti yang lain (Duyfjes, 1939 dalam Martodjojo, 1984 dalam Argapadmi, 2009)
menamakan formasi ini sebagai Anggota Bojonglopang Formasi Cimandiri. Karakteristik
utama dari formasi ini adalah litologi batugampingnya.
Pada kala akhir Miosen Tengah mulai diendapkan Formasi Bantargadung yang dicirikan
oleh endapan turbidit halus aktivitas kipas laut dalam yang terdiri dari perselingan batupasir
greywacke dan lempung. Cekungan Bogor pada kala ini sudah semakin sempit menjadi suatu
cekungan memanjang yang mendekati bentuk fisiografi zona Bogor (van Bemmelen, 1949).
Pada daerah ini penurunan merupakan gerak tektonik yang dominant.
Pada Kala Miosen Akhir, Cekungan Bogor masih merupakan cekungan belakang busur
dengan diendapkannya Formasi Cigadung dan Formasi Cantayan yang diendapkan pada
lingkungan laut dalam dengan mekanisme arus gravitasi. Formasi Subang diendapkan di
bagian utara menunjukan lingkungan pengendapan paparan (Kurniawan, 2008). Pada Kala
Pliosen, Cekungan Bogor sebagian sudah merupakan daratan yang ditempati oleh puncak-
puncak gunungapi yang merupakan jalur magmatis. Sebenarnya pendangkalan Cekungan
Bogor ini dimulai dari selatan pada umur Miosen Tengah dan berakhir di sebelah utara pada
umur Plistosen. Formasi Kaliwangu diendapkan di atas Formasi Subang pada Pliosen Awal
dan menunjukan lingkungan pengendapan transisi. Daerah pegunungan selatan bagian
selatan mengalami penurunan dan genang laut yang menghasilkan Formasi Bentang
sedangkan di bagian utara terjadi aktivitas gunung api yang menghasilkan Formasi Beser.
Pada Kala Plistosen sampai Resen, geologi Pulau Jawa sama dengan sekarang. Aktivitas
gunungapi yang besar terjadi pada permulaan Plistosen yang menghasilkan Formasi
Tambakan dan Endapan Gunungapi Muda, sekaligus pusat gunung api dari selatan berpindah
ke tengah Pulau Jawa yang merupakan gejala umum yang terjadi di seluruh gugusan gunung
api sirkum pasifik (Karig dan Sharman, 1955 dalam Martodjojo, 2003 dalam Santana, 2007).
2. Sejarah Pembentukan Struktur Jawa Barat
Berdasarkan hasil studi pola struktur di Pulau Jawa, Pulonggono dan Martodjojo (1994)
menyimpulkan bahwa selama Paleogen dan Neogen telah terjadi perubahan tatanan tektonik
di Pulau Jawa. Pola Meratus dihasilkan oleh tektonik kompresi berumur 80-52 juta tahun
yang lalulu yang diduga merupakan arah awal penunjaman lempeng Samudra Indo-Australia
ke bawah Paparan Sunda. Arah ini berkembang di Jawa Barat dan memanjang hingga Jawa
Timur pada rentang waktu Eosen-Oligosen Akhir. Di Jawa Barat, Pola Meratus diwakili oleh
Sesar Cimandiri yang kemudian tampak dominan di lepas pantai utara Jawa Timur. Sesar ini
juga berkembang di bagian selatan Jawa.
Pola Sunda (utara-selatan) dihasilkan oleh tektonik regangan. Fasa regangan ini
disebabkan oleh penurunan kecepatan yang diakibatkan oleh tumbukan Benua India dan

81
Eurasia yang menimbulkan rollback berumur Eosen-Oligosen Akhir (Gambar 2). Pola ini
umumnya terdapat di bagian barat wilayah Jawa Barat dan lepas pantai utara Jawa Barat.
Penunjaman di selatan Jawa yang menerus ke Sumatera menimbulkan tektonik kompresi
yang menghasilkan Pola Jawa. Di Jawa Tengah hampir semua sesar di jalur Serayu Utara dan
Selatan mempunyai arah yang sama, yaitu barat-timur. Pola Jawa ini menerus sampai ke
Pulau Madura dan di utara Pulau Lombok. Pada Kala Miosen Awal-Pliosen, Cekungan Bogor
yang Kala Eosen Tengah-Oligosen merupakan cekungan depan busur magmatik, berubah
statusnya menjadi cekungan belakang busur magmatik sehingga terbentuk sesar-sesar
anjakan dan lipatan.
3. Keadaan Tektonik Jawa Barat
Secara umum Jawa Barat terbagi menjadi :
a. Northen basinal area, relative stabil, bagian dari continent sundaland dengan N-S
trending rift basin offshore dan onshore.
b. Bogor trough (cekungan bogor). E-W antiklin terbentuk akibat struktur compresi ke
utara.
c. Modern volcanic. Sebagai akibat subduksi lempeng Samudera hindia dengan continent
sundaland (Gede, pangrango, salak, halimun).
d. Southern slope regional uplift. Struktur relative compleks, N-S fault, E-W thrust fault dan
antiklin.
e. Banten Blok terdiri dari seribu carbonate platform di utara, rangkas-bitung sub basin,
dan bayah high di selatan.

Gambar 5.7. Penampakan Sesar di Jawa Barat

82
Gambar 5.8 Peta Geologi Jawa Barat

4. Seismotektonik Regional
Jawa Barat terletak dikenal sebagai bagian dari Jalur Penunjaman Busur Sunda (Sunda
Arc Subduction Zone) dengan sistem penunjaman Lempeng Eurasia-Indo Australia dibagian
selatan dan jalur sesar aktif busur kepulauan di daratan yang berasosiasi satu sama lain
sehingga menjadi satu sistem sesar besar Jawa Barat yang terdiri dari Zona Sesar Sukabumi-
Padalarang (atau lebih dikenal dengan Sesar Cimandiri, yang merupakan kompleks sesar
dengan jalur utama merupakan sesar naik dan sesar geser jurus mengiri) yang berarah
baratdaya-timurlaut, Zona Sesar Cilacap-Kuningan (atau lebih dikenal dengan Sesar Baribis
yang merupakan sesar geser jurus menganan) yang berarah tenggara-baratlaut, dan Sesar
Normal Pegunungan Selatan yang berarah barat-timur dan merupakan sesar turun (Katili dan
Sudradjat, 1984).

Gambar 5.9 Lokasi Patahan di Jawa Barat

Secara keilmuan lempeng samudera dari selatan yang berukuran raksasa itu berjalan
antara 6-7 cm per tahun ke arah utara. Salah satu akibatnya adalah terjadinya patahan/sesar
yang memanjang antara Palabuanratu hingga ke utara Padalarang, antara Cilacap hingga
83
Kuningan, dan terus ke arah baratlaut. Selain patahan yang besar-besar, banyak lagi patahan-
patahan yang menjurus ke utara di pantai selatan Jawa Barat ini, sepeperti dari
Pameungpeuk, Sindangbarang, Cipatujah, Pangandaran, atau patahan di utara Bandung, yang
sangat terkenal dengan nama Patahan Lembang.
5. Sesar di Jawa Barat
Wilayah Jawa Barat rawan terjadi gempa bumi karena di sebelah selatan Pulau Jawa
terdapat zona subduksi (penunjaman), yaitu pertemuan antara lempeng Eurasia yang berada
di sebelah utara dengan lempeng Indo-Australia yang berada di sebelah selatan. Jawa Barat
merupakan salah satu wilayah yang berada di sekitar zona subduksi tersebut. Selain itu,
wilayah Jawa Barat juga terdapat zona patahan (sesar geser) di bawah permukaannya. Hal ini
berarti wilayah Jawa Barat merupakan wilayah yang cukup kompleks karena terdapat zona
subduksi (interplate) dan zona sesar geser (intraplate) yang menjadi cikal bakal terjadinya
gempa bumi
Zona-zona sesar ini terbentuk akibat proses geologi yang telah berlangsung selama
berjuta-juta tahun karena pengaruh aktifitas tumbukan lempeng Indo-Australia dengan
lempeng Eurasia yang beralangsung sejak Zaman Kapur hingga sekarang. Wilayah ini
menghasilkan berbagai jenis batuan mulai dari batuan sedimen, batuan beku (ekstrusif dan
intrusif) dan batuan metamorfik dengan umur yang beragam. Akibat proses tektonik yang
terus berlangsung hingga saat ini, seluruh batuan tersebut telah mengalami pengangkatan,
pelipatan dan pensesaran. Paleografi Jawa Barat (M. Untung, 1982)
Melalui citra satelit (Landsat) daerah Jawa Barat, diketahui adanya banyak kelurusan
bentang alam yang diduga merupakan hasil proses pensesaran. Jalur sesar tersebut umumnya
berarah barat-timur, utara-selatan, timurlaut-baratdaya dan baratlaut-tenggara. Struktur
sesar dengan arah barat-timur umumnya berjenis sesar naik, sedangkan struktur sesar
dengan arah lainnya berupa sesar mendatar. Sesar normal umum terjadi dengan arah
bervariasi. Dari sekian banyak struktur sesar yang berkembang di Jawa Barat, ada tiga
struktur regional yang memegang peranan penting, yaitu Sesar Cimandiri, Sesar Baribis dan
Sesar Lembang. Ketiga sesar tersebut untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh van
Bemmelen (1949) dan diduga ketiganya masih aktif hingga sekarang. Ketiga sesar tersebut
adalah :
a. Sesar Cimandiri merupakan sesar paling tua, membentang mulai dari Teluk
Pelabuhanratu menerus ke timur melalui Lembah Cimandiri, Cipatat-Rajamandala,
Gunung Tanggubanprahu-Burangrang dan diduga menerus ke timur laut menuju Subang.

84
b. Sesar Baribis yang letaknya di bagian utara Jawa merupakan sesar naik dengan arah
relatif barat-timur, membentang mulai dari Purwakarta hingga ke daerah Baribis di
Kadipaten-Majalengka.
c. Sesar Lembang yang letaknya di utara Bandung, membentang sepanjang kurang lebih 30
km dengan arah barat-timur. Sesar ini berjenis sesar normal (sesar turun) dimana blok
bagian utara relatif turun membentuk morfologi dataran (dataran Lembang).

Gambar 5.10 Peta Distribusi Sesar/Seismotektonik Jawa Barat


(E.K. Kertapati et al., 1998)

Setelah memahami distribusi sesar di wilayah Jawa Barat maka kita dapat mengetahui
secara umum sumber terjadinya gempa bumi akibat sesar (intraplate), tentunya di sekitar
wilayah-wilayah sesar tersebut. Selanjutnya bila terjadi gempa bumi maka biasanya yang
perlu diketahui adalah posisi hiposenter (fokus gempa/pusat gempa), episenter (proyeksi
vertikal hiposenter hingga ke permukaan), serta parameter lainnya seperti waktu (detik),
jarak (km), kedalaman (km), magnitudo (kekuatan gempa), dan intensitas (skala relatif sesuai
kenampakan visual). Dimana parameter-parameter ini secara tidak langsung dapat
direpresentasikan melalui hasil rekaman seismogram. Hingga tahun 2003, biasanya
seismogram yang sering digunakan berasal dari 3 stasiun gempa yaitu Ciparay, Soreang, dan
Lembang. Melalui seismogram inilah, getaran-getaran gempa baik intraplate maupun
interplate direkam dari waktu ke waktu
Kemudian dari data-data yang diperoleh melalui hasil rekaman tersebut maka dapat
dilakukan estimasi lebih lanjut, seperti studi pemetaan risiko gempa bumi atau Seismic
Zoning berdasarkan distribusi percepatan gerakan tanah (Peak Ground Accelaration).
Percepatan gerakan tanah merupakan percepatan gelombang gempa yang sampai di
permukaan bumi. Estimasi PGA ini sangat bergantung pada magnitudo, banyak sekali metode

85
yang dapat digunakan. Metode yang biasa dipakai adalah metode Murphy – O’Brien, metode
Gutenberg – Richter, dan metode Kanai.
Hasil estimasi PGA ini berguna untuk merepresentasikan distribusi tingkat risiko gempa
bumi. Nilai distribusinya dapat di buat ke dalam bentuk peta. Biasanya nilai PGA (Peak
Ground Acceleration) maksimum terjadi akibat pengaruh sesar. Berdasarkan distribusi sesar-
sesar di wilayah Jawa Barat, maka PGA (Peak Ground Acceleration) tinggi berada di bagian
timur dan semakin mengecil ke arah utara. Semakin besar PGA yang terjadi di suatu tempat
maka risiko bahayanya semakin besar.
a. Sesar Lembang

Gambar 5.11. Sejarah Kegempaan daerah Jawa Barat

Jika kita amati dari puncak Gunung Batu tersebut, akan terlihat 2 blok tanah, yang satu
seakan habis naik menjulang ke atas, yang satu lagi jadi lebih rendah. Bidang kontak antara 2
blok tersebut disebut sesar. Karena letaknya di daerah lembang, maka disebut sesar lembang.
Dalam istilah geologi, sesar tersebut termasuk fault scrap (sesar gawir/tebing), dimana blok
yang menjulang ke atas disebut hanging wall (atap sesar) dan blok yang lebih rendah disebut
foot wall (alas sesar). Sesar tersebut membentang sepanjang 22 km dari timur ke barat.

Menurut Dr. Irwan Meilano, Penelitian GPS dan paleoseismologi menunjukkan, sesar
Lembang menghasilkan lebih kurang 10 meter pergeseran sesar normal dalam 25 ka terakhir.
Pergeseran yang terjadi berupa sesar menganan atau right lateral-dextral. Selanjutnya,
penelitian juga menunjukkan bahwa daerah cekungan Bandung memiliki kondisi tanah
bervariasi yang berpengaruh besar terhadap gempa. Menurut Brian Atwater, paleoseismolog
dari United States Geological Survey (USGS), ancaman bencana Patahan Lembang termasuk
kategori kelas dunia karena patahan itu berada di dekat kawasan kota yang sangat padat. Hal
yang jarang terjadi di dunia.

86
Di lokasi terlihat, di sekitar patahan itu telah berdiri banyak perumahan dan vila mewah.
Kawasan Observatorium Bosscha yang menjadi warisan astronomi dunia juga dilintasi
patahan ini. Beberapa bangunan yang tepat berada di atas sesar Lembang antara lain adalah
Observatorium Bosscha, Sesko AU, Sespim Polri, Detasemen Kavaleri TNI-AD, dan Restoran
The Peak.
b. Sesar Cimandiri dan Baribis
Sesar Cimandiri adalah sesar aktif yang terdapat di Sukabumi Selatan. Sesar yang
memanjang Barat-Timur ini belum sepenuhnya diketahui karakternya seperti halnya Sesar
Sumatera.  Dari penelitian di lapangan yang dilakukan oleh Geotek LIPI disimpulkan bahwa
Sesar Cimandiri dapat dibagi menjadi 5 segmen mulai dari Pelabuhan Ratu sampai Gandasoli.
Kelima segmen sesar Cimandiri tersebut adalah segmen sesar Cimandiri Pelabuhan Ratu –
Citarik, Citarik – Cadasmalang, Ciceureum – Cirampo, Cirampo – Pangleseran dan Pangleseran
– Gandasoli. Sesar ini dipotong oleh beberapa sesar lain yang cukup besar seperti sesar
Citarik, sesar Cicareuh dan sesar Cicatih.
Sementara itu penelitian oleh ITB dengan menggunakan citra Landsat dan SPOT melihat
kelurusan Sesar Cimandiri dari Pelabuhan Ratu mengikuti aliran sungai Cimandiri dan
menerus ke timur laut sampai ke Lembang. Sesar Cimandiri sulit di jumpai tanda-tandanya
dengan jelas di lapangan, dan diperkirakan sifat gerakannya berbeda-beda dari satu tempat
ke tempat lain. 

1) Potensi Kegempaan Di Daerah Sesar Cimandiri

Potensi kegempaan di daerah sesar Cimandiri tergolong cukup besar, dengan melihat
catatan-catatan gempa seperti  gempa yang terjadi di Pelabuhan Ratu (1900), gempa bumi
Cibadak (1973), gempa bumi Gandasoli (1982), gempa bumi Padalarang (1910), gempa bumi
Tanjungsari (1972) dan gempa bumi Conggeang (1948) dan Kab Sukabumi (2001), pusat
gempa bumi yang merusak ini terletak pada Lajur sesar aktif Cimandiri. 
Baru baru ini (di tahun 2006) telah terjadi kembali beberapa gempa dengan kekuatan
sedang di sekitar sesar Cimandiri.  Catatan-catatan kegempaan di daerah sesar Cimandiri
tersebut memberikan fakta pasti bahwa potensi kegempaan di daerah cukup besar, yang
berarti potensi bencana di daerah ini akan sama besarnya pula.  Untuk itu upaya pemantauan
potensi dan mitigasi bencana di sekitar sesar Cimandiri patut dilaksanakan dengan sebaik
mungkin. Kehilangan satu nyawa saja akibat gempa sebetulnya sudah dapat dikatakan
bencana.  Meski sangatlah sulit untuk menghindari diri dari bencana, namun setidaknya

87
mereduksi dampak bencana merupakan harapan yang harus dicapai, diantaranya dengan
melaksanakan program pemantauan potensi/aktivitas sesar serta mitigasi bencana. 

2) Upaya Pemantauan Potensi, Pemantauan Aktivitas Sesar, Serta Mitigasi

Dengan adanya fakta aktivitas sesar memicu terjadinya gempa bumi, kemudian
gempa memberikan efek negatif bencana, maka langkah pemantauan potensi dan usaha
mitigasi bencana jelas penting sekali untuk dilakukan, sehingga diharapkan efek negatif yang
dapat ditinggalkan oleh bencana tersebut dapat direduksi.  Salah satu upaya yang dapat
dilakukan dalam rangka pemantauan potensi dan mitigasi bencana alam gempa bumi yaitu
melalui penelitian serta analisis aktivitas sesar berupa analisis mekanisme siklus dan tahapan
aktivitas sesar yang berujung pada gempa bumi (disingkat menjadi siklus gempa bumi). 
Siklus gempa bumi (earthquake cycle) didefinisikan sebagai perulangan gempa. Satu siklus
dari gempa bumi ini biasanya berlangsung dalam kurun waktu puluhan sampai ratusan
tahun.  Dalam satu siklus gempa bumi terdapat beberapa mekanisme tahapan terjadinya
gempa bumi, diantaranya yaitu tahapan interseismic, pre-seismic, co-seismic, dan post-
seismic  [Mori (2004), Vigny (2004), Ando (2005), Natawidjaja (2004)]
 Bentuk analisis siklus gempa bumi dilakukan dengan cara meneliti dokumen sejarah
kejadian gempa bumi, dan penelitian-penelitian geologi, geofisika seperti stratigrafi batuan,
terumbu karang (coral microattols), paleo-tsunami, untuk gempa yang terjadi di laut, paleo-
likuifaksi dan lain-lain [Mori (2004), Vigny (2004; 2005), Ando (2005), Natawidjaja (2004)].
Sementara itu bentuk analisis tahapan (mekanisme) gempa bumi dilakukan dengan cara
melihat dan meneliti fenomena-fenomena yang menyertai tahapan gempa bumi seperti
deformasi, seismisitas, informasi pengukuran geofisika (reseistivitas elektik, pengamatan
muka dan temperatur air tanah), dan lain-lain. [Mori (2004), Vigny (2004; 2005), Ando
(2005), Natawidjaja (2004)].
6. Ulasan Singkat Geologi Regional
Cekungan Jawa Barat Utara telah dikenal sebagai hydrocarbon province utama di wilayah
Pertamina DOH JBB, Cirebon. Cekungan ini terletak di antara Paparan Sunda di Utara, Jalur
Perlipatan – Bogor di Selatan, daerah Pengangkatan Karimun Jawa di Timur dan Paparan
Pulau Seribu di Barat. Cekungan Jawa Barat Utara dipengaruhi oleh sistem block faulting yang
berarah Utara – Selatan. Patahan yang berarah Utara - Selatan membagi cekungan menjadi
graben atau beberapa sub-basin, yaitu Jatibarang, Pasir Putih, Ciputat, Rangkas Bitung dan
beberapa tinggian basement, seperti Arjawinangun, Cilamaya, Pamanukan, Kandanghaur–
Waled, Rengasdengklok dan Tangerang. Berdasarkan stratigrafi dan pola strukturnya, serta
letaknya yang berada pada pola busur penunjaman dari waktu ke waktu, ternyata cekungan

88
Jawa Barat telah mengalami beberapa kali fase sedimentasi dan tektonik sejak Eosen sampai
dengan sekarang (Martodjojo, 2002). 
7. Tektonostratigrafi dan Struktur Geologi
Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut (offshore) di Utara dan darat
(onshore) di Selatan (Darman dan Sidi, 2000). Seluruh area didominasi oleh patahan
ekstensional (extensional faulting) dengan sangat minim struktur kompresional. Cekungan
didominasi oleh rift yang berhubungan dengan patahan yang membentuk beberapa struktur
deposenter (half graben), antara lain deposenter utamanya yaitu Sub-Cekungan Arjuna dan
Sub-Cekungan Jatibarang, juga deposenter yang lain seperti : Sub-Cekungan Ciputat, Sub-
Cekungan Pasirputih. Deposenter-deposenter itu didominasi oleh sikuen Tersier dengan
ketebalan melebihi 5500 m.
Struktur yang penting pada cekungan tersebut yaitu terdiri dari bermacam-macam area
tinggian yang berhubungan dengan antiklin yang terpatahkan dan blok tinggian (horst block),
lipatan pada bagian yang turun pada patahan utama, keystone folding dan  mengena pada
tinggian batuan dasar. Struktur kompresional hanya terjadi pada awal pembentukan rift
pertama yang berarah relative barat laut-tenggara pada periode Paleogen. Sesar ini akan aktif
kembali pada Oligosen. Tektonik Jawa Barat dibagi menjadi tiga fase tektonik yang dimulai
dari Pra Tersier hingga Plio-Pliostosen.
Fase tektonik tersebut adalah sebagai berikut :

a. Tektonik Pertama
Pada zaman Akhir Kapur awal Tersier, Jawa Barat Utara dapat dilkasifikasikan sebagai 
‘Fore Arc Basin’ dengan dijumpainya orientasi struktural mulai dari Cileutuh, Sub Cekungan
Bogor, Jatibarang, Cekungan Muriah dan Cekungan Florence Barat yang mengindikasikan
kontrol ‘Meratus Trend’. Periode Paleogen (Eosen-Oligosen) di kenal sebagai Paleogen
Extensional Rifting. Pada periode ini terjadi sesar geser mendatar menganan utama krataon
Sunda akibat dari peristiwa tumbukan Lempeng Hindia dengan Lempeng Eurasia. Sesar-sesar
ini mengawali pembentukan cekungan-cekungan Tersier di Indonesia Bagian Barat dan
membentuk Cekungan Jawa Barat Utara sebagai pull apart basin.
Tektonik ektensi ini membentuk sesar-sesar bongkah (half gnraben system) da
merupakan fase pertama rifting (Rifting I :  fill phase). Sedimen yang diendapkan pada rifting I
ini disebut sebagai sedimen synrift I. Cekungan awal rifting terbentuk selama fragmentasi,
rotasi dan pergerakan dari kraton Sunda. Dua trend sesar normal yang diakibatkan oleh
perkembangan rifting-I  (early fill) berarah N 60o W – N 40o W dan hampir N – S yang dikenal
sebagai Pola sesar Sunda. Pada masa ini terbentuk endapan lacustrin dan volkanik dari
Formasi Jatibarang yang menutup rendahan-rendahan yang ada. Proses sedimentasi ini terus

89
berlangsung dengan dijumpainya endapan transisi Formasi Talangakar. Sistem ini kemudian
diakhiri dengan diendapkannya lingkungan karbonat Formasi Baturaja.
b. Tektonik Kedua
Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen (Oligo-Miosen) dan dikenal sebagai
Neogen Compressional Wrenching. Ditandai dengan pembentukan sesar-sesar geser akibat
gaya kompresif dari tumbukan Lempeng Hindia.Sebagian besar pergeseran sesar merupakan
reaktifasi dari sesar normal yang terbentuk pada periode Paleogen.
Jalur penunjaman baru terbentuk di selatan Jawa. Jalur volkanik periode Miosen Awal
yang sekarang ini terletak di lepas pantai selatan Jawa. Deretan gunungapi ini menghasilkan
endapan gunungapi bawah laut yang sekarang dikenal sebagai “old andesite” yang tersebar di
sepanjang selatan Pulau Jawa. Pola tektonik ini disebut Pola Tektonik Jawa yang merubah
pola tektonik tua yang terjadi sebelumnya menjadi berarah barat-timur dan menghasilkan
suatu sistem sesar naik, dimulai dari selatan (Ciletuh) bergerak ke utara. Pola sesar ini sesuai
dengan sistem sesar naik belakang busur atau yang dikenal “thrust foldbelt system”.
c. Tektonik Terakhir
Fase tektonik akhir yang terjadi adalah pada Pliosen – Pleistosen, dimana terjadi proses
kompresi kembali dan membentuk perangkap-perangkap sruktur berupa sesar-sesar naik di
jalur selatan Cekungan Jawa Barat Utara. Sesar-sesar naik yang terbentuk adalah sesar naik
Pasirjadi dan sesar naik Subang, sedangkan di jalur utara Cekungan Jawa Barat Utara
terbentuk sesar turun berupa sesar turun Pamanukan. Akibat adanya perangkap struktur
tersebut terjadi kembali proses migrasi hidrokarbon.    

(Sayatan melintang fisiografi cekungan dan busur gunungapi Jawa Barat)


(sumber : Pertamina, 1996)

8. Stratigrafi Regional 
90
Stratigrafi umum Jawa Barat Utara berturut-turut dari tua ke muda adalah sebagai
berikut:
a. Batuan Dasar, batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur
Kapur Tengah sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang berumur Pra Tersier
(Sinclair, et.al, 1995). Lingkungan Pengendapannya merupakan suatu permukaan dengan
sisa vegetasi tropis yang lapuk (Koesoemadinata, 1980).
b. Formasi Jatibarang, satuan ini merupakan endapan early synrift, terutama dijumpai di
bagian tengah dan timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian barat cekungan ini
kenampakan Formasi Jatibarang tidak banyak (sangat tipis) dijumpai. Formasi ini terdiri
dari tufa, breksi, aglomerat, dan konglomerat alas. Formasi ini diendapkan pada fasies
fluvial. Umur formasi ini adalah dari Kala Eosen Akhir sampai Oligosen Awal.  Pada
beberapa tempat di Formasi ini ditemukan minyak dan gas pada rekahan-rekahan tuff
(Budiyani, dkk, 1991).
c. Formasi Talang Akar, pada fase syn rift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar
secara tidak selaras di atas Formasi Jatibarang. Pada awalnya berfasies fluvio-deltaic
sampai faises marine. Litologi formasi ini diawali oleh perselingan sedimen batupasir
dengan serpih nonmarine dan diakhiri oleh perselingan antara batugamping, serpih, dan
batupasir dalam fasies marine. Pada akhir sedimentasi, Formasi Talang Akar ditandai
dengan berakhirnya sedimentasi synrift. Formasi ini diperkirakan berkembang cukup
baik di daerah Sukamandi dan sekitarnya. Adapun terendapkannya formasi ini terjadi
dari Kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal.
d. Formasi Baturaja, formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar.
Pengendapan Formasi Baturaja yang terdiri dari batugamping, baik yang berupa paparan
maupun yang berkembang sebagai reef buildup manandai fase post rift yangs secara
regional menutupi seluruh sedimen klastik Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat
Utara. Perkembangan batugamping terumbu umumnya dijumpai pada daerah tinggian.
Namun, sekarang diketahui sebagai daerah dalaman. Formasi ini terbentuk pada Kala
Miosen Awal–Miosen Tengah (terutama dari asosiasi foraminifera). Lingkungan
pembentukan formasi ini adalah pada kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar
matahari ada (terutama dari melimpahnya foraminifera Spriroclypens Sp).
e. Formasi Cibulakan Atas, formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan
batupasir dan batugamping. Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan
batugamping kklastik serta batugamping terumbu yang berkembang secara setempat-
setempat. Batugamping ini dikenali sebagai Mid Main Carbonate (MMC). Formasi ini
diendapkan pada Kala Miosen Awal-Miosen Akhir. Formasi ini terbagi menjadi 3 Anggota,
yaitu:

91
 Massive
Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Baturaja. Litologi
anggota ini adalah perselingan batulempung dengan batupasir yang mempunyai
ukuran butir dari halus-sedang. Pada massive ini dijumpai kandungan hidrokarbon,
terutama pada bagian atas. Selain itu terdapat fosil foraminifera planktonik seperti
Globigerina trilobus, foraminifera bentonik seperti Amphistegina (Arpandi dan
Patmosukismo, 1975).
 Main
Anggota Main terendapkan secara selaras diatas Anggota Massive. Litologi
penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir yang mempunyai
ukuran butir halus-sedang (bersifat glaukonitan). Pada awal pembentukannya
berkembang batugamping dan juga blangket-blangket pasir, dimana pada bagian ini
Anggota Main terbagi lagi yang disebut dengan Mid Main Carbonat (Budiyani
dkk,1991).

 Parigi
Anggota Pre Parigi terendapkan secara selaras diatas Anggota Main. Litologinya
adalah perselingan batugamping, dolomit, batupasir dan batulanau. Anggota ini
terbentuk pada Kala Miosen Tengah-Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan
Neritik Tengah-Neritik Dalam (Arpandi & Patmosukismo, 1975), dengan dijumpainya
fauna-fauna laut dangkal dan juga kandungan batupasir glaukonitan.

f. Formasi Parigi, formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Cibulakan Atas..
Litologi penyusunnya sebagian besar adalah batugamping klastik  maupun batugamping
terumbu. Pengendapan batugamping ini melampar ke seluruh Cekungan Jawa Barat
Utara. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah laut dangkal–neritik tengah (Arpandi
& Patmosukismo, 1975). Batas bawah Formasi Parigi ditandai dengan perubahan
berangsur dari batuan fasies campuran klastika karbonat Formasi Cibulakan Atas
menjadi batuan karbonat Formasi Parigi. Formasi ini diendapkan pada Kala Miosen
Akhir-Pliosen.
g. Formasi Cisubuh, formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi. Litologi
penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir dan serpih gampingan.
Umur formasi ini adalah dari Kala Miosen Akhir sampai Pliosen – Pleistosen. Formasi
diendapkan pada lingkungan laut dangkal yang semakin ke atas menjadi lingkungan
litoral – paralik (Arpandi & Patmosukismo, 1975).

92
(Tabel Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara)
(sumber : Pertamina, 1996)

9. Sedimentasi Cekungan
Periode awal sedimentasi di Cekungan Jawa Barat Utara dimulai pada kala Eosen Tengah
– Oligosen Awal (fase transgresi) yang menghasilkan sedimentasi vulkanik darat – laut
dangkal dari Formasi Jatibarang. Pada saat itu aktifitas vulkanisme meningkat. Hal ini
berhubungan dengan interaksi antar lempeng di sebelah selatan Pulau Jawa, akibatnya
daerah-daerah yang masih labil sering mengalami aktivitas tektonik. Material-material
vulkanik dari arah timur mulai diendapkan.
Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang berlangsung pada kala Oligosen
Akhir – Miosen Awal yang menghasilkan sedimen trangresif transisi – deltaik hingga laut
dangkal yang setara dengan Formasi Talang Akar pada awal permulaan periode. Daerah
cekungan terdiri dari dua lingkungan yang berbeda yaitu bagian barat paralic sedangkan
bagian timur merupakan laut dangkal. Selanjutnya aktifitas vulkanik semakin berkurang
sehingga daerah-daerah menjadi agak stabil, tetapi anak cekungan Ciputat masih aktif.
Kemudian air laut menggenangi daratan yang berlangsung pada kala Miosen Awal mulai dari
bagian barat laut terus ke arah tenggara menggenangi beberapatinggian kecuali tinggian
Tangerang. Dari tinggian-tinggian ini sedimen-sedimen klastik yang dihasilkan setara dengan
formasi Talang Akar.
Pada Akhir Miosen Awal daerah cekungan relative stabil, dan daerah Pamanukan sebelah
barat merupakan platform yang dangkal, dimana karbonat berkembang baik sehingga
membentuk setara dengan formasi Baturaja, sedangkan bagian timur merupakan dasar yang
93
lebih dalam. Pada kala Miosen Tengah yang merupakan fase regresi, Cekungan Jawa Barat
Utara diendapkan sediment-sedimen laut dangkal dari formasi Cibulakan Atas. Sumber
sedimen yang utama dari formasi Cibulakan Atas diperkirakan berasal dari arah utara – barat
laut. Pada akhir Miosen Tengah kembali menjauhi kawasan yang stabil,  batugamping
berkembang dengan baik. Perkembangan yang baik ini dikarenakan aktivitas tektonik yang
sangat lemah dan lingkungan berupa laut dangkal. Kala Miosen Akhir – Pliosen (fase regresi)
merupakan fase pembentukan Formasi Parigi dan Cisubuh. Kondisi daerah cekungan
mengalami sedikit perubahan dimana kondisi laut semakin berkurang masuk kedalam
lingkungan paralik.
Pada Kala Pleistosen – Aluvium ditandai untuk pengangkatan sumbu utama Jawa.
Pengangkatan ini juga diikuti oleh aktivitas vulkanisme yang meningkat dan juga diikuti
pembentukan struktur utama Pulau Jawa. Pengangkatan sumbu utama Jawa tersebut berakhir
secara tiba-tiba sehingga mempengaruhi kondisi laut. Butiran-butiran kasar diendapkan
secara tidak selaras diatas Formasi Cisubuh.

BAB VI
STRUKTUR GEOLOGI DAN TOPOGRAFI
PULAU JAWA BAGIAN TENGAH

A. KEADAAN TEKTONIK JAWA TENGAH DAN DIY


Jawa Tengah mempunyai tiga zona, yang mempunyai sifat yang berlainan bila
dibandingkan dengan yang terdapat di Jawa Timur, mereka hanya dapat dibedakan dengan
beberapa kesulitan karena yang satu dapat dibedakan dengan beberapa kesulitan karena
yang satu dengan yang lain saling berhubungan. Meskipun demikian, zona-zona ini tetap kami
bicarakan tersendiri dan dengan urutan seperti halnya di Jawa Timur.
1. Zona Selatan
Hanya beberapa sisa-sisa masih Nampak dari zona selatan ini, karena sebagian besar dari
padanya telah tertutup oleh alluvial lain. Sisa-sisa ini akan berbentuk dome dan
2. Zona Tengah
3. Zona Utara
4. Jawa Tengah

94
Secara fisiografis, Jawa Tengah dapat dibagi menjadi 4 bagian, dari selatan ke utara
masing masing:
a. Dataran Pantai Selatan,
b. Pegunungan Serayu Selatan,
c. Pegunungan Serayu Utara, dan
d. Dataran Pantai Utara.
Dari data gaya berat, pola struktur di Jawa Tengah memperlihatkan adanya 3 (tiga) arah
utama, yaitu
a. Barat laut-tenggara dekat perbatasan dengan Jawa Barat,
b. Timur laut-barat daya di selatan dan sekitar G. Muria, dan
c. Timur barat yang umumnya berupa perlipatan.
5. Daerah Istimewa Yogyakarta
a. Patahan di Yogyakarta
Peranan tektonik utama yang terletak di DIY adalah adanya sesar Opak.Patahan Opak
ternyata tidak sesederhana yang terlihat dalam peta. Dalam peta geologi lembar Yogyakarta
yang dibuat oleh Pak Wartono Rahardjo patahan opak ini digambarkan sebagai patahan
normal yang memisahkan dataran tinggi perbukitan Wonosari dengan dataran rendah
Yogyakarta yang terisi oleh endapan Merapi yang masih muda.
Namun kegempaan dalam empat tahun terakhir ini memperlihatkan kemungkinan
adanya interpretasi baru pada “Kompleks Patahan Opak”.Keberadaan sesar Opak memiliki
beberapa versi, seperti :

1. Patahan Opak versi Wartono, dkk, (1977)

95
(Gambar 6.1 Kenampakan Patahan Opak versi Wartono dkk)

Tentu saja yang pertama plotting Sesar Opak dari Pak Wartono yang diplot berdasarkan
pemetaan geologi. Pak Wartono menggunakan dasar data-data permukaan dan
memperkirakan posisi blok-blok yang mana yang bergerak relatif naik dan mana yang relatif
turun. Data-data itu tentusaja sangat valid. Namun Pak Wartono juga tidak secara tegas
menggambarkan lokasi bidang patahannya, karena diperkirakan sudah tertutup oleh endapan
Merapi Muda.
Patahan ini paling mudah dimengerti karena morfologi serta topografi yang membatasi
tinggian Wonosari dengan Yogyakarta yang berada pada daerah dataran rendah. Walaupun
tidak dijumpai bidang patahannya, namun Sesar Opak yang di plot Pak Wartono dkk inilah
yang menjadi awal pemikiran dari keberadaan Sesar Opak yang fenomenal.Kalau saja Pak
Wartono berkenan mengupdate (memperbaharui) peta ini sesuai dengan data-data baru yang
beliau kumpulkan tentunya akan lebih menarik lagi. Bagaimanapun peta singkapan adalah
sebuah data sahih yang secara fisik dapat dilihat oleh siapa saja.

2. Patahan Opak versi Meilano (2007).

96
(Gambar 14. Peta Patahan Opak berdasarkan data gempa-gempa susulan setelah gempa
Jogja.)
Segera setelah terjadinya gempa Jogja 27 May 2006, banyak data-data baru yang dapat
dipergunakan dalam menganalisa patahan Opak ini. Dr Irwan Meilano, seorang ahli gempa
dari ITB membuat analisa berdasarkan data gempa utama serta gempa-gempa susulan yang
dicatat segera setelah gempa utama. Data yang ada disebalah ini adalah data pusat gempa
utama (epicenter) dan lokasi gempa-gempa susulan (aftershock) dalam periode 6 – 7 Juni
2006 dari gempa Yogyakarta 2006.
Irwan mengeplot kedalaman serta posisi gempa-gempa susulan ini. Plotting dalam
penampang dibawah yang merupakan penampang barat timur ini memperlihatkan dengan
jelas bahwa ada sebuah kemiringan dari “Patahan Opak” (masih diperkirakan). Perhatikan
plotting bagian bawah yang menunjukkan kedalaman gempa susulan ini kearah timur lebih
dalam dari yang disebelah barat. Diperkirakan terdapat Patahan Opak ini memiliki
kemiringannya ke arah timur.

3. Patahan Opak Versi Danny Hilman.

97
( Gambar 15. Patahan Opak versi Danny Hilman)

Pak Dr Danny Hilman salah satu ahli geologi dari LIPI yang sangat ahli dalam kegempaan 
memiliki pendapat sendiri tentang Patahan Opak ini. Pak Danny Hilman menggunakan data
deformasi dari data gempa serta mungkin menggunakan analisa tensor, yaitu data pergerakan
yang dianalisa pada lokasi titik hiposenter. Pak Danny Hilman ini juga memberikan satu
tambahan baru kemungkinan adanya Sesar Dengkeng di sebelah utara dari perbukitan
Wonosari yang memiliki arah Barat-Timur. Sesar Opaknya sendiri masih diperkirakan berada
di sekitar Sesar Opak yang diperkirakan oleh Pak Wartono. Namun digambarkan sebagai
sesar lateral. Atau sesar yang memiliki komponen geser. Tentusaja ini sebuah interpretasi
baru bagaimana adanya sesar geser Sesar Opak serta adanya kombinasi dengan Sesar
Dengkeng.

4. Patahan Opak Versi Dr Hasanuddin Abidin dkk (2009)

98
Dalam paper ilmiahnya yang dimuat dalam Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No.4
Desember 2009: 275-284 Hasanuddin Z. Abidin, H. Andreas, I. Meilano1, M. Gamal, I.
Gumilar,dan C.I. Abdullah menyimpulkan seperti dibawah ini:

(Gambar 16. Patahan Opak versi Dr. Hassanuddin dkk)

Berdasarkan hasil survei GPS pada tahun 1998, 2006, dan 2008 didapatkan keterangan
bahwa besarnya deformasi koseismik gempa Yogyakarta 2006 berkisar antara 10 – 15 cm
atau lebih kecil, baik dalam komponen horizontal maupun vertikal; dan deformasi
pascaseismiknya dalam arah horizontal adalah sekitar 0,3 sampai 9,1 cm. Dengan
menggunakan model dislokasi Okada dan berdasarkan vektor pergeseran deformasi
koseismik serta kedalaman gempa-gempa susulan, proses estimasi menyimpulkan bahwa
sesar penyebab gempa Yogyakarta 2006 adalah sesar sinistral (left-lateral) dengan sudut
strike sekitar 480 dan sudut kemiringan (dip angle) sekitar 890. Sesar penyebab gempa
Yogyakarta 2006 yang diestimasi dari hasil survei GPS ini, berlokasi sekitar 5 – 10 km di
sebelah timur lokasi Sesar Opak yang biasa digambarkan sepanjang Sungai Opak. Sesar Opak
digambarkan sebagai sesar geser kiri yang meliuk sesuai dengan data yang diperolehnya.

5. Sesar Opak Versi Pak Daryono  (Tsuji et al 2009)

99
Pak Daryono ini salah seorang staf BMKG yang menuliskan pendapatnya tentang Sesar
Opak. Beliau terketuk setelah terjadi gempa menjelang Shalat Taraweh pada hari Sabtu
August 21, 2010 pukul 18:41:38. Pak Daryono mensitir tulisan ilmiah Tsuji, et al, 2009, di

Earth Planets Space, 61, e29–e32, 2009) Dalam catatannya Pak Daryono berkesimpulan
kejadian gempabumi pada hari Sabtu petang itupun semakin mengokohkan keberadaan sesar
aktif yang lokasinya di sebelah timur Sesar Opak. Jika melihat lokasi episenter menurut BMKG
yang terletak di zona sesar, bisa jadi Gempabumi Bantul ini merupakan manifestasi pelepasan
tegangan di zonasesar yang mungkin belum terlepaskan seluruhnya saat terjadi gempabumi
27 Mei 2006. Walaupun rupture faultnya sendiri belum terlihat dari data permukaan namun
Pak Daryono meyakini berdasarkan data-data kegempaan di sekitar Sesar Opak ini.

Gambar 17. Patahan Opak versi Daryono

6. Patahan Opak versi Pak Djedi 2010.

(Gambar 18. Penampakan Patahan Opak menggunakan AMT)


100
Tambahan data baru dari Pak Djedi menggunakan Audio Magneto Telluric (AMT adalah
frekuensi yang lebih tinggi teknik magnetotellurik untuk investigasi dangkal) semakin
meyakinkan kemungkinan bidang patahan Opak adalah miring kearah timur. Ini
dismimpulkan dari model distribusi tahanan-jenis (resistivity) hasil 2D AMT smooth inversion
pada lintasan ukur AMT arah barat-timur yang memotong Patahan Opak.
AMT ini mengukur resistivitas batuan. Resistivity rendah berasosiasi dgn loose sediment
+ ada airnya (barat dan tengah), resistivity tinggi berasosiasi dengan gamping Wonosari + old
volcanic Nglanggran (timur). Model tersebut mengindikasikan adanya zona resistivity rendah
yang diduga pencerminan dari patahan Opak yang miring ke arah timur (garis putus-putus
hitam tebal). Riset pengukuran AMT ini merupakan sebagian dari hasil studi tim LIPI-ITB-
TIT-Hokkaido Univ.
B.2.2.STUDY KASUS GEMPA YOGYA 27 MEI 2006
Setelah peta dari Dwikorita dkk dan artikel Fukuoka dkk (Fukuoka et.al, 2006,
interpretation of the 27 May 2006 Yogyakarta Earthquake and the Subsurface Structure
Deduced from the Aftershock Activity Observations) diamati,kita memangharus curiga jika
tidak hanya satu sesar, melainkan edikitnya EMPAT sesar yang terlibat dalam ‘aktivitas’
gempa Yogya.

(Gmbar 19. Patahan yang berpengaruh pada Gempa Yogya )

Yang pertama adalah sesar Opak. Ternyata sekitar sepuluh km di sebelah baratnya ternyata
membujur sesar kedua, sesar lain (yang tersembunyi, terpendam di bawah sedimen setebal >
1 km) dengan arah sama dan harus dicurigai sesar ini turut bergerak signifikan, mengingat
daratan persis di atasnya justru menjadi lokasi2 kerusakan yang cukup parah. Mungkin sesar

101
ini juga yang ertanggung jawab kenapa pergeseran di Yogya dan Bantul cukup besar (masing2
7 dan 10 cm), padahal kedua lokasi ini jauh dari sesar Opak.

Yang ketiga, dari Prambanan ke tenggara, melintasi Gantiwarno. Sesar yang belum diketahui
namanya, tapi sesar ini menjadi pembatas utara Pegunungan Sewu (alias Southern
Mountains). Kita juga harus curiga jika sesar ini telah ikut bergerak, karena banyak longsoran
dan rekahan yang dijumpai di sini meski posisinya cukup jauh dari lokasi episentrum gempa
utama. Mungkin getaran akibat gerakan sesar ini pula yang sempat memporak-porandakan
Wonogiri hingga Ponorogo.

 Yang keempat, dari Parangtritis ke barat daya. Kemarin saya menyebutnya sesar Kulonprogo
– Parangtritis. Ada beberapa episentrum aftershock di sini. Juga jangan dilupakan adanya titik
longsoran di kompleks Goa Seplawan, tepatnya di Watu Kelir, perbatasan Kulonprogo –
Purworejo. Kalo ditarik garis lurus menuju Parangtritis, ternyata lintasannya berimpit dengan
sesar Kulonprogo – Parangtritis tadi.

(Gambar 20. Lokasi Epicenter Gempa Yogyakarta menurut BMKG, USGS, dan EMSC)

Kesimpulannya, ada 4 sesar yang berperan dalam gempa Yogya. Terus terang kalo
bicara prediksi ke depan, mungkin kita harus mengkhawatirkan segmen di utara Yogya
(tepatnya dari Prambanan ke utara, dimana dihipotesakan ada sesar menuju Merapi –
Merbabu – Telomoyo – Ungaran menurut van Bemmelen) serta segmen di sebelah barat
102
Kulonprogo (dimana dataran rendah aluvial membentang hingga ke Cilacap, berujung pada
sesar Citanduy – Kroya yang konon juga masih aktif dan punya potensi membangkitkan
gempa tektonik dengan Mw = 6,1 menurut artikel di Kompas beberapa waktu lalu).
Pergeseran sebesar 60 cm dalam sesar Opak, seperti yang dihitung pak Irwan Meilano,
bukanlah angka yang kecil.

Pada saat gempa Jogja 26 May 2006, ternyata titik pusat gempanya berada disebelah
timur dari lokasi Patahan Opak yang diperkirakan dari peta geologi sebelumnya. Sehingga
diperkirakan patahan Opak ini tidak sesederhana berupa patahan normal seperti yang diduga
sebelumnya.

Dari USGS terlihat pusat gempa utama dan susulannya berada pada jalur Patahan Opak,
Sedangkan EMSC memperkirakan pusat gempa utama dan susulannya berada pada tempat
sekitar 10 Km disebelah timur Patahan Opak.

103
BAB VII
STRUKTUR GEOLOGI DAN TOPOGRAFI
PULAU JAWA BAGIAN TIMUR

A. Geomorfologi

Zona ini meliputi pantai utara Jawa yang membentang dari Tuban ke arah timur melalui
Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau Madura. Merupakan daerah dataran yang
berundulasi dengan jajaran perbukitan yang berarah barat-timur dan berselingan dengan
dataran aluvial. Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km dengan puncak tertinggi 515 m
(Gading) dan 491 (Tungangan). Litologi karbonat mendominasi zona ini. Aksesibilitas cukup
mudah dan karakter tanah keras.
Jalur Rembang terdiri dari pegunungan lipatan berbentuk Antiklinorium yang
memanjang ke arah Barat – Timur, dari Kota Purwodadi melalui Blora, Jatirogo, Tuban sampai
Pulau Madura. Morfologi di daerah tersebut dapat dibagi menjadi 3 satuan, yaitu Satuan
Morfologi dataran rendah, perbukitan bergelombang dan Satuan Morfologi perbukitan terjal,
dengan punggung perbukitan tersebut umumnya memanjang berarah Barat – Timur,
sehingga pola aliran sungai umumnya hampir sejajar (sub-parallel) dan sebagian berpola
mencabang (dendritic). Sungai utama yang melewati daerah penyelidikan yaitu S. Lusi, yang
mengalir ke arah Baratdaya, melalui Kota Blora dan bermuara di Bengawan Solo.

104
B. Stratigrafi

Menurut Sutarso dan Suyitno (1976), secara fisiografi daerah penelitian termasuk dalam
Zona Rembang yang merupakan bagian dari cekungan sedimentasi Jawa Timur bagian Utara
(East Java Geosyncline). Cekungan ini terbentuk pada Oligosen Akhir yang berarah Timur –
Barat hampir sejajar dengan Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949).
Menurut Koesoemadinata (1978), cekungan Jawa Timur bagian Utara lebih merupakan
geosinklin dengan ketebalan sedimen Tersier mungkin melebihi 6000 meter. Suatu hal yang
khas dari cekungan Jawa Timur bagian Utara berarah Timur-Barat dan terlihat merupakan
gejala tektonik Tersier Muda.
Tiga tahap orogenesa telah dikenal berpengaruh terhadap pengendapan seri batuan
Kenozoikum di Indonesia (Van Bemmelen, 1949). Yang pertama terjadi di antara interval
Kapur Akhir – Eosen Tengah, kedua pada Eosen Tengah (Intramiocene Orogeny) dan ketiga
terjadi pada Plio-Pleistosen. Orogenesa yang terjadi pada Miosen Tengah ditandai oleh
peristiwa yang penting di dalam distribusi sedimen dan penyebaran flora dan fauna, terutama
di daerah Indonesia bagian Barat dan juga menyebabkan terjadinya fase regresi (susut laut)
yang terjadi dalam waktu singkat di Jawa dan daerah Laut Jawa. Fase orogenesa Miosen
Tengah ditandai juga oleh hiatus di daerah Cepu dan dicirikan oleh perubahan fasies yaitu
dari fasies transgresi menjadi fasies regresi di seluruh Zona Rembang. Selain hal tersebut
diatas, fase orogenesa ini ditandai oleh munculnya beberapa batuan dasar Pra – Tersier di
daerah pulau Jawa Utara (Van Bemmelen, 1949).
Perbedaan yang mencolok perihal sifat litologi dari endapan – endapan yang berada pada
Mandala Kendeng, Mandala Rembang, dan Paparan laut Jawa yaitu sedimen. Mandala
Kendeng pada umumnya terisi oleh endapan arus turbidit yang selalu mengandung batuan
piroklastik dengan selingan napal dan batuan karbonat serta merupakan endapan laut dalam.
Umumnya sedimen-sedimen tersebut terlipat kuat dan tersesar sungkup ke arah Utara,
sedangkan Mandala Rembang memperlihatkan batuan dengan kadar pasir yang tinggi
disamping meningkatnya kadar karbonat serta menghilangnya endapan piroklastik. Sedimen-
sedimen Mandala Rembang memberi kesan berupa endapan laut dangkal yang tidak jauh dari
pantai dengan kedalaman dasar laut yang tidak seragam. Hal ini disebabkan oleh adanya
sesar-sesar bongkah (Block faulting) yang mengakibatkan perubahan-perubahan fasies serta
membentuk daerah tinggian atau rendahan. Daerah lepas pantai laut Jawa pada umumnya
ditempati oleh endapan paparan yang hampir seluruhnya terdiri dari endapan karbonat.
Mandala Rembang menurut sistem Tektonik dapat digolongkan ke dalam cekungan
belakang busur (retro arc back arc) (Dickinson, 1974) yang terisi oleh sedimen-sedimen
berumur Kenozoikum yang tebal dan menerus mulai dari Eosen hingga Pleistosen. Endapan
berumur Eosen dapat diketahui dari data sumur bor (Pringgoprawiro, 1983).
105
Litostratigrafi Tersier di Cekungan Jawa Timur bagian Utara banyak diteliti oleh para
pakar geologi diantaranya adalah Trooster (1937), Van Bemmelen (1949), Marks (1957),
Koesoemadinata (1969), Kenyon (1977), dan Musliki (1989) serta telah banyak mengalami
perkembangan dalam susunan stratigrafinya. Kerancuan tatanama satuan Litostratigrafi telah
dibahas secara rinci oleh Pringgoprawiro (1983) dimana susunan endapan sedimen di
Cekungan Jawa Timur bagian Utara dimasukkan kedalam stratigrafi Mandala Rembang
dengan urutan dari tua ke muda yaitu Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh,
Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Bulu, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi
Lidah dan endapan yang termuda disebut sebagai endapan Undak Solo. Anggota Ngrayong
Formasi Tawun dari Pringgoprawiro (1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi
Ngrayong oleh Pringgoprawiro, 1983. Anggota Selorejo Formasi Mundu (Pringgoprawiro,
1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Selorejo oleh Pringgoprawiro (1985) serta
Djuhaeni dan Martodjojo (1990). Sedangkan Formasi Lidah mempunyai tiga anggota yaitu
Anggota Tambakromo, Anggota Malo (sepadan dengan Anggota Dander dari Pringgoprawiro,
1983) dan Anggota Turi (Djuhaeni, 1995).
Rincian stratigrafi Cekungan Jawa Timur bagian Utara dari Zona Rembang yang disusun
oleh Harsono Pringgoprawiro (1983) terbagi menjadi 15 (lima belas) satuan yaitu Batuan Pra
– Tersier, Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi
Tawun, Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok, Formasi Mundu,
Formasi Selorejo, Formasi Paciran,
Formasi Lidah dan Undak Solo. Pembahasan masing – masing satuan dari tua ke muda
adalah sebagai berikut :
1. Formasi Tawun, Formasi Tawun mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tuban,
dengan batas Formasi Tawun yang dicirikan oleh batuan lunak (batulempung dan napal).
Bagian bawah dari Formasi Tawun, terdiri dari batulempung, batugamping pasiran,
batupasir dan lignit, sedangkan pada bagian atasnya (Anggota Ngrayong) terdiri dari
batupasir yang kaya akan moluska, lignit dan makin ke atas dijumpai pasir kuarsa yang
mengandung mika dan oksida besi. Penamaan Formasi Tawun diambil dari desa Tawun,
yang dipakai pertama kali oleh Brouwer (1957). Formasi Tawun memiliki penyebaran
luas di Mandala Rembang Barat, dari lokasi tipe hingga ke Timur sampai Tuban dan
Rengel, sedangkan ke Barat satuan batuan masih dapat ditemukan di Selatan Pati.
Lingkungan pengendapan Formasi Tawun adalah paparan dangkal yang terlindung, tidak
terlalu jauh dari pantai dengan kedalaman 0 – 50 meter di daerah tropis. Formasi Tawun
merupakan reservoir minyak utama pada Zona Rembang. Berdasarkan kandungan fosil
yang ada, Formasi Tawun diperkirakan berumur Miosen Awal bagian Atas sampai
Miosen Tengah.

106
2. Formasi Ngrayong, formasi Ngrayong mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi
Tawun. Formasi Ngrayong disusun oleh batupasir kwarsa dengan perselingan
batulempung, lanau, lignit, dan batugamping bioklastik. Pada batupasir kwarsanya
kadang-kadang mengandung cangkang moluska laut. Lingkungan pengendapan Formasi
Ngrayong di daerah dangkal dekat pantai yang makin ke atas lingkungannya menjadi
littoral, lagoon, hingga sublittoral pinggir. Tebal dari Formasi Tawun mencapai 90 meter.
Karena terdiri dari pasir kwarsa maka Formasi Tawun merupakan batuan reservoir
minyak yang berpotensi pada cekungan Jawa Timur bagian Utara. Berdasarkan
kandungan fosil yang ada, Formasi Ngrayong diperkirakan berumur Miosen Tengah.
3. Formasi Bulu, formasi Bulu secara selaras berada di atas Formasi Ngrayong. Formasi
Bulu semula dikenal dengan nama ‘Platen Complex’ dengan posisi stratigrafi terletak
selaras di atas Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong. Ciri litologi dari Formasi Bulu
terdiri dari perselingan antara batugamping dengan kalkarenit, kadang – kadang
dijumpai adanya sisipan batulempung. Pada batugamping pasiran berlapis tipis kadang-
kadang memperlihatkan struktur silang siur skala besar dan memperlihatkan adanya
sisipan napal. Pada batugamping pasiran memperlihatkan kandungan mineral kwarsa
mencapai 30 %, foraminifera besar, ganggang, bryozoa dan echinoid. Formasi ini
diendapkan pada lingkungan laut dangkal antara 50 – 100 meter. Tebal dari formasi ini
mencapai 248 meter. Formasi Bulu diperkirakan berumur Miosen Tengah bagian atas.
4. Formasi Wonocolo, lokasi tipe Formasi Wonocolo tidak dinyatakan oleh Trooster, 1937,
kemungkinan berasal dari desa Wonocolo, 20 km Timur Laut Cepu. Formasi Wonocolo
terletak selaras di atas Formasi Bulu, terdiri dari napal pasiran dengan sisipan kalkarenit
dan kadang-kadang batulempung. Pada napal pasiran sering memperlihatkan struktur
parallel laminasi. Formasi Wonocolo diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan
kedalaman antara 100 – 500 meter. Tebal dari formasi ini antara 89 meter sampai 339
meter. Formasi Wonocolo diperkirakan berumur Miosen Akhir bagian bawah sampai
Miosen Akhir bagian tengah.

107
Gambar Kolom Stratigrafi Mandala Rembang
(Harsono Pringgoprawiro, 1983)

C. Struktur Geologi

Pada masa sekarang (Neogen – Resen), pola tektonik yang berkembang di Pulau Jawa dan
sekitarnya, khususnya Cekungan Jawa Timur bagian Utara merupakan zona penunjaman
(convergent zone), antara lempeng Eurasia dengan lempeng Hindia – Australia (Hamilton,
1979, Katili dan Reinemund, 1984, Pulonggono, 1994).
Evolusi tektonik di Jawa Timur bisa diikuti mulai dari Jaman Akhir Kapur (85 – 65 juta
tahun yang lalu) sampai sekarang (Pulonggono, 1990). Secara ringkasnya, pada cekungan
Jawa Timur mengalami dua periode waktu yang menyebabkan arah relatif jalur magmatik
atau pola tektoniknya berubah, yaitu pada jaman Paleogen (Eosen – Oligosen), yang
berorientasi Timur Laut – Barat Daya (searah dengan pola Meratus). Pola ini menyebabkan
Cekungan Jawa Timur bagian Utara, yang merupakan cekungan belakang busur, mengalami
rejim tektonik regangan yang diindikasikan oleh litologi batuan dasar berumur Pra – Tersier
menunjukkan pola akresi berarah Timur Laut – Barat Daya, yang ditunjukkan oleh orientasi
sesar – sesar di batuan dasar, horst atau sesar – sesar anjak dan graben atau sesar tangga. Dan
pada jaman Neogen (Miosen – Pliosen) berubah menjadi relatif Timur – Barat (searah dengan
memanjangnya Pulau Jawa), yang merupakan rejim tektonik kompresi, sehingga
menghasilkan struktur geologi lipatan, sesar – sesar anjak dan menyebabkan cekungan Jawa
108
Timur Utara terangkat (Orogonesa Plio – Pleistosen) (Pulonggono, 1994). Khusus di
Cekungan Jawa Timur bagian Utara, data yang mendukung kedua pola tektonik bisa dilihat
dari data seismik dan dari data struktur yang tersingkap.
Menurut Van Bemmelen (1949), Cekungan Jawa Timur bagian Utara (North East Java
Basin) yaitu Zona Kendeng, Zona Rembang – Madura, Zona Paparan Laut Jawa (Stable
Platform) dan Zona Depresi Randublatung. Keadaan struktur perlipatan pada Cekungan Jawa
Timur bagian Utara pada umumnya berarah Barat – Timur, sedangkan struktur patahannya
umumnya berarah Timur Laut – Barat Daya dan ada beberapa sesar naik berarah Timur –
Barat.
Zona pegunungan Rembang – Madura (Northern Java Hinge Belt) dapat dibedakan
menjadi 2 bagian yaitu bagian Utara (Northern Rembang Anticlinorium) dan bagian Selatan
(Middle Rembang Anticlinorium).
Bagian Utara pernah mengalami pengangkatan yang lebih kuat dibandingkan dengan di
bagian selatan sehingga terjadi erosi sampai Formasi Tawun, bahkan kadang – kadang sampai
Kujung Bawah. Di bagian selatan dari daerah ini terletak antara lain struktur – struktur
Banyubang, Mojokerep dan Ngrayong.
Bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium) ditandai oleh dua jalur positif yang jelas
berdekatan dengan Cepu. Di jalur positif sebelah Utara terdapat lapangan – lapangan minyak
yang penting di Jawa Timur, yaitu lapangan : Kawengan, Ledok, Nglobo Semanggi, dan
termasuk juga antiklin – antiklin Ngronggah, Banyuasin, Metes, Kedewaan dan Tambakromo.
Di dalam jalur positif sebelah selatan terdapat antiklinal-antiklinal / struktur-struktur Gabus,
Trembes, Kluweh, Kedinding – Mundu, Balun, Tobo, Ngasem – Dander, dan Ngimbang High.
Sepanjang jalur Zona Rembang membentuk struktur perlipatan yang dapat dibedakan
menjadi 2 bagian, yaitu : 
1. Bagian Timur, dimana arah umum poros antiklin membujur dari Barat Laut – Timur
Tenggara. 
2. Bagian Barat, yang masing – masing porosnya mempunyai arah Barat – timur dan secara
umum antiklin-antiklin tersebut menunjam baik ke arah barat ataupun ke arah timur. 

109
110
BAB VIII
STRUKTUR GEOLOGI DAN TOPOGRAFI
SUMATERA BAGIAN TENGAH

A. Tektonik Regional
Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan sedimentasi tersier penghasil
hidrokarbon terbesar di Indonesia. Ditinjau dari posisi tektoniknya, Cekungan Sumatra
tengah merupakan cekungan belakang busur.
Cekungan Sumatra tengah ini relatif memanjang Barat laut-Tenggara, dimana
pembentukannya dipengaruhi oleh adanya subduksi lempeng Hindia-Australia dibawah
lempeng Asia (gambar 1). Batas cekungan sebelah Barat daya adalah Pegunungan Barisan
yang tersusun oleh batuan pre-Tersier, sedangkan ke arah Timur laut dibatasi oleh paparan
Sunda. Batas tenggara cekungan ini yaitu Pegunungan Tigapuluh yang sekaligus memisahkan
Cekungan Sumatra tengah dengan Cekungan Sumatra selatan. Adapun batas cekungan
sebelah barat laut yaitu Busur Asahan, yang memisahkan Cekungan Sumatra tengah dari
Cekungan Sumatra utara (gambar 2).

Gambar 7.1. Peta pergerakan lempeng Daerah Sumatra dan kawasan


Asia Tenggara lainnya pada masa kini

Proses subduksi lempeng Hindia-Australia menghasilkan peregangan kerak di bagian


bawah cekungan dan mengakibatkan munculnya konveksi panas ke atas dan diapir-diapir
magma dengan produk magma yang dihasilkan terutama bersifat asam, sifat magma dalam
dan hipabisal. Selain itu, terjadi juga aliran panas dari mantel ke arah atas melewati jalur-jalur
111
sesar. Secara keseluruhan, hal-hal tersebutlah yang mengakibatkan tingginya heat flow di
daerah cekungan Sumatra tengah (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995).

Gambar 2. Lokasi Cekungan Sumatra tengah dan batas-batasnya

Faktor pengontrol utama struktur geologi regional di cekungan Sumatra tengah adalah
adanya Sesar Sumatra yang terbentuk pada zaman kapur. Subduksi lempeng yang miring dari
arah Barat daya pulau Sumatra mengakibatkan terjadinya strong dextral wrenching stress di
Cekungan Sumatra tengah (Wibowo, 1995). Hal ini dicerminkan oleh bidang sesar yang
curam yang berubah sepanjang jurus perlapisan batuan, struktur sesar naik dan adanya
flower structure yang terbentuk pada saat inversi tektonik dan pembalikan-pembalikan
struktur (gambar 3). Selain itu, terbentuknya sumbu perlipatan yang searah jurus sesar
dengan penebalan sedimen terjadi pada bagian yang naik (inverted) (Shaw et al., 1999).
Struktur geologi daerah cekungan Sumatra tengah memiliki pola yang hampir sama
dengan cekungan Sumatra Selatan, dimana pola struktur utama yang berkembang berupa
struktur Barat laut-Tenggara dan Utara-Selatan (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995).
Walaupun demikian, struktur berarah Utara-Selatan jauh lebih dominan dibandingkan
struktur Barat laut–Tenggara.

112
Elemen tektonik yang membentuk konfigurasi Cekungan Sumatra tengah dipengaruhi
adanya morfologi High – Low pre-Tersier. Pada gambar 4 dapat dilihat pengaruh struktur dan
morfologi High – Low terhadap konfigurasi basin di Cekungan Sumatra tengah (kawasan
Bengkalis Graben), termasuk penyebaran depocenter dari graben dan half graben. Lineasi
Basement Barat laut-Tenggara sangat terlihat pada daerah ini dan dapat ditelusuri di
sepanjang cekungan Sumatra tengah. Liniasi ini telah dibentuk dan tereaktivasi oleh
pergerakan tektonik paling muda (tektonisme Plio-Pleistosen). Akan tetapi liniasi basement
ini masih dapat diamati sebagai suatu komponen yang mempengaruhi pembentukan formasi
dari cekungan Paleogen di daerah Cekungan Sumatra tengah.
Sejarah tektonik cekungan Sumatra tengah secara umum dapat disimpulkan menjadi
beberapa tahap, yaitu :
1. Konsolidasi Basement pada zaman Yura, terdiri dari sutur yang berarah Barat laut-
Tenggara.
2. Basement terkena aktivitas magmatisme dan erosi selama zaman Yura akhir dan zaman
Kapur.
3. Tektonik ekstensional selama Tersier awal dan Tersier tengah (Paleogen) menghasilkan
sistem graben berarah Utara-Selatan dan Barat laut-Tenggara. Kaitan aktivitas tektonik
ini terhadap paleogeomorfologi di Cekungan Sumatra tengah adalah terjadinya
perubahan lingkungan pengendapan dari longkungan darat, rawa hingga lingkungan
lakustrin, dan ditutup oleh kondisi lingkungan fluvial-delta pada akhir fase rifting.
4. Selama deposisi berlangsung di Oligosen akhir sampai awal Miosen awal yang
mengendapkan batuan reservoar utama dari kelompok Sihapas, tektonik Sumatra relatif
tenang. Sedimen klastik diendapkan, terutama bersumber dari daratan Sunda dan dari
arah Timur laut meliputi Semenanjung Malaya. Proses akumulasi sedimen dari arah
timur laut Pulau Sumatra menuju cekungan, diakomodir oleh adanya struktur-struktur
berarah Utara-Selatan. Kondisi sedimentasi pada pertengahan Tersier ini lebih
dipengaruhi oleh fluktuasi muka air laut global (eustasi) yang menghasilkan episode
sedimentasi transgresif dari kelompok Sihapas dan Formasi Telisa, ditutup oleh episode
sedimentasi regresif yang menghasilkan Formasi Petani.
5. Akhir Miosen akhir volkanisme meningkat dan tektonisme kembali intensif dengan rejim
kompresi mengangkat pegunungan Barisan di arah Barat daya cekungan. Pegunungan
Barisan ini menjadi sumber sedimen pengisi cekungan selanjutnya (later basin fill). Arah
sedimentasi pada Miosen akhir di Cekungan Sumatra tengah berjalan dari arah selatan
menuju utara dengan kontrol struktur-struktur berarah utara selatan.
6. Tektonisme Plio-Pleistosen yang bersifat kompresif mengakibatkan terjadinya inversi-
inversi struktur Basement membentuk sesar-sesar naik dan lipatan yang berarah Barat

113
laut-Tenggara. Tektonisme Plio-Pleistosen ini juga menghasilkan ketidakselarasan
regional antara formasi Minas dan endapan alluvial kuarter terhadap formasi-formasi di
bawahnya.
B. Stratigrafi Regional

Proses sedimentasi di Cekungan Sumatra tengah dimulai pada awal tersier (Paleogen),
mengikuti proses pembentukan cekungan half graben yang sudah berlangsung sejak zaman
Kapur hingga awal tersier. Konfigurasi basement cekungan tersusun oleh batuan-batuan
metasedimen berupa greywacke, kuarsit dan argilit. Batuan dasar ini diperkirakan berumur
Mesozoik. Pada beberapa tempat, batuan metasedimen ini terintrusi oleh granit (Koning &
Darmono, 1984 dalam Wibowo, 1995). Secara umum proses sedimentasi pengisian cekungan
ini dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Rift (Siklis Pematang)

Secara keseluruhan, sedimen pengisi cekungan pada fase tektonik ekstensional (rift) ini
dikelompokkan sebagai Kelompok Pematang yang tersusun oleh batulempung, serpih
karbonan, batupasir halus dan batulanau aneka warna. Lemahnya refleksi seismik dan
amplitudo yang kuat pada data seismik memberikan indikasi fasies yang berasosiasi dengan
lingkungan lakustrin.
Pengendapan pada awal proses rifting berupa sedimentasi klastika darat dan lakustrin
dari Lower Red Bed Formation dan Brown Shale Formation. Ke arah atas menuju fase late
rifting, sedimentasi berubah sepenuhnya menjadi lingkungan lakustrin dan diendapkan
Formasi Pematang sebagai Lacustrine Fill sediments.
a) Formasi Lower Red Bed
Tersusun oleh batulempung berwarna merah – hijau, batulanau, batupasir kerikilan dan
sedikit konglomerat serta breksi yang tersusun oleh pebble kuarsit dan filit. Kondisi
lingkungan pengendapan diinterpretasikan berupa alluvial braid-plain dilihat dari banyaknya
muddy matrix di dalam konglomerat dan breksi
b) Formasi Brown Shale
Formasi ini cukup banyak mengandung material organik, dicirikan oleh warna yang
coklat tua sampai hitam. Tersusun oleh serpih dengan sisipan batulanau, di beberapa tempat
terdapat selingan batupasir, konglomerat dan paleosol. Ketebalan formasi ini mencapai lebih
dari 530 m di bagian depocenter.
Formasi ini diinterpretasikan diendapkan di lingkungan danau dalam dengan kondisi
anoxic dilihat dari tidak adanya bukti bioturbasi. Interkalasi batupasir batupasir–konglomerat
diendapkan oleh proses fluvial channel fill. Menyelingi bagian tengah formasi ini, terdapat
beberapa horison paleosol yang dimungkinkan terbentuk pada bagian pinggiran/batas danau
yang muncul ke permukaan (lokal horst), diperlihatkan oleh rekaman inti batuan di komplek
114
Bukit Susah (gambar 6). Secara tektonik, formasi ini diendapkan pada kondisi penurunan
cekungan yang cepat sehingga aktivitas fluvial tidak begitu dominan.
c) Formasi Coal Zone
Secara lateral, formasi ini dibeberapa tempat equivalen dengan Formasi Brown Shale.
Formasi ini tersusun oleh perselingan serpih dengan batubara dan sedikit batupasir.
Lingkungan pengendapan dari formasi ini diinterpretasikan berupa danau dangkal dengan
kontrol proses fluvial yang tidak dominan. Ditinjau dari konfigurasi cekungannya, formasi ini
diendapkan di daerah dangkal pada bagian aktif graben menjauhi depocenter (gambar 6).
d) Formasi Lake Fill
Tersusun oleh batupasir, konglomerat dan serpih. Komposisi batuan terutama berupa
klastika batuan filit yang dominan, secara vertikal terjadi penambahan kandungan litoklas
kuarsa dan kuarsit. Struktur sedimen gradasi normal dengan beberapa gradasi terbalik
mengindikasikan lingkungan pengendapan fluvial-deltaic. Formasi ini diendapkan secara
progradasi pada lingkungan fluvial menuju delta pada lingkungan danau. Selama
pengendapan formasi ini, kondisi tektonik mulai tenang dengan penurunan cekungan yang
mulai melambat (late rifting stage). Ketebalan formasi mencapai 600 m.
e) Formasi Fanglomerate
Diendapkan disepanjang bagian turun dari sesar sebagai seri dari endapan aluvial.
Tersusun oleh batupasir, konglomerat, sedikit batulempung berwarna hijau sampai merah.
Baik secara vertikal maupun lateral, formasi ini dapat bertransisi menjadi formasi Lower Red
Bed, Brown Shale, Coal Zone dan Lake Fill.
Di beberapa daerah sepertihalnya di Sub-Cekungan Aman, dua formasi terakhir (Lake Fill
dan Fanglomerat) dianggap satu kesatuan yang equivalen dengan Formasi Pematang
berdasarkan sifat dan penyebarannya pada penampang seismik.
2. Sag

Secara tidak selaras diatas Kelompok Pematang diendapkan sedimen Neogen. Fase
sedimentasi ini diawali oleh episode transgresi yang diwakili oleh Kelompok Sihapas dan
mencapai puncaknya pada Formasi Telisa.
a) (Siklis Sihapas  transgresi awal)
Kelompok Sihapas yang terbentuk pada awal episode transgresi terdiri dari Formasi
Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap dan Formasi Duri. Kelompok ini tersusun oleh
batuan klastika lingkungan fluvial-deltaic sampai laut dangkal. Pengendapan kelompok ini
berlangsung pada Miosen awal – Miosen tengah.
1) Formasi Menggala, Tersusun oleh batupasir konglomeratan dengan ukuran butir kasar
berkisar dari gravel hingga ukuran butir sedang. Secara lateral, batupasir ini bergradasi
menjadi batupasir sedang hingga halus. Komposisi utama batuan berupa kuarsa yang
115
dominan, dengan struktur sedimen trough cross-bedding dan erosional basal scour.
Berdasarkan litologi penyusunnya diperkirakan diendapkan pada fluvial-channel
lingkungan braided stream. Formasi ini dibedakan dengan Lake Fill Formation dari
kelompok Pematang bagian atas berdasarkan tidak adanya lempung merah terigen pada
matrik (Wain et al., 1995). Ketebalan formasi ini mencapai 250 m, diperkirakan berumur
awal Miosen bawah.
2) Formasi Bangko, Formasi ini tersusun oleh serpih karbonan dengan perselingan
batupasir halus-sedang. Diendapkan pada lingkungan paparan laut terbuka. Dari fosil
foraminifera planktonik didapatkan umur N5 (Blow, 1963). Ketebalan maksimum
formasi kurang lebih 100 m.
3) Formasi Bekasap,Formasi ini tersusun oleh batupasir masif berukuran sedang-kasar
dengan sedikit interkalasi serpih, batubara dan batugamping. Berdasarkan ciri litologi
dan fosilnya, formasi ini diendapkan pada lingkungan air payau dan laut terbuka. Fosil
pada serpih menunjukkan umur N6 – N7. Ketebalan seluruh formasi ini mencapai 400 m.
4) Formasi Duri, Di bagian atas pada beberapa tempat, formasi ini equivalen dengan
formasi Bekasap. Tersusun oleh batupasir halus-sedang dan serpih. Ketebalan
maksimum mencapai 300 m. Formasi ini berumur N6 – N8.

b) (Formasi Telisa  transgresi akhir)


Formasi Telisa yang mewakili episode sedimentasi pada puncak transgresi tersusun oleh
serpih dengan sedikit interkalasi batupasir halus pada bagian bawahnya. Di beberapa tempat
terdapat lensa-lensa batugamping pada bagian bawah formasi. Ke arah atas, litologi berubah
menjadi serpih mencirikan kondisi lingkungan yang lebih dalam. Diinterpretasikan
lingkungan pengendapan formasi ini berupa lingkungan Neritik – Bathyal atas.
Secara regional, serpih marine dari formasi ini memiliki umur yang sama dengan
Kelompok Sihapas, sehingga kontak Formasi Telisa dengan dibawahnya adalah transisi fasies
litologi yang berbeda dalam posisi stratigrafi dan tempatnya. Ketebalan formasi ini mencapai
550 m, dari analisis fosil didapatkan umur N6 – N11.
c) (Formasi Petani  regresi)
Tersusun oleh serpih berwarna abu-abu yang kaya fosil, sedikit karbonatan dengan
beberapa lapisan batupasir dan batulanau. Secara vertikal, kandungan tuf dalam batuan
semakin meningkat. Selama pengendapan satuan ini, aktivitas tektonik kompresi dan
volkanisme kembali aktif (awal pengangkatan Bukit Barisan), sehingga dihasilkan material
volkanik yang melimpah. Kondisi air laut global (eustasi) berfluktuasi secara signifikan
dengan penurunan muka air laut sehingga terbentuk beberapa ketidakselarasan lokal di
beberapa tempat.

116
Formasi ini diendapkan pada episode regresif secara selaras diatas Formasi Telisa.
Walaupun demikian, ke arah timur laut secara lokal formasi ini memiliki kontak tidak selaras
dengan formasi di bawahnya. Ketebalan maksimum formasi ini mencapai 1500 m,
diendapkan pada Miosen tengah– Pliosen.
3. Inversi

Pada akhir tersier terjadi aktivitas tektonik mayor berupa puncak dari pengangkatan
Bukit Barisan yang menghasilkan ketidakselarasan regional pada Plio-Pleistosen. Aktivitas
tektonik ini mengakibatkan terjadinya inversi struktur sesar turun menjadi sesar naik. Pada
fase tektonik inversi ini diendapkan Formasi Minas yang tersusun oleh endapan darat dan
aluvium berupa konglomerat, batupasir, gravel, lempung dan aluvium berumur Pleistosen –
Resen.

C. Cekungan Sumatra Selatan

Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang berkaitan
erat dengan penunjaman Lempeng Indi-Australia, yang bergerak ke arah utara hingga
timurlaut terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zone penunjaman lempeng meliputi
daerah sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa. Beberapa lempeng kecil (micro-
plate) yang berada di antara zone interaksi tersebut turut bergerak dan menghasilkan zone
konvergensi dalam berbagai bentuk dan arah. Penunjaman lempeng Indi-Australia tersebut
dapat mempengaruhi keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera Selatan.
Tumbukan tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur depan, magmatik,
dan busur belakang.
Cekungan Sumatera Selatan terbentuk dari hasil penurunan (depression) yang dikelilingi
oleh tinggian-tinggian batuan Pratersier. Pengangkatan Pegunungan Barisan terjadi di akhir
Kapur disertai terjadinya sesar-sesar bongkah (block faulting). Selain Pegunungan
Barisan sebagai pegunungan bongkah (block mountain) beberapa tinggian batuan tua
yang masih tersingkap di permukaan adalah di Pegunungan Tigapuluh, Pegunungan Duabelas,
Pulau Lingga dan Pulau Bangka yang merupakan sisa-sisa tinggian "Sunda Landmass", yang
sekarang berupa Paparan Sunda. Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami tiga kali proses
orogenesis, yaitu yang pertama adalah pada Mesozoikum Tengah, kedua pada Kapur Akhir
sampai Tersier Awal dan yang ketiga pada Plio-Plistosen. Orogenesis Plio-Plistosen
menghasilkan kondisi struktur geologi seperti terlihat pada saat ini. Tektonik dan struktur
geologi daerah Cekungan Sumatera Selatan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu,
Zone Sesar Semangko, zone perlipatan yang berarah baratlaut-tenggara dan zona sesar-sesar
yang berhubungan erat dengan perlipatan serta sesar-sesar Pratersier yang mengalami
peremajaa.

117
Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier berarah barat
laut – tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya,
Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang
memisahkan cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan
Pegunungan Tiga Puluh di sebelah barat laut yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan
dengan Cekungan Sumatera Tengah. Posisi Cekungan Sumatera Selatan sebagai cekungan
busur belakang (Blake, 1989).
Pakar Tektonik Regional, Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera
Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat
adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan
lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km 2, dimana
sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh
Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah
tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut Salim et al. (1995), Cekungan Sumatera Selatan terbentuk selama Awal Tersier
(Eosen – Oligosen) ketika rangkaian (seri) graben berkembang sebagai reaksi sistem
penunjaman menyudut antara lempeng Samudra India di bawah lempeng Benua Asia.
Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3 episode orogenesa
yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan yaitu orogenesa
Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan Orogenesa Plio – Plistosen.

118
Episode pertama, endapan – endapan Paleozoik dan Mesozoik termetamorfosa, terlipat
dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta telah
membentuk pola dasar struktur cekungan. Menurut Pulunggono, 1992 (dalam Wisnu dan
Nazirman ,1997), fase ini membentuk sesar berarah barat laut – tenggara yang berupa sesar –
sesar geser.
Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak – gerak
tensional yang membentuk graben dan horst dengan arah umum utara – selatan.
Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan – batuan Pra –
Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan
Formasi Pra – Talang Akar.
Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio – Plistosen yang menyebabkan pola
pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur perlipatan
dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga
terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar
Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal
yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan
Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar – sesar yang baru terbentuk di daerah ini
mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan
horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio – Plistosen menghasilkan lipatan yang
berarah barat laut – tenggara tetapi sesar yang terbentuk berarah timur laut – barat daya dan

119
barat laut – tenggara. Jenis sesar yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar
mendatar dan sesar normal.
Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut – tenggara
sebagai hasil orogenesa Plio – Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi dapat
dibedakan atas pola tua yang berarah utara – selatan dan barat laut – tenggara serta pola
muda yang berarah barat laut – tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera.
1.  Stratigrafi Regional Cekungan Sumatra Bagian Selatan
Stratigrafi daerah Cekungan Sumatera Selatan telah banyak dibahas oleh para ahli
geologi terdahulu, khususnya yang bekerja dilingkungan perminyakan. Pada awalnya
pembahasan dititik beratkan pada sedimen Tersier, umumnya tidak pernah diterbitkan dan
hanya berlaku di lingkungan sendiri.
Peneliti terdahulu telah menyusun urutan-urutan stratigrafi  umum Cekungan Sumatera
Selatan, antara lain : Van Bemmelen (1932), Musper (1937), Marks (1956), Spruyt (1956),
Pulunggono (1969), De Coster 2(1974), Pertamina (1981). Berdasarkan peneliti-peneliti
terdahulu, maka Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
kelompok batuan Pra-Tersier, kelompok batuan Tersier serta kelompok batuan Kuarter.
a. Batuan Pra-Tersier
Batuan Pra-Tersier Cekungan Sumatera Selatan merupakan dasar cekungan sedimen
Tersier. Batuan ini diketemukan sebagai batuan beku, batuan metamorf dan batuan sedimen
(De Coster, 1974) Westerveld (1941), membagi batuan berumur Paleozoikum (Permokarbon)
berupa slate dan yang berumur Mesozoikum (Yurakapur) berupa seri fasies vulkanik dan seri
fasies laut dalam. Batuan Pra-Tersier ini diperkirakan telah mengalami perlipatan dan
patahan yang intensif pada zaman Kapur Tengah sampai zaman Kapur Akhir dan diintrusi
oleh batuan beku sejak orogenesa Mesozoikum Tengah (De Coster, 1974).
b. Batuan Tersier
Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera
Selatan dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap susut laut.
Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut disebut Kelompok Telisa (De
Coster, 1974, Spruyt, 1956), dari umur Eosen Awal hingga Miosen Tengah terdiri atas Formasi
Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja (BRF), dan Formasi Gumai (GUF).
Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut laut disebut Kelompok Palembang (Spruyt,
1956) dari umur Miosen Tengah – Pliosen terdiri atas Formasi Air Benakat (ABF), Formasi
Muara Enim (MEF), dan Formsi Kasai (KAF).
1) Formasi Lahat (LAF)
Menurut Spruyt (1956), Formasi ini terletak secara tidak selaras diatas batuan dasar,
yang terdiri atas lapisan-lapisan tipis tuf andesitik yang secara berangsur berubah keatas

120
menjadi batu lempung tufan. Selain itu breksi andesit berselingan dengan lava andesit, yang
terdapat dibagian bawah. Batulempung tufan, segarnya berwarna hijau dan lapuknya
berwarna ungu sampai merah keunguan. Menurut De Coster (1973) formasi ini terdiri dari
tuf, aglomerat, batulempung, batupasir tufan, konglomeratan dan  breksi yang berumur Eosen
Akhir hingga Oligosen Awal. Formasi ini diendapkan dalam air tawar daratan. Ketebalan dan
litologi sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lainnya karena bentuk cekungan
yang tidak teratur, selanjutnya pada umur Eosen hingga Miosen Awal, tejadi kegiatan
vulkanik yang menghasilkan andesit (Westerveld, 1941 vide of side katilli 1941), kegiatan ini
mencapai puncaknya pada umur Oligosen Akhir sedangkan batuannya disebut sebagai batuan
“Lava Andesit tua” yang juga mengintrusi batuan yang diendapkan pada Zaman Tersier Awal.
2) Formasi Talang Akar (TAF)
Nama Talang Akar berasal dari Talang Akar Stage (Martin, 1952) nama lain yang pernah
digunakan adalah Houthorizont (Musper, 1937) dan Lower Telisa Member (Marks, 1956).
Formasi Talang akar dibeberapa tempat bersentuhan langsung secara tidak selaras dengan
batuan Pra Tersier. Formasi ini dibeberapa tempat menindih selaras Formasi Lahat (De
Coster, 1974), hubungan itu disebut rumpang stratigrafi, ia juga menafsirkan hubungan
stratigrafi diantara kedua formasi tersebut selaras terutama dibagian tengahnya, ini diperoleh
dari data pemboran sumur Limau yang terletak disebelah Barat Daya Kota Prabumulih
(Pertamina, 1981),
Formasi Talang Akar dibagi menjadi dua, yaitu : Anggota “Gritsand” terdiri atas
batupasir, yang mengandung kuarsa dan ukuran butirnya pada bagian bawah kasar dan
semakin atas semakin halus. Pada bagian teratas batupasir ini berubah menjadi batupasir
konglomeratan atau breksian. Batupasir berwarna putih sampai coklat keabuan dan
mengandung mika, terkadang terdapat selang-seling batulempung coklat dengan batubara,
pada anggota ini terdapat sisa-sisa tumbuhan dan batubara, ketebalannya antara 40 – 830
meter. Sedimen-sedimen ini merupakan endapan fluviatil sampai delta (Spruyt, 1956), juga
masih menurut Spruyt (1956) anggota transisi pada bagian bawahnya terdiri atas selang-
seling batupasir kuarsa berukuran halus sampai sedang dan batulempung serta lapisan
batubara. Batupasir pada bagian atas berselang-seling dengan batugamping tipis dan
batupasir gampingan, napal, batulempung gampingan dan serpih. Anggota ini mengandung
fosil-fosil Molusca, Crustacea, sisa ikan foram besar dan foram kecil, diendapkan pada
lingkungan paralis, litoral, delta, sampai tepi laut dangkal dan berangsur menuju laut terbuka
kearah cekungan. Formasi ini berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal. Ketebalan
formasi  ini pada bagian selatan cekungan mencapai 460 – 610 meter, sedangkan pada bagian
utara cekungan mempunyai ketebalan kurang lebih 300 meter (De Coster, 1974).

121
3) Formasi Baturaja (BRF)
Menurut Spruyt (1956), formasi ini diendapkan secara selaras diatas Formasi Talang
Akar. Terdiri dari batugamping terumbu dan batupasir gampingan. Di gunung Gumai
tersingkap dari bawah keatas berturut-turut napal tufaan, lapisan batugamping koral,
batupasir napalan kelabu putih, batugamping ini mengandung foram besar antara lain
Spiroclypes spp, Eulipidina Formosa Schl, Molusca dan lain sebagainya. Ketebalannya antara 19
- 150 meter dan berumur Miosen Awal. Lingkungan Pengendapannya adalah laut dangkal.
Penamaan Formasi Baturaja pertama kali dikemukakan oleh Van Bemmelen (1932) sebagai
“Baturaja Stage”, Baturaja Kalk Steen (Musper, 1973) “Crbituiden Kalk” (v.d. Schilden, 1949;
Martin, 1952), “Midle Telisa Member” (Marks, 1956), Baturaja Kalk Sten Formatie (Spruyt,
1956) dan Telisa Limestone (De Coster, 1974). Lokasi tipe Formasi Baturaja adalah di pabrik
semen Baturaja (Van Bemelen, 1932).
4) Formasi Gumai (GUF)
Formasi ini diendapkan setelah Formasi Baturaja dan merupakan hasil pengendapan
sedimen-sedimen yang terjadi pada waktu genang laut mencapai puncaknya. Hubungannya
dengan Formasi Baturaja pada tepi cekungan atau daerah dalam cekungan yang dangkal
adalah selaras, tetapi pada beberapa tempat di pusat-pusat cekungan atau pada bagian
cekungan yang dalam terkadang menjari dengan Formasi Baturaja (Pulonggono, 1986).
Menurut Spruyt (1956) Formasi ini terdiri atas napal tufaan berwarna kelabu cerah sampai
kelabu gelap. Kadang-kadang terdapat lapisan-lapisan batupasir glaukonit yang keras, tuff,
breksi tuff, lempung serpih dan lapisan tipis batugamping. Endapan sediment pada formasi ini
banyak mengandung Globigerina spp, dan napal yang mengeras. Westerfeld (1941)
menyebutkan bahwa lapisan-lapisan Telisa adalah seri monoton dari serpih dan napal yan
mengandung Globigerina sp dengan selingan tufa juga lapisan pasir glaukonit. Umur dari
formasi ini adalah Awal Miosen Tengah (Tf2) (Van Bemmelen, 1949) sedangkan menurut
Pulonggono (1986) berumur Miosen Awal hingga Miosen Tengah (N9 – N12).
5) Formasi Air Benakat (ABF)
Menurut Spruyt (1956), formasi ini merupakan tahap awal dari siklus pengendapan
Kelompok Palembang, yaitu pada saat permulaan dari endapan susut laut. Formasi ini
berumur dari Miosen Akhir hingga Pliosen. Litologinya terdiri atas batupasir tufaan, sedikit
atau banyak lempung tufaan yang berselang-seling dengan batugamping napalan atau
batupasirnya semakin keatas semakin berkurang kandungan glaukonitnya. Pada formasi ini
dijumpai Globigerina spp, tetapi banyak mengadung Rotalia spp. Pada bagian atas banyak
dijumpai Molusca dan sisa tumbuhan.
Di Limau, dalam penyelidikan Spruyt (1956) ditemukan serpih lempungan yang
berwarna biru sampai coklat kelabu, serpih lempung pasiran dan batupasir tufaan. Di daerah

122
Jambi ditemukan berupa batulempung kebiruan, napal, serpih pasiran dan batupasir yang
mengandung Mollusca, glaukonit kadang-kadang gampingan. Diendapkan dalam lingkungan
pengendapan neritik bagian bawah dan berangsur kelaut dangkal bagian atas (De Coster,
1974). Ketebalan formasi ini berkisar 250 – 1550 meter. Lokasi tipe formasi ini , menurut
Musper (1937), terletak diantara Air Benakat dan Air Benakat Kecil (kurang lebih 40 km
sebelah utara-baratlaut Muara Enim (Lembar Lahat). Nama lainnya adalah “Onder Palembang
Lagen” (Musper, 1937), “Lower Palembang Member” (Marks, 1956), “Air Benakat and en Klai
Formatie” (Spruyt, 1956).
6) Formasi Muara Enim (MEF)
Menurut Spruyt (1956) formasi in terlatak selaras diatas Formasi Air Benakat. Formasi
ini dapat dibagi menjadi dua anggota “a” dan anggota “b”. Anggota “a” disebut juga Anggota
Coklat (Brown Member) terdiri atas batulempung dan batupasir coklat sampai coklat kelabu,
batupasir berukuran halus sampai sedang. Didaerah Palembang terdapat juga lapisan
batubara. Anggota “b” disebut juga Anggota Hijau Kebiruan (Blue Green Member) terdiri atas
batulempung pasiran dan batulempung tufaan yang berwarna biru hijau, beberapa lapisan
batubara berwarna merah-tua gelap, batupasir kasar halus berwarna putih sampai kelabu
terang. Pada anggota “a” terkadang dijumpai kandungan Foraminifera dan Mollusca selain
batubara dan sisa tumbuhan, sedangkan pada anggota “b” selain batubara dan sisa tumbuhan
tidak dijumpai fosil kecuali foram air payau Haplophragmoides spp (Spruyt, 1956). Ketebalan
formasi ini sekitar 450 -750 meter. Anggota “a” diendapkan pada lingkungan litoral yang
berangsur berubah kelingkungan air payau dan darat (Spruyt, 1956). Lokasi tipenya terletak
di Muara Enim, Kampong Minyak, Lembar Lahat (Tobler, 1906)
7) Formasi Kasai (KAF)
Formasi ini mengakhiri siklus susut laut (De Coster dan Adiwijaya, 1973). Pada bagian
bawah terdiri atas batupasir tufan dengan beberapa selingan batulempung tufan, kemudian
terdapat konglomerat selang-seling lapisan-lapisan batulempung tufan dan batupasir yang
lepas, pada bagian teratas terdapat lapisan tuf batuapung yang mengandung sisa tumbuhan
dan kayu terkersikkan berstruktur sediment silang siur, lignit terdapat sebagai lensa-lensa
dalam batupasir dan batulempung tufan (Spruyt, 1956). Tobler (1906) menemukan moluska
air tawar Viviparus spp dan Union spp, umurnya diduga Plio-Plistosen. Lingkungan
pengendapan air payau sampai darat. Satuan ini terlempar luas dibagian timur Lembar dan
tebalnya mencapai 35 meter.
2. Satuan Endapan Alluvial
Penyebaran satuan ini meliputi daerah sungai dan tepian sungai-sungai besar berupa
meander-meander ditengah dan ditepi sungai. Ketebalan endapan alluvial ini bervariasi, dan

123
satuan ini terdiri dari hasil rombakan beku, batuan sedimen, batuan metamorf yang bersifat
lepas berukuran pasir halus hingga kerakal.

D. CEKUNGAN BENGKULU
Cekungan Bengkulu adalah salah satu
cekungan forearc di Indonesia. Cekungan forearc
artinya cekungan yang berposisi di depan jalur
volkanik (fore – arc; arc = jalur volkanik). Tetapi,
kita menyebutnya demikian berdasarkan posisi
geologinya saat ini. Apakah posisi tersebut sudah
dari dulu begitu? Belum tentu, dan inilah yang
harus kita selidiki. Publikasi-publikasi dari
Howles (1986), Mulhadiono dan Asikin (1989),
Hall et al. (1993) dan Yulihanto et al. (1995)—
semuanya di proceedings IPA baik untuk
dipelajari soal Bengkulu Basin.
Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan Barisan (dalam hal
ini adalah volcanic arc-nya) mulai naik di sebelah barat Sumatra pada Miosen Tengah.
Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu adalah bahwa sebelum Misoen Tengah berarti tidak
ada forearc basin Bengkulu sebab pada saat itu arc-nya sendiri tidak ada.
Begitulah yang selama ini diyakini, yaitu bahwa pada sebelum Miosen Tengah, atau
Paleogen, Cekungan Bengkulu masih merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera
Selatan. Lalu pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan
naik, Cekungan Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat itulah,
Cekungan Bengkulu menjadi cekungan forearc dan Cekungan Sumatera Selatan menjadi
cekungan backarc (belakang busur).
Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan Sumatera Selatan
dapat dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan itu. Dapat diamati
bahwa pada Paleogen, stratigrafi kedua cekungan hampir sama. Keduanya mengembangkan
sistem graben di beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu ada Graben Pagarjati, Graben
Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat yang sama di Cekungan Sumatera Selatan saat itu
ada graben-graben Jambi, Palembang, Lematang, dan Kepahiang). Tetapi setelah Neogen,
Cekungan Bengkulu masuk kepada cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera
Selatan, dibuktikan oleh berkembangnya terumbu-terumbu karbonat yang masifghlighter.
pada Miosen Atas yang hampir ekivalen secara umur dengan karbonat Parigi di Jawa
Barat (para operator yang pernah bekerja di Bengkulu menyebutnya sebagai karbonat Parigi

124
juga). Pada saat yang sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak diendapkan sedimen-
sedimen regresif (Formasi Air Benakat/Lower Palembang dan Muara Enim/Middle
Palembang) karena cekungan sedang mengalami pengangkatan dan inversi.
Secara tektonik, mengapa terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen di Cekungan
Bengkulu—yaitu Cekungan Bengkulu dalam fase penenggelaman sementara Cekungan
Sumatera Selatan sedang terangkat. Karena pada Neogen, Cekungan Bengkulu menjadi diapit
oleh dua sistem sesar besar yang memanjang di sebelah barat Sumatera, yaitu Sesar Sumatera
(Semangko) di daratan dan Sesar Mentawai di wilayah offshore, sedikit di sebelah timur
pulau-pulau busur luar Sumatera (Simeulue-Enggano). Kedua sesar ini bersifat dextral. Sifat
pergeseran (slip) yang sama dari dua sesar mendatar yang berpasangan (couple strike-slip
atau duplex) akan bersifat trans-tension atau membuka wilayah yang diapitnya. Dengan cara
itulah semua cekungan forearc di sebelah barat Sumatera yang diapit dua sesar besar ini
menjadi terbuka oleh sesar mendatar (trans-tension pull-apart opening) yang mengakibatkan
cekungan-cekungan ini tenggelam sehingga punya ruang untuk mengembangkan terumbu
karbonat Neogen yang masif asalkan tidak terlalu dalam.
Di cekungan-cekungan forearc utara Bengkulu (Mentawai, Sibolga, Meulaboh) pun
berkembang terumbu-terumbu Neogen yang masif akibat pembukaan dan penenggelaman
cekungan-cekungan ini. Dan, dalam dunia perminyakan terumbu-terumbu inilah yang sejak
akhir 1960-an telah menjadi target-target pemboran eksplorasi. Sayangnya, sampai saat ini
belum berhasil ditemukan cadangan yang komersial, hanya ditemukan gas biogenik dan oil
show (Dobson et al., 1998 dan Yulihanto, 2000—proceedings IPA untuk keterangan Mentawai
dan Sibolga Basins).
Cekungan Bengkulu merupakan salah satu dari dua cekungan forearc di Indonesia yang
paling banyak dikerjakan operator perminyakan (satunya lagi Cekungan Sibolga-Meulaboh).
Meskipun belum berhasil menemukan minyak atau gas komersial, tidak berarti cekungan-
cekungan ini tidak mengandung migas komersial. Sebab, target-target pemboran di wilayah
ini (total sekitar 30 sumur) tak ada satu pun yang menembus target Paleogen dengan sistem
graben-nya yag telah terbukti produktif di Cekungan-Cekungan Sumatera Tengah dan
Sumatera Selatan.

125
BAB IX
STRUKTUR GEOLOGI DAN TOPOGRAFI
KALIMANTAN

A. CEKUNGAN KUTAI

1. Regional
Cekungan Kutai dibatasi oleh Paternoster platform, Barito Basin, dan Pegunungan
Meratus ke selatan, dengan Schwaner Blok ke barat
daya, lalu Tinggian Mangkalihat di sebelah utara -
timur laut, dan Central Kalimantan Mountains (Moss
dan Chambers, 1999) untuk barat dan utara
(Gambar 2.1). Cekungan Kutai memiliki sejarah
yang kompleks (Moss et al., 1997), dan merupakan
satu - satunya cekungan Indonesia yang telah
berevolusi dari internal rifting fracture/foreland
basin ke marginal-sag.. Sebagian besar produk awal
pengisi Cekungan Kutai telah terbalik dan diekspos
(Satyana et al., 1999), pada Miosen Tengah sampai Gambar 5.4 Peta Aktif Tektonik di Jawa

Miosen Akhir sebagai akibat dari terjadinya tumbukan / kolusi block Micro Continent.

Dari peristiwa ini menyebabkan adanya pengangkatan cekungan, perubahan sumbu


antiklin dan erosi permukaan yang mengontrol sedimentasi pada Delta Mahakam. Delta
Mahakam terbentuk di mulut sungai Mahakam sebelah timur pesisir pulau Kalimantan.
Dengan garis pantainya berorientasi arah NE-SW dan dibatasi oleh Selat Makasar, selat yang
memisahkan pulau Kalimantan dan Sulawesi.
2. Stratigrafi Regional Cekungan Kutai
Satyana et all, 1999 dalam An Outline Of The Geology Of Indonesia, 2001 melakukan
penelitian dan menyusun stratigrafi Cekungan Kutai dari tua ke muda sebagai berikut :
a. Formasi Beriun, Formasi Beriun terdiri dari batulempung, selang seling batupasir dan
batugamping. Formasi Beriun berumur Eosen Tengah – Eosen Akhir dan diendapkan
dalam lingkungan fluviatil hingga litoral.
b. Formasi Atan, Diatas Formasi Beriun terendapkan Formasi Atan yang merupakan hasil
dari pengendapan setelah terjadi penurunan cekungan dan pengendapan padaFormasi
Beriun. Formasi Atan terdiri dari batugamping dan batupasir kuarsa. Formasi Atan
berumur Oligosen Awal.

126
c. Formasi Marah, Formasi Marah Diendapakan secara selaras diatas Formasi Atan.
Formasi Marah terdiri dari batulempung, batupasir kuarsa dan batugamping berumur
Oligosen Akhir.
d. Formasi Pamaluan, Diendapkan pada kala Miosen Awal hingga Miosen Akhir di
lingkungan neritik, dengan ciri litologi batulempung, serpih, batugamping, batulanau dan
sisipan batupasir kuarsa. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan delta hingga litoral.
e. Formasi Bebulu, Diendapkan pada kala Miosen Awal hingga Miosen Tengah di
lingkungan neritik. Ciri litologi Formasi Bebulu adalah batugamping.
f. Formasi Pulubalang, Formasi Pulubalang diendapkan selaras di atas Formasi Pamaluan,
terdiri dari atas selang-seling pasir lanauan dengan disipan batugamping tipis dan
batulempung. Umur dari formasi ini adalah Miosen Tengah dan diendapkan pada
lingkungan sub litoral, kadang-kadang dipengaruhi oleh marine influx . Formasi ini
mempunyai hubungan menjari dengan Formasi Bebulu yang tersusun oleh batugamping
pasiran dengan serpih
g. Formasi Balikpapan, Formasi Balikpapan diendapkan secara selaras di atas Formasi
Pulubalang. Formasi ini terdiri dari selang seling antara batulempung dan batupasir
dengan sisipan batubara dan batugamping di bagian bawah. Data pemboran yang pernah
dilakukan di Cekungan Kutai membuktikan bahwa Formasi Balikpapan diendapkan
dengan sistem delta, pada delta plain hingga delta front . Umur formasi ini Miosen
Tengah  – Miosen Akhir.
h. Formasi Kampungbaru, Formasi Kampung Baru ini berumur Mio-Pliosen, terletak di
atas Formasi Balikpapan, terdiri dari selang-seling batupasir, batulempung dan batubara
dengan disipan batugamping tipis sebagai marine influx . Lingkungan pengendapan
formasi ini adalah delta.
i. Formasi Mahakam, Formasi Mahakam terbentuk pada kala Pleistosen  –sekarang.
Proses pengendapannya masih berlangsung hingga saat ini, dengan ciri litologi material
lepas berukuran lempung hingga pasir halus.

127
Gambar 5.5 Peta Seismisitas Pulau Jawa

3. Struktur Geologi Regional Cekungan Kutai


Seperti halnya beberapa cekungan di Asia Tenggara lainnya, half graben terbentuk
selama Eosen sebagai akibat dari fase ekstensional atau pemekaran regional (Allen dan
Chambers, 1998). Pemekaran ini merupakan manifestasi tumbukan sub lempeng Benua India
dengan lempeng Benua Asia yang memacu pemekaran di sepanjang rangkaian strike-slip fault
dengan arah baratlaut-tenggara (NW-SE) yang merupakan reaktifasi struktur sebelumnya,
yaitu sesar Adang- Lupar dan sesar Mangka.
Cekungan ini mulai terisi endapan sedimen transgresif pada kala Eosen Akhir hingga
Oligosen. Kemudian diikuti oleh sekuen regresif pada kala Miosen Awal yang merupakan
inisiasi kompleks Delta Mahakam saat ini. Proses progadasi Delta Mahakam meningkat
dengan sangat signifikan pada kala Miosen Tengah, yaitu ketika tinggian Kuching di bagian
Barat terangkat dan inversi pertama terjadi. Progradasi tersebut masih berlangsung hingga
saat ini. Inversi Kedua terjadi pada masa Mio-Pliosen, ketika bagian lempeng Sula-Banggai
menabrak Sulawesi dan menghasilkan mega shear Palu-Koro.
Pembentukan dan perkembangan struktur utama yang mengontrol sub Cekungan Kutai
Bawah erat kaitannya dengan proses tektonik Inversi Kedua, yaitu struktur-struktur geologi
dengan pola kelurusan arah timurlaut-baratdaya (NNE-SSW). Menurut Allen dan Chambers,

128
(1998) pola ini dapat terlihat pada struktur umum yang tersingkap di Cekungan Kutai saat ini,
yaitu berupa jalur sesar-sesar anjakan dan kompleks rangkaian antiklin /antiklinorium.
Perkembangan struktur lainnya adalah pola kelurusan berarah baratlauttenggara (NW-
SE), berupa sesar-sesar normal yang merupakan manifestasi pelepasan gaya utama yang
terbentuk sebelumnya. Sesar-sesar ini terutama berada di bagian utara cekungan, memotong
sedimen berumur Miosen Tengah dan bagian lain yang berumur lebih tua.

Gambar 9.1 Peta Cekungan Kutai

Tatanan tectonic cekungan kutai dapat diringkas sebagai berikut :

 Awal Synrift (Paleosen ke Awal Eosen): Sedimen tahap ini terdiri dari sedimen aluvial
mengisi topografi NE-SW dan NNE-SSW hasil dari trend rifting di Cekungan Kutai darat.
Mereka menimpa di atas basemen kompresi Kapur akhir sampai awal Tersier berupa laut
dalam sekuen.
 Akhir Synrift (Tengah sampai Akhir Eosen): Selama periode ini, sebuah transgresi besar
terjadi di Cekungan Kutai, sebagian terkait dengan rifting di Selat Makassar, dan
terakumulasinya shale bathial sisipan sand .
 Awal Postrift (Oligosen ke Awal Miosen): Selama periode ini, kondisi bathial terus
mendominasi dan beberapa ribu meter didominasi oleh akumulasi shale. Di daerah
structural shallow area platform karbonat berkembang
 Akhir Postrift (Miosen Tengah ke Kuarter): Dari Miosen Tengah dan seterusnya sequence
delta  prograded secara major berkembang terus ke laut dalam Selat Makassar,
membentuk sequence Delta Mahakam, yang merupakan bagian utama pembawa
hidrokarbon pada cekungan. Berbagai jenis pengendapan delta on  – dan offshore

129
berkembang pada formasi Balikpapan dan Kampungbaru, termasuk juga fasies slope laut
dalam dan fasies dasar cekungan. Dan juga hadir batuan induk dan reservoir yang sangat
baik dengan interbedded sealing shale. Setelah periode ini, proses erosi ulang sangat
besar terjadi pada bagian sekuen Kutai synrift.
B. Tarakan basin

1. Cekungan Tarakan

Cekungan Tarakan, sesuai namanya berada di sekitar Pulau Tarakan. Pulau Tersebut
secara geografis terletak di daerah Tarakan, dan Sekitarnya, Provinsi Kalimantan Timur,
sekitar 240 km arah Utara – Timur Laut dari Balikpapan. Secara geologis pulau ini terletak di
bagian tengah dari Cekungan Tarakan yang merupakan bagian dari NE Kalimantan Basin
(Gambar 1). Pada dasarnya, wilayahnya Cekungan NE Kalimantan terbagi menjadi 4 grup Sub
cekungan: Sub Cekungan Tidung, Sub Cekungan Berau, Sub Cekungan Muara, dan Sub
Cekungan Tarakan.
Cekungan Tarakan berada pada bagian Utara dari Pulau Kalimantan.Luasnya mencapai
68.000 km2. Secara umum, bagian Utara dari cekungan ini dibatasi oleh paparan Mangkaliat,
di bagian Timur dibatasi oleh Laut Sulawesi dan dibagian Barat dibatasi oleh Central Range
Complex.

Gambar 9.4 Peta Lokasi Cekungan Tarakan

130
Cekungan Tarakan dapat dibagi menjadi beberapa sub-cekungan (Gambar2) yaitu :

1.      Sub Cekungan Tidung

Sub Cekungan ini terletak paling utara dan berada di darat meluas ke Sabah dan
berkembang pada kala Eosen Akhir sampai Miosen Tengah. Dipisahkan dari anak Cekungan
Berau disebelah selatannya oleh Punggungan Latong. Terpisah   dari Tarakan oleh Paparan
Sebuku, antiklin dan sesar naik berarah barat laut di sepanjang pantai dan dibatasi oleh sesar
datar mengiri di Sempoa utara.

2.       Sub Cekungan Tarakan

Sub Cekungan ini berkembang terutama pada daerah lepas pantai yang diisi oleh
endapan klastik tebal Plio-Pleistosen dengan pusat pengendapan disekitar Pulau Bunyu dan
Tarakan serta telah mengalami pinchout dan onlap ke arah barat dan selatan.

3.       Sub Cekungan Muara

Sub Cekungan ini terletak di lepas pantai Tinggian Mangkalihat. Mempunyai pusat
pengendapan paling selatan, berkembang di lepas pantai. Dibatasi oleh sesar-sesar mendatar
sejajar berarah barat laut, sesar Mangkalihat dan Maratua, sedimen-sedimen retakan dan
passive margin, serta strukturisasi karbonat Oligosen-Recent pada bagian postrift, yang
merupakan batuan induk pada umur Eosen.

4.       Sub Cekungan Berau

Sub Cekungan Berau terletak dibagian paling selatan Cekungan Tarakan yang
berkembang dari Eosen sampai Miosen dan mempunyai sejarah pengendapan yang sama
dengan Sub Cekungan Tidung. Struktur yang dominan yang terdapat di pulau Tarakan ini
adalah patahan normal berarah Barat Laut hingga Utara dengan bidang patahan miring ke
Timur. Sebagian dari patahan ini merupakan patahan tumbuh (growth fault) dengan antiklin
(roll over). 

131
Gambar 9.5 Sub Cekungan Tarakan (Tossin dan Kodir, 1996)

2. Tektonik

Cekungan Tarakan memiliki variasi sesar, elemen struktur dan trend. Sejarah tektonik
cekungan Tarakan diawali denganfase ekstensi sejak Eosen Tengah yang membentuk wrench
fault dengan arah NW – SE serta berpengaruh pada proses perekahan selat Makasar yang
berhenti pada Miosen Awal. Fase tektonik awal ini merupakan fase pembukaan cekungan ke
arah timur yang diindikasikan dengan adanya enechelon block faulting yang memiliki slope  ke
arah timur (Gambar 3).
Dari Miosen Tengah hingga Pliosen merupakan kondisi yang lebih stabil dimana
terendapkan sedimen dengan lingkungan delta yang menyebar dari beberapa sistem pola
penyaluran dari barat ke timur. Contoh sungai yang memiliki hilir di daerah ini yaitu sungai
Proto-Kayan, Sesayap, Sembakung dan beberapa lainnya. Pada fase ini cekungan mengalami
subsidence akibat gravitasi beban dari endapan delta yang semakin banyak, sehingga
terbentuk sesar listrik. Pertumbuhan struktur sesar disini mengindikasikan bahwa terjadi
proses penyebaran endapan delta ke arah barat yang menjadi lebih sedikit dan mulai
terendapkan karbonat. Pada bagian cekungan yang mengarah ke timur tersusun atas endapan
delta yang tebal, yang berasosiasi dengan sesar normal syngenetik (sesar normal yang
terbentuk bersamaan dengan pengendapan).
Fase akhir tektonik pada cekungan ini yaitu proses kompresi yang terjadi pada Plio –
Pleistosen Akhir akibat dari kolisi lempeng Filipina dengan lempeng Borneo / Kalimantan
Timur. Hal ini  mengaktifkan kembali struktur yang telah ada dan membalikkan arah

132
beberapa patahan gravitasional. Akan tetapi gaya yang lebih kuat berada pada bagian utara
cekungan dimana endapan Miosen dan Plosen menjadi terlipat dan terpatahkan dengan arah
NW – SE hingga WNE – ESE. Pada bagian timur cekungan, fase kompresi ini membentuk
struktur yang tinggi karena material endapan bersifat plastis sehingga membentuk antiklin
Bunyu dan Tarakan. Dari fase tektonik tersebut dipercaya bahwa deformasi yang terbentuk
sejak awal proses tektonik merupakan pengontrol utama pembentukan cebakan hidrokarbon
di cekungan Tarakan.

Gambar 9.7 Tatanan Tektonik Cekungan Tarakan


(Modifikasi BEICIP,1985)

3. Geologi Regional Stratigrafi dan Sedimentasi

Cekungan Tarakan tersusun oleh batuan berumur Tersier yang diendapkan di atas
batuan dasar berumur PraTersier. Dinamika sedimentasi pada cekungan Tarakan diawali
pada umur Eosen, pada awalnya Cekungan Tarakan merupakan wilayah daratan yang
mengendapkan Formasi Sembakung – Formasi Sujau. Pada Oligosen terbentuk pola
pengendapan transgresi yang didominasi oleh klastik kasar dan juga batuan karbonat
(Formasi Seilor). Perkembangan sistem transgresi berlangsung terus hingga diendapkan
sedimen halus (Formasi Nainputo) dan di beberapa tempat diendapkan batugamping
terumbu (Formasi Tabular). Selanjutnya terjadi regresi hingga Cekungan mengalami

133
pengangkatan, dan kemudian terendapkan sedimen klastik kasar yang sumbernya disebut
sebagai Central Range Complex (LEMIGAS, 2006).
Lingkungan pengendapan berupa delta yang kompleks dan membentang  dari Barat ke
Timur (Formasi Latih / Meliat). Formasi Tabul berada di sebelah Timur dyang merupakan
bagian Prodeltas yang tersusun atas fasies batulempung. Pada Miosen akhir, terjadi
pengangkatan di tinggian Kuching, sehingga mengangkat bagian Utara dari Cekungan
Tarakan. Dan pada Pliosen terbentuk lingkungan delta kembali dan diendapkan Formasi
Tarakan.

Stratigrafi dari cekungan tarakan, dari tua ke muda adalah sebagai berikut:

- Formasi Sembakung, Batuan Tersier Awal terdiri atas Formasi Sembakung, yang
menindih tak selaras batuan alas Kapur Akhir, terdiri atas batuan silisiklastik karbonatan
dari lingkungan laut litoral hingga laut dangkal pada kala Eosen.
- Formasi Sujau, Formasi Sujau terdiri dari sedimen klastik (konglomerat dan batupasir),
serpih, dan volkanik. Klastika Formasi Sujau merepresentasikan tahap pertama pengisian
cekungan “graben like” yang mungkin terbentuk sebagai akibat dari pemakaran Makassar
pada Eosen Awal.
Litologi penyusun berupakonglomerat, batupasir, volkaniklastik dengan ketebalan 1000
meter. Struktur geologi yang berkembang sangatlah kompleks dan mengakibatkan
daerah ini terlipat kuat.
- Formasi Seilor, Batugamping mikritik dari Formasi Seilor diendapkan secara selaras di
atas Formasi Sujau dan Formasi Mangkabua yang terdiri dari serpih laut dan napal yang
berumur Oligosen menjadi penciri perubahan suksesi ke basinward.
- Formasi Mangkabua, Pada formasi ini terjadi perubahan progradasional dari formasi
Seilor (micrite limestone) menjadi batunapal yang tebal dan masif. Terdapat Nummulites
fichteli (Marks, 1957) yang berumur Oligosen. Formasi ini tererosi intensif pada akhir
Oligosen karena proses tektonik berupa pengangkatan yang diakibatkan aktivitas
vulkanik.

C. Cekungan Barito
Secara tektonik Cekungan Barito terletak pada batas bagian tenggara dari Schwanner
Shield, Kalimantan Selatan. Cekungan ini dibatasi oleh Tinggian Meratus pada bagian Timur
dan pada bagian Utara terpisah dengan Cekungan Kutai oleh pelenturan berupa Sesar Adang,
ke Selatan masih membuka ke Laut Jawa, dan ke Barat dibatasi oleh Paparan Sunda.
Cekungan Barito merupakan cekungan asimetrik, memiliki cekungan depan (foredeep)
pada bagian paling Timur dan berupa platform pada bagian Barat. Cekungan Barito mulai

134
terbentuk pada Kapur Akhir, setelah tumbukan (collision) antara microcontinent Paternoster
dan Baratdaya Kalimantan (Metcalfe, 1996; Satyana, 1996).
Pada Tersier Awal terjadi deformasi ekstensional sebagai dampak dari tektonik
konvergen, dan menghasilkan pola rifting Baratlaut – Tenggara. Rifting ini kemudian menjadi
tempat pengendapan sedimen lacustrine dan kipas aluvial (alluvial fan) dari Formasi Tanjung
bagian bawah yang berasal dari wilayah horst dan mengisi bagian graben, kemudian diikuti
oleh pengendapan Formasi Tanjung bagian atas dalam hubungan transgresi.
Pada Awal Oligosen terjadi proses pengangkatan yang diikuti oleh pengendapan Formasi
Berai bagian Bawah yang menutupi Formasi Tanjung bagian atas secara selaras dalam
hubungan regresi. Pada Miosen Awal dikuti oleh pengendapan satuan batugamping masif
Formasi Berai. Selama Miosen tengah terjadi proses pengangkatan kompleks Meratus yang
mengakibatkan terjadinya siklus regresi bersamaan dengan diendapkannya Formasi Warukin
bagian bawah, dan pada beberapa tempat menunjukkan adanya gejala ketidakselarasan lokal
(hiatus) antara Formasi Warukin bagian atas dan Formasi Warukin bagian bawah.
Pengangkatan ini berlanjut
hingga Akhir Miosen Tengah yang
pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya ketidakselarasan
regional antara Formasi Warukin
atas dengan Formasi Dahor yang
berumur Miosen Atas – pliosen.
Tektonik terakhir terjadi pada kala
Plio-Pliestosen, seluruh wilayah
terangkat, terlipat, dan
terpatahkan. Sumbu struktur
sejajar dengan Tinggian Meratus.
Sesar-sesar naik terbentuk dengan kemiringan ke arah Timur, mematahkan batuan-batuan
tersier, terutama daerah-daerah Tinggian Meratus.

Stratigrafi Cekungan Barito

Urutan stratigrafi Cekungan Barituo dari tua ke muda adalah :


 Formasi Tanjung (Eosen – Oligosen Awal). Formasi ini disusun oleh batu pasir
konglomerat, batu lempung, batubara, dan basalt. Formasi ini diendapkan pada
lingkungan litoral neritik

135
 Formasi Tanjung (Eosen – Oligosen Awal), formasi ini disusun oleh batupasir,
konglomerat, batulempung, batubara, dan basalt. Formasi ini diendapkan pada
lingkungan litoral neritik.
 Formasi Berai (Oligosen Akhir – Miosen Awal), formasi Berai disusun oleh
batugamping berselingan dengan batulempung / serpih di bagian bawah, di
bagian tengah terdiri dari batugamping masif dan pada bagian atas kembali
berulang menjadi perselingan batugamping, serpih, dan batupasir. Formasi ini
diendapkan dalam lingkungan lagoon-neritik tengah dan menutupi secara selaras
Formasi Tanjung yang terletak di bagian bawahnya. Kedua Formasi Berai, dan
Tanjung memiliki ketebalan 1100 m pada dekat Tanjung.
 Formasi Warukin (Miosen Bawah – Miosen Tengah), formasi Warukin
diendapkan di atas Formasi Berai dan ditutupi secara tidak selaras oleh Formasi
Dahor. Sebagian besar sudah tersingkap, terutama sepanjang bagian barat
Tinggian Meratus, malahan di daerah Tanjung dan Kambitin telah tererosi. Hanya
di sebelah selatan Tanjung yang masih dibawah permukaan.

Formasi ini terbagi atas dua anggota, yaitu Warukin bagian bawah (anggota
klastik), dan Warukin bagian atas (anggota batubara). Kedua anggota tersebut
dibedakan berdasarkan susunan litologinya.
Warukin bagian bawah (anggota klastik) berupa perselingan antara napal atau
lempung gampingan dengan sisipan tipis batupasir, dan batugamping tipis di
bagian bawah, sedangkan dibagian atas merupakan selang-seling batupasir,
lempung, dan batubara. Batubaranya mempunyai ketebalan tidak lebih dari 5 m.,
sedangkan batupasir bias mencapai ketebalan lebih dari 30 m.
Warukin bagian atas (anggota batubara) dengan ketebalan maksimum ± 500
meter, berupa perselingan batupasir, dan batulempung dengan sisipan batubara.
Tebal lapisan batubara mencapai lebih dari 40 m, sedangkan batupasir tidak
begitu tebal, biasanya mengandung air tawar. Formasi Warukin diendapkan pada
lingkungan neritik dalam (innerneritik) – deltaik dan menunjukkan fasa regresi.
 Formasi Dahor (Miosen Atas – Pliosen), formasi ini terdiri atas perselingan
antara batupasir, batubara, konglomerat, dan serpih yang diendapkan dalam
lingkungan litoral – supra litoral.

136
Gambar 9.9 Stratigrafi Cekungan Barito, Cekungan Kutai, dan Cekungan Tarakan
(Courtney, et al., 1991, op cit., Bachtiar, 2006)

137
BAB X
STRUKTUR GEOLOGI DAN TOPOGRAFI
BALI DAN NUSA TENGGARA

A. Kondisi Tektotik Bali

1. Pendahuluan
Daerah Bali dan sekitarnya merupakan salah satu kawasan dengan tingkat aktifitas
kegempaan yang tinggi di Indonesia.Subduksi lempeng Indo-Australia terhadap lempeng
Eurasia dengan kecepatan 7 cm per tahun (Demets et al., 1994), telah menghasilkan efek
berupa struktur geologi sesar aktif di Daerah Bali dan sekitarnya.Berdasarkan kondisi
tektonik inilah maka aktifitas kegempaan di Bali sangat dipengaruhi oleh dua generator
gempabumi, yaitu aktifitas subduksi lempeng dan aktifitas sesar-sesar lokal.
Distribusi pusat gempabumi tersebar di depan dan belakang zona penunjaman lempeng,
sebagian besar terkonsentrasi di selatan busur kepulauan Jawa, Bali dan Nusatenggara.
Aktivitas seismisitas yang terletak di sekitar palung samudera merupakan gempabumi hasil
subduksi lempeng.Sedangkan aktivitas gempabumi dangkal yang berpusat di daratan Bali
lebih banyak disebabkan oleh aktifitas sesar aktif yang umumnya berarah baratlaut-tenggara
atau barat-timur (McCaffrey & Nabelek, 1987).
Upaya identifikasi sesar aktif di Daerah Bali dan sekitarnya menggunakan metoda
geofisika telah dilakukan oleh peneliti terdahulu seperti McCaffrey & Nabelek (1987) dan
Masturyono (1994).Studi seismisitas lokal Daerah Bali hasil pencatatan jaringan seismik lokal
yang dilakukan oleh Masturyono (1994) memperoleh hasil analisis bahwa seismisitas
gempabumi lokal dan dangkal memberi petunjuk adanya struktur sesar naik belakang busur
kepulauan.Sedangkan studi seismotektonik yang dilakukan Yazid (1999) menyimpulkan
adanya perpanjangan Sesar Naik Flores sampai ke sebelah timur laut Bali.
Data yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh McCaffrey & Nabelek (1987)
belum menggunakan jaringan seismik lokal seperti yang ada saat ini.Sementara Masturyono
(1994) dalam penelitiannya hanya menggunakan data seismisitas periode pengamatan jangka
pendek (Nopember 1991-Nopember 1992).Penelitian ini juga menggunakan data gempabumi
terpilih hasil pencatatan jaringan seismik lokal periode 1991-1999 untuk menyusun
distribusi seismisitas dan solusi bidang sesar. Tujuan penelitian ini adalah untuk identifikasi
struktur geologi sesar naik belakang busur (back arc thrust) Daerah Bali.

138
2. Setting Tektonik Bali
Pulau Bali merupakan bagian dari busur kepulauan Sunda Kecil yang terbentuk sebagai
akibat proses subduksi lempeng Indo-Australia kebawah lempeng Eurasia. Proses subduksi
ini tidak hanya menimbulkan aktivitas tektonik tetapi juga aktivitas vulkanik Gunung Agung
yang pernah meletus tahun 1821, 1843 dan 1963. Serupa dengan busur kepulauan lainnya,
busur Sunda Kecil ditandai oleh bidang pusat gempa yang menukik yang dikenal sebagai Zona
Benioff-Wadati.
Gempabumi dangkal akibat proses subduksi umumnya terjadi di Selatan Bali di Palung
Jawa yang berjarak antara 150-200 km dari pesisir selatan Pulau Bali. Pusat gempabumi
bertambah dalam ke arah Utara akibat proses subduksi lempeng sampai kedalaman lebih dari
600 km. Gempabumi di daratan Pulau Bali terjadi pada kedalaman 100-200 km. Namun
demikian, aktivitas gempabumi dangkal juga terdapat di daratan Pulau Bali dan Cekungan
Bali di sebelah Utara Pulau Bali. Cekungan ini terjadi akibat adanya struktur geologi sesar
naik belakang busur. Silver et al. (1986) berdasarkan Expedisi Bahari yang mereka lakukan,
memperkirakan bahwa ujung barat patahan belakang busur berakhir di Cekungan Bali.
Tetapi menurut McCaffrey & Nabelek (1987), ujung barat tersebut berlanjut dan menyatu
dengan patahan yang terdapat di Laut Jawa. Posisi Pulau Bali yang unik, terkurung oleh dua
sumber gempabumi di Selatan dan Utara pulau menjadikan Bali sebagai kawasan seismik
yang aktif dan kompleks, sehingga di kawasan perlu dilakukan studi kegempaan yang
komprehensif. Pengaruh tektonik utama untuk Pulau Bali didominasi oleh adanya tumbukan
antara lempeng Indo-Australia dan Busur Sunda yang membentang dari Selat Sunda di barat
sampai Pulau Romang di timur. Tumbukan ini menyebabkan timbulnya pusat-pusat
gempabumi di zona subduksi Jawa yang dimulai dari Selat Sunda di bagian barat dan berakhir

139
di Pulau Banda di bagian timur dan pusat-pusat gempabumi pada patahan naik belakang
busur Flores.
Patahan belakang busur Wetar dan Flores pertama kali dilaporkan oleh Hamilton (1979)
berdasarkan beberapa profil refleksi dari Lamont-Doherty. Hamilton (1979) menemukan
adanya patahan di utara pulau Alor dan Pantar disisi timur busur belakang zona subduksi
Jawa yang biasa dikenal sebagai sesar naik belakang busur Wetar, Flores sampai Sumbawa.
Sedangkan Silver et al. (1986) memperkirakan bahwa patahan tersebut disisi barat berlanjut
sampai ke Cekungan Bali yang terletak di Utara Pulau Bali. Patahan ini biasa dikenal sebagai
sesar sungkup belakang busur Flores (Flores back arc thrust). Sesar sungkup belakang busur
Wetar dan Flores terjadi sebagai reaksi terhadap tekanan yang timbul pada busur kepulauan
Nusa Tenggara karena adanya tumbukan antara busur tersebut dengan dorongan Lempeng
Indo-Australia.
Sedangkan data polaritas gerakan awal gelombang P diperoleh dengan membaca
langsung polaritas gerakan awal gelombang P dari seismogram analog. Software lokalisasi
episenter yang digunakan adalah HYPOINVERSE version 1 (Klein, 1978) yang ditulis dalam
bahasa FORTRAN dan dioperasikan menggunakan komputer SUN-ULTRA. Selanjutnya data
hiposenter diolah menjadi peta seismisitas. Sedangkan untuk melihat distribusi seismisitas
dan penampang lintang pola hiposenter digunakan software SEISMIC. Untuk penentuan solusi
bidang sesar digunakan software FOCAL.

B. KONDISI TEKTONIK NTB

Nusa Tenggara secara phisiografi kepulauan ini dibatasi oleh bagian barat Jawa, dibagian
timur oleh Busur Banda dan dibagian utara oleh Laut Flores dan dibagian selatan oleh
Samudera Hindia. Secara geologi kepulaun ini terletak di pusat Busur Banda, yang terbentuk
oleh rangkaian kepulauan gunung api muda. Secara tektonik, rangkaian gunung ini akibat
subduksi lempeng indo_australia

1. Tektonik Setting
Interaksi tiga lempeng utama (Indo_Australia, Eurasia dan Pasifik) membentuk tektonik
yang kompleks di Indonesia Timur. Kepulauan Nusa Tenggara adalah hasil subduksi lempeng
Indo Australia di bawah busur sunda pada zaman tersier atas.
Batuan vulkanik di busur banda dalam (kepualauan Nusa Tenggara) yang tertua adalah
miocen awal, sekita 150 km diatas zona inklinasi gempa bumi (Hamilton 1979, Audley-
Charles 1981). Seismisitas sector Jawa meluas hingga kedalaman 600 km. Hal ini menandai
subduksi sub-ocean listosfer Australia/New Guinea dibawah busur Banda dan akhir

140
vulkanisme awal Pliocene diseberang Timor adalah hasil collision Timor dengan Alor dan
Wetar, setelah semua litosfer oceanic tersubduksi.
Ukuran rangkaian kepualan vulkanik yang bergradiasi menjadi kecil ke arah timur dari
Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Wetar, hingga Banda. Gradasi ini dimungkinkan karena
besarnya volume oceanic crust yang tersubduksi, di bagian barat pergerakan dominant
adalah dip slip sedangkan disebelah timur adalah strike slip.

2. Tektono-Struktural unit

Berdasarkan teori tektonik lempeng, kepulauan Nusa Tenggara dapat dibagi menjadi
empat tektono-struktur:

a. Back arc (laut Flores)


b. Gunung api dalam (rangkaian kepulauan vulkanik: Bali, Lombok, Sumbawa, Komodo,
Flores, Adonora, Solor, Romben, Pantar, Alor, Kambing dan Wetar)
c. Outer Arc (non vulkanik island: Dana, Raijua, Sawu, Roti, Semau dan Timor)
d. Fore arc unit : terletak antara busur dalam dan busur luar (lombok dan savu basin)

C. BUSUR BANDA

Busur Banda, suatu busur yang menyerupai tapal kuda di bagian timur Indonesia.
Tempat bertemunya tiga lempeng besar, Indo Australia, Pasifik dan lempeng Eurasia. Pecahan
lempeng bagian selatan Tethyan menjadi base dari laut banda. Hampir keseluruhan
kepulauan disekitarnya terdapat pecahan ofiolit yang ditemukan di high montaian. Dari busur
dalam hingga foreland basin dibedakan menjadi (de Smert, 1999):

1. Sabuk ofiolit.
2. Sabuk metamorfik, terdiri dari low – high grade
3. Thrust dan fold belt yang didominasi oleh sediment Perm-jurasic dari Australia
continental margin.
4. Thrust dan fold belt yang didominasi oleh sediment laut dalam mesozoikum akhir dan
tertier
5. Sabuk uplift basin neogen akhir

Tektonik Busur Banda

Asal muasal busur ini masih menjadi perdebatan hingga saat ini tetapi secara umum
dapat dikelompokkan menjadi:

141
1. Busur terbentuk akibat rotasi counterclockwise 180 o dari arah busur awal yaitu timur-
barat (Katili, 1975; Carrey, 1976; Audley-Charles, 1972; Carter et al., 1976).
2. Busur terbentuk seperti saat ini pada akhir kapur (Norvic, 1979)
3. Busur terbentuk akibat dorongan potongan bagian utara continent Australia yang
membentuk basin laut banda (Siver et al., 1985; Bowin et al., 1980; Lee & McCabe, 1986;
Lapouille et al., 1985; Pigram & Panggabean, 1983, 1984; Hartono, 1990a).
Richardson & Blundell (1996) menyimpulkan model struktur menjadi tiga grup, yang
membentuk Timor:

1. The imbricate model (Fitch & Hamilton, 1974; Hamilton, 1979) didasarkan pada data
geologi dan geofisika. Pada model ini Timor digambarkan sebagai akumulasi chaotic
material dari dinding subduksi lempeng, celah Timor, dan utamanya prisma akresi.
2. Overthrust model. Didasarkan pada geologi permukaan dimana overthrust sheets Timor
allochthon tersingkap
3. Model rebound memyatakan continent Australia masuk ke zona subduksi disekitar selat
Wetar. Setelah itu, litosfer oceanic terlepas dari bagian continent, menghasilkan uplift
Timor oleh isostasi rebound steep fault.

142
BAB XI
STRUKTUR GEOLOGI DAN TOPOGRAFI
SULAWESI

A. CEKUNGAN BUTON
2. Peta Lokasi
Kepulauan Buton berlokasi di bagian timur Indonesia, tepatnya di pantai timur Sulawesi
Tenggara. Stratigrafi dan struktur kepulauan dibedakan dari Sulawesi Tenggara dan
Kepulauan Muna. Tetapi terdapat kesamaan antara Buton dan kepulauan di sebelahnya pada
Busur Banda, terutama Timor, Seram, dan Pulau Buru.
Secara Administratif Kabupaten Buton terletak di posisi 4.30º - 7.0º LS dan 125º - 125º
BT. Cekungan Buton memiliki batas-batas sebagai berikut :

 Sebelah Utara : Pulau Wawoni


 Sebelah Selatan : Laut Flores
 Sebelah Barat : Kepulauan Muna dan Teluk Bone
 Sebelah Timur : Laut Banda
 Sebelah Tenggara : Platform Tukang besi

Gambar 11.1 Peta Lokasi Buton Gambar 11.2. Posisi Geografis Pulau Buton

3. Fisiografi Regional
Berdasarkan geomorfologinya fisiografi daerah Buton dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Bagian Selatan terdiri atas perbukitan dan lembah berarah timur laut dengan teras-teras
reef yang terangkat dan topografi karst.
b. Bagian Tengah didominasi oleh pegunungan yang berarah utara sepanjang pantai barat,
batuan sedimennya berarah timur laut.
143
c. Bagian Utara didominasi oleh pegunungan di tepi pantai yang memiliki bentuk
menyerupai tapal kuda, pola pengalirannya berarah ke selatan menuju rawa mangrove
pada cekungan lambele. Secara umum pegunungan-pegunungan yang ada berarah barat
laut-tenggara yang memiliki relief rendah disertai dengan koral reef yang terangkat.

Situasi Cekungan

Gambar 11.3. Peta cekungan buton

4. Tektonik Regional
Buton dipercaya terdiri atas 2 fragmen mikro kontinen yang berbeda dan terpisah. Satu
berada pada bagian timur Pulau Buton dan Tukang Besi sedangkan yang satunya lagi berada
pada bagian barat dari Pulau Buton dan Pulau Muna (Hamilton, 1979). Berdasarkan data
geologi dan data geofisika baru-baru ini menunjukan bahwa Buton terdiri atas 3 fragmen
mikro kontinen berbeda yang memiliki hubungan juxtapose dengan daerah Buton, Pulau
Buton, Muna/ SE Sulawesi, dan Tukang Besi. Stratigrafi pulau ini mengindikasikan bahwa
setiap fragmen mikro kontinen memiliki posisi paleogeografi yang berbeda ketika Mesozoik
dan Paleogen (De Smet, 1991).
Seperti kebanyakan pulau-pulau Banda Arc, Buton dianggap sebagai fragmen yang lepas
dari kontinen Australia-New Guinea, terutama berdasarkan korelasi kesamaan fosil-fosil
berumur Mesozoik, stratigrafi pre-rift, dan ketika rift. Banyak kesamaan pada sejarah tektonik
dan stratigrafi mendukung kesamaan dari pembentukan Buru, Seram, Banggai-Sula, dan

144
Timor (Audley-Charles et al., 1972; Price, 1976; Hamilton, 1979; Pilgram dan Panggabean,
1984; Gerrard et al., 1988; Katili, 1989; De Smet et al., 1991).
Sejarah tektonik dan stratigrafi dari kebanyakan pulau-pulau Banda Arc dicirikan oleh
beberapa event. Event pre-rift dicrikan dengan pengendapan sedimen kontinen pada half-
graben, rift event dicrikan dengan adanya pengangkatan, erosi, dan volkanisme lokal, event
drift dicirikan dengan adanya subsidence dan pengendapan sedimen laut terbuka, dan sebuah
event tumbukan (collision) berumur Neogen. Perbedaan yang mendasar antara setiap pulau
hanyalah waktu dan durasi dari event-event individual tektonik dan stratigrafi.
Sedimentasi pada buton di kontrol oleh 4 tektonik event :
a. Pre-Rift Perm sampai Akhir Trias, Pengendapan dari sedimen kontinental pada half-
graben, dicirikan dengan adanya pengangkatan, erosi, dan vulkanisme lokal. Terjadi
penurunan dan pengendapan sedimen laut terbuka diikuti dengan neogen collision. Pada
lapisan berumur trias di intrusi dike batuan beku dan menandakan awal dari rifting,
pembentukan patahan ekstensional, dan regional subsidence.
b. Rift-Drift Akhir Trias sampai Oligosen, Periode transisi menuju pada lingkungan laut
terbuka dengan sedimentasi pada pasif margin terjadi pada pertengahan sampai akhir
Jura hasil pengendapan klastik-klastik syn orogenic pada cekungan neogen merupakan
hasil dari erosi dan sesar naik yang berarah timur akibat pengangkatan lapisan berumur
Trias sampai Oligosen.

1) Syn dan Post Orogenic awal Miosen sampai Pliosen terjadi subduksi, kompresi, dan
deformasi hingga pertengahan Miosen pada bagian selatan menghasilkan
pengangkatan dan erosi dari klastik-klastik syn orogenic berumur awal Miosen
sehingga terbentuk unconformity secara regional. Collision dari Pulau Buton-Muna
tidak mempengaruhi bagian utara Pulau Buton sampai pertengahan Miosen. Pada
akhir pertengahan Miosen sampai akhir Miosen terjadi obduksi sehingga
menghasilkan ketidakselarasan atau unconformity. Setelah pertengahan Miosen
terjadi sistem sesar geser utama (Kioko) yang memapaskan sedimen dari dua
lingkungan yang berbeda. Pada lima juta tahun yang lalu terjadi perubahan deformasi
dan gaya struktural yang disebabkan oleh zona subduksi Buton terhadap Muna serta
Buton terhadap Tukang Besi. Collision antara Buton dengan Tukang Besi terekam
pada lapisan berumur akhir Pliosen, collision oblique ini menghasilkan pergerakan
strike-slip dan dip-slip yang mengakibatkan pengangkatan dan subsidence lokal
(Chamberlain et al.,1990; Fortuin et al., 1990) hingga saat ini.
2) Resen Orogenic, selatan Buton sekarang mengalami pengangkatan sedangkan
utaranya mengalami penurunan (de Smet et al., 1989). Mikrokontinen Buton pada
saat ini juga mengalami transpressive strike-slip terhadap mikroplate Tukang Besi
145
dan Muna, lempeng Buton bergerak ke arah utara. Orientasi en-echelon wrench fault
dengan orientasi timur laut yang berhubungan dengan antiklin pada selat Buton
mengindikasikan bahwa terjadi pengaktifan kembali paleo suture zone, pergerakan
utamanya sinistral strike-slip.

5. Struktur Geologi
Struktur geologi umumnya merupakan struktur antiklin dan sinklin serta beberapa
struktur sesar yang terdiri atas sesar naik dan sesar normal, serta sesar mendatar. Struktur
antiklin-sinklin berarah Baratdaya-Timurlaut hingga Utara-Selatan. Struktur ini hampir
mempengaruhi seluruh formasi dimana terlihat bahwa seluruh formasi yang ada mengalami
pelipatan dengan sudut kemiringan lapisan batuan di bagian timur relatif lebih terjal
dibanding dengan di bagian barat.
Sesar mendatar umumnya dijumpai di bagian selatan dan memotong Formasi Winto,
Formasi Tondo, dan Formasi Sampolakosa. Arah sesar mendatar umumnya tegak lurus
terhadap sumbu lipatan yaitu Baratlaut-Tenggara. Sedangkan sesar normal merupakan
struktur yang terbentuk paling akhir sebagai struktur patahan sekunder.
Berdasarkan data gravity regional dan orientasi timur laut-barat daya sesar naik yang
berumur awal Miosen menunjukkan bahwa selatan pulau Buton mengalami rotasi 45 0 searah
jarum jam. Waktu daripada rotasi belum dapat ditentukan tetapi kemungkinan disebabkan
oleh kompresi pada pertengahan Miosen yang disebabkan tumbukan dari Buton-Muna/SE
Sulawesi. Titik tumpuan atau rotasi berada pada di laut gian timur Buton pada Kulisusu Bay.

Gambar 11.4. Tectonic Setting Of Eastern Indonesia


146
Gambar 11.5. Skema Tektonik Jurassic-Resen / Perkembangan Model
Pengendapan Pulau Buton Bagian Selatan

Gambar 11.6. Peta Tektonik Regional Pulau Buton

147
6. Klasifikasi Cekungan
Berdasarkan posisi subduksi plateform Tukang Besi terhadap Buton, Cekungan Buton
termasuk ke dalam Fore Arc Basin.
B. CEKUNGAN MIKROBENUA DI INDONESIA TENGAH
Cekungan di Indonesia Tengah berhubungan dengan Fragmen Benua yang disebut
dengan Micro Continent yang berinteraksi dengan kerak Samudra sekelilingnya sepanjang
sesar geser. Tumbukan yang mengakibatkan sesar sungkup dan imbrikasi serta terjadinya
subduksi dan obduksi yang komplek, sehingga melibatkan ophiolite.

148
BAB XII
STRUKTUR GEOLOGI DAN TOPOGRAFI
MALUKU DAN PAPUA

A. MALUKU
Kepulauan Maluku adalah gugusan pulau-pulau yang terletak di sebelah timur Indonesia,
memiliki panjang 180 kilometer dari utara ke selatan dan lebar 70 kilometer dari barat ke
timur. Berdasarkan keadaan geologis dan fisiografisnya dapat dibagi menjadi dua provinsi,
yakni Halmahera bagian barat dan Halmahera bagian timur laut – tenggara. Halmahera bagian
barat merupakan provinsi yang tersusun dari busur vulkanik Ternate dan Halmahera Barat,
sedangkan Halmahera bagian timur laut – tenggara merupakan provinsi yang tersusun dari
melange. Secara garis besarya, Maluku dapat dibagi menjadi dua bagian yakni Maluku Utara
dan maluku Selatan. Maluku Utara sebgaian dihubungkan dengan rangkaian pulau-pulau Asia
Timur, dan sebagian sistem Melanesia, sedangkan Maluku Selatan (Busur banda) merupakan
suatu bagian dari Sistem Pegunungan Sunda. Daerah Obi Utara, Kabupaten Halmahera
Selatan, Provinsi Maluku Utara. Secara geografis terletak antara koordinat 127 o45’ – 128o00’
BT dan antara 01o25’ – 01o40’ LS. Morfologinya hampir sama dengan Pulau Sulawesi yakni
memiliki 4 lengan dan bentuknya seperti huruf K, yang membedakan adalah skalanya. Pulau
Halmahera memiliki ukuran sepertiga dari Pulau Sulawesi dan luas permukaannya
sepersepuluh dari Pulau Sulawesi. Teluk antar lengan dan teluk Kau berada di timur laut,
teluk Buli disebelah timur, dan teluk Weda di sebelah selatan. (Amarullah dan Tobing ; 2005).
Pada dasarnya Kepulauan Maluku ini memiliki topografi yang bergunung dan berbukit,
kecuali di pantai sebelah timur di lengan tenggara umumnya adalah daerah banjir.
Pegunungan yang ada di Kepulauan Halmahera ini menjulang dari timur laut – barat daya
dengan relief yang beraneka, yakni berada pada kisaran 500 meter hingga 1.000 meter. Bukit
Solat merupakan pegunungan tertinggi yang menjulang dengan ketinggian 1.508 meter di
bagian tengah pulau. Pulau maluku dibagi menjadi dua bagian yaitu Maluku Utara dan Maluku
Selatan. Maluku Utara sebagian dihubungkan dengan rangkaian pulau-pulau Asia Timur, dan
sebagian dengan sistem Melanesia, Maluku Selatan (Busur Banda) merupakan suatu bagian
dari Sistem Pegunungan Sunda.
1. Maluku Utara
Provinsi Maluku Utara terletak di kepulauan Maluku sebelah utara dengan posisi 3º 90'
LU-2º 10' LS-123º 15' BT. Luas provinsi Maluku Utara yang beribukota diSofifi adalah
sekitar 53.836 km2, dengan jumlah penduduk 1.282.439 jiwa. Provinsi ini memiliki
perairan laut yang relatif luas dengan sumberdaya perikanan yang relatif besar. Maluku
Utara merupakan wilayah kepulauan yang terdiri atas pulau-pulau volkanik dan pulau-
pulau non volkanik. Pulau vulkanik menempati bagian barat termasuk
diantaranya adalah Pulau Ternate, Pulau Tidore, Pulau Moti, Pulau Mare, Pulau Makian,
149
dan Pulau Sangihe. Sedangkan pulau non volkanik antara lain Pulau Bacan, Pulau
Kasiruta, Pulau Talaud, dan Pulau Obi. (Amarullah dan Tobing ; 2005)
2. Maluku Selatan
Maluku Selatan secara geologi merupakan Busur Banda, yaitu sistem kepulauan yang
membentuk busur mengelilingi tapal kuda basin Laut Banda yang membuka ke arah
barat. Sistem Kepulauan Maluku Selatan dibedakan menjadi busur dalam yang vulkanis
dan busur luar yang non vulkanis. Busur dalam vulkanisTerdiri dari pulau-pulau kecil
(kemungkinan puncak gunungapi bawah laut/seamount) seperti Pulau Damar, Pulau
Teun, Pulau Nila, Pulau Serua, Pulau Manuk dan Kepulauan Banda. Busur luar non
vulkanisTerdiri dari beberapa pulau yang agak luas dan membentuk kompleks-kompleks
kepulauan antara lain Kepulauan Leti, Kepulauan Babar, Kepulauan Tanimbar, Kepulauan
Aru, Kepulauan Kai, Kepulauan Watu Bela, Pulau Seram, dan Pulau Buru.\
1. Geomorfologi
b. Geomorfologi Maluku Utara
Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan yang terdiri atas pulau-pulau volkanik dan
pulau-pulau non volkanik. Pulau vulkanik menempati bagian barat termasuk diantaranya
adalah Pulau Ternate, Pulau Tidore, Pulau Moti, Pulau Mare, Pulau Makian, dan Pulau Sangihe.
Sedangkan pulau non volkanik antara lain Pulau Bacan, Pulau Kasiruta, Pulau Talaud, dan
Pulau Obi. Pulau Halmahera sendiri termasuk pulau vulkanik meskipun aktivitas vulkanik
yang aktif tidak terdapat seluruh wilayahnya. Bagian utara Pulau Halmahera merupakan
lokasi aktivitas vulkanik yang aktif. Pulau-pulau non vulkanik Maluku Utara saat ini
berkembang dibawah pengaruh proses marin terutama deposisi marin.
Bentuklahan volkanik tererosi kuat terbentang dari timur ke barat pada zona vulkanik
holosen yang aktif.. Blok barat laut berada di bagian tepi Pulau Halmahera, dibatasi dari
graben tengah oleh escapment yang membentang dari pesisir timur hingga pesisir barat.
Graben Tengah sendiri berbatasan langsung dengan zona gunungapi dan banyak mendapat
pengaruh aktivitas vulkanik terutama dari Gunungapi Dukono dan Gunungapi Ibu. Di dalam
Graben Tengah terdapat dataran rendah.
Blok bagian timur memanjang arah utara selatan dan menempati sebagian besar sisi
barat Pulau Halmahera. Dataran rendah kobe yang sempit memisahkan blok bagian timur
halmahera di sebelah barat dengan dataran relief berombak di sebelah timurnya. (Amarullah
dan Tobing ; 2005)Dataran relief berombak menempati bagian yang luas ditimur Pulau
Halmahera. Sepanjang pesisir utara dan selatan dataran ini terbentuk dari pesisir
pengangkatan. Sedangkan bagian tengah merupakan pesisir pengenggelaman yang
dipengaruhi oleh aktivitas marin dari Teluk Buli. Pada bagian ini dataran aluval tidak

150
ditemukan, tetapi memasuki daerah Kao, ditemukan dataran aluvial yang luas pada daerah
pedalaman, juga dataran vulkanik yang berombak dan dataran aluvial berawa secara lokal.
Pada kedua semenanjung (baik utara maupun timur laut) daerah pegunungan itu masih
dikelilingi oleh kawasan pegunungan dan perbukitan yang berkembang dari bahan yang
sama. Pulau Morotai banyak memiliki kesamaan dengan Pulau Halmahera bagian utara, yang
dicirikan oleh gunung-gunung yang berkembang dari batuan sediment dan batuan beku basa.
Pada semenanjung bagian selatan Halmahera lebih di dominasi oleh daerah gunung yang
terutama berkembang dari bahan- bahan sedimentasi batu napal dan batu gamping (marl dan
limestone). Pegunungan yang mendominasi bagian utara dan timur laut Semenanjung
Halmahera juga berbeda secara geologis. Semenanjung utara disusun oleh formasi gunung api
(andesit dan batuan beku basaltic). (Syahya Sudarya; 2007)
c. Maluku Selatan
Maluku Selatan secara geomorlogi merupakan Busur Banda, yaitu sistem kepulauan yang
membentuk busur mengelilingi tapalkuda basin Laut Banda yang membuka ke arah barat.
Sistem Kepulauan Maluku Selatan dibedakan menjadi busur dalam yang vulkanis dan busur
luar yang non vulkanis. Busur dalam terdiri dari pulau-pulau kecil (kemungkinan puncak
gunungapi bawah laut/seamount) seperti Pulau Damar, Pulau Teun, Pulau Nila, Pulau Serua,
Pulau Manuk dan Kepulauan Banda. Sedangkan busur luar terdiri dari beberapa pulau yang
agak luas dan membentuk kompleks- kompleks kepulauan antara lain Kepulauan Leti,
Kepulauan Babar, Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Aru, Kepulauan Kai, Kepulauan Watu Bela,
Pulau Seram, dan Pulau Buru. (Sumardi, dkk. 2011)
2. Geologi Struktur
Karakteristik geologi Provinsi Maluku adalah terdiri dari batuan sedimen, batuan
metamorfik dan batuan beku dengan penyebaran yang hampir merata di setiap gugus pulau.
Hal ini dipengaruhi oleh klasifikasi umur pulau/kepulauan yang terbentuk pada 50-70 juta
tahun yang lalu, pada periode Neogeon sampai Paleoceen.Karakteristik tersebut juga
dipengaruhi oleh letak Maluku diantara lempeng bumi Indo-Australia, Pasifik, Laut Filipina
dan Laut Banda, sehingga memberikan sebaran beberapa gunung api baik yang masih
maupun sudah tidak aktif lagi. (Amarullah dan Tobing ; 2005)
a. Geologi Maluku Utara
Sebagian besar Provinsi Maluku Utara, terutama bagian tengah dan utara, merupakan
daerah pegunungan. Namun secara geologi bukanlah pegunungan yang seragam. Artinya,
bahan penyusunnya bervariasi. Pada semenanjung timur laut ditemukan batuan beku asam,
basa dan ultrabasa serta batuan sediment. Daerah pegunungan yang ada merupakan
bentangan lahan dengan puncak tajam dan punggung curah tertoreh serta lereng yang curam
(40%). Di semenanjung utara Halmahera terdapat barisan gunung api aktif dan non-aktif
151
dengan bentuk dan struktur yang sangat khas. Pada bagian ini terbentang dataran sempit
ailuvial arah timur- barat. Kawasan sepanjang pantai barat Halmahera terbentang sejumlah
pulau besar dan kecil yang dimulai dari Ternate bagian utara sampai Obi bagian selatan.
Pulau-pulau kecil di bagian utara umumnya merupakan daerah vulkanik yang tersusun dari
bahan andesit dan batuan beku basaltic dengan lereng curam (30-45%) sampai curam (45%).
Pulau Obi dibatasi oleh dua sesar besar yaitu sesar Sorong-Sula Utara yang terletak dibagian
selatan, dan sesar Maluku-Sorong yang terletak dibagian Utara. Sesar normal yang terjadi di
Pulau Obi diakibatkan oleh sentuhan tektonik antara batuan ultramafik dengan batuan yang
lebih muda. Umumnya sesar-sesar di Obi berarah barat-timur, baratlaut-tenggara dan
timurlaut-baratdaya. Di Pulau Obi bagian barat terdapat Danau Karu yang diperkirakan
berupa terban yang dibatasi oleh dua sesar dengan arah utara-selatan. Lipatan- lipatannya
membentuk antiklin dan sinklin yang secara umum sumbunya berarah barat-timur.
(Amarullah dan Tobing ; 2005)
b. Maluku Selatan
Maluku selatan disusun oleh hasil kegiatan endapan laut dangkal berumur Plio- Plistosen
Sampai Holosen.Batuannya terdiri dari batu gamping, napal dan abut lumpur gamping dan
endapan alluvium. Urutan batuan dari yang termuda sampai yang tertua adalah sebagai
berikut.Sejarah geologi Maluku selatan dimulai pada zaman miosen bawah yang masih
berupa daerah laut, dirincikan dengan pengendapan batu gamping dan napal yang
berlangsung sampai miosentengah. Pada zaman miosen atas- Pliosen bawah terjadi
pengangkatan dan lingkungan pengendapan berubah menjadi laut dangkal dengan adanya
pengendapan batu gamping dan napal yang termasuk formasi manumbai. (Robertus, dkk ;
2011)
3. Litologi
Litologi di daerah Anggai, maluku disusun oleh batuan yang terdiri dari batuan vulkanik,
sedimen dan endapan muda. Batuan akibat adanya kegiatan tektonik mengakibatkan adanya
perlipatan, dan pensesaran dan kegiatan magmatik (hidrotermal) yang mana hal tersebut
merupakan media yang potensial bagi pembentukan mineralisasi. Daerah uji petik memiliki
sebaran alterasi yang didominasi oleh ubahan silisifikasi, serisit sampai dengan argilik.
Dibeberapa lokasi dijumpai adanya ubahan jenis filik (pada pungungan Anggai), argilik dan
propilit. Hal ini menunjukkan alterasi kearah dalam memiliki variasi alterasi bertemperatur
lebih tinggi. Jadi dimungkinkan tipe porpiri akan muncul (bisa saja terjadi) jika melihat pola
alterasi yang demikian. (Roswita, dkk.2012)
Formasi Dorosagu, Perselingan antara batupasir dengan serpih merah dan batugamping.
Batupasir kelabu kompak, halus - kasar, sebagian gampingan, mengandung fragmen batuan
ultra basa grauwake, kompak, komponen batuan ultrabasa, basal dan kuarsa; serpih
152
berlapisbaik, batugamping, kelabu dan merah, kompak, sebagian menghablur. Dari analisis
fosil menunjukkan umur Paleosen- Eosen (Kadar, 1976, komunikasi tertulis dalam jurnal
Syahya Sudarya; proceeding pemaparan hasil kegiatan lapangan dan non lapangan tahun
2007 Pusat sumber daya geologi).
Formasi Tingteng, Berupa batugamping hablur dan batugamping pasiran, sisipan napal
dan batupasir. Batugamping pasiran, kelabu dan coklat muda, sebagian kompak; sisipan napal
dan batupasir, kelabu, setebal 10 – 30 cm, umur Akhir Miosen – Awal Pliosen. (Kadar, 1976,
komunikasi tertulis dalam jurnal Syahya Sudarya; proceeding pemaparan hasil kegiatan
lapangan dan non lapangan tahun 2007 Pusat sumber daya geologi).
Formasi Weda, Berupa batupasir berselingan dengan napal, tufa, konglomerat dan
batugamping. Batupasir kelabu - coklat muda, - berbutir halus sampai kasar; - berselingan
dengan serpih kelabu kehijauan. Napal, putih, kelabu dan coklat, getas; mengandung banyak
foraminifora setempat sisipan batubara setebal 5 cm dan batugamping. Batugamping, putih
kotor dan kelabu, kompak; merupakan sisipan dalam napal, setebal 10 – 15 cm di daerah Dote
dan 0,5 – 2 m di daerah Kobe dan Kulo. Napal berumur Miosen Tengah – Awal Pliosen (Kadar,
1976, komunikasi tertulis) dan lingkungan neritik-batial. (Kadar, 1976, komunikasi tertulis
dalam jurnal Syahya Sudarya; proceeding pemaparan hasil kegiatan lapangan dan non
lapangan tahun 2007 Pusat sumber daya geologi).
Formasi Amasing, Berupa batupasir tufaan, berselingan dengan batulempung dan napal,
bersisipkan batugamping. Batupasir tufaan berwarna kelabu kehijauan, berpilahan sedang,
berkomponen terutama kuarsa, feldspar dan sedikit mineral bijih, bermasa dasar tufa.
Batulempung dan napal berwarna kelabu kehijauan, agak kompak, mengandung banyak fosil
foraminifora plangton. Hasil analisis fosil menunjukkan napal berumur Miosen Bawah
sampai Miosen Tengah. (Kadar, 1976, komunikasi tertulis dalam jurnal Syahya Sudarya;
proceeding pemaparan hasil kegiatan lapangan dan non lapangan tahun 2007 Pusat sumber
daya geologi).
Formasi Woi, Berupa batupasir, konglomerat dan napal. Batupasir, kelabu, terpilah
sedang, tufaan. Konglomerat, kelabu, kerakal andesit, basal dan batugamping. Napal; kelabu,
foraminifora dan moluska, setempat lignitan. Fosil foraminifora menunjukkan umur Miosen
Atas sampai Pliosen berlingkungan sublitoralbatial. Tebalnya antara 500– 600m. (Kadar,
1976, komunikasi tertulis dalam jurnal Syahya Sudarya; proceeding pemaparan hasil kegiatan
lapangan dan non lapangan tahun 2007 Pusat sumber daya geologi).
Formasi Anggai, Berupa batugamping dan batugamping pasiran, pejal. Fosil foraminifora
menunjukkan umur Miosen Atas sampai Pliosen. Sebarannya di timur P.Obi. Ketebalannya
kurang lebih 500 m. Formasi Anggai menjemari dengan Formasi Woi. (Kadar, 1976,

153
komunikasi tertulis dalam jurnal Syahya Sudarya; proceeding pemaparan hasil kegiatan
lapangan dan non lapangan tahun 2007 Pusat sumber daya geologi).

154
B. PAPUA

DAFTAR PUSTAKA

REFERENSI

Amarullah, Deddy dan Robert L. Tobing. 2005. Inventarisasi batubara marginal


Daerah obi utara kabupaten halmahera selatan Provinsi maluku utara.

Pemaparan hasil kegiatan lapangan subdit batubara : Obi Andayany, Helda. 2012.
Penerapan Persamaan Geotermometer (SiO2)P Di Lapangan Panas Bumi Suli,
Ambon.

Dalam Jurnal Barekang Vol. 6 No. 2 Hal. (33 – 36)Karyanto, Wahyudi, Ari
Setiawan, dan Sismanto. 2011. Identifikasi zona konduktif di daerah prospek
panasbumi larike Ambon maluku.

Jurnal Sains MIPA, Vol. 17, No. 2, Hal.: (67 – 74)Kusnama. 2008. Fasies Dan
Lingkungan Pengendapan Formasi Bobong Berumur Jura Sebagai Pembawa Lapisan
Batubara Di Taliabu, Kepulauan Sanana-Sula, Maluku Utara.

Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 3 Hal 161-173: BandungMarasabessy, M.


Djen, Edward dan Febriana Lisa Valentin. 2010. Pemantauan Kadar Logam Berat
Dalam Air Laut Dan Sedimen Di Perairan Pulau Bacan, Maluku Utara.

Dalam makara, sains, vol. 14, no. 1 Hal : 32-38 : BandungRobertus S.L.S, Herry S,
dan Andri Eko A. W. 2011. Survei Pendahuluan Panas Bumi Geologi Dan Geokimia
Pulau Wetar, Provinsi Maluku.

Roswita, Lantu, dan Syamsuddin. 2006. Survei geolistrik metode resistivitas untuk
Interpretasi kedalaman lapisan bedrock di pulau Pakal, halmahera timur.

Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam , Universitas Hasanuddin : Makassar

Sudarya, Syahya. 2007. Inventarisasi mineral logam di kabupaten halmahera selatan


dan kota tidore maluku utara.

155
Pusat sumber daya geologi: BandungSumardi, Eddy, Bakrun, Syuhada, dan Liliek
Rihardiana. 2011. Survei geofisika terpadu banda baru, maluku tengah, provinsi
Maluku.

Pusat Sumber Daya Geologi : BandungTriono, Untung dan Mulyana. 2011.


Penyelidikan Batu Bara Di Daerah Mangole Dan Sekitarnya Kabupaten Kepulauan
Sula,Maluku Utara.

 CEKUNGAN SUMATERA TENGAH


Moulds, P.J., 1989, Development Of The Bengkalis Depression, Central Sumatra and Ins
Subsequent Deformation – A Model for Other Sumatran Grabens, Proceedings
Indonesian Petroleum Association – Eighteenth Annual Convention vol.1, Jakarta.

Shaw, J.H., Hook, S.C. dan Sitohang E.P., 1999, Extensional Fault-Bend Folding and Synrift
Deposition: An Example from the Central Sumatra Basin, Indonesia, AAPG Bulletin, V.
81, No. 3 - Online presentation.

http://www.searchanddiscovery.net/documents/Indonesia

Wain, A.S. dan Jackson, B.A., 1995, New Pematang Depocentres on The Kampar Uplift,
Central Sumatra, Proceedings Indonesian Petroleum Association – Twenty Fourth
Annual Convention vol.1, Jakarta.

Wibowo, R.A., 1995, Pemodelan Termal Sub-Cekungan Aman Utara Sumatra Tengah, Bidang
Studi Ilmu Kebumian – Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung,
Unpublished.

 CEKUNGAN SUMATERA SELATAN


http://muhammadafit.blogspot.com/2013/11/geologi-indonesia-cekungan-sumatra.html

http://pswtkertas.tumblr.com/post/32869528255/geologi-regional-cekungan-sumatera-
selatan

 CEKUNGAN BENGKULU
http://geologi.iagi.or.id/2009/03/22/cekungan-bengkulu/

 CEKUNGAN KUTAI
http://www.academia.edu/7302602/
Laporan_Proposal_Eksplorasi_Batubara_di_Cekungan_Kutai_Balikpapan_Kalimantan_Timur_-
_Johan_Edwart

156
 CEKUNGAN TARAKAN
http://nicoandreasnainggolan.blogspot.com/2014/04/tarakan-basin.html

 CEKUNGAN BARITO
Satyana, A.H., 2000, Kalimantan, An Outline of The Geology of Indonesia, Indonesian
Association of Geologists, p.69-89.

Bachtiar, A., 2006, Slide Kuliah Geologi Indonesia, Prodi Teknik Geologi, FITB-ITB

 CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA


Amril, A., Sukowitono., Supriyanto., .1991. Jatibarang Sub Basin – a half Graben Model in
the Onshoe of North West Java. IPA Proceedings, 20th Annual Convention, Jakarta. hal 279-
307.

Arpandi, D., Patmosukismo, S., .1975 The Cibulakan Formation as One of the Most
Prospective Stratigraphic Units in the Northwest Java Basinal Area. IPA Proceeding. Vol 4th
Annual Convention. Jakarta

Budiyani,S., Priambodo, D.,Haksana, B.w.,Sugianto,P., .1991. Konsep Eksplorasi Untuk


Formasi Parigi di Cekungan Jawa Barat Utara. Makalah IAGI. Vol 20th, Indonesia. hal 45-67.

Darman, H. dan Sidi, F.H.,. 2000. An Outline of The Geology of Indonesia. IAGI. Vol 20th.
Indonesia

Gordon, T. L., .1985. Talang Akar coals Ardjuna subbasin oil source. Proceedings of the
Fourteenth Annual Convention Indonesian Petroleum Association, v.2. hal. 91-120.

Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian Region. USGS Professional Paper, 1078.

Hunt, J.M., .1979. Petroleum Geochemistry and Geology. xxi+617 pp., 221 figs. Oxford:
Freeman.

Noble, Ron A.,. 1997. Petroleum System of Northwest Java Indonesia. Proceeding IPA. 26th
Annual Convention. hal: 585 – 600.

Reminton. C.H., Nasir. H.,. 1986. Potensi Hidrokarbon Pada Batuan Karbonat Miosen Jawa
Barat Utara. PIT IAGI XV. Yogyakarta

Sinclair, S., Gresko, M., Sunia, C.,. 1995. Basin Evolution of the Ardjuna Rift System and its
Implications for Hydrocarbon Exploration, Offshore Northwest Java, Indonesia. IPA
Proceedings, 24th .Annual Convention, Jakarta. hal 147-162. 

 CEKUNGAN JAWA TIMUR


https://www.academia.edu

157
 CEKUNGAN BUTON
https://www.scribd.com/doc/121365561/Geologi-Buton

 CEKUNGAN MIKROBENUA DI INDONESIA TENGAH &


CEKUNGAN DI INDONESIA TIMUR

http://jus-jusri.blogspot.com/2013/01/cekungan-di-indonesia-bagian-barat.html

158

Anda mungkin juga menyukai