Anda di halaman 1dari 6

JAWABAN :

1. PRESIDEN Jokowi menindaklanjuti keputusan paripurna DPR yang telah menyetujui UU Omnibus law.
Pada 2 November 2020 (kurang 3 hari dari batas waktu pengesahan UU oleh Presiden), Presiden Jokowi
mengesahkan Undang-undang tersebut dalam lembaran negara menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja. Padahal, protes terhadap UU ini cukup kuat. Penolakan bukan hanya dari kelompok buruh
tetapi juga dari akademisi, termasuk dua ormas Islam terbesar, Muhammadiyah, dan NU. Hiper regulasi
Protes dan penolakan yang disampaikan oleh kelompok masyarakat adalah sesuatu yang wajar dan
diperlukan. Proses legislasi UU Cipta Kerja yang super cepat menimbulkan kecurigaan. Apalagi masyarakat
mengalami kebingungan karena ada beberapa draft berbeda yang telah disahkan. Naskah yang diserahkan
DPR kepada Istana sendiri berjumlah 812 halaman. Kemudian berubah menjadi naskah final versi
pemerintah sejumlah 1.187. Belakangan publik mendapati, terdapat “salah ketik” di beberapa pasal yang
telah diundangkan dan disahkan dalam lembaran negara. Hubungan pasal 5 dan pasal 6 dalam UU tersebut
juga bermasalah. Pasal 6 dalam undang-undang itu merujuk pada pasal 5 ayat 1 huruf a. Namun pada pasal
5 tidak terdapat ayat atau huruf. Maka, masyarakat layak untuk bertanya, kepentingan apa dan siapa yang
direpresentasikan oleh UU no 11 tahun 2020? Mengapa pemerintah terlihat ngotot untuk mengesahkan
UU ini dan mengabaikan aspirasi masyarakat? Pemerintah menjelaskan, omnibus law adalah langkah
strategis untuk mengatasi kesemrawutan dan tumpang tindih regulasi yang menghambat investasi dan
pergerakan roda ekonomi.

Presiden Jokowi menyebut, Indonesia mengalami hiper regulasi di mana sekitar 8.451 peraturan pusat dan
15.985 peraturan daerah telah menyebabkan ruang gerak pemerintah dan dunia usaha tidak lincah karena
terpasung birokratisasi. Presiden Jokowi benar. Riset Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
menemukan bahwa masalah besar dalam regulasi di Indonesia adalah hiper regulasi di mana ada tumpang
tindih dan ketidaksesuaian antar UU yang ada. Belum lagi ditambah jumlah undang-undang yang sangat
banyak. Jadi, semangat UU Omnibus law untuk memangkas, menata dan mengharmonisasi UU sehingga UU
yang ada saling terkait dan relevan, memang sangat diperlukan. Omnibus Law yang berwatak neo liberal
Bagi pemerintah, investasi merupakan solusi untuk mendongkrak kondisi ekonomi. Omnibus law menolong
dari sisi regulasi. Pertanyaan penting terkait hal ini, kepentingan siapa yang hendak direpresentasikan
dalam UU tersebut? Apakah investasi dan peningkatan perekonomian benar-benar untuk kepentingan
negara dan kesejahteraan rakyat? Apakah UU Omnibus law didasari oleh pertimbangan-pertimbangan
otonom negara atau merepresentasikan kepentingan kelompok ekonomi dominan ? Apakah UU ini untuk
kepentingan publik atau kartel politik? Relasi antara kekuasaan negara dan kepentingan ekonomi bersifat
problematik (Caporasso dan Levine: 1992). Negara tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari kepentingan
ekonomi dengan membiarkan pasar berjalan sebebas-bebasnya. Tetapi negara juga tidak bisa menguasai
sepenuhnya ekonomi untuk kepentingan-kepentingan rakyat banyak dan dirinya. Dari sisi ekonomi, pasar
tidak bisa mengkhianati prinsip efisiensi dan pasar bebas. Tetapi ia tidak bisa sepenuhnya steril dari
intervensi pemerintah. Menurut Caporaso dan Levine, di tengah-tengah berbagai kepentingan dari kelas-
kelas dominan di bidang ekonomi dan kepentingan masyarakat, pemerintah bisa memainkan otonomi
untuk mengambil kebijakan transformatif. Jika menyimak alasan mengapa Pemerintah Jokowi perlu
membuat omnibus law, kita menemukan alasan jelas: demi investasi dan kemajuan ekonomi.
Sesungguhnya, ini merupakan kelannjutan dari liberalisme pasar. Sebagaimana umum diketahui, rejim Orde
Baru memiliki kebijakan dan pendekatan ekonomi pasar bebas. Presiden Soeharto sangat akomodatif
terhadap modal asing dan peranan lembaga donor internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Itu terlihat
jelas pasca UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing disahkan. Liberalisasi ekonomi juga
terjadi melalui deregulasi yang berlangsung di era 1980-an. Saat itu modal asing yang hendak berinvestasi
di sektor perbankan diberikan keleluasaan.
Gelombang liberalisasi dalam pembangunan perekonomian nasional kembali berlangsung pasca krisis
moneter tahun 1997-1998. Saat itu pemerintah Indonesia sepakat dengan nasehat IMF agar Indonesia
melakukan privatisasi, pengurangan subsidi, liberalisasi keuangan serta reformasi sistem perbankan. Paket
kebijakan deregulasi, swastanisasi dan minimalisasi peran negara yang disepakati dengan IMF ini
merepresentasikan ideologi ekonomi liberal, sebagaimana dinyatakan dalam Washington Concencus pada
tahun 1989 (Simon Vaut : 2014). Karena semangat yang mendasari UU Omnibus law adalah untuk menarik
investasi asing dan membuka lapangan kerja, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa UU Omnibus law
berwatak neo liberal. Ia melanjutkan ideologi liberalisme ekonomi klasik. Pemerataan bukan hanya
pembangunan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang merepresentasikan neo liberalisme sudah disahkan
pemerintah. Kita tidak tahu apakah gugatan ini akan dikabulkan seluruhnya, sebagian atau malah ditolak
MK. Sementara itu, Presiden Jokowi menyatakan, pemerintah terbuka terhadap masukan masyarakat
untuk diterjemahkan dalam peraturan pemerintah atau peraturan Presiden turunan Undang-undang.
Kebijakan ekonomi (neo) liberal yang didasari asumsi bahwa kesejahteraan masyarakat akan terjadi seiring
dengan kemajuan ekonomi, yang berdampak pada trickle down effect sebagaimana dianut Orde Baru, tidak
sesuai dengan kenyataan. Liberalisasi ekonomi memang meningkatkan ekonomi Indonesia. Tetapi itu tidak
diikuti dengan kesejahteraan sebagian besar masyarakatnya. Peningkatan ekonomi hanya dialami para
pengusaha besar. Yang terjadi bukanlah trickle down effect tetapi trickle up effect. Pembangunan terjadi.
Tetapi itu tidak memakmurkan seluruh negeri. Hanya segelintir orang yang menikmati. Mengutip data
Lembaga Penjamin Simpanan, Batara Simatupang menjelaskan, dana pihak ketiga di bank menunjukkan
ketimpangan yang besar. 47 persen total dana pihak ketiga di bank, dimiliki hanya oleh 0,03 persen pemilik.
Indikator ini mencerminkan tingkat ketimpangan sosial yang sangat parah di Indonesia. Idealnya,
pembangunan dan peningkatan ekonomi perlu dilihat secara holistik dan berfokus juga pada pemerataan.
Apa yang disampaikan Amartya Sen perlu untuk kita sadari. Dalam Development as Freedom (1998), Sen
berpendapat bahwa pembangunan perlu dilihat sebagai upaya untuk mengupayakan kemerdekaan
individu, bukan sekedar dilihat dalam angka PDB atau pendapatan perkapita. Ada lima indikator yang ia
sebut sebagai ekonomi kesejahteraan: kemerdekaan politik, fasilitas ekonomi, kesempatan sosial, jaminan
transparansi, dan jaminan keamanan. Kelimanya tidak boleh dilihat secara parsial tetapi terintegrasi.
Peningkatan yang satu akan membawa dampak positif kepada indikator yang lain. Mengupayakan
kesejahteraan secara holistik dan mewujudkan keadilan sosial adalah dua pekerjaan rumah besar yang
dimiliki pemerintahan Jokowi. Pemerintah Jokowi- yang kebijakan ekonominya berwatak neo liberal- perlu
mengakomodasi dua hal tersebut dalam turunan UU Cipta Kerja agar dapat membuktikan bahwa UU yang
menimbulkan pro kontra ini dibuat demi kepentingan publik bukan kartel politik.

2. A. Omnibus law Undang-undang Cipta Kerja resmi diundangkan sebagai Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 November 2020. Undang-undang sapu
jagat ini mengubah sejumlah ketentuan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) salah satunya yang berkaitan dengan Analisis
mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Dengan adanya perubahan dalam UU Cipta Kerja, maka kini Amdal
kehilangan banyak "kesaktiannya". Sejumlah pihak menilai Amdal mulai diperlemah, terutama dalam hal
pengawasan lingkungan.

Berikut paparannya:

1. Definisi amdal Pasal 1 angka 11 UU PPLH menyebutkan bahwa Amdal merupakan kajian
mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.

Definisi tersebut sedikit berubah dalam UU Cipta Kerja, sehingga Pasal 1 angka 11 menjadi: "kajian
mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan, untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta termuat dalam perizinan berusaha atau
persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah". Definisi ini juga sedikit berbeda dari draf
RUU Cipta Kerja yang beredar sebelum DPR bersama pemerintah mengesahkannya pada rapat
paripurna 5 Oktober 2020.

Dalam draf RUU, frasa "persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah" tertulis sebatas
"persetujuan pemerintah".

2. Peran pemerhati lingkungan Ketentuan lain yang diubah yakni mengenai peran pemerhati
lingkungan hidup dalam penyusunan dokumen Amdal. Dalam Pasal 26 Ayat (3) UU PPLH diatur,
"dokumen Amdal disusun oleh masyarakat yang terdampak langsung, pemerhati lingkungan hidup,
dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal". Sementara, pada
UU Cipta Kerja tertulis perubahan dalam Pasal 26 Ayat (2) PPLH menjadi: "penyusunan dokumen
Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana
usaha dan/atau kegiatan".

3. Keberatan dan pelibatan masyarakat dihapus UU Cipta Kerja menghapus ketentuan Pasal
26 Ayat (2) UU PPLH yang menyebutkan bahwa pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan
prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan
dilaksanakan. Pasal 26 Ayat (4) yang semula mengatur bahwa masyarakat dapat mengajukan
keberatan terhadap dokumen Amdal juga dihapuskan.

4. Komisi penilai Amdal Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghapus keberadaan Komisi Penilai
Amdal. Semula, komisi ini diatur dalam Pasal 29, 30 dan 31 UU Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 29
UU Lingkungan Hidup disebutkan, Komisi Penilai Amdal dibentuk oleh menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota dan bertugas melalukan penilaian dokumen amdal. Keanggotaan Komisi Penilai
Amdal terdiri dari unsur instansi lingkungan hidup, instansi teknis terkait, pakar di bidang
pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji, pakar yang
terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji, wakil
dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak, dan organisasi lingkungan hidup. Berdasarkan
hasil penilaian Komisi Penilai Amdal, menteri, gubernur, atau bupati/wali kota menetapkan
keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya.

5. Tim uji kelayakan UU Cipta Kerja selanjutnya mengatur ketentuan baru mengenai tim uji
kelayakan lingkungan hidup yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan lingkungan hidup
pemerintah pusat. Perubahan terhadap Pasal 24 Ayat (3) dalam UU Cipta Kerja menyebutkan: tim
uji kelayakan lingkungan hidup terdiri atas unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah dan ahli
bersertifikat. Selanjutnya, Ayat (4) pasal yang sama mengatur, pemerintah pusat atau pemerintah
daerah menetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil uji kelayakan
lingkungan hidup.

6. Pembatalan berdasar putusan pengadilan dihapus Tak hanya itu, UU Cipta Kerja juga
menghapus ketentuan mengenai pembatalan izin lingkungan oleh pengadilan. Semula, ketentuan
itu diatur melalui Pasal 38 UU Lingkungan Hidup yang menyebut, selain ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan
tata usaha negara. Diberitakan, Undang-Undang Cipta Kerja resmi diundangkan setelah
ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Senin (2/11/2020).
Draf resmi UU Cipta Kerja ini juga telah diunggah pemerintah di situs Kementerian Sekretariat
Negara, yang beralamat di https://jdih.setneg.go.id. Secara resmi, aturan ini bernama Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kali ini, draf resmi UU Cipta Kerja memiliki
1.187 halaman. Sebelum draf resmi ini beredar, masyarakat sempat dibuat bingung karena sejak
pengesahan di rapat paripurna DPR pada 5 Oktober 2020, tidak ada versi resmi draf final sejak
berbentuk RUU Cipta Kerja. Pada 5 Oktober 2020 sebelum rapat paripurna
berlangsung, Kompas.com mendapatkan draf versi 905 halaman dari dua pimpinan Badan Legislatif
DPR.

2. B.Menurut saya DPR dan pemerintah jelas mengabaikan suara publik yang menolak pembahasan dan
pengesahan UU ini. Keselamatan rakyat dan agenda penyelamatan lingkungan hidup akan semakin
menemui tantangan yang lebih berat. Karena sejak awal aturan ini memang menjadi karpet merah untuk
kemudahan investasi, khususnya industri ekstraktif. Langkah hukum dengan menggugat pemerintah dan
DPR yang melakukan tindakan yang inkonstitusional dengan mengesahkan RUU (menjadi UU),
Ini langkah yang menjadi opsi untuk dilakukan, namun tentu harus dikomunikasikan dengan elemen
masyarakat sipil lainnya.

3. A. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 (UUPLH No. 23/1997) tentang pengelolaan lingkungan hidup.
mencamtumkan perlunya pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan, agar dapat
menunjang kehidupan masyarakat secara berkesinambungan. berbagai tindakan pencemaran lingkungan
dilingkungan masyarakat, sekalipun ada regulasi namun tidak menjadi bagian yang mampu menyelesaikan
pencemaran lingkungan pemerintah sebagai regulator, dan sebagai penegakan hukum adalah bertanggung
jawab terhadap pencemaran lingkungan hidup yang seyogyanya berdasarkan pada aturan yang berlaku.

Salah satu persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masalah lingkungan hidup. Cukup besar
kerugian yang ditimbulkan akibat dari kerusakan lingkugan hidup. Kerugian itu bisa timbul dalam jangka
waktu yang pendek dan dalam jangka waktu yang panjang. Apabila persoalan ini tidak diatasi maka
dimungkinkan lingkungan hidup di Indonesia akan menjadi rusak. Ketika ini terjadi beban berat tentu akan
pikul oleh generasi yang akan datang. Hal ini tidak boleh terjadi dan hukum harus ditegakkan ketika ada
pihak yang melakukan kerusakan terhadap lingkungan. Pelaku bisnis adalah orang yang secara langsung
bisa terkait dengan masalah lingkungan hidup. Oleh karena itu pelaku bisnis sudah semestinya memberi
perhatian utama dalam masalah lingkungan hidup.Karena pelaku bisnis pihak yang bisa terlibat langsung
dalam masalah lingkungan hidup, maka atas kerusakan yang terjadi sudah semesti menjadi tanggungjawab
pelaku bisnis. Regulasi tentang pengelolaan lingkungan hidup sudah mengatur masalah ini. Dengan
demikian maka secara hukum pelaku bisnis sudah dapat dipertanggungjawaban secara pidana terhadap
perbuatannya yang menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan hidup.Untuk itu hukum harus ditegakkan
ketika ada yang melakukan pelanggaran terhadapnya. Dengan penegakkan hukum diharapkan semua pihak
termasuk pelaku bisnis akan berusaha menjaga dan melestari lingkungan hidup untuk generasi yang akan
datang.

B. Ketentuan tentang penerapan sanksi administrasi diperkuat dan ditegaskan lagi dalam Pasal 78, yaitu
menentukan bahwa Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana. Artinya terhadap
sanksi administrasi yang telah dijatuhkan, penanggungjawab usaha masih bisa dijatuhi pidana.

Pasal 79 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
menentukan: “Pengenaan sanksi administratifberupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Jadi di sini diatur tentang syarat
pengenaan sanksi administrasi berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan, yaitu dilakukan apabila
penanggungjawab usaha tidak melaksanakan paksaan pemerintah.

Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
menentukan:

(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa:

a. penghentian sementara kegiatan produksi;

b. pemindahan sarana produksi;

c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;

d. pembongkaran;

e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;

f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau

g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan
fungsi lingkungan hidup.

(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpadidahului teguran apabila pelanggaran
yang dilakukan menimbulkan:

a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;

b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau
perusakannya; dan/atau

c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran
dan/atau perusakannya.

Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
menentukan: “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah”.
Ketentuan dalam Pasal 81 mengatur tentang pengenaan denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan
sanksi paksaan pemerintah.

Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, menentukan: “Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya”

Pasal 87 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
adalah mengatur tentang kewajiban penanggungjawab usaha untuk membayar ganti rugi atas kerugian
yang ditimbulkan oleh pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Secara lengkap Pasal 87,
menentukan:

(1) Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan
kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha,
dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hokumtidak melepaskan tanggung
jawab hokumdan/atau kewajiban badan usaha tersebut.

(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan
atas pelaksanaan putusan pengadilan.

4. A. Suatu proses yang melibatkan masyarakat umumnya dikenal sebagai peran serta masyarakat, yaitu
proses komunikasi dua arah yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat
secara penuh atas suatu proses kegiatan, dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang
dianalisa. Tujuan dari peran serta masyarakat sejak tahap perencanaan adalah untuk menghasilkan
masukan dan persepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang berkepentingan (public
interest) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan lingkungan (Canter, 1977). Karena
dengan melibatkan masyarakat yang potensial terkena dampak kegiatan dan kelompok kepentingan
(interest groups), para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan, kebutuhan dan pengharapan
dari masyarakat dan kelompok tersebut dan menuangkannya ke dalam konsep. Pandangan dan reaksi
masyarakat itu, sebaliknya akan menolong pengambil keputusan untuk menentukan prioritas, kepentingan
dan arah yang positif dari berbagai faktor.

Ketika seseorang langsung terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi
kehidupannya, mereka cenderung akan mempunyai kepercayaan dan menerima hasil akhir dari keputusan
itu. Jadi, program peran serta masyarakat menambah legitimasi dan kredibilitas dari proses perencanaan
kebijakan publik. Serta menambah kepercayaan publik atas proses politik yang dijalankan para pengambil
keputusan. Dalam peran serta masyarakat dengan pola hubungan konsultatif antara pihak pengambil
keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan beserta anggota masyarakat lainnya yang
mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberi tahu, dimana keputusan terakhir tetap
berada di tangan pembuat keputusan tersebut.

Sedang dalam konteks peran serta masyarakat yang bersifat kemitraan, pembuat keputusan dan anggota
masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar kedudukannya. Mereka bersama-sama membahas
masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan membahas keputusan. Selain itu penyertaan
masyarakat akan juga memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan, peran serta
masyarakat juga akan mereduksi kemungkinan penolakan masyarakat untuk menerima keputusan.
Pemberian akses atas informasi tentang pengelolaan lingkungan juga merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari aspek peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

B. Upaya masyarakat adat untuk mengembangkan komunitasnya tentu menjadi tugas berbagai elemen
bangsa, karena masyarakat adat merupakan bagian dari bangsa ini. Beberapa upaya penting yang harus
dilakukan oleh pemerintah dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat adat adalah pertama, reorientasi
masyarakat adat dalam pembangunan, kedua, gerakan sosial masyarakat adat,ketiga, membangun institusi
lokal masyarakat adat, keempat, pengembangan kapasitas masyarakat adat. Proses pemberdayaan
masyarakat adat, akan menyisakan berbagai tantangan yang multidimensional.

Peran kebijakan pemerintah tentulah diperlukan untuk mempercepat komunitas ini lebih mandiri dan siap
menyongsong perubahan sosial yang semakin memperkuat modal pembangunan. Berikut ini akan
dijelaskan berbagai upaya yang telah dan harus dilakukan oleh pemerintah Kota Palopo dan pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan dalam pemberdayaan masyarakat adat. Jadi tantangan terbesar, bukan
bagaimana mengelola hutan, tapi  bagaimana praktik pengelolaan hutan mereka bisa dilindungi hukum.

Anda mungkin juga menyukai