Anda di halaman 1dari 6

Nama: Rizal Wahyu Nugraha

NIM: 2015061019
Prodi: S1 Pendidikan Teknik Elektro
Matkul: PKN
Dosen: Prof. Dr. Sukadi, M.Pd., M.Ed.
Rombel: 8

5 PILAR TAMBAHAN
A. demokrasi dengan memajukan kesejahteraan dan kemakmuran
Setelah 20 tahun reformasi bergulir, demokrasi di Indonesia belum memberikan
dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Demokrasi
masih dinikmati segelintir elite dan belum secara sistemik menyentuh jantung persoalan
rakyat, terutama dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan. Meski
menurun, jumlah penduduk miskin masih di kisaran 10 persen dari jumlah penduduk.
Ketimpangan pun belum beranjak jauh dengan rasio gini masih di kisaran 0,39.

Ada dua hal utama agar demokrasi dapat berjalan dengan baik dan memberi
dampak bagi kesejahteraan, yakni kebebasan dan penegakan hukum. Dua hal ini harus
berjalan beriringan, di mana kebebasan harus dipayungi oleh supremasi hukum.
Penegakan hukum harus menjadi panglima dan jangan pernah pandang bulu.

Sejak zaman kemerdekaan, Indonesia telah mengalami sedikitnya empat periode


demokrasi. Pada era 1945 hingga 1965, demokrasi parlementer mewarnai panggung
politik dan pemerintahan Indonesia. Sebagai periode awal demokrasi, tentu Indonesia
masih dalam tahap belajar. Model politik aliran yang mewarnai panggung politik nasional
membuat partai-partai politik, yang tumbuh bak jamur, justru terpecah belah.

Pada era ini untuk pertama kali Indonesia melakukan pemilihan umum yang
diikuti lebih dari 29 partai. Namun, partai-partai tersebut masih mencari bentuk dan
sekadar ingin meraih kekuasaan. Kesejahteraan rakyat sebagai tujuan dari demokrasi
belum bisa diwujudkan.

Perpecahan partai-partai dan golongan di era demokrasi parlementer akhirnya


melahirkan Demokrasi Terpimpin pada 1959-1965. Kekuasaan presiden pada era ini
sangat besar hingga akhirnya muncul perseteruan politik ideologis antara pemerintah,
masyarakat, dan tentara, yang berujung pada munculnya gerakan 30 September 1965.
Demokrasi terpimpin tidak hanya gagal menjaga persatuan bangsa, namun juga belum
mampu menyejahterakan rakyat.

Kondisi tersebut melahirkan periode Demokrasi Pancasila (1965-1988) dengan


era pemerintahan Orde Baru. Secara konseptual dan ideologis, demokrasi Pancasila
memunculkan harapan bagi perwujudan keadilan sosial bagi rakyat. Tiga komponen
utama demokrasi menjadi andalan, yakni penegakan kembali asas-asas negara hukum dan
kepastian hukum; mewujudkan keadilan sosial; dan pengakuan serta perlindungan
terhadap hak asasi manusia (HAM).

Dalam implementasinya, sistem demokrasi Pancasila banyak diselewengkan.


Penegakan hukum yang masih tebang pilih justru menjadi momok bagi masyarakat.
Peran militer sangat dominan ketimbang institusi sipil, sementara fungsi dan peran partai
politik dikebiri. Intervensi pemerintah terhadap partai politik sangat dominan. Campur
tangan pemerintah dalam proses pemilihan umum sangat besar dalam rangka
melanggengkan kekuasaan. Keamanan dan ketertiban yang diwujudkan bukan
berdasarkan kesadaran masyarakat, tetapi karena ketakutan.

Seiring berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada 1998, era Demokrasi Pancasila
pun meredup dan Indonesia memasuki era reformasi. Rakyat yang selama ini sulit untuk
mengemukakan pendapat dan berkumpul semakin berani mengekspresikan perasaan
mereka. Partai politik, yang pada era Orde Baru hanya dua ditambah satu golongan, pun
kembali bermunculan. Namun, keruntuhan Orde Baru hanya melahirkan euforia
kebebasan (freedom), tanpa ada konsep yang jelas ke arah mana demokrasi akan dibawa
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Kini, setelah 20 tahun reformasi, muncul pertanyaan di kalangan masyarakat,


masih perlukah kita melaksanakan sistem demokrasi dengan ideologi Pancasila.
Pertanyaan-pertanyaan itu diwujudkan dari adanya gerakan-gerakan sebagian anggota
masyarakat yang ingin mengubah ideologi dan sistem pemerintahan. Apalagi, saat ini
demokrasi yang dijalankan di Indonesia tertantang untuk bisa mewujudkan kesejahteraan
dan keadilan sosial.

Jawaban atas pertanyaan itu, Indonesia masih sangat membutuhkan demokrasi


dengan Pancasila sebagai ideologi yang bisa mempersatukan berbagai perbedaan.
Namun, kita tentu ingin agar ada pembenahan dan peningkatan kualitas demokrasi di
Tanah Air. Demokrasi seharusnya tidak hanya bicara tentang kebebasan yang saat ini
mengarah pada keblabasan. Semua orang seolah bisa berbicara dan bertindak apa saja
tanpa ada tanggung jawab moral dan hukum.

Berbagai model demokrasi yang pernah dijalani Indonesia gagal karena hukum
belum menjadi panglima. Kuncinya adalah penegakan hukum sebagai penyeimbang dari
kebebasan dan kekuasaan. Jangan biarkan hukum semakin pandai memilih bulu, yang
hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas, atau cenderung berpihak kepada kelompok
dan golongan tertentu. Hukum harus benar-benar menjadi panglima yang bisa
menciptakan keadilan. Pembenahan perangkat hukum, mulai dari undang-undang,
institusi, hingga aparat penegak hukum, menjadi kunci dalam mewujudkan negara
hukum.

Peningkatan kualitas demokrasi yang bisa mewujudkan kesejahteraan rakyat juga


tidak terlepas dari perbaikan sistem dan institusi politik agar bisa melahirkan pemimpin-
pemimpin yang benar-benar peduli terhadap kepentingan rakyat dan bisa menciptakan
keadilan sosial. Sistem pemilu harus bisa memberikan kesempatan yang besar kepada
anak bangsa yang memiliki visi, misi, dan konsep membangun bangsa, bukan kepada
orang-orang yang sekadar memiliki popularitas dan “isi tas”.

Penguasaan segelintir elite yang memiliki kekuasaan dan kekuatan finansial


membuat demokrasi di internal partai mandek. Agar tidak dikuasai orang-orang tertentu,
secara institusi partai politik harus memiliki dana yang memadai. Selain melalui iuran
anggota, bantuan anggaran dari negara juga bisa menjadi solusi dalam upaya partai
melahirkan pemimpin-pemimpin yang mumpuni. Meski demikian, partai juga dituntut
untuk bertanggung jawab dalam setiap penggunaan uang negara tersebut.

Pendidikan dan seleksi kepemimpinan di internal partai politik harus dilakukan


dengan baik dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Jangan sampai partai mengusung
calon-calon pemimpin di semua tingkatan dan lembaga hanya karena memiliki “darah
biru” politik atau kekuatan finansial yang besar dengan mengabaikan kompetensi dan
rekam jejak.

B. demokrasi yang dilandaskan dengan sikap patriotisme dan nasionalisme


Paham kebangsaan atau nasionalisme suatu bangsa adalah dimilikinya kesadaran
dan semangat akan cinta tanah air yang diwujudkan dalam bentuk sikap dan juga tingkah
laku di masyarakat, dengan tidak mempermasalahkan perbedaan. Bahkan justru
perbedaan itu sebagai suatu warna yang harus dapat diselaraskan dalam sebuah
persamaan.
Indonesia sebagai bangsa dan negara yang sangat luas dari segi wilayah dengan
kekayaan alam yang melimpah dan jumlah penduduk yang cukup banyak, tentu memiliki
banyak kesamaan dan banyak perbedaan. Kesamaanlah yang membuat bangsa ini lahir
dan bersatu menjadi negara merdeka, menjadi negara besar dan berdaulat di tengah-
tengah pergaulan dunia internasional.
Dan, perbedaan merupakan keanekaragaman yang menumbuhkan kebanggaan
dalam diri bangsa Indonesia yang menjadikan kita saling membutuhkan satu sama
lainnya, yang lebih mudah kita sebut dengan perasaan nasionalisme.
Sebagai bagian dari warga negara Indonesia, sebagai warga negara yang baik
sudah seharusnya memiliki rasa Nasionalisme atau rasa cinta kepada bangsa dan tanah
air. Dalam kehidupan bermasyarakat kita bertemu dan berkumpul dengan banyak orang
yang memiliki banyak perbedaan, baik perbedaan daerah asal, perbedaan latar belakang
sosial maupun pendidikan, bahkan perbedaan pola pikir, tetapi dalam organisasi ini kita
disatukan dengan persamaan tujuan.
Dalam organisasi dituntut untuk dapat menyelaraskan semua perbedaan yang ada
menuju satu persamaan yang memiliki kepentingan lebih tinggi. Semua itu bermuara
kepada rasa cinta tanah air dan cinta terhadap Negara Republik Indonesia.
Hal ini adalah hal yang penting dan harus kita sadari dan terapkan dalam
keseharian kita. Apabila kita sudah dapat mengedepankan persamaan tanpa
mempermasalahkan perbedaan, maka akan tercapai suatu tatanan kehidupan yang
harmonis.
Tantangan kebhinekaan sekarang ini sangat rentan akan terkikis, khususnya
generasi sekarang tidak lepas dengan adanya tekhnologi dan media sosial. Tidak sedikit
pengaruh media sosial yang berasal dari setiap generasi milenial ini membangun
pemikiran- pemikiran yang cenderung ekstrim dan salah kaprah.

Sikap mengayomi dan tolong menolong harus menjadi nomor satu dalam
kehidupan sehari-hari. Karena bagaimanapun kita tidak bisa hidup sendiri tanpa interaksi
dan bantuan orang lain. Serta nilai kemanusiaan yang termanifestasi dari cinta damai,
kerja sama dan persaudaraan harus menjadi dasar dalam bersikap dan bertindak.
C. demokrasi yang menempatkan diatas kepentingan pribadi dan dan golongan
Wawasan kebangsaan merupakan pandangan yang menyatakan negara Indonesia
merupakan satu kesatuan dipandang dari semua aspek sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia dalam mendayagunakan konstelasi Indonesia, sejarah dan kondisi sosial
budaya untuk mengejawantahan semua dorongan dan rangsangan dalam usaha mencapai
perwujudan aspirasi bangsa dan tujuan nasional yang mencakup kesatuan politik,
kesatuan sosial budaya, kesatuan ekonomi, kesatuan pertahanan keamanan.
Makna wawasan kebangsaan indonesia adalah mengamanatkan kepada seluruh
bangsa agar menempatkan persatuan dan kesatuan serta kepentingan dan keselamatan
bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.

D. demokrasi yang memajukan kebudayaan nasional Indonesia

Pengembangan demokrasi di Indonesia telah berlangsung dengan penuh warna


dan dipengaruhi oleh sistem sosial-politik yang melandasi setiap zamannya. Sejak negara
ini merdeka 73 tahun yang lalu, Indonesia setidaknya telah mengimplementasikan tiga
sistem demokrasi, yakni demokrasi parlementer/liberal (1945-1959), demokrasi
terpimpin (1959-1966), dan demokrasi Pancasila (1967-sekarang). Jika dicermati secara
mendalam, sistem demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila sebenarnya bertolak dari
titik yang sama, yaitu menerapkan nilai-nilai ideal Pancasila. Titik pembeda dari kedua
sistem tersebut adalah model dan seni kepemimpinannya, serta letak penekanan
penerapan sila-sila Pancasila. Terlepas dari perbedaan tersebut, satu hal yang pasti, kedua
sistem demokrasi tersebut sama-sama bertujuan untuk mewujudkan Indonesia yang
aman, sejahtera, dan menjadi bangsa yang besar serta terhormat. Sebagai catatan,
implementasi sistemsistem demokrasi di setiap negara juga didasari oleh tiga perbedaan,
yaitu falsafah, sistem pemerintahan, serta budaya dan keadaan sosial-ekonomi. Dari
penjelasan tersebut, terlihat jelas bahwa budaya/kebudayaan merupakan salah satu pilar
penting yang menopang pengembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini merupakan yang
lazim mengingat kebudayaan, seperti didefinisikan oleh Prof. Koentjaraningrat,
merupakan hasil dari interaksi antarmanusia, dan manusia dengan lingkungannya yang
mencakup tiga unsur besar, yakni ide-ide atau gagasan, sistem sosial, serta artefak. Di
Indonesia, kebudayaan nasional bersumber dari kebudayaan-kebudayaan lokal dari setiap
daerah.

Kebudayaan lokal tersebut menjadi representasi nilainilai luhur yang kemudian


menyatu, dan bermuara pada Pancasila, sebagai nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia. Untuk
itu, keberhasilan pengembangan demokrasi Pancasila di masa depan sangat ditunjang
oleh adanya gerakan nasional dalam upaya untuk memajukan kebudayaan nasional.
Gerakan nasional ini mesti dilakukan dengan strategi yang tepat, dukungan dana
memadai, serta keterlibatan seluruh elemen masyarakat. Upaya memajukan kebudayaan
nasional ini semestinya juga dilandasi spirit bahwa kebudayaan tersebut harus
dikembangkan dan diterapkan sesuai perkembangan zaman, agar dapat dikuasai oleh
generasi sesuai zamannya. Tak hanya itu, pemerintah perlu merancang dan membangun
strategi besar (grand design) pengembangan kebudayaan daerah sebagai unsur utama
kemajuan kebudayaan nasional (AD, IP, VNT).

E. demokrasi yang menghargai adanya pluralitas bangsa Indonesia

Dalam konteks multikulturalisme, pendidikan hendaknya memberi penghargaan


terhadap realitas pluralitas. Pendidikan yang tidak memberi penghargaan terhadap realitas
pluralitas akan membawa banyak dampak negatif. Penyeragaman atau sentralisasi
pendidikan bukan saja akan mematikan kreativitas, tetapi dapat melahirkan sikap dan
cara pandang yang tidak toleran, oleh karena itu perlu dibangun pendidikan yang
berparadigma multikulturalisme.

Pendidikan multikuralisme ialah pendidikan yang berupaya mengembangkan


seluruh potensi manusia untuk menghargai pluralitas dan hetrogenitas sebagai
konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, agama dalam suatu bangsa. Pendidikan
tentang keragaman kebudayaan untuk merespon perubahan demografis dan kultural
dalam lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan
multikulturalisme memenekankan penghormatan setinggi-tingginya terhadap harkat dan
martabat manusia beserta latarbelang keunikan sosial budaya yang melekat pada diri
setiap orang.

Pendidikan multikulturalisme diharapkan dapat menciptakan keharmonisan,


kedamaian, keamanan, kerukunan, dan kebahagian yang sejati ditengah masyarakat,
tanpa dibayang-bayangi oleh rasa khawatir dan cemas karena perbedaan-perbedaan yang
ada. Pendidikan multikultural diharpkan pula dapat menanamkan wawasan pluralisme-
multikulturalisme sebagai upaya komprehensif menghindari, mencegah, dan
menggulangi terjadinya konflik sosial yang bernuansa entis, ras dan agama di masa-masa
mendatang. Jiwa dan nafas pendidikan multikulturalisme ialah demokrasi, humanisme,
pluralisme yang anti terhadap kontrol dan tekanan yang membatasi serta menghilangkan
keunikan budaya dan kebebasan manusia.

Anda mungkin juga menyukai