Anda di halaman 1dari 2

PENDAHULUAN

Secara etimologis kata paradigma berasal dari bahasa Yunani yang asal katanya adalah para dan
digma. Para mengandung arti ‘di samping’, ‘di sebelah’, dan ‘keadaan lingkungan’. Digma berarti
‘sudut pandang’, ‘teladan’, ‘arketip; dan ‘ideal’. Dapat dikatakan bahwa paradigma adalah cara
pandang, cara berpikir, cara berpikir tentang suatu realitas. Adapun secara terminologis paradigma
adalah cara berpikir berdasarkan pandangan yang menyeluruh dan konseptual terhadap suatu
realitas atau suatu permasalahan dengan menggunakan teori-teori ilmiah yang sudah baku,
eksperimen, dan metode keilmuan yang bisa dipercaya. Dengan demikian, paradigma qur'ani adalah
cara pandang dan cara berpikir tentang suatu realitas atau suatu permasalahan berdasarkan Al-
Quran. Berikutnya, Mengapa Al-Quran dijadikan paradigma? Semua orang menyatakan bahwa ada
suatu keyakinan dalam hati orang-orang beriman, Al-Quran mengandung gagasan yang sempurna
mengenai kehidupan; Al-Quran mengandung suatu gagasan murni yang bersifat metahistoris.
Menurut Kuntowijoyo (2008), Al-Quran sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar
untuk dijadikan cara berpikir. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan
berdasarkan paradigma Al-Quran jelas akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan umat
manusia. Kegiatan itu mungkin bahkan tentu saja akan menjadi rambahan baru bagi munculnya
ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Premis-premis normatif Al-Quran dapat dirumuskan menjadi
teori-teori yang empiris dan rasional. Struktur transendental Al-Quran adalah sebuah ide normatif
filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Paradigma qur'ani akan memberikan
kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan rasional yang orisinal,
dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis masyarakat Islam yaitu untuk mengaktualisasikan
misinya sebagai khalifah di muka bumi.

Globalisasi sering diartikan sebagai pisau bermata dua, disatu pihak ia memberi manfaat,
kemudahan dan kenikmatan, tetapi disisi lain ia juga membawa kemudharatan, ketergantungan, dan
mungkin juga kesengsaraan. Globalisasi, mau tidak mau, siap tidak siap, menerima atau menolak
adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar karena sudah menjadi kesepakatan (consensus) dunia.
Dunia sebelum menjalankan misi globalisasi, telah melakukan ‘rapat bersama’ yang diwakili oleh
banyak pemimpin dari seluruh dunia. Dunia seolah-olah sudah menabuh ‘genderang’ sebagai
penanda dimulainya misi ‘globalisasi’. Globalisasi, perlu dicatat bukan hanya sebagai bentuk fisik,
namun juga non fisik, termasuk di dalamnya adalah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan teknologi informasi melahirkan peristiwa menarik dalam kehidupan masyarakat, saat
ini maraknya budaya global dan gaya hidup yang serba instan. Peristiwa ini terjadi sebagai dampak
dari arus globalisasi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Globalisasi sering dimaknai hegemoni
negara-negara maju terhadap negara negara-negara terbelakang atau negara berkembang. Mulai
dari gaya berpakaian hingga gaya hidup serta mengkonsumsi makanan instan hingga menyerap
informasi secara instan tanpa nalar kritis (Nurkholis, 2007: 112).

Dengan adanya perkembangan globalisasi seperti ini, akan menuntut semua orang untuk
beradaptasi dengan kemajuan teknologi dan informasi terutama bagi generasi Z. Generasi Z yang
merupakan pengguna internet secara umum kurang bijak dalam menggunakannya. Saat ini nampak
telah terjadi kecenderungan penggunaan internet yang sering mengesampingkan nilai-nilai moral
dan etika dalam berkomunikasi informasi di media sosial. Permasalahan yang timbul dari pengguna
media sosial saat ini adalah maraknya hoax, bahkan orang terpelajar pun tidak bisa membedakannya
yang pada akhirnya akan berdampak memecah publik (Nurkholis, 2007: 83). Dengan berkembangnya
teknologi di dunia, berbagai tantangan global hadir di tengah-tengah mahasiswa. Menurut indra
(2016), dalam menghadapi globalisasi, penting untuk memiliki pendidikan yang berpedoman pada
nilai-nilai Al-Quran dan Al-Hadits. Itulah pentingnya bekal pendidikan islam bagi para generasi Z agar
dapat menghadapi persoalan yang datang dengan tetap berpedoman pada Al-Quran. Menurut
Iswanto (2018), muslim milenial dipercaya dapat mengangkat citra islam Indonesia agar menjadi
rujukan dunia dalam mewujudkan masyarakat yang damai dan beradab. Membangun paradigma
qur'ani bagi generasi Z ini diharapkan dapat membuka mata para generasi muda untuk selalu
berpegang teguh pada Al-Quran dalam setiap menghadapi masalah di era globalisasi seperti ini.
Berdasarkan pernyataan yang telah dipaparkan di atas, masalah yang akan dibahas adalah …….

sitasi
Aziz, Abdul. (2016). Kultural Qur’ani di Era Global. Diakses pada 10 September 2021, dari
https://iain-surakarta.ac.id/kultural-qurani-di-era-global/

Anda mungkin juga menyukai