Anda di halaman 1dari 28

SASARAN BELAJAR

1. MM Hemoglobin
1.1 Definisi
1.2 Struktur
1.3 Gen penyalin globin
2. MM Thalasemia
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
2.3 Epidemiologi
2.4 Patofisiologi
2.5 Klasifikasi
2.6 Manifestasi Klinik
2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding
2.8 Tatalaksana
2.9 Komplikasi
2.10 Pencegahan
2.11 Prognosis
1. MM Hemoglobin
1.1 Definisi
Hemoglobin adalah protein globular yang mengangkut oksigen yang diperlukan untuk kehidupan
manusia yang secara biokimia dipelajari lebih mendalam.
(Swanson, 2011)

1.2 Struktur
Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu molekul organik
dengan satu atom besi. Hemoglobin tersusun dari empat molekul protein (globulin chain) yang
terhubung satu sama lain. Hemoglobin normal orang dewasa (HbA) terdiri dari 2 alpha-globulin chains
dan 2 beta-globulin chains, sedangkan pada bayi yang masih dalam kandungan atau yang sudah lahir
terdiri dari beberapa rantai beta dan molekul hemoglobinnya terbentuk dari 2 rantai alfa dan 2 rantai
gama yang dinamakan sebagai HbF. Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung
4 subunit protein), yang terdiri dari masing-masing dua subunit alfa dan beta yang terikat secara
nonkovalen. Subunit-subunitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir sama
Pada pusat molekul terdapat cincin heterosiklik yang dikenal dengan porfirin yang menahan satu
atom besi; atom besi ini merupakan situs/loka ikatan oksigen. Porfirin yang mengandung besi disebut
heme Tiap subunit hemoglobin mengandung satu heme, sehingga secara keseluruhan hemoglobin
memiliki kapasitas empat molekul oksigen. Pada molekul heme inilah zat besi melekat dan
menghantarkan oksigen serta karbondioksida melalui darah, zat ini pula yang menjadikan darah kita
berwarna merah.

Jenis jenis Hb
Pada orang dewasa:
- HbA (96%), terdiri atas 2 pasang rantai globin alfa dan beta (α 2β2)
- HbA2 (2,5%), terdiri atas 2 pasang rantai globin alfa dan delta (2δ 2)
Pada fetus:
- HbF (predominasi), terdiri atas 2 pasang rantai globin alfa dan gamma (2 γ 2)
- Pada saat dilahirkan HbF terdiri atas rantai globin alfa dan Ggamma (2G γ 2) dan alfa dan Agamma
(2A γ 2), dimana kedua rantai globin gamma berbeda pada asam amino di posisi 136 yaitu glisin
pada G γ dan alanin pada A γ
Pada embrio:
- Hb Gower 1, terdiri atas rantai globin zeta dan epsilon (ζ 2ε 2)
- Hb Gower 2, terdiri atas rantai globin alfa dan epsilon (2ε 2)
- Hb Portland, terdiri atas rantai globin zeta dan gamma (ζ 2 γ 2), sebelum minggu ke 8 intrauterin
- Semasa tahap fetus terdapat perubahan produksi rantai globin dari rantai zeta ke rantai alfa dan dari
rantai epsilon ke rantai gamma, diikuti dengan produksi rantai beta dan rantai delta saat kelahiran

1.3 Gen penyalin globin

Sintesis Hemoglobin
Sintesis hemoglobin membutuhkan produksi dari heme dan globin yang terkoordinasi. Heme
adalah kelompok prostetik yang menjembatani pengikatan oksigen melalui hemoglobin. Globin adalah
protein yang mengelilingi dan melindungi molekul heme.

Sintesis Heme

Gambar 1 Sintesis heme


Sickle.bwh.harvard.edu/hbsynthesis.html

Sintesis heme adalah sebuah proses kompleks yang melibatkan banyak langkah-langkah
enzimatik. Proses ini dimulai di mitokondria dengan kondensasi dari suksinil-CoA dan glisin
membentuk 5-aminolevulinic acid. Serangkaian langkah-langkah di dalam sitoplasma menghasilkan
coproporphrynohen III yang akan masuk kembali ke dalam mitokondria. Langkah-langkah enzimatik
akhir menghasilkan heme.

Sintesis globin

Dua rantai globin yang berbeda, alpha dan non-alpha (masing-masing dengan molekul heme
sendiri) bergabung membentuk hemoglobin. Dengan pengecualian pada minggu pertama
perkembangan embrio, salah satu rantai globin selalu alpha. Sejumlah variabel mempengaruhi sifat
dasar dari rantai non-alpha di dalam molekul hemoglobin. Fetus mempunyai sebuah rantai non-alpha
yang berbeda yaitu gamma. Setelah lahir, rantai globin non-alpha berbeda dinamakan beta,
berpasangan dengan rantai alpha. Gabungan dari dua rantai alpha dan dua rantai non alpha
menghasilkan sebuah molekul hemoglobin yang lengkap (total 4 rantai per molekul).
Gabungan dari dua rantai alpha dan dua rantai gamma membentuk hemoglobin fetal (janin)
yakni Hb F. Dengan pengecualian bahwa 10 hingga 12 minggu pertama setelah pembuahan, Hb F
sebagai hemoglobin dasar di dalam perkembangan janin. Gabungan dua rantai alpha dan dua rantai
beta membentuk hemoglobin adult (dewasa) yang juga disebut sebagai Hb A. Walaupun Hb A
dinamankan dewasa, Hb A menjadi hemoglobin yang menonjol sekitar 18 hingga 24 minggu
kelahiran.
Sepasang dari satu rantai alpha dan satu rantai non-alpha menghasilkan sebuah dimer (dua
rantai) hemoglobin. Dimer hemoglobin tidak efisien membawa oksigen. Dua dimer bergabung
membentuk sebuah tetramer hemoglobin yang merupakan bentk fungsional dari hemoglobin. Ciri-ciri
biofisika lengkap dari tetramer hemoglobin yakni mengontrol pengambilan oksigen di paru-paru dan
melepaskannya di jaringan yang membutuhkan untuk mempertahankan hidup.
Gen-gen yang mengkode rantai globin alpha terletak pada kromosom 16, sedangkan gen-gen
yang mengkode rantai globin non-alpha terletak pada kromosom 11. Kompleks alpha disebut lokus
globin alpha, sedangkan kompleks non-alpha disebut lokus globin beta. Keseimbangan ekspresi gen
pada rantai globin dibutukan untuk fungsi normal sel darah merah. Gangguan keseimbangan ekspresi
gen pada rantai globin menghasilkan sebuah penyakit yang dinamakan talasemia
(Bunn dan Forget, Saunders, 2002)
Gambar 2 Sintesis globin
Sickle.bwh.harvard.edu/hbsynthesis.html

Tabel 1 Embryonic hemoglobins Fetal hemoglobin Adult hemoglobins


Hemoglobin gower 1- zeta(2), epsilon(2)  hemoglobin A- alpha(2), beta(2) 
manusia gower 2- alpha(2), epsilon (2)  hemoglobin F- alpha(2), gamma(2)
hemoglobin A2- alpha(2), delta(2)
Portland- zeta(2), gamma (2)
Sickle.bwh.harvard.edu/hbsynthesis.html

Biosintesis hemoglobin

Sintesis hemoglobin di mulai dalam proteoblast dan berlanjut bahkan dalam stadium retikulosit
pada pembentukan sel darah merah.
Oleh karena itu ketika retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke aliran darah, retikulosit
tetap membentuk sejumlah kecil hemoglobin satu hari sesudah dan seterusnya sampai sel tersebut
menjadi eritrosit yang matur.

Tahap dasar pembentukan secara kimiawi :


Suksinil-KoA, di bentuk dalam siklus krebs berikatan dengan glisin membentuk molekul priol.
Empat priol bergabung membentuk protoporfirin IX bergabung dengan besi membentuk molekul
heme.
Setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang yaitu globin yang di sintesis oleh
ribosom membentuk sub unit hemoglobin yang di sebut rantai hemoglobin.

Guyton 11th edition, 2006


2. MM Thalasemia
2.1 Definisi
Thalassemia adalah kelompok heterogen anemia hemolitik herediter yang secara umum terdapat
penurunan kecepatan sintesis pada satu atau lebih rantai polipeptida hemoglobin dan diklasifikasikan
menurut rantai yang terkena(α, β, γ), dua katagori utamanya adalah thalassemia α dan β.

Thalasemia secara genetik

Penamaan Klinis Genetika


Genotip Penyakit
Nomenklatur Molekuler

- Homozigot β0-
1. β-thalassemia Berat, membutuhkan
thalassemia (β0/β0) Jarang delesi gen
Thalassemia transfusi darah secara
- Homozigot β+- pada (β0/β0)
mayor teratur
thalassemia (β+/β+)
Defek pada
Berat, tetapi tidak transkripsi,
2. Thalassemia β0/β
perlu transfusi darah pemrosesan, atau
intermedia β+/β+
teratur translasi mRNA β-
globin
Asimtomatik, dengan
3. Thalassemia β0/β anemia ringan atau
minor β+/β tanpa anemia; tampak
kelainan eritrosit
2.2 Etiologi

Thalassemia disebabkan oleh delesi (hilangnya) satu gen penuh atau sebagian dari gen (ini terdapat
terutama pada thalassemia α atau mutasi noktah pada gen (terutama pada talasemia β, kelainan itu
menyebabkan menurunnya sintesis rantai polipeptida yang menyusun globin. (Sunarto, 2000)
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah berkurangnya sintesis
HbA dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intramedular. Sedangkan
yang sekunder ialah karena defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskular yang
mengakibatkan hemodilusi dan destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati.
Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau
beta dari hemoglobin berkurang. (Mansjoer, 2009)

2.3 Epidemiologi
http://wwwnc.cdc.gov/travel/images/map3-12-endemicity-melioidosis-infection.jpg

Thalassemia beta
Dilihat dari distribusi geografiknya maka thalassemia β banyak dijumpai di mediterania, timur
tengah, india/Pakistan dan asia. Di siprus dan yunani lebih banyak dijumpai varian β +¿¿
sedangkan di Asia tenggara lebih banyak varian β o.Prevalensi thalassemia di berbagai Negara
adalah sebagai berikut : Italy : 10%, yunani : 5-10%, cina : 2%, india : 1-5%, Negro : 1%, Asia
tenggara : 5%. Jika dilukiskan dalam peta dunia, seolah olah membentuk sebuah sabuk
(thalassemia belt) dimana indonesia masuk ke dalamnya.

Thalasemia alfa
Sering dijumpai di asia tenggara, lebih sering sering dari thalassemia beta.

2.4 Patofisiologi
Pada thalassemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama sekali pruduksi rantai globin satu atau
lebih rantai globin. Penurunan secara bermakan kecepatam sintesis salah satu jenis rantai globin
(rantai α atau β) menyebabkan sintesis rantai globin yang tidak seimbang. Bila pada keadaan normal
rantai globin yang disintesis seimbang antara rantai α dan rantai β, yakni berupa α2β2, maka pada
thalassemia βo, idmana tidak disintesis sama sekali rantai β, maka rantai globin yang diproduksi
berupa rantai α yang berlebihan (α4). Sedangkan pada thalassemia αo, dimana tidak disintesis sama
sekali rantai α, maka rantai globin yang diproduksi berupa rantai βyang berlebihan (β4)

a. Patofisiologi thalassemia β
Terdapat penurunan produksi rantai β, terjadi produksi berlebihan rantai α. Produksi rantai globin
γ, dimana pasca kelahiran masih tetap diproduksi rantai α2 γ2 (HbF), tidak mencukupi untuk
mengkompenssasi defisiensi α2β2 (HbA).Hal ini menunjukkan bahwa produksi rantai globin β
dan rantai globin γ tidak pernah mencukupi untuk mengikat rantai α yang berlebihan.Rantai α
yang berlebihan ini merupakan ciri khas pada pathogenesis thalassemia.
Rantai α berlebihan, yang tidak dapat berikatan dengan rantai globin lainnya, akan berpresipitasi
pada precursor sel darah merah dalam sumsum tulang dan dalam sel progenitor dalam darah tepi.
Presipitasi ini akan menimbulkan gangguan pematangan precursor eritoid dan eritropoiesis yang
tidak efektif( infektif),sehingga umur eritrosit menjadi pendek. Akibatnya timbul anemia.Anemia
ini lebih lanjut lagi akan menjadi pendorong (drive) proliferasi eritroid yang terus menerus
(intens) dalam sumsum tulang yang infektif, sehingga terjadi ekspansi sumsum tulang. Hal ini
kemudian akan menyebabkan deformitas skeletal dan berbagai gangguan pertumbuhan dan
metabolism. Anemia kemudian akan ditimbulkan lahi (exacerbated) danegan adanya hemodilusi
akibat adanya hubungan langsung (shunting) darah akibat sumsum tulang yang berekspansi dan
juga oleh adanya splenomegaly.pada limpa yang membesar makin banyak sel darah merah
abnormal yang terjebak, untuk kemudian akan dihancurkan oleh system fagosit. Hyperplasia
sumsum tulang jemudian akan meningkatkan absprbsi dam muatan besi. Tranfusi yang diberikan
secara teratur juga menambah muatan besi. Hal ini akan menyebabkan penimbunan besi yang
progresif di jaringan berbagai organ, yang akan diikuti kerusakan organ dan diakhiri dengan
kematian. Bila besi ini tidak segera dikeluarkan.

Patofisiologi thalassemia β
Hal yang terjadi Akibatnya/manifestasinya
Mutasi primer terhadap produksi Sintesis globin yang tidak seimbang
globin
Rantain globin yang berlebihan Anemia
terhadap metabolism dan ketahanan
hidup (survival)eritrosit
Eritrosit abnormal terhadap fungsi Anemia, splenomegaly, hepatomegaly,
organ dan kondisi hiperkoagulabilitas
Anemia terhadap fungsi organ Produksi eritropoietin dan ekspansi
sumsum tulang, deformitas skeletal,
gangguan metabolism, dan perubahan
adaptif dungsi kardiovaskular
Metabolism besi yang abnormal Muatan besi berlebih , menyebabkan
kerusakan jaringan hati, endokrin,
miokardium, kulit
Rentan terhadap infeksi spesifik
Sel seleksi Penigkatan kadar HbF, heterogenitas
populasi sel darah merah
Modifers genetic sekunder Variasi fenotip ; khususnya melalui
respon HbF
Variasi metabolism bilirubin, besi dan
tulang
Pengobatan Muatan besi berlebih, kelainan tulang,
infeksi yang ditularkan lewat darah,
toksisitas obat
Riwayat evolusioner Variasi dari latar belakang genetic:
respon terhadap infeksi
Factor ekologi dan etnologi

b. Patofisiologi thalassemia α
Patofisiologi thalassemia α umumnya sama dengan yang dijumpai pada thalassemia β kecuali
beberapa perbedaan utama akibat delesi (-) atau mutasi (T) rantai globin α tunggal (-α/αα atau
αTα/αα) tidak berdampak pada fenotip. Sedangkan thalassemia 2aα homozigot (-α/-α) atau
thalassemia 1a-heterozigot (αα/--0 memberi fenotip seperti thalassemia β carrier. Kehilangan 3
dari 4 gen globin α memberikan fenotip tingkat penyakit berat menengah (moderat), yang
diakatakan sebagai JbH disease. Sedangkan thalassemia αo homozigot (--/--) tidak dapat bertahan
hidup, disebut sebagai Hb Bart;shydrops syndrome.
Kelainan dasar thalassemia α sama dengan thalassemia β, yakni ketidakseimbangan sintesis
rantai globin. Namun ada perbedaan besar dalam hal patofisiologi kedua jenis thalassemia ini.
 Pertama, karena rantai α dimiliki oleh hemoglobin fetus ataupun dewasa (tidak seperti
thalassemia β), maka thalassemia α bermanifestasi pada masa fetus.
 Kedua, sifat-sifat yang ditimbulkan akibat produksi secara berlebihan rantai γ dan β yang
dusebabkan oleh defek produksi rantai globin α sangat berbeda dibandingkan dengan akibat
produksi berlebih rantai α pada thalassemia β. Bila kelebihan rantai α tersebut menyebabkan
presipitasi oada precursor eritrosit, maka thalassemia α menimbulakan tetramer yang larut
(soluble) yaakni γ4, Hb Bart’s dan β4

2.5 Klasifikasi

Berdasarkan rantai asam amino yang gagal terbentuk, thalassemia dibagi menjadi thalassemia alpha
dan thalassemia β.
a. Thalassemia α
Anemia mikrositik yang disebabkan oleh defisiensi sintesis globin-α. Delesi gen globin-α menyebabkan
sebagian besar kelainan ini. Terdapa tempat gen globin-α pada individu normal, dan empat bentuk
thalassemia-α yang berbeda telah diketahui sesuai dengan delesi satu, dua, tiga, dan semua empat gen ini
 Silent carrier thalassemia- α
Pada tipe silent carrier, salah satu gen α pada kromosom 16 menghilang, menyisakan hanya 3 dari 4 gen
tersebut.
 Trait thalassemia-α
Kondisi ini disebabkan oleh hilangnya 2 gen α pada satu kromosom 16 atau satu gen α pada masing-
masing kromosom.
 Penyakit Hb H
Kelainan disebabkan oleh hilangnya 3 gen globin α, merepresentasikan thalassemia-α intermedia.
 Thalassemia-α mayor
Bentuk thalassemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi semua gen globin-α, disertai dengan tidak
ada sintesis rantai α sama sekali. Karena Hb F, Hb A, dan Hb A2 semuanya mengandung rantai α, maka
tidak satupun dari Hb ini terbentuk. Hb Barts (γ4) mendominasi pada bayi yang menderita, dan karena
γ4 memiliki afinitas oksigen yang tinggi, maka bayi-bayi itu mengalami hipoksia berat. Eritrositnya juga
mengandung sejumlah kecil Hb embrional normal (Hb Portland = ζ2γ2), yang berfungsi sebagai
pengangkut oksigen.

Hemoglobin
Genoti Jumlah Presentasi
Elektroforesis
p gen α Klinis
Saat lahir >6 bulan
αα/αα 4 Normal Normal Normal
0-3% Hb
-α/αα 3 Silent Carier Normal
Barts
--/-α Trait 2-10% Hb
2 Normal
-α/-α Thalasemia-α barts
--/-α 1 Penyakit Hb H 15-30% Hb H
>75% Hb
--/-- 0 Hydrops fetalis -
Barts
Hb Barts = γ4 Hb H = β4
b. Thalassemia β
Ditandai oleh defisiensi sintesis rantai β globin. Pada thalassemia β 0 tidak terdapat sama sekali rantai β
globin dalam keadaan homozigot. Pada thalassemia β+ terdapat penuruan sintesis β globin (tetapi masih
dapat terdeteksi) dalam keadaan homozigot.
 Silent carrier thalassemia-β
Mutasi yang terjadi sangat ringan, dan merepresentasikan suatu thalassemia-β+. Bentuk silent carrier
thalassemia-β tidak menimbulkan kelainan yang dapat diidentifikasi pada individu heterozigot, tetapi
gen untuk keadaan ini, jika diwariskan bersama-sama dengan gen untuk thalassemia-β°, menghasilkan
sindrom thalassemia intermedia.
 Trait thalassemia-β
Individu dengan ciri (trait) thalassemia sering didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi besi dan
mungkin diberi terapi yang tidak tepat dengan preparat besi selama waktu yang panjang. Lebih dari 90%
individu dengan trait thalassemia-β mempunyai peningkatan HbA2 yang berarti (3,4%-7%). Kira-kira
50% individu ini juga mempunyai sedikit kenaikan HbF, sekitar 2- 6%. Pada sekelompok kecil kasus,
yang benar-benar khas, dijumpai HbA2 normal dengan kadar HbF berkisar dari 5% sampai 15%, yang
mewakili thalassemia tipe δβ.
 Thalassemia Intermedia.
Pada kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa memproduksi sedikit rantai β globin.
Penderita biasanya mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.
 Thalassemia-β° homozigot (Anemia Cooley, Thalassemia Mayor)
Bergejala sebagai anemia hemolitik kronis yang progresif selama 6 bulan kedua kehidupan. Transfusi
darah yang reguler diperlukan pada penderita ini untuk mencegah kelemahan yang amat sangat dan
gagal jantung yang disebabkan oleh anemia. Tanpa transfusi, 80% penderita meninggal pada 5 tahun
pertama kehidupan. Pada kasus yang tidak diterapi atau pada penderita yang jarang menerima transfusi
pada waktu anemia berat, terjadi hipertrofi jaringan eritropoetik disumsum tulang maupun di luar
sumsum tulang. Tulang-tulang menjadi tipis dan fraktur patologis mungkin terjadi. Ekspansi masif
sumsum tulang di wajah dan tengkorak menghasilkan bentuk wajah yang khas.

2.6 Manifestasi Klinik

Tanda dan gejala dari penyakit thalassemia disebabkan oleh kekurangan oksigen di dalam aliran
darah. Hal ini terjadi karena tubuh tidak cukup membuat sel-sel darah merah dan
hemoglobin. Keparahan gejala tergantung pada keparahan dari gangguan yang terjadi.
a. Tidak Gejala
Alpha Thalassemia silent carrier umumnya tidak memiliki tanda-tanda atau gejala. Hal ini terjadi
karena kekurangan protein globin alfa sangat kecil sehingga hemoglobin dalam darah masih
dapat bekerja normal.
b. Anemia ringan
Orang yang telah menderita thalassemia alfa atau beta dapat mengalami anemia ringan. Namun,
banyak orang dengan jenis talasemia tidak memiliki tanda-tanda atau gejala yang
spesifik.Anemia ringan dapat membuat penderita merasa lelah dan hal ini sering disalahartikan
menjadi anemia yang kekurangan zat besi.
c. Anemia ringan sampai sedang dan tanda serta gejala lainnya
Orang dengan beta talasemia intermedia dapat mengalami anemia ringan sampai sedang. Mereka
juga mungkin memiliki masalah kesehatan lainnya, seperti:
a) Memperlambat pertumbuhan dan pubertas. Anemia dapat memperlambat pertumbuhan anak
dan perkembangannya.
b) Masalah tulang, thalassemia dapat membuat sumsum tulang (materi spons dalam tulang yang
membuat sel-sel darah) tidak berkembang. Hal ini menyebabkan tulang lebih luas daripada
biasanya. Tulang juga dapat menjadi rapuh dan mudah patah.
c) Pembesaran limpa. Limpa adalah organ yang membantu tubuh melawan infeksi dan
menghapus materi yang tidak diinginkan. Ketika seseorang menderita talasemia, limpa harus
bekerja sangat keras. Akibatnya, limpa menjadi lebih besar dari biasanya. Hal ini membuat
penderita mengalami anemia parah. Jika limpa menjadi terlalu besar maka limpa tersebut
harus disingkirkan.
d. Anemia berat dan tanda serta gejala lainnya
Orang dengan penyakit hemoglobin H atau thalassemia beta mayor (disebut juga Cooley's
anemia) akan mengalami talasemia berat. Tanda dan gejala-gejala muncul dalam 2 tahun pertama
kehidupannya. Mereka mungkin akan mengalami anemia parah dan masalah kesehatan serius
lainnya, seperti:
a) Pucat dan penampilan lesu
b) Nafsu makan menurun
c) Urin akan menjadi lebih pekat
d) Memperlambat pertumbuhan dan pubertas
e) Kulit berwarna kekuningan
f) Pembesaran limpa dan hati
g) Masalah tulang (terutama tulang di wajah)
e. Anemia berat menjadi nyata pada usia 3-6bulan setelah kelahiran ketika seharusnya terjadi
pergantian dari produksi rantai γ ke rantai β
f. Pembesaran hati dan Limpa terjadi akibat destruksi eritrosit yang berlebihan , hemopoeisis
extramedula, dan lebih lanjut akibat penimbunan besi. Limpa yang besar , meningkatkan
kebutuhan darah dengan meningkatkan volume plasma dan meningkatkan destruksi eritrosit dan
cadangan eritrosit
g. Pelebaran tulang yang hebat menyebabkan fasies thalasemia dan penipisan korteks di banyak
tulang, dengan suatu kecenderungan terjadinya fraktur dan penonjolan tengkorak dengan suatu
gambaran ‘ rambut berdiri” pada rontegen
h. Usia pasien dapat di perpanjang dengan pemberian transfuse darah tetapi penimbunan besi yang
disebabkan oleh transfuse berulang tidak terhindarkan kecuali bila diberikan terapi khelasi. Tiap
500 l darah transfuse mengandung sekitar 250 mg besi. Yang lebih memperburuk, absorpsi besi
dari makanan meningkat pada thalasemia β, kemungkinan akibat eritropoesisi yang inefektif.
Besi erusak organ endokrin (dengan kegagalan pertumbuhan, pubertas yang terlambat , atau tidak
terjadi diabetes mellitus, hipotiroidisme, hipoparatiroidise ) dan miokardium. Tanpa khalesi yang
besi yang intensif, kematian terjadi pada decade kedua atau ketiga, biasanya akibat gagal jantung
kohesif atau aritmia jantung.
i. Infeksi dapat terjadi karena berbagai alas an. Pada masa bayi tanpa transfuse yang mencukupi,
anak yang menderita anemia rentan terhadap infeksi bakteri ( infeksi pneukokus, haemophilus
dan meningokokus mungkin terjadi jika telah dilakukan splenektomi dan tidak diberikan
profilaksis penisilin).
j. Yersinia enterocolitica terutama di temuakan pada paasien kelebihan besi yang sedang menjalani
pengobatan desferioksamin. Transfuse virus elalui transfusi darah dapt terjadi , penyakit hati
pada thalaseia paling sering disebabkan hepatitis C, bias juga hepatitis B kalau penyakit itu
endemic, HIV
k. Osteoporosis dapat terjadi pada pasien yang mendapat transfuse baik biasanya terjadi pada pasien
diabetes.
a. Thalassemia α
 Silent carrier thalassemia- α
Penderita sehat secara hematologis, hanya ditemukan adanya jumlah eritrosit (sel darah merah) yang
rendah dalam beberapa pemeriksaan. Pada tipe ini, diagnosis tidak dapat dipastikan dengan
pemeriksaan elektroforesis Hb. Bisa juga dicari akan adanya kelainan hematologi pada anggota
keluarga (misalnya orang tua) untuk mendukung diagnosis. Pemeriksaan darah lengkap pada salah
satu orang tua yang menunjukkan adanya hipokromia dan mikrositosis tanpa penyebab yang jelas
merupakan bukti yang cukup kuat menuju diagnosis thalasemia.
 Trait thalassemia-α
Trait ini dikarakterisasi dengan anemia ringan dan jumlah sel darah merah yang rendah. Pada bayi
baru lahir yang terkena, sejumlah kecil Hb Barts (γ4) dapat ditemukan pada elektroforesis Hb. Lewat
umur satu bulan, Hb Barts tidak terlihat lagi, dan kadar Hb A2 dan HbF secara khas normal.
 Penyakit Hb H
Terdapat anemia sedang sampai berat, splenomegali, ikterus, dan jumlah sel darah merah yang
abnormal. Pada sediaan apus darah tepi yang diwarnai dengan pewarnaan supra vital akan tampak
sel-sel darah merah yang diinklusi oleh rantai tetramer β (Hb H) yang tidak stabil dan terpresipitasi di
dalam eritrosit, sehingga menampilkan gambaran golf ball. Badan inklusi ini dinamakan sebagai
Heinz bodies.
 Thalassemia-α mayor
Kebanyakan dari bayi-bayi ini lahir mati, dan kebanyakan dari bayi yang lahir hidup meninggal
dalam waktu beberapa jam. Bayi ini sangat hidropik, dengan gagal jantung kongestif dan edema
anasarka berat.

b. Thalassemia β
 Silent carrier thalassemia-β
Penderita tipe ini biasanya asimtomatik, hanya ditemukan nilai eritrosit yang rendah.
 Trait thalassemia-β
Penderita mengalami anemia ringan, nilai eritrosit abnormal, dan elektroforesis Hb abnormal dimana
didapatkan peningkatan jumlah HbA2, HbF, atau keduanya.
 Thalassemia Intermedia
Gambaran klinis dan intensitasnya berada diantara bentuk mayor dan minor. Pasien-pasien
thalassemia ini secara genetik bersifat heterogen.
 Thalassemia-β° homozigot (Anemia Cooley, Thalassemia Mayor)
 Kadar hemoglobinnya berkisar antara 3-6 gm/dL. MCV dan MCH rendah. Kadar serum besi
tinggi dengan saturasi kapasitas pengikat besi (iron binding capacity). Kadar HbF yang sangat
tinggi dalam eritrosit.
 Pada sediaan darah tepi memperlihatkan kelainan yang berat, seperti anisositosis yang nyata
disertai dengan banyak sel darah merah yang mikrositik hipokromik, sel-sel target, sel darah
merah yang berbintik-bintik (stippling), atau terfragmentasi.
 Pembesaran hati dan limpa akibat destruksi eritrosit yang berlebihan, hemopoiesis ekstramedula
dan penimbunan besi.
 Pelebaran tulang. Hiperplasia sumsum tulangyang hebat menyebabkan terjadinya facies cooley
dan penipisan korteks di banyak tulang dengan suatu kecenderungan terjadinya fraktur dan
penonjolan tengkorak dengan gambaran hair on end pada foto rontgen.
 Absorpsi besi meningkat, mengakibatkan eritropoiesis inefektif, kerusakan hati, organ endokrin
(kegagalan pertumbuhan, pubertas terlambat atau tidak terjadi, DM, hipotiroidisme), gagal
jantung

2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding


1. Anamnesis
Keluhan timbul karena anemia: pucat, gangguan nafsu makan, gangguan tumbuh kembang dan perut
membesar karena pembesaran lien dan hati. Pada umumnya keluh kesah ini mulai timbul pada usia 6
bulan
2. Pemeriksaan fisik
 Pucat
 Bentuk muka mongoloid (facies Cooley)
 Dapat ditemukan ikterus
 Gangguan pertumbuhan
 Splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar
3. Pemeriksaan penunjang
 Darah tepi :
 Hb rendah dapat sampai 2-3 g%
 Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan
makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly,
poikilositosis dan sel target. Gambaran ini lebih kurang khas.
 Retikulosit meningkat.

Gambar 5. Sedimen Darah Tepi dari Penderita Thalassemia Trait dan Orang Normal.
Variasi bentuk eritrosit (sel darah merah) pada sedimen darah tepi
dilihat dengan mikroskop dari penderita thalassemia: a = hipokrom,
b = teardrop, c = target cell, d = basophilic stipling dengan pewarnaan giemsa
Bentuk eritrosit (sel darah merah) pada orang normal dengan pewarnaan giemsa

 Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis)


 Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak dari jenis asidofil
 Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat
 Pemeriksaan khusus
 Hb F meningkat : 20%-90% Hb total
 Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F
 Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia mayor merupakan trait (carrier) dengan
Hb A2 meningkat (> 3,5% dari Hb total)
 Pemeriksaan lain
 Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula
tegak lurus pada korteks
 Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak
jelas

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
- Pada hapusan darah tepi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik, anisositosis, polklilositosis dan
adanya sel target (fragmentasi dan banyak sel normoblas).
- Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi (IBC) menjadi rendah dan dapat
mencapai nol.
- Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tingginya HbF lebih dari 30%, kadang ditemukan juga
hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45% pasien Thalasemia juga mempunyai HbE maupun
HbS.
- Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan SGPT dapat meningkat karena kerusakan parankim
hati oleh hemosiderosis.
- Penyelidikan sintesis α /β terhadap refikulosit sirkulasi memperlihatkan peningkatan nyata ratio α /β
yakni berkurangnya atau tidak adanya sintetis rantai β.

Gambaran radiologis
Radiologi menunjukkan gambran khas “hair on end”. Tulang panjang menjadi tipis akibat ekspansi sumsum
tulang yang dapat berakibat fraktur patologis. Wajah menjadi khas, berupa menonjolnya dahi, tulang pipi dan
dagu atas. Pertumbuhan fisik dan perkembangannya terhambat.

-Facies Mongoloid- -Splenohepatomegali-


(Sunarto, 2000)

Menjelaskan diagnosis banding thalassemia


TIBC meningkat besi sumsum Anemia defisiensi
Feritin menurun tulang negatif besi
menurun
TIBC menurun besi sumsum anemia akibat
Feritin N / ^ tulang positif penyakit kronil
anemia hipokrom
besi serum
mikrositer
elektroforesis HbA2^
Thalasemia
Hb HbF^
Feritin
normal
Normal
Ring sideroblast dalam Anemia
sumsum tulang sideroblastik

Thalassemia Anemia Defisiensi Besi


Splenomegali + -
Icterus + -
Perubahan morfologik Tak sebanding dengan derajat Sebanding dengan derajat
eritrosit anemi anemi
Sel target ++ +/-
Resistensi osmotic Meningkat N
Besi serum Meningkat Menurun
TIBC Menurun Meningkat
Cadangan besi Meningkat Kosong
Feritin serum Meningkat Menurun
HbA2/HbF Meningkat Normal

Anemia Anemia Thalasemia Anemia


defisiensi besi akibat sideroblastik
penyakit
kronik

MCV Menurun Menurun / N Menurun Menurun / N

MCH Menurun Menurun / N Menurun Menurun / N

Besi Serum Menurun Menurun Normal Normal


(SI)

TIBC Meningkat Menurun N / Meningkat N / Meningkat

Besi sumsum Negatif Positif Positif kuat Positif dengan


tulang ring
sideroblast

Protoporfirin Meningkat Meningkat Normal Normal


eritrosit

Elektroforesi Normal Normal HbA2 Normal


s Hb meningkat

(Bakta, 2006)

2.8 Tatalaksana
Pengobatan thalassemia bergantung pada jenis dan tingkat keparahan dari gangguan. Seseorang
pembawa atau yang memiliki sifat alfa atau beta talasemia cenderung ringan atau tanpa gejala dan
hanya membutuhkan sedikit atau tanpa pengobatan. Terdapat 3 (standar) perawatan umum untuk
thalassemia tingkat menengah atau berat, yaitu transfusi darah, terapi besi dan chelation, serta
mmenggunakan suplemen asam folat. Selain itu, terdapat perawatan lainnya adalah dengan
transplantasi sum-sum tulang belakang, pendonoran darah tali pusat, dan HLA (Human Leukocyte
Antigens).
a. Transfusi darah
Transfusi darah yang teratur perlu dilakukan untuk mempertahankan hemoglobin diatas 10 g/dl
setiap saat. Darah segar, yang telah di saring untuk memisahkan leukosit, menghasilkan eritrosit
dengan ketahanan yang terbaik dan reaksi paling sedikit. Pasien harus diperiksa genotipnya pada
permulaan program transfuse untuk mengantisipasi bila timbul antibody eritrosit terhadap
eritrosit yang di trnasfusikan .
Efeksamping dan indikasi cara pemberian trasfusi darah
Indikasi :
1. Kehilangan darah akut, bila 20–30% total volume darah hilang dan perdarahan masih terus terjadi.
2. Anemia berat
3. Syok septik (jika cairan IV tidak mampu mengatasi gangguan sirkulasi darah dan sebagai tambahan
dari pemberian antibiotik)
4. Memberikan plasma dan trombosit sebagai tambahan faktor pembekuan, karena komponen darah
spesifik yang lain tidak ada
5. Transfusi tukar pada neonatus dengan ikterus berat.

Memberikan Transfusi Darah

Sebelum pemberian transfusi, periksa hal sebagai berikut:

a. Golongan darah donor sama dengan golongan darah resipien dan nama anak serta nomornya tercantum
pada label dan formulir (pada kasus gawat darurat, kurangi risiko terjadinya ketidakcocokan atau
reaksi transfusi dengan melakukan uji silang golongan darah spesifik atau beri darah golongan O bila
tersedia)
b. Kantung darah transfusi tidak bocor
c. Kantung darah tidak berada di luar lemari es lebih dari 2 jam, warna plasma darah tidak merah jambu
atau bergumpal dan sel darah merah tidak terlihat keunguan atau hitam
d. Tanda gagal jantung. Jika ada, beri furosemid 1mg/kgBB IV saat awal transfusi darah pada anak yang
sirkulasi darahnya normal. Jangan menyuntik ke dalam kantung darah.

Lakukan pencatatan awal tentang suhu badan, frekuensi napas dan denyut nadi anak.

Jumlah awal darah yang ditransfusikan harus sebanyak 20 ml/kgBB darah utuh, yang diberikan selama 3-4
jam.

Selama transfusi

1. Jika tersedia, gunakan alat infus yang dapat mengatur laju transfusi (lihat gambar)
2. Periksa apakah darah mengalir pada laju yang tepat
3. Lihat tanda reaksi transfusi (lihat di bawah), terutama pada 15 menit pertama transfusi
4. Catat keadaan umum anak, suhu badan, denyut nadi dan frekuensi napas setiap 30 menit
5. Catat waktu permulaan dan akhir transfusi dan berbagai reaksi yang timbul.
Setelah transfusi

Nilai kembali anak. Jika diperlukan tambahan darah, jumlah yang sama harus ditransfusikan dan dosis
furosemid (jika diberikan) diulangi kembali.

RISIKO TRANSFUSI DARAH


Risiko transfusi darah sebagai akibat langsung transfusi merupakan bagian situasi klinis yang kompleks. Jika
suatu operasi dinyatakan potensial menyelamatkan nyawa hanya bila didukung dengan transfusi darah, maka
keuntungan dilakukannya transfusi jauh lebih tinggi daripada risikonya. Sebaliknya, transfusi yang dilakukan
pasca bedah pada pasien yang stabil hanya memberikan sedikit keuntungan klinis atau sama sekali tidak
menguntungkan. Dalam hal ini, risiko akibat transfusi yang didapat mungkin tidak sesuai dengan
keuntungannya. Risiko transfusi darah ini dapat dibedakan atas reaksi cepat, reaksi lambat, penularan penyakit
infeksi dan risiko transfusi masif.20

IV.1. Reaksi Akut

Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat
dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan
ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas
ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan
dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam,
takikardia, kaku otot. Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat, demam
akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit), kontaminasi pirogen
dan/atau bakteri.1

Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri di sekitar tempat
masuknya infus, napas pendek, nyeri punggung, nyeri kepala, dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku
otot, demam, lemah, hipotensi (turun ≥20% tekanan darah sistolik), takikardia (naik ≥20%), hemoglobinuria
dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri,
syok septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfusi.1

Hemolisis intravaskular akut

Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas sel darah merah. Antibodi
dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah
inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak
volume darah yang inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko.1,8

Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat kesalahan dalam permintaan
darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung yang belum diberikan label, kesalahan pemberian
label pada tabung dan

ketidaktelitian memeriksa identitas pasien sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah adanya
antibodi dalam plasma pasien melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO) dari darah
yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau Duffy.1,8,16,17

Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam beberapa menit awal transfusi, kadang-kadang
timbul jika telah diberikan kurang dari 10 ml. Jika pasien tidak sadar atau dalam anestesia, hipotensi atau
perdarahan yang tidak terkontrol mungkin merupakan satu-satunya tanda inkompatibilitas transfusi.
Pengawasan pasien dilakukan sejak awal transfusi dari setiap unit darah.1

Kelebihan cairan

Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini dapat terjadi bila terlalu banyak cairan
yang ditransfusikan, transfusi terlalu cepat, atau penurunan fungsi ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi
pada pasien dengan anemia kronik dan memiliki penyakit dasar kardiovaskular.1,8

Reaksi anafilaksis

Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam plasma merupakan salah satu penyebab
bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada resipien tertentu. Selain itu, defisiensi IgA dapat menyebabkan
reaksi anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat disebabkan produk darah yang banyak mengandung IgA. Reaksi
ini terjadi dalam beberapa menit awal transfusi dan ditandai dengan syok (kolaps kardiovaskular), distress
pernapasan dan tanpa demam. Anafilaksis dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan
agresif.1,8,16,17

Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated acute lung injury = TRALI)

Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung antibodi yang melawan leukosit pasien.
Kegagalan fungsi paru biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak awal transfusi, dengan gambaran foto toraks
kesuraman yang difus. Tidak ada terapi spesifik, namun diperlukan bantuan pernapasan di ruang rawat
intensif.1,8

IV.2. Reaksi Lambat

Reaksi hemolitik lambat

Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan gejala dan tanda demam, anemia, ikterik
dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa disertai syok, gagal ginjal
dan DIC jarang terjadi. Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah merah
dalam plasma pasien dan pemilihan sel darah kompatibel dengan antibodi tersebut.1,8,16,17

Purpura pasca transfusi

Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi potensial membahayakan pada transfusi sel
darah merah atau trombosit. Hal ini disebabkan adanya antibodi langsung yang melawan antigen spesifik
trombosit pada resipien. Lebih banyak terjadi pada wanita. Gejala dan tanda yang timbul adalah perdarahan
dan adanya trombositopenia berat akut 5-10 hari setelah transfusi yang biasanya terjadi bila hitung trombosit
<100.000/uL. Penatalaksanaan penting terutama bila hitung trombosit ≤50.000/uL dan perdarahan yang tidak
terlihat dengan hitung trombosit 20.000/uL. Pencegahan dilakukan dengan memberikan trombosit yang
kompatibel dengan antibodi pasien.1,8

Penyakit graft-versus-host

Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan. Biasanya terjadi pada pasien imunodefisiensi,
terutama pasien dengan transplantasi sumsum tulang; dan pasien imunokompeten yang diberi transfusi dari
individu yang memiliki tipe jaringan kompatibel (HLA: human leucocyte antigen), biasanya yang memiliki
hubungan darah. Gejala dan tanda, seperti demam, rash kulit dan deskuamasi, diare, hepatitis, pansitopenia,
biasanya timbul 10-12 hari setelah transfusi. Tidak ada terapi spesifik, terapi hanya bersifat suportif.1,8

Kelebihan besi

Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka waktu panjang akan mengalami akumulasi besi
dalam tubuhnya (hemosiderosis). Biasanya ditandai dengan gagal organ (jantung dan hati). Tidak ada
mekanisme fisiologis untuk menghilangkan kelebihan besi. Obat pengikat besi seperti desferioksamin,
diberikan untuk meminimalkan akumulasi besi dan mempertahankan kadar serum feritin <2.000 mg/l.1,8

Supresi imun

Transfusi darah dapat mengubah sistem imun resipien dalam beberapa cara, dan hal ini menjadi perhatian
karena adanya pendapat yang menyatakan bahwa angka rekurensi tumor dapat meningkat. Selain itu juga
terdapat pendapat yang menyatakan bahwa transfusi darah meningkatkan risiko infeksi pasca bedah karena
menurunnya respons imun: sampai saat ini, penelitian klinis gagal membuktikan hal ini.1

Busch dkk18 (1993) melakukan randomized trial terhadap 475 pasien kanker kolorektal. Penelitian
membandingkan prognosis antara pasien kanker kolorektal yang dilakukan transfusi autolog dengan transfusi
allogenik. Didapatkan hasil bahwa risiko rekurensi meningkat secara bermakna pada pasien yang dilakukan
transfusi darah, baik allogenik maupun autolog, bila dibandingkan dengan yang tidak dilakukan transfusi;
risiko relatif rekurensi adalah 2,1 dan 1,8; angka tersebut tidak berbeda bermakna satu dengan yang lain.

Jensen dkk19 melakukan penelitian randomized prospektif terhadap 197 pasien yang akan menjalani operasi
elektif kolorektal. Fungsi sel natural killer diteliti sebelum operasi, tiga, tujuh dan 30 hari pasca operasi pada
60 pasien. Didapatkan hasil bahwa fungsi sel natural killer mengalami ketidakseimbangan secara bermakna
(p<0,001) sampai 30 hari pasca operasi pada pasien yang dilakukan transfusi darah lengkap. Data di atas
merupakan satu kasus kuat yang menentang penggunaan transfusi darah lengkap pada pasien yang akan
menjalani operasi kolorektal elektif.

Penelitian tentang hubungan antara transfusi darah perioperatif dan rekurensi tumor padat telah menimbulkan
kontroversi. Analisis pada pasien yang dilakukan transfusi menyatakan bahwa rekurensi berhubungan dengan
transfusi darah lengkap namun tidak demikian halnya dengan transfusi konsentrat sel darah merah. Analisis
selanjutnya dilakukan pada pasien dengan kanker kolon, rektum, serviks dan prostat untuk menentukan
apakah terdapat perbedaan antara pasien yang menerima darah lengkap, sel darah merah, atau tidak dilakukan
transfusi. Pasien yang menerima ≥1 unit darah lengkap didapatkan keluaran yang jauh lebih buruk
dibandingkan dengan pasien yang tidak dilakukan transfusi (p<0,001). Sebaliknya, pasien yang hanya
menerima sel darah merah mengalami rekurensi progresif dan angka kematiannya meningkat sesuai dengan
jumlah transfusi; hal ini menggambarkan adanya hubungan dengan jumlah transfusi. Berdasarkan analisis
multivarian, transfusi darah ≤3 unit darah lengkap berhubungan bermakna dengan rekurensi tumor yang lebih
cepat (p=0,003) dan kematian akibat kanker (p=0,02). Transfusi ≤3 unit konsentrat sel darah merah tidak
meningkatkan risiko rekurensi dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima transfusi (p=0,05).
Perbedaan nyata terlihat antara pasien yang menerima beberapa unit sel darah merah dan dibandingkan
dengan pasien yang menerima satu unit darah lengkap, hal tersebut sesuai dengan hipotesis bahwa transfusi
plasma darah simpan menyebabkan rekurensi tumor lebih awal pada beberapa kasus.20

Agarwal dkk21 (1993) menganalisis data 5.366 pasien yang dirawat di rumah sakit selama >2 hari pada 8
rumah sakit selama 2 tahun untuk menentukan apakah transfusi darah mempengaruhi terjadinya infeksi
setelah trauma. Dinyatakan bahwa insidens infeksi berhubungan bermakna dengan mekanisme cedera. Hasil
analisis regresi logistik bertahap menunjukkan bahwa jumlah darah yang diterima dan skor tingkat keparahan
cedera merupakan dua variabel prediktor infeksi yang bermakna. Meskipun pasien sudah dikelompokkan
berdasarkan derajat keparahan, ternyata angka infeksi meningkat secara bermakna sesuai dengan jumlah darah
yang ditransfusikan. Transfusi darah pada pasien cedera merupakan variabel prediktor bebas penting akan
terjadinya infeksi. Hal ini tidak dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin atau mekanisme dasar yang
mempengaruhi tingkat keparahan cedera.

Moore dkk22 dalam penelitian kohort prospektif terhadap 513 pasien trauma yang dirawat di ICU dengan
kriteria usia >16 tahun, skor keparahan trauma >15 dan bertahan hidup >48 jam menyimpulkan bahwa
transfusi darah merupakan faktor risiko untuk terjadinya gagal organ multipel (multiple organ failure = MOF)
yang tidak bergantung pada indeks syok lainnya.

Zallen dkk23 melakukan studi kohort prospektif terhadap 63 pasien yang berisiko menderita MOF pasca
trauma untuk mengetahui apakah umur PRC yang ditransfusikan merupakan faktor risiko timbulnya MOF
pasca trauma. Dalam penelitian ini terdapat 23 pasien yang diidentifikasi menderita MOF dan menerima 6-20
unit PRC dalam 12 jam pertama setelah trauma. Umur PRC yang ditransfusikan pada 6 jam pertama dicatat
dan dilakukan regresi logistik multipel terhadap pasien yang menderita MOF maupun tidak. Disimpulkan
bahwa umur PRC yang ditransfusikan pada 6 jam pertama merupakan faktor risiko tidak bergantung
(independent) atas terjadinya MOF.

IV.3. Penularan Infeksi

Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung pada berbagai hal, antara lain prevalensi
penyakit di masyarakat, keefektifan skrining yang digunakan, status imun resipien dan jumlah donor tiap unit
darah.8 Saat ini dipergunakan model matematis untuk menghitung risiko transfusi darah, antara lain untuk
penularan HIV, virus hepatitis C, hepatitis B dan virus human T-cell lymphotropic (HTLV). Model ini
berdasarkan fakta bahwa penularan penyakit terutama timbul pada saat window period (periode segera setelah
infeksi dimana darah donor sudah infeksius tetapi hasil skrining masih negatif).24

Transmisi HIV

Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali diketahui pada akhir tahun 1982 dan awal 1983. Pada
tahun 1983 Public Health Service (Amerika Serikat) merekomendasikan orang yang berisiko tinggi terinfeksi
HIV untuk tidak menyumbangkan darah. Bank darah juga mulai menanyakan kepada donor mengenai
berbagai perilaku berisiko tinggi, bahkan sebelum skrining antibodi HIV dilaksanakan, hal tersebut ternyata
telah mampu mengurangi jumlah infeksi HIV yang ditularkan melalui transfusi. Berdasarkan laporan dari
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) selama 5 tahun pengamatan, hanya mendapatkan 5 kasus
HIV/tahun yang menular melalui transfusi setelah dilakukannya skrining antibodi HIV pada pertengahan
maret 1985 dibandingkan dengan 714 kasus pada 1984.24

Pengenalan pemeriksaan antibodi HIV tipe 2 ternyata hanya sedikit berpengaruh di Amerika Serikat, yaitu
didapatkan 3 positif dari 74 juta donor yang diperiksa. Perhatian terhadap kemungkinan serotipe HIV tipe 1
kelompok O terlewatkan dengan skrining yang ada sekarang ini, timbul setelah terdapat 1 kasus di Amerika
Serikat, sedangkan sebagian besar kasus seperti ini terjadi di Afrika Barat dan Perancis. Di Amerika Serikat,
dari 1.072 sampel serum yang disimpan tidak ada yang positif menderita HIV tipe 1 kelompok O.24

Untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui transfusi, bank darah mulai menggunakan tes antigen p24
pada tahun 1995. Setelah kurang lebih 1 tahun skrining, dari 6 juta donor hanya 2 yang positif (keduanya
positif terhadap antigen p24 tetapi negatif terhadap antibodi HIV).24

Penularan virus hepatitis B dan virus hepatitis C

Penggunaan skrining antigen permukaan hepatitis B pada tahun 1975 menyebabkan penurunan infeksi
hepatitis B yang ditularkan melalui transfusi, sehingga saat ini hanya terdapat 10% yang menderita hepatitis
pasca transfusi. Makin meluasnya vaksinasi hepatitis B diharapkan mampu lebih menurunkan angka
penularan virus hepatitis B. Meskipun penyakit akut timbul pada 35% orang yang terinfeksi, tetapi hanya 1-
10% yang menjadi kronik.24

Transmisi infeksi virus hepatitis non-A non-B sangat berkurang setelah penemuan virus hepatitis C dan
dilakukannya skrining anti-HCV. Risiko penularan hepatitis C melalui transfusi darah adalah 1:103.000
transfusi. Infeksi virus hepatitis C penting karena adanya fakta bahwa 85% yang terinfeksi akan menjadi
kronik, 20% menjadi sirosis dan 1-5% menjadi karsinoma hepatoselular. Mortalitas akibat sirosis dan
karsinoma hepatoselular adalah 14,5% dalam kurun waktu 21-28 tahun.22 Prevalensi hepatitis B di Indonesia
adalah 3-17% dan hepatitis C 3,4% sehingga perlu dilakukan skrining hepatitis B dan C yang cukup
adekuat.16

Transmisi virus lain

Di Amerika Serikat prevalensi hepatitis G di antara darah donor adalah 1-2%.22 Banyak orang yang secara
serologik positif virus hepatitis G juga terinfeksi hepatitis C. Meskipun infeksi hepatitis G dapat menimbulkan
karier kronik akan tetapi tidak ada bukti yang menyatakan bahwa infeksi hepatitis G dapat menyebabkan
hepatitis kronis maupun akut.25

Infeksi yang disebabkan kontaminasi komponen darah oleh organisme lain seperti hepatitis A dan parvovirus
B19, untuk darah donor yang tidak dilakukan skrining serologis, telah dicatat tetapi perkiraan angka infeksi
melalui transfusi tidak ada.23 Infeksi karena parvovirus B19 tidak menimbulkan gejala klinis yang bermakna
kecuali pada wanita hamil, pasien anemia hemolitik dan imunokompromais. Di Amerika Serikat, penularan
virus hepatitis A melalui transfusi darah hanya terjadi pada 1: 1 juta kasus.24

Di Kanada 35-50% darah donor seropositif terhadap sitomegalovirus (CMV).23 Di Irlandia didapatkan angka
30%, tetapi hanya sebagian kecil dari yang seropositif menularkan virus melalui transfusi.8 Risiko penularan
CMV melalui transfusi terutama terjadi pada bayi dengan berat badan sangat rendah (<1200 g), pasien
imunokompromais terutama yang menjalani transplantasi sumsum tulang dan wanita hamil pada trimester
awal yang dapat menularkan infeksi terhadap janin. Penularan CMV terjadi melalui leukosit yang terinfeksi;
oleh sebab itu teknik untuk mengurangi jumlah leukosit dalam produk darah yang akan ditransfusikan akan
mengurangi risiko infeksi CMV. Komponen darah segar mempunyai risiko infeksi CMV yang lebih tinggi
daripada produk darah yang disimpan beberapa hari.25

HTLV-I dapat menyebabkan penyakit neurologis dan leukemia sel T pada dewasa. Biasanya penyakit timbul
beberapa tahun setelah infeksi dan hanya sedikit yang pada akhirnya menderita penyakit tersebut. HTLV-I
dapat ditularkan melalui transfusi komponen sel darah. Prevalensi tertinggi ada di Jepang dan Kepulauan
Karibia.8 Sedangkan hubungan antara HTLV-II dengan timbulnya penyakit masih belum jelas, tetapi infeksi
dapat ditemukan pada pengguna narkotika intravena. Dikatakan bahwa infeksi akan timbul pada 20-60%
resipien darah yang terinfeksi HTLV-I dan II. Transmisi dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan darah dan
jumlah sel darah merah dalam unit tersebut. Darah yang telah disimpan selama 14 hari dan komponen darah
nonselular seperti kriopresipitat dan plasma beku segar ternyata tidak infeksius.24

Kontaminasi bakteri

Kontaminasi bakteri mempengaruhi 0,4% konsentrat sel darah merah dan 1-2% konsentrat trombosit.1
Kontaminasi bakteri pada darah donor dapat timbul sebagai hasil paparan terhadap bakteri kulit pada saat
pengambilan darah, kontaminasi alat dan manipulasi darah oleh staf bank darah atau staf rumah sakit pada
saat pelaksanaan transfusi atau bakteremia pada donor saat pengambilan darah yang tidak diketahui.25

Jumlah kontaminasi bakteri meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan sel darah merah atau plasma
sebelum transfusi. Penyimpanan pada suhu kamar meningkatkan pertumbuhan hampir semua bakteri.
Beberapa organisme, seperti Pseudomonas tumbuh pada suhu 2-6°C dan dapat bertahan hidup atau
berproliferasi dalam sel darah merah yang disimpan, sedangkan Yersinia dapat berproliferasi bila disimpan
pada suhu 4°C. Stafilokok tumbuh dalam kondisi yang lebih hangat dan berproliferasi dalam konsentrat
trombosit pada suhu 20-40°C. Oleh karena itu risiko meningkat sesuai dengan lamanya penyimpanan.1,22
Gejala klinis akibat kontaminasi bakteri pada sel darah merah timbul pada 1: 1 juta unit transfusi. Risiko
kematian akibat sepsis bakteri timbul pada 1:9 juta unit transfusi sel darah merah. Di Amerika Serikat selama
tahun 1986-1991, kontaminasi bakteri pada komponen darah sebanyak 16%; 28% di antaranya berhubungan
dengan transfusi sel darah merah. Risiko kontaminasi bakteri tidak berkurang dengan penggunaan transfusi
darah autolog.25

Penularan sifilis di Kanada telah berhasil dihilangkan dengan penyeleksian donor yang cukup hati-hati dan
penggunaan tes serologis terhadap penanda sifilis.25

Kontaminasi parasit

Kontaminasi parasit dapat timbul hanya jika donor menderita parasitemia pada saat pengumpulan darah.
Kriteria seleksi donor berdasarkan riwayat bepergian terakhir, tempat tinggal terdahulu, dan daerah endemik,
sangat mengurangi kemungkinan pengumpulan darah dari orang yang mungkin menularkan malaria, penyakit
Chagas atau leismaniasis. Di Kanada dan Amerika Serikat penularan penyakit Chagas melalui transfusi sangat
jarang.23 Risiko penularan malaria di Kanada diperkirakan 1:400.000 unit konsentrat sel darah merah, di
Amerika Serikat 1:4 juta unit darah, sedangkan di Irlandia saat ini tidak ada laporan mengenai penularan
malaria melalui transfusi darah.8,25

Penyakit Creutzfeldt-Jacob

Pasien yang berisiko terinfeksi penyakit Creutzfeldt-Jacob seperti pasien dengan riwayat graft durameter atau
kornea, injeksi hormon pertumbuhan atau gonadotropin yang berasal dari otak manusia atau ada riwayat
keluarga kandung garis keturunan pertama yang menderita penyakit Creutzfeldt-Jacob secara permanen tidak
boleh menyumbangkan darah. Hal ini dilakukan meskipun penularan penyakit Creutzfeld-Jacobs melalui
transfusi belum pernah dilaporkan. Riwayat transfusi darah telah dilaporkan pada 16 dari 202 pasien dengan
penyakit Creutzfeldt-Jacob, angka ini sama dengan yang terdapat pada kelompok kontrol.8,25

b. Suplemen asam folat


Asam folat diberikan secara teratur (missal 5 mg /hari ) jika asupan diet buruk
c. Terapi Khelesi
Terapi khalesi besi digunakan untuk mengatasi kelebihan besi.
Obat pengkelasi besi yang dikenal adalah deferoksamin, deferipron, dan deferasirox.3
1.      Deferoksamin (DFO)
Dosis standar adalah 40 mg/kgBB melalui infus subkutan dalam 8-12 jam dengan menggunakan
pompa portabel kecil selama 5 atau 6 malam/minggu. Lokasi infus yang umum adalah di abdomen,
daerah deltoid, maupun paha lateral. Penderita yang menerima regimen ini dapat mempertahankan
kadar feritin serum < 1000 µg/L. Efek samping yang mungkin terjadi adalah toksisitas retina,
pendengaran, gangguan tulang dan pertumbuhan, reaksi lokal dan infeksi.
2.      Deferipron (L1)
Kelebihan deferipron dibanding deferoksamin adalah efek proteksinya terhadap jantung. Anderson dkk
menemukan bahwa pasien thalassemia yang menggunakan deferipron memiliki insiden penyakit
jantung dan kandungan besi jantung yang lebih rendah daripada mereka yang menggunakan
deferoksamin. Meskipun begitu, masih terdapat kontroversi mengenai keamanan dan toksisitas
deferipron sebab deferipron dilaporkan dapat menyebabkan ES: agranulositosis, artralgia, kelainan
imunologi, dan fibrosis hati. Saat ini deferipron tidak tersedia lagi di Amerika Serikat.
3.      Deferasirox (ICL-670)
Deferasirox adalah obat kelasi besi oral yang baru saja mendapatkan izin pemasaran di Amerika
Serikat pada bulan November 2005. Terapi standar yang dianjurkan adalah 20-30 mg/kgBB/hari dosis
tunggal. Deferasirox menunjukkan potensi 4-5 kali lebih besar dibanding deferoksamin dalam
memobilisasi besi jaringan hepatoseluler, dan efektif dalam mengatasi hepatotoksisitas. ES: yang
mungkin terjadi adalah sakit kepala, mual, diare, dan ruam kulit.
4. Terapi-Kombinasi

Dapat berupa terapi kombinasi secara simultan maupun sekuensial. Terapi kombinasi secara simultan
adalah pemberian deferoksamin 2-6 hari seminggu dan deferipron setiap hari selama 6-12 bulan.
Terapi kombinasi sekuensial adalah pemberian deferipron oral 75 mg/kgBB selama 4 hari diikuti
deferoksamin subkutan 40 mg/kgBB selama 2 hari setiap minggunya. Terapi kombinasi diharapkan
dapat menurunkan dosis masing-masing obat, sehingga menurunkan toksisitas obat namun tetap
menjaga efektifitas kelasi.
d. Vitamin c
Vitamin c ( 200 mg perhari ) meningkatkan ekresi besi di sebabkan oleh desferioksamin.
e. Transplantasi Sumsum tulang
Transplantasi sumsun tulang alorgenik memberi prospek kesembuhan yang permanen.Tingkat
kesuksesannya (ketahanan hidup bebas thalassemia mayor jangka panjang) adalah lebih dari 80
% pada pasien muda yang mendapat khelasi secara baik tanpa disertai adanya fibrosis hati
ataupun splenimegali. Saudara kandung dengan antigen leukosit manusia ( human leucocyte
antigen, HLA) yang sesuai (atau kadang kadang, anggota keluarga lainnya atau donor sesuai
yang tak memiliki hubungan) bertindak sebagai donor. Kegagalan utama adalah akibat
kambuhnya thalsemia , kematian ( misalnya akibat infeksi ) atau penyakit graft versus host
( cangkok versus pejamu) kronik yang berat
f. Splenectomy
Indikasi dilakukannya splenektomi dapat dilihat sebagai berikut.

1. Elektif :

- Kelainan hematologis

- Bagian dari bedah radikal dari abdomen atas

- Kista/tumor limpa

- Penentuan stadium limfoma (jarang dikerjakan)

2. Darurat:

- Trauma

Pendekatan terhadap limpa yang ruptur berbeda dari suatu splenektomi elektif. Pasien yang
mengalami trauma limpa harus ditangani pertama kali dengan protokol ATLS (advanced trauma life
support) dengan kontrol jalan napas,pernapasan dan sirkulasi. Bilas peritoneum atau pemeriksaan
radiologis harus digunakan untuk menilai cedera abdomen sebelum operasi.

Kontraindikasi open splenektomi


1. Tidak ada kontraindikasi absolute terhadap splenektomy
2. Terbatasnya harapan hidup dan pertimbangan resiko operasi

Kontraindikasi Laparoscopic Splenectomy

1. Riwayat operasi abdominal bagian atas


2. Gangguan koagulasi yang tidak terkontrol
3. Jumlah trombosit yang sangat rendah (<20,000/100>
4. Perbesaran limpa secara massif misalnya perbesaran lebih dari 4 kali dari normal
5. Hipertensi porta
Persiapan

1. Anestesi umum.

2. Pipa nasogastrik.

3. Profilaksis antibiotik.

4. Profilaksis anti-DVT- stockings, heparin.

5. Posisi terlentang

Prosedur

Bisa digunakan insisi paramedian kiri atas, median, transversal atau subkostal kiri. Pada kasus
trauma, insisi mediana memungkinkan akses yang lebih baik ke alat dalam lainnya.

Open splenektomi

Langkah pertama dan terpenting adalah memotong ligamen lieno-renalis. Dengan berdiri di sebelah
kanan pasien, dan dengan asisten menarik perlahan pinggir kiri dari luka operasi, jalankan satu tangan pada
limpa ke bawah sampai ligamen lieno-renalis. Dengan lembut, tarik limpa dan potong ligamen lieno-renalis,
mulai dari bagian bawah dan bergerak ke atas kutup atas dengan menggunakan gunting dengan gagang
panjang.

Sekarang geser limpa ke atas dengan tangan kiri dan perlahan-lahan dorong peritoneum dengan
swab pada stick.. Jaringan terus disapu dari belakang limpa, saat limpa dibawa ke arah luar. Kemudian
omentum bisa dilepas dari kutup bawah dengan memotong vasa gastroepiploica sinsitra antara forsep arteri
dan ligasi dengan benang serap. Pada tahap ini, vasa brevia yang berjalan dari kutup atas limpa ke lambung
melalui ligamen gastro-lienalis harus diikat dan dipotong sendiri-sendiri. Jaga untuk tidak merusak lambung.

Kemudian perhatian dialihkan ke pembuluh limpa. Jalankan beberapa jari kiri ke sekeliling hilus dan palpasi
cabang-cabang arteri lienalis saat arteri tersebut memasuki limpa. Dengan ibu jari pada kauda pankreas untuk
melindunginya, klip dan pisahkan cabang-cabang ini beserta vena-venanya.Selanjutnya sisa ligamen gastro-
lienalis bisa dipotong. Limpa bisa diangkat dan pembuluh-pembuluh utama diikat rangkap dua, arteri sebelum
vena. Suction drain ditempatkan pada rongga subfrenik dan dinding abdomen ditutup lapis demi lapis.

2.9 Komplikasi

Komplikasi pada Jantung


Kelainan jantung khususnya gagal jantung kiri berkontribusi lebih dari setengah terhadap kematian
pada penderita thalasemia. Penyakit jantung pada penderita thalasemia mungkin bermanifestasi sebagai
kardiomiopati hemosiderrhosis, gagal jantung, hipertensi pulmonal, arrithmia, disfungsi sistolik/diastolik,
effusi pericardial, miokarditis atau perikarditis. Penumpukan besi merupakan faktor utama yang berkontribusi
terjadinya kelainan pada jantung, adapun faktor-faktor lain yang berpengaruh antara lain genetik,faktor
imunologi, infeksi dan anemia kronik. Pada pasien yang mendapatkan transfusi darah tetapi tidak
mendapatkan terapi kelasi besi penyakit jantung simtomatik dilaporkan 10 tahun setelah pemberian transfusi
pertama kali.

Komplikasi endokrin
Insiden yang tinggi pada disfungsi endokrin telah dilaporkan pada anak, remaja, dan dewasa muda
yang menderita thalasemia mayor. Umumnya komplikasi yang terjadi yaitu hypogonadotropik hipogonadisme
dilaporkan di atas 75% pasien. Pituari anterior adalah bagian yang sangat sensitif terhadap kelebihan besi yang
akan menggangu sekresi
hormonal antara lain disfungsi gonad. Perkembangan seksual mengalami keterlambatan dilaporkan 50% anak
laki-laki dan perempuan mengalami hal tersebut, biasanya pada anak
perempuan akan mengalami amenorrhea. Selama masa kanak-kanak pertumbuhan bisa dipengaruhi oleh
kondisi anemia dan masalah endokrin. Masalah tersebut mengurangi pertumbuhan yang harusnya cepat dan
progresif menjadi terhambat dan pada akhirnya bia sanya anak dengan thalasemia akan mengalami postur
yang pendek. Faktor-faktor lain yang berkontribusi antara lain yaitu infeksi, nutrisi kurang, malabsorbsi
vitamin D, defisiensi kalsium, defisiensi zinc dantembaga, rendahnya level insulin seperti growth faktor-
1(IGF-1) dan IGF-binding protein-3(IGFBP-3). Komplikasi endokrin yang lainnya adalah intoleransi glukosa
yang disebabkan penumpukan besi pada pancreas sehingga mengakibatkan diabetes. Disfungsi thyroid
dilaporkan terjadi pada pasien thalasemia di mana hypothyroid merupakan kasus yang sering ditemui,
biasanya terjadi peningkatan kadar TSH. Hypothyroid pada tahap awal bisa bersifat reversibel dengan kelasi
besi secara intensif. Selain Hypotyroid kasus lainnya dari kelainan endokrin yang ditemukan yaitu
hypoparathyroid. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan kadar serum kalsium, phosphate
dan hormon parathyroid di mana kelainan ini biasanya ditemukan pada dekade kedua
kehidupan.

Komplikasi metabolik
Kelainan metabolik yang sering ditemukan pada penderita thalasemia yaitu rendahnya masa tulang
yang disebabkan oleh hilangnya pubertas spontan, malnutrisi, disfungsi multiendokrin dan defisiensi dari
vitamin D, kalsium dan zinc. Masa tulang bisa diukur dengan melihat Bone Mineral Density (BMD) dengan
menggunakan dual x-ray pada tiga tempat yaitu tulang belakang, femur dan lengan. Rendahnya BMD sebagai
manifestasi osteoporosis apabila T score <-2,5 dan osteopenia apabila T score-1 sampai-2.

Komplikasi hepar
Setelah dua tahun dari pemberian transfusi yang pertama kali pembentukan kolagen dan fibrosis terjadi
sebagai dampak dari adanya penimbunan besi yang berlebih. Penyakit hati yang lain yang sering muncul yaitu
hepatomegali, penurunan konsentrasi albumin, peningkatan aktivitas aspartat dan alanin transaminase.
Adapun dampak lain yang berkaitan dengan penyakit hati adalah timbulnya Hepatitis B dan Hepatitis C
akibat pemberian transfusi.

Komplikasi Neurologi
Komplikasi neurologis pada penderita thalasemia beta mayor dikaitkan dengan beberapa faktor antara
lain adanya hipoksia kronis, ekspansi sumsum tulang, kelebihan zat besi dan adanya dampak neurotoksik dari
pemberian desferrioxamine. Temuan abnormal dalam fungsi pendengaran, timbulnya potensi somatosensori
terutama disebabkan oleh neurotoksisitas desferioxamin dan adanya kelainan dalam konduksi saraf.

2.10 Pencegahan

Pencegahan thalassemia terutama ditujukan untuk menurunkan jumlah bayi lahir dengan
thalassemia mayor. Ada 2 pendekatan target dalam pencegahan thalassemia yaitu secara retrospektif
dan prospektif. Pendekatan retrospektif dilakukan dengan cara melakukan penelusuran terhadap
anggota keluarga dengan riwayat keluarga menderita thalassemia mayor. Sementara pendekatan
prospektif dilakukan dengan melakukan skrining untuk mengidentifikasi karier thalassemia pada
populasi tertentu. Secara garis besar bentuk pencegahan thalassemia dapat berupa edukasi tentang
penyakit thalassemia pada masyarakat, skrining (carrier testing), konseling genetika pranikah, dan
diagnosis pranatal.

1. Edukasi
Edukasi masyarakat tentang penyakit thalassemia memegang peranan yang sangat penting
dalam program pencegahan. Masyarakat harus diberi pengetahuan tentang penyakit yang
bersifat genetik dan diturunkan, terutama tentang thalassemia dengan frekuensi kariernya yang
cukup tinggi di masyarakat. Pendidikan genetika harus diajarkan di sekolah, demikian pula
pengetahuan tentang gejala awal thalassemia. Media massa harus dapat berperan lebih aktif
dalam menyebarluaskan informasi tentang thalassemia, meliputi gejala awal, cara penyakit
diturunkan dan cara pencegahannya.
Program pencegahan thalassemia harus melibatkan banyak pihak terkait. Sekitar 10% dari total
anggaran program harus dialokasikan untuk penyediaan materi edukasi dan pelatihan tenaga
kesehatan.

2. Skrining Karier
Skrining massal dan konseling genetika telah berhasil di Italia, Yunani dan tempat yang
memiliki fekuensi gen thalassemia tinggi. Skrining pada populasi (skrining prospektif)
dikombinasikan dengan diagnostik pranatal telah menurunkan insidens thalassemia secara
dramatis.
Skrining thalassemia ditujukan untuk menjaring individu karier thalassemia pada suatu
populasi, idealnya dilakukan sebelum memiliki anak. Skrining ini bertujuan untuk
mengidentifikasi individu dan pasangan karier, dan menginformasikan kemungkinan mendapat
anak dengan thalassemia dan pilihan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya.
Algoritma skrining identifikasi karier rekomendasi the Thalassemia International Federation
(2003) mengikuti alur pada gambar 4 sebagai berikut :

Gambar 4. Alogritma skrinning thalassemia


Target utama skrining adalah penemuan β- dan αo thalassemia, serta Hb S, C, D, E.15 Skrining
dapat dilakukan di sekolah, klinik dokter keluarga, klinik keluarga berencana, klinik antenatal,
saat pranikah, atau pada saat bayi baru lahir. Pada daerah dengan risiko tinggi dapat dilakukan
program skrining khusus pranikah atau sebelum memiliki anak.
Pendekatan genetik klasik dalam mendeteksi karier berdasarkan penelusuran silsilah keluarga
dianggap kurang efektif dibanding dengan skrining populasi. Bila ada individu yang
teridentifikasi sebagai karier, maka skrining pada anggota keluarga yang lain dapat dilakukan.
Skrining silsilah genetik khususnya efektif pada daerah yang sering terjadi perkawinan antar
kerabat dekat.
Metode pemeriksaan thalassemia yang definitif dan akurat meliputi pemeriksaan kualitatif
HbA2, HbF, rasio sintesis rantai globin dan analisis DNA untuk mengetahui mutasi spesifik.
Namun, semua pemeriksaan ini mahal. Pasien thalassemia selalu mengalami anemia hipokrom
(MCH < 26 pg) dan mikrositik (MCV < 75 fl), karenanya kedua kelainan ini tepat digunakan
untuk pemeriksaan awal karier thalassemia. Kemungkinan anemia mikrositik akibat defisiensi
besi harus disingkirkan melalui pemeriksaan porfirin bebas eritrosit, feritin serum atau kadar
besi serum, dengan total iron-binding capacity.

3. Konseling Genetika
Istilah konseling genetika pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Sheldon Redd (1947) dari Dight
Institute for Human Genetics, University of Minnesota. Konseling genetika dapat diartikan sebagai
“memberi informasi atau pengertian kepada masyarakat tentang masalah genetik yang ada dalam
keluarganya”.
Pada prinsipnya sebelum dilakukan konseling genetika dibutuhkan seorang konselor. Konselor
ini tidak harus seorang dokter, tetapi dapat juga berupa perawat, bidan, psikolog, bahkan pekerja sosial
(Simon and Pardes, 1977). Yang terpenting seorang konselor sudah terlatih dan sangat menguasai
tentang thalassemia. Seorang konselor harus dapat menyampaikan informasi seputar thalassemia.
Informasi itu menyangkut 3 hal pokok, yaitu:
1. Tentang penyakit thalassemia itu sendiri, bagaimana cara penurunannya, dan masalah-masalah yang
akan dihadapi oleh seorang penderita thalassemia major.
2. Memberi jalan keluar cara mengatasi masalah yang sedang dihadapi oleh klien dan membiarkan
mereka membuat keputusan sendiri sehubungan dengan tindakan yang dilakukan.
3. Membantu mereka agar keputusan yang telah diambil dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar.
Secara umum sasaran dari seorang konselor genetika adalah pasangan pranikah, terutama yang
berasal dari populasi atau etnik yang berpotensial tinggi menderita thalassemia. Kepada pasangan
tersebut perlu dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan hematologis (full blood count) terlebih dahulu
sebelum menikah. Hal tersebut untuk memastikan apakah mereka mengemban cacat genetik
thalassemia.
Apabila hanya salah satu yang mengemban risk factor dari thalassemia relatif rendah. Namun,
apabila keduanya carrier, perlu dikonfirmasikan apabila mereka tetap menutuskan untuk
melangsungkan pernikahan, maka persentase keturunan yang akan menderita thalassemia major adalah
sebesar 25%. Keputusan yang diambil sangat bergantung kedua pasangan tersebut.
Konseling genetik secara khusus juga ditujukan untuk pasangan yang beresiko tinggi, baik yang
terjaring pada pemeriksaan premarital maupun pasangan yang telah memiliki anak dengan kasus
thalassemia sebelumnya. Kepada mereka perlu diberitahukan bahwa telah ada teknologi yang dapat
membantu mengetahui apakah janin yang dikandung menderita thalassemia ataupun tidak, yang dikenal
dengan nama diagnosis prenatal.
Perlu diinformasikan pula mengenai prosedur diagnosis, tingkat kesalahan diagnosis, biaya serta
kemungkinan abortus akibat pengambilan sample. Dengan demikian, klien dapat mempertimbangkan
untung-ruginya sebelum mengambil keputusan. (Blumberg et.al, 1975)
Kesuksesan konseling genetik sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan sosial budaya
kedua pasangan. Berdasarkan pengalaman negara yang meniliki prevalensi tinggi kasus thalassemia,
seperti Sisilia, Cyprus, dan Italia, program konseling genetik dan diagnosis prenatal dapat menurunkan
insedensi dari kasus Thalassemia hingga mencapai 80% dalam 10 tahun terakhir. (Cao dan Rosatelli,
1988)
Mayoritas pasangan yang beresiko tinggi untuk melahirkan anak dengan kasus thalassemia,
biasanya tetap memutuskan untuk menikah. Namun, mereka lebih memilih untuk tidak memiliki
keturunan. Hal tersebut tentunya berlawanan dengan masyarakat kita. Hal tersebut dikarenakan
paradigma masyarakat yang cenderung mencap menikah adalah untuk memperoleh keturunan.
(Ganie, 2005)

Tubuh kesehatan dunia (WHO) menyarankan 2 tahap strategi dalam pencegahan thalassemia.
Tahap 1, melibatkan pengembangan kaedah yang sesuai untuk diagnosa pranatal dan menggunakannya
untuk mengenal dengan pasti pasangan yang mempunyai resiko tinggi misalnya mereka yang telah
mempunyai anak dengan penyakit thalassemia.
Tahap ke2, melibatkan penyaringan penduduk untuk mengenal pasti pembawa dan memberi penjelasan
kepada mereka yang mempunyai resiko. Seterusnya menyediakan diagnosis pranatal sebelum mereka
mempunyai anak-anak yang mengidap talasemia. Hal ini bisa menurunkan jumlah bayi yang mengidap
talasemia.
Pencegahan Primer
Penyuluhan sebelum perkawinan ( marriage counselling ) untuk mencegah perkawinan diantara
penderita talasemia agar tidak mendapat keturunan  yang hemozigot atau    varian – varian  talasemia
dengan mortalitas tinggi.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan kelahiran bayi homozigot dari pasangan suami istri dengan  talasemia heterozigot. Salah
satu jalan keluar   adalah inseminasi  buatan dengna sperma berasal dari donor yang bebas talasemia .
Kelahiran kasus homozigot  terhindar tetapi 50 % dari anak yang lahir  adalah  carier seperti ibunya
sedangkan  50 % lainnya adalah normal. Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan  amnion
merupakan  suatu   kemajuan dan digunakan untuk  mendiagnosis kasus homozigot intrauterin 
sehingga dapat  dilakukan tindakan  abortus provokatus.

4. Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal meliputi skrining karier thalassemia saat kunjungan pranatal pada wanita
hamil, yang dilanjutkan dengan skrining karier pada suaminya bila wanita hamil tersebut
teridentifikasi karier. Bila keduanya adalah karier, maka ditawarkan diagnosis pranatal pada
janin serta pengakhiran kehamilan bila ada risiko gen thalassemia homozigot. Saat ini, program
ini hanya ditujukan pada thalassemia β+ dan βO yang tergantung transfusi dan sindroma Hb
Bart’s hydrops.
Diagnosis pranatal dapat dilakukan antara usia 8-18 minggu kehamilan.1,3 Metode yang
digunakan adalah identifkasi gen abnormal pada analisis DNA janin. Pengambilan sampel janin
dilakukan melalui amniosentesis atau biopsi vili korialis (VCS/ villi chorealis sampling).

2.11 Prognosis

Prognosis dari thalassemia tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan sejauh mana seorang individu
mengikuti pengobatan yang telah ditetapkan dengan tepat. Penderita beta-thalassemia mayor (bentuk yang
paling parah dari thalassemia), dapat hidup sampai usia lima puluhan dengan transfusi darah, terapi khelasi
besi, dan splenektomi. Tanpa terapi khelasi besi, bagaimanapun, hidup dibatasi oleh tingkat kelebihan zat besi
dalam hati, dengan kematian sering terjadi antara usia 20 dan 30. Transplantasi sumsum tulang dengan
sumsum dari donor yang cocok menawarkan tingkat 54% sampai 90% hidup untuk orang dewasa.
Hampir semua bayi lahir dengan alpha-thalassemia mayor akan meninggal akibat anemia. Ada, Namun,
sejumlah kecil yang dapat bertahan hidup setelah menerima prenatal (intrauterin) transfusi darah. Prospek
untuk pasien dengan HBH tergantung pada komplikasi dari transfusi darah, splenomegali (pembesaran limpa),
atau splenektomi (pengangkatan limpa) dan derajat anemia.
http://www.mdguidelines.com/thalassemia/prognosis

Anda mungkin juga menyukai