Anda di halaman 1dari 2

Ketentuan divestasi atau peralihan kepemilikan saham milik asing lebih dari 50persen

dalam perusahaan pelayaran nasional perlu diatur secara tegas dalam Undang-Undang
Pelayaran. Tanpa ada aturan tersebut, pemegang saham asing berpotensi mengartikan
saham yang dipegangnya tidak perlu dialihkan. Akibatnya, perusahaan pelayaran
nasional dan lokal sulit berkembang karena harus bersaing dengan perusahaan yang
memiliki saham asing dengan modal besar.

Permasalahan ini digugat oleh Ucok Samuel Bonaparte Hutapea dalam uji materi
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran). Ucok
menggugat pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pelayaran. Pasal tersebut berisi ketentuan
kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan, mayoritas
sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia. 

Dalam sidang pendahuluan, Ucok yang mengaku berniat mendirikan perusahaan di


bidang pelayaran merasa berpotensi dirugikan atas pasal yang digugat. Ia menceritakan
dalam industri pelayaran dikenal asas cabotage sesuai Instruksi Presiden Nomor 5
Tahun 2005 bahwa kapal yang melakukan pengangkutan di Indonesia harus berbendera
Indonesia dan diawaki awak kapal berkebangsaan Indonesia. 

Persoalan yang terdapat dalam UU Pelayaran, UU yang disahkan pada 2008 ini hanya
mengatur kewajiban kepemilikan mayoritas saham kapal badan hukum Indonesia harus
dipegang warga negara Indonesia. Sementara, sebelum adanya UU tersebut, banyak
kapal nasional yang mayoritas sahamnya dimiliki asing. Sehingga UU tersebut tidak
mengatur ketentuan peralihan yang mewajibkan pemegang saham asing pada
perusahaan pelayaran nasional untuk melakukan divestasi saham yang dimilikinya. 

\"Kalau tidak dibatasi, maka negara lain yang lebih maju dengan kemampuan modal
yang lebih besar akan menguasai prospek bisnis dalam industri tersebut. Setelah ada
UU Pelayaran dengan redaksi demikian, komposisi saham harus mengikuti aturan UU
tersebut yaitu mayoritas harus nasional. Sehingga minimal 51 persen dimiliki lokal. Tapi
UU tersebut tidak berikan aturan peralihan setelah UU tersebut disahkan,\" ujar Ucok
dalam sidang pengujian UU Pelayaran di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa
(9/6).

Menurutnya, tidak adanya aturan peralihan tersebut bisa diinterpretasikan pemegang


saham asing yang memiliki kepemilikan lebih dari 50 persen bahwa mereka tidak wajib
melakukan divestasi. Akibatnya masih banyak perusahaan pelayaran yang mayoritas
sahamnya dimiliki warga negara asing atau badan hukum asing. Persoalan ini bisa
membuat perusahaan pelayaran nasional sulit bersaing dengan perusahaan asing.

Selanjutnya, persoalan ini juga dianggap berpotensi pelaku usaha berkewarganegaraan


Indonesua enggan masuk ke dalam usaha pelayaran. Sebab khawatir akan kalah
bersaing dengan perusahaan pelayaran yang mayoritas sahamnya dimiliki asing
lantaran tidak imbangnya modal pelaku usaha pemilik kapal nasional. Menurutnya hal ini
jelas bertentangan dengan prinsip cabotage. 

Menurutnya pasal ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil seperti dijamin
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sehingga ia meminta mahkamah agar memaknai
frasa dalam pasal yang digugat harus menyesuaikan komposisi saham sesuai UU
Pelayaran paling lambat tiga tahun sejak UU ini disahkan. 

Menanggapi permohonan ini, Hakim panel Wahiduddin Adams mengatakan asas


cabotage memang menjadi semacam ruh dari UU Pelayaran ini. Sehingga dengan asas
ini, Indonesia menunjukkan sebagai negara yang berdaulat dan dapat mewujudkan
prinsip wawasan nusantara serta angkutan laut bisa mendapatkan pangsa muatan yang
luas. 

\"Ayat (2) huruf c UU Pelayaran adalah penjabaran dari ayat (2). Kalau ditambahkan
sesuai petitum pemohon terkait peralihan, ini seolah-olah menjadi ada tambahan ayat
tersendiri,\" ujar Wahiduddin pada kesempatan yang sama.

Ia menambahkan dalam petitum pemohon juga disebutkan agar komposisi kepemilikan


saham disesuaikan sejak UU Pelayaran ini berlaku. UU ini berlaku sejak 2008, kalau
dihitung tiga tahun maka 2011 harusnya diberlakukan. Sementara tahunnya sudah lewat
dan dianggap tidak relevan. Ia memperkirakan maksud pemohon bukan tiga tahun sejak
diundangkan, tapi berlaku surut.

Anda mungkin juga menyukai