Anda di halaman 1dari 5

 Biografi Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah salah satu seseorang yang sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam di
Nusantara, beliau adalah bagian dari Walisongo dengan wali yang lainnya. nama asli sunan
kudus yaitu Ja’far Shodiq dan lahir pada tahun 1500-an Masehi. Ja’far Shodiq merupakan putra
dari Sunan Ngudung (H. Raden Usman) dan Syarifah yang merupakan adik dari Sunan Bonang.

Sunan Kudus belajar mengenai agama Islam dengan ayahnya. Selain itu, beliau juga belajar
agama dengan Sunan Ampel dan Kyai Telingsing. Kyai Telingsing adalah salah satu ulama yang
berasal dari negara Cina, beliau datang ke Jawa bersama dengan Cheng Hoo. Cheng Hoo adalah
seorang laksamana jenderal Cina yang datang ke Pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam.

Selama belajar dengan Kyai Telingsing, beliau mewarisi kepribadian yang biasanya dimiliki oleh
orang Cina. Raden Ja’far Shodiq menjadi seorang pribadi yang disiplin dan tekun dalam
berusaha untuk mencapai keinginannya. Salah satu dari keinginan yang dimiliki Sunan Kudus
adalah untuk menyebarkan dan mengenalkan agama Islam kepada masyarakat beragama Buddha
dan Hindu.

 Nama Asli Sunan Kudus


Sunan Kudus memiliki nama asli dan lengkap, Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan. Beliau adalah
putra dari Sunan Ngudung dan istrinya Syarifah. Sunan Ngudung merupakan putra dari salah
satu Sultan dari Palestina yang memiliki nama Sayyid Fadhal Ali Murtazha, kemudian
dikenalkan sebagai Raden Santri atau Raja Pandita.

Sunan Ngudung pergi berhijrah sampai ke Pulau Jawa dan selanjutnya diangkat menjadi seorang
panglima perang di Kesultanan Islam Demak. Jika dilihat dari silsilahnya, Sunan Kuduk bukan
seorang penduduk asli Kudus. Beliau lahir dan berasal di Al-Quds, Palestina. Beliau ikut pergi
hijrah bersama ayah, kakek, dan kerabat yang lainnya dan akhirnya sampai ke Pulau Jawa.

 Kisah Sunan Kudus


Pada saat itu, ayah dari Sunan Kudus adalah pemimpin dari pasukan Majapahit. Selanjutnya,
ayah dari Ja’far Shodiq menjadi seorang Senopati Demak dan dijuluki Sunan Ngudung. Ketika
terjadi pertempuran dengan Majapahit yang dipimpin oleh Adipati Terung atau Raden Husain,
Sunan Ngudung tidak bisa bertahan dan gugur. Kedudukan sebagai Senopati Demak lalu
diserahkan kepada anaknya.

Saat menjadi seorang Senopati Demak, Ja’far Shodiq tetap melanjutkan kegiatan dakwah di
daerah Kudus dan daerah sekitarnya. Perjuangan dakwah yang dilakukan oleh Ja’far Shodiq
mengedepankan cara yang halus dengan sikap yang tenang. Cara tersebut dilakukan oleh beliau
untuk membuat masyarakat dapat menerima ajaran mengenai Islam secara sukarela dan tidak
terpaksa.

Sunan Kudus adalah ulama yang dikenal suka mengembara. Pada saat itu, beliau pernah
mengembara hingga menginjakkan kaki ke tanah suci Mekah untuk melaksanakan ibadah haji.
Ketika beliau berada di Mekah, ada seorang penguasa di sana yang sedang mencari orang yang
bisa menghilangkan atau menyembuhkan wabah penyakit yang terjadi dengan imbalan hadiah.
Banyak ulama yang datang untuk mencoba menghilangkan, namun gagal untuk bisa
menghilangkan wabah penyakit yang terjadi. Pada saat itu, Ja’far Shodiq datang menemui
penguasa tersebut, namun kedatangannya tidak disambut baik.

Beliau ditanya oleh penguasa tersebut mengenai cara untuk menghilangkan wabah penyakit yang
ada, beliau menjawab dengan jelas bahwa doa yang dapat menghilangkannya. Seketika saja
wabah penyakit tersebut hilang dan warga yang terjangkit wabah tersebut bisa sembuh dengan
cepat.

Ternyata, penyebab banyak ulama yang gagal adalah imbalan yang ditawarkan oleh penguasa
tersebut. Doa yang dibacakan oleh banyak ulama tersebut menjadi tidak ikhlas dan hanya
menginginkan imbalannya saja.

Setelah berhasil menghilangkan wabah penyakit yang ada, Ja’far Shodiq dijanjikan hadiah jika
berhasil menghilangkan wabah penyakit tersebut. Namun, beliau menolak hadiah tersebut, beliau
hanya meminta batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sunan Kudus mendapatkan batu tersebut
dan membawanya pulang. Batu tersebut diletakkan di Masjid Kudus, tepatnya di area imam di
masjid.

 Sejarah Sunan Kudus dalam Berdakwah

Sejarah Sunan Kudus dalam berdakwah dan berjuang untuk menyebarkan agama Islam hampir
sama dengan apa yang dilakukan oleh para wali lainnya, cara yang digunakan adalah lebih
mengutamakan kebijaksanaan dalam melakukan siasat dan taktik. Cara tersebut merupakan cara
yang paling pas dan dapat mengajak masyarakat sekitar untuk mengikuti ajaran Islam.

Dalam melakukan strategi dakwahnya, Sunan Kudus menerapkan strategi serupa dengan Sunan
Bonang dan Sunan Kalijaga. Beliau membiarkan terlebih dahulu kepercayaan yang telah ada dan
adat istiadat yang sulit untuk diubah. Mereka setuju untuk tidak menggunakan jalan yang radikal
dan penuh dengan kekerasan untuk menghadapi tipe masyarakat yang seperti itu.

Tut Wuri Handayani memiliki makna untuk mengikuti dari belakang setiap kelakuan dan adat
istiadat masyarakat, tetapi selalu diusahakan untuk memengaruhi sedikit demi sedikit. Tut Wuri
Hangiseni, mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran dari Islam. Hal ini dilakukan untuk
menghindari terjadi konfrontasi langsung dalam menyebarkan agama Islam.

Pada akhirnya dapat dikatakan merubah kepercayaan dan adat istiadat masyarakat yang tidak pas
dengan Islam, namun tidak menghalau masyarakat tersebut dari umat Islam. Masyarakat yang
sudah memeluk agama Islam harus bisa untuk berusaha dalam menarik simpati masyarakat
lainnya agar tertarik dan mau mendekat dengan agama Islam.

Strategi dakwah tersebut berbeda dengan yang ditetapkan oleh Sunan Ampel, strategi tersebut
disebut sebagai kaum Aliran Tuban atau Aliran Abangan.

 Metode Dakwah sunan Kudus

Pada masa itu, mayoritas masyarakat di Kudus beragama Buddha dan Hindu. Upaya beliau
dalam mengajak masyarakat tersebut untuk mau mengenal dan memeluk Islam bukan hal yang
mudah, apalagi masih banyak masyarakat yang berpegang dengan kepercayaan dan adat istiadat
lama. Di keadaan masyarakat itu, Ja’far Shodif diuji kesabaran dan keteguhannya dalam
berdakwah.

Suatu saat, Ja’far Shodiq membeli seekor sapi dari Hindia. Sapi tersebut dibawa oleh para
pedang asing menggunakan kapal besar dan akhirnya disimpan di halaman rumah beliau. Banyak
masyarakat yang mayoritas memeluk agama Hindu ingin tahu alasan Ja’far Shodiq membawa
sapi tersebut. Dalam pandangan agama Hindu, sapi merupakan hewan yang suci dan digunakan
sebagai kendaraan dewa.

Menyembelih sapi merupakan perbuatan yang dikutuk dan dosa oleh dewa. Dalam waktu yang
sebentar halaman rumah Ja’far Shodiq menjadi ramai oleh penduduk, baik itu yang beragama
Hindu, Buddha, dan Islam. Akhirnya, beliau keluar dan berbicara dengan masyarakat yang ada di
sana. Beliau berkata bahwa melarang rakyatnya untuk menyembelih dan menyakiti sapi.

Beliau menceritakan sebuah cerita bahwa pada saat beliau masih kecil, beliau pernah ditolong
oleh sapi dan diberi susu. Masyarakat yang beragama Hindu merasa sangat kagum dengan cerita
tersebut. Mereka berpikir bahwa Sunan Kudus merupakan titisan dari Dewa Wisnu. Akhirnya,
masyarakat di sana bersedia untuk mendengarkan ceramahnya dengan senang hati.

Beliau juga mengatakan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat salah satu surat tentang sapi dan
dalam bahasan Arab bernama Al-Baqarah. Mendengar hal tersebut, masyarakat Hindu di sana
semakin tertarik lagi untuk mendengarkan penjelasan dari beliau.

Setelah hal itu terjadi, banyak masyarakat di sana yang merasa simpati dan terbukalah jalan lebar
bagi Ja’far Shodiq dalam berdakwah kepada orang Hindu. Masyarakat Hindu banyak yang
kemudian memeluk agama Islam dengan suka rela dan tanpa paksaan. Beliau juga membuat
masjid yang bentuk bangunannya tidak jauh berbeda dengan candi milik Hindu.

Hal tersebut dapat dilihat pada menara Masjid Kudus. Bentuk masjid yang demikian membuat
warga Hindu tidak takut dan merasa akrab, sehingga tidak segan untuk masuk untuk
mendengarkan ceramah dari Ja’far Shodiq.

 Perjuangan Sunan Kudus dalam Agama Islam

Akhirnya beliau berhasil banyak mengajak Umat Hindu masuk untuk memeluk agama Islam
dengan sikap toleransi yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang sangat dihargai dalam agama
Hindu dan membuat menara masjid yang menyerupai dengan candi. Perjuangan Ja’far Shodiq
tidak berhenti sampai itu saja, beliau juga menginginkan untuk mengajak Umat Buddha
mengenal Islam.

Cara yang dilakukan oleh Sunan Kudus memang tidak selalu mudah, beliau membutuhkan
pemikiran yang kreatif agar tidak menimbulkan sifat memaksa.

Setelah masjid berdiri kokoh, Raden Ja’far Shodiq membuat tempat wudhu dengan bentuk
pancuran yang jumlahnya ada delapan. Masing-masing dari pancuran tersebut diberi arca kebo
gumarang di atasnya, hal tersebut menyesuaikan dengan ajaran Buddha yaitu Sanghika Marga
atau jalan berlipat delapan.
Usaha membuat tempat wudhu tersebut membuahkan hasil yang baik, banyak masyarakat yang
beragama Buddha merasa penasaran. Oleh karena itu, beliau membuat lambang mengenai wasiat
Buddha di tempat wudhu, masyarakat datang ke masjid untuk mendengarkan penjelasan dari
beliau mengenai hal tersebut.

Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Ja’far Shodiq juga pernah mengalami kegagalan ketika
melakukan strategi dakwah penyebaran agama Islam. Pada saat itu masih terdapat banyak
masyarakat di Jawa yang melakukan kegiatan dengan mengikuti adat istiadat yang aneh dan
sering bertentangan dengan Islam, contohnya mengirimkan sesaji di kuburan, selamatan mitoni,
dan adat lainnya.

Sebagai seorang yang melakukan dakwah, beliau sangat memperhatikan dengan baik tentang
upacara ritual dan berusaha untuk mencoba mengarahkan dan merubah kebiasaan tersebut
menjadi bentuk yang lebih Islami. Hal seperti ini juga dilakukan oleh Sunan Muria dan Sunan
Kalijaga.

Misalnya, ketika ada seorang istri yang sedang hamil tiga bulan, maka dilakukan sebuah acara
selamatan yang diberi nama mitoni. Dalam acara selamatan ini, pasangan dan orang yang hadir
akan memohon kepada dewa untuk membuat anak yang dikandungnya menjadi tampan seperti
Arjuna atau cantik seperti Dewi Ratih.

 Kisah Sunan Kudus yang Menentang Sesajen

Sunan Kudus sangat menentang acara selamatan yang seperti itu, sebagai gantinya beliau
menyarankan untuk melakukan acara selamatan namun dengan niat bukan untuk mengirim sesaji
kepada dewa, melainkan berbagi sedekah dengan penduduk sekitar dan sesajinya dibawa pulang
kembali.

Permintaannya tidak ditujukan kepada dewa, tetapi langsung kepada Allah. Masyarakat bisa
berdoa dan mengharapkan jika anak laki-laki yang akan lahir bisa berwajah seperti Nabi Yusuf,
sementara jika bayi perempuan yang lahir seperti Siti Maryam. Oleh karena itu, orang tua harus
sering membaca Al-Quran, terutama surat Yuruf dan surat Maryam.

Sebelum melakukan acara selamatan, maka akan dilakukan pembacaan sejarah para Nabi atau
Layang Ambiya. Biasanya sejarah yang akan dibacakan adalah mengenai Nabi Yusuf. Hingga
saat ini, acara pembacaan Layang Ambiya yang masih ada di masyarakat pedesaan berbentuk
tembang Pucung, Asmarandana, dan lainnya.

Sementara itu, acara selamatan yang dilakukan menggunakan cara lama adalah di mana tua
rumah akan membuat sesaji yang berisi macam-macam jenis makanan. Selanjutnya, diikrarkan
oleh tetua masyarakat atau dukun. Setelah acara selesai, sesaji tidak boleh dibawa lagi dan
dimakan, melainkan disimpan di kuburan, candi, atau tempat sunyi lainnya.

Ketika melakukan gagasan tersebut untuk pertama kalinya, Sunan Kudus pernah mengalami
kegagalan. Beliau mengundang seluruh warga yang ada, baik itu yang beragama Islam, Hindu,
atau Buddha untuk datang ke masjid. Dalam undangan tersebut dinyatakan bahwa beliau akan
melakukan mitoni dan bersedekah untuk istrinya yang sedang mengandung tiga bulan.
Sebelum masuk ke dalam masjid, rakyat diharuskan untuk mencuci tangan dan kakinya terlebih
dahulu di kolam yang sudah ada. Karena harus mencuci tangan dan kaki ini, banyak masyarakat
yang kemudian enggan masuk ke dalam masjid, terutama yang beragama Hindu dan Buddha.

Hal tersebut merupakan kesalahan yang dilakukan beliau. Beliau terlalu mementingkan dan
memikirkan mengenai syariat wudhu kepada masyarakat yang datang, namun pada akhirnya
masyarakat tersebut menjauh. Hal tersebut dikarenakan iman tauhid yang belum terbina.

Di lain kesempatan, beliau kembali mengundang masyarakat lagi untuk datang ke masjid. Kali
ini, beliau tidak mengharuskan orang yang datang untuk mencuci tangan dan kakinya terlebih
dahulu. Ternyata hal ini sangat sukses dan menghasilkan hasil yang sangat di luar dugaan.
Banyak masyarakat yang kemudian mendatangi undangan yang diberikan oleh beliau.

Kesempatan tersebut dilakukan beliau untuk menyisipkan ajaran Islam mengenai keimanan
dengan cara yang halus dan membuat rakyat merasa senang.

Cara yang dilakukan juga sangat pintar, ketika orang-orang tengah serius memperhatikan beliau,
beliau mengakhiri ceramahnya, karena dikhawatirkan orang akan bosan. Namun, hal ini malah
membuat orang semakin penasaran dengan ceramahnya. Pada akhirnya, masyarakat mau
berwudhu terlebih dahulu untuk mendengar kelanjutan ceramah Sunan Kudus.

 Letak Makam Sunan Kudus

Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M. Beliau meninggal dalam keadaan yang sangat
diinginkan oleh setiap umat muslim. Sunan Kudus meninggal dunia dalam posisi sujud ketika
menjadi imam sholat subuh di masjid, tepatnya Masjid Menara Kudus. Beliau di makamkan di
area Masjid Menara Kudus. Sampai saat ini, banyak orang yang selalu datang untuk berziarah ke
makam beliau.

Makam Ja’far Shodiq terletak di belakang bangunan utama. Untuk masuk ke dalam komplek
makam, ada akses tersendiri yang bisa dilewati, namun, bisa juga melewati gapura di samping
kiri Masjid Menara Kudus.

Sifat beliau yang penuh dengan kesabaran dan kebesaran hatinya terlihat dalam upaya beliau
dalam menyampaikan dakwah, sifat tersebut juga perlu dilestarikan untuk Umat Muslim. Hingga
saat ini, beliau adalah tokoh penting Islam yang merupakan panutan yang sangat dikenang
sampai detik ini oleh banyak orang.

Anda mungkin juga menyukai