Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

UTANG DAN PEREKONOMIAN INDONESIA

DOSEN PENGAMPU

Resti Kartika Dewi M.Ak

DI SUSUN OLEH : KELOMPOK 2

1. Baiq Laela Cahya Ningrum ( 190105148 )


2. Isrami Putri Rahayu ( 190105149 )
3. Muhammad Tanzila ( 190105150 )
4. Aan Febriansyah ( 190105151 )
5. Rizki Aulia Utami ( 190105152 )
6. Alya Inang Rosali ( 190105153 )

JURUSAN TADRIS IPS EKONOMI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami ucapkan kepada Allah Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan
karunia-Nya, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, Yang berjudul ” UTANG DAN
PEREKONOMIAN INDONESIA” Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam proses
pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaian makalah ini tepat pada waktunya. Tidak lupa
kami sampaikan terima kasih kepada teman – teman yang sudah memberi kontribusi dan
partisipasinya baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna menyempurnakan
makalah ini. kami berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya.
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Utang dan Pembangunan


B. Utang dan Politik
C. Risiko Penbangunan dengan cara berutang dalam mata uang asing
D. Kestabilan Nilai Tukar dan Pembayaran Utang yang Stabil

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara-negara berkembang pada umumnya membutuhkan dana eksternal baik berupa


penanaman modal asing maupun utang luar negeri. Sedangkan negara-negara maju melalui
kerjasama bilateral maupun lewat lembaga multilateral (seperti IMF dan World Bank)
mengucurkan dana (utang) dalam jumlah yang cukup besar kepada negara berkembang, akan
tetapi ini merupakan kedok “bantuan”.

Negara berkembang menerima utang tersebut dengan senang hati karena utang itu memang
memiliki tingkat bunga rendah dan masa pengembalian (gestation period) yang lama.
Dibandingkan dengan mendapatkan dana dari lembaga swasta (perbankan) asing maupun
domestik, jelas ULN (utang luar negeri) mempunyai keunggulan dalam aspek itu. Langsung saja
ULN menjadi instrumen yang populer dan diterima sebagai jalan alternatif untuk mengatasi
persoalan “saving-investment gap” di negara berkembang (Nafziger, 1990:35 1). Sering kali di
balik kesepakatan pemberian ULN itu dibarengi dengan kesanggupan dari negara berkembang
untuk berbagi kebijakan (ekonomi) dengan kepentingan negara-negara donor. Misalnya saja,
negara donor mau memberikan utang asalkan negara penerima mau membuka sektor-sektor
tertentu untuk dapat dimasuki investasi asing. Fakta ini menimbulkan akan implikasi, karena
negara berkembang justru diberi persyaratan yang sangat berat dan seluruhnya secara ekonomi
tidak menguntungkan posisi negara berkembang itu sendiri. Itulah yang terjadi pada sebagian
besar negara-negara penerima utang, sehingga ekonominya menjadi hancur setelah selama
beberapa dekade menjadi ‘pasien’ lembaga/negara donor.

Perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas-asas kekeluargaan.


Pembangunan perekonomian nasional bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan politik dan
ekonomi Indonesia melalui pengelolaan sumber daya ekonomi dalam suatu iklim pengembangan
dan pemberdayaan Koperasi yang memiliki peran strategis dalam tata ekonomi nasional
berdasarkan asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi dalam rangka menciptakan masyarakat
yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

Pembangunan Nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur
yang merata, sesuai dengan perkembangan perekonomian. Pemerataan dan pertumbuhan adalah
unsur-unsur mutlak dari perkembangan ekonomi dan harus merupakan sasaran kembar dari
koperasi dalam melaksanakan fungsi sosial-ekonominya apalagi sebagai sokoguru perekonomian
nasional. Dalam hal ini koperasi merupakan salah satu cara yang tepat untuk mewujudkannya, di
mana koperasi yang dalam hal ini adalah KUD, merupakan bagian struktural dari sistem yang
berlaku yang dalam waktu relatif pendek mampu menggantikan dan menjadi pelopor dalam
berbagai kegiatan di masyarakat.

Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 2 tahun 1978 bahwa dalam rangka
pelaksanaan program pembangunan nasional untuk peningkatan produksi, penciptaan
kesempatan kerja, dan pembagian pendapatan yang adil serta merata, perlu ditumbuhkan dan
ditingkatkan peran serta tanggung jawab masyarakat pedesaan agar mampu mengurusi diri
sendiri dan berpartisipasi secara nyata dalam pembangunan desa atas swadaya gotong royong
serta dapat memetik dan menikmati hasil pembangunan guna meningkatkan taraf hidupnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut Badan Usaha Unit Desa/Koperasi Unit Desa (KUD) secara terus
menerus perlu diperkokoh, dikembangkan, dan dimampukan sehingga BUUD/KUD tersebut
benar-benar dapat menjadi wadah utama kegiatan ekonomi pedesaan yang dimiliki dan diatur
oleh seluruh warga desa sendiri untuk keperluan mereka dan pembangunan pedesaan.

Koperasi berusaha menentukan skala usaha yang tepat, guna mempercepat proses
pengembangan koperasi/KUD dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan. Koperasi/KUD
merupakan usaha ekonomi yang lincah, dapat bekerja sama dengan lembaga - lembaga lainnya,
koperasi merupakan kesatuan usaha yang memiliki sarana-sarana untuk menggerakkan unsur-
unsur intern dan ekstern dari kesatuan usaha yang meliputi wilayah unit desa, bidang usaha,
volume usaha, organisasi dan manajemen, permodalan dan faktor lingkungan. Secara lebih
mendalam, koperasi secara umum bisa diartikan sebagai perkumpulan orang yang secara
sukarela mempersatukan diri untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi
mereka, melalui pembentukan sebuah perusahaan yang dikelola secara demokratis. Berhasil dan
tidaknya koperasi sangat berpengaruh terhadap anggotanya, sehingga koperasi dituntut untuk
berusaha semaksimal mungkin dalam mengelolanya, khususnya dalam segi keuangan yaitu
bagaimana menyusun laporan keuangannya. Laporan keungan sendiri terdiri dari neraca dan
laporan rugi laba. Melalui laporan keungan tersebut, dapat diketahui sejauh mana potensi prestasi
dan kondisi keuangan yang dimiliki koperasi tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari utang dan pembangunan?


2. Apa pengertian dari utang dan politik?
3. Bagaimana resiko pembangunan dengan cara berutang dalam mata uang asing?
4. Bagaimana kestabilan nilai tukar dan pembayaran utang yang stabil?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian utang dan pembangunan
2. Untuk mengetahui pengertian utang dan politik
3. Untuk mengetahui resiko pembangunan dengan cara berutang dalam mata uang
asing
4. Untuk mengetahui kestabilan nilai tukar dan pembayaran utang yang stabil
BAB II

PEMBAHASAN

A. Utang dan Pembangunan

Utang luar negri sebagai biaya pembangunan nasional.

Tidak semua negara yang digolongkan dalam kelompok negara dunia ketiga, atau negara
yang sedang berkembang, merupakan negara miskin, dalam arti tidak memiliki sumberdaya
ekonomi. Banyak negara dunia ketiga yang justru memiliki kelimpahan sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia. Masalahnya adalah kelimpahan sumberdaya alam tersebut masih bersifat
potensial, artinya belum diambil dan didayagunakan secara optimal. Sedangkan sumberdaya
manusianya yang besar, belum sepenuhnya dipersiapkan, dalam arti pendidikan dan
ketrampilannya, untuk mampu menjadi pelaku pembangunan yang berkualitas dan
berproduktivitas tinggi. Pada kondisi yang seperti itu, maka sangatlah dibutuhkan adanya
sumberdaya modal yang dapat digunakan sebagai katalisator pembangunan, agar pembangunan
ekonomi dapat berjalan dengan lebih baik, lebih cepat, dan berkelanjutan.

Dengan adanya sumberdaya modal, maka semua potensi kelimpahan sumberdaya alam
dan sumberdaya manusia dimungkinkan untuk lebih didayagunakan dan dikembangkan. Tetapi,
pada banyak negara yang sedang berkembang, ketidaktersediaan sumberdaya modal seringkali
menjadi kendala utama. Dalam beberapa hal, kendala tersebut disebabkan karena rendahnya
tingkat pemobilisasian modal di dalam negeri. Beberapa penyebabnya antara lain (1) pendapatan
per kapital penduduk yang umumnya relatif rendah, menyebabkan tingkat MPS (marginal
propensity to save) rendah, dan pendapatan pemerintah dari sektor pajak, khususnya penghasilan,
juga rendah. (2) Lemahnya sektor perbankan nasional menyebabkan dana masyarakat, yang
memang terbatas itu, tidak dapat didayagunakan secara produktif dan efisien untuk menunjang
pengembangan usaha yang produktif. (3) Kurang berkembangnya pasar modal, menyebabkan
tingkat kapitalisasi pasar yang rendah, sehingga banyak perusahaan yang kesulitan mendapatkan
tambahan dana murah dalam berekspansi. Dengan kondisi sumberdaya modal domestik yang
sangat terbatas seperti itu, jelas tidak dapat diandalkan untuk mampu mendukung tingkat
pertumbuhan output nasional yang tinggi seperti yang diharapkan.

Solusi yang dianggap bisa diandalkan untuk mengatasi kendala rendahnya mobilisasi
modal domestik adalah dengan mendatangkan modal dari luar negeri, yang umumnya dalam
bentuk hibah (grant), bantuan pembangunan (official development assistance), kredit ekspor, dan
arus modal swasta, seperti bantuan bilateral dan multilateral; investasi swasta langsung (PMA);
portfolio invesment; pinjaman bank dan pinjaman komersial lainnya; dan kredit perdagangan
(ekspor/impor). Modal asing ini dapat diberikan baik kepada pemerintah maupun kepada pihak
swasta. Banyak pemerintah di negara dunia ketiga menginginkan untuk mendapatkan modal
asing dalam menunjang pembangunan nasionalnya, tetapi tidak semua berhasil mendapatkannya,
kalau pun berhasil jumlah yang didapat akan bervariasi tergantung pada beberapa faktor antara
lain (ML. Jhingan : 1983, halaman 643-646):

1. Ketersediaan dana dari negara kreditur yang umumnya adalah negara-negara industri
maju.
2. Daya serap negara penerima (debitur). Artinya, negara debitur akan mendapat bantuan
modal asing sebanyak yang dapat digunakan untuk membiayai investasi yang
bermanfaat. Daya serap mencakup kemampuan untuk merencanakan dan melaksanakan
proyek-proyek pembangunan, mengubah struktur perekonomian, dan mengalokasikan
kembali resources. Struktur perekonomian yang simultan dengan pendayagunaan
kapasitas nasional yang ada akan menjadi landasan penting bagi daya serap suatu negara.
3. Ketersediaan sumber daya alam dan sumberdaya manusia di negara penerima, karena
tanpa ketersediaan yang cukup dari kedua sumberdaya tersebut dapat menghambat
pemanfaatan modal asing secara efektif.
4. Kemampuan negara penerima bantuan untuk membayar kembali (re-payment).
5. Kemauan dan usaha negara penerima untuk membangun. Modal yang diterima dari luar
negeri tidak dengan sendirinya memberikan hasil, kecuali jika disertai dengan usaha
untuk memanfaatkan dengan benar oleh negara penerima. Sebagaimana dikatakan Nurkse
(1961: 83), bahwa modal sebenarnya dibuat di dalam negeri.

Sehingga, peranan modal asing sebenarnya adalah sebagai sarana efektif untuk memobilisasi
keinginan suatu negara.

Perkembangan utang luar negri pemerintah Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara dunia ketiga. Sebelum terjadinya krisis moneter
di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Hal tersebut sejalan dengan strategi pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah
pada waktu itu, yang menempatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sebagai target
prioritas pembangunan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak akhir tahun
1970-an selalu positif, serta tingkat pendapatan per kapita yang relatif rendah, menyebabkan
target pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tersebut tidak cukup dibiayai dengan modal
sendiri, tetapi harus ditunjang dengan menggunakan bantuan modal asing. Sayangnya tingkat
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam beberapa tahun tersebut, tidak disertai dengan
penurunan jumlah utang luar negeri (growth with prosperity), kecuali pada tahun 1994/1995
sampai 1995/1996 (lihat Tabel 1).

Pemerintah yang pada awalnya menjadi motor utama pembangunan terus menambah
utang luar negerinya agar dapat digunakan untuk membiayai pembangunan ekonomi nasional
guna mencapai target tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut, tanpa disertai
dengan peningkatan kemampuan untuk memobilisasi modal di dalam negeri. Hal ini
menandakan adanya korelasi yang positif antara keberhasilan pembangunan ekonomi pada
tingkat makro dan peningkatan jumlah utang luar negeri pemerintah (growth with indebtedness).

Dari data Tabel 1 dapat diketahui, bahwa selama kurun waktu tahun 1984 sampai dengan
tahun 1998 pinjaman luar negeri pemerintah rata-rata menyumbang 19,25% pada sektor
penerimaan APBN RI. Bahkan pada tahun anggaran 1999/1998, dari total realisasi penerimaan
APBN RI yang sebesar Rp 215.130 milyar, 28,97%-nya dibiayai oleh pinjaman luar negeri, juga
untuk pertama kalinya dalam 15 tahun terakhir jumlah utang luar negeri untuk bantuan program
melebihi bantuan proyek. Pinjaman luar negeri pemerintah yang sedemikian banyak pada tahun
anggaran tersebut digunakan untuk menutup defisit anggaran yang besar, akibat terjadinya krisis
ekonomi di Indonesia yang menyebabkan pengeluaran total pemerintah meningkat 68,47% dari
anggaran tahun sebelumnya.

Penyumbang terbesar kenaikan pengeluaran pemerintah yang sedemikian besar tersebut


adalah kenaikan pada pos pembayaran cicilan utang luar negeri dan bunganya yang jatuh tempo
menjadi sebesar Rp 55,578 trilyun atau meningkat 88,55% dari pos yang sama pada anggaran
tahun sebelumnya, sebagai akibat dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, menyebabkan pemerintah kembali harus menjadi
penggerak utama untuk menyelamatkan perekonomian nasional yang terancam kebangkrutan,
menggantikan peranan sektor swasta yang merosot setelah beberapa tahun sebelum krisis sempat
mendominasi perekonomian nasional. Sehingga, pemerintah membutuhkan tambahan dana yang
besar untuk membiayai peningkatan pengeluarannya.

Tabel 1.
Pinjaman pemerintah dan penerimaan APBN.
Sumber : APBN - Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik, diolah

Dampak utang luar negeri terhadap pembangunan nasional

Tabel 2
Debt Service Ratio (DSR) Pemerintah Indonesia

Sumber : Neraca Pembayaran, Bank Indonesia (www.bi.go.id) diolah

Menurut Susan George (1992), utang luar negeri secara pragmatis justru menjadi bomerang
bagi negara penerima (debitur). Perekonomian di negara-negara penerima utang tidak menjadi
semakin baik, melainkan bisa semakin hancur. Hal tersebut merupakan salah satu kesimpulan
dari hasil penelitiannya yang menunjukan, bahwa pada tahun 1980-an arus modal yang mengalir
dari negara-negara industri maju, yang umumnya merupakan negara kreditur, ke negara-negara
yang sedang berkembang dalam bentuk bantuan pembangunan (official development assistance),
kredit ekspor, dan arus modal swasta, seperti bantuan bilateral dan multilateral; investasi swasta
langsung (PMA); portfolio invesment; pinjaman bank; dan kredit perdagangan (ekspor/impor),
lebih kecil daripada arus aliran dana dari negara-negara yang sedang berkembang ke negara-
negara maju tersebut dalam bentuk cicilan pokok utang luar negeri dan bunganya, royalti,
deviden, dan keuntungan repatriasi dari perusahaan-perusahaan negara maju yang berada di
negara-negara yang sedang berkembang.

Penelitian Susan George ini memperkuat argumentasi yang pernah disampaikan G.J. Meier
(1970), bahwa arus modal asing dari negara maju ke negara dunia ketiga tidak pernah meningkat,
dan masalah pelunasan utang luar negeri semakin memberatkan, karena itu surplus impor yang
ditunjang modal asing semakin merosot, dan pengalihan sumber-sumber di luar impor yang
didasarkan pada ekspor menjadi relatif tidak penting bagi sebagian besar negara dunia ketiga.
Selama kendala devisa ini tidak bisa diatasi, negara kurang maju tidak dapat memenuhi
kebutuhan impornya bagi program pembangunan. Akibatnya negara dunia ketiga itu terpaksa
menempuh salah satu atau gabungan dari kebijaksanaan berikut ini: mengurangi laju
pembangunan negara, mengembangkan ekspor dan melakukan subtitusi impor untuk
memperbaiki term of trade, atau merangsang arus bantuan luar negeri lebih besar lagi.

Pembayaran Utang Luar Negeri Dan Pengeluaran APBN

( dalam milyar rupiah )

Sumber : APBN, Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik, diolah berdasarkan data Tabel,
pembayaran cicilan pokok utang luar negeri pemerintah dan bunganya selama 15 tahun terakhir
rata-rata 25,47% dari total pengeluaran dalam APBN RI. Hal tersebut dirasa cukup memberatkan
APBN RI. Bercermin pada dampak negatif dari akibat membesarnya utang luar negeri yang
terjadi di negara-negara Amerika Latin, masa sekitar krisis ekonomi di Meksiko, pada tahun
1996 pemerintah Indonesia sebenarnya telah merencanakan untuk membayar sebagian besar
jumlah utang luar negerinya lebih cepat dari waktu pembayaran yang sebenarnya.

Hal ini dimaksudkan sebagai tindakan preventif agar Indonesia terhindar dari krisis utang
luar negeri. Juga, agar dapat lebih mempersiapkan diri memasuki tahap tinggal landas ( take-off
), sebab menurut W.W. Rostow (1985), suatu negara bisa tinggal landas jika tidak lagi
tergantung kepada utang luar negeri. Dia berpendapat, bahwa masalah utang luar negeri sebagai
kendala serius bagi banyak negara yang sedang berkembang untuk bisa masuk dalam tahap take-
off. Hal ini dibuktikan dalam pengamatannya yang dilakukan selama tahun 1970-an hingga
pertengahan tahun 1980-an, dengan kesimpulan bahwa banyak negara yang sedang berkembang
yang diperkirakan akan masuk ke tahap tinggal landas justru semakin tergantung dan terjerat
masalah utang luar negeri. Tapi tampaknya komitmen pemerintah tersebut tidak berlangsung
lama karena terjadinya krisis moneter di Asia Tenggara dan Timur pada pertengahan tahun 1997.

B. Utang dan Politik

Ekonomi Politik Utang Luar Negeri Indonesia

Kebutuhan dolar untuk membayar utang luar negeri semakin besar, sementara tidak ada
peningkatan pasokan dolar yang memadai karena tidak adanya peningkatan ekspor dari sektor
industri. Sebagai akibatnya nilai rupiah semakin terpuruk.

Utang luar negeri pada akhirnya diikuti dengan kecenderungan negative inflow. Hal ini
disebabkan oleh tidak adanya justifikasi ekonomi dari utang luar negeri yang diambil. Proyek
yang dilakukan dengan utang luar negeri tidak berkaitan dengan pertimbangan ekonomi
melainkan pertimbangan subyektif elit kekuasaan. Akibatnya, lemahnya kaitan antara pinjaman
yang diterima dengan peningkatan kapasitas produksi nasional sehingga kemampuan negara
pengutang untuk mengembalikan utangnya (repayment capacity) menjadi rendah. hal ini
berkaitan dengan kecenderungan pertimbangan untuk berhutang luar negeri yang lebih
ditentukan oleh kepentingan elit pemerintahan daripada pertimbangan untuk kepentingan umum.

Menurut Bauer, Fiedman, dan Lal (2001) utang luar negeri sering menjadi ajang
perebuatan antara para birokrat sehingga sering terjadi friksi diantara mereka. Utang luar negeri
juga sering kali disalahgunakan untuk pembelian senjata. Sementara kritisi dari “kiri”
mendasarkan diri pada pengalaman bahwa utang luar negeri cenderung hanya memperkokoh
kekuasaan yang ada akibat terpusatnya modal pada sekolompok kecil. Pinjaman luar negeri tidak
membantu orang miskin melainkan cenderung untuk membantu kelompok yang berkuasa.

C. Risiko Penbangunan dengan cara berutang dalam mata uang asing

Liabilitas mata uang asing sering dianggap sebagai kelemahan keuangan di pasar negara
berkembang. Dipercaya secara luas bahwa hutang-hutang ini memperburuk keparahan krisis
tequila Meksiko (1994), krisis rubel Rusia (1998) dan krisis Asia Timur pada akhir 1990-an
(Eichengreen dan Hausmann, 1999).

Akibatnya, eksposur hutang yang tidak dilindung nilai atas hutang dalam mata uang asing
secara substansial telah berkurang. Sebaliknya, pemerintah peminjam cenderung menerbitkan
utang dalam mata uang lokal di pasar internasional, sementara pemberi pinjaman semakin
berpartisipasi dalam pasar obligasi domestik (Burger dan Warnock, 2006). Likuiditas dan
kedalaman yang meningkat telah memperluas pengembangan pasar keuangan lokal, dan
akumulasi cadangan, khususnya di Asia Timur, telah menawarkan asuransi yang signifikan
terhadap potensi ketidakstabilan di masa depan. Meskipun demikian, kontrak utang mata uang
asing dan potensi risiko keuangannya belum dihilangkan.

Kebijakan nilai tukar sangat penting untuk mengelola hutang-hutang ini. Pasak lunak,
membawa jaminan implisit untuk stabilitas nilai tukar, dapat menyebabkan rasa puas diri dan
'pinjaman berlebihan' dalam mata uang asing. Rekomendasi untuk mereformasi kebijakan nilai
tukar untuk mengurangi risiko ini setelah krisis Asia Timur berfokus pada dua opsi. Pertama,
nilai tukar mengambang bebas akan membantu mengurangi insentif untuk meminjam dalam
mata uang asing, dan kedua, serikat moneter bisa menghilangkan arus kas yang tidak sesuai sama
sekali.

Pembangunan ekonomi merupakan prasyarat mutlak negara-negara berkembang, termasuk


Indonesia, untuk memperkecil jarak ketertinggalannya di bidang ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat dari negara-negara industri maju. Upaya pembangunan ekonomi di negara-negara
tersebut, umumnya diupayakan oleh pemerintah, sedikit terkendala akibat dari kurang
tersedianya sumber-sumber daya ekonomi yang produktif, terutama sumberdaya modal yang
seringkali berperan sebagai katalisator pembangunan. Untuk mencukupi kekurangan modal ini,
maka pemerintah negara harus berusaha untuk mendatangkan modal dari luar negeri melalui
berbagai jenis pinjaman.

Untuk jangka pendek, utang luar negeri akan sangat membantu dalam membantu pemerintah
Indonesia untuk menutupi defisit APBN sebagai akibat dari pengeluaran rutin dan biaya
pembangunan yang besar. Oleh karena itu, kemajuan pembangunan ekonomi dapat
dikencangkan sesuai dengan target yang direncanakan sebelumnya. Namun, dalam jangka
panjang, utang luar negeri dapat memicu banyak masalah moneter di Indonesia. Dalam krisis
moneter, hutang luar negeri Indonesia termasuk Utang luar negeri pemerintah meningkat pesat
dalam ukuran rupiah. Karena itu, hal itu membuat pemerintah Indonesia harus menambah utang
luar negeri baru untuk membayar utang luar negeri sebelumnya yang telah kadaluwarsa.
Akumulasi hutang luar negeri dan bunganya akan dibayarkan melalui APBN Indonesia dengan
membayar secara bertahap setiap tahun. Hal ini menyebabkan kurangnya kesejahteraan rakyat
Indonesia di masa depan. Jelas bahwa masalah ini juga akan menambah beban rakyat Indonesia,
terutama bagi mereka yang bertanggung jawab membayar pajak secara teratur.
Masalah hutang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan (deficit budged) telah
menjadi perdebatan klasik, baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Dalam pemikiran Rostow,
posisi hutang luar negeri dianggap sebagai the missing link dalam mata rantai pembangunan
ekonomi. Dalam dunia praktis, hutang luar negeri merupakan vicious cyrcle dalam
pembangunan, khususnya negara-negara berkembang. Tercatat beberapa kali dunia mengalami
debt crisis yang hebat, misalnya tahun 1930-an, 1980-an, 1980-an dan 1990-an hingga saat ini.
Penyelesaian hutang luar negeri masih merupakan problematika yang kompleks dan rumit untuk
dipecahkan. (D.J. Rchbini, 29) Dalam penjelasan teori-teori konvensional, setidaknya terdapat
dua teori yang dapat menjelaskan tentang urgensi hutang luar negeri bagi pembiayaan
pembangunan. Teori pertama mengatakan bahwa hutang luar negeri, seperti halnya investasi
asing, diperlukan untuk menutup saving gap dalam terminologi kelompok Neo-Klasik. (Roem
Topatimasang, 1999: 67)

Jadi dalam hal ini hutang luar negeri dibutuhkan karena domestic saving tidak mencukupi
untuk pembiayaan pembangunan. Sebenarnya untuk menutup saving gap dapat dilakukan dalam
dua bentuk, yaitu debt creating flow dan non debt creating flow. DCF dapat berupa hutang
bilateral maupun multilateral, sedang NDCF berupa penanaman dan penyertaan modal seperti
Foreign Direct Investment (FDI), short term capital dan long term capital. Teori yang kedua
menjelaskan fenomena hutang luar negeri dari sisi neraca pembayaran, dimana ia merupakan
salah satu account pada neraca modal, yang berfungsi mengakomodasikan kepentingan neraca
berjalan yang bersifat otonom. Jadi bila neraca berjalan mengalami defisit, maka akan
dikompensasikan dengan hutang luar negeri dalam neraca modal. Dalam konteks ini hutang luar
negeri dapat berfungsi sebagai gap filling, yaitu mengisi gap akibat defisit neraca berjalan. (Endy
Suandi Hamid, 2000: 112)

Penyebab Timbulnya Hutang Luar Negeri Dari perspektif negara donor setidaknya ada dua
hal penting yang dianggap memotivasi dan melandasi bantuan luar negeri ke negara-negara
debitor. Kedua hal tersebut adalah motivasi politik (political motivation) dan motivasi ekonomi
(economi motivation), dimana keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat yang satu
dengan yang lainnya. (Faisal Basri, 2002: 101)

Dalam jangka pendek, hutang luar negeri sangat membantu pemerintah Indonesia dalam
upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara, akibat pembiayaan pengeluaran
rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar. Dengan demikian, laju pertumbuhan
ekonomi dapat dipacu sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Tetapi dalam
jangka panjang, ternyata hutang luar negeri pemerintah tersebut dapat menimbulkan berbagai
persoalan ekonomi di Indonesia.

Demikian yang dikatakan oleh Umar Juoro bahwa bukan substansi dari hutang luar negeri
tersebut yang bersifat investasi atau pengeluaran pemerintah yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi, tapi pada masalah pengalokasian dari dana tersebut yang proporsional
atau tidak. Kemudian yang dalam jangka panjang jumlah yang harus dibayarkan kembali lebih
banyak jumlahnya dari yang dipinjam sehingga menimbulkan masalah baru terhadap
keseimbangan keuangan Negara.

Sampai saat ini, Indonesia masih memiliki pinjaman luar negeri. Per Januari 2017, hutang
luar negeri pemerintah Indonesia (baik bilateral maupun multilateral) tercatat Rp 728,15 triliun,
naik tipis dari akhir 2016 yang sebesar Rp 728,08 triliun. Secara bilateral, Jepang, Prancis, dan
Jerman masih menjadi kreditur terbesar hutang Indonesia. Sementara secara multilateral,
Indonesia masih meminjam dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Bank
Pembangunan Islam (IDB). (Finance Detik, 2018) Hutang luar negeri Indonesia periode 2007-
2016 juga berfluktuasi, namun masih memperlihatkan trend naik. Hal dikarenakan keharusan
pemerintah untuk melakukan pinjaman kembali untuk melakukan pembayaran hutang yang
sudah jatuh tempo beserta bunganya. Bahkan pada tiga tahun terakhir, posisi hutang luar negeri
Indonesia terus mengalami kenaikan. Ini menandakan bahwa pemerintah Indonesia masih
menjadikan hutang luar negeri sebagai salah satu alternatif guna melakukan proses
pembangunan.

D. Kestabilan Nilai Tukar dan Pembayaran Utang yang Stabil

Kebijakan devisa dan kebijakan nilai tukar yang dianut Indonesia telah mengalami perubahan
dan perkembangan mengikuti tingkat pembangunan yang dicapai oleh pemerintah Indonesia.
Sebelum tahun 1970 misalnya, Indonesia menganut rezim devisa kontrol. Berdasarkan rezim ini
setiap penduduk tidak diberikan kebebasan untuk memiliki dan menggunakan devisa. Artinya
adanya pembatasan dalam jumlah pembelian dan penjualan mata uang asing antara penduduk
dan non penduduk termasuk kewajiban menjual devisa kepada negara. Demikian pula halnya
perpindahan aset dan kewajiban finasial antara penduduk dan non penduduk termasuk aset dan
kewajiban luar negeri antar penduduk juga dibatasi.

Kebijakan kontrol devisa secara bertahap mulai ditinggalkan oleh pemerintah sejalan dengan
kebijakan Indonesia membuka diri kembali terhadap modal asing yaitu dengan diundangkannya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (selanjutnya disebut UU
PMA). Perubahan kebijakan ekonomi Indonesia mengundang modal asing antara lain disebabkan
krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1965-1966. Pada tahun 1960an adalah masa suram
perekonomian Indonesia. Inflasi tidak terkendali, suasana politik tidak menentu dan Indonesia
terisolasi dari masyarakat internasional. Padahal, keberadaan perusahaan asing yang
menanamkan modalnya di Indonesia akan mempunyai efek katalisator bagi pertumbuhan
perekonomian nasional. Untuk menarik modal asing, UU PMA tersebut menyediakan insentif
berupa penggunaan tenaga kerja asing, hak atas tanah, kelonggaran perpajakan, hak transfer dan
repatriasi, jaminan hukum terhadap kemungkinan nasionalisasi dan penyelesaian sengketa
melalui arbitrase internasional.
Perusahaan penanaman modal asing diberikan insentif berupa hak transfer. Pasal 19 UU
PMA menetapkan kepada perusahaan modal asing diberikan hak transfer dalam valuta asli dari
modal atas dasar nilai tukar yang berlaku untuk keuntungan yang diperoleh modal sesudah
dikurangi pajak-pajak dan kewajiban pembayaran lain di Indonesia serta biaya-biaya yang
berhubungan dengan tenaga asing yang dipekerjakan di Indonesia. Penjelasan Pasal 19 UU PMA
menyatakan bahwa hak transfer merupakan suatu perangsang untuk menarik modal asing. Semua
transfer diijinkan untuk dilaksanakan dalam valuta asli, yaitu valuta (mata uang) dari modal
asing yang ditanamkan di Indonesia. Apabila modal yang ditanamkan dalam dollar AS maka
transfer dapat dilakukan dalam mata uang dollar AS pula.

Setelah tahun 1970, Indonesia mulai melakukan deregulasi rezim devisa menuju
diterapkannya rezim devisa bebas, yaitu suatu sistim lalu lintas devisa dimana perpindahan aset
dan kewajiban finasial antara penduduk/resident dan non penduduk/non resident termasuk aset
dan kewajiban luar negeri antar penduduk dibebaskan. Setiap penduduk bebas memiliki dan
menggunakan devisa, tanpa adanya pembatasan dalam jumlah pembelian dan penjualan mata
uang asing antara penduduk dan atau non penduduk. Tidak ada kewajiban menjual devisa kepada
negara, sehingga penggunaan devisa bebas dimiliki oleh siapapun untuk melakukan kegiatan
perdagangan internasional, transaksi di pasar uang dan transaksi di pasar modal.

Kebijakan penerapan rezim devisa bebas diawali dengan diterbitkannya Peraturan


Pemerintah No.16 Tahun 1970 tanggal 17 April 1970. Melalui Peraturan Pemerintah tersebut
pemerintah melonggarkan pengawasan devisa dan membuka kesempatan bagi masuknya
penerimaan modal asing serta memberikan kebebasan dalam memiliki, menjual dan membeli
mata uang asing. Namun demikian, eksportir masih tetap diwajibkan menyerahkan devisa hasil
ekspor kepada bank devisa yang kemudian oleh bank devisa tersebut dijual ke Bank indonesia.
Pihak-pihak yang membutuhkan devisa seperti importir dapat membeli devisa dari bank devisa.

Sementara itu, untuk menentukan nilai tukar rupiah dilakukan dengan menggunakan
transaksi di Bursa Valuta Asing. Pada tahun 1970, nilai tukar ditetapkan melalui transaksi yang
terjadi di Bursa Valuta Asing. Pada Agustus 1971, terjadi perubahan mendasar dalam penetapan
nilai tukar yaitu nilai tukar tidak lagi ditetapkan berdasarkan transaksi di bursa melainkan
ditetapkan oleh pemerintah (Bank Indonesia) dengan mengaitkan nilai tukar rupiah pada dollar
Amerika Serikat.Tujuan perubahan kebijakan tersebut adalah untuk mendorong ekspor dan
meningkatkan penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing. Devaluasi dilakukan
karena kebijakan nilai tukar yang dianut adalah sistem nilai tukar tetap. Nilai rupiah dikaitkan
dengan dolar Amerika Serikat (AS). Kebijakan ini menyebabkan nilai rupiah yang berlaku bukan
cerminan nilai rupiah sebenarnya di pasar (real exchange rate) sehingga pada 15 November 1978
pemerintah melakukan kebijakandevaluasi rupiah sebesar 33,6% yaitu dari Rp 415 per dolar AS
menjadi Rp 625 per USD.

Pada dasarnya, pemilihan penerapan sistim devisa dan sistem nilai tukar memiliki kelebihan
dan kekurangan. Jika suatu negara menerapkan sistim devisa bebas, maka ada beberapa
kelebihan yang akan diperoleh antara lain kemudahan untuk akses ke sumber pendanaan
keuangan luar negeri, kemudahan untuk akses pelaku ekonomi domestik untuk melakukan
investasi global dan transaksi aset secara internasional. Sistem, devisa bebas juga memberi
kemudahan mengalokasikan sumber-sumber daya dalam perekonomian melalui kompetisi untuk
financial resources. Kemudahan untuk memperoleh informasi mengenai ketersediaan sumber-
sumber pendanaan bagi investasi domestik, pembiayaan perdagangan, dan kegiatan
perekonomian lainnya. Efisiensi lembaga-lembaga keuangan domestik melalui diseminasi
pengaruhkompetisi dengan lembaga keuangan internasional, memacu otoritas moneter untuk
terus melahirkan “good policy” yang kredibel berdasarkan kebijaksanaan yang berorientasi
kepada standar efisien perekonomian dunia.

Disamping itu, adapun beberapa kekurangan dari penerapan sistemdevisa bebas antara lain
“herd behavior” dari gerak modal internasional.Bagi negara dengan institusi keuangan lemah
sistem devisa bebas dapatmerusak kestabilan perekonomian, menyulitkan targeting besaran
moneter dalam pelaksanaan kebijakan, struktur modal asing yang masuk didominasi oleh modal-
modal jangka pendek, dan sangat sensitif terhadap kredibilitas kebijakan pemerintah terutama
kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Penerapan sistem devisa bebas tanpa diikuti dengan
kebijakan pemantauan lalulintas devisa dan penentuan sistem nilai tukar yang kredibel juga dapat
menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional. Untuk meminimalisir dampak negatif
tersebut, sistim devisa bebas perlu ditopang dengan perangkat kebijakan perekonomian yang
kuat dan efisien. Untuk itu perlu dilakukan kajian untuk menganalisis apakah perlu dilakukan
amandemen terhadap Undang Undang Nomor 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan
Sistim Nilai Tukar (selanjutnya disingkat UU LLD).

Penetapan kebijakan sistim devisa dan sistim nilai tukar sebagaimana diatur dalam UU LLD
dilakukan oleh pemerintah atas usulan dari Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang
bertanggungjawab dalam memelihara kestabilan nilai rupiah. Upaya itu perlu didukung oleh
suatu sistim pemantauan lalulintas devisa yang efektif. Oleh karenanya, salah satu kewenangan
Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas nilai rupiah adalah diberikan kewenangan untuk
meminta keterangan dan data kegiatan lalulintas devisa serta menetapkan ketentuan kegiatan
devisa yang didasarkan atas prinsip kehati-hatian
KESIMPULAN

A. Utang dan Pembangunan

Utang luar negri sebagai biaya pembangunan nasional.

Tidak semua negara yang digolongkan dalam kelompok negara dunia ketiga, atau negara
yang sedang berkembang, merupakan negara miskin, dalam arti tidak memiliki sumberdaya
ekonomi. Banyak negara dunia ketiga yang justru memiliki kelimpahan sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia. Masalahnya adalah kelimpahan sumberdaya alam tersebut masih bersifat
potensial, artinya belum diambil dan didayagunakan secara optimal. Sedangkan sumberdaya
manusianya yang besar, belum sepenuhnya dipersiapkan, dalam arti pendidikan dan
ketrampilannya, untuk mampu menjadi pelaku pembangunan yang berkualitas dan
berproduktivitas tinggi. Pada kondisi yang seperti itu, maka sangatlah dibutuhkan adanya
sumberdaya modal yang dapat digunakan sebagai katalisator pembangunan, agar pembangunan
ekonomi dapat berjalan dengan lebih baik, lebih cepat, dan berkelanjutan.

B. Utang dan Politik

Ekonomi Politik Utang Luar Negeri Indonesia

Kebutuhan dolar untuk membayar utang luar negeri semakin besar, sementara tidak ada
peningkatan pasokan dolar yang memadai karena tidak adanya peningkatan ekspor dari sektor
industri. Sebagai akibatnya nilai rupiah semakin terpuruk. Utang luar negeri pada akhirnya
diikuti dengan kecenderungan negative inflow. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya justifikasi
ekonomi dari utang luar negeri yang diambil. Proyek yang dilakukan dengan utang luar negeri
tidak berkaitan dengan pertimbangan ekonomi melainkan pertimbangan subyektif elit kekuasaan.
Akibatnya, lemahnya kaitan antara pinjaman yang diterima dengan peningkatan kapasitas
produksi nasional sehingga kemampuan negara pengutang untuk mengembalikan utangnya
(repayment capacity) menjadi rendah. hal ini berkaitan dengan kecenderungan pertimbangan
untuk berhutang luar negeri yang lebih ditentukan oleh kepentingan elit pemerintahan daripada
pertimbangan untuk kepentingan umum.

C. Risiko Penbangunan dengan cara berutang dalam mata uang asing

Liabilitas mata uang asing sering dianggap sebagai kelemahan keuangan di pasar negara
berkembang. Dipercaya secara luas bahwa hutang-hutang ini memperburuk keparahan krisis
tequila Meksiko (1994), krisis rubel Rusia (1998) dan krisis Asia Timur pada akhir 1990-an
(Eichengreen dan Hausmann, 1999).
Akibatnya, eksposur hutang yang tidak dilindung nilai atas hutang dalam mata uang asing
secara substansial telah berkurang. Sebaliknya, pemerintah peminjam cenderung menerbitkan
utang dalam mata uang lokal di pasar internasional, sementara pemberi pinjaman semakin
berpartisipasi dalam pasar obligasi domestik (Burger dan Warnock, 2006). Likuiditas dan
kedalaman yang meningkat telah memperluas pengembangan pasar keuangan lokal, dan
akumulasi cadangan, khususnya di Asia Timur, telah menawarkan asuransi yang signifikan
terhadap potensi ketidakstabilan di masa depan. Meskipun demikian, kontrak utang mata uang
asing dan potensi risiko keuangannya belum dihilangkan.

D. Kestabilan Nilai Tukar dan Pembayaran Utang yang Stabil

Kebijakan devisa dan kebijakan nilai tukar yang dianut Indonesia telah mengalami perubahan
dan perkembangan mengikuti tingkat pembangunan yang dicapai oleh pemerintah Indonesia.
Sebelum tahun 1970 misalnya, Indonesia menganut rezim devisa kontrol. Berdasarkan rezim ini
setiap penduduk tidak diberikan kebebasan untuk memiliki dan menggunakan devisa. Artinya
adanya pembatasan dalam jumlah pembelian dan penjualan mata uang asing antara penduduk
dan non penduduk termasuk kewajiban menjual devisa kepada negara. Demikian pula halnya
perpindahan aset dan kewajiban finasial antara penduduk dan non penduduk termasuk aset dan
kewajiban luar negeri antar penduduk juga dibatasi.
DAFTAR PUSTAKA

Erani Yustika Ahmad. Perekonomian Indonesia: Satu Dekade Pascakrisis Ekonomi. Unibraw.
Februari 2007. Salvatore, Dominick, (1996), International Economics, 5th Edition, New Jersey:
Prentice- Hall, Inc. Tambunan, Tulus T.H., (1996). Perekonomian Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia.Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan (Edisi Keempat). STIE-YKPN.
Yogyakarta. Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode V: 1997-1999 Bank Indonesia
pada masa Krisis Ekonomi, Moneter dan Perbankan, (Unit Khusus Museum Bank Indonesia:
2006).

Anda mungkin juga menyukai